Penulis: Muhammad Ikbal Wahyu Sukron
Penyunting: Diah Dinar Utami
Istilah “n-Po generation” mungkin masih asing terdengar di telinga. Tetapi, bagi kamu yang pernah menonton serial drama korea bertajuk “My Liberation Notes”, tentu familiar dengan permasalahan yang dihadapi oleh individu yang memasuki usia dewasa. Generasi n-Po (n-Posedae) atau numerous giving-up generation merupakan istilah untuk menggambarkan fenomena generasi muda Korea Selatan yang menyerah pada sejumlah poin penting dalam hidup, seperti kehidupan percintaan, pernikahan, menunda memiliki anak, mencari pekerjaan, dan tempat tinggal. Banyak faktor yang menyebabkan generasi muda memilih untuk menyerah, seperti tekanan ekonomi, kenaikan harga, dan kurangnya lapangan pekerjaan, .
Generasi n-Po merupakan perluasan istilah dari generasi sampo (sam= 3; po= giving-up) yang awalnya hanya menyerah pada 3 poin, seperti percintaan, pernikahan, menunda memiliki anak. Generasi n-Po umumnya terjadi pada rentang usia 20-an hingga 30-an akhir. Pada periode usia ini, individu memiliki tuntutan lebih besar secara sosial untuk mandiri secara individual, finansial, dan menjalin hubungan romantis dengan lawan jenis. Banyak perempuan Korea Selatan yang menyerah pada beberapa poin penting dalam hidup karena tuntutan sosial, mahalnya biaya pendidikan, perumahan, dan bahan pokok. Mereka yang menyerah akan hubungan asmara dan menunda untuk memiliki anak beralasan bahwa menghidupi diri sendiri saja sudah tidak mampu apalagi harus menghidupi keluarga. Alasan ini tentu sangat logis mengingat tidak seorang pun yang ingin orang yang dicintainya hidup dalam kondisi kekurangan; para orang tua juga ingin anak mereka memiliki penghidupan yang layak sehingga akan lebih baik kiranya tidak menjalin hubungan daripada menyengsarakan orang lain.
Kesulitan mencari pekerjaan dan kenaikan harga tempat tinggal membuat orang dewasa menyerah dan memilih untuk hidup apa adanya. Pilihan untuk hidup apa adanya tentu tidak ada yang mempermasalahkan, tetapi ketika keadaan ini menyebabkan orang dewasa tidak lagi berhasrat untuk menetapkan tujuan (goals) dalam hidup sehingga hidup tidak lagi bermakna maka ada yang salah dengan pilihan tersebut.
Jika melihat fenomena ini dari kacamata ilmu psikologi perkembangan, setiap rentang kehidupan memiliki tugas perkembangannya masing-masing. Tuntutan individu yang sudah memasuki usia dewasa akan berbeda dari mereka yang masih berada pada rentang usia remaja. Havighurst menjelaskan beberapa tugas perkembangan orang dewasa, seperti mencapai otonomi, mengembangkan stabilitas emosi, membangun karir, membangun keintiman, menjadi bagian dari komunitas, dan menjadi orangtua serta mengasuh anak.
Nah, jika mengacu pada tugas perkembangan yang dikemukakan oleh Havighurst tersebut, generasi n-Po tidak menyelesaikan hampir keseluruhan tugas perkembangan masa dewasa. Padahal, ketidakmampuan untuk menyelesaikan tugas perkembangan pada masa dewasa akan berpengaruh pada pemenuhan tugas perkembangan pada fase berikutnya.
Berkaca pada fenomena generasi n-Po di Korea Selatan, ada kemungkinan individu dewasa di Indonesia juga mengalami hal serupa. Salah satunya terkait kepemilikan tempat tinggal. Tingginya permintaan dan rendahnya daya beli membuat para milenial di Indonesia akan kesulitan untuk memiliki rumah pribadi. Selanjutnya, tak jarang terdengar frasa “menikah nunggu mapan, mau dikasih makan apa anak orang” atau frasa-frasa sejenis yang secara tak langsung membatasi perkembangan diri. Apa yang disampaikan dalam frasa tersebut memang betul, namun ketika frasa tersebut menjadi falsafah hidup dan kemudian menjadi ketidaksadaran kolektif maka akan banyak orang dewasa yang memilih “menyerah” dengan realitas kehidupan atau bahkan remaja enggan memilih untuk menjadi dewasa. Terakhir, tingginya biaya untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari dan kesulitan mencari pekerjaan akan meningkatkan probabilitas munculnya generasi n-Po di Indonesia.
Sangat dimungkinkan nantinya Indonesia memunculkan istilah baru, entah itu generasi santuy, generasi pasrah, atau apapun itu yang juga merujuk pada term generasi n-Po. Hal ini tentu sama-sama tidak kita harapkan sehingga perlu adanya perhatian terhadap beberapa faktor yang menjadi faktor risiko kemunculan generasi n-Po, diantaranya:
- Struktur dan status ekonomi sosial
Situasi finansial dapat menjadi faktor risiko dalam kemunculan generasi n-Po. Orang dewasa yang sudah mandiri secara finansial memiliki kesempatan yang lebih besar untuk mengembangkan dirinya, mereka lebih percaya diri untuk mengambil tanggung jawab, mampu membuat keputusan sendiri, dan merencanakan kehidupan yang lebih sejahtera di masa depan. Sedangkan mereka yang belum mandiri secara finansial cenderung menjadi individu yang dependen, pasif dalam beradaptasi, dan takut akan masa depan yang dipandang penuh dengan risiko dan ketidakpastian.
- Tingkat pendidikan
Tingkat pendidikan individu juga berperan dalam meningkatkan probabilitas munculnya generasi n-Po di Indonesia. Data BPS hingga 2021 menunjukkan bahwa rendahnya tingkat pendidikan yang ditamatkan oleh individu linear dengan tingginya persentase pengangguran terbuka. Selain itu, Komisi IX DPR RI menyebutkan bahwa rendahnya tingkat pendidikan individu menjadi tantangan dalam penyerapan tenaga kerja di Indonesia. Di sisi lain, banyak perusahaan atau penyedia tenaga kerja yang mensyaratkan tingkat pendidikan sebagai salah satu kualifikasi dalam proses penerimaan karyawan.
- Skill individu
Tidak cukup dengan tingkat pendidikan, generasi n-Po juga dikarenakan permintaan untuk pekerjaan dengan skill individu level rendah (low-level skills) semakin menurun karena digantikan oleh mereka yang memiliki kualifikasi yang lebih tinggi atas pekerjaan tersebut. Hal ini tentu sangat logis, ketika banyak sarjana lulusan universitas maka pencarian pekerjaan akan semakin kompetitif. Sementara itu, perusahaan tentu akan menyeleksi kandidat terbaik diantara para pelamar untuk bekerja di perusahaan mereka. Oleh karena itu, tidak cukup bagi orang dewasa hanya memiliki gelar pendidikan tetapi juga harus dibarengi dengan kemampuan (skill) yang dibutuhkan pasar (job market).
- Budaya pengasuhan
Sama hal nya dengan struktur dan status ekonomi sosial, budaya pengasuhan di Indonesia dapat menjadi faktor risiko kemunculan n-Po di Indonesia. Meskipun konstruk sosial menuntut orang dewasa untuk mandiri secara finansial, pekerjaan, dan kepemilikan tempat tinggal; para orangtua di Indonesia masih menganggap dirinya bertanggung jawab atas kesejahteraan anak dan proses pengasuhan dilakukan sepanjang hayat. Anak masih diterima untuk tinggal bersama orang tua meskipun sudah memasuki usia dewasa. Budaya pengasuhan seperti ini akan membuat orang dewasa cenderung bergantung pada orangtua dan pasrah dengan keadaan.
Berdasarkan pemaparan di atas, generasi n-Po bisa dikatakan sebagai kelompok orang dewasa yang mengalami hambatan dalam penyelesaian tugas perkembangan masa dewasa dan tentu akan berpengaruh pada pemenuhan tugas perkembangan pada fase berikutnya. Oleh karena itu, perlu atensi khusus terhadap faktor risiko munculnya generasi n-Po di Indonesia, seperti tingkat pendidikan, keterampilan (skill) individu, budaya pengasuhan, struktur dan status ekonomi sosial masyarakat Indonesia.
Referensi
Humanities for alternative community: Sharing, connectivity and sustainable utopia. Dari laman http://ccs.khu.ac.kr/m/eng/project/content1
Chong, K. (2016, April 27). South Korea’s troubled millennial generation. Dari laman https://cmr.berkeley.edu/blog/2016/4/south-korea/
Kim, S. (2021, Mei 26). South Korea crosses a population rubicon in warning to the world. Dari laman https://www.bloomberg.com/news/features/2021-05-25/south-korea-is-growing-old-fast-leaving-a-younger-generation-home-alone-and-chi
Arifahsasti, F., Iskandar, K. (2022). The effect of confucianism on future birth rates in South Korea and Japan. Budapest International Research and Critics Institute-Journal (BIRCI-Journal). 05(2), 8307-8318.
Hutteman, R., Hennecke, M., Orth, U., Reitz, A. K., & Specht, J. (2014). Developmental Tasks as a Framework to Study Personality Development in Adulthood and Old Age. European Journal of Personality, 28(3), 267–278.
Santrock, J.W. (2012). Life-span development, ed. 13. Jakarta: Penerbit Erlangga
Hastanto, I. (2022, Juli 08). Menkeu Sri Mulyani prediksi anak muda makin susah beli rumah, terpaksa ikut mertua. Dari laman https://www.vice.com/id/article/akegep/menkeu-sri-mulyani-di-forum-g20-prediksi-anak-muda-indonesia-bakal-makin-susah-beli-rumah
Ranta, M., Punamaki, R. L., Tolvanen, A., & Salmela-Aro, K. (2012). The role of financial resources and agency in success and satisfaction regarding developmental tasks in early adulthood. Economic Stress and the Family. 187-233.
___. (2022). Tingkat pengangguran terbuka berdasarkan tingkat pendidikan 2019-2021. Dari laman https://www.bps.go.id/indicator/6/1179/1/tingkat-pengangguran-terbuka-berdasarkan-tingkat-pendidikan.html
Sulaeman (2020, Juli 08). Tingkat pendidikan pekerja jadi tantangan penyerapan tenaga kerja. Dari laman https://www.merdeka.com/uang/tingkat-pendidikan-pekerja-jadi-tantangan-penyerapan-tenaga-kerja.html
Jun, S. (2017, May 31). Korea’s ‘N-Po’ generation looks to new administration for jobs. Dari laman https://asiafoundation.org/2017/05/31/koreas-n-po-generation-looks-new-administration-jobs/