• Home
  • About Us
    • Managing Team
    • Researchers
    • Interns
    • Associates
  • Articles
  • Courses
  • Activities
    • CLSD Reader’s Club
    • Summer Course
    • Photovoice
    • SAELA
    • Community Service
  • Research & Publication
Universitas Gadjah Mada Center for Life-Span Development (CLSD)
Faculty of Psychology
Universitas Gadjah Mada
  • Home
  • About Us
    • Managing Team
    • Researchers
    • Interns
    • Associates
  • Articles
  • Courses
  • Activities
    • CLSD Reader’s Club
    • Summer Course
    • Photovoice
    • SAELA
    • Community Service
  • Research & Publication
  • Beranda
  • Artikel
  • Artikel
  • page. 2
Arsip:

Artikel

Memperingati Hari Anak Sedunia, CLSD UGM X IPPI DIY Adakan Webinar Mencegah, Mengenali, dan Merespon Kekerasan Seksual pada Anak

ArtikelArtikelArtikel Liputan KegiatanEvent Monday, 23 December 2024

Center for Life-Span Development (CLSD) UGM berkolaborasi dengan Ikatan Psikologi Perkembangan Indonesia (IPPI) Wilayah DIY mengadakan webinar bertajuk “Mencegah, Mengenali, dan Merespons Kekerasan Seksual pada Anak” pada 23 dan 30 November 2024. Webinar ini dilaksanakan dalam rangka memperingati Hari Anak Sedunia yang jatuh pada tanggal 20 November 2024 sekaligus sebagai respons atas semakin meningkatnya kekerasan seksual yang terjadi pada anak di Indonesia.

Acara dibuka oleh sambutan dari kepala CLSD, Sutarimah Ampuni, M.Si., MPsych., Ph.D., Psikolog dan Ketua IPPI Wilayah DIY, Dr. Rita Eka Izzaty, S.Psi., M.Si, Psikolog. Dalam sambutan tersebut, disampaikan bahwa kekerasan pada anak (KSA) merupakan permasalahan serius yang dapat memberikan dampak negatif jangka panjang pada anak sehingga perlu menjadi perhatian dari seluruh lapisan masyarakat. 

“Mengingat seriusnya dampak kekerasan seksual pada anak, diperlukan langkah-langkah pencegahan dan penanganan yang komprehensif yang melibatkan seluruh lapisan masyarakat. Kesadaran (awareness) mengenai kekerasan seksual pada anak termasuk pencegahannya perlu disebarluaskan ke masyarakat, terutama yang berhubungan dekat dengan anak-anak,” ungkap Sutarimah Ampuni.

Webinar ini melibatkan para ahli di bidang penanganan kekerasan seksual pada anak sebagai narasumber-narasumbernya, yakni Ir. Emmy Lucy Smith, M. Krim (Pendiri Yayasan Kakak di Surakarta), Vitria Lazzarini, M.Psi, Psikolog (Psikolog dan Praktisi Pendamping Kekerasan Seksual Anak), Dr. Maria Goretti Adiyanti, M.S., (Dosen dan Peneliti di Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada), dan Lucia Peppy Novianti, M.Psi, Psikolog (Founder dan CEO Wiloka Workshop). 

Di pertemuan pertama (23/11), materi yang disampaikan terdiri dari  konsep kekerasan seksual dan contoh kasus-kasus nyata di lapangan serta cara membangun kesadaran tentang KSA di keluarga dan sekolah. Sementara pada pertemuan kedua (30/11), materi yang disampaikan membahas tentang karakteristik perkembangan anak untuk pencegahan dan penanganan kekerasan seksual pada anak dan pendampingan awal untuk anak yang mengalami atau terindikasi mengalami KSA.

Melalui webinar ini, CLSD UGM dan IPPI DIY berharap dapat memberikan kontribusi nyata ke masyarakat dalam upaya mengedukasi peserta mengenai bagaimana langkah pencegahan kekerasan seksual pada anak dimulai dari lingkungan terdekat mereka. 

Mengembangkan Kepedulian Generatif Guna Mempersiapkan Peran Pemuda sebagai Agen Perubahan

ArtikelArtikelArtikel Ilmiah Populer Thursday, 5 December 2024

Penulis: Sukmo Bayu Suryo Buwono, S.Psi., M.A.

Penyunting: Muhammad Ikbal Wahyu Sukron, S.Psi., M.A.

Peran pemuda umum diasosiasikan sebagai katalis dan garda terdepan dari perubahan. Jikapun pada mulanya asosiasi ini sekadar dimaksudkan sebagai jargon pembakar semangat, pada kenyataannya, kajian psikologi perkembangan telah berhasil menemukan kebenaran di balik jargon ini. Berdasarkan temuan-temuan empiris di sepanjang dua dekade terakhir, keterlibatan pemuda sebagai agen perubahan salah satunya ditentukan oleh keberhasilan mereka dalam mengembangkan kepedulian generatif.

Mengapa pemuda disebut agen perubahan dan bagaimana kaitannya dengan kepedulian generatif?

Secara umum, mereka yang telah berusia 18-29 tahun dapat disebut sebagai pemuda. Dalam ilmu psikologi, rentang ini diistilahkan sebagai periode emerging adulthood (Arnett, 2011). Periode ini menandai masa transisi dari fase remaja, yang sarat akan krisis pencarian jati diri, menuju fase dewasa awal yang sarat akan krisis pencarian pasangan hidup (Erikson, 1963).

Di sepanjang emerging adulthood, gairah individu untuk terlibat dalam kegiatan kreatif, komunitas, aktivisme, dan politik dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat tengah berada di level tertinggi. Maka tak jarang jika perubahan, terobosan, dan gagasan besar terlahir oleh mereka yang berada di periode ini. Tingginya keterlibatan di atas adalah imbas dari suatu tahap perkembangan psikososial yang lazim dikenal sebagai fenomena early generativity, yaitu menonjolnya kepedulian generatif di sepanjang rentang emerging adulthood (Alisat dkk., 2014; Jia dkk., 2015; Matsuba dkk., 2017; Pratt & Lawford, 2014). Kepedulian generatif adalah kepedulian akan keberlangsungan hidup generasi penerus (McAdams & de St. Aubin, 1992).

Kepedulian generatif dikatakan sebagai fenomena psikososial karena kemunculannya berfondasi pada dorongan batin (psiko) dan tuntutan sosial (sosial) yang hanya menonjol pada rentang perkembangan tertentu. Secara spesifik, menonjolnya kepedulian generatif di rentang emerging adulthood dilandasi oleh dorongan batin untuk bermanfaat bagi sesama dan meninggalkan warisan positif yang dapat dikenang, serta tuntutan budaya untuk memastikan keberlangsungan dan kesejahteraan hidup spesies (Pratt & Lawford, 2014). Fondasi psikososial tersebut menghasilkan motivational force yang kuat dalam mengorganisir struktur motif dan moralitas individu; ia turut membentuk kepribadian dan menentukan penilaian tentang baik/buruk, benar/salah, dan penting/tidak penting (Jia dkk., 2015; McAdams, 2019).

Individu dengan kepedulian generatif yang tinggi akan secara sadar memikirkan masa depan generasi penerus (McAdams & de St. Aubin, 1992) dan dapat menyusun rencana jangka panjang untuk mengaktualisasikannya (Jia dkk., 2015). Dengan tingginya kepedulian generatif, individu mampu mengedepankan kepentingan jangka panjang yang berorientasi pada kesejahteraan semua pihak, atau “the greater good” (McAdams, 2001). Perihal ini telah terkonfirmasi dalam studi eksperimen terkini yang penulis lakukan. Bahwasannya ketika emerging adults menyadari adanya ancaman terhadap masa depan generasi penerus, mereka dengan kepedulian generatif yang tinggi mampu mengedepankan “the greater good” di atas kepentingan pribadi dan pro-sosial kelompok (Buwono & Patria, 2023).

Berdasarkan paparan di atas, dapat diketahui bahwa kepedulian generatif memberikan kesiapan pada pemuda untuk dapat berperan sebagai agen perubahan. Sayangnya, meski emerging adulthood adalah periode sensitif bagi perkembangan kepedulian generatif, tidak setiap individu dapat mencapai level perkembangan optimal. Oleh karena itu, sejumlah indikator untuk mengenali perkembangan kepedulian generatif yang optimal perlu diketahui.

Bagaimana mengidentifikasi mereka dengan kepedulian generatif yang tinggi?

Berbicara mengenai generativitas takkan bisa lepas dari gagasan-gagasan yang dicetuskan oleh Erik Erikson (1963). Bagi Anda yang familiar dengan teori Erikson, ketika diminta menyebutkan indikator dari individu yang generatif, kemungkinan besar pasti akan mengatakan berketurunan dan mengasuh anak. Ini sepenuhnya tidak keliru. Justru, di kultur pronatalistik seperti di Indonesia, kedua indikator tersebut banyak benarnya.

Meski demikian, berketurunan dan mengasuh anak bukanlah satu-satunya ekspresi—lebih lagi ekspresi utama—dari kepedulian generatif. Keduanya bahkan hanya sekadar contoh perilaku dalam domain ekspresi biological dan parental. Sedangkan, kepedulian generatif memiliki empat domain ekspresi. Dua domain lain yang belum disebutkan adalah domain technical dan societal. Kedua domain ini justru adalah yang paling relevan dan mewakili ekspresi kepedulian generatif dalam periode emerging adulthood.

Upaya-upaya yang dilakukan individu untuk mewariskan keterampilan dan pengetahuan bagi generasi penerus dapat dikatakan sebagai ekspresi technical dari kepedulian generatif. Sementara keterlibatan dalam aktivitas sipil dan politik di ranah publik dengan tujuan untuk merawat masa depan dapat dikatakan sebagai ekspresi societal dari kepedulian generatif (Jia dkk., 2015; Kotre, 1984; Matsuba dkk., 2017). Dalam mengekspresikan kepedulian generatif, perilaku yang diproduksi dapat sangat beragam. Beberapa ciri khas untuk mengidentifikasinya adalah ia selalu mencerminkan upaya mencipta (secara literal via berketurunan; figuratif via berkarya), memelihara, atau memberi dengan orientasi untuk mengedepankan kesejahteraan generasi penerus (McAdams, 2001; McAdams & de St. Aubin, 1992).

Apa saja strategi untuk mengembangkan kepedulian generatif?

Terdapat sejumlah strategi untuk menstimulasi kepedulian generatif agar perkembangannya dapat optimal di periode emerging adulthood. Pertama, pola pengasuhan yang otoritatif dan mendukung kemandirian perlu diterapkan oleh orang tua (Frensch dkk., 2007; Lawford dkk., 2005). Kedua, keterlibatan individu dalam kegiatan kesukarelawanan dan komunitas pro-sosial perlu ditingkatkan sejak remaja (Frensch dkk., 2007; Lawford dkk., 2005; Soucie dkk., 2018). Ketiga, emerging adults perlu didorong agar mampu mengembangkan hubungan yang erat dengan teman sebaya (Mackinnon dkk., 2016).

Selain itu, penulis juga berpandangan bahwa kebijakan publik perlu diarahkan untuk membina generasi muda yang generatif. Salah satunya yakni dengan menyediakan dan menghidupkan berbagai organisasi dengan misi generatif yang dapat memberdayakan keterlibatan remaja dan emerging adults. Hal ini sangatlah penting untuk dilakukan. Pasalnya, generasi muda yang generatif merupakan kunci dari kesiapan mereka untuk menjalankan peran sebagai katalisator perubahan.

***

Referensi

Alisat, S., Norris, J. E., Pratt, M. W., Matsuba, M. K., & McAdams, D. P. (2014). Caring for the earth: Generativity as a mediator for the prediction of environmental narratives from identity among activists and nonactivists. Identity, 14(3), 177-194. https://doi.org/10.1080/15283488.2014.921172

Arnett, J. J. (2011). Emerging adulthood(s): The cultural psychology of a new life stage. In L. A. Jensen (Ed.), Briding cultural and developmental approaches to psychology: New syntheses in theory, research, and policy (pp. 255-275). Oxford University Press. 

Buwono, S. B. S., & Patria, B. (2023). Associating anthropogenic disaster with existential terror alters cooperation in social dilemmas. Paper presentation at the 15th Biennial Conference of the Asian Association of Social Psychology, Hong Kong.

Erikson, E. H. (1963). Childhood and society (2nd ed.). WW Norton & Company.

Frensch, K. M., Pratt, M. W., & Norris, J. E. (2007). Foundations of generativity: Personal and family correlates of emerging adults’ generative life-story themes. Journal of research in personality, 41(1), 45-62. https://doi.org/10.1016/j.jrp.2006.01.005

Jia, F., Alisat, S., Soucie, K., & Pratt, M. (2015). Generative concern and environmentalism: A mixed methods longitudinal study of emerging and young adults. Emerging adulthood, 3(5), 306-319. https://doi.org/10.1177/2167696815578338 

Kotre, J. (1984). Outliving the self: Generativity and the interpretation of lives. Johns Hopkins University Press.

Lawford, H., Pratt, M. W., Hunsberger, B., & Mark Pancer, S. (2005). Adolescent generativity: A longitudinal study of two possible contexts for learning concern for future generations. Journal of research on adolescence, 15(3), 261-273. https://doi.org/10.1111/j.1532-7795.2005.00096.x

Mackinnon, S. P., De Pasquale, D., & Pratt, M. W. (2016). Predicting generative concern in young adulthood from narrative intimacy: A 5-year follow-up. Journal of adult development, 23(1), 27-35. https://doi.org/10.1007/s10804-015-9218-1

Matsuba, M. K., Alisat, S., & Pratt, M. W. (2017). Environmental activism in emerging adulthood. In L. M. Padilla-Walker & M. W. Pratt (Eds.), Flourishing in emerging adulthood: Positive development during the third decade of life (pp. 175-201). Oxford University Press.

McAdams, D. P. (2001). Generativity in midlife. In M. Lachman (Ed.), Handbook of midlife development (pp. 395-443). Wiley.

McAdams, D. P. (2019). The emergence of personality. In D. P. McAdams, R. L. Shiner, & J. L. Tackett (Eds.), Handbook of personality development (pp. 3-19). Guilford Press.

McAdams, D. P., & de St. Aubin, E. (1992). A theory of generativity and its assessment through self-report, behavioral acts, and narrative themes in autobiography. Journal of Personality and Social Psychology, 62(6), 1003. https://doi.org/10.1037/0022-3514.62.6.1003

Pratt, M. W., & Lawford, H. L. (2014). Early generativity and types of civic engagement in adolescence and emerging adulthood. In L. M. Padilla-Walker & G. Carlo (Eds.), Prosocial development: A multidimensional approach (pp. 410-436). Oxford University Press. https://doi.org/10.1093/acprof:oso/9780199964772.003.0020

Soucie, K. M., Jia, F., Zhu, N., & Pratt, M. W. (2018). The codevelopment of community involvement and generative concern pathways in emerging and young adulthood. Developmental psychology, 54(10), 1971-1976. https://doi.org/10.1037/dev0000563

Positive Peer-group: Pentingnya Memilih Pergaulan pada Masa Remaja

ArtikelArtikelArtikel Ilmiah Populer Thursday, 5 September 2024

Penulis: Hanifah Sholihah

Penyunting: Nur Nisrina Hanif Rifda

Fase kehidupan individu yang menginjak masa remaja pada umumnya diperkirakan dimulai sekitar masa pubertas dan berakhir ketika seseorang mencapai tingkat kemandirian seperti orang dewasa. Masa remaja merupakan periode kehidupan pada rentang usia 10 hingga 24 tahun yang ditandai dengan peningkatan kepekaan terhadap rangsangan sosial dan kebutuhan akan interaksi dengan teman sebaya (Orben dkk., 2020). Masa remaja sangat penting bagi perkembangan sosial, yang ditandai oleh semakin pentingnya hubungan teman sebaya dibandingkan dengan keluarga, dan semakin besarnya ketidakstabilan serta kompleksitas hubungan sosial (Crone & Dahl, dalam Somerville, 2013). Masa perkembangan remaja juga mencakup beberapa perubahan psikososial terbesar dan paling dramatis dalam rentang hidup manusia (Rapee dkk., 2019).

Peer-group memainkan peran penting dalam proses eksplorasi dan pengembangan identitas pada masa remaja. Peer-group merupakan kelompok teman sebaya dengan usia yang sama, berteman cukup dekat, dan berbagi aktivitas yang sama (Castrogiovanni, 2002). Status peer-group menjadi semakin penting hingga sering kali menyebabkan individu bersaing untuk mendapatkan perhatian dari kelompok yang berada di puncak tingkatan sosial. Kondisi tersebut berpotensi membuat mereka lebih rentan terhadap konflik peer-group (Meuwese dkk., 2017). Dibandingkan dengan anak-anak, remaja menghabiskan lebih banyak waktu bersama teman sebayanya, sehingga hal tersebut dapat turut memperbesar dampak peer-group terhadap perilaku remaja (Meuwese dkk., dalam  Rapee dkk., 2019). 

Peer-group dapat berperan penting dalam pengambilan keputusan pada masa remaja (Ciranka & van den Bos, 2019). Dalam membuat keputusan biasanya remaja cenderung lebih memilih gaya keputusan yang memuaskan atau berupaya untuk memaksimalkan keuntungan yang didapat (de Jesús Cardona-Isaza, 2022). Mereka bisa lebih rasional, berorientasi pada tindakan atau malah menghindar, dan mandiri atau malah bergantung (Bruine de Bruin dkk., 2015). Dalam proses pengambilan keputusan, remaja juga melibatkan peer-groupnya untuk mendapatkan kepastian sehingga mereka yakin dengan apa yang mereka putuskan.

Remaja melalui berbagai proses dalam pengambilan keputusan (Henneberger dkk, 2021). Proses pertama adalah seleksi teman sebaya, yaitu ketika remaja memilih untuk berinteraksi satu sama lain. Misalnya, remaja yang rajin ikut kegiatan keagamaan di tempat ibadah akan cenderung memilih teman dengan norma dan perilaku yang sama, serta membatasi diri dari remaja yang berperilaku melanggar norma agama.

Proses kedua adalah sosialisasi peer-group, yaitu ketika perilaku remaja dibentuk oleh pengaruh lingkungan teman sebaya. Misalnya, perilaku dan norma taat beragama pada remaja turut dibentuk oleh teman-teman mereka yang menjalankan norma dan perilaku taat beragama. Oleh karena itu, dampak dari seleksi dan sosialisasi peer-group sangat kuat pada masa remaja yang menjadi periode penting bagi orientasi sosial terhadap teman sebaya (Fuligni, 2019).

Teori pembelajaran sosial mengemukakan bahwa perilaku remaja dibentuk oleh perilaku peer-group melalui keteladanan dan penguatan sosial, terutama ketika penguatan sosial tersebut berasal dari kelompok teman sebaya yang diinginkan (Bandura, 1977). Berdasarkan sudut pandang tersebut, remaja akan cenderung memilih teman sebaya dan perilaku yang diinginkan, serta mencontoh perilaku teman sebaya tersebut, sehingga terjadilah proses sosialisasi melalui penguatan. Misalnya, remaja yang mengamati bahwa teman-temannya rajin membuat kreasi daur ulang sampah untuk diperjualbelikan di internet akan cenderung tertarik untuk ikut terlibat dan mencontoh kreasi teman-temannya untuk menerima penguatan. Selanjutnya, ia dapat sering memberikan karya-karya yang lebih kreatif.

Penerimaan dari peer-group yang memberikan dukungan emosional dan instrumental juga dapat meningkatkan penguatan pada masa remaja (Padilla-Walker dkk., 2017). Keputusan yang diambil remaja sekarang akan menentukan keputusan mereka di kemudian hari (Shamma & Katz, 2018). Oleh karena itu, peer-group sangat berpengaruh terhadap pergaulan remaja yang menuju fase perkembangan berikutnya.

Teori identitas memandang bahwa remaja dapat menyesuaikan diri dengan norma-norma sosial dari peer-group yang diinginkan untuk meningkatkan rasa diri atau identitasnya (Festinger, 1954). Berdasarkan  teori  ini, remaja memilih peer-group berdasarkan norma-norma kelompok sosial. Seiring berjalannya waktu, peer-group tersebut dapat mengalami sosialisasi dan saling menyesuaikan. Misalnya, remaja dapat menyelaraskan diri dengan teman sebayanya yang rajin beribadah dan suka menolong orang lain. Tanpa adanya paksaan, remaja akan meniru perilaku yang sesuai dengan kebiasaan temannya. Di samping itu, remaja juga akan mudah diterima oleh peer-groupnya apabila perilakunya sesuai dengan kebiasaan sehari-hari mereka. Oleh karena itu, pengaruh peer-group dapat menjadi faktor penentu penerimaan yang lebih bernilai dan penting seiring berkembangnya masa remaja (Fuligni, 2019).

Remaja perlu memilih pergaulan yang dapat berdampak positif bagi kehidupannya. Dengan adanya peer-group, individu bisa mendapatkan dukungan dari teman-teman sebayanya, terutama terkait dengan kesehatan mental (Rapee dkk., 2019). Peer-group juga dapat menjadi teladan. Misalnya, jika seseorang terlibat dalam kelompok yang ambisius dan pekerja keras, maka ia juga dapat terdorong untuk mengikuti kelompoknya agar tidak merasa dikucilkan oleh kelompok tersebut (Filade dkk., 2019). Meskipun mungkin mengalami tekanan, ia dapat memperoleh manfaat dari peer-group-nya karena harus berusaha mengimbangi dan membangun hubungan yang baik. Pengaruh positive peer tersebut dapat menjadikan seseorang memperoleh prestasi akademik yang berkaitan dengan identitas diri, harga diri, dan kemandirian seseorang. Pengaruh teman sebaya juga dapat menginspirasi semangat akademik siswa dan motivasi berprestasi (Lashbrook, 2000).

Referensi

Bandura, A. (1977). Social learning theory. Prentice Hall.

Bruine de Bruin, W., Parker, A. M., & Fischhoff, B. (2015). Individual differences in decision-making competence across the lifespan. In E. A. Wilhelms & V. F. Reyna (Eds.), Neuroeconomics, judgment, and decision making (pp. 219-236). Psychology Press.

Castrogiovanni. (2002). Adolescence: Peer groups.

Ciranka, S., & van den Bos, W. (2019). Social influence in adolescent decision-making: A formal framework. Frontiers in Psychology, 10(AUG). https://doi.org/10.3389/fpsyg.2019.01915

Crone, E. A., & Dahl, R. E. (2012). Understanding adolescence as a period of social-affective engagement and goal flexibility. Nature Reviews Neuroscience, 13(9), 636–650.

de Jesús Cardona-Isaza, A., Jiménez, S. V., & Montoya-Castilla, I. (2022). Decision-making styles in adolescent offenders and non-offenders: Effects of emotional intelligence and empathy. Anuario de Psicología Jurídica, 32(1), 51-60.

Festinger, L. (1954). A theory of social comparison processes. Human Relations, 7(2), 117–140.

Filade, B. A., Bello, A. A., Uwaoma, C. O., Anwanane, B. B., & Nwangburuka, K. (2019). Peer group influence on academic performance of undergraduate students in Babcock University, Ogun State. African Educational Research Journal, 7(2), 81–87. https://doi.org/10.30918/aerj.72.19.010.

Fuligni, A. J. (2019). The need to contribute during adolescence. Perspectives on Psychological Science, 14(3), 331-343. https://doi.org/10.1177/1745691618805437

Henneberger, A. K., Mushonga, D. R., & Preston, A. M. (2021). Peer influence and adolescent substance use: A systematic review of dynamic social network research. In Adolescent Research Review (Vol. 6, Issue 1, pp. 57–73). Springer International Publishing. https://doi.org/10.1007/s40894-019-00130-0

Lashbrook, J. T. (2000). Fitting in: Exploring the emotional dimension of adolescence. Adolescence, 35(140), 747–757.

Meuwese, R., Cillessen, A. H. N., & Güroğlu, B. (2017). Friends in high places: a dyadic perspective on peer status as predictor of friendship quality and the mediating role of empathy and prosocial behavior. Social Development, 26(3), 503–519. https://doi.org/10.1111/sode.12213

Orben, A., Tomova, L., & Blakemore, S. J. (2020). The effects of social deprivation on adolescent development and mental health. The Lancet Child and Adolescent Health, 4(8), 634–640. https://doi.org/10.1016/S2352-4642(20)30186-3

Rapee, R. M., Oar, E. L., Johnco, C. J., Forbes, M. K., Fardouly, J., Magson, N. R., & Richardson, C. E. (2019). Adolescent development and risk for the onset of social-emotional disorders: a review and conceptual model. Behaviour Research and Therapy, 123, 103501. https://doi.org/10.1016/j.brat.2019.103501

Shamma, F. M., & Katz, M. (2018). Decision making during adolescence: a comparison of Jewish and Druze societies. International Journal of Psychological Studies, 10(4), 65-78.

Somerville, L. H. (2013). The teenage brain: sensitivity to social evaluation. Current Directions in Psychological Science, 22(2), 121–127. https://doi.org/10.1177/0963721413476512

Harga Diri Rendah Pada Remaja: Bagaimana Menanggapinya?

ArtikelArtikelArtikel Ilmiah Populer Monday, 2 September 2024

Penulis: Faya Sadina Ramadhian
Penyunting: Nur Nisrina Hanif Rifda

Harga diri atau self-esteem merupakan suatu hal penting dalam kehidupan yang dapat diartikan sebagai penilaian menyeluruh terhadap nilai diri individu dari rentang rendah hingga tinggi (Jordan dkk., 2020). Harga diri mencerminkan gambaran diri yang dimiliki seseorang terhadap dirinya sendiri mengenai berbagai hal, seperti kemampuan diri, kepercayaan diri, dan rasa aman. Harga diri termasuk hal yang penting bagi kesejahteraan mental dan sosial seseorang karena dapat memengaruhi aspirasi, cita-cita, dan interaksi dengan orang lain (Mann dkk., 2004). Apabila seseorang memiliki harga diri yang rendah, maka kondisi tersebut dapat berpengaruh negatif terhadap  kebahagiaan, penyesuaian diri, sukses, prestasi akademik, dan kepuasan (Du dkk., 2017).

Harga diri yang rendah seringkali  dialami oleh seseorang pada masa remaja. Berdasarkan studi ACT for Youth Center of Excellence (2006), sepertiga hingga setengah dari remaja memiliki harga diri yang rendah, terutama pada masa remaja awal. Harga diri rendah pada remaja dapat berdampak negatif terhadap kesehatan mental dan perkembangannya, terutama karena masa remaja merupakan tahap transisi untuk membangun identitas diri. Artikel ini akan menjelaskan lebih lanjut tentang penyebab dan akibat harga diri yang rendah pada remaja. Di samping itu, artikel ini juga akan membahas mengenai berbagai macam strategi untuk meningkatkan?harga diri.

Salah satu penyebab rendahnya harga diri pada remaja adalah perbandingan sosial. Ketika remaja melakukan perbandingan sosial, ia cenderung dapat memiliki harga diri dan kepuasan yang lebih rendah terkait penampilannya (Purić dkk., 2011). Selain itu, fenomena upward social comparison atau proses membandingkan diri dengan orang yang lebih ‘beruntung’ dapat menyebabkan harga diri dan evaluasi diri yang rendah pada remaja (Hoffman, 2021). Fenomena perbandingan diri juga tampak pada sikap remaja yang sering kali terlalu mementingkan penampilan mereka sehingga dapat menyebabkan rendahnya harga diri apabila merasa tidak memenuhi standar kecantikan. Kondisi remaja dengan harga diri yang rendah dan tidak puas terhadap penampilannya akan berkaitan dengan perilaku makan tidak sehat.

Selanjutnya, faktor risiko utama rendahnya harga diri pada remaja adalah stres pendidikan yang tinggi serta kekerasan fisik dan/atau emosional oleh orangtua  (Nguyen dkk., 2019). Terdapat orang tua yang menerapkan pola asuh secara terlalu kritis atau bersifat neglectful yang ditandai oleh tidak terlibatnya  orang tua dalam kehidupan anak dapat menyebabkan rendahnya harga diri pada remaja. Orang tua juga berpotensi memberi beban bagi anak untuk meraih prestasi akademik tertentu ataupun membandingkan remaja dengan remaja lain. Perilaku tersebut dapat membuat remaja turut melakukan perbandingan diri sehingga berpengaruh terhadap rendahnya harga diri 

Kondisi harga diri yang rendah pada remaja dapat mengakibatkan berbagai hal yang memunculkan permasalahan dalam perkembangan. Penelitian Masselink dkk. (2018) menunjukkan bahwa harga diri rendah pada masa remaja awal dapat memprediksi gejala depresi pada masa remaja akhir dan dewasa awal. Harga diri yang rendah juga dapat menyebabkan rendahnya  kepercayaan diri, sehingga membuat remaja lebih rentan untuk mengalami kecemasan. Remaja berpotensi melakukan tindakan penyalahgunaan zat sebagai mekanisme penyelesaian masalah. Rendahnya harga diri pada remaja juga dapat membuat mereka tidak termotivasi untuk mendorong diri dalam bidang akademik, sehingga berpotensi mengalami kesulitan dan memiliki pandangan yang rendah tentang masa depan.

Beberapa strategi yang dapat diterapkan untuk meningkatkan harga diri pada remaja adalah sebagai berikut:

  1. Mendorong positive self-talk. Remaja perlu didorong untuk berbicara kepada diri sendiri secara positif dan suportif guna membangun rasa apresiasi kepada diri. 
  2. Berfokus pada keunggulan diri. Remaja perlu melatih diri untuk fokus pada potensi keunggulan dan pencapaian yang dimiliki dibandingkan dengan kelemahan pada dirinya.
  3. Mendorong kebiasaan sehat. Harga diri remaja dapat ditingkatkan melalui kebiasaan yang lebih sehat, seperti olahraga, makan teratur, dan pola tidur cukup.
  4. Menyediakan kesempatan untuk sukses. Remaja selayaknya diberi kesempatan untuk mengaktualisasi diri, meraih kesuksesan, serta diakui pencapaianya.
  5. Mencari bantuan profesional jika dibutuhkan. Apabila remaja mengalami permasalahan berat yang muncul sebagai akibat dari harga diri yang rendah, maka akan lebih baik jika dihubungkan kepada pihak profesional seperti psikolog.

Rendahnya harga diri pada masa remaja merupakan permasalahan yang dapat berdampak negatif terhadap kesehatan mental dan kesejahteraan individu. Perbandingan sosial, pengaruh orang tua, tekanan akademik, dan ketidakpuasan akan penampilan merupakan beberapa penyebab harga diri yang rendah pada remaja. Beberapa akibat dari harga diri rendah pada masa remaja dapat muncul dalam bentuk depresi, kecemasan, penyalahgunaan zat (substance abuse), dan performa akademik yang rendah. Strategi untuk membangun harga diri pada masa remaja antara lain adalah dengan mendorong positive self-talk, fokus pada keunggulannya, mendorong kebiasaan yang sehat, memberi kesempatan untuk sukses, serta mencari bantuan profesional apabila dibutuhkan. Dengan membangun harga diri selama masa remaja, individu dapat meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan mentalnya, serta mempersiapkan diri untuk sukses di masa depan.

Daftar Pustaka

ACT for Youth Center of Excellence. (2006). Self-esteem in adolescence. https://www.actforyouth.net/resources/rf/rf_slfestm_0603.cfm 

Du, H., King, R. B., & Chi, P. (2017). Self-esteem and subjective well-being revisited: The roles of personal, relational, and collective self-esteem. PloS one, 12(8), e0183958. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0183958 

Hoffman, J. (2021, January 18). Social comparison among teens. Jenny Talks Therapy. https://jennytalkstherapy.com/2021/01/18/social-comparison-among-teens/ 

Jordan, C. H., Zeigler-Hill, V., & Cameron, J. J. (2020). Self-esteem. In V. Zeigler-Hill & T. K. Shackelford (Eds.), Encyclopedia of Personality and Individual Differences (pp. 1-7). Springer. https://doi.org/10.1007/978-3-319-24612-3_1169 

Mann, M., Hosman, C. M. H., Schaalma, H. P., & de Vries, N. K. (2004). Self-esteem in a broad-spectrum approach for mental health promotion. Health Education Research, 19(4), 357-372. https://doi.org/10.1093/her/cyg041 

Masselink, M., Van Roekel, E., & Oldehinkel, A. J. (2018). Self-esteem in early adolescence as predictor of depressive symptoms in late adolescence and early adulthood: the mediating role of motivational and social factors. Journal of Youth and Adolescence, 47(5), 932–946. https://doi.org/10.1007/s10964-017-0727-z 

Nguyen, D. T., Wright, E. P., Dedding, C., Pham, T. T., & Bunders, J. (2019). Low self-esteem and its association with anxiety, depression, and suicidal ideation in Vietnamese secondary school students: a cross-sectional study. Frontiers in Psychiatry, 10, 698. https://doi.org/10.3389/fpsyt.2019.00698 

Purić, D., Simić, N., Savanović, L., Kalanj, M., & Jovanović-Dačić, S. (2011). The impact of forced social comparison on adolescents’ self-esteem and appearance satisfaction. Psihologija, 44(4), 325-341. https://doi.org/10.2298/PSI1104325P

Memahami Remaja Melalui Perkembangan Otak

ArtikelArtikelArtikel Ilmiah Populer Saturday, 18 May 2024

Penulis: Alfi Syukrina Hadi

Penyunting: Raden Roro Anisa Anggi Dinda

Masa remaja dikenal sebagai periode perkembangan yang ditandai dengan keputusan dan tindakan yang belum cukup dewasa sehingga menimbulkan peningkatan insiden cedera dan kekerasan yang tidak disengaja, penyalahgunaan alkohol dan obat-obatan, kehamilan yang tidak diinginkan, bahkan penyakit menular seksual (Casey et al., 2008). Hal ini memperlihatkan bahwa pada masa remaja, perilaku-perilaku menyimpang yang timbul dapat berdampak besar baik untuk dirinya sendiri maupun lingkungannya. Urgensi yang timbul akibat permasalahan-permasalahan ini tidak hanya menjadi kecemasan orang tua, namun telah mengambil perhatian banyak pihak dalam masyarakat. Berbagai usaha telah dilakukan agar dapat mengintervensi perilaku negatif pada kelompok remaja, namun sayangnya intervensi-intervensi yang diusahakan ini seringkali gagal dalam membantu remaja mengatasi perilaku-perilaku negatif (Yaeger et al., 2018). Pertanyaan yang kemudian timbul, apakah mungkin intervensi-intervensi yang dicanangkan selama ini tidak dapat berjalan dengan baik karena pemahaman yang masih belum tepat tentang perubahan internal pada masa remaja? 

Untuk dapat memberikan intervensi yang baik, maka diperlukan pemahaman yang akurat tentang remaja. Salah satu sudut pandang yang bisa diambil agar dapat memahami remaja adalah sudut pandang pertumbuhan biologis pada masa remaja. Namun pertumbuhan biologis pada masa remaja sering hanya diartikan sebagai perubahan fisik dan perubahan hormonal yang dialami oleh remaja. Padahal masih ada perkembangan yang sangat krusial pada masa ini, yaitu perkembangan otak pada remaja. 

Masa remaja dimulai dari saat bermulanya masa pubertas hingga individu bisa mendapatkan peran mandiri dalam masyarakat (Dumontheil, 2016).  Pada periode ini, penyakit mental lebih rentan untuk muncul, dengan hampir 75% penyakit mental yang dialami oleh orang dewasa muncul pada periode ini (Willenberg et al., 2020). Hal ini juga diakibatkan karena otak remaja merupakan periode sensitif dalam pertumbuhan neuro-kognitifnya. Lalu bagaimana pemahaman tentang remaja jika dilihat dari perkembangan neuro-kognitifnya?

Masa remaja dianggap sebagai fase reorganisasi saraf (neuroplasticity), yaitu kemampuan otak untuk membentuk dan mengatur kembali koneksi sinaptik, terutama dalam menanggapi pembelajaran atau pengalaman tertentu. Fase ini berlangsung secara dramatis sehingga menjadi fase rentan dan dapat menyebabkan perkembangan psikopatologi (Andrews et al., 2021; Dow-Edwards et al., 2019). Ditekankan oleh Dow-Edwards et al. (2019), bahwa sistem otak remaja memberikan respon yang berbeda pada suatu stimuli dibandingkan dengan orang dewasa dan anak-anak. Perubahan yang dialami pada saat remaja ini, diasosiasikan dengan penguatan dan pembahagian neuron pada otak baik secara strukturnya, fungsinya dan kognitif skill-nya (Dumontheil, 2016). Uniknya, perkembangan otak pada masa sensitif ini tidak hanya mempengaruhi bagaimana remaja menghadapi lingkungan sosialnya, namun juga dipengaruhi oleh lingkungan sosial remaja tersebut (Andrews et al., 2021; Dow-Edwards et al., 2019).  

Pada tingkatan perkembangan fungsional otak, dapat difokuskan penjelasannya pada tiga fungsi; kognisi, sosial dan perkembangan emosional. Social brain adalah fungsi otak yang paling aktif dan berkembang yang mana fungsi ini menjadi target sasaran plasticity yang besar pada saat remaja (Dow-Edwards et al., 2019). Dijelaskan lebih mendalam oleh Andrews et al. (2020), bagaimana seorang remaja dapat menavigasikan kehidupan sosialnya dengan baik, sangat bergantung pada sosio-kognitif proses yang dimilikinya. Di sisi lain, dalam segi sosial kognisi dan emosi, remaja secara konsisten menunjukkan aktifasi bagian otak yang lebih besar dibandingkan orang dewasa di medial prefrontal cortex. Pada saat ini remaja nampak lebih sensitif terhadap kehadiran teman sebayanya, pengucilan sosial dan terlihat narsistik. Pada masa remaja konteks sosial sangatlah penting, sama halnya dengan perkembangan emosionalnya yang berdampak pada pengambilan keputusan (Dumontheil, 2016). 

Dari hasil-hasil penelitian terdahulu, terlihat bahwa remaja memiliki strategi kognisi yang berbeda dengan orang dewasa ketika berusa memahami intensi orang lain. Hal ini sesuai dengan teori bahwa remaja menggunakan strategi kognisi yang bergantung pada refleksi eksplisit tentang dirinya dan orang lain. Proses ini berlangsung pada Dorsomedial Prefrontal Cortex (dmPFC). Dari pernyataan ini ada beberapa poin penting yang dapat digaris bawahi; kemampuan remaja untuk memahami perspektif orang lain masih dalam masa perkembangan pada masa ini; koneksi fungsional pada otak remaja terlihat lebih besar dibandingkan orang dewasa ketika sedang memikirkan suatu kejadian yang mengandung emosi, sehingga remaja memiliki tendensi membesar-besarkan suatu masalah yang sedang dihadapinya (Andrews et al., 2020). 

Dengan pembahasan perubahan sistem kerja otak karena neuroplasticity yang ada pada remaja, diharapkan orang tua serta lingkungan masyarakat dapat lebih menghargai tantangan yang sedang dihadapi oleh remaja selama masa penyesuaian dan pertumbuhan sistem sarafnya. Selain itu juga diharapkan agar lingkungan sosial remaja dapat memberikan dukungan yang baik dengan menyesuaikan dengan kondisi perkembangan otak remaja. Adapun beberapa intervensi yang dapat diberikan pada remaja pada periode sensitif ini seperti; aktivitas fisik agar mempromosikan hidup sehat, boosting kemampuan kognisi agar dapat menggunakan kemampuan kognisi yang berkembang secara optimal, melatih kemampuan meditasi agar dapat melatih regulasi emosi, dan memastikan remaja berada pada lingkungan sosial pertemanan yang sehat (Yeager et al., 2018). 

Selain itu orang tua dan masyarakat haruslah menciptakan lingkungan yang suportif untuk tumbuh kembang remaja, berusaha memberikan sikap yang menghargai keberadaan dan tantangan yang dihadapi remaja serta mengurangi pengaruh negatif dari lingkungan terhadap status dan kondisi remaja. Dengan mempertimbangkan kondisi perkembangan kognisi yang sensitif pada remaja ini, diharapkan orang tua dan masyarakat dapat memberikan intervensi-intervensi yang lebih positif dan efektif bagi tumbuh kembang remaja.

Referensi

Andrews, J. L., Ahmed, S. P., & Blakemore, S. J. (2021). Navigating the social environment in adolescence: The role of social brain development. Biological Psychiatry, 89(2), 109-118.

Casey, B. J., Getz, S., & Galvan, A. (2008). The adolescent brain. Developmental review, 28(1), 62-77.

Dumontheil, I. (2016). Adolescent brain development. Current Opinion in Behavioral Sciences, 10, 39-44.

Dow-Edwards, D., MacMaster, F. P., Peterson, B. S., Niesink, R., Andersen, S., & Braams, B. R. (2019). Experience during adolescence shapes brain development: From synapses and networks to normal and pathological behavior. Neurotoxicology and teratology, 76, 106834.

Willenberg, L., Wulan, N., Medise, B. E., Devaera, Y., Riyanti, A., Ansariadi, A., … & Azzopardi, P. S. (2020). Understanding mental health and its determinants from the perspective of adolescents: a qualitative study across diverse social settings in Indonesia. Asian Journal of Psychiatry, 52, 102148Yeager, D. S., Dahl, R. E., & Dweck, C. S. (2018). Why interventions to influence adolescent behavior often fail but could succeed. Perspectives on Psychological Science, 13(1), 101-122.

“Siapakah Aku?” Krisis Identitas yang Biasa Dialami Remaja

ArtikelArtikelArtikel Ilmiah Populer Saturday, 4 May 2024

“Siapakah aku? Untuk apakah aku dilahirkan di dunia?”

Sebagian besar remaja setidaknya pernah mengalami fase ini, yakni mulai mempertanyakan identitas dirinya. Masa remaja yang dianggap sebagai tahap peralihan dari masa kanak-kanak ke dewasa merupakan babak kehidupan yang pasti dilalui seseorang dengan proses pencarian jati diri. Pada fase ini, remaja tidak hanya berhadapan dengan perubahan fisik, tetapi juga dengan pertanyaan mendalam tentang siapa mereka sebenarnya. 

Menurut Erikson, remaja akan mengalami suatu fase dalam hidupnya, yaitu krisis dalam pencarian identitas (Feist & Feist, 2010). Umumnya, fase ini dialami oleh remaja berusia 10 hingga 20 tahun. Fase yang disebut sebagai “identity versus role confusion” tersebut membuat remaja sering kali mempertanyakan hampir segala hal dalam dirinya, seperti penampilan fisik, pendidikan, pekerjaan, percintaan, pertemanan, dan banyak hal lainnya. Oleh karena itu, remaja akan bereksplorasi untuk mencari jawaban tersebut.

Perjalanan untuk mengeksplorasi jati diri ini tidak semudah membalikkan telapak tangan. Remaja akan berhadapan dengan berbagai tantangan atau konflik yang harus mereka selesaikan dalam pencarian identitas diri. Jika mereka mampu menemukan identitas diri yang paling sesuai dan merasa nyaman akan identitasnya, maka dapat dikatakan remaja tersebut berhasil menyelesaikan fase ini. Alhasil, jati diri yang kuat dan stabil akan terbentuk pada diri seseorang. Sementara itu, kegagalan dalam tahap ini akan mengarah pada krisis identitas atau yang biasa disebut sebagai role confusion. 

Munculnya kebingungan akan identitas dalam proses eksplorasi diri berpotensi membuat remaja menjadi khawatir tentang citra diri di mata orang lain sehingga remaja akan mengidentifikasi diri secara berlebihan dengan orang-orang sekitar (Nadiah dkk., 2021). Ketiadaan dukungan suportif dari lingkungan sekitar, terutama orang tua, akan semakin memperparah krisis identitas pada remaja. Alhasil, remaja akan dipenuhi oleh rasa tidak aman dan bingung terhadap diri sendiri serta masa depannya. Hal tersebut akan mengarah pada perasaan tertekan dan kurang percaya diri. Bahkan, remaja akan cenderung menerima identitas negatif yang diberi oleh orang sekitar ketika mereka tidak memiliki tujuan dan identitas yang jelas (Erikson, 1968).  

Menurut Siregar (2018), remaja yang gagal menemukan jati dirinya sering kali memiliki self esteem dan self confidence yang rendah. Akibatnya, hal tersebut berpengaruh terhadap penurunan motivasi belajar di sekolah. Selain itu, remaja juga berpotensi memiliki empati dan sikap prososial yang rendah sehingga berdampak terhadap buruknya kualitas hubungan sosial yang dimiliki. Kegagalan dalam menangani krisis identitas juga berpotensi mengarahkan remaja pada perasaan sia-sia, tidak berdaya, menarik diri, hingga tindakan agresif seperti kenakalan remaja (Erikson, 1968). 

Lalu bagaimana solusi atas permasalahan ini?  Berikut sejumlah tips untuk membantu remaja yang sedang mengalami krisis identitas. 

  1. Berikan dukungan dan ciptakan lingkungan yang aman bagi remaja.

Kolaborasi antara orang tua, institusi pendidikan, teman sebaya, dan lingkungan masyarakat akan menjadi cara terbaik dalam membantu remaja menghadapi krisis identitas. Menurut Santrock (2018), orang tua menjadi figur penting dalam perkembangan identitas remaja. Oleh karena itu, orang tua diharapkan dapat memberikan ruang yang aman untuk eksplorasi diri remaja. Selain itu, teman sebaya dapat menjadi lingkungan yang aman bagi proses pencarian identitas. Institusi pendidikan seperti sekolah juga menjadi lini yang tak kalah penting sebagai tempat paling banyak remaja menghabiskan waktunya. Sekolah dapat membantu dalam optimalisasi perkembangan remaja, seperti melalui bimbingan konseling dan penyediaan berbagai kegiatan ekstrakurikuler (Maulida dkk., 2023).

  1. Dorong remaja untuk terus bereksplorasi.

Selain dukungan eksternal, diperlukan juga kesadaran internal yang kuat pada diri remaja untuk terus mengeksplorasi diri. Remaja yang nyaman dalam mencoba hal-hal baru, maka akan semakin mudah untuk membentuk identitas diri (Maulida dkk., 2023). Oleh karena  itu, remaja perlu didorong untuk aktif melakukan berbagai kegiatan positif. 

  1. Evaluasi diri.

Evaluasi diri diperlukan selama proses eksplorasi yang dilakukan remaja. Firhanida dan Hadiyati (2018) mendefinisikan evaluasi diri sebagai pandangan terhadap diri sendiri yang dibentuk melalui nilai, kesuksesan, dan kemampuan yang dimiliki individu. Menurut Maulida dkk. (2023), selama pencarian identitas, remaja akan terus mengevaluasi diri mereka sendiri melalui teman-teman sebaya. Hal ini selaras dengan Erikson (1968) yang menyatakan bahwa pembentukan identitas merupakan proses yang melibatkan refleksi dan pengamatan diri sendiri dengan orang lain. Oleh karena itu, remaja akan sering melakukan interaksi sosial dengan orang lain untuk mendapatkan gambaran diri dari sudut pandang orang lain. Hal ini akan membantu remaja dalam memahami dirinya. 

Tidak bisa dipungkiri bahwa perkembangan manusia merupakan proses yang dinamis, termasuk ketika individu tersebut berada di usia remaja yang sejatinya rentan akan kelabilan emosi. Remaja juga akan dihadapkan pada berbagai tantangan dan membuat remaja menghadapi hal krusial, yaitu krisis identitas. Keberhasilan remaja dalam menangani krisis identitas dipengaruhi oleh 3 aspek penting, yaitu ketepatan dalam membuat persepsi terhadap diri sendiri maupun lingkungannya; keterampilan untuk melakukan eksplorasi dan komitmen peran; serta umpan balik dari orang lain, seperti orang tua atau kelompok teman sebaya (Erikson, 1968). Dengan demikian, sudah menjadi tugas bersama berbagai pihak untuk membimbing dan memberikan ruang aman dalam proses pencarian jati diri remaja. Ayah dan ibu dapat berkolaborasi dengan sekolah untuk mengarahkan anak dalam kegiatan positif selama proses pencarian identitas tersebut.

Referensi

Erikson, E. H. (1968). Identity, youth and crisis. W. W. Norton & Co. 

Feist, J., & Feist, G. J. (2010). Teori kepribadian terjemahan (7th ed., Vol. 1). Salemba Humanika.

Firhanida, S., & Hadiyati, F. N. R. (2018). Hubungan Antara Keputusan Pembelian Produk E-Commerce dan Kohesivitas Kelompok dengan Self-Esteem pada Mahasiswa Tahun Pertama Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro (Doctoral dissertation, Undip).

Maulida, A. R., Wibowo, H., & Rusyidi, B. (2023). Rancang bangun model pengembangan kegiatan pendampingan sosial pada remaja generasi Z dalam mengatasi krisis identitas. Share: Social Work Journal, 13(1), 92-101.

Nadiah, S., Nadhirah, N. A., & Fahriza, I. (2021). Hubungan faktor perkembangan psikososial dengan identitas vokasional pada remaja akhir. Quanta, 5(1), 21-29.

Santrock, J., W. (2018). A topical approach to life-span development (ninth edition) Chapter 1-9. McGraw-Hill Education.Siregar, I. K. (2018). Kecerdasan emosional dan hasil belajar siswa. Kumpulan Jurnal Dosen Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara.

Remaja dan Cybersex

ArtikelArtikelArtikel Ilmiah Populer Monday, 8 April 2024

Penulis: Sri Rahmita

Penyunting: Nur Nisrina Hanif Rifda

Masa remaja merupakan masa yang kritis dalam rentang perkembangan individu. Pada masa ini, terjadi banyak perubahan diri individu sebagai tahapan memasuki masa dewasa. Remaja banyak mengalami gejolak perubahan, baik secara fisik, psikologis, maupun sosial. Dalam masa peralihan ini, sering kali muncul konflik antara remaja dengan dirinya sendiri maupun dengan lingkungan sosial. Apabila tidak diselesaikan dengan baik, maka konflik-konflik tersebut akan memberikan dampak negatif terhadap perkembangan remaja di masa mendatang, terutama dalam hal pematangan karakter hingga memicu terjadinya permasalahan kesehatan mental. Salah satu faktor utama terjadinya permasalahan kesehatan mental pada remaja yaitu penggunaan komunikasi elektronik dan media sosial, atau disebut juga sebagai digitalisasi.

Perkembangan pesat dalam hal teknologi informasi dan komunikasi semakin memudahkan manusia untuk berinteraksi ataupun mencari serta menyebarkan informasi melalui media internet. Saat ini, eksistensi media internet sangat digandrungi oleh generasi muda. Internet memberikan wadah baru bagi berbagai generasi untuk saling berinteraksi secara daring (online). Media internet juga dapat menjadi wadah bagi remaja untuk berekspresi dan mengembangkan kreativitas. Media internet menjadi hal yang tidak terpisahkan dari tumbuh kembang remaja (Griggs, 2009). Hal ini dibuktikan dengan kondisi remaja saat ini yang akan merasa kehidupannya hampa ketika tidak mampu mengakses internet. Di sisi lain, internet juga memberikan dampak negatif terhadap perkembangan remaja, salah satunya yaitu cybersex.

Cybersex mencakup berbagai aktivitas yang mengandung unsur pornografi, seperti melihat gambar-gambar erotis, terlibat dalam chatting mengenai seks, hingga saling bertukar gambar atau pesan tentang seks (Cooper, 2003). Cybersex dimanfaatkan oleh remaja untuk mengunjungi berbagai situs internet terkait aktivitas seksual dan mencari pengalaman seksual melalui internet.

Pengalaman seksual melalui internet terdiri dari dua jenis, yaitu pengalaman pasif, seperti menonton video porno, membaca cerita seks, dan melihat konten yang berbau pornografi; serta aktif, seperti melakukan hubungan seksual ataupun berfantasi seksual dengan pasangan di internet (Goldberg, 2004). Perilaku  cybersex pada remaja tersebut dapat dipengaruhi oleh kemudahan mengakses konten pornografi di internet serta anonimitas atau kerahasiaan nama ketika mengakses konten pornografi tersebut (Afriani, 2016).

Ross dkk. (2005) menyatakan bahwa penggunaan internet dengan tujuan seksual  banyak didominasi oleh kalangan remaja. Rasa ingin tahu yang besar menyebabkan remaja mencari informasi mengenai seksualitas melalui internet sebagai sumber informasi yang mudah diakses dan didapatkan. Namun, tidak setiap informasi yang diperoleh dapat dipahami secara bijak oleh remaja sehingga memberikan dampak negatif (Mukhlis, 2010). Kerentanan remaja dalam menghadapi masalah seksualitas timbul seiring dengan perkembangan remaja yang sedang dalam masa pancaroba atau peralihan. Pada masa ini, remaja akan mengalami perubahan fisik dan psikis dengan ciri-ciri yang berbeda satu sama lain. Remaja juga akan mengalami perkembangan alat dan hormon seksualitas yang turut memengaruhi kondisi psikis remaja (Harlock, 2011).

Kematangan secara seksual membuat remaja menjadi mudah terangsang akan hal-hal yang berkaitan dengan seksualitas karena dorongan seksual yang meningkat. Salah satu cara yang dianggap paling “aman” untuk menyalurkan hasrat seksual bagi remaja adalah dengan mengakses berbagai macam aktivitas seksual melalui internet, salah satunya adalah dengan menonton konten pornografi. Pornografi merupakan media eksplisit seksual yang bertujuan untuk membangkitkan gairah seksual yang melihatnya (Malamuth & Huppin, 2005).

Fenomena seringnya remaja mengakses cybersex dapat berdampak terhadap kecanduan akan hal-hal seksual, kerusakan fungsi otak, penurunan intelegensi dan prestasi akademik karena tidak mampu membuat perencanaan, ketidakmampuan mengontrol hawa nafsu dan emosi, = serta ketidakmampuan mengambil keputusan (Sauvika, 2017). Dampak lain yang ditimbulkan adalah masalah dalam hubungan sosial, seperti maraknya pergaulan bebas di kalangan remaja karena meniru konten yang mereka lihat. Selain itu, Cooper dkk., (2000) mengemukakan bahwa individu yang melihat tayangan pornografi di internet secara terus-menerus termasuk dalam kriteria permasalahan seksual kompulsif.

Terdapat beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi cybersex pada remaja (Dianawati, 2006; Willis, 2017), antara lain:

  1. Pembinaan mental dan kepribadian yang berlandaskan pendidikan agama
  2. Pemberian edukasi seksual pada remaja 
  3. Penguatan pengawasan dari guru dan orang tua 
  4. Pemantauan orangtua terhadap remaja saat mengakses internet, baik menggunakan smartphone ataupun komputer
  5. Pengembangan bakat-bakat khusus yang dimiliki remaja.

Referensi

Cooper, A., Delmonico, D. L., & Burg, R. (2000). Cybersex users, abusers, and compulsives: new findings and implications. Sexual Addiction and Compulsivity, 7, 5–2

Cooper, A., Mansson, S.A., Daneback, K., Tikkanen, R.,& Ross, M. (2003). Predicting the future of internet sex: online sexual activities in Sweden. Sexual and Relationship Therapy, 18-(3), 277-291.

Dianawati, A. (2006). Pendikan seksual remaja. Kawan Pustaka

Goldberg, P. D. (2004). An exploratory study about the impacts that cybersex (the use of the internet for sexual purposes) is having on families and the practices of marriage and family therapists. Thesis, Polytechnic Institute and State University. Faculty of the Virginia.

Griffiths, M. (2001). Sex on the internet: observations and implications for internet sex addictions. The Journal of Sex Research, 38, 333–342.

Hurlock, Elizabeth B. (2011). Psikologi perkembangan: suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan. Erlangga

Malamuth, N. M., Huppin, M., & Paul, B. (2005). Sexual coercion. In D. M. Buss (Ed.), The handbook of evolutionary psychology (pp. 394–418). John Wiley & Sons, Inc.     

Ross, M. W., Månsson, S.-A., Daneback, K., Cooper, A., & Tikkanen, R. (2005). Biases in internet sexual health samples: comparison of an internet sexuality survey and a national sexual health survey in Sweden. Social Science & Medicine, 61(1), 245–252. https://doi.org/10.1016/j.socscimed.2005.01.019

Willis, Sofyan S. 2017. Remaja dan masalahnya (mengupas berbagai bentuk kenakalan remaja seperti narkoba, free sex dan pemecahannya). Alfabeta

CLSD Membangun Semangat Literasi di Kampung Suronatan melalui Pelatihan Membaca Nyaring

ArtikelArtikelArtikel Liputan Kegiatan Tuesday, 26 March 2024

Pada hari Sabtu, 2 Maret 2024 pukul 08.30-11.30 WIB, Center for Life-Span Development (CLSD) Fakultas Psikologi UGM melalui Tim The Reading Buddies mengadakan acara pelatihan read aloud atau membaca nyaring di Kampung Suronatan, Kelurahan Notoprajan, Kemantren Ngampilan, Kota Yogyakarta. Acara dihadiri oleh 19 orang, terdiri dari Kader Bina Keluarga Balita (BKB) dan orang tua yang memiliki anak usia dini. Tujuan dari acara ini adalah untuk mengenalkan dan meningkatkan kemampuan para kader BKB dan orang tua dalam praktik membaca nyaring di rumah maupun di komunitas. Kegiatan pelatihan ini merupakan kelanjutan dari aktivitas membaca nyaring oleh Tim The Reading Buddiesdua minggu sebelumnya, dengan tujuan agar masyarakat di Kampung Suronatan mampu secara mandiri melanjutkan aktivitas literasi ini.

Acara dimulai dengan sambutan dari perwakilan BKB, diikuti oleh sambutan dari moderator juga merupakan perwakilan dari CLSD, yaitu Kevin Pasquella Helian, S.Psi. Acara kemudian dilanjutkan dengan sesi pemateri oleh Navia Fathona Handayani, S.Psi., seorang pegiat literasi yang memiliki pengalaman luas dalam gerakan membaca nyaring. Materi yang disampaikan mencakup penjelasan tentang pentingnya membacakan nyaring, unsur-unsur buku yang perlu diperhatikan saat membaca nyaring, serta demonstrasi praktik membaca nyaring. Peserta menyimak dengan antusias untuk memahami berbagai aspek membaca nyaring yang diajarkan oleh pemateri.

Selanjutnya, acara melibatkan pembagian peserta pelatihan ke dalam empat kelompok kecil. Tujuan dari agenda ini adalah untuk mengaplikasikan materi yang telah diajarkan sebelumnya oleh pemateri. Dua orang fasilitator, Rahmita Laily Muhtadini, S.Psi., dan Riskhi Pratama Kusuma Arum Jati, S.Psi., bertugas memandu dinamika peserta di dalam kelompok kecil. Dalam proses ini, peserta diberi waktu untuk memilih buku dengan mempertimbangkan berbagai unsur seperti tema, alur, latar, dan tokoh cerita. Setiap peserta kemudian berlatih membaca nyaring di dalam kelompok kecil. Proses ini sangat penting untuk memastikan bahwa peserta memahami konsep membacakan nyaring tidak hanya di ranah pengetahuan, tetapi juga dalam ranah keterampilan.

Agenda berikutnya adalah sesi praktik membaca nyaring oleh perwakilan peserta dari masing-masing kelompok. Selain bertujuan untuk melihat kemampuan peserta setelah pelatihan, agenda ini juga dirancang untuk proses evaluasi bersama. Peserta memberikan apresiasi dan masukan terhadap sesama peserta selama proses membaca nyaring di depan kelas. Acara ditutup dengan pemberian sertifikat, doorprize, serta foto bersama.

Seluruh rangkaian acara dalam pelatihan membaca nyaring ini diharapkan dapat meningkatkan kepekaan dan kemampuan kader BKB serta orang tua. Acara ini juga diharapkan dapat membangun kemandirian bagi warga Kampung Suronatan dalam menyebarkan semangat literasi di rumah maupun masyarakat.

Sumber: CLSD UGM

Editor: Erna

Kecerdasan Buatan: Support System Bagi Emerging Adult di Kala Krisis

ArtikelArtikelArtikel Ilmiah Populer Saturday, 23 March 2024

Penulis: Olyn Silvania

Penyunting: Muhammad Ikbal Wahyu Sukron

“Jadi orang gede emang menyenangkan, tapi susah dijalanin.”

Pernahkah kalian mendengar kalimat di atas? Jika diperhatikan kembali, penggalan kalimat dalam iklan Tri Indonesia (2013) tersebut cukup berkaitan dengan kehidupan individu beranjak dewasa atau emerging adult (18-29 tahun) yang seolah-olah menyenangkan. Hal ini dikarenakan masa emerging adult memberi kesempatan bagi individu untuk mengeksplorasi berbagai pilihan hidup terkait pendidikan, karir, dan hubungan romantis yang tersedia baginya. Dengan demikian, emerging adult dapat mengembangkan identitas diri terkait seperti apa ia ingin dikenal oleh orang lain (Arnett, 2013). Selain itu, emerging adult telah dianggap dewasa secara hukum, sehingga otoritas orang tua pun berkurang. Hal ini memberi peluang bagi emerging adult untuk lebih fokus terhadap diri, mengembangkan kemampuan dan membangun fondasi masa selanjutnya, sehingga dapat meningkatkan kemandiriannya (Arnett dkk., 2014). Namun, masa emerging adulthood tidak selalu menyenangkan dan penuh tantangan. Mengapa demikian, ya? 

Tantangan tugas perkembangan emerging adulthood terhadap kesehatan mental emerging adult

Emerging adult dihadapkan dengan peran dan tanggung jawab yang semakin berat (Erickson, 1968). Mereka harus memenuhi dan menyesuaikan diri terhadap berbagai tugas perkembangan, seperti mencapai kemandirian secara fisik, finansial, dan emosi; mendapatkan suatu pekerjaan, memilih pasangan hidup, menjalani hidup berkeluarga (sebagai pasangan suami istri dan orang tua), menerima tanggung jawab sebagai warga negara, dan bergabung dalam kelompok sosial (Hurlock, 1991).

Dalam menjalani berbagai tugas perkembangan, emerging adult seringkali mengalami masalah, menghadapi perubahan hidup yang konstan, dan ketidakpastian. Emerging adult juga menghadapi tekanan pekerjaan, hubungan, keluarga, dan harapan untuk menjadi orang dewasa yang sukses. Berbagai hal tersebut menjadikan emerging adult rentan mengalami quarter life crisis (Herawati & Hidayat, 2020).

Fenomena krisis seperempat baya telah digambarkan dalam berbagai penelitian. Penelitian Agarwal dkk. (2020) menemukan bahwa 1.400 pengguna twitter berusia rentang 18-30 tahun di Amerika dan Inggris pernah mengunggah 1,5 juta tweet tentang permasalahan karir, kesehatan, dan keluarga yang mereka hadapi. Lalu, hasil penelitian mixed-methods dari Robinson (2018) di Inggris menunjukkan bahwa krisis seperempat baya dialami oleh individu yang gagal mencari pekerjaan. Selain itu, juga ditemukan bahwa krisis seperempat baya dapat menurunkan tingkat harga diri individu. Selanjutnya, fenomena krisis seperempat baya juga terjadi di Indonesia. Penelitian kualitatif Putri dkk. (2022) menemukan bahwa krisis seperempat baya pada emerging adult selama masa pandemi Covid-19 ditandai dengan perasaan dan pikiran yang mengganggu karena adanya tuntutan pekerjaan, rencana pernikahan, dan permasalahan keluarga.

Dari ketiga hasil penelitian di atas, kita bisa melihat bahwa krisis seperempat baya timbul karena lingkungan sekitar. Pertanyaan yang dianggap ringan oleh sebagian orang, seperti “Kapan wisuda?”, “Sudah dapat kerja belum? Kok masih menganggur?”, “Kapan menikah?”, dan lain sebagainya, justru dianggap berat bagi emerging adult. Dengan kata lain, krisis seperempat baya‒yang dipandang sebagai masa sulit oleh emerging adult‒dapat disebabkan oleh konstruk sosial yang dibangun di masyarakat.

Dalam jangka panjang, krisis seperempat baya dapat menimbulkan konsekuensi negatif. Beberapa literatur menunjukkan bahwa kondisi stress yang terakumulasi akibat krisis seperempat baya dapat menimbulkan berbagai permasalahan baru, seperti masalah emosi dan perilaku, menurunkan kesejahteraan psikologis, meningkatkan perilaku agresif, tindak kekerasan, meningkatkan kecenderungan menarik diri secara sosial, dan menimbulkan permasalahan kesehatan mental seperti depresi dan kecemasan (Habibie dkk., 2019).

Mengatasi quarter life crisis dengan bantuan kecerdasan buatan

Menanggapi dampak krisis seperempat baya khususnya terhadap kesehatan mental, pemerintah, praktisi, dan peneliti tengah mengupayakan promosi dan pencegahan permasalahan kesehatan mental. Tujuannya untuk membangun resiliensi emerging adult dalam menghadapi masa krisisnya (Gotzl dkk., 2022). Salah satu caranya adalah mengembangkan kecerdasan buatan (artificial intelligence), yaitu sistem komputer yang diprogram untuk membantu memecahkan masalah, mengambil keputusan, dan menyelesaikan tugas manusia yang spesifik.

Kontribusi kecerdasan buatan dalam bidang kesehatan mental telah disebutkan dalam berapa literatur (Gotzl dkk., 2022; Gumelar, 2023), seperti dapat membantu mengidentifikasi gangguan kesehatan mental pada emerging adult. Contohnya adalah chatbot terapeutik. Chatbot terapeutik menggunakan teknologi pemrosesan bahasa alami untuk berkomunikasi dengan emerging adult dan memberikan dukungan emosional. Dukungan emosional seperti ucapan semangat dan afirmasi positif dari chatbot terapeutik dapat membantu mengurangi gejala kecemasan dan depresi pada individu. Contoh lainnya adalah terapi online, yakni terapi yang memberikan kesempatan bagi klien emerging adult untuk berbincang dengan terapis melalui internet. Dengan menggunakan kecerdasan buatan, terapis dapat menganalisis percakapan dengan pasien, lalu memberikan rekomendasi terapi atau latihan mandiri yang dapat diterapkan oleh klien emerging adult untuk membantu meredakan gejala gangguan kesehatan mentalnya (Gumelar, 2023). Lebih lanjut, penelitian Gotzl dkk. (2022) menemukan bahwa aplikasi kesehatan mental berbasis kecerdasan buatan bernama mHealth apps memberikan berbagai pelatihan dan solusi atas situasi yang sulit, sehingga membantu emerging adult dalam mencapai tujuannya.

Akhir kata, kecerdasan buatan dapat menjadi support system yang mampu meredakan gejala permasalahan psikologis pada emerging adult. Meskipun demikian, penggunaan kecerdasan buatan yang berlebihan dapat menimbulkan ketergantungan dan mengurangi interaksi sosial. Maka dari itu, masih dibutuhkan kebijakan dan pendekatan yang tepat terkait penggunaan kecerdasan buatan agar tidak mengganggu interaksi sosial dan keseimbangan psikologis emerging adult.

Referensi: 

Agarwal, S., Guntuku, S. C., Robinson, O., Dunn, A., & Ungar, L. (2020). Examining the phenomenon of quarter-life crisis through artificial intelligence and the language of twitter. Frontiers in Psychology, 1-23.

Arnett, J. J. (2013). Adolescence and emerging adulthood: A cultural approach. Pearson Education

Arnett, J. J., Zukauskiene, R., & Sugimura, K. (2014). The new life stage of emerging adulthood at ages 18-29 years. Lancet Psychiatry, 1, 569-576. 

Erickson, E. H. (1968). Identity: Youth and crisis. Norton.

Götzl, C., Hiller, S., Rauschenberg, C., Schick, A., Fechtelpeter, J., Fischer Abaigar, U., … & Krumm, S. (2022). Artificial intelligence-informed mobile mental health apps for young people: a mixed-methods approach on users’ and stakeholders’ perspectives. Child and Adolescent Psychiatry and Mental Health, 16(1), 1-19.

Gumelar, G. (2023). Menavigasi tantangan dan menciptakan peluang: Peran vital ilmu psikologi di era kecerdasan buatan. Jurnal Penelitian dan Pengukuran Psikologi, 12(1), 1-4. 

Habibie, A., Syakarofath, N. A., & Anwar, Z. (2019). Peran religiusitas terhadap quarter-life crisis pada mahasiswa. Gadjah Mada Journal of Psychology, 5(2), 129-138. 

Hurlock, E. B. (1991). Psikologi perkembangan: Suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan (Edisi 5). Penerbit Erlangga.

Putri, A. L. K., Lestari, S., & Khisbiyah, Y. (2022). A quarter-life crisis in early adulthood in indonesia during the covid-19 pandemic. Indigenous: Jurnal Ilmiah Psikologi, 7(1), 28–47. https://doi.org/10.23917/indigenous.v7i1.15543

Robinson, O. C. (2018). A longitudinal mixed-methods case study of quarter-life crisis during the post-university transition: Locked-out and locked-in forms in combination. Emerging Adulthood, 7(3), 167–179. https://doi.org/10.1177/2167696818764144Tri Indonesia (2013, Juni 19). Trie-Indie+ (Versi cewe) [File video]. YouTube https://www.youtube.com/watch?v=2RVcOiYkcc4

Mengenali Technoference pada Orang Tua: Waspada Risiko Orang Tua Asyik dengan Smartphone Saat Mengasuh Anak

ArtikelArtikelArtikel Ilmiah Populer Thursday, 7 March 2024

Penulis: Kurnia Farwati

Penyunting: Raden Roro Anisa Anggi Dinda

Perkembangan media digital salah satunya smartphone dirasakan manfaatnya untuk semua kalangan, tidak terkecuali orang tua. Smartphone dapat dibawa ke mana pun dan dapat digunakan kapan saja karena bentuk smartphone yang cenderung kecil dan ringan di tangan. Dengan demikian, orang tua dapat menghabiskan waktu bersama dengan anak-anak mereka dan dalam waktu yang bersamaan juga dapat bertukar pesan dengan teman atau mitra profesional saat melakukan aktivitas pekerjaan secara jarak jauh, atau bahkan dapat menikmati berbagai hiburan yang ada di smartphone miliknya.

Penggunaan smartphone ini apabila kurang bisa dikontrol dengan baik, maka akan berdampak negatif bagi penggunanya. Fenomena adanya interupsi interaksi sosial melalui teknologi ini disebut dengan technoference (McDaniel & Radesky, 2018), dan pengguna yang asyik dengan smartphone juga disebut dengan istilah “immersion”. Immersion berarti penarikan perhatian dari lingkungan yang kemudian dipusatkan pada perangkat digital dalam hal ini adalah smartphone. Adanya technoference pada orang tua dapat berdampak negatif terhadap hubungan orang tua-anak, kesehatan, serta perkembangan anak (Mackay et al., 2022).

Hubungan orang tua-anak biasanya merujuk pada kualitas interaksi orang tua dengan anak dan kelekatan yang terjalin di antara mereka. Interaksi orang tua-anak yang optimal dapat diamati ketika seorang anak mengucapkan secara verbal, memberi isyarat, atau menangis dan kemudian orang tua merespon secara tepat dengan verbalisasi, kontak mata, atau dengan sentuhan fisik (Mackay et al., 2022). Interaksi yang demikian diketahui menjadi faktor utama untuk menghasilkan perkembangan anak yang optimal termasuk emosi positif, perilaku, perkembangan psikologis, dan sosial (Mackay et al., 2022). Fokus perhatian orang tua pada smartphone saat bersama anak dapat mengurangi perhatian orang tua, daya tanggap, dan kehangatan yang ditampilkan kepada anak-anak mereka (Knitter & Zemp, 2020; McDaniel & Radesky, 2018).

Technoference pada orang tua saat mengasuh anak tidak hanya berlangsung di dalam rumah namun juga saat melakukan aktivitas di luar rumah seperti di playground, tempat makan umum, dsb. Beberapa studi observasional yang dilakukan di tempat umum seperti di restoran dan taman bermain menemukan bahwa interaksi antara orang tua-anak berjalan kurang optimal. Orang tua yang tenggelam dengan smartphone mereka, lebih jarang berkomunikasi dengan anak-anaknya, dan kurang tanggap terhadap kebutuhan anak saat mereka berperilaku mencari perhatian orang tuanya serta kurang memperhatikan keamanan anak (Elias et al., 2021; Wolfers et al., 2020). Menariknya, temuan lain dari Elias et al (2021) yaitu aktivitas lainnya seperti membaca majalah dan berbicara dengan orang lain di taman bermain, juga menyibukkan orang tua dan orang tua mengalami gangguan respon kepada anak mereka, namun tidak sebanyak saat orang tua menggunakan smartphone.

Kelalaian orang tua akibat asyik dengan smartphone saat bersama anak dapat berakibat fatal yakni dapat menyebabkan anak terluka bahkan hingga meninggal. Terdapat beberapa insiden pada anak akibat orang tua yang terlalu fokus pada smartphone miliknya saat bersama anak seperti terjepit lift saat sedang bersama ibunya (Nicolaus, 2019), tertabrak mobil saat bermain sendiri di pelataran parkiran sementara ibunya asyik dengan handphone dan berujung meninggal setelah dilarikan ke rumah sakit (Liputan6.com., 2018). Kasus serupa juga terjadi bahkan ditabrak oleh ayahnya sendiri karena fokus dengan handphone miliknya dan tidak menyadari bahwa anaknya sudah turun dari mobil (Putra, 2018).

Kecelakaan pada anak-anak seringkali berakibat lebih fatal karena anak-anak memiliki keterbatasan seperti keterbatasan fisik, kognitif, emosi maupun sosial dibandingkan dengan orang dewasa. Anak-anak memiliki postur tubuh yang kecil sehingga anak mudah luput dari perhatian sekitar. Selain itu, sifat alamiah anak-anak yang cenderung memiliki rasa ingin tahu tinggi sehingga senang melakukan eksplorasi benda, tempat, atau hal lainnya yang menarik perhatiannya tanpa mempertimbangkan baik atau buruknya, aman atau tidaknya karena kemampuan anak untuk menalar atau mempersepsikan lingkungan di sekitarnya cenderung masih terbatas sehingga belum mampu memahami adanya potensi bahaya yang ada.

Apabila kelalaian orang tua semacam ini terus terjadi secara berulang, maka dapat mendatangkan dampak tidak langsung dalam jangka panjang terhadap perkembangan anak. Sikap orang tua yang menampakkan wajah kesal atau bahkan bermusuhan ketika anak mereka mengulangi perilaku mencari perhatian kepada mereka sebagai orang tuanya (Elias et al., 2021) dapat menimbulkan perasaan diabaikan yang kemudian dapat memicu adanya masalah perilaku, emosional, sosial, depresi, dan perilaku anti sosial pada anak (Beamish et al., 2019; McDaniel & Radesky, 2018). Fokus dengan smartphone saat bersama anak juga dapat menjadi pemicu awal anak terlibat dalam penggunaan digital di usia yang belum seharusnya karena telah mendapatkan contoh langsung penggunaan smartphone yakni dari orang tuanya (Bohnert & Gracia, 2021).

Melihat ragam dampak dari fenomena technoference pada orang tua saat mengasuh anak, pentingnya orang tua untuk memahami dan menyadari bahwa kehadiran orang tua saat bersama anak tidak hanya hadir secara fisik namun benar-benar hadir secara utuh yakni secara fisik dan emosional. Saat membersamai anak bermain di rumah maupun di luar rumah, penting bagi orang tua untuk turut terlibat dalam permainan. Selain berguna untuk membangun kelekatan emosional dengan anak, orang tua juga dapat memastikan secara langsung keamanan anak. Apabila orang tua harus menggunakan smartphone saat anak sedang bermain karena urusan pekerjaan atau hal penting lainnya, orang tua dapat meminta bantuan kepada orang dewasa lain di sekitarnya untuk memperhatikan anaknya.

Referensi :

Beamish, N., Fisher, J., & Rowe, H. (2019). Parents’ use of mobile computing devices, caregiving and the social and emotional development of children: a systematic review of the evidence. Australasian Psychiatry, 27(2), 132–143. https://doi.org/10.1177/1039856218789764

Bohnert, M., & Gracia, P. (2021). Emerging Digital Generations ? Impacts of Child Digital Use on Mental and Socioemotional Well-Being across Two Cohorts in Ireland , 2007 – 2018 Content courtesy of Springer Nature , terms of use apply . Rights reserved . Content courtesy of Springer Natur. Child Indicators Research.

Elias, N., Lemish, D., Dalyot, S., & Floegel, D. (2021). “Where are you?” An observational exploration of parental technoference in public places in the US and Israel. Journal of Children and Media, 15(3), 376–388. https://doi.org/10.1080/17482798.2020.1815228

Knitter, B., & Zemp, M. (2020). Digital Family Life: A Systematic Review of the Impact of Parental Smartphone Use on Parent-Child Interactions. Digital Psychology, 1(1), 29–43. https://doi.org/10.24989/dp.v1i1.1809

Liputan6.com. (5 Juni 2018). Gara-Gara Ibu Sibuk Main Posel, Anak Tertabrak Mobil. https://www.liputan6.com/citizen6/read/3406356/gara-gara-ibu-sibuk-main-ponsel-anak- tertabrak-mobil

Mackay, L. J., Komanchuk, J., Hayden, K. A., & Letourneau, N. (2022). Impacts of parental technoference on parent-child relationships and child health and developmental outcomes: a scoping review protocol. Systematic Reviews, 11(1), 1–7. https://doi.org/10.1186/s13643- 022-01918-3

McDaniel, B. T., & Radesky, J. S. (2018). Technoference: Parent Distraction With Technology and Associations With Child Behavior Problems. Child Development, 89(1), 100–109. https://doi.org/10.1111/cdev.12822

Nicolaus. (1 Agustus 2019). Ironis, Seorang Ibu Sibuk Main Ponsel Tak Perhatikan Tangan Anaknya Terjepit Lift, Masih Sempat Pegang HP Saat Mencoba Menolong.

https://www.grid.id/read/041804446/ironis-seorang-ibu-sibuk-main-ponsel-tak-perhatikan- tangan-anaknya-terjepit-lift-masih-sempat-pegang-hp-saat-coba-menolong

Putra, P. (26 Juli 2018). Tragis, Bocah Tewas Tertabrak Mobil Ayahnya Karena Sibuk dengan Ponsel. https://jatim.inews.id/berita/tragis-bocah-tewas-tertabrak-mobil-ayahnya-karena- sibuk-dengan-ponselWolfers, L. N., Kitzmann, S., Sauer, S., & Sommer, N. (2020). Phone use while parenting: An observational study to assess the association of maternal sensitivity and smartphone use in a playground setting. Computers in Human Behavior, 102(August 2019), 31–38. https://doi.org/10.1016/j.chb.2019.08.013

12345

Recent Posts

  • Langkah Seto Menuju Pengalaman Global: Mewujudkan Pembelajaran Inklusif bersama Australian Alumni Grants 2025
  • Inklusivitas CLSD: Kisah Seto, Intern Disabilitas Intelektual yang Menginspirasi
  • Sedang Mengalami Life Crisis? Yuk, Terapkan Strategi Ini!
  • “Mencari Bantuan Bukan Berarti Lemah”: Pentingnya Help-Seeking Behavior pada Masa Remaja
  • Petak Umpet: Permainan Tradisional yang dapat Membangun Keterampilan Sosioemosional Anak Usia Dini
Universitas Gadjah Mada

Center for Life-Span Development (CLSD)
D-602, Fakultas Psikologi, Universitas Gadjah Mada
Jalan Sosio Humaniora Bulaksumur, Yogyakarta, Indonesia 55281
clsd.psikologi@ugm.ac.id

© Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY