• Home
  • About Us
    • Managing Team
    • Researchers
    • Interns
    • Associates
  • Articles
  • Courses
  • Activities
    • CLSD Reader’s Club
    • Summer Course
    • Photovoice
    • SAELA
    • Community Service
  • Research & Publication
Universitas Gadjah Mada Center for Life-Span Development (CLSD)
Faculty of Psychology
Universitas Gadjah Mada
  • Home
  • About Us
    • Managing Team
    • Researchers
    • Interns
    • Associates
  • Articles
  • Courses
  • Activities
    • CLSD Reader’s Club
    • Summer Course
    • Photovoice
    • SAELA
    • Community Service
  • Research & Publication
  • Beranda
  • Artikel
  • page. 6
Arsip:

Artikel

Mengatasi Kecemasan terhadap Karier dan Tuntutan Sosial di Masa Pandemi

ArtikelBlog Saturday, 20 November 2021

“Mengatasi Kecemasan terhadap Karier dan Tuntutan Sosial di Masa Pandemi” 

Oleh Erythrina Sekar Rani (erythrina.sekar.r@mail.ugm.ac.id)
Editor: Lisa Sunaryo Putri

Photo by Andrea Piacquadio from Pexels

Pandemi COVID-19 di Indonesia telah mempengaruhi berbagai sektor kehidupan, salah satunya sektor ekonomi. Berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan per 20 April 2020, sebanyak 2.084.593 pekerja dari 116.370 perusahaan telah dirumahkan dan terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Dari data tersebut 27,7% berusia 20-24 tahun; 11,6 % usia 25-29 tahun; dan 1,1 % berada pada rentang usia 30-34 tahun (1).

Pandemi COVID-19 juga telah mengubah kebiasaan masyarakat. Perubahan yang cenderung mendadak dan belum diketahui kapan mulai membaik ini cenderung mempengaruhi keadaan psikologis masyarakat. Berdasarkan data hasil swa-periksa Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) pada 4010 orang sejak lima bulan COVID-19 ada di Indonesia, diketahui bahwa 64,8 % subjek mengalami kecemasan dan terbanyak terjadi pada rentang usia 17-29 tahun dan individu berusia lebih dari 60 tahun (2). Bisa disimpulkan bahwa kecemasan banyak dialami pada individu dewasa dan lanjut usia.

Bila kita fokuskan kepada individu usia dewasa awal, individu tersebut memiliki tugas perkembangan yang perlu untuk dijalankan. Menurut Erikson, pada usia dewasa awal (20-30 tahun), seseorang dihadapkan pada tugas perkembangan untuk membangun hubungan yang intim yaitu membentuk pertemanan yang sehat dan hubungan dengan lawan jenis. Lebih lanjut, menurut Levinson, pada masa dewasa awal (22-28 tahun), terdapat dua tugas perkembangan yang perlu dikuasai, yaitu kehidupan dewasa dan mengembangkan struktur hidup yang stabil. Levinson melihat ini sebagai fase pemula, transisi untuk menjadi lebih mandiri yang ditandai dengan membangun mimpi berupa karier dan pernikahan (3). Namun, adanya kondisi pandemi COVID-19 mungkin akan mempengaruhi ketercapaian pemenuhan tugas perkembangan pada usia dewasa awal tersebut dan mendorong timbulnya kecemasan.

Durand & Barlow mendefinisikan kecemasan sebagai keadaan suasana hati yang berorientasi pada masa depan yang ditandai dengan adanya kekhawatiran karena tidak dapat memprediksi atau mengendalikan kejadian yang akan datang. Selanjutnya, dijelaskan bahwa sebenarnya rasa cemas memiliki fungsi untuk diri kita jika jumlahnya tidak berlebihan. Misalnya untuk mendeteksi adanya kondisi bahaya yang mengancam sehingga individu diharapkan mampu mengambil tindakan untuk menghadapinya (4). 

Masih dalam penelitiannya, Durand & Barlow juga menyatakan bahwa kecemasan dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu (4): 

  • Biologis: genetik, sirkuit di otak, dan sistem neurotransmitter tertentu.       
  • Psikologis: keinginan untuk mengontrol segala aspek kehidupan sampai ketidakpastian yang ada dalam diri kita sendiri, pola asuh (cenderung mengontrol atau direktif), dan pengaruh lingkungan lain (contohnya di era pandemi saat ini: banyaknya karyawan yang di PHK, ketersediaan lapangan kerja yang cenderung menurun, daya saing cenderung tinggi, kesulitan untuk bersosialisasi secara langsung karena pembatasan sosial, bingung menentukan karier, ditambah jika belum menemukan tujuan hidup ataupun passion, dll).·       
  • Sosial: pengalaman traumatis (contoh: bullying, masalah di tempat kerja, perceraian, kematian orang yang dicintai, dll) dan tekanan sosial (contoh: tuntutan harus berprestasi, membandingkan atau dibandingkan dengan orang lain, merasa insecure dengan pencapaian orang lain, adanya tuntutan dari keluarga untuk menikah atau mendapatkan pekerjaan yang layak, maupun tuntutan lain dari dalam diri).

Nah, kira-kira apa saja yang bisa kita lakukan untuk mencegah dan mengatasi kecemasan terhadap tugas perkembangan pada individu dewasa awal berkaitan dengan karir dan tuntutan sosial lainnya di masa pandemi ini? 

Berikut adalah tips untuk membantu mengatasi kecemasan di masa pandemi ini :       

  • Mengendalikan apa yang bisa kita kendalikan (pikiran, perkataan, dan tindakan, dan segala sesuatu yang ada dalam diri kita).
    Sering kali, masalah muncul dari kenyataan bahwa kita menginginkan sesuatu yang tidak bisa kita miliki atau menyangkal sesuatu yang tidak kita inginkan (5), contohnya: saat mendapatkan nilai jelek, mengalami kegagalan, berbuat salah, mendapatkan komentar negatif dari orang lain, merasa insecure atas pencapaian orang lain, dan yang lainnya.  Semakin kita ingin mengendalikan hal-hal yang tidak bisa kita kendalikan, hal ini akan membuat diri kita cenderung lebih mudah merasa kecewa, sedih, marah, cemas, khawatir, takut, dan emosi negatif lain.

    Kita bisa belajar untuk mengelola emosi negatif ini dengan filsafat stoisisme. Filsafat stoisisme bertujuan untuk menumbuhkan ketenangan dan kedamaian dalam hidup, penganut stoisisme biasanya pandai mengendalikan emosi yang dirasakan (6). Dengan demikian, kita perlu berfokus untuk mengendalikan sesuatu yang bisa kita kendalikan, yaitu pikiran, perkataan, tindakan, dan segala sesuatu yang ada dalam diri kita, berusaha menjadi diri versi terbaik dari diri kita.

     

  • Melatih Mindfulness
    Mengapa kita perlu melatih mindfulness? Biasanya, kita jarang sadar ketika melakukan sesuatu, terjebak dalam pikiran yang mengganggu atau pendapat tentang sesuatu yang terjadi saat ini (7). Entah karena sudah terbiasa melakukan atau karena suatu hal yang lain, misalnya: kita sering lupa meletakkan kunci motor atau handphone, tidak sadar makanan yang kita makan sudah habis, atau bekerja tetapi pikiran tidak ada di sana. Ketika kita mindful, kita cenderung sadar dan mampu mengenali sesuatu yang terjadi di sini dan kini (7).

    Mindfulness bisa dilatih dengan memperhatikan penuh dari momen ke momen yang dilewati, tanpa memberikan judgement, ide atau opini tertentu, suka atau tidak suka (8). Mengapa? Kebiasaan mengkategorikan atau men-judge sesuatu akan membuat diri kita memberikan respons secara otomatis (bahkan tidak disadari), menjadi tidak objektif dalam mengamati yang sedang terjadi, dan sulit menemukan kedamaian dalam diri (8).

    Mari berlatih untuk cukup menyadari sesuatu yang indra kita tangkap tanpa memberikan judgement agar bisa lebih objektif dalam menanggapi sesuatu, tidak mudah terbawa suasana, bisa menyadari dan mengendalikan respons kita.

  • Membuat Tujuan Hidup
    Tujuan hidup adalah sumber motivasi utama diri kita. Lebih lanjut dijelaskan, tujuan yang dikembangkan secara sadar dapat mengarahkan tindakan kita untuk mencapai tujuan tersebut (8). Salah satu metode yang bisa kita lakukan untuk membantu menetapkan tujuan hidup adalah dengan metode “SMART Goal” (Specific, Measurable, Attainable, Result-Oriented, dan Timely atau Time Based). Setelah itu, kita bisa mencoba break down ke tugas-tugas yang lebih kecil yang bisa kita lakukan untuk mencapai tujuan.

    Perlu kita ingat bahwa masa depan bukan suatu hal yang bisa kita pastikan, tetapi bukan berarti kita tidak boleh bermimpi atau memiliki tujuan. Namun, perlu kita sadari bahwa yang bisa kita lakukan adalah fokus mengusahakan semaksimal kita, mengenai masa depannya terwujud atau tidak, bukan ada di kendali kita.

  • Mengembangkan diri dengan hobi atau aktivitas positif yang kita sukai
    Melakukan aktivitas positif yang disukai untuk memanfaatkan waktu luang dan meningkatkan kapasitas diri, seperti: mengikuti kursus bahasa, belajar trading, berolahraga, melukis, menulis, atau membaca buku pengembangan diri seperti “Filosofi Teras” karya Henry Manampiring; “Mengheningkan Cinta” karya Adjie Santoso Putro; “Sebuah Seni untuk Bersikap Bodo Amat” karya Mark Manson; “Start with Why” atau “Find Your Why” karya Simon Sinek, dan yang lain sebagainya.
  • Jangan sungkan untuk mengikuti konseling dengan psikolog atau psikiater, jika dirasa permasalahan yang dihadapi mengganggu fungsi sehari-hari, misalnya: waktu tidur, nafsu makan, dan interaksi dengan orang lain terganggu, sulit berkonsentrasi, tidak termotivasi, atau yang lainnya. Karena meminta bantuan kepada ahlinya ketika kita butuh adalah salah satu wujud kita mencintai diri kita.

Teman-teman, itulah beberapa tips yang mungkin bisa dicoba untuk mengurangi rasa cemas akan keadaan yang tidak kita inginkan khususnya dalam tugas kita memasuki fase dewasa awal kehidupan. Tumbuhkan rasa percaya diri pada diri kita sendiri karena itulah yang membuat kita menjadi lebih baik. Selamat berproses! Semoga kita selalu bertumbuh setiap harinya. 

Sumber:

  1. Pekerja Terkena PHK. (2020, Mei 20). Retrieved Juli 4, 2021, from LIPI Indonesia: https://twitter.com/lipiindonesia/status/1263079374137503749/photo/2
  2. 5 Bulan Pandemi Covid di Indonesia. (2020). Retrieved Juli 2, 2021, from Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI): http://pdskji.org/
  3. Santrock, J. W. (2012). A Topical Approach to Life-Span Development Sixth Edition. New York: McGraw Hill.
  4. Durand, V. M., & Barlow, D. H. (2006). Psikologi Abnormal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
  5. Ferraiolo, W. (2020). A Life Worth Living. Alresford: John Hunt Publishing (ebook).
  6. Drakulić, A. M. (2012). http://pdskji.org/home. A Phenomenological Perspective on Subjective well-Being: From Myth to Science, 32.
  7. Germer, C. K. (2005). What is Mindfulness? Insight Journal, 24.
  8. Kabat-Zinn, J. (2013). Full Catastrophe Living: Ho to Cope with Stress, Pain, and Illness using Mindfulness Meditation. London: Piatkus (ebook).
  9. Locke, E. A., & Latham, G. P. (2013). New Developments in Goal Setting and Task Performance. Hove: Cenveo Publisher Services (ebook).

Quarter-Life Crisis : Mencari Meaning dalam Krisis

ArtikelBlog Friday, 12 November 2021

Quarter-Life Crisis : Mencari Meaning dalam Krisis
Oleh Dini Fadillah
Editor: Lisa Sunaryo Putri

photo by Matese Fields on Unsplash

Pernahkah mengalami momen mempertanyakan kemana harus melangkah setelah lulus dari sekolah atau perguruan tinggi? Pun ketika sudah menjalani suatu pekerjaan, mempertanyakan apakah sudah tepat keputusan yang diambil? Melihat cuplikan kehidupan teman di media sosial, kemudian merasa jauh tertinggal dibandingkan orang lain? Jika iya, barangkali inilah yang disebut dengan Quarter Life Crisis (QLC).  

Quarter life Crisis merupakan suatu fase yang ditandai dengan individu mengalami ketidakstabilan dalam hidup dan tengah menghadapi berbagai permasalahan baik dalam dunia karier, keluarga, dan hubungan romantis (1). Ketidakstabilan tersebut muncul karena seseorang merasa kehidupan yang sedang dijalani cenderung statis. Sedangkan di sisi lain ada dorongan untuk mempersiapkan masa yang akan datang. Selain itu, individu juga merasakan dorongan untuk mengeksplorasi berbagai macam hal dan menata hidup agar lebih produktif. Quarter Life Crisis biasanya dialami oleh individu pada rentang usia 20-29 tahun.   

Berdasarkan studi yang dilakukan oleh OnePoll pada tahun 2017, setidaknya 56% dari 2000 populasi orang dewasa (25-35 tahun) di Inggris mengaku tengah mengalami berbagai permasalahan dalam hidup yang membuat mereka stress (2). Fenomena QLC ini juga termanifestasi lewat media sosial. Agarwal, dkk melakukan studi untuk menganalisis fenomena Quarter Life Crisis yang dialami oleh pengguna twitter di Amerika dan Inggris dengan rentang usia 18-30 (3). Hasil temuan mengatakan, 1.400 user pernah mem-posting 1,5 juta tweet yang menceritakan permasalahan-permasalahan seputar karier, kesehatan, sekolah, dan keluarga lewat posting-an twitter.  Fenomena yang sama juga ditemukan juga di Indonesia. Survei terhadap 31 anak muda dengan rentang usia 18-25 tahun mengatakan bahwa pada usia ini membuat mereka mencemaskan urusan karier, percintaan, pendidikan, dan kesehatan (4).

Quarter Life Crisis dapat dibedakan menjadi dua fase. Fase locked-out dan locked-in (1). Fase locked-out merupakan fase awal dan ditandai dengan individu bersemangat untuk menata hidupnya. Muncul keinginan untuk membangun karier, relasi, pacaran atau menikah, dll. Masa eksplorasi ini tentu tidak sepenuhnya berjalan mulus. Kegagalan dan stress merupakan hal yang biasa ditemui ketika realitas yang berjalan tidak sesuai dengan rencana. Namun, proses mengevaluasi perjalanan yang telah ditempuh terus dilakukan setelahnya hingga pada akhirnya dapat menemukan solusi dari permasalahan yang dijumpai. 

Berbeda dengan fase locked-out, pada fase locked-in, individu sudah menjalankan suatu komitmen. Namun, di tengah proses tersebut ia merasakan kekeliruan dan ketidakpuasan dalam proses yang tengah ia jalani, baik dalam urusan karier, pasangan, keluarga, dll. Hal ini mengakibatkan munculnya dorongan untuk menyudahi komitmen tersebut. Keberhasilan dan kegagalan dalam perjalanan hidup, membuat individu merefleksikan setiap proses dan terus mencari sudut pandang baru dan makna terhadap suatu hal.

Mengapa Quarter Life Crisis bisa terjadi? Hal ini dapat dijelaskan dengan suatu konsep dari Arnett yang disebut dengan periode Emerging Adulthood (5). Periode ini merupakan bagian dari rentang perkembangan hidup manusia yang terjadi berkisar usia 18-25 tahun. Masa ini merupakan masa transisi dari remaja menuju usia dewasa (20-an). Karakteristik dari periode Emerging Adulthood antar individu berbeda tergantung pandangan subjektif dan pengalaman eksplorasi diri. Meskipun eksplorasi diri sudah dimulai sejak remaja, namun pada masa ini tetap berlangsung hingga usia 20-an. Umumnya eksplorasi diri meliputi urusan percintaan, pekerjaan, dan pandangan hidup. Dalam urusan percintaan, individu tidak sekadar memilih pasangan dengan alasan cantik atau tampan, teman untuk jalan, namun sudah mempertimbangkan pasangan yang dapat menemaninya seumur hidup. Dalam pekerjaan, individu bekerja tidak sekadar memperoleh uang, namun juga bekerja dalam bentuk menyalurkan potensi dan mencari kepuasan dalam jangka waktu yang lebih lama. Adapun pencarian pandangan hidup bersifat dinamis. Pandangan hidup individu sejak dia di bangku sekolah, kuliah, bekerja bisa jadi berubah seiring pengalaman. 

Bagaimana melewati Quarter Life Crisis?

photo by Tony Tran on Unsplash

 

  1. Pahami “3 Principles of Life”

Terdapat tiga prinsip hidup yang perlu kita sadari, yaitu freedom, uncertainty, dan hope (6). Freedom artinya setiap individu memiliki kebebasan dalam memilih apa pun di hidupnya. Ia bebas merencanakan segala hal, melakukan kegiatan yang disenangi, dan menjauhi hal yang tidak menyenangkan. Maka ketika individu telah memilih, hal yang perlu dilakukan adalah mampu mempertanggungjawabkan konsekuensi dari pilihan tersebut. Mempertanggungjawabkan suatu keputusan yang telah diambil merupakan salah satu karakter positif yang penting ada di diri individu ketika memasuki usia dewasa (5).  

Uncertainty mengartikan bahwa kehidupan penuh dengan ketidakpastian. Individu memang bebas dalam memilih, namun ia tidak mampu untuk memastikan suatu hal pasti akan terjadi. Dengan demikian, di sinilah pentingnya tolerance of uncertainty. Sikap mentolerir ketidakpastian dalam hidup, mentolerir hal di luar dugaan dan perencanaan  merupakan sikap yang penting untuk dimiliki, agar individu tetap mampu melanjutkan hidup yang sehat (7).   

Hope atau harapan ini erat kaitannya dengan ketidakpastian. Seperti yang dikatakan oleh Dr. Bagus Riyono dalam bukunya yang berjudul, Motivasi dan Kepribadian, beliau menjelaskan (6):

Hope tidak sekadar di ranah kognitif ataupun afektif, melainkan berada di ranah spiritual, yaitu aspek psikologis dalam diri manusia yang meliputi “belief system” terhadap sesuatu yang belum pernah dialami, belum pernah dilihat, yang di luar nalar biasa (“beyond reason”), dan sesuatu yang luar biasa (“bigger than life”). 

Hope atau harapan merupakan rasa yakin bahwa akan ada kebaikan yang muncul dibalik suatu ketidakpastian. Besar kecil dan kuat-lemahnya harapan tergantung apa yang diyakini individu. Semakin besar keyakinan seseorang tentang adanya “kekuatan lain” yang memiliki kemampuan untuk menolong dirinya keluar dari ketidakpastian dengan selamat, maka akan semakin besar pula hope yang ia miliki.

      2. Kenali diri

Terdapat sebuah konsep dari Jepang bernama Ikigai. Konsep ini bertujuan untuk membantu individu menemukan “purpose in life” atau arti hidupnya. Jika bingung ingin menata hidup mulai dari mana, barangkali konsep ikigai ini bisa membantu. Ikigai merupakan irisan antara passion, profession, vocation dan mission (8). 

Passion merupakan irisan dari hal yang disukai dan potensi yang dimiliki. Cobalah lihat ke dalam diri, hal-hal apa saja yang disenangi dan bidang mana saja yang Anda kuasai. Jika sudah ditemukan, maka tentukan apakah bidang tersebut mengandung unsur profession? Profession adalah irisan dari kompetensi diri dan Anda bisa menghasilkan uang darinya. Kemudian terdapat vocation dan mission yang bersifat kontributif. Vocation adalah irisan dari apa yang bisa kita lakukan dan apa yang dunia butuhkan. Adapun mission merupakan hal yang disukai dan bermanfaat bagi orang lain.

     3. QLC adalah tantangan untuk menemukan makna

Tantangan merupakan stimulus yang datang dari luar diri individu. Jika individu tidak dapat merespons tantangan yang datang, maka ada risiko psikologis yang akan ditanggung. Risiko itu dapat berupa penurunan harga diri, atau penilaian negatif dari lingkungan sosial (6). Disisi lain, tantangan juga dibutuhkan individu untuk bertumbuh. Krisis yang dialami saat quarter-life ini adalah salah satu contoh tantangan. Adanya tantangan akan membuat proses belajar menjadi asyik dan mendorong individu untuk menguasai suatu hal, serta membangun konsep diri lebih positif (9). Ketika individu melakukan suatu pekerjaan yang menantang, maka akan timbul rasa telah berprestasi, tanggung jawab, bertumbuh, rasa asyik ketika menjalaninya, dan mendapatkan pengakuan atau pujian (6).

Dibalik tantangan, pasti ada makna yang bisa didapatkan. Esensi dari kebermaknaan adalah percaya bahwa di luar sana dan suatu saat nanti akan ada kebaikan dari usaha yang dilakukan (6). Makna akan membuat individu bertahan dalam menghadapi tantangan yang sulit. Jadi, bagaimana Anda memaknai Quarter Life Crisis ini?

 

References :

  1. Robinson, O.C. (2015). Emerging adulthood, early adulthood and quarter-life crisis: Updating Erikson for the twenty-first century. In. R. Žukauskiene (Ed.) Emerging adulthood in a European context (pp.17-30). New York: Routledge
  2. https://www1.firstdirect.com/uncovered/heads-up/quarter-life-catalyst/
  3. Agarwal, S., Guntuku, S. C., Robinson, O., Dunn, A., & Ungar, L. (2020). Examining the Phenomenon of Quarter-life Crisis through Artificial Intelligence and the Language of Twitter. Frontiers in Psychology , 1-23.
  4. https://gensindo.sindonews.com/read/14429/700/survei-5-hal-paling-dicemaskan-saat-quarter-life-crisis-1588370747
  5. Arnett, J.J. (2007) ‘Emerging adulthood: What is it, and what is it good for?’ Child Development Perspectives, 1(2): 68–73.  doi: 10.1111/j.1750-8606.2007.00016.x
  6. Riyono, B. (2020). Motivasi dan Kepribadian. Jakarta Selatan: Al-Mawardi.
  7. https://www.psychologytoday.com/us/blog/the-gen-y-guide/201709/why-millennials-need-quarter-life-crises 
  8. Mogi, Ken. (2017). The Book of ikigai : make life worth living / Ken Mogi. Jakarta: Noura Books.
  9. Ferre-Caja, E. dan Weiss, M. R. (2000). Predictors of intrinsic motivation among adolescent students in physical education. Research Quarterly for Exercise and Sport. 71(3), 267.

1000 HARI PERTAMA KEHIDUPAN

ArtikelBlog Friday, 5 November 2021

1000 HARI PERTAMA KEHIDUPAN
oleh: Ruth Setyaning

photo by Kazuend on Unsplash

1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) adalah periode sejak janin masih berada di dalam kandungan sampai anak berusia 2 tahun. 1000 HPK disebut juga sebagai periode emas, karena pada periode ini terjadi pertumbuhan otak yang sangat pesat, yang mendukung seluruh proses perkembangan anak dengan sempurna. Gizi sangatlah berperan, karena kekurangan gizi pada periode ini tidak dapat diperbaiki di kehidupan selanjutnya. 

1. NUTRISI SAAT KEHAMILAN

Saat hamil, tubuh mengalami perubahan fisik dan hormon. Dalam kondisi tersebut, asupan gizi yang baik sangat penting untuk kesehatan ibu dan janinnya. Selama kehamilan, pastikan kebutuhan nutrisi ibu terpenuhi, sehingga bayi terlahir sehat. Pemenuhan kebutuhan nutrisi bukan berarti makan dalam jumlah porsi yang banyak. Melainkan, ibu harus memastikan bahwa zat gizi yang dibutuhkan selama kehamilan terdapat di dalam makanan yang dikonsumsi.

KEBUTUHAN CAIRAN 

Ibu hamil harus menjaga keseimbangan cairan dalam tubuh agar tidak mengalami dehidrasi. Saat hamil, kebutuhan cairan meningkat karena cairan di dalam terpakai untuk pembentukan cairan ketuban dan mengalirkan asupan makanan ke janin. Jumlah cairan yang dianjurkan untuk ibu hamil yaitu sekurang-kurangnya 2300-3000 ml per hari, atau sekitar 10-12 gelas.

PANTANGAN MAKAN 

  1. Kopi dan teh: konsumsi kafein yang terkandung dalam kopi berisiko menyebabkan keguguran dan berat badan lahir rendah (BBLR), sedangkan teh dapat mengganggu penyerapan zat gizi di dalam usus.
  2. Makanan dan minuman yang mengandung alkohol.
  3. Makanan mentah atau setengah matang: kurang dianjurkan karena berpotensi mengandung bakteri yang berbahaya bagi janin.

STRATEGI UNTUK MENGURANGI MUAL DAN MUNTAH

Mual dan muntah terjadi karena pengaruh hormon HCG (Human Chorionic Gonadotropin) yang meningkat saat hamil, puncaknya pada usia kehamilan 12 minggu. Pada fase ini, yang bisa ibu hamil lakukan adalah:

  • Makan sedikit-sedikit tetapi sering.
  • Hindari makanan dengan kandungan lemak yang tinggi.
  • Hindari makanan yang pedas dan berbumbu tajam.
  • Setelah makan ataupun minum, tidak dianjurkan untuk langsung tidur atau berbaring.
  • Minum di sela-sela makan.
  • Hindari kafein (banyak terkandung di dalam kopi).
  • Melakukan jalan-jalan kecil setelah makan.
  • Tidak disarankan menggunakan pakaian yang ketat.

2. NUTRISI IBU MENYUSUI

Pada saat menyusui, wajar terjadi penurunan berat badan dalam 6 bulan pertama menyusui yaitu sekitar 0.5-1 kg/bulan karena asupan energi banyak digunakan untuk memproduksi ASI. Meski demikian, ada pula yang tidak mengalami penurunan berat badan. Ibu disarankan untuk tetap menjaga asupan makan bergizi seimbang dan banyak minum karena ketika menyusui, kebutuhan cairan dalam tubuh meningkat. Dianjurkan untuk minum air 8-12 gelas setiap harinya untuk mencegah dehidrasi.

FAKTA TENTANG AIR SUSU IBU (ASI) 

  • Produksi ASI sesuai dengan permintaan bayi. Proses pengeluaran ASI merangsang pembentukan ASI, jadi semakin sering ibu menyusui bayinya, akan semakin banyak ASI yang diproduksi. 
  • Frekuensi makan ibu menyusui tidak mempengaruhi produksi ASI.
  • Ukuran payudara tidak menentukan jumlah ASI yang diproduksi.

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI ASI

  1. Gizi: makanan yang dikonsumsi sehari-hari harus mengandung asam folat, protein, kalsium dan zat besi.
  2. Psikis: stres dan kecemasan dapat menghambat produksi ASI.
  3. Perawatan payudara yang dilakukan saat usia 6-9 bulan bisa merangsang kelenjar air susu, memperlancar ASI dan melenturkan serta menguatkan puting susu.

TIPS IBU MENYUSUI

  1. Menghindari minuman yang mengandung kafein (banyak terkandung di kopi), karena bayi belum bisa mencerna kafein di dalam tubuhnya. Kelebihan kafein pada bayi menyebabkan hiperaktif, rewel dan lemas.
  2. Menghindari asap rokok.
  3. Menghindari makanan atau minuman yang mengandung alkohol. Alkohol dapat menurunkan hormon oksitosin, yaitu hormon yang berperan di dalam produksi ASI.
  4. Mengurangi konsumsi makanan yang mengandung banyak bawang putih dan bumbu yang tajam karena dapat mempengaruhi bau ASI.
  5. Mengurangi konsumsi bawang putih, bawang merah, kubis, brokoli, kacang dan melon karena dapat menyebabkan kolik dan diare pada bayi.
  6. Sebaiknya memilih minuman yang tidak mengandung gula.
  7. Diet ketat tidak dianjurkan karena akan mempengaruhi kualitas ASI yang dihasilkan.

3. NUTRISI BAYI

Pemberian gizi yang tepat sangat penting, karena setahun pertama (usia 0-12 bulan) merupakan masa di mana anak mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang pesat. Gizi yang tepat berperan untuk mencapai pertumbuhan, perkembangan dan kesehatan yang optimal. Pada periode ini, sangat dianjurkan untuk selalu memantau pertumbuhan anak, sehingga jika ada masalah gizi dapat segera ditangani sebelum terbawa ke kehidupan selanjutnya.

SYARAT PEMBERIAN MAKANAN BAYI

  1. Memenuhi kecukupan energi dan semua zat gizi.
  2. Susunan hidangan gizinya harus seimbang.
  3. Bentuk dan porsi menyesuaikan daya terima bayi.
  4. Memperhatikan kebersihan dari persiapan makanan, peralatan makan, penyajian dan kebersihan lingkungan.

Makanan lumat: semua makanan yang disajikan dalam bentuk halus, seperti bubur susu.
Makanan lembek: makanan peralihan dari makanan lumat ke makanan biasa seperti nasi tim.

MAKANAN BAYI BERDASARKAN TINGKAT USIA

ASI 

  • Diberikan secara eksklusif pada usia 0-6 bulan, tidak disertai dengan makanan atau minuman lain termasuk air putih. Susu formula hanya diberikan pada kondisi khusus misalnya berat badan bayi rendah, ibu mengalami sakit penyakit tertentu sehingga tidak bisa menyusui.
  • ASI mengandung semua zat gizi yang dibutuhkan oleh bayi pada usia 0-6 bulan.
  • ASI yang diberikan secara eksklusif terbukti mampu membentuk sistem kekebalan tubuh bayi.
  • Sistem pencernaan dan kekebalan tubuh bayi belum terbentuk sempurna sehingga belum bisa mencerna makanan dan minuman selain ASI. Bayi yang mendapat makanan sebelum berusia 6 bulan berisiko terkena alergi, diare, sembelit, batuk pilek dan panas, dibandingkan dengan bayi yang hanya diberi ASI.

 

Makanan Pendamping ASI (MPASI)

  • MPASI merupakan makanan yang diberikan bersamaan dengan pemberian ASI sebagai makanan pendamping untuk melengkapi zat gizi yang kurang dari ASI. 
  • Diberikan saat bayi sudah berusia 6 bulan. Pada usia ini, sistem pencernaan bayi sudah relatif sempurna dan siap menerima MPASI.
  • Tujuan diberikan MPASI:
        1. melengkapi zat gizi yang kurang terdapat pada ASI,
        2. mengembangkan kemampuan bayi untuk menerima makanan dengan berbagai rasa dan tekstur,
        3. mengembangkan kemampuan bayi dalam mengunyah dan menelan. 
      • MPASI diberikan secara hati-hati, sedikit demi sedikit dari bentuk yang encer sampai ke bentuk yang lebih kental.
      • Urutan pemberian MPASI: buah – tepung tepungan – sayur – telur – daging.

      JENIS-JENIS MPASI

      1. Makanan Lumat/Halus (usia 6-7 bulan)
        • Contoh bahan makanan untuk membuat makanan lumat: 
          1. tepung beras atau tepung bebas gluten (contoh: maizena, hunkwe, tepung kacang hijau),
          2. buah yang dihaluskan (pisang, pepaya, jeruk, apel),
          3. sayur yang dihaluskan (wortel, tomat, brokoli).
        • Tepung, sari buah dan sayur lebih baik jika dicampur dengan ASI atau susu formula daripada air biasa.
        • Frekuensi pemberian makanan dan jumlah makanan ditingkatkan secara bertahap, dari 1 kali menjadi 2 sampai 3 kali sehari. 
        • Pertama kali bayi diperkenalkan dengan buah lumat, diberikan 2 sendok makan untuk 2x sehari. Pada 2 sampai 3 hari berturut-turut diberikan buah yang sama agar mengenal rasanya, setelah itu diperkenalkan dengan buah yang lain. Hal ini disarankan untuk mendorong penerimaan dan cita rasa yang baik.
        • Setelah bayi mengenal rasa buah, baru diberikan bubur susu. Setelah cukup mengenal rasa makanan, bayi dapat diberikan makanan secara bergantian, misalnya dalam 2x sehari diberikan buah lumat dan bubur susu.
        • Tingkatkan kekentalan makanan secara bertahap dengan mengurangi jumlah air yang ditambahkan. Pastikan bahwa tekstur MPASI tidak terlalu encer, jadi air yang digunakan tidak berlebihan agar zat gizinya tidak kurang.
        • Cara membuat makanan lumat: 
        • Tepung-tepungan 1-2 sdt dicampur dengan ASI atau susu formula.
        • Pisang, pepaya dilumatkan atau diblender sampai halus. Untuk apel dan jeruk diambil sarinya dan disingkirkan bijinya.
        • Wortel, tomat, brokoli dikukus dengan air mendidih sampai matang selama 5 menit, kemudian diblender (dikukus lebih baik daripada direbus, karena tidak banyak menghilangkan zat gizinya).
        • Hindari penggunaan garam dan gula untuk melatih bayi merasakan rasa alami dari makanan. Gula dan garam sebaiknya diberikan setelah bayi berusia 1 tahun. Bayi yang sudah diperkenalkan dengan garam dan gula terlalu dini akan cenderung menjadi picky-eater atau terlalu pilih-pilih makanan dan susah makan ketika beranjak ke masa anak-anak.

              2. Makanan Tim Campur (usia 8-9 bulan)

            • Tekstur makanan ditingkatkan menjadi bentuk makanan tumbuk, dicincang atau dicacah.Bahan
            • makanan yang diberikan semakin bervariasi, terdiri dari tepung-tepungan, lauk hewani, nabati, sayuran, buah.
            • Bayi mulai diperkenalkan dengan “finger foods”, di mana bayi mulai diajarkan memegang makanannya sendiri. Hal ini dapat melatih penerimaan terhadap tekstur makanan yang bermacam-macam. Bahan makanan yang dipilih tidak menyebabkan risiko tersedak dan dapat melatih pertumbuhan gigi seperti biskuit bayi, apel, wortel, pepaya.

                   3. Makanan Lembek (usia 9-12 bulan) 

                • Tekstur makanan dinaikkan menjadi semi-padat. Contoh: nasi tim, bubur tanpa disaring, irisan makanan lunak.
                • Pemberian makanan ditingkatkan menjadi 3-4 kali sehari, dengan snack 1-2 kali sehari.

                4. NUTRISI TODDLER (1-3 TAHUN)

                 

                Di usia ini, anak mulai mengeksplorasi lingkungan dan berusaha untuk mengontrol orang lain melalui perilakunya. Periode ini merupakan fase di mana anak mengalami perkembangan dan pertumbuhan intelektual. Anak memiliki kemampuan untuk mengunyah makanan dengan tekstur yang beragam, bahkan dapat mengambil dan memasukkan makanan sendiri ke mulut dengan menggunakan tangan.  

                photo by Kelly Sikkema on Unsplash

                PERILAKU MAKAN ANAK USIA TODDLER

                1. Anak mulai menunjukkan preferensi atau makanan yang menjadi kesukaan mereka, dan makanan yang tidak disukai.
                2. Anak bisa makan makanan yang mereka sukai dalam jangka waktu tertentu.
                3. Anak akan mudah diperkenalkan dengan makanan baru saat kondisi lapar atau ketika melihat anggota keluarga yang lain makan makanan tersebut.
                4. Anak akan melihat dan meniru pola dan perilaku makan anggota keluarganya yang lain. Contohnya: bila orangtuanya menyukai sayur, maka anak juga akan cenderung menyukai sayur karena mengikuti apa yang dimakan orang tuanya.
                5. Pada jangka waktu tertentu, anak mengalami penurunan nafsu makan dan mudah teralihkan oleh hal lain saat sedang makan. Hal ini wajar terjadi karena pada fase ini, pertumbuhan anak tidak terlalu pesat dibandingkan ketika masih bayi (slowing growth).

                TIPS PEMBERIAN MAKANAN

                1. Anak usia toddler disajikan makanan sesuai dengan porsi usianya, karena tidak mampu makan makanan dalam jumlah yang banyak sekaligus. Makanan selingan atau snack juga diberikan untuk memenuhi kebutuhan gizi anak.
                2. Tidak dianjurkan untuk memberikan snack kemasan yang terlalu manis atau terlalu asin. Makanan yang mengandung tinggi gula dan garam dapat meningkatkan ambang rasa pada lidah anak, sehingga anak tidak tertarik dengan makanan rumah yang seolah-olah menjadi terasa lebih “hambar”.
                3. Orang tua harus mengontrol porsi makanan utama dan makanan selingan. Porsi makanan selingan tidak lebih banyak dari makanan utama. Contoh snack untuk toddler: puding susu, biskuit khusus untuk anak.
                4. Pastikan makanan memenuhi gizi seimbang, mengandung karbohidrat, protein, lemak dan serat. Sayur dan buah diberikan setiap hari untuk memenuhi kebutuhan vitamin dan mineral, serta mencegah sembelit.
                5. Penuhi asupan cairan untuk mencegah dehidrasi.
                6. Anak mulai diajari untuk menggosok gigi, supaya gigi tetap bersih dan mencegah karies gigi.

                5. NUTRISI PRA SEKOLAH (USIA 3-5 TAHUN)

                Pada periode ini, terjadi fase percepatan pertumbuhan (growth-spurt) sehingga nafsu makan anak akan cenderung meningkat. Anak mulai memiliki sikap ‘ingin menyenangkan’ orang tua atau pengasuhnya, oleh sebab itu pada fase ini adalah waktu yang baik untuk melibatkan anak di dalam mempersiapkan makanan mereka. Anak mulai diberikan kesempatan untuk memilih makanan atau membantu membersihkan bahan makanan saat orang tua memasak.   

                PERILAKU MAKAN ANAK USIA PRA SEKOLAH

                • Mulai mampu mengatur sendiri porsi makannya. Asupan makan bisa naik turun tergantung makanan yang dimakan. Oleh sebab itu orang tua kurang disarankan terlalu memaksa anak untuk selalu menghabiskan makanannya.
                • Meniru perilaku makan orang dewasa atau teman sebayanya. Orang tua atau pengasuh harus menjadi role model makan makanan sehat.
                • Cenderung makan makanan yang sama, yang mereka anggap enak, untuk beberapa waktu tertentu.
                • Mulai tertarik dengan iklan dan tampilan makanan. Orang tua atau pengasuh harus mampu menyajikan tampilan makanan yang menarik untuk anak.
                • Memilih makanan yang sudah familiar bagi mereka. Lingkungan mempengaruhi preferensi atau pemilihan makanan. Misalnya teman sebayanya atau orang tua suka makan tempe, maka hal itu pun akan diikuti oleh anak. 
                • Kesukaan atau ketidaksukaan anak terhadap makanan tertentu dipengaruhi oleh perasaan atau peristiwa di masa lalu. Contohnya anak menyukai kue karena kue tersebut merupakan pemberian temannya saat ulang tahun. Demikian sebaliknya, anak bisa menjadi trauma dan tidak suka makan makanan tertentu karena orangtua pernah memarahinya saat anak tidak menghabiskan makanan tersebut.  
                • Cenderung menolak makanan baru, namun bisa diatasi dengan memperkenalkan makanan baru tersebut secara berulang-ulang sampai anak menerimanya. 

                               

                                        Apakah aku terkena sindrom FoMO? Bagaimana cara mengatasinya?

                                        ArtikelBlog Tuesday, 2 November 2021

                                        Apakah aku terkena sindrom FoMO? Bagaimana cara mengatasinya?
                                        Ditulis oleh: Agustin Andhika Putri
                                        Editor: Lisa Sunaryo Putri

                                        Photo by Vladimir Fedotov on Unsplash

                                        Media sosial tidak dapat dilepaskan dari kehidupan individu khususnya remaja. Media sosial seakan telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam hidupnya. Perkembangan media sosial yang semakin cepat membuat penggunanya tidak ingin tertinggal mengenai informasi baru. Rasa penasaran yang tinggi membuat remaja berusaha untuk selalu up to date. Biasanya, remaja akan merasa cemas ketika dirinya ketinggalan berita dan merasa gelisah bila tidak segera terhubung atau mengikuti tren di dunia maya. 

                                        Rasa takut tertinggal oleh perkembangan informasi di media sosial sering disebut dengan Fear of Missing Out atau biasa disingkat menjadi FoMO. Sindrom FoMO dapat menyebabkan remaja lebih banyak menghabiskan waktunya di media sosial. Hal tersebut terjadi karena remaja merasa takut tertinggal dengan perkembangan jejaring sosial, takut tertinggal dengan informasi mengenai orang lain, dan ketakutan terhadap pengucilan sosial (1). FoMO juga didefinisikan sebagai perasaan gelisah dan takut tertinggal apabila teman-teman melakukan atau merasakan sesuatu yang lebih baik atau lebih menyenangkan daripada apa yang sedang ia lakukan atau miliki pada saat ini (2). FoMO merupakan sindrom kecemasan sosial yang ditandai dengan keinginan untuk terus terhubung dengan apa yang sedang dilakukan oleh orang lain. 

                                        Apakah aku termasuk orang yang memiliki FoMO? Berikut adalah ciri-ciri FoMO, yaitu: 

                                        • Beranggapan orang lain lebih nyaman dan menikmati hidupnya daripada yang kita alami.
                                        • Selalu merasa ketinggalan tren dan tidak mampu melakukan seperti yang dilakukan oleh orang lain.
                                        • Merasa kehilangan sesuatu yang dirasa penting dan kehilangan tersebut membuat hidup selalu merasa kurang. 

                                        Pikiran dan anggapan tersebut dapat muncul sesaat dan setelah melihat unggahan orang lain di media sosial.

                                        Perasaan Fear of Missing Out dapat membahayakan individu karena selalu berusaha mencari informasi terbaru dan keinginan untuk selalu terlibat dalam perkembangan media sosial. Sindrom FoMO memiliki potensi untuk membahayakan diri sendiri dan orang lain, misalnya karena ingin selalu mengetahui informasi terbaru, individu tetap berselancar di dunia maya saat sedang mengemudi atau menghadiri rapat penting. Individu cenderung menggunakan media sosial secara berlebihan, berusaha menanggapi lelucon di grup obrolan secara berlebihan, dan mengikuti lifestyle orang lain di media sosial walaupun tidak sesuai dengan kepribadiannya. Oleh sebab itu, FoMO juga dikaitkan dengan individu yang memiliki autonomy yang rendah. Artinya, individu cenderung tidak memiliki kemampuan untuk memilih sesuatu berdasarkan dirinya sendiri. 

                                        Hasil survei yang dilakukan oleh Organisasi Profesi Psikologi Australia (Australian Psychological Society) atau APS menunjukkan sebanyak 50% remaja memiliki prevalensi FoMO dan 25% pada kelompok dewasa ¹. Sedangkan, survei lembaga independen kesehatan masyarakat di Inggris Royal Society of Public Health atau RSPH menemukan bahwa sebanyak 40% pengguna media sosial mengidap gangguan FoMO². Di Indonesia sendiri, beberapa fenomena FoMO memiliki dampak yang tragis. Salah satu portal berita online pernah mengangkat kasus tentang remaja berusia 15 tahun yang tewas usai melakukan selfie dari lantai lima sebuah gedung kosong di Jakarta Utara³. Perilaku yang mengikuti tren tersebut dapat mengakibatkan dampak buruk hingga menghilangkan nyawa seseorang. 

                                        Contoh kasus lain terjadi di tahun 2018. Saat itu seluruh dunia dihebohkan dengan Kiki Challenge yang pada akhirnya pihak berwajib mengeluarkan larangan untuk melakukan tarian tersebut. Kiki Challenge adalah sebuah tantangan menari yang dikemas dalam bentuk video dengan diiringi lagu Drake-In My Feelings. Sekilas hal tersebut merupakan sesuatu yang normal dilakukan. Akan tetapi, tantangan ini mengharuskan individu untuk melompat keluar dan menari di sebelah pintu mobilnya yang terbuka sedangkan mobil tersebut masih dalam kondisi berjalan. Rekan satunya di dalam mobil bertugas untuk merekam aktivitas tersebut. Hal ini tentu membuat polisi geram karena dapat membahayakan nyawa dan mengganggu pengguna jalan yang lain4. 

                                        Individu yang memiliki gangguan FoMO yang tinggi cenderung mengalami perasaan cemas, harga diri yang rendah, dan tidak berdaya. Selain itu, individu yang mengalami perasaan FoMO yang intens, sering dikaitkan dengan peningkatan efek negatif, seperti peningkatan kelelahan, stres yang lebih besar, lebih banyak masalah tidur dan gejala fisik, sementara tidak terkait dengan afek positif dan vitalitas (3). Hal tersebut dapat terjadi karena individu yang melihat konten orang lain secara emosional akan percaya bahwa orang lain lebih bahagia, sukses, dan lebih positif secara emosional dibandingkan dengan hidup mereka sendiri. 

                                        Oleh sebab itu, Martha Beck seorang sosiolog yang pernah didiagnosis mengalami sindrom Fear of Missing Out, memberikan beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengurangi FoMO5:

                                        1. Sadarilah bahwa FoMO didasarkan pada sebuah kebohongan, seseorang yang mem-posting aktivitasnya di situs media sosial telah memilih bagian mana dari aktivitas tersebut yang akan dibagikan. 
                                        2. Lawan FoMO dengan mengubah pola pikir, seseorang dapat memakai diksi yang berbeda. Misalnya FoMO yang dimaksud adalah ‘Feel okay more often’. 
                                        3. Mengendalikan diri atau memutuskan untuk berhenti dan mengurangi waktu penggunaan media sosial. Sadari bahwa berinteraksi secara langsung lebih menyenangkan daripada melalui media sosial. 

                                        Selain itu, terdapat pula beberapa penelitian yang memberikan cara bagaimana mengatasi FoMo antara lain (1,3,4,5) :

                                        1. Terapi kognitif.
                                        2. Mengisi waktu luang dengan kegiatan yang lebih bermanfaat, seperti bergabung dengan kegiatan sosial daripada menggunakan media sosial secara intensif.
                                        3. Penjelasan penggunaan smartphone dan literasi media sosial pada masa remaja.
                                        4. Meningkatkan hubungan keluarga dan teman sebaya untuk meningkatkan kesehatan mental dan kesadaran remaja.

                                        Dari beberapa penjelasan di atas, semoga teman-teman menjadi bisa mengetahui apakah saat ini sedang mengalami FoMO. Jika iya, semangat untuk melawan dan fokus kepada pengembangan diri masing-masing. Yuk, ubah Fear of Missing Out-mu menjadi Feel Okay More Often. 


                                        1https://www.psychology.org.au/news/media_releases/8Nov2015-stress/
                                        2 https://www.rsph.org.uk/static/uploaded/d125b27c-0b62-41c5-a2c0155a8887cd01.pdf
                                        3https://news.detik.com/berita/d-3204210/asyik-selfie-siswa-smp-tewas-terjatuh-dari-lantai-5-gedung-kosong-di-koja
                                        4https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20180724150946-255-316593/bahaya-di-balik-viralnya-keke-challenge
                                        5https://www.huffpost.com/entry/fomo-fear-of-missing-out_n_3685195

                                        Daftar Pustaka

                                        1. Coskun, S. (2019). Investigation of problematic mobile phones use and fear of missing out (fomo) level in adolescents. Community Mental Health Journal, 55, 1004–1014
                                        2. Akbar, R. S., Aulya, A., Apsari, A., & Sofia, L. (2018). Ketakutan akan kehilangan momen (fomo) pada remaja kota samarinda. Psikostudia: Jurnal Psikologi, 7(2), 38–47.
                                        3. Milyavskaya, M., Saffran, M., Hope, N., & Koestner, R. (2018). Fear of missing out: Prevalence, dynamics, and consequences of experiencing FoMO. Motivation and Emotion, 42(5), 725–737. https://doi.org/10.1007/s11031-018-9683-5.
                                        4. Dossey, L. (2014). FoMO, digital dementia, and our dangerous experiment. Explore: The Journal of Science and Healing, 10(2), 69–73. https://doi.org/10.1016/j.explore.2013.12.008.
                                        5. Akbay, S. E. (2019). Smartphone addiction, fear of missing out, and perceived competence as predictors of social media addiction of adolescents. European Journal of Educational Research, 8(2), 559–566. https://doi.org/10.12973/eu-jer.8.2.559.

                                        Short News: Teenager-Related Cyberbullying Case in Indonesia

                                        ArtikelArtikelBlog Thursday, 23 September 2021

                                        Kurnia Yohana Yulianti, S.Psi., M.Sc. dan Acintya Ratna Priwati, S.Psi., M.A. yang merupakan peneliti dari Center for Life-Span Development (CLSD) berkolaborasi dengan Center for Digital Society (CfDS) melakukan riset berjudul: Fenomena Cyberbullying pada Remaja di Indonesia (Teenager-Related Cyberbullying Case in Indonesia) yang berlangsung dari tahun 2020 hingga pertengahan tahun 2021.

                                        Penelitian ini dilatarbelakangi oleh fenomena penggunaan media sosial yang kini telah menjadi bagian integral kehidupan sehari-hari terlebih pada generasi muda. Bagi mereka, media sosial menjadi sarana yang tepat untuk mengekspresikan perasaan, bersosialisasi dengan teman sebaya, dan mengeksplorasi identitas pribadi tanpa harus melakukan interaksi tatap muka. Namun, terdapat bahaya cyberbullying yang mengintai anak-anak muda di media sosial. Pada tahun 2016, KPAI mencatat 904 kasus bullying online terhadap anak di bawah umur. Selain itu, sebuah survei pada 495 murid SMA di Yogyakarta juga menemukan bahwa sebanyak 80% responden telah mengalami cyber victimization (Safaria dkk., 2016). 

                                        Cyberbullying yang didefinisikan sebagai kerugian yang disengaja dan berulang yang ditimbulkan melalui komputer, ponsel, dan perangkat elektronik lainnya (Patchin & HInduja, 2015) berusaha diteliti melalui perspektif psikologis dan sosiologis dalam penelitian ini. Pada perspektif psikologis, digunakan Theory of Planned Behavior yang telah banyak dilibatkan dalam memahami isu cyberbullying pada remaja. Di samping itu, peneliti juga menilik dua faktor normatif pribadi (extended) yang dapat mempengaruhi intensi perilaku individu serta proses pengambilan keputusan, norma-norma moral, serta anticipated regret. Melalui perspektif sosiologis, penelitian ini berusaha menjelaskan bagaimana ketidakseimbangan kekuasaan (power imbalances) dapat berkontribusi dalam berkembangnya praktik cyberbullying di antara remaja. Dengan begitu, penelitian ini berusaha meneliti peran media sosial dalam fenomena cyberbullying pada remaja di Indonesia.

                                        Disesuaikan dengan tujuan penelitian, peneliti menggunakan metode pendekatan campuran. Pengumpulan data dilakukan melalui survei, focus group discussion (FGD), dan wawancara. Survei nasional dilakukan pada 34 provinsi di Indonesia untuk mengumpulkan data kuantitatif mengenai perspektif dan pengalaman remaja Indonesia tentang cyberbullying. Sampel dipilih berdasarkan stratified random sampling untuk memastikan representasi remaja di seluruh Indonesia. Sesi wawancara melibatkan 6 pasangan orangtua dari remaja berusia 13-18 tahun. Sementara itu, sesi FGD melibatkan partisipan dari SMA 1 Bantul, SMP 2 Lendah, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kementerian Pendidikan, Komisi Perlindungan Anak, Clerry Cleffy Institute, dan SEJIWA Foundation. 

                                        Berdasarkan data yang didapat, sejumlah 3077 partisipan memenuhi kriteria dan merespon kuesioner. Secara keseluruhan, 1182 partisipan atau 38.41% mengaku sebagai cyber-offender dan 45.35% merupakan cyber-victims. Pelaku siber menggunakan tiga platform media sosial terbanyak masing-masing di WhatsApp, Instagram, dan Facebook. Pelaku melakukan  cyberbullying dalam bentuk perilaku merendahkan (menyebarkan gosip dan rumor), dan mengucilkan (mengisolasi orang lain dari grup yang diikuti di platform online). Dengan membandingkan tingkat pendidikan peserta, ditemukan bahwa lebih banyak siswa sekolah menengah yang terlibat dalam pencemaran nama baik dan pengucilan. Data tersebut juga menunjukkan bahwa partisipan pria lebih banyak terlibat dalam cyberbullying melalui pelecehan dan pengucilan dan partisipan perempuan lebih banyak terlibat dalam perilaku pencemaran nama baik. Sedangkan secara kualitatif, survei menunjukkan bahwa cyberbullying merupakan fenomena umum di kalangan remaja Indonesia. Tidak hanya rentan menjadi korban, remaja juga bisa menjadi pelaku cyberbullying.

                                        Adapun terkait strategi dan intervensi, berdasarkan penelitian kami, diperoleh pendekatan alternatif untuk mengatasi cyberbullying di kalangan anak muda Indonesia,  yaitu program anti-cyberbullying dengan menggunakan TPB sebagai kerangka teoritisnya. Program ini berfokus pada determinan niat dan perilaku cyberbullying yang terkait dengan faktor internal (yaitu sikap, keyakinan, dan kontrol perilaku yang dirasakan) dan faktor eksternal (yaitu bagaimana orang lain menanggapi perilaku tersebut).

                                        Secara praktis, kerangka TPB dapat diimplementasikan melalui strategi berikut:

                                        • Memberikan dan mensosialisasikan informasi yang relevan tentang pengertian cyberbullying sesuai konteks Indonesia. 
                                        • Memberikan pengetahuan dan kesadaran tentang akibat negatif dari perilaku terkait.
                                        • Pemberdayaan dan pelatihan bagi orang tua dan guru sekolah atau konselor tentang pelaksanaan program TPB.
                                        • Memberikan koordinasi yang lebih komprehensif antar pemangku kepentingan untuk memperkuat sistem perlindungan di ruang online, terutama untuk anak-anak. 
                                        • Meningkatkan kerja kolaboratif antar pemangku kepentingan, baik di tingkat nasional dan lokal, tentang tindakan pencegahan.

                                        (sumber foto: RODNAE Productions from Pexels)


                                        Penelitian ini merupakan salah satu upaya paling awal dan komprehensif untuk memahami cyberbullying remaja di Indonesia. Oleh karena itu, penelitian ini berkontribusi untuk membangun pengetahuan tentang fenomena cyberbullying remaja di tanah air. Hal ini dilakukan dengan menjangkau sejumlah besar responden pelajar remaja di seluruh penjuru  Indonesia. Selanjutnya, penelitian ini secara ekstensif menjelaskan cyberbullying remaja dengan menganalisis faktor psikologis dan sosiologis. Para peneliti menganalisis Perspektif Psikologis (TPB) dan menyelidiki dua faktor normatif pribadi yang diperluas yang mempengaruhi niat perilaku individu dan proses pengambilan keputusan, norma moral, dan penyesalan yang diantisipasi. Dalam arti yang lebih luas di mana lingkungan sosiologis menjadi penentu aktif fenomena tersebut, peneliti juga menemukan bahwa ketidakseimbangan kekuatan dapat berkontribusi pada menjamurnya praktik cyberbullying di kalangan remaja.

                                        Masih banyak peluang untuk menganalisis data-data tersebut secara lebih rinci. Sebagai contoh, data tersebut dapat digali untuk mengkonstruksi perspektif dan definisi masyarakat Indonesia tentang cyberbullying, seperti definisi cyberbullying dalam bahasa Indonesia masih belum jelas. Selain itu, peneliti menemukan bahwa ada beberapa definisi cyberbullying yang tidak sesuai dengan yang diidentifikasi dalam penelitian yang ada, dibandingkan dengan apa yang ditemukan di lapangan. Dengan demikian, beberapa tindakan dapat diidentifikasi sebagai cyberbullying dalam literatur, sementara tidak mungkin terjadi dalam konteks Indonesia, dan sebaliknya.

                                        Studi ini, mungkin, dapat menganalisis secara intensif mengapa beberapa daerah memiliki kasus cyberbullying yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang lain. Selain itu, penelitian ini juga dapat mencakup mengapa kasus cyberbullying di beberapa platform ditemukan lebih tinggi daripada yang lain. Terakhir, hasil penelitian ini dapat dianalisis lebih lanjut untuk mengidentifikasi rekomendasi kebijakan. 

                                        Sumber: #35 CfDS Digitimes – Teenager Related Cyberbullying Case in Indonesia ugm.id/cfdsdigitimes

                                        (SRP & SNH/CLSD)

                                        Module 2: People with Disability at the Intersection

                                        ArtikelArtikel Liputan KegiatanBlogEventSummer Course Wednesday, 8 September 2021

                                        Liputan Kegiatan Summer Course Module 2: People with Disability at the Intersection

                                        Berkolaborasi dengan ahli studi disabilitas Indonesia dan internasional, summer course bertema International Online Summer Course on Disability and Lifespan Development: Indonesia and Global Perspectives bertujuan untuk memfasilitasi pembelajaran kritis dalam menganalisis dan memahami hambatan yang dihadapi oleh penyandang disabilitas, serta mendorong pertukaran ilmu pengetahuan, diskusi, sekaligus membangun koneksi antara ilmuwan muda dan ahli-ahli berpengalaman di ranah penelitian disabilitas yang diharapkan mampu menginspirasi penelitian baru dan implementasinya di dunia nyata. Kursus musim panas ini merupakan summer course pertama yang diselenggarakan oleh Center for Life-Span Development (CLSD), Fakultas Psikologi, Universitas Gadjah Mada. 

                                        Summer course yang merupakan buah kerja sama antara CLSD, Fakultas Psikologi, dan OIA (Office of International Affairs) UGM ini turut mengundang 16 pembicara internasional yang berasal dari Malaysia, Inggris, Australia, Selandia Baru, Belanda, dan Amerika Serikat. Selain itu, kegiatan summer course juga diikuti oleh kurang lebih 45 mahasiswa dan profesional tingkat internasional yang berasal dari berbagai penjuru dunia, seperti Afrika Barat, Australia, Pakistan, Nepal, Tanzania, Filipina, Ghana, Bangladesh, Malaysia, Iran, Romania, Nigeria, Afrika Selatan, serta Amerika Serikat.

                                        Lecture #5 yang merupakan sesi pertama pada modul kedua Summer Course bertajuk Women with Disabilities in Muslim Societies, diselenggarakan pada hari Selasa, 17 Agustus 2021 pada pukul 17.00 – 19.00 WIB. Dimoderatori oleh Dr. Wuri Handayani, kuliah ini disampaikan oleh dua narasumber yaitu  Dr. Dina Afrianty (La Trobe University, Australia) dan Dr. Arina Hayati (Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Indonesia). Kuliah pertama-tama dibuka oleh Dr. Arina Hayati yang menceritakan latar belakang kehidupan serta perjalanan akademiknya sebagai penyandang polio, yang kemudian dilanjutkan oleh Dr. Dina Afrianty yang memaparkan topik utama perkuliahan seputar penelitian disabilitas, interseksionalitas, disabilitas dan Islam, serta perempuan dengan disabilitas dalam masyarakat Muslim. Berdasarkan penjelasan Dr. Afrianty, disabilitas dan agama merupakan salah satu bidang penelitian yang sedang berkembang. Mempelajari ajaran agama tentang disabilitas membantu kita memahami perlakuan dan persepsi masyarakat tentang disabilitas, bagaimana disabilitas digambarkan dalam tradisi dan yurisprudensi suatu agama (di mana dalam kuliah ini adalah Islam), serta memahami terminologi disabilitas dalam sumber-sumber kitab suci dan tradisi dalam Islam. 

                                        Adapun Lecture #6 yang dilaksanakan pada hari Kamis, 19 Agustus 2021 pada pukul 17.00 – 19.– WIB dengan penyampaian materi oleh Herbert Klein (European Society for Mental Health and Deafness, UK) dan Laura Lesmana Wijaya Ketua Pusbisindo (Sign Language Center Indonesia) menjelaskan tentang kesehatan mental kelompok tuli di Indonesia. Merupakan seorang penasihat independen terkemuka dengan jam terbang dan pengalaman luas di bidang mental health services mulai dari fasilitator komunikasi, deaf advisor, dosen tamu, trainer, konselor, hingga deaf therapist, Herbert Klein yang berasal dari Inggris pada kuliah ini menyajikan perbandingan pelayanan kesehatan mental untuk orang-orang tuli di sana dengan yang ada di Indonesia sekaligus memberi gambaran mengenai bagaimana langkah-langkah yang bisa ditempuh selanjutnya. Adapun Laura Lesmana Wijaya yang mengetuai Pusbisindo Indonesia juga aktif sebagai seorang penggiat kampanye hak-hak orang tuli dan menempuh pendidikan di Universitas Hongkong di bidang Linguistik Bahasa Isyarat. Bersama-sama, Laura dan Herbert bekerja sama dengan pemerintah Indonesia pada tahun 2015 membuat perencanaan dalam jangka waktu lima tahun berupa suatu organisasi yang berfokus memperjuangkan hak tuli (seperti akses bahasa Indonesia melalui teks, akses bahasa isyarat, akses kesetaraan dalam pekerjaan, akses kesehatan, akses pendidikan, dan sebagainya) bernama Gerakan untuk Kesejahteraan Tunarungu Indonesia (Indonesian Association for the Welfare of the Deaf). Kuliah ini pun turut dihadiri oleh Surya Sahetapy, yaitu juru bahasa isyarat, aktor, dan aktivis Tuli terkenal di Indonesia.

                                        Summer course pun berlanjut ke sesi ketujuh dengan tema People with Disabilities and Socioeconomic yang dibawakan oleh Dr. Wuri Handayani (Universitas Gadjah Mada, Indonesia) pada hari Selasa, 24 Agustus 2021 pada pukul 17.00 – 19.00 WIB. Seorang dosen dan peneliti di bidang Ekonomi yang juga seorang penyandang disabilitas, Dr. Wuri Handayani menjelaskan mengenai konsep status sosioekonomi secara umum dan dari sudut pandang pandemi serta membahas lingkaran setan yang ada antara disabilitas dan kemiskinan baik dari perspektif internasional maupun Indonesia. Dr. Handayani juga menjelaskan tentang implikasi-implikasi yang diakibatkan oleh ketidakakuratan data pada penyandang disabilitas, regulasi dan permasalahan yang dihadapi dalam membangun edukasi inklusif, partisipasi penyandang disabilitas sebagai tenaga kerja serta perbedaan upah, dan cara memutus vicious cycle disabilitas dan kemiskinan di Indonesia.

                                        Sesi kedelapan yang sekaligus menandakan berakhirnya modul kedua dilaksanakan pada Kamis, 26 Agustus 2021 pukul 16.00 – 18.00 WIB dan dibawakan oleh Dr. Sutarsa Nyoman (Australian National University, Australia). Dr. Sutarsa Nyoman memaparkan kuliah dengan tema Biomedical Power in Shaping Body with Illness and Disability sebelum membagi partisipan ke dalam breakout room untuk mendiskusikan sebuah studi kasus terkait materi yang disampaikan. Pada kuliahnya, Dr. Sutarsa Nyoman mengajak peserta untuk mengidentifikasi kelebihan dan keterbatasan dari model biomedis dan sosial pada diskursus disabilitas. Beliau juga menjelaskan bagaimana cara mengaplikasikan kedua model tersebut dalam memandang masalah serta merencanakan solusi untuk orang-orang yang hidup dengan different abilities, sebelum mendorong peserta untuk berdiskusi mengenai pentingnya interseksionalitas dalam diskursus disabilitas.

                                        (SRP & SNH/CLSD)

                                        Module 1: Disability and Intersectionality

                                        ArtikelArtikel Liputan KegiatanBlogEventSummer Course Saturday, 21 August 2021

                                        Liputan Kegiatan Summer Course Module 1: Disability and Intersectionality

                                        Pada pertengahan tahun 2021, Center for Life-Span Development (CLSD) untuk pertama kalinya menyelenggarakan kegiatan kursus musim panas atau summer course bertajuk International Online Summer Course on Disability and Lifespan Development: Indonesia and Global Perspectives. Berkolaborasi dengan ahli studi disabilitas Indonesia dan dunia, summer course ini berperan sebagai media untuk memfasilitasi pembelajaran kritis dalam menganalisis dan memahami hambatan-hambatan yang saling berkaitan satu sama lain yang dihadapi oleh penyandang disabilitas, serta mendorong pertukaran ilmu pengetahuan, diskusi, sekaligus membangun koneksi antara ilmuwan muda dan ahli-ahli berpengalaman di ranah penelitian disabilitas yang diharapkan dapat menginspirasi penelitian-penelitian baru dan implementasinya di dunia nyata. 

                                        Kegiatan yang merupakan buah kerja sama antara CLSD, Fakultas Psikologi, dan OIA (Office of International Affairs) UGM ini turut mengundang 16 pembicara internasional dan 5 pembicara nasional dengan latar belakang serta bidang studi yang beragam dari berbagai belahan dunia, di antaranya Malaysia, United Kingdom, Australia, Netherlands, New Zealand, dan United States of America. Masing-masing ahli membawakan topik yang komprehensif, spesifik, dan mendalam dalam rangka membedah ranah disabilitas dan rentang perkembangan manusia yang ditilik dari bermacam perspektif. 

                                        Summer course ini diikuti oleh 45 mahasiswa dan profesional internasional yang berasal dari West Africa, Australia, Pakistan, Nepal, Tanzania, Philippines, Ghana, Netherlands, Bangladesh, Malaysia, Iran, Romania, Nigeria, South Africa, dan United States of America, serta 65 mahasiswa dan profesional nasional dari berbagai institusi di Indonesia. Partisipan dari kursus musim panas ini terbagi menjadi tiga kategori yaitu peserta yang mengikuti partisipasi penuh (Full Participation), kehadiran penuh (Full Attendance), serta sesi individu (Individual Session). Ke depannya, Summer Course yang diselenggarakan ini diharapkan dapat membantu peserta dalam:

                                        1. Memahami dan mengidentifikasi secara kritis konsep disabilitas yang berkembang serta persimpangan antara faktor-faktor kontekstual yang membatasi partisipasi penyandang disabilitas, baik secara teoretis maupun dalam praktek.
                                        2. Memahami pendekatan metodologis yang berbeda-beda untuk melibatkan penyandang disabilitas dalam knowledge production dan menganalisis serta menjelaskan faktor-faktor faktual yang menjadi penghalang.
                                        3. Membangun jaringan dengan ahli-ahli berpengalaman di bidang studi disabilitas serta terlibat dalam percakapan atau diskusi yang mendukung perjalanan akademik.
                                        4. Membentuk proses belajar kolaboratif dan kerja sama dalam latar internasional, multidisipliner, dan multikultural.
                                        5. Mengembangkan dan mempresentasikan ide penelitian dalam bahasa saintifik serta memberi masukan terhadap sesama peserta dengan sikap kritis dan apresiatif.

                                        Hari pertama Summer Course yang diawali pada tanggal 3 Agustus 2021, dipandu oleh MC Zahra Fadilah Syamil serta dibuka secara resmi oleh Dekan Fakultas Psikologi UGM Prof. Dr. Faturochman, M.A. Selanjutnya, Elga Andriana, S.Psi., M.Ed., Ph.D selaku Kepala Center for Life-Span Development (CLSD) dan moderator pada pertemuan hari pertama, memaparkan secara keseluruhan tentang kegiatan Summer Course tersebut. 

                                        Kegiatan beralih ke acara utama yaitu keynote lecture oleh Profesor Dan Goodley dari University of Sheffield, United Kingdom, yang menandakan dimulainya modul pertama. Membawakan topik Disability and Other Human Questions, Prof. Goodley dengan gagasan utama “Siapakah yang Patut Menjadi Manusia” mengajak partisipan untuk merenungkan ulang seperti apakah humanisme yang sebenarnya dan juga mengingatkan akan fakta bahwa betapa orang-orang dengan disabilitas telah sangat terdampak secara negatif dalam jumlah yang tak seimbang terutama di kondisi pandemi seperti sekarang ini. Mulai dari dikecewakan layanan kesehatan, mengalami segregasi sepanjang lokatara, hingga semakin berisiko untuk diasingkan dan diabaikan. Beliau juga menyampaikan bahwa, bahkan pada 2021, masih berlaku sebuah kenyataan dan perasaan di mana hanya beberapa orang yang “diperbolehkan” menjadi manusia. Oleh karena itu, kita semua berkewajiban untuk menemukan cara baru yang inklusif dan inovatif untuk menghidupkan kembali hubungan manusiawi satu sama lain. Prof Goodley membawa partisipan pada konklusi bahwa disabilitas adalah salah satu fenomena yang menghidupkan kembali pemahaman kita tentang apa artinya menjadi manusia, dan kita, terlebih lagi di masa-masa sulit seperti ini, perlu untuk menemukan kembali rasa kemanusiaan kita bersama.

                                        Adapun sesi kedua dilaksanakan pada 5 Agustus 2021 dengan penyampaian materi oleh Dr. Sheelagh Daniels-Mayes, dosen dan peneliti dari The University of Sydney, Australia yang bertema Disability and Intersectionality. Seorang akademisi dengan visual impairment dan pengalaman di bidang disabilitas serta indigenous studies, Dr. Daniels-Mayes menjelaskan tentang ​​definisi positionality dan identitas, mendefinisikan interseksionalitas dan bagaimana menggunakannya sebagai alat untuk mengubah status quo, seperti apa diskriminasi struktural dan sistemik, serta pentingnya lived experience dan rasa kepemilikan. Selain itu, Dr. Daniels-Mayes juga mengajak partisipan untuk berefleksi terkait siapa-siapa saja yang selama ini masih tertinggal dalam latar pekerjaan, komunitas, ruang kelas, dan/atau organisasi hingga sekarang, identitas apa saja yang belum diperhitungkan atau dilibatkan dalam proyek, kampanye, dan kegiatan, serta bagaimana cara kita mengikutsertakan mereka.

                                        Disebabkan adanya penundaan pada sesi ketiga modul pertama, summer course pun berlanjut ke sesi keempat pada 12 Agustus 2021 yang dibawakan oleh Profesor Katrina Scior dari University College London, United Kingdom, dengan topik Stereotypes, Prejudice and Discrimination Faced by People with Intellectual Disabilities. Mengajar dari sebuah pulau kecil bernama Shetland Islands yang berlokasi di tengah-tengah Skotlandia dan Norwegia, Prof. Scior mulai mendeskripsikan stereotip, prasangka, diskriminasi, serta definisi dari disabilitas intelektual. Setelah menjelaskan hubungan dan dampak stigma terhadap disabilitas intelektual, Prof. Scior berlanjut memaparkan apa saja intervensi-intervensi anti-stigma yang dapat dilakukan di ranah disabilitas intelektual yang diharapkan juga mampu diaplikasikan pada negara-negara berpenghasilan rendah yang pada kenyataannya masih sangat kekurangan terhadap kegiatan penelitian berkelanjutan terlepas dari data statistik yang menunjukkan lebih tingginya penyintas disabilitas. Selain ceramah, Prof. Scior juga meminta partisipan untuk berdiskusi mengenai pengalaman masing-masing terkait topik dalam kelompok-kelompok kecil di Break Out Room agar partisipan bisa saling berpendapat dengan lebih nyaman satu sama lain. Kuliah sesi keempat ini pun sekaligus menandakan berakhirnya modul pertama: Disability and Intersectionality.

                                        (SRP & SNH/CLSD)

                                        Liputan Kegiatan: Kursus Intensif Perkembangan Mutakhir Penelitian Bidang Psikologi Perkembangan

                                        ArtikelArtikel Liputan KegiatanEvent Wednesday, 5 May 2021

                                        Pada hari Rabu 28 April 2021 hingga Jumat 30 April 2021, Center for Life-Span Development (CLSD) berkolaborasi dengan Program Studi Doktor Ilmu Psikologi, Fakultas Psikologi, Universitas Gadjah Mada menyelenggarakan Kursus Intensif bertajuk “Perkembangan Mutakhir Penelitian Bidang Psikologi Perkembangan” yang berlangsung selama tiga hari dan terbagi ke dalam enam sesi. Acara ini dipandu oleh dua orang MC/Moderator yaitu Immatulfathina Purifiedriyaningrum, S.Psi di hari pertama, serta Desnitariang Zagoto, S.Psi di hari kedua dan ketiga. Peserta terdiri dari mahasiswa S3 Fakultas Psikologi UGM, Research Assistant dan Research Intern CLSD, dan juga kalangan umum yang meliputi dosen, peneliti, akademisi, hingga praktisi pendidikan dari seluruh Indonesia.

                                        Hari Pertama

                                        Hari pertama (Rabu, 28 April 2021) diawali dengan sambutan dari Kepala CLSD yaitu Elga Andriana, M.Ed., Ph.D. Selanjutnya, Rahmat Hidayat, M.Sc., Ph.D selaku Kepala Program Studi S3 turut menyampaikan sambutannya dan secara resmi membuka acara ini. Pasca sambutan, kegiatan beralih menuju penyampaian materi sesi pertama oleh Dr. Maria Goretti Adiyanti, yang menyampaikan keynote speech dengan topik “Memahami Life-Span Development dan Signifikansi Penelitian Perkembangan dalam Beragam Konteks”. Pada sesi ini, Maria membagi pembahasan rentang perkembangan manusia ke dalam dua topik yaitu perspektif dan penelitian. Beliau memaparkan tiga isu dasar dalam Life-Span Development yaitu kondisi individu, perbedaan individu, serta konsep genetik dan lingkungan sebelum memasuki pembahasan macam orientasi, teori, pendekatan, signifikansi, serta arah penelitian psikologi perkembangan. Lebih lanjut, beliau juga menjelaskan jenis-jenis desain penelitian serta contoh dan juga isu etika yang terlibat di dalamnya. Sesi pertama ini dimulai dari pukul 08.00 WIB hingga pukul 10.00 WIB yang ditutup dengan sesi diskusi dan tanya jawab yang interaktif. 

                                        Kemudian, sesi kedua dilanjutkan pada pukul 10.00 WIB hingga pukul 12.00 WIB dengan topik “Neural Substrate of the Semantic Fluency and Overall Cognitive Development in Preschool Children”, disampaikan oleh Hanifah Nurul Fatimah, S.Psi., M.Sc. yang merupakan lulusan S2 Maastricht University jurusan Cognitive Neuroscience. Hanifah membawakan topik mengenai hubungan saraf dengan kelancaran semantik dan perkembangan kognitif pada anak-anak prasekolah. Pada awal sesi, peserta mengikuti kuis sederhana mengenai Tugas Kelancaran Semantik yang berikutnya dijelaskan lebih lanjut oleh beliau. Materi ditutup dengan kesimpulan bahwa pola aktivasi otak yang terorganisasi telah dapat ditunjukkan sejak usia prasekolah secara umum sebelum beralih ke sesi tanya jawab dan diskusi menarik antara narasumber dan peserta.

                                        Hari Kedua

                                        Pada hari Kamis 29 April 2021, acara dilanjutkan dengan penyampaian materi sesi kedua dan ketiga. Di sesi ketiga yang dimulai pada pukul 08.00 WIB hingga pukul 11.00 WIB, narasumber Elga Andriana, M.Ed., Ph.D membersamai pembicara dari State University of New York at Plattsburgh yaitu Michelle L. Bonati, Ph.D. Keduanya menjadi narasumber pada sesi ketiga dengan berkolaborasi membawakan materi bertema “Self-Determination of Children and Adolescents in Youth-Led Research”. 

                                        Salah satu topik utama yang diangkat dalam sesi ini adalah photovoice, sebuah metodologi kualitatif yang melibatkan partisipan untuk mengambil foto dan mengidentifikasi tema dibalik foto dengan menggunakan metode SHOWeD. Dalam proses diskusi, photovoice menjadi topik yang menarik dalam sesi ini. Menurut narasumber, apabila photovoice diselaraskan dengan kurikulum, akan mampu berfungsi sebagai sebuah metode pembelajaran. Di penghujung sesi, para peserta diberi kesempatan untuk menyampaikan pertanyaan dan menjalin diskusi mengenai materi yang telah disampaikan oleh narasumber. 

                                        Setelah jeda istirahat sejenak, sesi keempat dimulai pada pukul 13.00 WIB hingga pukul 15.00. Pada sesi ini, Sutarimah Ampuni, Ph. D (Cand) sebagai narasumber membawakan materi dengan topik “Perilaku Prososial Anak dan Remaja”. Di awal sesi, Sutarimah mengajak peserta untuk mengikuti sedikit kuis mengenai perilaku/karakter yang dapat dikaitkan dengan jati diri bangsa Indonesia. Dalam penyampaian materinya, beliau membahas kaitan perilaku prososial yang mencakup comforting, helping, sharing, dan cooperating terhadap beberapa variabel lain seperti usia, jenis kelamin, dan area tempat tinggal pada anak dan remaja. Sama dengan sesi-sesi sebelumnya, di akhir sesi, narasumber dan para peserta secara aktif terlibat dalam diskusi dan tanya jawab yang interaktif. 

                                        Hari Ketiga

                                        Kursus Intensif Perkembangan Mutakhir Penelitian Bidang Psikologi Perkembangan berlanjut hingga hari Jumat 30 April 2021. Di sesi kelima yang berlangsung pada pukul 08.00 WIB hingga pukul 10.00 WIB, T. Novi Poespita Candra, Ph.D selaku narasumber menyampaikan materi dengan topik “Perkembangan Sosial Emosi Anak dan Remaja, Krisis dan Pendidikan di Indonesia: Riset dan Implementasinya”. Selain memaparkan hasil penelitian-penelitian yang telah dilakukan mengenai perkembangan sosial emosi anak dan remaja, Novi juga menyampaikan fakta dan harapan mengenai krisis pendidikan di Indonesia. “Faktanya, pendidikan hanya berpusat pada angka dan pencapaian akademik. Di satu sisi, pendidikan diharapkan dapat mendorong karakter dan kesejahteraan siswa, termasuk meningkatkan berbagai kompetensi seperti kreativitas, komunikasi, kolaborasi, problem solving, dan critical thinking”, ujar beliau.

                                        Setelah terjalin kegiatan tanya jawab dan diskusi yang hangat, peserta juga diminta untuk menuliskan kalimat refleksi mengenai hal apa yang paling berkesan selama sesi kelima berlangsung. Di penghujung waktu, beliau menutup sesi ini dengan membacakan sebuah kutipan dari Tan Malaka yang berbunyi: Bila kaum muda yang telah belajar di sekolah menganggap dirinya terlalu tinggi dan pintar untuk melebur dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul dan hanya memiliki cita-cita yang sederhana, maka lebih baik pendidikan itu tidak diberikan sama sekali.

                                        Sesaat setelah jeda istirahat, sesi keenam dimulai kembali pada pukul 13.00 WIB hingga pukul 15.00 WIB. Pada sesi terakhir ini, narasumber Pradytia Putri Pertiwi, Ph.D membersamai pembicara dari School of Civil Engineering, The University of Sydney yaitu Aaron Opdyke, Ph.D, CPEng, P.E., NER. Keduanya menjadi narasumber pada sesi keenam dengan berkolaborasi menyampaikan materi mengenai “Inclusion and Role of People with Disabilities and Older Person in Disaster and Humanitarian Response”. 

                                        Pada sesi ini, kedua narasumber menyampaikan materi mengenai bencana alam dan kaitannya dengan riset dan ilmu pengetahuan di bidang lifespan development dan kemanusiaan. Pradytia menyampaikan bahwa orang dengan disabilitas dan lanjut usia lebih rentan dan beresiko saat menghadapi bencana alam. Oleh karenanya, kita perlu memahami lebih lanjut mengenai perubahan fisik, psikologis, kebutuhan, dan kesejahteraan orang dengan disabilitas dan lanjut usia saat menghadapi bencana alam. Di satu sisi, Aaron turut memaparkan materi dan pengalaman penelitiannya yang bertajuk: Beyond Four Walls and a Roof: Shelter, Participation, and Intersecting Physical and Psychological Needs in Humanitarian Response. Di penghujung sesi setelah pemaparan materi selesai, kembali diadakan tanya jawab dan diskusi yang interaktif antara peserta dan narasumber.

                                        Penutupan

                                        Sesaat setelah sesi keenam selesai, Rahmat Hidayat, M.Sc., Ph.D selaku Kepala Program Studi S3 secara resmi menutup kursus intensif ini. “Terima kasih untuk semua narasumber dan speakers yang dalam tiga hari ini sudah membagikan ilmu, inspirasi, wawasan, dan pengalamannya. I think sharing knowledge in this more or less flexible way is much more inspiring to our students and hopefully also to all the participants without the formal ways of doing lectures like what we used to do. Big appreciation untuk semua partisipan yang sudah sangat antusias mengikuti materi dalam tiga hari ini. Semoga nanti dapat bermanfaat untuk kita semua”, ujar beliau. 

                                        Melalui kursus intensif ini, diharapkan semua peserta dapat memperoleh ide, ilmu, inspirasi, dan wawasan yang baru mengenai penelitian mutakhir di bidang psikologi perkembangan yang telah disampaikan oleh para ahli di bidangnya. Sampai bertemu di acara kami selanjutnya. (SRP & DAR/CLSD).

                                        Liputan Kegiatan: Intensive Course on Multimethod and Mixed Research

                                        ArtikelArtikel Liputan KegiatanEvent Friday, 26 February 2021

                                        Pada hari Senin 15 Februari 2021 hingga Rabu 17 Februari 2021, Center for Life-Span Development (CLSD) berkolaborasi dengan Program Studi Doktor Ilmu Psikologi, Fakultas Psikologi, Universitas Gadjah Mada menyelenggarakan “Intensive Course on Multimethod and Mixed Research” yang berlangsung selama tiga hari dan terbagi ke dalam enam sesi. Acara ini dipandu oleh tiga orang MC/Moderator yaitu Nida Khairunnisaa, S.Psi di hari pertama, Immatulfathina Purifiedriyaningrum, S.Psi di hari kedua, serta Ribka Mutiara Simatupang, S.Psi di hari ketiga. Peserta terdiri dari mahasiswa S3/Doktor Fakultas Psikologi UGM dan juga kalangan umum yang meliputi dosen, peneliti, akademisi, hingga praktisi pendidikan dari seluruh Indonesia.⁣

                                        Hari Pertama

                                        Sebelum kursus dimulai, Elga Andriana, M.Ed., Ph.D selaku Kepala CLSD secara resmi membuka acara ini. Kegiatan dilanjutkan dengan penyampaian materi sesi pertama (pukul 08.00 – 10.00 WIB) oleh Pradytia Putri Pertiwi, Ph.D yang membawakan materi dengan tema Multimethod Research: an Overview. Di awal sesi penyampaian materi, Pradytia menjelaskan mengenai pengertian dan perbedaan antara mixed method dengan multimethod design. Lebih lanjut, beliau juga menjelaskan mengenai kapan pendekatan multimethod dapat diaplikasikan dalam sebuah penelitian serta kekuatan dan kelemahan dari metode tersebut. Pradytia turut membacakan sebuah kutipan dari Hesse-Biber & Johnson yang berbunyi: All research is rooted in a point of view, and being conscious of this focus is critical to understanding researchers’ methodological choices.

                                        Setelah jeda sejenak, kursus berlanjut menuju sesi kedua pada pukul 10.15 – 12.15 WIB. Masih dengan narasumber yang sama, Pradytia Putri Pertiwi, Ph.D memaparkan materi di sesi kedua dengan fokus utama pada Design and Data Collection in Multimethod Research. Pradytia menjelaskan mengenai tingkatan dan jenis multimethod design dalam penelitian beliau yang berjudul: Rising to a New Role: Disabled People’s Organisations as Leaders of Disability-Inclusive Disaster Risk Reduction in Indonesia. Di tengah sesi, peserta dibagi menjadi 4 kelompok dan tiap-tiap kelompok tersebut diberikan studi kasus yang berbeda. Masing-masing kelompok diminta untuk mendiskusikan studi kasus lalu merumuskan a) Pertanyaan penelitian, b) Scope dan desain penelitian multimethod, serta c) Sumber daya yang diperlukan (waktu, dana, sdm, rencana kolaborasi). Selanjutnya, beberapa perwakilan kelompok memaparkan hasil diskusinya sehingga terjalin diskusi yang hangat antara peserta dengan narasumber.

                                        Hari Kedua

                                        Kursus intensif hari kedua yang diselenggarakan pada Selasa, 16 Februari 2021 terdiri dari dua sesi. Sesi ketiga dengan topik Data Analysis and Interpretation in Multimethod Research disampaikan oleh Pradytia Putri Pertiwi, Ph.D pada pukul 08.00 – 10.00 WIB. Salah satu topik utama yang disampaikan oleh Pradytia adalah mengenai integration techniques, yaitu teknik-teknik dalam mengintegrasikan data yang terdiri dari triangulation, following a thread, mixed method matrix, dan theoretical interpretation. Melanjutkan sesi diskusi kelompok pada hari sebelumnya, di sesi ini kelompok-kelompok tersebut juga diminta untuk mendiskusikan beberapa hal mengenai theoretical drive, jenis data yang didapatkan dalam penelitian tersebut, serta langkah dan teknik integrasi yang dapat dilakukan. Sesi ketiga diakhiri dengan diskusi yang menarik dari para peserta dan narasumber.

                                        Sesaat setelah jeda istirahat, kursus berlanjut menuju sesi selanjutnya pada pukul 10.15 – 12.15 WIB. Sesi keempat dengan topik Mixed Method Research: an Overview disampaikan oleh Dr. Avin Fadilla Helmi, M.Si. Avin menjelaskan secara detail mengenai definisi dan sejarah munculnya istilah mixed methods atau metode campuran. Menjawab pertanyaan mengapa mixed method atau metode campuran dilakukan, beliau menyampaikan bahwa metode ini lebih dari sekedar angka, lebih dari sekedar kata-kata, dan bahwa kombinasi angka dan kata menjadi hal yang sangat penting. Di akhir sesi, beliau melakukan sharing session atau berbagi pengalaman penelitian menggunakan mixed method yang telah beliau lakukan pada tahun 2017 dengan judul The Development of Online Friendship Scale.

                                        Hari Ketiga

                                        Intensive Course on Multimethod and Mixed Research berlanjut hingga hari Rabu, 17 Februari 2021 pukul 08.00 – 10.00 WIB untuk sesi kelima dan pukul 10.15 – 12.15 WIB untuk sesi keenam. Sesi kelima dengan topik Design and Data Collection in Mixed Method Research disampaikan oleh Edilburga Wulan Saptandari, M.Psi., Ph.D⁣. Beliau menjelaskan beberapa desain-desain mayor mixed method, di antaranya adalah convergent mixed-methods design, explanatory sequential mixed-methods design, dan exploratory sequential mixed-methods design yang mana masing-masing desain memiliki karakteristik dan tujuannya sendiri. Pada akhir sesi kelima, diadakan diskusi kelompok selama tiga puluh menit. Pada tiap-tiap kelompok, disajikan studi kasus yang berbeda-beda lalu peserta diminta untuk mendiskusikan pertanyaan penelitian, scope dan desain penelitian, serta sumber daya yang diperlukan. Sesi keempat ini ditutup dengan diskusi dan tanya jawab yang interaktif. 

                                        Setelah jeda istirahat, sesi kelima dimulai kembali dengan narasumber Dr. Avin Fadilla Helmi, M.Si dan Edilburga Wulan Saptandari, M.Psi., Ph.D⁣ yang berkolaborasi membawakan materi bertema Data Analysis and Interpretation in Mixed Method Research. Avin memaparkan mengenai teknik interpretasi triangulasi yang terdiri dari convergence, complementarity, dan discrepancy. Setelah itu, Edilburga menjelaskan mengenai integrasi data penelitian dengan mengungkap: Why integrate? What to integrate? When to integrate? How to integrate? Selain itu, beliau juga membagikan pengalaman penelitiannya dalam menggunakan desain mixed method dengan judul Understanding Indonesian Primary School Teachers’ Social-Emotional Practice. Sesi keenam diakhiri dengan tanya jawab dan diskusi yang menarik antara peserta dengan narasumber.

                                        Penutup

                                        Intensive Course on Multi Method and Mixed Research yang berlangsung selama tiga hari telah berjalan dengan lancar. Melalui kursus intensif ini, diharapkan seluruh peserta memperoleh ilmu, wawasan, dan inspirasi baru mengenai metode penelitian multimethod dan mixed method di bidang penelitian psikologi. Sampai bertemu di acara CLSD selanjutnya. (SNH/CLSD).

                                        Liputan Kegiatan: Semiloka Etika Penelitian dengan Partisipan Anak

                                        ArtikelArtikel Liputan KegiatanEvent Wednesday, 10 February 2021

                                        Pada hari Kamis 4 Februari 2021, Center for Life-Span Development (CLSD) kembali berkolaborasi dengan Program Studi Doktor Ilmu Psikologi, Fakultas Psikologi, Universitas Gadjah Mada menyelenggarakan Semiloka: Etika Penelitian dengan Partisipan Anak secara daring melalui Zoom Meeting. Semiloka yang berlangsung selama satu hari dan terbagi menjadi dua sesi ini dipandu oleh Diah Dinar Utami, S.Psi sebagai MC/Moderator. ⁣Dalam pelaksanaannya, peserta semiloka terdiri dari berbagai kalangan, mulai dari mahasiswa S3 Fakultas Psikologi UGM, peneliti perkembangan anak, mahasiswa, guru, hingga praktisi pendidikan. 

                                        Sesi Pertama

                                        Semiloka sesi pertama diisi dengan pemaparan materi oleh T. Novi Poespita Candra, M.Si., Ph.D yang berlangsung sejak pukul 08.00 – 10.00 WIB. Materi yang disampaikan memiliki tema: Tantangan Metodologis dan Etis Penelitian dengan Anak dan selanjutnya dilanjutkan dengan diskusi dan tanya jawab interaktif dengan peserta. Novi menerangkan topik-topik seperti alasan dan kapan waktu yang tepat untuk melakukan riset dengan melibatkan anak-anak. Selain itu, beliau juga menjelaskan macam-macam desain penelitian yang dapat dilakukan, informed consent dan tiga prinsip utama dalam penelitian yang melibatkan anak-anak, pelaksanaan payment and compensation pada proses riset, privacy and confidentiality, serta contoh konkret dari riset yang telah dilakukan sebelumnya.

                                        Sesi Kedua

                                        Selanjutnya, semiloka sesi kedua diisi dengan pemaparan materi oleh Elga Andriana, M.Ed., Ph.D yang berlangsung mulai pukul 10.00 – 12.00 WIB. Elga membawakan materi dengan tema: Penelitian Melibatkan Anak yang Etis dan Inklusif. Materi yang menitikberatkan fokus pada anak dengan disabilitas ini menerangkan prinsip dasar etika penelitian yang melibatkan anak dengan disabilitas, isu seputar etika penelitian yang melibatkan anak dengan disabilitas, dan adaptasi yang bisa peneliti lakukan untuk memenuhi kebutuhan partisipan anak dengan disabilitas dalam penelitian. Beliau turut memaparkan penelitiannya bersama Professor David Evans yang berjudul Mendengarkan Suara Anak: Pengalaman Siswa tentang Pendidikan Inklusif (Hearing Voices: Children’s Experiences of Inclusion). Beberapa pertanyaan terkait studi kasus juga dilontarkan oleh peserta sehingga terjadi diskusi dan tanya jawab yang interaktif. 

                                        Penutup

                                        Melalui semiloka ini, diharapkan peserta memperoleh ilmu, ide, serta inspirasi mengenai penelitian dengan keterlibatan anak yang telah disampaikan para ahli di bidangnya. Sampai bertemu di acara CLSD selanjutnya. (SRP & DAR/CLSD).

                                        1…4567

                                        Recent Posts

                                        • Mendidik Anak dengan Bahasa Cinta
                                        • Eco-Conscious Parenting: Menumbuhkan Praktik Berkelanjutan pada Perkembangan Anak
                                        • Memahami Pendidikan untuk Pembangunan Berkelanjutan di Kedai Kopi
                                        • Membangun Kembali Kegembiraan: Pentingnya Bermain Bagi Kesejahteraan Mental Bagi Masyarakat
                                        • Keterlibatan Ayah pada Pengasuhan Anak Usia Dini
                                        Universitas Gadjah Mada

                                        Center for Life-Span Development (CLSD)
                                        D-602, Fakultas Psikologi, Universitas Gadjah Mada
                                        Jalan Sosio Humaniora Bulaksumur, Yogyakarta, Indonesia 55281
                                        clsd.psikologi@ugm.ac.id

                                        © Universitas Gadjah Mada

                                        KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY

                                        [EN] We use cookies to help our viewer get the best experience on our website. -- [ID] Kami menggunakan cookie untuk membantu pengunjung kami mendapatkan pengalaman terbaik di situs web kami.I Agree / Saya Setuju