• Home
  • About Us
    • Managing Team
    • Researchers
    • Interns
    • Associates
  • Articles
  • Courses
  • Activities
    • CLSD Reader’s Club
    • Summer Course
    • Photovoice
    • SAELA
    • Community Service
  • Research & Publication
Universitas Gadjah Mada Center for Life-Span Development (CLSD)
Faculty of Psychology
Universitas Gadjah Mada
  • Home
  • About Us
    • Managing Team
    • Researchers
    • Interns
    • Associates
  • Articles
  • Courses
  • Activities
    • CLSD Reader’s Club
    • Summer Course
    • Photovoice
    • SAELA
    • Community Service
  • Research & Publication
  • Beranda
  • Artikel
  • Artikel
  • page. 2
Arsip:

Artikel

“Siapakah Aku?” Krisis Identitas yang Biasa Dialami Remaja

ArtikelArtikelArtikel Ilmiah Populer Saturday, 4 May 2024

“Siapakah aku? Untuk apakah aku dilahirkan di dunia?”

Sebagian besar remaja setidaknya pernah mengalami fase ini, yakni mulai mempertanyakan identitas dirinya. Masa remaja yang dianggap sebagai tahap peralihan dari masa kanak-kanak ke dewasa merupakan babak kehidupan yang pasti dilalui seseorang dengan proses pencarian jati diri. Pada fase ini, remaja tidak hanya berhadapan dengan perubahan fisik, tetapi juga dengan pertanyaan mendalam tentang siapa mereka sebenarnya. 

Menurut Erikson, remaja akan mengalami suatu fase dalam hidupnya, yaitu krisis dalam pencarian identitas (Feist & Feist, 2010). Umumnya, fase ini dialami oleh remaja berusia 10 hingga 20 tahun. Fase yang disebut sebagai “identity versus role confusion” tersebut membuat remaja sering kali mempertanyakan hampir segala hal dalam dirinya, seperti penampilan fisik, pendidikan, pekerjaan, percintaan, pertemanan, dan banyak hal lainnya. Oleh karena itu, remaja akan bereksplorasi untuk mencari jawaban tersebut.

Perjalanan untuk mengeksplorasi jati diri ini tidak semudah membalikkan telapak tangan. Remaja akan berhadapan dengan berbagai tantangan atau konflik yang harus mereka selesaikan dalam pencarian identitas diri. Jika mereka mampu menemukan identitas diri yang paling sesuai dan merasa nyaman akan identitasnya, maka dapat dikatakan remaja tersebut berhasil menyelesaikan fase ini. Alhasil, jati diri yang kuat dan stabil akan terbentuk pada diri seseorang. Sementara itu, kegagalan dalam tahap ini akan mengarah pada krisis identitas atau yang biasa disebut sebagai role confusion. 

Munculnya kebingungan akan identitas dalam proses eksplorasi diri berpotensi membuat remaja menjadi khawatir tentang citra diri di mata orang lain sehingga remaja akan mengidentifikasi diri secara berlebihan dengan orang-orang sekitar (Nadiah dkk., 2021). Ketiadaan dukungan suportif dari lingkungan sekitar, terutama orang tua, akan semakin memperparah krisis identitas pada remaja. Alhasil, remaja akan dipenuhi oleh rasa tidak aman dan bingung terhadap diri sendiri serta masa depannya. Hal tersebut akan mengarah pada perasaan tertekan dan kurang percaya diri. Bahkan, remaja akan cenderung menerima identitas negatif yang diberi oleh orang sekitar ketika mereka tidak memiliki tujuan dan identitas yang jelas (Erikson, 1968).  

Menurut Siregar (2018), remaja yang gagal menemukan jati dirinya sering kali memiliki self esteem dan self confidence yang rendah. Akibatnya, hal tersebut berpengaruh terhadap penurunan motivasi belajar di sekolah. Selain itu, remaja juga berpotensi memiliki empati dan sikap prososial yang rendah sehingga berdampak terhadap buruknya kualitas hubungan sosial yang dimiliki. Kegagalan dalam menangani krisis identitas juga berpotensi mengarahkan remaja pada perasaan sia-sia, tidak berdaya, menarik diri, hingga tindakan agresif seperti kenakalan remaja (Erikson, 1968). 

Lalu bagaimana solusi atas permasalahan ini?  Berikut sejumlah tips untuk membantu remaja yang sedang mengalami krisis identitas. 

  1. Berikan dukungan dan ciptakan lingkungan yang aman bagi remaja.

Kolaborasi antara orang tua, institusi pendidikan, teman sebaya, dan lingkungan masyarakat akan menjadi cara terbaik dalam membantu remaja menghadapi krisis identitas. Menurut Santrock (2018), orang tua menjadi figur penting dalam perkembangan identitas remaja. Oleh karena itu, orang tua diharapkan dapat memberikan ruang yang aman untuk eksplorasi diri remaja. Selain itu, teman sebaya dapat menjadi lingkungan yang aman bagi proses pencarian identitas. Institusi pendidikan seperti sekolah juga menjadi lini yang tak kalah penting sebagai tempat paling banyak remaja menghabiskan waktunya. Sekolah dapat membantu dalam optimalisasi perkembangan remaja, seperti melalui bimbingan konseling dan penyediaan berbagai kegiatan ekstrakurikuler (Maulida dkk., 2023).

  1. Dorong remaja untuk terus bereksplorasi.

Selain dukungan eksternal, diperlukan juga kesadaran internal yang kuat pada diri remaja untuk terus mengeksplorasi diri. Remaja yang nyaman dalam mencoba hal-hal baru, maka akan semakin mudah untuk membentuk identitas diri (Maulida dkk., 2023). Oleh karena  itu, remaja perlu didorong untuk aktif melakukan berbagai kegiatan positif. 

  1. Evaluasi diri.

Evaluasi diri diperlukan selama proses eksplorasi yang dilakukan remaja. Firhanida dan Hadiyati (2018) mendefinisikan evaluasi diri sebagai pandangan terhadap diri sendiri yang dibentuk melalui nilai, kesuksesan, dan kemampuan yang dimiliki individu. Menurut Maulida dkk. (2023), selama pencarian identitas, remaja akan terus mengevaluasi diri mereka sendiri melalui teman-teman sebaya. Hal ini selaras dengan Erikson (1968) yang menyatakan bahwa pembentukan identitas merupakan proses yang melibatkan refleksi dan pengamatan diri sendiri dengan orang lain. Oleh karena itu, remaja akan sering melakukan interaksi sosial dengan orang lain untuk mendapatkan gambaran diri dari sudut pandang orang lain. Hal ini akan membantu remaja dalam memahami dirinya. 

Tidak bisa dipungkiri bahwa perkembangan manusia merupakan proses yang dinamis, termasuk ketika individu tersebut berada di usia remaja yang sejatinya rentan akan kelabilan emosi. Remaja juga akan dihadapkan pada berbagai tantangan dan membuat remaja menghadapi hal krusial, yaitu krisis identitas. Keberhasilan remaja dalam menangani krisis identitas dipengaruhi oleh 3 aspek penting, yaitu ketepatan dalam membuat persepsi terhadap diri sendiri maupun lingkungannya; keterampilan untuk melakukan eksplorasi dan komitmen peran; serta umpan balik dari orang lain, seperti orang tua atau kelompok teman sebaya (Erikson, 1968). Dengan demikian, sudah menjadi tugas bersama berbagai pihak untuk membimbing dan memberikan ruang aman dalam proses pencarian jati diri remaja. Ayah dan ibu dapat berkolaborasi dengan sekolah untuk mengarahkan anak dalam kegiatan positif selama proses pencarian identitas tersebut.

Referensi

Erikson, E. H. (1968). Identity, youth and crisis. W. W. Norton & Co. 

Feist, J., & Feist, G. J. (2010). Teori kepribadian terjemahan (7th ed., Vol. 1). Salemba Humanika.

Firhanida, S., & Hadiyati, F. N. R. (2018). Hubungan Antara Keputusan Pembelian Produk E-Commerce dan Kohesivitas Kelompok dengan Self-Esteem pada Mahasiswa Tahun Pertama Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro (Doctoral dissertation, Undip).

Maulida, A. R., Wibowo, H., & Rusyidi, B. (2023). Rancang bangun model pengembangan kegiatan pendampingan sosial pada remaja generasi Z dalam mengatasi krisis identitas. Share: Social Work Journal, 13(1), 92-101.

Nadiah, S., Nadhirah, N. A., & Fahriza, I. (2021). Hubungan faktor perkembangan psikososial dengan identitas vokasional pada remaja akhir. Quanta, 5(1), 21-29.

Santrock, J., W. (2018). A topical approach to life-span development (ninth edition) Chapter 1-9. McGraw-Hill Education.Siregar, I. K. (2018). Kecerdasan emosional dan hasil belajar siswa. Kumpulan Jurnal Dosen Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara.

Remaja dan Cybersex

ArtikelArtikelArtikel Ilmiah Populer Monday, 8 April 2024

Penulis: Sri Rahmita

Penyunting: Nur Nisrina Hanif Rifda

Masa remaja merupakan masa yang kritis dalam rentang perkembangan individu. Pada masa ini, terjadi banyak perubahan diri individu sebagai tahapan memasuki masa dewasa. Remaja banyak mengalami gejolak perubahan, baik secara fisik, psikologis, maupun sosial. Dalam masa peralihan ini, sering kali muncul konflik antara remaja dengan dirinya sendiri maupun dengan lingkungan sosial. Apabila tidak diselesaikan dengan baik, maka konflik-konflik tersebut akan memberikan dampak negatif terhadap perkembangan remaja di masa mendatang, terutama dalam hal pematangan karakter hingga memicu terjadinya permasalahan kesehatan mental. Salah satu faktor utama terjadinya permasalahan kesehatan mental pada remaja yaitu penggunaan komunikasi elektronik dan media sosial, atau disebut juga sebagai digitalisasi.

Perkembangan pesat dalam hal teknologi informasi dan komunikasi semakin memudahkan manusia untuk berinteraksi ataupun mencari serta menyebarkan informasi melalui media internet. Saat ini, eksistensi media internet sangat digandrungi oleh generasi muda. Internet memberikan wadah baru bagi berbagai generasi untuk saling berinteraksi secara daring (online). Media internet juga dapat menjadi wadah bagi remaja untuk berekspresi dan mengembangkan kreativitas. Media internet menjadi hal yang tidak terpisahkan dari tumbuh kembang remaja (Griggs, 2009). Hal ini dibuktikan dengan kondisi remaja saat ini yang akan merasa kehidupannya hampa ketika tidak mampu mengakses internet. Di sisi lain, internet juga memberikan dampak negatif terhadap perkembangan remaja, salah satunya yaitu cybersex.

Cybersex mencakup berbagai aktivitas yang mengandung unsur pornografi, seperti melihat gambar-gambar erotis, terlibat dalam chatting mengenai seks, hingga saling bertukar gambar atau pesan tentang seks (Cooper, 2003). Cybersex dimanfaatkan oleh remaja untuk mengunjungi berbagai situs internet terkait aktivitas seksual dan mencari pengalaman seksual melalui internet.

Pengalaman seksual melalui internet terdiri dari dua jenis, yaitu pengalaman pasif, seperti menonton video porno, membaca cerita seks, dan melihat konten yang berbau pornografi; serta aktif, seperti melakukan hubungan seksual ataupun berfantasi seksual dengan pasangan di internet (Goldberg, 2004). Perilaku  cybersex pada remaja tersebut dapat dipengaruhi oleh kemudahan mengakses konten pornografi di internet serta anonimitas atau kerahasiaan nama ketika mengakses konten pornografi tersebut (Afriani, 2016).

Ross dkk. (2005) menyatakan bahwa penggunaan internet dengan tujuan seksual  banyak didominasi oleh kalangan remaja. Rasa ingin tahu yang besar menyebabkan remaja mencari informasi mengenai seksualitas melalui internet sebagai sumber informasi yang mudah diakses dan didapatkan. Namun, tidak setiap informasi yang diperoleh dapat dipahami secara bijak oleh remaja sehingga memberikan dampak negatif (Mukhlis, 2010). Kerentanan remaja dalam menghadapi masalah seksualitas timbul seiring dengan perkembangan remaja yang sedang dalam masa pancaroba atau peralihan. Pada masa ini, remaja akan mengalami perubahan fisik dan psikis dengan ciri-ciri yang berbeda satu sama lain. Remaja juga akan mengalami perkembangan alat dan hormon seksualitas yang turut memengaruhi kondisi psikis remaja (Harlock, 2011).

Kematangan secara seksual membuat remaja menjadi mudah terangsang akan hal-hal yang berkaitan dengan seksualitas karena dorongan seksual yang meningkat. Salah satu cara yang dianggap paling “aman” untuk menyalurkan hasrat seksual bagi remaja adalah dengan mengakses berbagai macam aktivitas seksual melalui internet, salah satunya adalah dengan menonton konten pornografi. Pornografi merupakan media eksplisit seksual yang bertujuan untuk membangkitkan gairah seksual yang melihatnya (Malamuth & Huppin, 2005).

Fenomena seringnya remaja mengakses cybersex dapat berdampak terhadap kecanduan akan hal-hal seksual, kerusakan fungsi otak, penurunan intelegensi dan prestasi akademik karena tidak mampu membuat perencanaan, ketidakmampuan mengontrol hawa nafsu dan emosi, = serta ketidakmampuan mengambil keputusan (Sauvika, 2017). Dampak lain yang ditimbulkan adalah masalah dalam hubungan sosial, seperti maraknya pergaulan bebas di kalangan remaja karena meniru konten yang mereka lihat. Selain itu, Cooper dkk., (2000) mengemukakan bahwa individu yang melihat tayangan pornografi di internet secara terus-menerus termasuk dalam kriteria permasalahan seksual kompulsif.

Terdapat beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi cybersex pada remaja (Dianawati, 2006; Willis, 2017), antara lain:

  1. Pembinaan mental dan kepribadian yang berlandaskan pendidikan agama
  2. Pemberian edukasi seksual pada remaja 
  3. Penguatan pengawasan dari guru dan orang tua 
  4. Pemantauan orangtua terhadap remaja saat mengakses internet, baik menggunakan smartphone ataupun komputer
  5. Pengembangan bakat-bakat khusus yang dimiliki remaja.

Referensi

Cooper, A., Delmonico, D. L., & Burg, R. (2000). Cybersex users, abusers, and compulsives: new findings and implications. Sexual Addiction and Compulsivity, 7, 5–2

Cooper, A., Mansson, S.A., Daneback, K., Tikkanen, R.,& Ross, M. (2003). Predicting the future of internet sex: online sexual activities in Sweden. Sexual and Relationship Therapy, 18-(3), 277-291.

Dianawati, A. (2006). Pendikan seksual remaja. Kawan Pustaka

Goldberg, P. D. (2004). An exploratory study about the impacts that cybersex (the use of the internet for sexual purposes) is having on families and the practices of marriage and family therapists. Thesis, Polytechnic Institute and State University. Faculty of the Virginia.

Griffiths, M. (2001). Sex on the internet: observations and implications for internet sex addictions. The Journal of Sex Research, 38, 333–342.

Hurlock, Elizabeth B. (2011). Psikologi perkembangan: suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan. Erlangga

Malamuth, N. M., Huppin, M., & Paul, B. (2005). Sexual coercion. In D. M. Buss (Ed.), The handbook of evolutionary psychology (pp. 394–418). John Wiley & Sons, Inc.     

Ross, M. W., Månsson, S.-A., Daneback, K., Cooper, A., & Tikkanen, R. (2005). Biases in internet sexual health samples: comparison of an internet sexuality survey and a national sexual health survey in Sweden. Social Science & Medicine, 61(1), 245–252. https://doi.org/10.1016/j.socscimed.2005.01.019

Willis, Sofyan S. 2017. Remaja dan masalahnya (mengupas berbagai bentuk kenakalan remaja seperti narkoba, free sex dan pemecahannya). Alfabeta

CLSD Membangun Semangat Literasi di Kampung Suronatan melalui Pelatihan Membaca Nyaring

ArtikelArtikelArtikel Liputan Kegiatan Tuesday, 26 March 2024

Pada hari Sabtu, 2 Maret 2024 pukul 08.30-11.30 WIB, Center for Life-Span Development (CLSD) Fakultas Psikologi UGM melalui Tim The Reading Buddies mengadakan acara pelatihan read aloud atau membaca nyaring di Kampung Suronatan, Kelurahan Notoprajan, Kemantren Ngampilan, Kota Yogyakarta. Acara dihadiri oleh 19 orang, terdiri dari Kader Bina Keluarga Balita (BKB) dan orang tua yang memiliki anak usia dini. Tujuan dari acara ini adalah untuk mengenalkan dan meningkatkan kemampuan para kader BKB dan orang tua dalam praktik membaca nyaring di rumah maupun di komunitas. Kegiatan pelatihan ini merupakan kelanjutan dari aktivitas membaca nyaring oleh Tim The Reading Buddiesdua minggu sebelumnya, dengan tujuan agar masyarakat di Kampung Suronatan mampu secara mandiri melanjutkan aktivitas literasi ini.

Acara dimulai dengan sambutan dari perwakilan BKB, diikuti oleh sambutan dari moderator juga merupakan perwakilan dari CLSD, yaitu Kevin Pasquella Helian, S.Psi. Acara kemudian dilanjutkan dengan sesi pemateri oleh Navia Fathona Handayani, S.Psi., seorang pegiat literasi yang memiliki pengalaman luas dalam gerakan membaca nyaring. Materi yang disampaikan mencakup penjelasan tentang pentingnya membacakan nyaring, unsur-unsur buku yang perlu diperhatikan saat membaca nyaring, serta demonstrasi praktik membaca nyaring. Peserta menyimak dengan antusias untuk memahami berbagai aspek membaca nyaring yang diajarkan oleh pemateri.

Selanjutnya, acara melibatkan pembagian peserta pelatihan ke dalam empat kelompok kecil. Tujuan dari agenda ini adalah untuk mengaplikasikan materi yang telah diajarkan sebelumnya oleh pemateri. Dua orang fasilitator, Rahmita Laily Muhtadini, S.Psi., dan Riskhi Pratama Kusuma Arum Jati, S.Psi., bertugas memandu dinamika peserta di dalam kelompok kecil. Dalam proses ini, peserta diberi waktu untuk memilih buku dengan mempertimbangkan berbagai unsur seperti tema, alur, latar, dan tokoh cerita. Setiap peserta kemudian berlatih membaca nyaring di dalam kelompok kecil. Proses ini sangat penting untuk memastikan bahwa peserta memahami konsep membacakan nyaring tidak hanya di ranah pengetahuan, tetapi juga dalam ranah keterampilan.

Agenda berikutnya adalah sesi praktik membaca nyaring oleh perwakilan peserta dari masing-masing kelompok. Selain bertujuan untuk melihat kemampuan peserta setelah pelatihan, agenda ini juga dirancang untuk proses evaluasi bersama. Peserta memberikan apresiasi dan masukan terhadap sesama peserta selama proses membaca nyaring di depan kelas. Acara ditutup dengan pemberian sertifikat, doorprize, serta foto bersama.

Seluruh rangkaian acara dalam pelatihan membaca nyaring ini diharapkan dapat meningkatkan kepekaan dan kemampuan kader BKB serta orang tua. Acara ini juga diharapkan dapat membangun kemandirian bagi warga Kampung Suronatan dalam menyebarkan semangat literasi di rumah maupun masyarakat.

Sumber: CLSD UGM

Editor: Erna

Kecerdasan Buatan: Support System Bagi Emerging Adult di Kala Krisis

ArtikelArtikelArtikel Ilmiah Populer Saturday, 23 March 2024

Penulis: Olyn Silvania

Penyunting: Muhammad Ikbal Wahyu Sukron

“Jadi orang gede emang menyenangkan, tapi susah dijalanin.”

Pernahkah kalian mendengar kalimat di atas? Jika diperhatikan kembali, penggalan kalimat dalam iklan Tri Indonesia (2013) tersebut cukup berkaitan dengan kehidupan individu beranjak dewasa atau emerging adult (18-29 tahun) yang seolah-olah menyenangkan. Hal ini dikarenakan masa emerging adult memberi kesempatan bagi individu untuk mengeksplorasi berbagai pilihan hidup terkait pendidikan, karir, dan hubungan romantis yang tersedia baginya. Dengan demikian, emerging adult dapat mengembangkan identitas diri terkait seperti apa ia ingin dikenal oleh orang lain (Arnett, 2013). Selain itu, emerging adult telah dianggap dewasa secara hukum, sehingga otoritas orang tua pun berkurang. Hal ini memberi peluang bagi emerging adult untuk lebih fokus terhadap diri, mengembangkan kemampuan dan membangun fondasi masa selanjutnya, sehingga dapat meningkatkan kemandiriannya (Arnett dkk., 2014). Namun, masa emerging adulthood tidak selalu menyenangkan dan penuh tantangan. Mengapa demikian, ya? 

Tantangan tugas perkembangan emerging adulthood terhadap kesehatan mental emerging adult

Emerging adult dihadapkan dengan peran dan tanggung jawab yang semakin berat (Erickson, 1968). Mereka harus memenuhi dan menyesuaikan diri terhadap berbagai tugas perkembangan, seperti mencapai kemandirian secara fisik, finansial, dan emosi; mendapatkan suatu pekerjaan, memilih pasangan hidup, menjalani hidup berkeluarga (sebagai pasangan suami istri dan orang tua), menerima tanggung jawab sebagai warga negara, dan bergabung dalam kelompok sosial (Hurlock, 1991).

Dalam menjalani berbagai tugas perkembangan, emerging adult seringkali mengalami masalah, menghadapi perubahan hidup yang konstan, dan ketidakpastian. Emerging adult juga menghadapi tekanan pekerjaan, hubungan, keluarga, dan harapan untuk menjadi orang dewasa yang sukses. Berbagai hal tersebut menjadikan emerging adult rentan mengalami quarter life crisis (Herawati & Hidayat, 2020).

Fenomena krisis seperempat baya telah digambarkan dalam berbagai penelitian. Penelitian Agarwal dkk. (2020) menemukan bahwa 1.400 pengguna twitter berusia rentang 18-30 tahun di Amerika dan Inggris pernah mengunggah 1,5 juta tweet tentang permasalahan karir, kesehatan, dan keluarga yang mereka hadapi. Lalu, hasil penelitian mixed-methods dari Robinson (2018) di Inggris menunjukkan bahwa krisis seperempat baya dialami oleh individu yang gagal mencari pekerjaan. Selain itu, juga ditemukan bahwa krisis seperempat baya dapat menurunkan tingkat harga diri individu. Selanjutnya, fenomena krisis seperempat baya juga terjadi di Indonesia. Penelitian kualitatif Putri dkk. (2022) menemukan bahwa krisis seperempat baya pada emerging adult selama masa pandemi Covid-19 ditandai dengan perasaan dan pikiran yang mengganggu karena adanya tuntutan pekerjaan, rencana pernikahan, dan permasalahan keluarga.

Dari ketiga hasil penelitian di atas, kita bisa melihat bahwa krisis seperempat baya timbul karena lingkungan sekitar. Pertanyaan yang dianggap ringan oleh sebagian orang, seperti “Kapan wisuda?”, “Sudah dapat kerja belum? Kok masih menganggur?”, “Kapan menikah?”, dan lain sebagainya, justru dianggap berat bagi emerging adult. Dengan kata lain, krisis seperempat baya‒yang dipandang sebagai masa sulit oleh emerging adult‒dapat disebabkan oleh konstruk sosial yang dibangun di masyarakat.

Dalam jangka panjang, krisis seperempat baya dapat menimbulkan konsekuensi negatif. Beberapa literatur menunjukkan bahwa kondisi stress yang terakumulasi akibat krisis seperempat baya dapat menimbulkan berbagai permasalahan baru, seperti masalah emosi dan perilaku, menurunkan kesejahteraan psikologis, meningkatkan perilaku agresif, tindak kekerasan, meningkatkan kecenderungan menarik diri secara sosial, dan menimbulkan permasalahan kesehatan mental seperti depresi dan kecemasan (Habibie dkk., 2019).

Mengatasi quarter life crisis dengan bantuan kecerdasan buatan

Menanggapi dampak krisis seperempat baya khususnya terhadap kesehatan mental, pemerintah, praktisi, dan peneliti tengah mengupayakan promosi dan pencegahan permasalahan kesehatan mental. Tujuannya untuk membangun resiliensi emerging adult dalam menghadapi masa krisisnya (Gotzl dkk., 2022). Salah satu caranya adalah mengembangkan kecerdasan buatan (artificial intelligence), yaitu sistem komputer yang diprogram untuk membantu memecahkan masalah, mengambil keputusan, dan menyelesaikan tugas manusia yang spesifik.

Kontribusi kecerdasan buatan dalam bidang kesehatan mental telah disebutkan dalam berapa literatur (Gotzl dkk., 2022; Gumelar, 2023), seperti dapat membantu mengidentifikasi gangguan kesehatan mental pada emerging adult. Contohnya adalah chatbot terapeutik. Chatbot terapeutik menggunakan teknologi pemrosesan bahasa alami untuk berkomunikasi dengan emerging adult dan memberikan dukungan emosional. Dukungan emosional seperti ucapan semangat dan afirmasi positif dari chatbot terapeutik dapat membantu mengurangi gejala kecemasan dan depresi pada individu. Contoh lainnya adalah terapi online, yakni terapi yang memberikan kesempatan bagi klien emerging adult untuk berbincang dengan terapis melalui internet. Dengan menggunakan kecerdasan buatan, terapis dapat menganalisis percakapan dengan pasien, lalu memberikan rekomendasi terapi atau latihan mandiri yang dapat diterapkan oleh klien emerging adult untuk membantu meredakan gejala gangguan kesehatan mentalnya (Gumelar, 2023). Lebih lanjut, penelitian Gotzl dkk. (2022) menemukan bahwa aplikasi kesehatan mental berbasis kecerdasan buatan bernama mHealth apps memberikan berbagai pelatihan dan solusi atas situasi yang sulit, sehingga membantu emerging adult dalam mencapai tujuannya.

Akhir kata, kecerdasan buatan dapat menjadi support system yang mampu meredakan gejala permasalahan psikologis pada emerging adult. Meskipun demikian, penggunaan kecerdasan buatan yang berlebihan dapat menimbulkan ketergantungan dan mengurangi interaksi sosial. Maka dari itu, masih dibutuhkan kebijakan dan pendekatan yang tepat terkait penggunaan kecerdasan buatan agar tidak mengganggu interaksi sosial dan keseimbangan psikologis emerging adult.

Referensi: 

Agarwal, S., Guntuku, S. C., Robinson, O., Dunn, A., & Ungar, L. (2020). Examining the phenomenon of quarter-life crisis through artificial intelligence and the language of twitter. Frontiers in Psychology, 1-23.

Arnett, J. J. (2013). Adolescence and emerging adulthood: A cultural approach. Pearson Education

Arnett, J. J., Zukauskiene, R., & Sugimura, K. (2014). The new life stage of emerging adulthood at ages 18-29 years. Lancet Psychiatry, 1, 569-576. 

Erickson, E. H. (1968). Identity: Youth and crisis. Norton.

Götzl, C., Hiller, S., Rauschenberg, C., Schick, A., Fechtelpeter, J., Fischer Abaigar, U., … & Krumm, S. (2022). Artificial intelligence-informed mobile mental health apps for young people: a mixed-methods approach on users’ and stakeholders’ perspectives. Child and Adolescent Psychiatry and Mental Health, 16(1), 1-19.

Gumelar, G. (2023). Menavigasi tantangan dan menciptakan peluang: Peran vital ilmu psikologi di era kecerdasan buatan. Jurnal Penelitian dan Pengukuran Psikologi, 12(1), 1-4. 

Habibie, A., Syakarofath, N. A., & Anwar, Z. (2019). Peran religiusitas terhadap quarter-life crisis pada mahasiswa. Gadjah Mada Journal of Psychology, 5(2), 129-138. 

Hurlock, E. B. (1991). Psikologi perkembangan: Suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan (Edisi 5). Penerbit Erlangga.

Putri, A. L. K., Lestari, S., & Khisbiyah, Y. (2022). A quarter-life crisis in early adulthood in indonesia during the covid-19 pandemic. Indigenous: Jurnal Ilmiah Psikologi, 7(1), 28–47. https://doi.org/10.23917/indigenous.v7i1.15543

Robinson, O. C. (2018). A longitudinal mixed-methods case study of quarter-life crisis during the post-university transition: Locked-out and locked-in forms in combination. Emerging Adulthood, 7(3), 167–179. https://doi.org/10.1177/2167696818764144Tri Indonesia (2013, Juni 19). Trie-Indie+ (Versi cewe) [File video]. YouTube https://www.youtube.com/watch?v=2RVcOiYkcc4

Mengenali Technoference pada Orang Tua: Waspada Risiko Orang Tua Asyik dengan Smartphone Saat Mengasuh Anak

ArtikelArtikelArtikel Ilmiah Populer Thursday, 7 March 2024

Penulis: Kurnia Farwati

Penyunting: Raden Roro Anisa Anggi Dinda

Perkembangan media digital salah satunya smartphone dirasakan manfaatnya untuk semua kalangan, tidak terkecuali orang tua. Smartphone dapat dibawa ke mana pun dan dapat digunakan kapan saja karena bentuk smartphone yang cenderung kecil dan ringan di tangan. Dengan demikian, orang tua dapat menghabiskan waktu bersama dengan anak-anak mereka dan dalam waktu yang bersamaan juga dapat bertukar pesan dengan teman atau mitra profesional saat melakukan aktivitas pekerjaan secara jarak jauh, atau bahkan dapat menikmati berbagai hiburan yang ada di smartphone miliknya.

Penggunaan smartphone ini apabila kurang bisa dikontrol dengan baik, maka akan berdampak negatif bagi penggunanya. Fenomena adanya interupsi interaksi sosial melalui teknologi ini disebut dengan technoference (McDaniel & Radesky, 2018), dan pengguna yang asyik dengan smartphone juga disebut dengan istilah “immersion”. Immersion berarti penarikan perhatian dari lingkungan yang kemudian dipusatkan pada perangkat digital dalam hal ini adalah smartphone. Adanya technoference pada orang tua dapat berdampak negatif terhadap hubungan orang tua-anak, kesehatan, serta perkembangan anak (Mackay et al., 2022).

Hubungan orang tua-anak biasanya merujuk pada kualitas interaksi orang tua dengan anak dan kelekatan yang terjalin di antara mereka. Interaksi orang tua-anak yang optimal dapat diamati ketika seorang anak mengucapkan secara verbal, memberi isyarat, atau menangis dan kemudian orang tua merespon secara tepat dengan verbalisasi, kontak mata, atau dengan sentuhan fisik (Mackay et al., 2022). Interaksi yang demikian diketahui menjadi faktor utama untuk menghasilkan perkembangan anak yang optimal termasuk emosi positif, perilaku, perkembangan psikologis, dan sosial (Mackay et al., 2022). Fokus perhatian orang tua pada smartphone saat bersama anak dapat mengurangi perhatian orang tua, daya tanggap, dan kehangatan yang ditampilkan kepada anak-anak mereka (Knitter & Zemp, 2020; McDaniel & Radesky, 2018).

Technoference pada orang tua saat mengasuh anak tidak hanya berlangsung di dalam rumah namun juga saat melakukan aktivitas di luar rumah seperti di playground, tempat makan umum, dsb. Beberapa studi observasional yang dilakukan di tempat umum seperti di restoran dan taman bermain menemukan bahwa interaksi antara orang tua-anak berjalan kurang optimal. Orang tua yang tenggelam dengan smartphone mereka, lebih jarang berkomunikasi dengan anak-anaknya, dan kurang tanggap terhadap kebutuhan anak saat mereka berperilaku mencari perhatian orang tuanya serta kurang memperhatikan keamanan anak (Elias et al., 2021; Wolfers et al., 2020). Menariknya, temuan lain dari Elias et al (2021) yaitu aktivitas lainnya seperti membaca majalah dan berbicara dengan orang lain di taman bermain, juga menyibukkan orang tua dan orang tua mengalami gangguan respon kepada anak mereka, namun tidak sebanyak saat orang tua menggunakan smartphone.

Kelalaian orang tua akibat asyik dengan smartphone saat bersama anak dapat berakibat fatal yakni dapat menyebabkan anak terluka bahkan hingga meninggal. Terdapat beberapa insiden pada anak akibat orang tua yang terlalu fokus pada smartphone miliknya saat bersama anak seperti terjepit lift saat sedang bersama ibunya (Nicolaus, 2019), tertabrak mobil saat bermain sendiri di pelataran parkiran sementara ibunya asyik dengan handphone dan berujung meninggal setelah dilarikan ke rumah sakit (Liputan6.com., 2018). Kasus serupa juga terjadi bahkan ditabrak oleh ayahnya sendiri karena fokus dengan handphone miliknya dan tidak menyadari bahwa anaknya sudah turun dari mobil (Putra, 2018).

Kecelakaan pada anak-anak seringkali berakibat lebih fatal karena anak-anak memiliki keterbatasan seperti keterbatasan fisik, kognitif, emosi maupun sosial dibandingkan dengan orang dewasa. Anak-anak memiliki postur tubuh yang kecil sehingga anak mudah luput dari perhatian sekitar. Selain itu, sifat alamiah anak-anak yang cenderung memiliki rasa ingin tahu tinggi sehingga senang melakukan eksplorasi benda, tempat, atau hal lainnya yang menarik perhatiannya tanpa mempertimbangkan baik atau buruknya, aman atau tidaknya karena kemampuan anak untuk menalar atau mempersepsikan lingkungan di sekitarnya cenderung masih terbatas sehingga belum mampu memahami adanya potensi bahaya yang ada.

Apabila kelalaian orang tua semacam ini terus terjadi secara berulang, maka dapat mendatangkan dampak tidak langsung dalam jangka panjang terhadap perkembangan anak. Sikap orang tua yang menampakkan wajah kesal atau bahkan bermusuhan ketika anak mereka mengulangi perilaku mencari perhatian kepada mereka sebagai orang tuanya (Elias et al., 2021) dapat menimbulkan perasaan diabaikan yang kemudian dapat memicu adanya masalah perilaku, emosional, sosial, depresi, dan perilaku anti sosial pada anak (Beamish et al., 2019; McDaniel & Radesky, 2018). Fokus dengan smartphone saat bersama anak juga dapat menjadi pemicu awal anak terlibat dalam penggunaan digital di usia yang belum seharusnya karena telah mendapatkan contoh langsung penggunaan smartphone yakni dari orang tuanya (Bohnert & Gracia, 2021).

Melihat ragam dampak dari fenomena technoference pada orang tua saat mengasuh anak, pentingnya orang tua untuk memahami dan menyadari bahwa kehadiran orang tua saat bersama anak tidak hanya hadir secara fisik namun benar-benar hadir secara utuh yakni secara fisik dan emosional. Saat membersamai anak bermain di rumah maupun di luar rumah, penting bagi orang tua untuk turut terlibat dalam permainan. Selain berguna untuk membangun kelekatan emosional dengan anak, orang tua juga dapat memastikan secara langsung keamanan anak. Apabila orang tua harus menggunakan smartphone saat anak sedang bermain karena urusan pekerjaan atau hal penting lainnya, orang tua dapat meminta bantuan kepada orang dewasa lain di sekitarnya untuk memperhatikan anaknya.

Referensi :

Beamish, N., Fisher, J., & Rowe, H. (2019). Parents’ use of mobile computing devices, caregiving and the social and emotional development of children: a systematic review of the evidence. Australasian Psychiatry, 27(2), 132–143. https://doi.org/10.1177/1039856218789764

Bohnert, M., & Gracia, P. (2021). Emerging Digital Generations ? Impacts of Child Digital Use on Mental and Socioemotional Well-Being across Two Cohorts in Ireland , 2007 – 2018 Content courtesy of Springer Nature , terms of use apply . Rights reserved . Content courtesy of Springer Natur. Child Indicators Research.

Elias, N., Lemish, D., Dalyot, S., & Floegel, D. (2021). “Where are you?” An observational exploration of parental technoference in public places in the US and Israel. Journal of Children and Media, 15(3), 376–388. https://doi.org/10.1080/17482798.2020.1815228

Knitter, B., & Zemp, M. (2020). Digital Family Life: A Systematic Review of the Impact of Parental Smartphone Use on Parent-Child Interactions. Digital Psychology, 1(1), 29–43. https://doi.org/10.24989/dp.v1i1.1809

Liputan6.com. (5 Juni 2018). Gara-Gara Ibu Sibuk Main Posel, Anak Tertabrak Mobil. https://www.liputan6.com/citizen6/read/3406356/gara-gara-ibu-sibuk-main-ponsel-anak- tertabrak-mobil

Mackay, L. J., Komanchuk, J., Hayden, K. A., & Letourneau, N. (2022). Impacts of parental technoference on parent-child relationships and child health and developmental outcomes: a scoping review protocol. Systematic Reviews, 11(1), 1–7. https://doi.org/10.1186/s13643- 022-01918-3

McDaniel, B. T., & Radesky, J. S. (2018). Technoference: Parent Distraction With Technology and Associations With Child Behavior Problems. Child Development, 89(1), 100–109. https://doi.org/10.1111/cdev.12822

Nicolaus. (1 Agustus 2019). Ironis, Seorang Ibu Sibuk Main Ponsel Tak Perhatikan Tangan Anaknya Terjepit Lift, Masih Sempat Pegang HP Saat Mencoba Menolong.

https://www.grid.id/read/041804446/ironis-seorang-ibu-sibuk-main-ponsel-tak-perhatikan- tangan-anaknya-terjepit-lift-masih-sempat-pegang-hp-saat-coba-menolong

Putra, P. (26 Juli 2018). Tragis, Bocah Tewas Tertabrak Mobil Ayahnya Karena Sibuk dengan Ponsel. https://jatim.inews.id/berita/tragis-bocah-tewas-tertabrak-mobil-ayahnya-karena- sibuk-dengan-ponselWolfers, L. N., Kitzmann, S., Sauer, S., & Sommer, N. (2020). Phone use while parenting: An observational study to assess the association of maternal sensitivity and smartphone use in a playground setting. Computers in Human Behavior, 102(August 2019), 31–38. https://doi.org/10.1016/j.chb.2019.08.013

Generasi Baru, Kebutuhan Baru: Membimbing Pembelajaran Anak Digital Native di Tengah Pengaruh Gadget

ArtikelArtikelArtikel Ilmiah Populer Wednesday, 7 February 2024

Di era yang dipenuhi dengan gemerlap teknologi, anak-anak masa kini tumbuh dalam realitas yang berbeda. Marc Prensky, seorang konsultan pendidikan, menyebut mereka dengan istilah ‘digital native’, yang merujuk pada generasi yang lahir dan tumbuh dengan paparan teknologi, sehingga mereka dianggap sebagai pengguna bahasa digital yang fasih (Prensky, 2001). Generasi ini dimulai dari generasi milenial, yaitu yang lahir pada kisaran tahun 1980 sampai 2000-an, hingga ke generasi-generasi setelahnya (Moran, 2016). Sedangkan, generasi-generasi sebelumnya dikenal dengan istilah ‘digital immigrant’, yaitu generasi yang tidak lahir pada era digital, sehingga baru berkesempatan untuk belajar dan beradaptasi pada teknologi setelah dewasa.

Sebagai orang dewasa yang masih masuk ke generasi digital immigrant, atau ada pula yang telah masuk ke generasi digital native namun mungkin tak terpapar teknologi sebanyak anak-anak digital native di zaman sekarang, penting bagi guru untuk memahami pengalaman ber-gadget murid dan mencari tahu cara yang tepat untuk mendukung mereka, terutama dalam penggunaan gadget untuk pembelajaran. Sebab, apabila tidak dibimbing dengan baik, bisa jadi murid tidak dapat meraih potensi maksimalnya, atau bahkan dapat terjerumus ke efek samping buruk dari gadget. Maka dalam artikel ini, kita akan menjelajahi bagaimana gadget mempengaruhi anak-anak digital native, sambil menggali cara guru dapat membantu mereka menjadikan teknologi sebagai sahabat sejati dalam meraih potensi terbaik dan menghadapi tantangan zaman.

Dengan lingkungan tumbuh kembang yang berbeda, tentunya generasi digital native memiliki karakteristik yang berbeda dari digital immigrant. Salah satu aspek yang menonjol dari pengaruh gadget adalah perubahan dalam cara anak-anak digital native belajar dan berpikir. Berikut adalah beberapa karakteristik yang dimiliki generasi digital native atau Net Generation sebagai pengaruh dari teknologi menurut Tappscott (2009):

  1. Kebebasan: mereka menginginkan kebebasan dari berbagai aspek, mulai dari kebebasan untuk memilih hingga kebebasan berekspresi.
  2. Kustomisasi dan personalisasi: mereka menginginkan hal-hal dapat disesuaikan dengan preferensi mereka.
  3. Kritis terhadap informasi: mereka cenderung mengkritisi dan mengevaluasi informasi dengan lebih teliti.
  4. Integritas dan keterbukaan: mereka menghargai integritas dan keterbukaan dalam berinteraksi, serta menginginkan informasi yang jujur dan transparan.
  5. Kesenangan atau entertainment: mereka menginginkan pekerjaan, pendidikan, serta kehidupan sosial yang menyenangkan.
  6. Kolaborasi: mereka saling berhubungan erat dan saling mempengaruhi satu sama lain, terutama karena pengaruh teknologi yang dapat menghubungkan yang jauh.
  7. Kecepatan: mereka terbiasa dengan hal-hal yang serba cepat, terutama dalam hal komunikasi yang kini telah terbantu oleh teknologi.
  8. Inovasi: mereka adalah generasi yang inovatif dan terus mencari cara untuk membuat inovasi-inovasi baru dalam berbagai aspek.

Dari karakteristik di atas, dapat disimpulkan bahwa generasi digital native telah mengadopsi banyak keahlian baru yang didapat dari paparan teknologi sejak dini. Dengan kehidupan yang serba cepat, saling terhubung, dan tetap mementingkan kesenangan, maka akan sulit bagi generasi ini untuk belajar dengan cara lama yang umumnya berpusat pada guru. Cara ini hanya bertujuan untuk mengetes memori anak, yang seringkali menggunakan metode kelas yang serius, mendengarkan presentasi dari guru, dan kurangnya diskusi dan komunikasi antar murid. Meski metode konvensional ini memudahkan murid dalam mempersiapkan diri untuk ujian, metode ini menyebabkan murid terlalu bergantung pada guru dan tidak mengasah kemampuan mereka dalam berpikir kritis (Prensky, 2001; Wang, 2022). Jika guru tidak beradaptasi dengan kebutuhan generasi ini, maka mereka hanya akan menganggap pembelajaran sebagai membosankan dan tidak efektif.

Dengan mempertimbangkan hal tersebut, sangat penting bagi guru untuk menyesuaikan diri dengan kemajuan teknologi dan perkembangan generasi agar dapat pembelajaran murid sesuai dengan kebutuhan dan preferensi mereka. Berikut adalah beberapa hal yang bisa dilakukan guru untuk memfasilitasi pembelajaran murid digital native menurut Kelly dkk. (2009, dalam Kivunja, 2014):

  1. Mengejar kesenjangan antara guru dan murid digital native, melalui penggunaan gaya bahasa dan teknologi yang familiar dengan murid (Prensky, 2001, dalam Kivunja, 2014)
  2. Berkomunikasi secara langsung dengan murid dengan memanfaatkan teknologi yang ada (e-mail, chatting, membaca blog, bermain game online, mendengarkan dan membuat podcast, dan lain-lain)
  3. Terlibat dengan berbagai aktivitas lain bersama murid
  4. Terhubung dengan dunia digital murid agar sekolah dan pembelajaran dapat menjadi relevan bagi murid
  5. Mempelajari cara penggunaan alat-alat atau platform digital baru yang dapat mendukung pembelajaran murid
  6. Mendapatkan pengalaman baru secara langsung di dunia digital untuk digunakan dalam membantu pembentukan pengetahuan murid

Dalam era gadget yang tak terhindarkan, menjadi pemandu bagi murid digital native bukanlah tugas yang mudah. Namun, dengan kesadaran, komunikasi, serta kemauan untuk belajar dan beradaptasi, kita dapat membantu mereka untuk belajar dengan efektif di generasi baru ini. Jadi, mari kita melangkah maju bersama mereka, membangun masa depan yang cerah dalam era digital yang penuh potensi.

Referensi

Kivunja, C. (2014). Theoretical perspectives of how digital natives learn. International Journal of Higher Education, 3(1). https://doi.org/10.5430/ijhe.v3n1p94

Moran, K. (2016, January 3). Millennials as digital natives: Myths & realities. Nielsen Norman Group. https://www.nngroup.com/articles/millennials-digital-natives/

Prensky, M. (2001). Digital natives, digital immigrants part 1. On The Horizon, 9(5), 1 – 6. http://dx.doi.org/10.1108/10748120110424816

Tapscott, D. (2009). Grown up digital: How the net generation is changing your world. McGraw-Hill.

Wang, Y. (2022). A comparative study on the effectiveness of traditional and modern teaching methods. Proceedings of the 2022 5th International Conference on Humanities Education and Social Sciences (ICHESS 2022), 270-277. https://doi.org/10.2991/978-2-494069-89-3_32

Dampak Gadget Terhadap Perkembangan Anak: Memahami Efek Positif dan Negatif

ArtikelArtikelArtikel Ilmiah Populer Thursday, 23 November 2023

Penulis: Vivaldhi Aurel Ramadhan

Penyunting: Muhammad Ikbal Wahyu Sukron

Penggunaan gadget telah merevolusi cara kita berinteraksi, belajar, dan menjalani kehidupan sehari-hari. Di era digital, anak-anak tumbuh dengan kemudahan dalam mengakses gadget, seperti smartphone, tablet, dan laptop yang telah terintegrasi dalam kehidupan sehari-hari. Gadget dapat menyediakan akses tak terbatas pada informasi, hiburan, dan komunikasi. Namun, perdebatan tentang efek sebenarnya dari penggunaan gadget terus berlanjut, terutama terkait dampaknya pada perkembangan individu dan masyarakat. Saat membahas mengenai dampak gadget terhadap individu dan masyarakat, terdapat dua sisi: efek positif dan negatif. Artikel ini akan berfokus pada dampak gadget terhadap perkembangan anak.

Gadget dapat memberi dampak positif pada perkembangan anak, seperti meningkatkan kreativitas, kemampuan berkomunikasi, dan sosial anak. Hasil studi Syifa dkk. (2018) menyimpulkan bahwa penggunaan gadget berdampak positif terhadap perkembangan psikologi anak, lebih tepatnya dalam ranah kognitif dan afektif. Dalam studi Syifa dkk. (2018), ditemukan bahwa anak Sekolah Dasar dapat dengan mudah mencari informasi tentang pembelajaran berkomunikasi dengan teman sebaya melalui gadget. Kemudahan dalam mengakses informasi dapat meningkatkan kreativitas dan pengetahuan anak. Selain itu, anak dapat mempelajari sikap dan nilai yang baik untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Untuk penjelasan lebih lanjut, gadget dapat mendukung anak untuk belajar secara mandiri melalui akses tak terbatas ke informasi. Anak dapat mencari informasi, membaca buku digital, dan mengeksplorasi dunia dengan lebih luas. Selebihnya, gadget menawarkan peluang untuk pembelajaran interaktif. Aplikasi edukatif dapat membantu anak-anak dalam memahami konsep-konsep visual secara menarik yang dapat meningkatkan daya tangkap anak terhadap materi pelajaran.

Selain itu, gadget dapat membantu perkembangan fungsi adaptif anak. Dalam penelitian Yumarni (2022), dijelaskan bahwa perkembangan kemampuan adaptif anak bisa didukung dengan baik melalui kemampuan anak untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar dan perkembangan zaman. Pada zaman digital ini, anak diharapkan mampu menguasai cara menggunakan gadget dan dapat mengikuti perkembangan teknologi.

Terakhir, gadget dapat memberikan dampak positif bagi motorik dan kognitif anak (Sundus, 2017, dalam Rahayu dkk., 2021). Rahayu dkk. (2021) menjelaskan dampak menguntungkan pada kemampuan motorik anak dapat diamati dari aspek keterampilan motorik yang melibatkan otot-otot kecil, seperti pergerakan pada bibir, jari, dan pergelangan tangan. Anak-anak‒secara tidak langsung‒melakukan pelatihan otot jari ketika berinteraksi dengan gadget, yaitu saat penggunaan layar sentuh, mengetik dan menulis digital, permainan interaktif, dan lain-lain. Mengenai pengaruh menguntungkan terhadap aspek kognitif anak, bisa diperhatikan dari kapasitas untuk berpikir atau memproses informasi, kemampuan penalaran, dan daya ingat, yang melibatkan aktivitas saraf dalam otak (Mardalena dkk., 2020, dalam Rahayu dkk., 2021). Dari hasil penelitian ini, gadget bisa menjadi salah satu sarana untuk meningkatkan daya ingat dan kemampuan anak dalam memproses informasi baru. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa perkembangan anak dari segi kognitif dapat ditingkatkan melalui penggunaan gadget.

Di balik manfaat positif gadget, masih terdapat dampak negatif penggunaan gadget terhadap tumbuh kembang anak. Berdasarkan studi Rahayu dkk. (2021), gadget dapat menghambat perkembangan bicara dan bahasa anak. Hal ini terjadi karena anak menghabiskan waktu lebih banyak di depan layar gadget dibandingkan berinteraksi dengan orang lain yang dapat melancarkan pembelajaran berbicara dan berbahasa. Akibatnya, anak jarang berinteraksi dengan orang lain dan mengakibatkan kurangnya kemampuan bicara dan bahasa anak.

Kedua, penggunaan gadget secara berlebihan dapat berdampak negatif terhadap pembentukan karakter anak. Rahayu dkk. (2021) menjelaskan bahwa pengaruh buruk pada pembentukan karakter anak dapat disebabkan oleh penggunaan gadget melalui konten-konten yang kurang baik. Contohnya, terdapat berbagai video di platform Youtube yang dapat mengakibatkan anak berperilaku kurang sopan terhadap orang yang lebih dewasa dan berkata kasar.

Terakhir, kelebihan menggunakan gadget dapat mengganggu fungsi prefrontal cortex anak. Dengan anak kecanduan dengan gadget, otak pada anak dapat menyekresi hormon dopamin secara berlebihan yang dapat mengakibatkan fungsi prefrontal cortex menjadi terganggu. Hal ini dapat mempengaruhi wilayah dalam otak‒secara negatif‒yang mengendalikan emosi, regulasi diri, tanggung jawab, pengambilan keputusan, dan prinsip-prinsip moral lainnya.

Kesimpulannya adalah penggunaan gadget pada anak-anak memiliki dampak yang bervariasi yang harus dipertimbangkan dengan cermat. Gadget memberikan peluang untuk pembelajaran yang interaktif, membantu membangun fungsi adaptif, dan mengembangkan motorik dan kognitif. Namun, gadget juga dapat menimbulkan tantangan seperti menghambat perkembangan bicara dan bahasa anak. Oleh karena itu, peran orang tua dan pendidik sangatlah penting dalam mengatur penggunaan gadget pada anak-anak. Di tengah dunia yang semakin terhubung secara digital, pemahaman bahwa perangkat elektronik adalah alat yang dapat dimanfaatkan secara bijaksana menjadi kunci. Dengan melakukan pemantauan, mengatur waktu layar, dan mengawasi konten yang sesuai, dampak positif dari penggunaan gadget dapat ditingkatkan sementara tantangan dan efek negatifnya dapat diminimalisir.

Referensi

Syifa, L., Setianingsih, E. S., & Sulianto, J. (2019). Dampak penggunaan gadget terhadap perkembangan psikologi pada anak sekolah dasar. Jurnal Ilmiah Sekolah Dasar, 3(4), 538. https://doi.org/10.23887/jisd.v3i4.22310

Yumarni, V. (2022). Pengaruh gadget terhadap anak usia dini. Jurnal Literasiologi. Volume 8, (2). https://media.neliti.com/media/publications/556623-pengaruh-gadget-terhadap-anak-usia-dini-a99897cc.pdf

Rahayu, N. S., Elan, Mulyadi, S. (2021). Analisis penggunaan gadget pada anak usia dini.  Jurnal PAUD Agapedia, Vol.5 No. 2.

Dilema Penggunaan Gawai pada Perkembangan Anak

ArtikelArtikelArtikel Ilmiah Populer Thursday, 23 November 2023

Penulis: Athanasia Dianri Susetiya Putri

Penyunting: Muhammad Ikbal Wahyu Sukron

Di era digital saat ini, gawai telah menjadi bagian penting dalam kehidupan. Bahkan, gawai tak hanya digunakan oleh orang dewasa, tapi juga kanak-kanak usia dini (Siregar & Yaswinda, 2022). Ya, melihat anak-anak yang lihai bermain gawai tampaknya sudah bukan fenomena yang asing lagi. Lalu, apakah hal ini merupakan hal yang baik atau buruk? Seperti yang kita tahu, usia 6 tahun pertama sering disebut sebagai “masa peka”, yaitu masa kritis dalam perkembangan sehingga stimulus yang diberikan lebih mudah ditangkap oleh anak. Dapat dikatakan anak sangat sensitif atau peka terhadap apa yang ia alami. Periode ini biasanya ditandai dengan tingginya rasa keingintahuan anak yang tampak dari seringnya anak menanyakan hal yang dilihatnya (Hamidah & Purnamasari, 2018; Pebriana, 2017). Dengan begitu, penggunaan gawai tentu memengaruhi perkembangan anak (Siregar & Yaswinda, 2022). Nah, kira-kira apa saja ya dampaknya? Dan apa yang sebaiknya orangtua lakukan agar perkembangan anak dapat optimal di era digital ini? Yuk, simak ulasannya berikut!

Gawai dapat memengaruhi perkembangan anak dalam berbagai aspek, yaitu aspek kognitif, sosio-emosional, dan fisik (Mashrah, 2017). Pada aspek kognitif, terdapat berbagai permainan yang dapat menstimulasi perkembangan kognitif anak, misalnya permainan puzzle, alat musik, dan mewarnai (Charles Nechtem Associates [CNA], 2021; Siregar & Yaswinda, 2022). Hal ini akan mendorong kreativitas anak dan menstimulasi kemampuannya dalam memecahkan masalah (CNA, 2021; Hamidah & Purnamasari, 2018), sehingga anak akan lebih mampu untuk mengambil keputusan secara cepat (Hamidah & Purnamasari, 2018). Selain itu, gawai juga memungkinkan anak untuk mengakses tayangan edukasi yang dapat memperkaya perbendaharaan katanya (Siregar & Yaswinda, 2022), mengetahui informasi yang menarik minatnya (CNA, 2021), hingga menirukan gerakan dan lagu yang dilihatnya dari internet (Siregar & Yaswinda, 2022).

Meskipun gawai dapat menstimulasi kemampuan kognitif anak, apabila digunakan secara berlebihan, maka yang terjadi justru penurunan kognitif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 5 dari 10 anak mengalami kecanduan gawai hingga membuatnya tidak fokus belajar karena pikirannya asyik pada games yang dimainkan di rumah (Harsela & Qalbi, 2020); kemampuan anak dalam berkonsentrasi juga akan menurun dan mudah terdistraksi (CNA, 2021; Ricci dkk., 2022; Siregar & Yaswinda, 2022). Selain itu, anak bisa jadi terlalu mengandalkan gawai dalam memecahkan masalahnya sehingga perkembangan otaknya kurang terstimulasi (CNA, 2021). Penggunaan yang berlebihan juga dapat menghambat perkembangan berbahasa anak (Ricci dkk., 2022; Siregar & Yaswinda, 2022).

Seperti halnya aspek kognitif, pengaruh gawai juga bagaikan pedang bermata dua pada perkembangan aspek sosio-emosional anak. Di satu sisi, gawai dapat menjadi sarana berkomunikasi antara anak dengan anggota keluarga ataupun teman sebayanya yang tinggal berjauhan (CNA, 2021). Di sisi lain, durasi yang dihabiskan untuk bermain gawai, berbanding terbalik dengan kesempatan anak untuk mengembangkan keterampilannya dalam bersosialisasi. Alhasil, anak dapat mengalami kesulitan dalam bersosialisasi, pemalu, dan cenderung menarik diri dari lingkungan sekitarnya. Selain itu, sangat mungkin anak enggan untuk bersosialisasi karena gawai lebih menarik baginya (CNA, 2021), anak lebih memilih gawainya daripada mematuhi orangtua, bahkan marah (Siregar & Yaswinda, 2022).

Penggunaan gawai yang berlebihan juga berdampak negatif bagi kesehatan tubuh. Ketika anak lebih sering bermain gawai daripada melakukan aktivitas fisik, maka hal ini rawan memicu obesitas (CNA, 2021). Penggunaan gawai secara berlebihan juga dapat menurunkan jumlah jam tidur anak karena anak lebih tertarik untuk memainkan gawainya (LeBourgeois dkk., 2017). Selain kuantitas jam tidur, gawai juga berdampak negatif pada kualitas tidur anak, khususnya ketika dimainkan menjelang jam tidur. Tak hanya itu, cahaya yang dipancarkan gawai memberi sinyal pada tubuh untuk terjaga, bukannya mengantuk (Centers for Disease Control and Prevention, 2023; Ricci dkk., 2022). Apabila dibiarkan, menurunnya kualitas tidur berdampak negatif bagi sistem imun dan suasana hati anak (CNA, 2021; Miranti & Putri, 2021).

Sekarang sudah tergambar ya, betapa besarnya dampak gawai pada perkembangan anak. Agar anak dapat mencapai perkembangan yang optimal, orangtua perlu menerapkan aturan dan batasan penggunaan gawai secara bijak. Berikut tipsnya:

  1. Terapkan durasi screen time. Anak di bawah usia 12 bulan tidak boleh menggunakan gawai sama sekali dan anak di bawah 5 tahun tidak boleh memainkan gawai lebih dari 1 jam. Dengan begitu, anak dapat melakukan aktivitas fisik dan interaksi dengan orang sekitar, seperti membaca dan mendengarkan cerita (World Health Organization, 2019). Bagi anak di atas usia 5 tahun, usahakan untuk tidak menggunakan gawai lebih dari 2 jam dalam sehari (Syifa dkk., 2019). Orangtua juga dapat menerapkan waktu bebas gawai, misalnya saat makan dan acara keluarga. Dengan begitu, anak tetap aktif berinteraksi (CNA, 2021).  
  2. Awasi konten yang diakses anak. Orangtua perlu memastikan bahwa konten yang diakses anak sesuai dengan usianya (CNA, 2021). Meski begitu, apabila anak terpapar konten negatif, janganlah memarahi anak secara berlebihan, melainkan berikan arahan, bimbingan, dan penjelasan yang mudah dipahami anak (Syifa dkk., 2019).
  3. Jadilah teladan bagi anak. Orangtua juga perlu menjadi teladan untuk menggunakan gawai secara tidak berlebihan (Syifa dkk., 2019). Anak membutuhkan perhatian, kepedulian, dan bimbingan orangtua, termasuk dalam penggunaan gawai (Mashrah, 2017; Sagr & Sagr, 2020). Untuk itu, penting bagi orangtua untuk tidak menjadikan gawai sebagai pengganti kehadirannya. Anak perlu merasa diperhatikan dan dicintai, sesuatu yang bisa ia dapatkan dari orangtua, bukan gawai.

Referensi:

Centers for Disease Control and Prevention. (2023, April 13). Effects of light. (https://www.cdc.gov/niosh/emres/longhourstraining/light.html#:~:text=Your%20body’s%20circadian%20clock%20responds,at%20night%20to%20sleep%20better.

Charles Nechtem Associates. (2021). The impact of technology on children. https://www.cerritos.edu/hr/_includes/docs/August_2021_The_Impact_of_Technology_on_Children_ua.pdf

Hamidah, N. & Purnamasari, U. D. (2018). Childhood in digital generation: Using gadget for cognitive, emotional, and social development. Proceeding of International Conference on Child-Friendly Education, 268-273. https://publikasiilmiah.ums.ac.id/bitstream/handle/11617/10068/ICCE%20Proceeding%20FULL%20rev06062018_48.pdf?sequence=1

Harsela, F. & Qalbi, Z. (2020). Dampak permainan gadget dalam mempengaruhi perkembangan kognitif anak di TK Dharma Wanita Bengkulu. Journal Pena PAUD, 1(1). https://doi.org/10.33369/penapaud.v1i1.13851

LeBourgeois, M.K., Hale, L., Chang, A.M., Akacem, L.D., Montgomery-Downs, H.E., & Buxton, O.M. (2017). Digital media and sleep in childhood and adolescence. American Academy of Pediatrics, 140(2), 592-596. https://doi.org/10.1542/peds.2016-1758J

Mashrah, H. T. (2017). The impact of adopting and using technology by children. Journal of Education and Learning, 11(1), 35-40. https://doi.org/10.11591/edulearn.v11i1.5588

Miranti, P. & Putri, L. D. (2021). Waspadai dampak penggunaan gadget terhadap perkembangan sosial anak usia dini. Jurnal Cendekiawan Ilmiah PLS, 6(1), 58–66. https://doi.org/10.37058/jpls.v6i1.3205 

Pebriana, P. H. (2017). Analisis penggunaan gadget terhadap kemampuan interaksi sosial pada anak usia dini. Jurnal Obsesi: Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, 1(1), 1–11. https://doi.org/10.31004/obsesi.v1i1.26

Ricci, R. C., Paulo, A. S. C., Freitas, A. K. P. B., Ribeiro, I. C., Pires, L. S. A., Facina, M. E. L., Cabral, M. B., Parduci, N. V., Spegiorin, R. C., Bogado, S. S. G., Chociay Junior, S., Carachesti, T. N., & Larroque, M. M. (2022). Impacts of technology on children’s health: A systematic review. Revista Paulista de Pediatria : Orgao Oficial da Sociedade de Pediatria de Sao Paulo, 41. https://doi.org/10.1590/1984-0462/2023/41/2020504

Sagr, A. N. A. & Sagr, N. A. A. (2020). The effect of electronics on the growth and development of young children: A narrative review. Journal of Health Informatics in Developing Countries, 14(1). https://www.jhidc.org/index.php/jhidc/article/view/250

Siregar, A. O. & Yaswinda, Y. (2022). Impact of gadget use cognitive development. Advances in Social Science, Education and Humanities Research, 668. https://doi.org/10.2991/assehr.k.220602.035

Syifa, L., Setianingsih, E. S., & Sulianto, J. (2019). Dampak penggunaan gadget terhadap perkembangan psikologi pada anak Sekolah Dasar. Jurnal Ilmiah Sekolah Dasar, 3(4), 527–533. https://doi.org/10.23887/jisd.v3i4.22310

World Health Organization. (‎2019)‎. Guidelines on physical activity, sedentary behaviour and sleep for children under 5 years of age. World Health Organization. https://apps.who.int/iris/handle/10665/311664.

Mengenal Emosi Anak: Strategi Orang Tua dalam Menangani Anak Temper Tantrum

ArtikelArtikelArtikel Ilmiah Populer Tuesday, 20 June 2023

Penulis: Hanifah Sholihah

Temper tantrum pada umumnya dianggap sebagai fenomena normal yang secara alami pasti terjadi pada anak-anak. Sejalan dengan ini, tantrum ditandai dengan gejala awal dari masalah perilaku yang mengganggu dan terlibat dalam perkembangan gangguan perilaku dan mood anak (Van den akker et al., 2022). Temper tantrum diartikan sebagai munculnya episode kemarahan dan frustasi yang sangat ekstrem (Daniels et al., 2012). Temper tantrum adalah suatu ledakan amarah yang sering terjadi pada anak yang sedang menunjukkan sikap negativistik atau penolakan (Izzaty, 2005). Gangguan perilaku bermasalah temper tantrum paling umum terjadi pada anak-anak sekitar usia 18 bulan hingga 4 tahun (Watson et al., 2010). Lebih lanjut Zuhroh & Kamilah (2020) menjelaskan bahwa anak usia prasekolah yang berusia antara 3 sampai 6 tahun biasanya berperilaku temper tantrum. Perilaku temper tantrum memberikan ruang yang unik bagi anak-anak untuk mengekspresikan frustasi mereka dengan permasalahan yang mereka hadapi dalam menyelesaikan tugas perkembangan.

Temper tantrum sering terjadi pada anak-anak yang sedang mengalami kelelahan, lapar, ketidaknyamanan atau perasaan yang tidak enak (Wakschlag, et al., 2012). Hal ini bisa menjadi pemicu ledakan emosi anak yang bisa mengakibatkan temper tantrum berkelanjutan. Perilaku temper tantrum dimanifestasikan dalam bentuk temper tantrum ringan, seperti kehilangan kesabaran atau mengamuk saat frustasi, marah atau kesal, menangis, berteriak hingga menunjukkan perilaku bermasalah yang berkelanjutan dan bisa mengganggu psikologisnya, seperti menghancurkan barang-barang saat sedang marah, menyakiti dirinya sendiri (Wakschlag et al., 2012; Zuhroh & Kamilah, 2020). Perilaku temper tantrum ini bisa berlanjut di tahapan perkembangan selanjutnya sehingga anak akan berperilaku maladaptif, seperti perilaku penghindaran, dan kekerasan hingga makian verbal (Daniels et al., 2012).

Temper tantrum dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti lingkungan, psikologi, penyesuaian diri, dan juga pola asuh orang tua (Umami & Sari, 2020). Peran pola asuh orang tua sangat berpengaruh pada perkembangan anak terutama emosi. Sejalan dengan penelitian Zuhroh & Kamilah (2020) bahwa 85.7% anak usia prasekolah mengalami temper tantrum di mana hal ini menunjukkan bahwa karakteristik ibu seperti usia dan jenis pekerjaan dapat mempengaruhi munculnya temper tantrum pada anak. Secara eksplisit, ibu yang berada pada rentang usia dewasa secara psikologis dianggap mampu berperan aktif dalam pola asuh anak, memberikan stimulus pada anak, dan juga membantu anak dalam mengembangkan kemampuan dasarnya. Lebih lanjut, ibu yang bekerja purna waktu dapat mempengaruhi pola asuh pada anak karena ibu yang terlalu sibuk bekerja lebih banyak menghabiskan waktunya di tempat kerja dibandingkan dengan waktu bersama dengan anaknya. Hal ini bisa berakibat pada kedekatan emosional antara ibu dan anak kurang sehingga anak akan merasa cemas, diabaikan kemudian mencari perhatian di luar rumah.

Banyak orang tua yang tidak sadar dalam menangani temper tantrum dengan tepat sehingga kondisi emosi anak cenderung tidak stabil. Hal tersebut dikarenakan orang tua lebih fokus pada menenangkan dirinya sendiri dibandingkan dengan menenangkan emosi anaknya. Pernyataan diatas diperkuat dengan penelitian Gina & Jessica (2007) bahwa saat anak yang  sedang tantrum sekitar 59% orang tua mencoba menenangkan anak, 37% mengacuhkan dan 31% menyuruh anak diam. Penanganan temper tantrum yang dilakukan oleh orang tua seharusnya bisa menciptakan lingkungan yang kondusif sehingga anak merasa nyaman. Di samping itu, orang tua juga harus bisa memahami berbagai emosi anak agar bisa membantu anak dalam mengekspresikan emosinya. Hal tersebut bisa dilakukan orang tua dengan memberikan respon penuh simpati dan kasih sayang yang menunjukkan bahwa orang tua memahami dan mengerti apa yang dirasakan anak. 

Tantrum memberikan tekanan yang besar pada hubungan orang tua dan anak (Salameh, et al., 2021). Ketika anak-anak berkembang, mereka bertindak melampaui batas sehingga anak-anak cenderung tidak patuh, merengek, menjadi pemarah, hiperaktif, dan agresi (Wakschlag et al., 2012). Hal ini bisa memicu temper tantrum pada anak dan orang tua harus bisa responsif saat anak sedang tantrum. Orang tua bertanggung jawab untuk membantu anak-anak mereka dalam mengeksplorasi dan menguasai keterampilan baru termasuk mengenali emosi dan melakukan regulasi emosi. Orang tua yang mengajarkan anaknya untuk bisa mengekspresikan emosinya di kehidupan sehari-hari, seperti memberikan ruang untuk merefleksikan diri dan berempati dengan orang lain akan bisa mendorong anak untuk belajar meregulasi emosinya dengan baik (Salameh, et al., 2021). Regulasi emosi merupakan keterampilan penting dari perkembangan masa bayi yang mempunyai implikasi jangka panjang pada coping dan resiliensi (Shin & Kemps, 2020; Coyne, et al., 2021). 

Penelitian Branjerdporn et al (2019) menyatakan bahwa apabila orang tua sudah bisa memahami apa yang dirasakan anaknya maka saat anak sedang mengalami tantrum, orang tua akan menerima berbagai rangsangan dari anaknya yang sedang mengalami tantrum, meliputi: 

  1. Rangsangan pendengaran, seperti anak berteriak dengan suara keras bernada tinggi, anak menangis tak terkendali. 
  2. Rangsangan visual, seperti anak melambaikan tangan secara spontan, anak melempar benda. 
  3. Rangsangan proprioseptif, seperti anak mendorong orang tua. 
  4. Rangsangan vestibular, seperti orang tua menoleh untuk melihat apakah orang lain melihat dan orang tua bergerak ke arah anak.

Berdasarkan penjelasan diatas, ada beberapa strategi dari penulis yang bisa diterapkan orang tua apabila anak sedang mengalami temper tantrum. Seperti, orang tua dapat memberikan ruang untuk anak melampiaskan emosinya namun tetap memastikan segala sesuatu dalam keadaan yang aman, baik untuk orang tua atau pengasuh serta barang-barang di sekelilingnya. Tak hanya itu, orang tua harus tanggap untuk memberikan respon yang positif, misalnya memberikan perhatian penuh kepada anak setidaknya dengan memeluk anak saat bahagia maupun sedih. Orang tua juga harus bisa mengendalikan emosinya dan berusaha untuk memahami perasaan anak. Bersamaan dengan itu, ada beberapa tindakan yang harus dihindari orang tua, seperti: membujuk, berdebat, memberikan nasihat-nasihat moral agar anak diam dan juga memberlakukan anak dengan kasar. Pengenalan emosi sangat penting dalam perkembangan anak agar anak dapat memahami perasaannya dan juga dapat membantu anak dalam mengontrol diri. 

Referensi

Branjerdporn, G., Meredith, P., Strong, J., & Green, M. (2019). Sensory sensitivity and its relationship with adult attachment and parenting styles. PLoS ONE, 14(1), 1–17. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0209555

Coyne, S. M., Shawcroft, J., Gale, M., Gentile, D. A., Etherington, J. T., Holmgren, H., Stockdale, L. (2021). Tantrums, toddlers and technology: Temperament, media emotion regulation, and problematic media use in early childhood. Computers in Human Behavior, 120, 1-9. https://doi.org/10.1016/j.chb.2021.106762

Daniels, E., Mandleco, B., & Luthy, K. E. (2012). Assessment, management, and prevention of childhood temper tantrums. Journal of the American Academy of Nurse Practitioners, 24(10), 569–573. https://doi.org/10.1111/j.1745-7599.2012.00755.x

Gina, M., & Jessica, T. (2007). Tantrums and anxiety in early childhood: A pilot study. Early Childhood Research and Practice Journal, 9(2).

Izzaty, R. E. (2005). Mengenali Permasalahan Perkembangan Anak Usia TK. Departemen Pendidikan Nasional.

Salameh, A. K. B., Malak, M. Z., Al-Amer, R. M., Al Omari, O. S. H., El-Hneiti, M., Sharour, L. M. A. Assessment of temper tantrums behaviour among preschool children in Jordan. Journal of Pediatric Nursing, 59, 106-111. https://doi.org/10.1016/j.pedn.2021.02.008

Shin, M., & Kemps, E. (2020). Media multitasking as an avoidance coping strategy against emotionally negative stimuli. Anxiety, Stress & Coping, 33(4), 440–451. https://doi.org/10.1080/10615806.2020.1745194 

Umami, D. A., & Sari, L. Y. (2020). Confirmation of five factors that affect temper tantrums in preschool children: A literature review. Journal of Global Research in Public Health, 5(2), 151–157. https://doi.org/10.30994/jgrph.v5i2.283

Van den akker, A. L., Hoffenaar, P., & Overbeek, G. (2022). Temper tantrums in toddlers and preschoolers: longitudinal associations with adjustment problems. Journal of Developmental & Behavioral Pediatrics, Publish Ah (00), 1–9. https://doi.org/10.1097/dbp.0000000000001071

Wakschlag, L. S., Choi, S. W., Carter, A. S., Hullsiek, H., Burns, J., McCarthy, K., Leibenluft, E., & Briggs-Gowan, M. J. (2012). Defining the developmental parameters of temper loss in early childhood. Journal of Child Psychology and Psychiatry, 53(11), 1099–1108. doi: 10.1111/j.1469-7610.2012.02595.x.

Watson, S., Watson, T., & Gebhardt, S. (2010). Temper Tantrums: Guidelines for Parents and Teachers. National Association of School Psychologists.

Zuhroh, D. F., & Kamilah. (2020). The correlation between child and mother’s characteristics with incidence of temper tantrum in preschool aged children. IJPN, 1(2), 24–33. https://doi.org/http://dx.doi.org/10.30587/ijpn.v1i2.2310

Pentingnya Pemahaman Orang Tua terhadap Pola Asuh Anak

ArtikelArtikelArtikel Ilmiah Populer Tuesday, 20 June 2023

Sumber gambar: freepik.com

Penulis: Hilman Dwi Himawan

Penyunting: Reswara Dyah Prastuty

Hampir sebagian besar masyarakat Indonesia mengetahui bahwa salah satu tugas orang tua adalah mendidik anak. Beragam cara diterapkan orang tua dalam mendidik anak, seperti mendidik dengan memberikan aturan-aturan yang ketat, bahkan ada yang sama sekali tidak memberikan aturan, mengabaikan hak-hak anak seperti kasih sayang, pendidikan, dan sebagainya, serta memberikan aturan sekaligus kebebasan kepada anak. Bervariasinya pola asuh ini dimungkinkan bisa disebabkan oleh beberapa faktor, seperti faktor budaya di mana orang tua berada, kepribadian orang tua, dan sebagainya. 

Beragamnya pola asuh orang tua di Indonesia memicu sebuah pertanyaan mendasar mengenai seberapa jauh pemahaman orang tua mengenai pola asuh yang diterapkan. Nyatanya, tidak semua orang tua memahami mengenai pola asuh yang diterapkan terutama berkaitan dengan dampak bagi perkembangan anak ke depan. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pola asuh yang diterapkan orang tua terhadap anak akan mempengaruhi perkembangan anak. Salah satunya adalah penelitian yang dilakukan oleh Ashari et al. (2017) yang menyebutkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pola asuh orang tua dengan perkembangan kognitif anak. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Solihah et al. (2021) menunjukkan bahwa terdapat pengaruh pola asuh orang tua yang signifikan terhadap perkembangan sosioemosional anak di mana 44% perkembangan sosioemosional anak dipengaruhi oleh pola asuh orang tua dan sisanya dipengaruhi oleh faktor-faktor lainnya. Hasil temuan tersebut menunjukkan bahwa penting bagi orang tua untuk memahami pola asuh yang diberikan terhadap anak.

Pemahaman pertama yang perlu diperhatikan oleh orang tua mengenai pola asuh adalah jenis pola asuh yang diberikan. Di balik beragamnya pola asuh orang tua sebenarnya bisa disederhanakan menjadi 4 pola asuh. Menurut Diana Baumrind, terdapat 4 jenis pola asuh orang tua (Santrock, 2016), yaitu: 

  1. Pola asuh authoritarian berkaitan dengan membatasi, memaksa, memarahi, dan menghukum. 
  2. Authoritative berkaitan dengan pola asuh yang hangat, mendukung, memberi kebebasan namun tetap menekankan tanggung jawab.
  3. Neglectful berkaitan dengan pola asuh orang tua yang tidak terlibat dalam hidup anak serta tidak ada kontrol dan norma. 
  4. Indulgent berkaitan dengan pola asuh orang tua yang sangat terlibat dengan anak namun tidak menuntut dan menerapkan aturan dan anak dibiarkan melakukan apapun yang mereka mau. Melalui pemahaman pertama ini, orang tua diharapkan mampu mengidentifikasi pola asuh apa yang diterapkan pada anak. 

Pemahaman selanjutnya yang perlu diperhatikan oleh orang tua mengenai pola asuh adalah batasan dalam penerapan. Setelah mengidentifikasi jenis pola asuh yang diberikan kepada anak, orang tua perlu memahami seberapa jauh pola asuh tersebut diterapkan. Hal ini perlu dilakukan agar pola asuh yang diberikan tetap berdampak positif bagi perkembangan anak. Menurut Santrock (2016), pola asuh authoritative akan menjadikan anak tumbuh sebagai pribadi yang ceria, memiliki kontrol diri, mandiri, berorientasi pada pencapaian, bersahabat, kooperatif, mampu mengatasi stres dengan baik, dan memiliki harga diri yang baik. Selanjutnya, pola asuh authoritarian akan menjadikan anak tumbuh sebagai pribadi yang tidak bahagia, penuh dengan rasa takut, cemas, inisiasi yang rendah, keterampilan komunikasi yang lemah, dan bisa berperilaku agresif terutama laki-laki. Kemudian, pola asuh indulgent menjadikan anak tumbuh sebagai pribadi yang tidak sopan dengan orang lain, kontrol diri yang rendah, dominan, egosentris, dan tidak patuh. Terakhir, pola asuh neglectful menjadikan anak tumbuh sebagai pribadi yang memiliki kompetensi sosial rendah, kontrol diri yang rendah, harga diri yang rendah, tidak dewasa, dan tidak memiliki kemandirian yang baik. Jika mengacu pada temuan tersebut, maka bisa disimpulkan bahwa sebaiknya pola asuh authoritarian, indulgent, dan neglectful tidak diberikan secara intensif kepada anak. Sebaliknya, pola asuh authoritative perlu dipertimbangkan sebagai pola asuh utama yang diterapkan orang tua kepada anak.

Pemahaman terakhir yang perlu diperhatikan oleh orang tua mengenai pola asuh adalah sebisa mungkin menghindari pemberian hukuman pada anak. Berdasarkan penelitian, ternyata hukuman atau kekerasan fisik yang dilakukan orang tua banyak berhubungan dengan berbagai dampak negatif pada anak seperti rendahnya internalisasi moral, rendahnya kesehatan mental, tingginya agresivitas, depresi pada remaja, dan externalizing problems seperti kenakalan remaja (Cicchetti, 2017; Cicchetti & Toth, 2016). Selain itu, pemberian hukuman atau kekerasan fisik juga sebaiknya dihindari karena setidaknya terdapat lima dampak negatif lainnya (Santrock, 2016). Kelima dampak tersebut, yaitu: 

  1. Ketika orang dewasa menghukum anak dengan teriakan atau pukulan maka ia justru sedang memberikan model bagi anak untuk lepas kontrol dalam menghadapi situasi yang stressful sehingga anak akan meniru. 
  2. Hukuman akan menanamkan ketakutan, kemarahan atau penghindaran sehingga anak justru takut dekat dengan orang tua.
  3. Hukuman lebih menekankan pada apa yang tidak boleh dilakukan daripada apa yang seharusnya dilakukan. 
  4. Pemberian hukuman bisa menjadikan orang tua lepas kendali dan membahayakan anak. 
  5. Hukuman kadang-kadang mengarah pada terjadinya child maltreatment yang bisa berakibat pada rendahnya regulasi emosi, masalah kelekatan, bermasalah dalam relasi kelompok, sulit beradaptasi di sekolah, dan masalah psikologis lainnya serta bisa menyebabkan anak berperilaku agresif dan menyalahgunakan obat-obatan. 

Mengetahui betapa pentingnya pemahaman orang tua terhadap pola asuh anak, sudah seharusnya orang tua mulai menyadari tiga pemahaman mendasar mengenai pola asuh terhadap anak, yaitu jenis pola asuh yang diberikan, batasan dalam penerapan, dan sebisa mungkin menghindari pemberian hukuman pada anak. Adanya pemahaman mengenai pola asuh tersebut diharapkan dapat menjadikan orang tua semakin bijak dalam memberikan pengasuhan pada anak. Dengan demikian, perkembangan anak diharapkan akan menjadi lebih optimal, baik dari segi kognitif, emosi, sosial, maupun budaya. 

Daftar Pustaka 

Ashari, C. D., Utami, N. W., & Susmini. (2017). Hubungan Pola Asuh Orang Tua dengan Perkembangan Kognitif Anak Usia 3-4 Tahun di PAUD Kecamatan Magelang Selatan. Nursing news, 2(3), 565–579.

Cicchetti, D. (2017, in press). A Multilevel Developmental Approach to the Prevention of Psychopathology in Children and Adolescents. In J.N. Butcher & Others (Eds.), APA Handbook of Psychopathology. American Psychological Association.

Cicchetti, D., Toth, S. L. (2016). Child Maltreatment and Developmental Psychopathology: A Multi-level Perspective. In D. Cicchetti (Ed.), Developmental Psychopathology (3rd ed.). Wiley.

Santrock, J. W. (2016). A Topical Approach To Life-Span Development (9nd ed.). McGraw Hill Education.  

Solihah, S., Ali, M., & Yuniarni, D. (2021). Pengaruh Pola Asuh Orang Tua terhadap Perkembangan Sosial Emosional Anak di TK Mujahidin Pontianak. Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran Khatulistiwa, 10(9), 1–8. https://jurnal.untan.ac.id/index.php/jpdpb/article/view/49434

1234

Recent Posts

  • Mendidik Anak dengan Bahasa Cinta
  • Eco-Conscious Parenting: Menumbuhkan Praktik Berkelanjutan pada Perkembangan Anak
  • Memahami Pendidikan untuk Pembangunan Berkelanjutan di Kedai Kopi
  • Membangun Kembali Kegembiraan: Pentingnya Bermain Bagi Kesejahteraan Mental Bagi Masyarakat
  • Keterlibatan Ayah pada Pengasuhan Anak Usia Dini
Universitas Gadjah Mada

Center for Life-Span Development (CLSD)
D-602, Fakultas Psikologi, Universitas Gadjah Mada
Jalan Sosio Humaniora Bulaksumur, Yogyakarta, Indonesia 55281
clsd.psikologi@ugm.ac.id

© Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY

[EN] We use cookies to help our viewer get the best experience on our website. -- [ID] Kami menggunakan cookie untuk membantu pengunjung kami mendapatkan pengalaman terbaik di situs web kami.I Agree / Saya Setuju