• Home
  • About Us
    • Managing Team
    • Researchers
    • Interns
    • Associates
  • Articles
  • Courses
  • Activities
    • CLSD Reader’s Club
    • Research of Baby Screening
    • COMPRE Class
    • Summer Course
    • Photovoice
    • SAELA
    • Community Service
  • Research & Publication
Universitas Gadjah Mada Center for Life-Span Development (CLSD)
Faculty of Psychology
Universitas Gadjah Mada
  • Home
  • About Us
    • Managing Team
    • Researchers
    • Interns
    • Associates
  • Articles
  • Courses
  • Activities
    • CLSD Reader’s Club
    • Research of Baby Screening
    • COMPRE Class
    • Summer Course
    • Photovoice
    • SAELA
    • Community Service
  • Research & Publication
  • Beranda
  • Artikel
  • Artikel
Arsip:

Artikel

Eco-Conscious Parenting: Menumbuhkan Praktik Berkelanjutan pada Perkembangan Anak

ArtikelArtikel Thursday, 8 May 2025

Oleh: Arifatul Alawiyah | Penyunting: Fakhirah Inayaturrobbani S.Psi, M.A

Saat ini, komitmen kuat dalam menjaga keberlanjutan lingkungan mulai menjadi sebuah trend dalam tatanan masyarakat yang tercermin pada berbagai aspek kehidupan. Tidak terbatas pada kebijakan pemerintah maupun aksi global, peningkatan kepedulian terhadap isu lingkungan terjadi di berbagai lapisan masyarakat, termasuk dalam komunitas keluarga. Tekanan dari budaya konsumsi global serta kesadaran akan risiko lingkungan mendorong terjadinya perubahan dalam praktik pangasuhan secara luas (Shrum dkk., 2023). Sebagai bagian dari upaya membentuk generasi yang lebih peduli terhadap keberlanjutan, banyak keluarga mulai beralih untuk menerapkan konsep baru terkait pola asuh yang disebut eco-conscious parenting.

Eco-conscious parenting muncul sebagai suatu konsep penting yang menawarkan pendekatan pengasuhan modern yang memperhatikan keseimbangan antara aspek perkembangan anak yang sehat dan kelestarian lingkungan. Sebuah penelitian membuktikan efektifitas praktik keluarga yang menerapkan gaya hidup ramah lingkungan secara signifikan berkontribusi terhadap pola konsumsi energi yang lebih bijaksana (Wang dkk., 2022). Pada pola asuh ini, orangtua tidak hanya menjalankan gaya hidup berkelanjutan, tetapi juga melibatkan anak dalam praktik-praktik kegiatan berkelanjutan seperti mengurangi penggunaan plastik, mempromosikan daur ulang, menggunakan produk organik, dan memperkenalkan kegiatan berbasis alam sejak usia dini (Hosany dkk., 2022). Penelitian juga menunjukkan bahwa eco-conscious parenting mampu mendorong anak-anak untuk lebih memahami hubungannya dengan alam dan menyadarkan pentingnya menjaga sumber daya alam demi masa depan yang lebih aman dan sehat (Auriffeille & Fleming, 2022; Shrum dkk., 2023). 

Lebih dari sekedar gaya hidup, pendekatan eco-conscious parenting ternyata mampu membentuk nilai-nilai dasar keluarga seperti tanggung jawab, empati, dan kesadaran sosial. Proses modeling dan melibatkan anak dalam kegiatan peduli lingkungan memungkinkan anak untuk menginternalisasi nilai, mengasah sensitivitas terhadap isu, dan membiasakan anak untuk mempertimbangkan aspek lingkungan dalam setiap pengambilan keputusan di masa depan (Barreto dkk., 2014). Sebuah penelitian menunjukkan bahwa anak yang terlibat dalam kegiatan peduli lingkungan cenderung akan memiliki pemahaman yang lebih baik terhadap dampak lingkungan dan merasa lebih bertanggung jawab terhadap keberlanjutan (UNICEF, 2024). Selain itu, aspek keterhubungan antara manusia-alam dalam konsep ini mampu meningkatkan rasa empati anak, baik terhadap sesama manusia maupun makhluk hidup lainnya, sehingga memperluas kemampuan anak untuk lebih peduli dan mampu bekerja sama (Hosany dkk., 2022). Kesadaran sosial juga mampu tercipta ketika anak mulai memahami implikasi global dari perilaku lokal terhadap ekosistem dunia. Tidak hanya membuat anak lebih berwawasan luas, pendekatan ini juga mampu memperkuat karakter anak yang lebih peduli pada kebutuhan masyarakat dan lingkungan (UNICEF, 2024).

Disisi lain, perkembangan penelitian juga telah menunjukkan kontribusi konsep eco-conscious parenting dalam mendukung kesejahteraan psikologis orangtua maupun anak. Perasaan berkontribusi positif terhadap kondisi lingkungan global dari praktik berkelanjutan mengakibatkan adanya perasaan terpenuhi dan cenderung kurang cemas orangtua (Kaligis dkk., 2024). Selain itu, penelitian menunjukkan bahwa anak yang terlibat dalam kegiatan berbasis alam, seperti berkebun atau eksplorasi alam bebas, memiliki tingkat stres yang lebih rendah, peningkatan kebahagiaan,  dan perkembangan kognitif yang lebih baik (Arola dkk., 2023). Merujuk pada teori restorative environment oleh Kaplan (dalam Liu dkk., 2024), interaksi dengan alam memberikan efek pemulihan psikologis yang kuat melalui sensasi pengalaman menenangkan dan pemulihan perhatian yang lelah akibat stress. Melalui eco-conscious parenting, interaksi positif orangtua-anak memperbesar terciptanya pengalaman bermakna yang positif sehingga berupa aktivitas menjaga lingkungan akan mampu menciptakan ikatan emosional yang aman (secure attachment). Adanya interaksi positif yang bermakna tersebut kemudian dapat membantu orangtua-anak mengembangkan kemampuan regulasi emosi yang lebih baik, memperkuat daya tahan mental mereka terhadap stres, serta menghasilkan kesehatan mental yang lebih baik secara keseluruhan (Spence dkk., 2022). 

Meskipun masih menghadapi banyak tantangan, namun potensi pengembangan eco-conscious parenting bukanlah sesuatu yang mustahil di Indonesia. Didukung oleh modal sosial budaya yang ada seperti realitas krisis lingkungan yang mulai terasa dampaknya, adanya nilai-nilai tradisional yang menghargai alam, program edukasi pemerintah, serta kemudahan akses literasi digital mampu berfungsi sebagai landasan yang kuat bagi orang tua untuk menanamkan nilai-nilai keberlanjutan pada anaknya. Untuk memaksimalkan potensi tersebut, diperlukan program edukasi dan motivasi berkelanjutan agar perilaku ramah lingkungan dapat muncul secara konsisten. Penelitian menunjukkan bahwa intervensi seperti kampanye publik dan integrasi edukasi lingkungan di sekolah secara efektif mendorong perilaku pro lingkungan dalam keluarga (Sihvonen dkk., 2024; Stapleton dkk., 2022). Dengan dorongan tepat, Indonesia berpotensi menciptakan generasi baru yang peduli terhadap kelestarian lingkungan dan mewariskan nilai keberlanjutan bagi masa depan.

Berdasarkan penjelasan di atas menunjukkan bahwa melalui aspek pengasuhan, adopsi konsep eco-conscious parenting mampu menjadi investasi yang keberlanjutan dan menjanjikan untuk masa depan. Dalam menghadapi tantangan global terkait krisis iklim yang terjadi, eco-conscious parenting terbukti mampu membekali anak dengan keterampilan dan nilai-nilai yang diperlukan dalam menghadapi tantangan global. Tidak hanya mampu memberikan kontribusi dalam membangun generasi masa depan yang lebih sadar dan bertanggung jawab terhadap isu keberlanjutan lingkungan, penerapan eco-conscious parenting mampu memperkuat fondasi kesejahteraan anak disamping orangtua yang mengimplementasikan konsep tersebut secara praktis di masa kini. Oleh karena itu, promosi eco-conscious parenting kepada publik direkomendasikan dengan target capaian agar mampu menciptakan budaya tatanan keluarga yang responsif dalam menjawab masalah global terkait kesejahteraan keluarga dan keberlanjutan lingkungan.

Referensi

Arola, T., Aulake, M., Ott, A., Lindholm, M., Kouvonen, P., Virtanen, P., & Paloniemi, R. (2023). The impacts of nature connectedness on children’s well-being: Systematic literature review. Journal of Environmental Psychology, 85, 101913. https://doi.org/10.1016/j.jenvp.2022.101913

Auriffeille, D. M., & Fleming, C. (2022). Parenting for Environmental Change. Contexts, 21(1), 26–31. https://doi.org/10.1177/15365042221083007

Barreto, M. L., Szóstek, A., Karapanos, E., Nunes, N. J., Pereira, L., & Quintal, F. (2014). Understanding families’ motivations for sustainable behaviors. Computers in Human Behavior, 40, 6–15. https://doi.org/10.1016/j.chb.2014.07.042

Hosany, A. R. S., Hosany, S., & He, H. (2022). Children sustainable behaviour: A review and research agenda. Journal of Business Research, 147, 236–257. https://doi.org/10.1016/j.jbusres.2022.04.008

Kaligis, F., Wangge, G., Fernando, G., Palguna, I. B. N. A., Pramatirta, B., & Purba, N. V. T. (2024). Breaking the silence: Unveiling the intersection of climate change and youth mental health in Indonesia. Medical Journal of Indonesia, 32(4), 249–253. https://doi.org/10.13181/mji.bc.247147

Liu, Y., Zhang, J., Liu, C., & Yang, Y. (2024). A Review of Attention Restoration Theory: Implications for Designing Restorative Environments. Sustainability, 16(9), Article 9. https://doi.org/10.3390/su16093639

Shrum, T. R., Platt, N. S., Markowitz, E., & Syropoulos, S. (2023). A scoping review of the green parenthood effect on environmental and climate engagement. WIREs Climate Change, 14(2), e818. https://doi.org/10.1002/wcc.818

Sihvonen, P., Lappalainen, R., Herranen, J., & Aksela, M. (2024). Promoting Sustainability Together with Parents in Early Childhood Education. Education Sciences, 14(5), 541. https://doi.org/10.3390/educsci14050541

Spence, R., Kagan, L., Nunn, S., Bailey‐Rodriguez, D., Fisher, H. L., Hosang, G. M., & Bifulco, A. (2022). The moderation effect of secure attachment on the relationship between positive events and wellbeing. Psych Journal, 11(4), 541–549. https://doi.org/10.1002/pchj.546

Stapleton, A., McHugh, L., & Karekla, M. (2022). How to Effectively Promote Eco-Friendly Behaviors: Insights from Contextual Behavioral Science. Sustainability, 14(21), 13887. https://doi.org/10.3390/su142113887

Wang, J., Long, R., Chen, H., & Li, Q. (2022). How do parents and children promote each other? The impact of intergenerational learning on willingness to save energy. Energy Research & Social Science, 87, 102465. https://doi.org/10.1016/j.erss.2021.102465

UNICEF. (2024). Engaging Youth on Climate Change & Environmental Sustainability. India: UNICEF. https://clearinghouse.unicef.org/download-ch-media/43e8c5b0-9a48-4990-95b8-b147d8a066d4

Memahami Pendidikan untuk Pembangunan Berkelanjutan di Kedai Kopi

ArtikelArtikel Monday, 21 April 2025

Oleh: Olyn Silvania | Penyunting: Rahma Ayuningtyas Fachrunisa, S.Psi., M.Psi., Psikolog

Dan Schechtman, seorang peraih penghargaan Nobel pada bidang kimia tahun 2011 pernah berkata, “Pembangunan berkelanjutan membutuhkan kecerdasan manusia, sehingga manusia adalah sumber daya terpenting.” Perkataan tersebut mengarah pada pentingnya mencapai Sustainable Development Goals (SDG-4) Pendidikan yang Berkualitas (SDGS Bappenas, n.d.). Oleh karena itu, pemerintah, institusi pendidikan, organisasi non-pemerintah, pemilik usaha, komunitas, dan influencer perlu berkontribusi dalam menerapkan pendidikan untuk pembangunan berkelanjutan atau education for sustainable development (ESD) (UNESCO, 2024). 

ESD merupakan pendidikan yang mendorong pengetahuan, keterampilan, nilai-nilai, sikap, dan bahkan kemampuan masyarakat agar mampu mengatasi tantangan global seperti perubahan iklim, hilangnya keanekaragaman hayati, penggunaan sumber daya yang tidak berkelanjutan, dan kesenjangan (UNESCO, 2024). ESD adalah proses belajar sepanjang hayat (Segara, 2013), sehingga penerapannya perlu melibatkan 1) Dimensi kognitif yakni meningkatkan kemampuan berpikir dan memahami informasi; 2) Dimensi sosioemosional yakni membangun keterampilan bersosialisasi, berempati, dan kecerdasan emosional; dan 3) Dimensi perilaku yakni mendorong tindakan atau masyarakat yang positif (UNESCO, 2024).

ESD tidak hanya terbatas pada institusi pendidikan, tetapi juga dapat dilakukan di kedai kopi. Data dari Organisasi Kopi Dunia mencatat bahwa Indonesia merupakan produsen kopi terbesar kedua di Asia dan Oseania setelah Vietnam. Dalam rentang tahun 2022 hingga 2023, produksi kopi di Indonesia meningkat sebesar 2,4% (12 juta kantong) (Pressrelease.id, n.d.). Meningkatnya produksi kopi di Indonesia berdampak dengan makin menjamurnya kedai kopi di Indonesia.Sudah bukan rahasia umum lagi bahwa kedai kopi telah menjadi destinasi favorit berbagai kalangan usia, khususnya kaum muda. Hasil survei dari GoodStats (2024) terhadap 1.005 responden yang mayoritas berusia 18-24 tahun (43,7%) menunjukkan bahwa 66% responden di antaranya memilih untuk membeli kopi di kedai kopi daripada menyeduh kopi sendiri (34%). Bagi kaum muda, kedai kopi bukan hanya sekedar tempat untuk menikmati secangkir kopi, tetapi juga menjadi sarana kaum muda melepaskan rasa penat dari rutinitas harian dengan cara bersosialisasi dengan teman sebaya (Maspul, 2024). 

Sebagai salah satu destinasi favorit kaum muda, bisnis kedai kopi memiliki posisi penting dalam mempromosikan ESD kepada kaum muda. Hal ini dikarenakan kaum muda, khususnya mahasiswa dianggap sebagai pihak yang berkepentingan terhadap lingkungan hidup dan pengambil keputusan yang potensial di masa depan (Hamid dkk., 2017; Swaim dkk., 2014), sehingga menjadi kelompok usia yang menjadi fokus utama UNESCO untuk diberdayakan (UNESCO, 2024). Dengan demikian, kedai kopi yang mempromosikan ESD terhadap kaum muda berkontribusi dalam mendukung kaum muda untuk memenuhi tugas perkembangannya sebagai dewasa awal (18-40 tahun) yakni menjadi warga negara yang bertanggungjawab (Hurlock, 2009) dengan mengambil tindakan yang peduli terhadap keberlangsungan planet bumi baik secara individual maupun kolektif Lantas, apa saja yang dapat dilakukan oleh pemilik kedai kopi untuk mempromosikan ESD kepada kaum muda?

Mempromosikan perilaku pro-lingkungan (pro-enviromental behavior) dengan membuat sistem kedai kopi yang ramah lingkungan 

Pemilik kedai kopi dapat mendorong perilaku kaum muda yang positif dengan cara mempromosikan perilaku pro-lingkungan yang merupakan salah satu penerapan gaya hidup berkelanjutan, yakni perilaku manusia yang meminimalkan degradasi lingkungan sembari mendukung pembangunan sosial ekonomi yang adil dan kualitas hidup manusia yang lebih baik (UN Environment Programme. n.d.). 

Promosi perilaku pro-lingkungan dapat dilakukan dengan membuat sistem kedai kopi yang ramah lingkungan, seperti menggunakan lampu LED agar lebih hemat listrik, menyediakan tempat sampah organik dan anorganik, menyajikan minuman dan makanan ke dalam wadah berbahan kaca, menggunakan bahan baku organik, dan menggunakan sedotan yang bisa digunakan kembali, meminimalisir penggunaan pendingin ruangan agar lebih hemat energi, dan bahkan mendesain kedai kopi dengan memanfaatkan bahan alam (Jo dkk., 2019; Maspul dkk., 2024). Selain beberapa cara tersebut, kedai kopi juga menunjukkan apresiasi dengan cara memberikan potongan harga kepada kaum muda yang menunjukkan perilaku yang ramah lingkungan, seperti membawa tumbler sendiri

Memberikan edukasi kepada kaum muda mengenai penerapan perilaku pro-lingkungan 

Pemilik kedai kopi dapat meningkatkan pengetahuan sekaligus kemampuan berpikir dan memahami informasi kaum muda dengan aktif memberikan edukasi. Dalam hal ini, pemilik kedai kopi dapat membagikan informasi melalui workshop, seminar, dan konten edukatif di media sosial mengenai bagaimana membuat konsep atau sistem kedai kopi yang lebih ramah lingkungan, mengelola sampah, mendaur ulang barang yang tidak mudah didaur ulang, dan memilih dan mengelola biji kopi yang organik (Mair & Laing, 2013). Edukasi juga dapat dilakukan dengan diskusi bulanan mengenai isu-isu lingkungan, sehingga kaum muda dapat saling bertukar pikiran dan pendapat. 

Mendorong perilaku altruistik dan perilaku yang setara 

Gaya hidup berkelanjutan bertujuan untuk mempromosikan kesejahteraan umat manusia (Di Fabio, 2017). Oleh karena itu, pendidikan untuk pembangunan berkelanjutan di kedai kopi perlu mengembangkan kemampuan bersosialisasi, berempati, dan kecerdasan emosi pada kaum muda. Pemilik kedai kopi dapat mendorong kaum muda untuk melakukan perilaku altruistik, seperti mengajak kaum muda untuk membeli menu spesial yang dibuat oleh petani kopi lokal, ikut serta dalam kampanye terkait isu lingkungan, dan brdonasi. Selain itu, pemilik kedai kopi juga dapat mengedukasi kaum muda terkait perilaku yang setara, yakni perilaku yang menunjukkan keadilan kepada orang lain, seperti menyediakan fasilitas yang ramah disabilitas, anak-anak, dan ibu hamil (Verdugo, 2012). 

Referensi

Di Fabio, A. (2017). The psychology of sustainability and sustainable development for well being in organizations. Frontiers in Psychology, 8, 1534. https://doi.org/10.3389/fpsyg.2017.01534 

Good Stats. (2024). Hasil survei pola konsumsi kopi orang Indonesia di tahun 2024. Goodstats. 

Hamid S., TahaIjab M., Sulaiman H., Anwar R.M., Norman AA (2017). Social media for environmental sustainability awareness in higher education. Int J Sustain High Educ, 18(4), 474–491

Hurlock, E. B. (2009). Psikologi perkembangan: Suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan. Erlangga. 

Jo, H., Song, C., &  Miyazaki, Y. (2019). Physiological benefits of viewing nature: A systematic review of indoor experiments. International Journal of Environmental Research and Public Health, 16(23), 4739.

Mair, J., & Laing, J. H. (2013). Encouraging pro-environmental behaviour: The role of sustainability-focused events. Journal of Sustainable Tourism, 21(8), 1113-1128.

Maspul, K. A. (2024). Exploring the relationship between coffee shop visitors’ coping strategies and well-being. Jurnal Psikologi, 1 (2), 1-13. https://doi.org/10.47134/pjp.v1i2.2028

Pressrelease.id. (n.d.). Tren industri kopu masa depan: Keberlenjutan bisnis hingga keberlanjutan lingkungan. https://pressrelease.kontan.co.id/news/trend-industri-kopi-masa-depan-keberlanjutan-bisnis-hingga-keberlanjutan-lingkungan

SDGS Bappenas. (n.d.). SDGs 4 Pendidikan berkualitas. Bappenas. Diunduh pada 28 Agustus 2024.  https://sdgs.bappenas.go.id/17-goals/goal-4/

Segara, N., B. (2015). Education  for  sustainable  development (ESD) Sebuah upaya mewujudkan kelestarian lingkungan. SOSIO DIDAKTIKA: Social Science Education Journal, 2(1), 2015, 22-30. https://doi.org/10.15408/sd.v2i1.1349

Swaim J. M. M., Napshin S, & Henley A (2014) Influences on student

intention and behavior toward environmental sustainability.Journal of Business Ethics. 124(3), 465–484

UN Environment Programme (n.d.). Gaya hidup berkelanjutan. UN Envrironment Programme. Diunduh pada 30 Agustus 2024. https://www.unep.org/explore-topics/resource-efficiency/what-we-do/sustainable-lifestyles 

UNESCO. (May 30, 2024). What you need to know about education for sustainable development. UNESCO. https://www.unesco.org/en/sustainable-development/education/need-know?hub=72522 Verdugo, V. (2012). The positive psychology of sustainability. Environment, Development and Sustainability, 14, 651-666. https:/doi.org/10.1007/s10668-012-9346-8

Membangun Kembali Kegembiraan: Pentingnya Bermain Bagi Kesejahteraan Mental Bagi Masyarakat

ArtikelArtikel Thursday, 20 March 2025

Oleh: Lana Savira Kusuma Dewi | Penyunting: Fakhirah Inayaturrobbani S.Psi, M.A

Di tengah percepatan dunia digital, masyarakat modern sering terjebak dalam rutinitas kaku dan tekanan pekerjaan yang tinggi sehingga perlahan kehilangan keseimbangan antara produktivitas dan kebahagiaan (Gupta, 2023). Rutinitas yang kaku serta minimnya ruang untuk bermain dapat memicu stres dan menurunkan kesejahteraan mental (Kirkham et al., 2022)—merujuk pada kesejahteraan emosional, psikologis, dan sosial seseorang yang memengaruhi cara berpikir, berperasaan, dan bertindak dalam menjalani kehidupan (Gautam et al., 2024). Oleh sebab itu, perlu menciptakan masyarakat yang lebih playful. Bukan hanya menambah waktu luang untuk bersenang-senang, tetapi menciptakan keseimbangan antara pekerjaan dan waktu luang. Dengan memberi ruang untuk bermain dalam kehidupan sehari-hari, kita bukan hanya membantu meningkatkan kesehatan mental individu tetapi juga membentuk masyarakat yang lebih sehat, sejahtera, dan bahagia secara keseluruhan. Artikel ini akan membahas pentingnya peran bermain dalam kehidupan sehari-hari, upaya kolektif yang dapat kita lakukan, serta mengapa perubahan ini mendesak untuk meningkatkan kesejahteraan mental.

Meskipun manfaat bermain berkelindan dengan kesehatan mental individu, masyarakat modern sering kali mengabaikan pentingnya aktivitas ini, terutama orang dewasa. Kehidupan yang sangat terstruktur—di mana setiap jam dipenuhi dengan tugas dan tanggung jawab—menyisakan sedikit ruang untuk kegiatan yang hanya dimaksudkan untuk kesenangan. Dalam konteks psikologi perkembangan, bermain tidak hanya relevan bagi anak-anak, tetapi juga memiliki peran signifikan dalam mendukung kesehatan mental dan sosial di setiap tahap kehidupan manusia (Shen & Masek, 2023).

Pada masa bayi dan anak-anak, bermain menjadi sarana utama untuk belajar dan mengeksplorasi dunia. Aktivitas bermain membantu perkembangan kognitif, motorik, dan sosial, seperti yang dijelaskan oleh Piaget (Shakhobiddinovna, 2022). Bermain simbolis, misalnya, mendukung kemampuan anak dalam memecahkan masalah dan memahami perspektif orang lain (Creaghe & Kidd, 2022). Anak-anak yang memiliki akses ke permainan cenderung menunjukkan perkembangan emosi yang lebih stabil dan kemampuan sosial yang lebih baik. 

Saat memasuki masa remaja, bermain berubah menjadi aktivitas yang lebih terstruktur, seperti olahraga atau permainan kelompok. Aktivitas ini membantu remaja mengembangkan identitas, mengelola emosi, dan membangun hubungan sosial yang mendalam (Chasciar, 2024). Bermain juga menjadi cara penting untuk menyalurkan energi dan mengurangi tekanan akademik serta sosial yang sering dialami di usia ini.

Pada masa dewasa, bermain tetap relevan, meskipun sering kali dipandang tidak penting. Bagi orang dewasa, bermain memberikan peluang untuk mengekspresikan diri, membangun koneksi sosial, dan menjaga keseimbangan emosional. Esposito (2023) menyoroti bahwa bermain bagi orang dewasa membantu mengurangi stres, meningkatkan kreativitas, dan memperkuat hubungan interpersonal. Aktivitas seperti permainan rekreasional, olahraga, atau kegiatan seni dapat menjadi cara efektif untuk mendukung kesehatan mental dan mencegah kelelahan emosional.

Bahkan pada tahap lansia, bermain tetap memiliki manfaat yang signifikan. Aktivitas seperti permainan puzzle, olahraga ringan, atau permainan kelompok dapat meningkatkan fungsi kognitif dan memperlambat proses penurunan mental yang berkaitan dengan penuaan (Pitayanti & Umam, 2023). Bermain juga dapat memperkuat hubungan sosial di kalangan lansia, yang membantu mengurangi rasa kesepian dan isolasi.

Dengan memahami peran bermain di setiap tahap perkembangan, kita dapat melihat bahwa bermain bukan hanya aktivitas untuk anak-anak tetapi merupakan kebutuhan mendasar manusia sepanjang hidup. Oleh karena itu, membangun lingkungan yang mendukung aktivitas bermain, baik melalui kebijakan publik, perencanaan kota, maupun perubahan persepsi sosial, merupakan langkah penting untuk mendukung perkembangan manusia secara holistik dan menciptakan masyarakat yang lebih sejahtera.

Untuk mengatasi kurangnya budaya bermain, diperlukan upaya yang terencana dan berbasis kebijakan serta komunitas. Pertama, pemerintah dan institusi dapat mendorong kebijakan yang mendukung waktu bermain, seperti fleksibilitas jam kerja bagi karyawan dan penambahan waktu istirahat untuk siswa di sekolah. Kebijakan ini akan memberikan ruang yang lebih memadai untuk aktivitas non-produktif yang dapat mengurangi stres dan meningkatkan kesejahteraan. Kedua, pengembangan infrastruktur publik menjadi langkah penting. Perencanaan kota harus memasukkan pembangunan taman, fasilitas olahraga, dan ruang publik lainnya yang dirancang untuk mendukung aktivitas bermain yang inklusif dan mendorong interaksi sosial. Ketiga, budaya bermain dapat diperkuat melalui kegiatan yang diintegrasikan dalam kehidupan sehari-hari, seperti tradisi bermain keluarga atau acara permainan berbasis komunitas. Strategi ini memungkinkan aktivitas bermain menjadi bagian yang melekat dalam rutinitas masyarakat. Dengan langkah-langkah yang sistematis ini, kita dapat membangun kembali budaya bermain yang tidak hanya bermanfaat bagi individu tetapi juga mendukung kesejahteraan sosial secara kolektif.

Bermain adalah elemen esensial dalam perjalanan hidup manusia yang mencakup semua tahap perkembangan, dari kanak-kanak hingga usia lanjut. Dalam konteks psikologi perkembangan, bermain tidak hanya menjadi sarana eksplorasi dan pembelajaran, tetapi juga kunci untuk menjaga keseimbangan emosional, memperkuat koneksi sosial, dan meningkatkan kualitas hidup. Namun, perubahan gaya hidup modern yang serba cepat telah menyisihkan peran bermain, menciptakan tekanan yang berdampak buruk pada kesehatan mental dan sosial. Oleh karena itu, mengintegrasikan kembali budaya bermain melalui kebijakan pendukung, infrastruktur publik yang inklusif, dan kebiasaan bermain dalam kehidupan sehari-hari adalah langkah mendesak. Dengan menjadikan bermain sebagai bagian integral dari rutinitas, kita dapat membangun masyarakat yang lebih sehat, bahagia, dan seimbang, sekaligus memastikan kesejahteraan manusia terjaga sepanjang hayat.

Referensi

Chasciar, V. (2024). Improving social competences through sport: an exploration of the educational role of physical activity in adolescent development. Journal Plus Education, 35(1), 130–136. https://doi.org/10.24250/JPE/1/2024/VC/

Creaghe, N., & Kidd, E. (2022). Symbolic play as a zone of proximal development: An analysis of informational exchange. Social Development, 31(4), 1138–1156. https://doi.org/10.1111/SODE.12592

Esposito, E. (2024). Order of play – disorder of the world. Into the Magic Circle, 1(1), 1–8. https://doi.org/10.26116/1HRB-TH63

Gautam, S., Jain, A., Chaudhary, J., Gautam, M., Gaur, M., & Grover, S. (2024). Concept of mental health and mental well-being, it’s determinants and coping strategies. Indian Journal of Psychiatry, 66, S231–S244. https://doi.org/10.4103/INDIANJPSYCHIATRY.INDIANJPSYCHIATRY_707_23

Gupta, R. (2023). Impact of Work on Emotional Well-being : Results of a Survey of NHS Employees from a Minority Ethnic background. Sushruta Journal of Health Policy & Opinion, 15(3), 1–7. https://doi.org/10.38192/15.3.3

Kirkham, E. J., Lawrie, S. M., Crompton, C. J., Iveson, M. H., Jenkins, N. D., Goerdten, J., Beange, I., Chan, S. W. Y., McIntosh, A., & Fletcher-Watson, S. (2022). Experience of clinical services shapes attitudes to mental health data sharing: findings from a UK-wide survey. BMC Public Health, 22(1), 1–12. https://doi.org/10.1186/S12889-022-12694-Z/FIGURES/2

Pitayanti, A., & Umam, F. N. (2023). Efektivitas permainan puzzle  terhadap upaya peningkatan kognitif  pada lansia. Jurnal Penelitian Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Nahdlatul Ulama Tuban, 5(1). https://doi.org/10.47710/JP.V5I1.206

Shakhobiddinovna, R. S. (2024). The importance of play in the mental development of preschool children. International Journal of Advance Scientific Research , 04(04), 84–88. https://sciencebring.com/index.php/ijasr/article/view/725/691

Shen, X., & Masek, L. (2024). The playful mediator, moderator, or outcome? An integrative review of the roles of play and playfulness in adult-centered psychological interventions for mental health. The Journal of Positive Psychology. https://doi.org/10.1080/17439760.2023.2288955

Keterlibatan Ayah pada Pengasuhan Anak Usia Dini

ArtikelArtikel Friday, 21 February 2025

Oleh: Nur Diana Indrawati | Penyunting: Muhammad Ikbal Wahyu Sukron, S.Psi., M.A.

Akhir-akhir ini, jagat media sosial Indonesia sedang gandrung dengan edukasi pengasuhan anak. Menjamurnya akun media sosial tentang edukasi pengasuhan, seperti Tentang Anak, Parentalk.id, Rabbitholeid, dan Momscorner menjadikan ilmu pengasuhan semakin terjangkau bagi semua lapisan masyarakat. Salah satu topik yang sering dibahas akhir-akhir ini adalah mengenai perkembangan anak usia dini. Menjadi orang tua tidak dimulai ketika seorang anak lahir di dunia, tapi dimulai ketika perencanaan kehamilan. Fase kehamilan sampai fase anak usia dini merupakan dasar yang akan menjadi penentu keterampilan dan pembelajaran pada fase berikutnya sampai anak tumbuh dewasa, sehingga permasalahan perkembangan yang dialami pada fase usia dini akan memiliki efek multigenereasi (Black dkk., 2017).


UNICEF (2007) menyatakan bahwa perkembangan anak usia dini merupakan perkembangan dari fase prenatal sampai ke transisi menuju sekolah dasar (usia 7 tahun). Gupta dan Raut (2016) menambahkan bahwa 1000 hari pertama kehidupan merupakan masa yang paling krusial dalam perkembangan anak. Pengasuhan yang responsif dan nutrisi yang tercukupi pada 1000 hari pertama merupakan hal vital yang akan menentukan kesehatan dan kesejahteraan psikologis pada masa yang akan datang (Gupta & Raut, 2016). Menurut Black dkk. (2017), faktor yang mempengaruhi anak untuk mencapai potensi maksimal pada perkembangannya antara lain kesehatan, gizi, rasa aman, pengasuhan yang responsif dan pembelajaran sejak dini. Hal tersebut, salah satunya, bisa dipenuhi dengan memaksimalkan keterlibatan ayah dalam proses pengasuhan anak, yang akan berpengaruh positif pada perkembangan kognitif, bahasa, serta perilaku dan regulasi emosi pada anak (Wang dkk., 2022).


Sayangnya, beberapa penelitian menunjukkan bahwa keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak di beberapa negara berkembang masih rendah. Contohnya di pedesaan Pakistan, hanya sedikit ayah yang meluangkan waktu untuk bermain fisik dengan anak dan terlibat dalam pengasuhan anak (Maselko dkk., 2019). Selanjutnya pada penelitian yang dilakukan di 69 negara, ditemukan bahwa ibu melakukan aktivitas stimulasi pada anak usia dini jauh lebih banyak dibandingkan dengan ayah; bahkan ketika dibandingkan dengan orang dewasa lain yang berada di rumah, ayah ditemukan melakukan pengasuhan dengan porsi yang lebih sedikit (Evans & Jakiela, 2024).


Terdapat beberapa faktor penyebab kurangnya keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak usia dini, antara lain keterbatasan waktu di rumah, kurangnya pengetahuan terkait pengasuhan, serta sikap terhadap gender, seperti menganggap bahwa tugas mengasuh anak adalah tugas perempuan bukan laki-laki (Jeong dkk., 2023). Faktor lain yang memengaruhi keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak usia dini, yaitu keyakinan peran mereka (sebagai ayah, suami, atau pencari nafkah), gejala depresif yang dimiliki oleh ayah, kondisi temperamen anak, gender anak serta faktor sosio demografis, seperti ekonomi dan status pendidikan orang tua (Planalp & Braungart-Rieke, 2016).


Beberapa aktivitas yang bisa dilakukan ayah untuk meningkatkan keterlibatan pengasuhan anak usia dini berupa aktivitas didaktik, seperti menyanyi, membaca, bercerita, dan bermain bersama anak (Wang dkk., 2022). Hofferth (2003) menjelaskan bentuk keterlibatan ayah dalam pengasuhan dengan empat domain, yaitu waktu yang dihabiskan bersama anak, kehangatan (contohnya frekuensi memeluk anak dan memberi tahu anak bahwa mereka mencintainya), kontrol dan pengawasan (seperti penerapan aturan tentang kegiatan seperti makan dan belajar), serta tanggung jawab, yaitu sejauh mana orang tua, baik ayah maupun ibu, melakukan tugas memandikan anak, mendisiplinkan anak, mengantar anak, membeli pakaian untuk anak, dan bermain dengan anak.


Sejauh ini, dibandingkan intervensi yang diberikan kepada Ibu, intervensi untuk meningkatkan keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak usia dini masih terbatas. Beberapa penelitian yang mengidentifikasi intervensi untuk meningkatkan keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak usia dini, antara lain edukasi tentang perawatan pada bayi, memberi makan bayi, merawat ibu, serta memberikan dorongan dan dukungan terhadap praktik menyusui yang diberikan pada ayah bayi yang baru lahir di Kenya dapat meningkatkan pengetahuan para ayah (Dinga, 2019). Selanjutnya program COACHES (The Coaching Our Acting Out Children: Heightening Essential Skills), yaitu sebuah pelatihan tentang strategi pengasuhan yang diberikan selama enam minggu dan berhasil meningkatkan kalimat pujian dan menurunkan komunikasi negatif pada ayah yang memiliki anak dengan gangguan ADHD (Fabiano dkk., 2021).


Di Indonesia, salah satu gerakan keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak usia dini yang cukup masif adalah penggalakan program Ayah ASI yang diprakarsai oleh Shafiq Pontoh dan delapan ayah baru lain pada tahun 2011. Bentuk program dari gerakan ini antara lain edukasi, pusat pertolongan, dan juga media promosi mengenai keterlibatan ayah dalam proses menyusui (Riski, 2017). Gerakan tersebut diinisiasi oleh kegelisahan para pendiri akan minimnya pengetahuan mereka sebagai ayah bagi bayi mereka yang baru lahir.


Kegelisahan seperti ini yang perlu kita perhatikan bersama untuk memunculkan gerakan yang dapat meningkatkan keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak usia dini. Ayah seringkali berpikir bahwa tugas utamanya adalah mencari nafkah untuk keluarga. Namun tanpa disadari, pola pikir tersebut yang menjadikan mereka berpikir bahwa mengasuh anak merupakan tugas utama ibu. Di sisi lain, ibu juga jarang memberikan kesempatan bagi Ayah untuk terlibat dalam pengasuhan anak.


Proses pengasuhan yang optimal pada anak usia dini akan menentukan keberhasilan proses perkembangannya sampai usia dewasa. Dibutuhkan peran maksimal ayah dan ibu untuk menunjang keberhasilan pengasuhan anak usia dini. Beberapa faktor penyebab kurangnya keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak usia dini, antara lain karena kurangnya pengetahuan terkait pengasuhan, keyakinan terhadap peranan mereka, sikap terhadap gender, serta minimnya kesempatan yang diberikan pada ayah untuk terlibat dalam pengasuhan anak dini. Dengan demikian, penting bagi para ayah untuk meningkatkan pengetahuan terkait pengasuhan anak usia dini mengingat pentingnya peran ayah dalam pengasuhan anak usia dini.

Daftar Pustaka
Black, M. M., Walker, S. P., Fernald, L. C. H., Andersen, C. T., DiGirolamo, A. M., Lu, C., McCoy, D. C., Fink, G., Shawar, Y. R., Shiffman, J., Devercelli, A. E., Wodon, Q. T., Vargas-Barón, E., & Grantham-McGregor, S. (2017). Early childhood development coming of age: science through the life course. The Lancet, 389(10064), 77–90. https://doi.org/10.1016/S0140-6736(16)31389-7
Dinga, L. A. (2019). Effect of father-targeted nutrition education on feeding practices, nutritional status and morbidity among infants in Kisumu East, Kenya. Jomo Kenyatta University.
Fabiano, G. A., Schatz, N. K., Lupas, K., Gordon, C., Hayes, T., Tower, D., Soto, T. S., Macphee, F., Pelham, W. E., & Hulme, K. (2021). A school-based parenting program for children with attention-deficit/hyperactivity disorder: Impact on paternal caregivers. Journal of School Psychology, 86, 133–150. https://doi.org/10.1016/j.jsp.2021.04.002
Gupta, S., & Raut, A. (2016). Early childhood development: Maximizing the human potential. Frontiers in Social Pediatrics. https://doi.org/10.5005/jp/books/12773
Guswandi, F. A. (2021). School starting age and academic performance: An empirical study in Indonesia. Jurnal Perencanaan Pembangunan: The Indonesian Journal of Development Planning, 5(3), 344–362. https://doi.org/10.36574/jpp.v5i3.218
Herbst, M., & Strawiński, P. (2016). Early effects of an early start: Evidence from lowering the school starting age in Poland. Journal of Policy Modeling, 38(2), 256–271. https://doi.org/10.1016/j.jpolmod.2016.01.004
Hofferth, S. L. (2003). Race/ethnic differences in father involvement in two-parent families: Culture, context, or economy? Journal of Family Issues, 24(2), 185–216. https://doi.org/10.1177/0192513X02250087
Maselko, J., Hagaman, A. K., Bates, L. M., Bhalotra, S., Biroli, P., Gallis, J. A., O’Donnell, K., Sikander, S., Turner, E. L., & Rahman, A. (2019). Father involvement in the first year of life: Associations with maternal mental health and child development outcomes in rural Pakistan. Social Science and Medicine, 237, 112421. https://doi.org/10.1016/j.socscimed.2019.112421
Planalp, E. M., & Braungart-Rieker, J. M. (2016). Evidence from the ECLS-B. J Fam Psychol, 30(1), 135–146. https://doi.org/10.1037/fam0000156.Determinants
Riski, P. (2017). Fathers and Father Involvement in Indonesia : A Pilot Study Exploring the Community of Breastfeed-Supporthing Fathers (Ayah ASI). https://doi.org/10.13140/RG.2.2.10698.79042
Wang, L., Li, H., Dill, S. E., Zhang, S., & Rozelle, S. (2022). Does paternal involvement matter for early childhood development in rural China? Applied Developmental Science, 26(4), 741–765. https://doi.org/10.1080/10888691.2021.1990061

Memperingati Hari Anak Sedunia, CLSD UGM X IPPI DIY Adakan Webinar Mencegah, Mengenali, dan Merespon Kekerasan Seksual pada Anak

ArtikelArtikelEvent Monday, 23 December 2024

Center for Life-Span Development (CLSD) UGM berkolaborasi dengan Ikatan Psikologi Perkembangan Indonesia (IPPI) Wilayah DIY mengadakan webinar bertajuk “Mencegah, Mengenali, dan Merespons Kekerasan Seksual pada Anak” pada 23 dan 30 November 2024. Webinar ini dilaksanakan dalam rangka memperingati Hari Anak Sedunia yang jatuh pada tanggal 20 November 2024 sekaligus sebagai respons atas semakin meningkatnya kekerasan seksual yang terjadi pada anak di Indonesia.

Acara dibuka oleh sambutan dari kepala CLSD, Sutarimah Ampuni, M.Si., MPsych., Ph.D., Psikolog dan Ketua IPPI Wilayah DIY, Dr. Rita Eka Izzaty, S.Psi., M.Si, Psikolog. Dalam sambutan tersebut, disampaikan bahwa kekerasan pada anak (KSA) merupakan permasalahan serius yang dapat memberikan dampak negatif jangka panjang pada anak sehingga perlu menjadi perhatian dari seluruh lapisan masyarakat. 

“Mengingat seriusnya dampak kekerasan seksual pada anak, diperlukan langkah-langkah pencegahan dan penanganan yang komprehensif yang melibatkan seluruh lapisan masyarakat. Kesadaran (awareness) mengenai kekerasan seksual pada anak termasuk pencegahannya perlu disebarluaskan ke masyarakat, terutama yang berhubungan dekat dengan anak-anak,” ungkap Sutarimah Ampuni.

Webinar ini melibatkan para ahli di bidang penanganan kekerasan seksual pada anak sebagai narasumber-narasumbernya, yakni Ir. Emmy Lucy Smith, M. Krim (Pendiri Yayasan Kakak di Surakarta), Vitria Lazzarini, M.Psi, Psikolog (Psikolog dan Praktisi Pendamping Kekerasan Seksual Anak), Dr. Maria Goretti Adiyanti, M.S., (Dosen dan Peneliti di Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada), dan Lucia Peppy Novianti, M.Psi, Psikolog (Founder dan CEO Wiloka Workshop). 

Di pertemuan pertama (23/11), materi yang disampaikan terdiri dari  konsep kekerasan seksual dan contoh kasus-kasus nyata di lapangan serta cara membangun kesadaran tentang KSA di keluarga dan sekolah. Sementara pada pertemuan kedua (30/11), materi yang disampaikan membahas tentang karakteristik perkembangan anak untuk pencegahan dan penanganan kekerasan seksual pada anak dan pendampingan awal untuk anak yang mengalami atau terindikasi mengalami KSA.

Melalui webinar ini, CLSD UGM dan IPPI DIY berharap dapat memberikan kontribusi nyata ke masyarakat dalam upaya mengedukasi peserta mengenai bagaimana langkah pencegahan kekerasan seksual pada anak dimulai dari lingkungan terdekat mereka. 

Mengembangkan Kepedulian Generatif Guna Mempersiapkan Peran Pemuda sebagai Agen Perubahan

ArtikelArtikelBlog Thursday, 5 December 2024

Penulis: Sukmo Bayu Suryo Buwono, S.Psi., M.A.

Penyunting: Muhammad Ikbal Wahyu Sukron, S.Psi., M.A.

Peran pemuda umum diasosiasikan sebagai katalis dan garda terdepan dari perubahan. Jikapun pada mulanya asosiasi ini sekadar dimaksudkan sebagai jargon pembakar semangat, pada kenyataannya, kajian psikologi perkembangan telah berhasil menemukan kebenaran di balik jargon ini. Berdasarkan temuan-temuan empiris di sepanjang dua dekade terakhir, keterlibatan pemuda sebagai agen perubahan salah satunya ditentukan oleh keberhasilan mereka dalam mengembangkan kepedulian generatif.

Mengapa pemuda disebut agen perubahan dan bagaimana kaitannya dengan kepedulian generatif?

Secara umum, mereka yang telah berusia 18-29 tahun dapat disebut sebagai pemuda. Dalam ilmu psikologi, rentang ini diistilahkan sebagai periode emerging adulthood (Arnett, 2011). Periode ini menandai masa transisi dari fase remaja, yang sarat akan krisis pencarian jati diri, menuju fase dewasa awal yang sarat akan krisis pencarian pasangan hidup (Erikson, 1963).

Di sepanjang emerging adulthood, gairah individu untuk terlibat dalam kegiatan kreatif, komunitas, aktivisme, dan politik dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat tengah berada di level tertinggi. Maka tak jarang jika perubahan, terobosan, dan gagasan besar terlahir oleh mereka yang berada di periode ini. Tingginya keterlibatan di atas adalah imbas dari suatu tahap perkembangan psikososial yang lazim dikenal sebagai fenomena early generativity, yaitu menonjolnya kepedulian generatif di sepanjang rentang emerging adulthood (Alisat dkk., 2014; Jia dkk., 2015; Matsuba dkk., 2017; Pratt & Lawford, 2014). Kepedulian generatif adalah kepedulian akan keberlangsungan hidup generasi penerus (McAdams & de St. Aubin, 1992).

Kepedulian generatif dikatakan sebagai fenomena psikososial karena kemunculannya berfondasi pada dorongan batin (psiko) dan tuntutan sosial (sosial) yang hanya menonjol pada rentang perkembangan tertentu. Secara spesifik, menonjolnya kepedulian generatif di rentang emerging adulthood dilandasi oleh dorongan batin untuk bermanfaat bagi sesama dan meninggalkan warisan positif yang dapat dikenang, serta tuntutan budaya untuk memastikan keberlangsungan dan kesejahteraan hidup spesies (Pratt & Lawford, 2014). Fondasi psikososial tersebut menghasilkan motivational force yang kuat dalam mengorganisir struktur motif dan moralitas individu; ia turut membentuk kepribadian dan menentukan penilaian tentang baik/buruk, benar/salah, dan penting/tidak penting (Jia dkk., 2015; McAdams, 2019).

Individu dengan kepedulian generatif yang tinggi akan secara sadar memikirkan masa depan generasi penerus (McAdams & de St. Aubin, 1992) dan dapat menyusun rencana jangka panjang untuk mengaktualisasikannya (Jia dkk., 2015). Dengan tingginya kepedulian generatif, individu mampu mengedepankan kepentingan jangka panjang yang berorientasi pada kesejahteraan semua pihak, atau “the greater good” (McAdams, 2001). Perihal ini telah terkonfirmasi dalam studi eksperimen terkini yang penulis lakukan. Bahwasannya ketika emerging adults menyadari adanya ancaman terhadap masa depan generasi penerus, mereka dengan kepedulian generatif yang tinggi mampu mengedepankan “the greater good” di atas kepentingan pribadi dan pro-sosial kelompok (Buwono & Patria, 2023).

Berdasarkan paparan di atas, dapat diketahui bahwa kepedulian generatif memberikan kesiapan pada pemuda untuk dapat berperan sebagai agen perubahan. Sayangnya, meski emerging adulthood adalah periode sensitif bagi perkembangan kepedulian generatif, tidak setiap individu dapat mencapai level perkembangan optimal. Oleh karena itu, sejumlah indikator untuk mengenali perkembangan kepedulian generatif yang optimal perlu diketahui.

Bagaimana mengidentifikasi mereka dengan kepedulian generatif yang tinggi?

Berbicara mengenai generativitas takkan bisa lepas dari gagasan-gagasan yang dicetuskan oleh Erik Erikson (1963). Bagi Anda yang familiar dengan teori Erikson, ketika diminta menyebutkan indikator dari individu yang generatif, kemungkinan besar pasti akan mengatakan berketurunan dan mengasuh anak. Ini sepenuhnya tidak keliru. Justru, di kultur pronatalistik seperti di Indonesia, kedua indikator tersebut banyak benarnya.

Meski demikian, berketurunan dan mengasuh anak bukanlah satu-satunya ekspresi—lebih lagi ekspresi utama—dari kepedulian generatif. Keduanya bahkan hanya sekadar contoh perilaku dalam domain ekspresi biological dan parental. Sedangkan, kepedulian generatif memiliki empat domain ekspresi. Dua domain lain yang belum disebutkan adalah domain technical dan societal. Kedua domain ini justru adalah yang paling relevan dan mewakili ekspresi kepedulian generatif dalam periode emerging adulthood.

Upaya-upaya yang dilakukan individu untuk mewariskan keterampilan dan pengetahuan bagi generasi penerus dapat dikatakan sebagai ekspresi technical dari kepedulian generatif. Sementara keterlibatan dalam aktivitas sipil dan politik di ranah publik dengan tujuan untuk merawat masa depan dapat dikatakan sebagai ekspresi societal dari kepedulian generatif (Jia dkk., 2015; Kotre, 1984; Matsuba dkk., 2017). Dalam mengekspresikan kepedulian generatif, perilaku yang diproduksi dapat sangat beragam. Beberapa ciri khas untuk mengidentifikasinya adalah ia selalu mencerminkan upaya mencipta (secara literal via berketurunan; figuratif via berkarya), memelihara, atau memberi dengan orientasi untuk mengedepankan kesejahteraan generasi penerus (McAdams, 2001; McAdams & de St. Aubin, 1992).

Apa saja strategi untuk mengembangkan kepedulian generatif?

Terdapat sejumlah strategi untuk menstimulasi kepedulian generatif agar perkembangannya dapat optimal di periode emerging adulthood. Pertama, pola pengasuhan yang otoritatif dan mendukung kemandirian perlu diterapkan oleh orang tua (Frensch dkk., 2007; Lawford dkk., 2005). Kedua, keterlibatan individu dalam kegiatan kesukarelawanan dan komunitas pro-sosial perlu ditingkatkan sejak remaja (Frensch dkk., 2007; Lawford dkk., 2005; Soucie dkk., 2018). Ketiga, emerging adults perlu didorong agar mampu mengembangkan hubungan yang erat dengan teman sebaya (Mackinnon dkk., 2016).

Selain itu, penulis juga berpandangan bahwa kebijakan publik perlu diarahkan untuk membina generasi muda yang generatif. Salah satunya yakni dengan menyediakan dan menghidupkan berbagai organisasi dengan misi generatif yang dapat memberdayakan keterlibatan remaja dan emerging adults. Hal ini sangatlah penting untuk dilakukan. Pasalnya, generasi muda yang generatif merupakan kunci dari kesiapan mereka untuk menjalankan peran sebagai katalisator perubahan.

***

Referensi

Alisat, S., Norris, J. E., Pratt, M. W., Matsuba, M. K., & McAdams, D. P. (2014). Caring for the earth: Generativity as a mediator for the prediction of environmental narratives from identity among activists and nonactivists. Identity, 14(3), 177-194. https://doi.org/10.1080/15283488.2014.921172

Arnett, J. J. (2011). Emerging adulthood(s): The cultural psychology of a new life stage. In L. A. Jensen (Ed.), Briding cultural and developmental approaches to psychology: New syntheses in theory, research, and policy (pp. 255-275). Oxford University Press. 

Buwono, S. B. S., & Patria, B. (2023). Associating anthropogenic disaster with existential terror alters cooperation in social dilemmas. Paper presentation at the 15th Biennial Conference of the Asian Association of Social Psychology, Hong Kong.

Erikson, E. H. (1963). Childhood and society (2nd ed.). WW Norton & Company.

Frensch, K. M., Pratt, M. W., & Norris, J. E. (2007). Foundations of generativity: Personal and family correlates of emerging adults’ generative life-story themes. Journal of research in personality, 41(1), 45-62. https://doi.org/10.1016/j.jrp.2006.01.005

Jia, F., Alisat, S., Soucie, K., & Pratt, M. (2015). Generative concern and environmentalism: A mixed methods longitudinal study of emerging and young adults. Emerging adulthood, 3(5), 306-319. https://doi.org/10.1177/2167696815578338 

Kotre, J. (1984). Outliving the self: Generativity and the interpretation of lives. Johns Hopkins University Press.

Lawford, H., Pratt, M. W., Hunsberger, B., & Mark Pancer, S. (2005). Adolescent generativity: A longitudinal study of two possible contexts for learning concern for future generations. Journal of research on adolescence, 15(3), 261-273. https://doi.org/10.1111/j.1532-7795.2005.00096.x

Mackinnon, S. P., De Pasquale, D., & Pratt, M. W. (2016). Predicting generative concern in young adulthood from narrative intimacy: A 5-year follow-up. Journal of adult development, 23(1), 27-35. https://doi.org/10.1007/s10804-015-9218-1

Matsuba, M. K., Alisat, S., & Pratt, M. W. (2017). Environmental activism in emerging adulthood. In L. M. Padilla-Walker & M. W. Pratt (Eds.), Flourishing in emerging adulthood: Positive development during the third decade of life (pp. 175-201). Oxford University Press.

McAdams, D. P. (2001). Generativity in midlife. In M. Lachman (Ed.), Handbook of midlife development (pp. 395-443). Wiley.

McAdams, D. P. (2019). The emergence of personality. In D. P. McAdams, R. L. Shiner, & J. L. Tackett (Eds.), Handbook of personality development (pp. 3-19). Guilford Press.

McAdams, D. P., & de St. Aubin, E. (1992). A theory of generativity and its assessment through self-report, behavioral acts, and narrative themes in autobiography. Journal of Personality and Social Psychology, 62(6), 1003. https://doi.org/10.1037/0022-3514.62.6.1003

Pratt, M. W., & Lawford, H. L. (2014). Early generativity and types of civic engagement in adolescence and emerging adulthood. In L. M. Padilla-Walker & G. Carlo (Eds.), Prosocial development: A multidimensional approach (pp. 410-436). Oxford University Press. https://doi.org/10.1093/acprof:oso/9780199964772.003.0020

Soucie, K. M., Jia, F., Zhu, N., & Pratt, M. W. (2018). The codevelopment of community involvement and generative concern pathways in emerging and young adulthood. Developmental psychology, 54(10), 1971-1976. https://doi.org/10.1037/dev0000563

Harga Diri Rendah Pada Remaja: Bagaimana Menanggapinya?

ArtikelArtikelBlog Monday, 2 September 2024

Penulis: Faya Sadina Ramadhian
Penyunting: Nur Nisrina Hanif Rifda

Harga diri atau self-esteem merupakan suatu hal penting dalam kehidupan yang dapat diartikan sebagai penilaian menyeluruh terhadap nilai diri individu dari rentang rendah hingga tinggi (Jordan dkk., 2020). Harga diri mencerminkan gambaran diri yang dimiliki seseorang terhadap dirinya sendiri mengenai berbagai hal, seperti kemampuan diri, kepercayaan diri, dan rasa aman. Harga diri termasuk hal yang penting bagi kesejahteraan mental dan sosial seseorang karena dapat memengaruhi aspirasi, cita-cita, dan interaksi dengan orang lain (Mann dkk., 2004). Apabila seseorang memiliki harga diri yang rendah, maka kondisi tersebut dapat berpengaruh negatif terhadap  kebahagiaan, penyesuaian diri, sukses, prestasi akademik, dan kepuasan (Du dkk., 2017).

Harga diri yang rendah seringkali  dialami oleh seseorang pada masa remaja. Berdasarkan studi ACT for Youth Center of Excellence (2006), sepertiga hingga setengah dari remaja memiliki harga diri yang rendah, terutama pada masa remaja awal. Harga diri rendah pada remaja dapat berdampak negatif terhadap kesehatan mental dan perkembangannya, terutama karena masa remaja merupakan tahap transisi untuk membangun identitas diri. Artikel ini akan menjelaskan lebih lanjut tentang penyebab dan akibat harga diri yang rendah pada remaja. Di samping itu, artikel ini juga akan membahas mengenai berbagai macam strategi untuk meningkatkan?harga diri.

Salah satu penyebab rendahnya harga diri pada remaja adalah perbandingan sosial. Ketika remaja melakukan perbandingan sosial, ia cenderung dapat memiliki harga diri dan kepuasan yang lebih rendah terkait penampilannya (Purić dkk., 2011). Selain itu, fenomena upward social comparison atau proses membandingkan diri dengan orang yang lebih ‘beruntung’ dapat menyebabkan harga diri dan evaluasi diri yang rendah pada remaja (Hoffman, 2021). Fenomena perbandingan diri juga tampak pada sikap remaja yang sering kali terlalu mementingkan penampilan mereka sehingga dapat menyebabkan rendahnya harga diri apabila merasa tidak memenuhi standar kecantikan. Kondisi remaja dengan harga diri yang rendah dan tidak puas terhadap penampilannya akan berkaitan dengan perilaku makan tidak sehat.

Selanjutnya, faktor risiko utama rendahnya harga diri pada remaja adalah stres pendidikan yang tinggi serta kekerasan fisik dan/atau emosional oleh orangtua  (Nguyen dkk., 2019). Terdapat orang tua yang menerapkan pola asuh secara terlalu kritis atau bersifat neglectful yang ditandai oleh tidak terlibatnya  orang tua dalam kehidupan anak dapat menyebabkan rendahnya harga diri pada remaja. Orang tua juga berpotensi memberi beban bagi anak untuk meraih prestasi akademik tertentu ataupun membandingkan remaja dengan remaja lain. Perilaku tersebut dapat membuat remaja turut melakukan perbandingan diri sehingga berpengaruh terhadap rendahnya harga diri 

Kondisi harga diri yang rendah pada remaja dapat mengakibatkan berbagai hal yang memunculkan permasalahan dalam perkembangan. Penelitian Masselink dkk. (2018) menunjukkan bahwa harga diri rendah pada masa remaja awal dapat memprediksi gejala depresi pada masa remaja akhir dan dewasa awal. Harga diri yang rendah juga dapat menyebabkan rendahnya  kepercayaan diri, sehingga membuat remaja lebih rentan untuk mengalami kecemasan. Remaja berpotensi melakukan tindakan penyalahgunaan zat sebagai mekanisme penyelesaian masalah. Rendahnya harga diri pada remaja juga dapat membuat mereka tidak termotivasi untuk mendorong diri dalam bidang akademik, sehingga berpotensi mengalami kesulitan dan memiliki pandangan yang rendah tentang masa depan.

Beberapa strategi yang dapat diterapkan untuk meningkatkan harga diri pada remaja adalah sebagai berikut:

  1. Mendorong positive self-talk. Remaja perlu didorong untuk berbicara kepada diri sendiri secara positif dan suportif guna membangun rasa apresiasi kepada diri. 
  2. Berfokus pada keunggulan diri. Remaja perlu melatih diri untuk fokus pada potensi keunggulan dan pencapaian yang dimiliki dibandingkan dengan kelemahan pada dirinya.
  3. Mendorong kebiasaan sehat. Harga diri remaja dapat ditingkatkan melalui kebiasaan yang lebih sehat, seperti olahraga, makan teratur, dan pola tidur cukup.
  4. Menyediakan kesempatan untuk sukses. Remaja selayaknya diberi kesempatan untuk mengaktualisasi diri, meraih kesuksesan, serta diakui pencapaianya.
  5. Mencari bantuan profesional jika dibutuhkan. Apabila remaja mengalami permasalahan berat yang muncul sebagai akibat dari harga diri yang rendah, maka akan lebih baik jika dihubungkan kepada pihak profesional seperti psikolog.

Rendahnya harga diri pada masa remaja merupakan permasalahan yang dapat berdampak negatif terhadap kesehatan mental dan kesejahteraan individu. Perbandingan sosial, pengaruh orang tua, tekanan akademik, dan ketidakpuasan akan penampilan merupakan beberapa penyebab harga diri yang rendah pada remaja. Beberapa akibat dari harga diri rendah pada masa remaja dapat muncul dalam bentuk depresi, kecemasan, penyalahgunaan zat (substance abuse), dan performa akademik yang rendah. Strategi untuk membangun harga diri pada masa remaja antara lain adalah dengan mendorong positive self-talk, fokus pada keunggulannya, mendorong kebiasaan yang sehat, memberi kesempatan untuk sukses, serta mencari bantuan profesional apabila dibutuhkan. Dengan membangun harga diri selama masa remaja, individu dapat meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan mentalnya, serta mempersiapkan diri untuk sukses di masa depan.

Daftar Pustaka

ACT for Youth Center of Excellence. (2006). Self-esteem in adolescence. https://www.actforyouth.net/resources/rf/rf_slfestm_0603.cfm 

Du, H., King, R. B., & Chi, P. (2017). Self-esteem and subjective well-being revisited: The roles of personal, relational, and collective self-esteem. PloS one, 12(8), e0183958. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0183958 

Hoffman, J. (2021, January 18). Social comparison among teens. Jenny Talks Therapy. https://jennytalkstherapy.com/2021/01/18/social-comparison-among-teens/ 

Jordan, C. H., Zeigler-Hill, V., & Cameron, J. J. (2020). Self-esteem. In V. Zeigler-Hill & T. K. Shackelford (Eds.), Encyclopedia of Personality and Individual Differences (pp. 1-7). Springer. https://doi.org/10.1007/978-3-319-24612-3_1169 

Mann, M., Hosman, C. M. H., Schaalma, H. P., & de Vries, N. K. (2004). Self-esteem in a broad-spectrum approach for mental health promotion. Health Education Research, 19(4), 357-372. https://doi.org/10.1093/her/cyg041 

Masselink, M., Van Roekel, E., & Oldehinkel, A. J. (2018). Self-esteem in early adolescence as predictor of depressive symptoms in late adolescence and early adulthood: the mediating role of motivational and social factors. Journal of Youth and Adolescence, 47(5), 932–946. https://doi.org/10.1007/s10964-017-0727-z 

Nguyen, D. T., Wright, E. P., Dedding, C., Pham, T. T., & Bunders, J. (2019). Low self-esteem and its association with anxiety, depression, and suicidal ideation in Vietnamese secondary school students: a cross-sectional study. Frontiers in Psychiatry, 10, 698. https://doi.org/10.3389/fpsyt.2019.00698 

Purić, D., Simić, N., Savanović, L., Kalanj, M., & Jovanović-Dačić, S. (2011). The impact of forced social comparison on adolescents’ self-esteem and appearance satisfaction. Psihologija, 44(4), 325-341. https://doi.org/10.2298/PSI1104325P

Memahami Remaja Melalui Perkembangan Otak

ArtikelBlog Saturday, 18 May 2024

Penulis: Alfi Syukrina Hadi

Penyunting: Raden Roro Anisa Anggi Dinda

Masa remaja dikenal sebagai periode perkembangan yang ditandai dengan keputusan dan tindakan yang belum cukup dewasa sehingga menimbulkan peningkatan insiden cedera dan kekerasan yang tidak disengaja, penyalahgunaan alkohol dan obat-obatan, kehamilan yang tidak diinginkan, bahkan penyakit menular seksual (Casey et al., 2008). Hal ini memperlihatkan bahwa pada masa remaja, perilaku-perilaku menyimpang yang timbul dapat berdampak besar baik untuk dirinya sendiri maupun lingkungannya. Urgensi yang timbul akibat permasalahan-permasalahan ini tidak hanya menjadi kecemasan orang tua, namun telah mengambil perhatian banyak pihak dalam masyarakat. Berbagai usaha telah dilakukan agar dapat mengintervensi perilaku negatif pada kelompok remaja, namun sayangnya intervensi-intervensi yang diusahakan ini seringkali gagal dalam membantu remaja mengatasi perilaku-perilaku negatif (Yaeger et al., 2018). Pertanyaan yang kemudian timbul, apakah mungkin intervensi-intervensi yang dicanangkan selama ini tidak dapat berjalan dengan baik karena pemahaman yang masih belum tepat tentang perubahan internal pada masa remaja? 

Untuk dapat memberikan intervensi yang baik, maka diperlukan pemahaman yang akurat tentang remaja. Salah satu sudut pandang yang bisa diambil agar dapat memahami remaja adalah sudut pandang pertumbuhan biologis pada masa remaja. Namun pertumbuhan biologis pada masa remaja sering hanya diartikan sebagai perubahan fisik dan perubahan hormonal yang dialami oleh remaja. Padahal masih ada perkembangan yang sangat krusial pada masa ini, yaitu perkembangan otak pada remaja. 

Masa remaja dimulai dari saat bermulanya masa pubertas hingga individu bisa mendapatkan peran mandiri dalam masyarakat (Dumontheil, 2016).  Pada periode ini, penyakit mental lebih rentan untuk muncul, dengan hampir 75% penyakit mental yang dialami oleh orang dewasa muncul pada periode ini (Willenberg et al., 2020). Hal ini juga diakibatkan karena otak remaja merupakan periode sensitif dalam pertumbuhan neuro-kognitifnya. Lalu bagaimana pemahaman tentang remaja jika dilihat dari perkembangan neuro-kognitifnya?

Masa remaja dianggap sebagai fase reorganisasi saraf (neuroplasticity), yaitu kemampuan otak untuk membentuk dan mengatur kembali koneksi sinaptik, terutama dalam menanggapi pembelajaran atau pengalaman tertentu. Fase ini berlangsung secara dramatis sehingga menjadi fase rentan dan dapat menyebabkan perkembangan psikopatologi (Andrews et al., 2021; Dow-Edwards et al., 2019). Ditekankan oleh Dow-Edwards et al. (2019), bahwa sistem otak remaja memberikan respon yang berbeda pada suatu stimuli dibandingkan dengan orang dewasa dan anak-anak. Perubahan yang dialami pada saat remaja ini, diasosiasikan dengan penguatan dan pembahagian neuron pada otak baik secara strukturnya, fungsinya dan kognitif skill-nya (Dumontheil, 2016). Uniknya, perkembangan otak pada masa sensitif ini tidak hanya mempengaruhi bagaimana remaja menghadapi lingkungan sosialnya, namun juga dipengaruhi oleh lingkungan sosial remaja tersebut (Andrews et al., 2021; Dow-Edwards et al., 2019).  

Pada tingkatan perkembangan fungsional otak, dapat difokuskan penjelasannya pada tiga fungsi; kognisi, sosial dan perkembangan emosional. Social brain adalah fungsi otak yang paling aktif dan berkembang yang mana fungsi ini menjadi target sasaran plasticity yang besar pada saat remaja (Dow-Edwards et al., 2019). Dijelaskan lebih mendalam oleh Andrews et al. (2020), bagaimana seorang remaja dapat menavigasikan kehidupan sosialnya dengan baik, sangat bergantung pada sosio-kognitif proses yang dimilikinya. Di sisi lain, dalam segi sosial kognisi dan emosi, remaja secara konsisten menunjukkan aktifasi bagian otak yang lebih besar dibandingkan orang dewasa di medial prefrontal cortex. Pada saat ini remaja nampak lebih sensitif terhadap kehadiran teman sebayanya, pengucilan sosial dan terlihat narsistik. Pada masa remaja konteks sosial sangatlah penting, sama halnya dengan perkembangan emosionalnya yang berdampak pada pengambilan keputusan (Dumontheil, 2016). 

Dari hasil-hasil penelitian terdahulu, terlihat bahwa remaja memiliki strategi kognisi yang berbeda dengan orang dewasa ketika berusa memahami intensi orang lain. Hal ini sesuai dengan teori bahwa remaja menggunakan strategi kognisi yang bergantung pada refleksi eksplisit tentang dirinya dan orang lain. Proses ini berlangsung pada Dorsomedial Prefrontal Cortex (dmPFC). Dari pernyataan ini ada beberapa poin penting yang dapat digaris bawahi; kemampuan remaja untuk memahami perspektif orang lain masih dalam masa perkembangan pada masa ini; koneksi fungsional pada otak remaja terlihat lebih besar dibandingkan orang dewasa ketika sedang memikirkan suatu kejadian yang mengandung emosi, sehingga remaja memiliki tendensi membesar-besarkan suatu masalah yang sedang dihadapinya (Andrews et al., 2020). 

Dengan pembahasan perubahan sistem kerja otak karena neuroplasticity yang ada pada remaja, diharapkan orang tua serta lingkungan masyarakat dapat lebih menghargai tantangan yang sedang dihadapi oleh remaja selama masa penyesuaian dan pertumbuhan sistem sarafnya. Selain itu juga diharapkan agar lingkungan sosial remaja dapat memberikan dukungan yang baik dengan menyesuaikan dengan kondisi perkembangan otak remaja. Adapun beberapa intervensi yang dapat diberikan pada remaja pada periode sensitif ini seperti; aktivitas fisik agar mempromosikan hidup sehat, boosting kemampuan kognisi agar dapat menggunakan kemampuan kognisi yang berkembang secara optimal, melatih kemampuan meditasi agar dapat melatih regulasi emosi, dan memastikan remaja berada pada lingkungan sosial pertemanan yang sehat (Yeager et al., 2018). 

Selain itu orang tua dan masyarakat haruslah menciptakan lingkungan yang suportif untuk tumbuh kembang remaja, berusaha memberikan sikap yang menghargai keberadaan dan tantangan yang dihadapi remaja serta mengurangi pengaruh negatif dari lingkungan terhadap status dan kondisi remaja. Dengan mempertimbangkan kondisi perkembangan kognisi yang sensitif pada remaja ini, diharapkan orang tua dan masyarakat dapat memberikan intervensi-intervensi yang lebih positif dan efektif bagi tumbuh kembang remaja.

Referensi

Andrews, J. L., Ahmed, S. P., & Blakemore, S. J. (2021). Navigating the social environment in adolescence: The role of social brain development. Biological Psychiatry, 89(2), 109-118.

Casey, B. J., Getz, S., & Galvan, A. (2008). The adolescent brain. Developmental review, 28(1), 62-77.

Dumontheil, I. (2016). Adolescent brain development. Current Opinion in Behavioral Sciences, 10, 39-44.

Dow-Edwards, D., MacMaster, F. P., Peterson, B. S., Niesink, R., Andersen, S., & Braams, B. R. (2019). Experience during adolescence shapes brain development: From synapses and networks to normal and pathological behavior. Neurotoxicology and teratology, 76, 106834.

Willenberg, L., Wulan, N., Medise, B. E., Devaera, Y., Riyanti, A., Ansariadi, A., … & Azzopardi, P. S. (2020). Understanding mental health and its determinants from the perspective of adolescents: a qualitative study across diverse social settings in Indonesia. Asian Journal of Psychiatry, 52, 102148Yeager, D. S., Dahl, R. E., & Dweck, C. S. (2018). Why interventions to influence adolescent behavior often fail but could succeed. Perspectives on Psychological Science, 13(1), 101-122.

CLSD Membangun Semangat Literasi di Kampung Suronatan melalui Pelatihan Membaca Nyaring

ArtikelArtikel Tuesday, 26 March 2024

Pada hari Sabtu, 2 Maret 2024 pukul 08.30-11.30 WIB, Center for Life-Span Development (CLSD) Fakultas Psikologi UGM melalui Tim The Reading Buddies mengadakan acara pelatihan read aloud atau membaca nyaring di Kampung Suronatan, Kelurahan Notoprajan, Kemantren Ngampilan, Kota Yogyakarta. Acara dihadiri oleh 19 orang, terdiri dari Kader Bina Keluarga Balita (BKB) dan orang tua yang memiliki anak usia dini. Tujuan dari acara ini adalah untuk mengenalkan dan meningkatkan kemampuan para kader BKB dan orang tua dalam praktik membaca nyaring di rumah maupun di komunitas. Kegiatan pelatihan ini merupakan kelanjutan dari aktivitas membaca nyaring oleh Tim The Reading Buddiesdua minggu sebelumnya, dengan tujuan agar masyarakat di Kampung Suronatan mampu secara mandiri melanjutkan aktivitas literasi ini.

Acara dimulai dengan sambutan dari perwakilan BKB, diikuti oleh sambutan dari moderator juga merupakan perwakilan dari CLSD, yaitu Kevin Pasquella Helian, S.Psi. Acara kemudian dilanjutkan dengan sesi pemateri oleh Navia Fathona Handayani, S.Psi., seorang pegiat literasi yang memiliki pengalaman luas dalam gerakan membaca nyaring. Materi yang disampaikan mencakup penjelasan tentang pentingnya membacakan nyaring, unsur-unsur buku yang perlu diperhatikan saat membaca nyaring, serta demonstrasi praktik membaca nyaring. Peserta menyimak dengan antusias untuk memahami berbagai aspek membaca nyaring yang diajarkan oleh pemateri.

Selanjutnya, acara melibatkan pembagian peserta pelatihan ke dalam empat kelompok kecil. Tujuan dari agenda ini adalah untuk mengaplikasikan materi yang telah diajarkan sebelumnya oleh pemateri. Dua orang fasilitator, Rahmita Laily Muhtadini, S.Psi., dan Riskhi Pratama Kusuma Arum Jati, S.Psi., bertugas memandu dinamika peserta di dalam kelompok kecil. Dalam proses ini, peserta diberi waktu untuk memilih buku dengan mempertimbangkan berbagai unsur seperti tema, alur, latar, dan tokoh cerita. Setiap peserta kemudian berlatih membaca nyaring di dalam kelompok kecil. Proses ini sangat penting untuk memastikan bahwa peserta memahami konsep membacakan nyaring tidak hanya di ranah pengetahuan, tetapi juga dalam ranah keterampilan.

Agenda berikutnya adalah sesi praktik membaca nyaring oleh perwakilan peserta dari masing-masing kelompok. Selain bertujuan untuk melihat kemampuan peserta setelah pelatihan, agenda ini juga dirancang untuk proses evaluasi bersama. Peserta memberikan apresiasi dan masukan terhadap sesama peserta selama proses membaca nyaring di depan kelas. Acara ditutup dengan pemberian sertifikat, doorprize, serta foto bersama.

Seluruh rangkaian acara dalam pelatihan membaca nyaring ini diharapkan dapat meningkatkan kepekaan dan kemampuan kader BKB serta orang tua. Acara ini juga diharapkan dapat membangun kemandirian bagi warga Kampung Suronatan dalam menyebarkan semangat literasi di rumah maupun masyarakat.

Sumber: CLSD UGM

Editor: Erna

Kecerdasan Buatan: Support System Bagi Emerging Adult di Kala Krisis

ArtikelArtikel Saturday, 23 March 2024

Penulis: Olyn Silvania

Penyunting: Muhammad Ikbal Wahyu Sukron

“Jadi orang gede emang menyenangkan, tapi susah dijalanin.”

Pernahkah kalian mendengar kalimat di atas? Jika diperhatikan kembali, penggalan kalimat dalam iklan Tri Indonesia (2013) tersebut cukup berkaitan dengan kehidupan individu beranjak dewasa atau emerging adult (18-29 tahun) yang seolah-olah menyenangkan. Hal ini dikarenakan masa emerging adult memberi kesempatan bagi individu untuk mengeksplorasi berbagai pilihan hidup terkait pendidikan, karir, dan hubungan romantis yang tersedia baginya. Dengan demikian, emerging adult dapat mengembangkan identitas diri terkait seperti apa ia ingin dikenal oleh orang lain (Arnett, 2013). Selain itu, emerging adult telah dianggap dewasa secara hukum, sehingga otoritas orang tua pun berkurang. Hal ini memberi peluang bagi emerging adult untuk lebih fokus terhadap diri, mengembangkan kemampuan dan membangun fondasi masa selanjutnya, sehingga dapat meningkatkan kemandiriannya (Arnett dkk., 2014). Namun, masa emerging adulthood tidak selalu menyenangkan dan penuh tantangan. Mengapa demikian, ya? 

Tantangan tugas perkembangan emerging adulthood terhadap kesehatan mental emerging adult

Emerging adult dihadapkan dengan peran dan tanggung jawab yang semakin berat (Erickson, 1968). Mereka harus memenuhi dan menyesuaikan diri terhadap berbagai tugas perkembangan, seperti mencapai kemandirian secara fisik, finansial, dan emosi; mendapatkan suatu pekerjaan, memilih pasangan hidup, menjalani hidup berkeluarga (sebagai pasangan suami istri dan orang tua), menerima tanggung jawab sebagai warga negara, dan bergabung dalam kelompok sosial (Hurlock, 1991).

Dalam menjalani berbagai tugas perkembangan, emerging adult seringkali mengalami masalah, menghadapi perubahan hidup yang konstan, dan ketidakpastian. Emerging adult juga menghadapi tekanan pekerjaan, hubungan, keluarga, dan harapan untuk menjadi orang dewasa yang sukses. Berbagai hal tersebut menjadikan emerging adult rentan mengalami quarter life crisis (Herawati & Hidayat, 2020).

Fenomena krisis seperempat baya telah digambarkan dalam berbagai penelitian. Penelitian Agarwal dkk. (2020) menemukan bahwa 1.400 pengguna twitter berusia rentang 18-30 tahun di Amerika dan Inggris pernah mengunggah 1,5 juta tweet tentang permasalahan karir, kesehatan, dan keluarga yang mereka hadapi. Lalu, hasil penelitian mixed-methods dari Robinson (2018) di Inggris menunjukkan bahwa krisis seperempat baya dialami oleh individu yang gagal mencari pekerjaan. Selain itu, juga ditemukan bahwa krisis seperempat baya dapat menurunkan tingkat harga diri individu. Selanjutnya, fenomena krisis seperempat baya juga terjadi di Indonesia. Penelitian kualitatif Putri dkk. (2022) menemukan bahwa krisis seperempat baya pada emerging adult selama masa pandemi Covid-19 ditandai dengan perasaan dan pikiran yang mengganggu karena adanya tuntutan pekerjaan, rencana pernikahan, dan permasalahan keluarga.

Dari ketiga hasil penelitian di atas, kita bisa melihat bahwa krisis seperempat baya timbul karena lingkungan sekitar. Pertanyaan yang dianggap ringan oleh sebagian orang, seperti “Kapan wisuda?”, “Sudah dapat kerja belum? Kok masih menganggur?”, “Kapan menikah?”, dan lain sebagainya, justru dianggap berat bagi emerging adult. Dengan kata lain, krisis seperempat baya‒yang dipandang sebagai masa sulit oleh emerging adult‒dapat disebabkan oleh konstruk sosial yang dibangun di masyarakat.

Dalam jangka panjang, krisis seperempat baya dapat menimbulkan konsekuensi negatif. Beberapa literatur menunjukkan bahwa kondisi stress yang terakumulasi akibat krisis seperempat baya dapat menimbulkan berbagai permasalahan baru, seperti masalah emosi dan perilaku, menurunkan kesejahteraan psikologis, meningkatkan perilaku agresif, tindak kekerasan, meningkatkan kecenderungan menarik diri secara sosial, dan menimbulkan permasalahan kesehatan mental seperti depresi dan kecemasan (Habibie dkk., 2019).

Mengatasi quarter life crisis dengan bantuan kecerdasan buatan

Menanggapi dampak krisis seperempat baya khususnya terhadap kesehatan mental, pemerintah, praktisi, dan peneliti tengah mengupayakan promosi dan pencegahan permasalahan kesehatan mental. Tujuannya untuk membangun resiliensi emerging adult dalam menghadapi masa krisisnya (Gotzl dkk., 2022). Salah satu caranya adalah mengembangkan kecerdasan buatan (artificial intelligence), yaitu sistem komputer yang diprogram untuk membantu memecahkan masalah, mengambil keputusan, dan menyelesaikan tugas manusia yang spesifik.

Kontribusi kecerdasan buatan dalam bidang kesehatan mental telah disebutkan dalam berapa literatur (Gotzl dkk., 2022; Gumelar, 2023), seperti dapat membantu mengidentifikasi gangguan kesehatan mental pada emerging adult. Contohnya adalah chatbot terapeutik. Chatbot terapeutik menggunakan teknologi pemrosesan bahasa alami untuk berkomunikasi dengan emerging adult dan memberikan dukungan emosional. Dukungan emosional seperti ucapan semangat dan afirmasi positif dari chatbot terapeutik dapat membantu mengurangi gejala kecemasan dan depresi pada individu. Contoh lainnya adalah terapi online, yakni terapi yang memberikan kesempatan bagi klien emerging adult untuk berbincang dengan terapis melalui internet. Dengan menggunakan kecerdasan buatan, terapis dapat menganalisis percakapan dengan pasien, lalu memberikan rekomendasi terapi atau latihan mandiri yang dapat diterapkan oleh klien emerging adult untuk membantu meredakan gejala gangguan kesehatan mentalnya (Gumelar, 2023). Lebih lanjut, penelitian Gotzl dkk. (2022) menemukan bahwa aplikasi kesehatan mental berbasis kecerdasan buatan bernama mHealth apps memberikan berbagai pelatihan dan solusi atas situasi yang sulit, sehingga membantu emerging adult dalam mencapai tujuannya.

Akhir kata, kecerdasan buatan dapat menjadi support system yang mampu meredakan gejala permasalahan psikologis pada emerging adult. Meskipun demikian, penggunaan kecerdasan buatan yang berlebihan dapat menimbulkan ketergantungan dan mengurangi interaksi sosial. Maka dari itu, masih dibutuhkan kebijakan dan pendekatan yang tepat terkait penggunaan kecerdasan buatan agar tidak mengganggu interaksi sosial dan keseimbangan psikologis emerging adult.

Referensi: 

Agarwal, S., Guntuku, S. C., Robinson, O., Dunn, A., & Ungar, L. (2020). Examining the phenomenon of quarter-life crisis through artificial intelligence and the language of twitter. Frontiers in Psychology, 1-23.

Arnett, J. J. (2013). Adolescence and emerging adulthood: A cultural approach. Pearson Education

Arnett, J. J., Zukauskiene, R., & Sugimura, K. (2014). The new life stage of emerging adulthood at ages 18-29 years. Lancet Psychiatry, 1, 569-576. 

Erickson, E. H. (1968). Identity: Youth and crisis. Norton.

Götzl, C., Hiller, S., Rauschenberg, C., Schick, A., Fechtelpeter, J., Fischer Abaigar, U., … & Krumm, S. (2022). Artificial intelligence-informed mobile mental health apps for young people: a mixed-methods approach on users’ and stakeholders’ perspectives. Child and Adolescent Psychiatry and Mental Health, 16(1), 1-19.

Gumelar, G. (2023). Menavigasi tantangan dan menciptakan peluang: Peran vital ilmu psikologi di era kecerdasan buatan. Jurnal Penelitian dan Pengukuran Psikologi, 12(1), 1-4. 

Habibie, A., Syakarofath, N. A., & Anwar, Z. (2019). Peran religiusitas terhadap quarter-life crisis pada mahasiswa. Gadjah Mada Journal of Psychology, 5(2), 129-138. 

Hurlock, E. B. (1991). Psikologi perkembangan: Suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan (Edisi 5). Penerbit Erlangga.

Putri, A. L. K., Lestari, S., & Khisbiyah, Y. (2022). A quarter-life crisis in early adulthood in indonesia during the covid-19 pandemic. Indigenous: Jurnal Ilmiah Psikologi, 7(1), 28–47. https://doi.org/10.23917/indigenous.v7i1.15543

Robinson, O. C. (2018). A longitudinal mixed-methods case study of quarter-life crisis during the post-university transition: Locked-out and locked-in forms in combination. Emerging Adulthood, 7(3), 167–179. https://doi.org/10.1177/2167696818764144Tri Indonesia (2013, Juni 19). Trie-Indie+ (Versi cewe) [File video]. YouTube https://www.youtube.com/watch?v=2RVcOiYkcc4

123

Recent Posts

  • Eco-Conscious Parenting: Menumbuhkan Praktik Berkelanjutan pada Perkembangan Anak
  • Memahami Pendidikan untuk Pembangunan Berkelanjutan di Kedai Kopi
  • Membangun Kembali Kegembiraan: Pentingnya Bermain Bagi Kesejahteraan Mental Bagi Masyarakat
  • Keterlibatan Ayah pada Pengasuhan Anak Usia Dini
  • Kader Hebat, Anak Bahagia: Pelatihan Stimulasi Sosioemosional pada Anak Usia Dini untuk Kader Bina Keluarga Balita di Gunungkidul
Universitas Gadjah Mada

Center for Life-Span Development (CLSD)
D-602, Fakultas Psikologi, Universitas Gadjah Mada
Jalan Sosio Humaniora Bulaksumur, Yogyakarta, Indonesia 55281
clsd.psikologi@ugm.ac.id

© Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY

[EN] We use cookies to help our viewer get the best experience on our website. -- [ID] Kami menggunakan cookie untuk membantu pengunjung kami mendapatkan pengalaman terbaik di situs web kami.I Agree / Saya Setuju