• Home
  • About Us
    • Managing Team
    • Researchers
    • Interns
    • Associates
  • Articles
  • Courses
  • Activities
    • CLSD Reader’s Club
    • Summer Course
    • Photovoice
    • SAELA
    • Community Service
  • Research & Publication
Universitas Gadjah Mada Center for Life-Span Development (CLSD)
Faculty of Psychology
Universitas Gadjah Mada
  • Home
  • About Us
    • Managing Team
    • Researchers
    • Interns
    • Associates
  • Articles
  • Courses
  • Activities
    • CLSD Reader’s Club
    • Summer Course
    • Photovoice
    • SAELA
    • Community Service
  • Research & Publication
  • Beranda
  • Artikel Ilmiah Populer
Arsip:

Artikel Ilmiah Populer

Mendidik Anak dengan Bahasa Cinta

ArtikelArtikelArtikel Ilmiah Populer Wednesday, 21 May 2025

Oleh: Fitria | Penyunting: Muhammad Ikbal Wahyu Sukron, S.Psi., M.A.

“By speaking your childs’s own love language, you can fill his “emotional tank” with love. When your child feels loved, he is much easier to discipline and train than when his “emotional tank” is running near empty.”

Kutipan di atas merupakan potongan tulisan dari Gary Chapman dan Ross Campbell dalam bukunya yang berjudul The 5 Love Languages of Children. Kutipan tersebut menjelaskan bahwa setiap anak memiliki caranya sendiri untuk merasakan cinta melalui bahasa cinta yang mereka miliki. Ketika orang tua berkomunikasi dengan menggunakan bahasa cinta yang anak miliki, anak akan merasa dihargai dan dicintai. Perasaan dicintai ini dapat dianalogikan sebagai “tangki emosional”. Ketika tangki emosional ini terisi penuh, maka akan lebih mudah untuk mendisiplinkan anak. Sebaliknya, jika anak merasa kurang dicintai, “tangki emosional”-nya akan kosong dan cenderung lebih sulit untuk menerapkan kedisiplinan pada mereka.

Konsep bahasa cinta pertama kali diperkenalkan oleh Gary Chapman pada tahun 1992. Chapman mendefinisikan bahasa cinta sebagai bentuk dari ekspresi perilaku yang sifatnya spesifik. Chapman dan Campbell (2015) kemudian membagi bahasa cinta menjadi lima bentuk, yaitu: kata-kata penegasan (words of affirmation), waktu berkualitas (quality time), pemberian hadiah (receiving gifts), tindakan melayani (acts of service), dan sentuhan fisik (physical touch). Bahasa cinta ini kemudian menjadi sebuah konsep yang menarik di masyarakat, karena bahasa cinta mengisyaratkan bahwa hubungan yang langgeng akan terwujud ketika seseorang mengungkapkan cinta sesuai dengan bahasa cinta mereka (Impett dkk., 2024).

 Frasa bahasa cinta seringkali dianggap sebagai istilah populer dalam psikologi. Namun, sebuah artikel ilmiah yang ditulis oleh Bülow (2023) menjelaskan bahwa bahasa cinta merupakan konsep yang telah divalidasi secara ilmiah dan dapat membantu individu dalam memahami diri mereka dengan lebih baik lagi. Kondisi ilmiah ini dapat dilihat dari keterkaitan bahasa cinta dengan neurobiologi, yang memperlihatkan bahwa kondisi otak dan tubuh manusia berbeda satu sama lain tergantung bahasa cinta yang paling sesuai dengan diri mereka (Bülow, 2023). Selain itu, bahasa cinta juga memiliki impilikasi terhadap kondisi kesehatan mental, misalnya terkait relasi antara orang tua dengan anak.

Sebuah studi yang dilakukan oleh Maximo dkk. (2016) menunjukkan bahwa orang tua yang membesarkan anak-anaknya dengan penuh kasih sayang, maka akan membuat anak tumbuh menjadi individu yang tangguh (resilience) di kemudian hari. Orang tua berperan penting dalam membantu anak membangun ketangguhan diri mereka. Dalam konteks ini, tiga bahasa cinta yang berperan adalah waktu yang berkualitas, kata-kata penegasan, dan tindakan melayani. Ketiga bahasa cinta ini akan memberikan dukungan emosional, motivasi, dan bantuan praktis yang diberikan oleh orang tua kepada anak-anaknya (Maximo dkk., 2016). 

Orang tua berperan penting dalam menerapkan bahasa cinta di rumah, sementara di sekolah, guru yang menggantikan peran tersebut selama proses belajar. Hal ini tentu menjadi tantangan tersendiri bagi guru maupun sekolah sebagai bagian dari sistem pendidikan yang berkualitas bagi anak. Sementara itu, Indonesia sendiri masih menghadapi tantangan yang cukup besar dalam menyediakan pendidikan bagi tenaga pendidik yang mampu memberikan pengajaran berkualitas kepada setiap siswa (OECD, 2015). Kualitas dalam hal ini tidak hanya dilihat dalam hal akademik, tetapi juga bagaimana anak-anak dapat memperoleh pendidikan yang berkualitas dalam membangun karakter mereka. 

Bahasa cinta memiliki keterkaitan yang erat dalam menumbuhkan empati pada anak melalui interaksi yang hangat di sekolah. Ketika guru berusaha memperkenalkan bahasa cinta dan berupaya untuk memberikan kasih sayang kepada anak sesuai dengan bahasa cintanya, sebenarnya guru sedang mengajarkan empati pada anak. Empati dalam hal ini dapat dilihat dari upaya guru dalam memahami dan turut merasakan kebutuhan emosional siswanya. Empati tidak hanya membentuk karakter anak, tetapi berperan dalam membangun kecerdasan moral anak (Borba, 2002).

Pendidikan karakter anak menjadi bagian penting dalam proses membangun pendidikan yang berkualitas. Kondisi ini tidak hanya menjadi jalan untuk mengembangkan moral dan etika pada diri anak, tetapi juga mempersiapkan mereka agar mampu menjalani kehidupan sosial di masa kini maupun masa depan. Hal ini sejalan dengan Sustain Development Goal (SDG) 4 di mana Indonesia diharapkan dapat menciptakan pendidikan yang berkualitas. Lebih lanjut, tujuan ini diharapkan dapat terealisasi dalam point target 4.2) akses yang sama terhadap pendidikan anak usia dini yang berkualitas; dan target 4.C) meningkatkan pasokan guru yang berkualitas di negara-negara berkembang.  Untuk mencapai tujuan ini, guru perlu menerapkan pendekatan yang mendukung, misalnya melalui pengenalan bahasa cinta dalam pendidikan karakter. Memperkenalkan bahasa cinta pada anak dapat menjadi salah satu upaya yang dilakukan oleh guru dalam mendidik karakter pada anak sehingga mereka dapat tumbuh dengan penuh kasih sayang dan berdampak pada kualitas pendidikan yang lebih baik. Kondisi ini akan menciptakan iklim pembelajaran yang lebih hangat karena guru dianggap sebagai sosok yang menyayangi sehingga “tangki emosional” anak pun terpenuhi dengan cinta. Sebuah studi yang dilakukan oleh Parker dan Sudibyo (2024) menunjukkan bahwa ketidakhadiran guru yang baik hati, murah hati, serta membantu siswanya dapat menjadi salah satu penyebab mengapa generasi muda meninggalkan bangku sekolah lebih awal. Oleh karena itu, penerapan bahasa cinta dalam proses belajar penting untuk dilakukan, karena anak akan merasa dihargai keberadaannya dan membantu dalam menciptakan lingkungan belajar yang positif.

Referensi

Borba, M. (2002). Building moral intelligence: The seven essential virtues that teach kids to do the right thing. Jossey-Bass.

Bülow, P. (2023) Love languages: The science and your mental health. Journal of Science, Humanities, and Arts. 10(3).

Chapman, G., & Campbell, R. (2015). The 5 love languages of children. Northfield.

Impett, E. A., Park, H. G., & Muise, A. (2024). Popular psychology through a scientific lens: evaluating love languages from a relationship science perspective. Current Directions in Psychological Science, 33(2), 87-92. DOI: https://doi.org/10.1177/09637214231217663.

Maximo, S. I., & Carranza, J. S. (2016). Parental attachment and love language as determinants of resilience among graduating university students. Sage Open, 6(1). DOI: https://doi.org/10.1177/2158244015622800.

Parker, L., & Sudibyo, L. (2022). Why young people leave school early in Papua, Indonesia, and education policy options to address this problem. Compare: A Journal of Comparative and International Education, 54(1), 146–162. https://doi.org/10.1080/03057925.2022.2084037.

OECD/Asian Development Bank. (2015). Education in Indonesia: Rising to the challenge. OECD Publishing. DOI: http://dx.doi.org/10.1787/9789264230750-en.

Eco-Conscious Parenting: Menumbuhkan Praktik Berkelanjutan pada Perkembangan Anak

ArtikelArtikelArtikel Ilmiah Populer Thursday, 8 May 2025

Oleh: Arifatul Alawiyah | Penyunting: Fakhirah Inayaturrobbani S.Psi, M.A

Saat ini, komitmen kuat dalam menjaga keberlanjutan lingkungan mulai menjadi sebuah trend dalam tatanan masyarakat yang tercermin pada berbagai aspek kehidupan. Tidak terbatas pada kebijakan pemerintah maupun aksi global, peningkatan kepedulian terhadap isu lingkungan terjadi di berbagai lapisan masyarakat, termasuk dalam komunitas keluarga. Tekanan dari budaya konsumsi global serta kesadaran akan risiko lingkungan mendorong terjadinya perubahan dalam praktik pangasuhan secara luas (Shrum dkk., 2023). Sebagai bagian dari upaya membentuk generasi yang lebih peduli terhadap keberlanjutan, banyak keluarga mulai beralih untuk menerapkan konsep baru terkait pola asuh yang disebut eco-conscious parenting.

Eco-conscious parenting muncul sebagai suatu konsep penting yang menawarkan pendekatan pengasuhan modern yang memperhatikan keseimbangan antara aspek perkembangan anak yang sehat dan kelestarian lingkungan. Sebuah penelitian membuktikan efektifitas praktik keluarga yang menerapkan gaya hidup ramah lingkungan secara signifikan berkontribusi terhadap pola konsumsi energi yang lebih bijaksana (Wang dkk., 2022). Pada pola asuh ini, orangtua tidak hanya menjalankan gaya hidup berkelanjutan, tetapi juga melibatkan anak dalam praktik-praktik kegiatan berkelanjutan seperti mengurangi penggunaan plastik, mempromosikan daur ulang, menggunakan produk organik, dan memperkenalkan kegiatan berbasis alam sejak usia dini (Hosany dkk., 2022). Penelitian juga menunjukkan bahwa eco-conscious parenting mampu mendorong anak-anak untuk lebih memahami hubungannya dengan alam dan menyadarkan pentingnya menjaga sumber daya alam demi masa depan yang lebih aman dan sehat (Auriffeille & Fleming, 2022; Shrum dkk., 2023). 

Lebih dari sekedar gaya hidup, pendekatan eco-conscious parenting ternyata mampu membentuk nilai-nilai dasar keluarga seperti tanggung jawab, empati, dan kesadaran sosial. Proses modeling dan melibatkan anak dalam kegiatan peduli lingkungan memungkinkan anak untuk menginternalisasi nilai, mengasah sensitivitas terhadap isu, dan membiasakan anak untuk mempertimbangkan aspek lingkungan dalam setiap pengambilan keputusan di masa depan (Barreto dkk., 2014). Sebuah penelitian menunjukkan bahwa anak yang terlibat dalam kegiatan peduli lingkungan cenderung akan memiliki pemahaman yang lebih baik terhadap dampak lingkungan dan merasa lebih bertanggung jawab terhadap keberlanjutan (UNICEF, 2024). Selain itu, aspek keterhubungan antara manusia-alam dalam konsep ini mampu meningkatkan rasa empati anak, baik terhadap sesama manusia maupun makhluk hidup lainnya, sehingga memperluas kemampuan anak untuk lebih peduli dan mampu bekerja sama (Hosany dkk., 2022). Kesadaran sosial juga mampu tercipta ketika anak mulai memahami implikasi global dari perilaku lokal terhadap ekosistem dunia. Tidak hanya membuat anak lebih berwawasan luas, pendekatan ini juga mampu memperkuat karakter anak yang lebih peduli pada kebutuhan masyarakat dan lingkungan (UNICEF, 2024).

Disisi lain, perkembangan penelitian juga telah menunjukkan kontribusi konsep eco-conscious parenting dalam mendukung kesejahteraan psikologis orangtua maupun anak. Perasaan berkontribusi positif terhadap kondisi lingkungan global dari praktik berkelanjutan mengakibatkan adanya perasaan terpenuhi dan cenderung kurang cemas orangtua (Kaligis dkk., 2024). Selain itu, penelitian menunjukkan bahwa anak yang terlibat dalam kegiatan berbasis alam, seperti berkebun atau eksplorasi alam bebas, memiliki tingkat stres yang lebih rendah, peningkatan kebahagiaan,  dan perkembangan kognitif yang lebih baik (Arola dkk., 2023). Merujuk pada teori restorative environment oleh Kaplan (dalam Liu dkk., 2024), interaksi dengan alam memberikan efek pemulihan psikologis yang kuat melalui sensasi pengalaman menenangkan dan pemulihan perhatian yang lelah akibat stress. Melalui eco-conscious parenting, interaksi positif orangtua-anak memperbesar terciptanya pengalaman bermakna yang positif sehingga berupa aktivitas menjaga lingkungan akan mampu menciptakan ikatan emosional yang aman (secure attachment). Adanya interaksi positif yang bermakna tersebut kemudian dapat membantu orangtua-anak mengembangkan kemampuan regulasi emosi yang lebih baik, memperkuat daya tahan mental mereka terhadap stres, serta menghasilkan kesehatan mental yang lebih baik secara keseluruhan (Spence dkk., 2022). 

Meskipun masih menghadapi banyak tantangan, namun potensi pengembangan eco-conscious parenting bukanlah sesuatu yang mustahil di Indonesia. Didukung oleh modal sosial budaya yang ada seperti realitas krisis lingkungan yang mulai terasa dampaknya, adanya nilai-nilai tradisional yang menghargai alam, program edukasi pemerintah, serta kemudahan akses literasi digital mampu berfungsi sebagai landasan yang kuat bagi orang tua untuk menanamkan nilai-nilai keberlanjutan pada anaknya. Untuk memaksimalkan potensi tersebut, diperlukan program edukasi dan motivasi berkelanjutan agar perilaku ramah lingkungan dapat muncul secara konsisten. Penelitian menunjukkan bahwa intervensi seperti kampanye publik dan integrasi edukasi lingkungan di sekolah secara efektif mendorong perilaku pro lingkungan dalam keluarga (Sihvonen dkk., 2024; Stapleton dkk., 2022). Dengan dorongan tepat, Indonesia berpotensi menciptakan generasi baru yang peduli terhadap kelestarian lingkungan dan mewariskan nilai keberlanjutan bagi masa depan.

Berdasarkan penjelasan di atas menunjukkan bahwa melalui aspek pengasuhan, adopsi konsep eco-conscious parenting mampu menjadi investasi yang keberlanjutan dan menjanjikan untuk masa depan. Dalam menghadapi tantangan global terkait krisis iklim yang terjadi, eco-conscious parenting terbukti mampu membekali anak dengan keterampilan dan nilai-nilai yang diperlukan dalam menghadapi tantangan global. Tidak hanya mampu memberikan kontribusi dalam membangun generasi masa depan yang lebih sadar dan bertanggung jawab terhadap isu keberlanjutan lingkungan, penerapan eco-conscious parenting mampu memperkuat fondasi kesejahteraan anak disamping orangtua yang mengimplementasikan konsep tersebut secara praktis di masa kini. Oleh karena itu, promosi eco-conscious parenting kepada publik direkomendasikan dengan target capaian agar mampu menciptakan budaya tatanan keluarga yang responsif dalam menjawab masalah global terkait kesejahteraan keluarga dan keberlanjutan lingkungan.

Referensi

Arola, T., Aulake, M., Ott, A., Lindholm, M., Kouvonen, P., Virtanen, P., & Paloniemi, R. (2023). The impacts of nature connectedness on children’s well-being: Systematic literature review. Journal of Environmental Psychology, 85, 101913. https://doi.org/10.1016/j.jenvp.2022.101913

Auriffeille, D. M., & Fleming, C. (2022). Parenting for Environmental Change. Contexts, 21(1), 26–31. https://doi.org/10.1177/15365042221083007

Barreto, M. L., Szóstek, A., Karapanos, E., Nunes, N. J., Pereira, L., & Quintal, F. (2014). Understanding families’ motivations for sustainable behaviors. Computers in Human Behavior, 40, 6–15. https://doi.org/10.1016/j.chb.2014.07.042

Hosany, A. R. S., Hosany, S., & He, H. (2022). Children sustainable behaviour: A review and research agenda. Journal of Business Research, 147, 236–257. https://doi.org/10.1016/j.jbusres.2022.04.008

Kaligis, F., Wangge, G., Fernando, G., Palguna, I. B. N. A., Pramatirta, B., & Purba, N. V. T. (2024). Breaking the silence: Unveiling the intersection of climate change and youth mental health in Indonesia. Medical Journal of Indonesia, 32(4), 249–253. https://doi.org/10.13181/mji.bc.247147

Liu, Y., Zhang, J., Liu, C., & Yang, Y. (2024). A Review of Attention Restoration Theory: Implications for Designing Restorative Environments. Sustainability, 16(9), Article 9. https://doi.org/10.3390/su16093639

Shrum, T. R., Platt, N. S., Markowitz, E., & Syropoulos, S. (2023). A scoping review of the green parenthood effect on environmental and climate engagement. WIREs Climate Change, 14(2), e818. https://doi.org/10.1002/wcc.818

Sihvonen, P., Lappalainen, R., Herranen, J., & Aksela, M. (2024). Promoting Sustainability Together with Parents in Early Childhood Education. Education Sciences, 14(5), 541. https://doi.org/10.3390/educsci14050541

Spence, R., Kagan, L., Nunn, S., Bailey‐Rodriguez, D., Fisher, H. L., Hosang, G. M., & Bifulco, A. (2022). The moderation effect of secure attachment on the relationship between positive events and wellbeing. Psych Journal, 11(4), 541–549. https://doi.org/10.1002/pchj.546

Stapleton, A., McHugh, L., & Karekla, M. (2022). How to Effectively Promote Eco-Friendly Behaviors: Insights from Contextual Behavioral Science. Sustainability, 14(21), 13887. https://doi.org/10.3390/su142113887

Wang, J., Long, R., Chen, H., & Li, Q. (2022). How do parents and children promote each other? The impact of intergenerational learning on willingness to save energy. Energy Research & Social Science, 87, 102465. https://doi.org/10.1016/j.erss.2021.102465

UNICEF. (2024). Engaging Youth on Climate Change & Environmental Sustainability. India: UNICEF. https://clearinghouse.unicef.org/download-ch-media/43e8c5b0-9a48-4990-95b8-b147d8a066d4

Child See, Child Do: Mendampingi Anak Melakukan Observasi

ArtikelArtikelArtikel Ilmiah PopulerBlog Friday, 3 June 2022

Penulis: Resti Fahmi Dahlia, Reviewer: Diah Dinar Utami

Apakah kita sebagai orang dewasa sering takjub atau kagum ketika melihat tingkah anak kecil dapat menirukan perilaku yang mungkin kita lupa pernah melakukannya di depan anak atau anak melakukan perilaku yang mereka lihat melalui video di gadget-nya. Reproduksi perilaku yang dilakukan oleh anak setelah anak mengamati dalam istilah psikologi disebut Deferred Imitation. Penelitian yang telah dilakukan ahli dengan cara mengukur reproduksi dari perilaku yang sudah teramati setelah beberapa waktu berlalu yang dimungkinkan sudah tersimpan dapat diingat kembali berkaitan dengan fungsi memori yang ada pada anak (Heiman, dkk, 2017). Andrew N Meltzoff seorang psikolog dari Amerika pada tahun 1988 dalam penelitiannya menyampaikan bahwa proses meniru atau imitasi perilaku yang dilihat oleh anak dianggap penting dalam perkembangan kognitif anak-anak. Piaget sebagai ahli psikologi perkembangan, Piaget (1999) mengatakan proses reproduksi perilaku yang sudah teramati merupakan salah satu titik penting dari periode sensorimotor sehingga kemampuan ini penting untuk perkembangan anak pada tahap selanjutnya. Jauh sebelum Meltzoff dan Piaget, Albert Bandura telah melakukan penelitian mengenai proses meniru pada anak, sekitar tahun 1963 beliau melakukan eksperimen terhadap anak mengenai perilaku agresi yang dilihat anak menggunakan media dan tanpa media (langsung). Studi sebelumnya yang dilakukan Bandura & Huston (1961) dirancang untuk menjelaskan fenomena identifikasi dalam hal pembelajaran insidental, menunjukkan bahwa anak-anak siap meniru perilaku yang ditunjukkan oleh model orang dewasa di hadapan model.

 

Nah, ternyata ada penelitian dilakukan mengenai deferred imitation yang menunjukkan hasil bahwa proses meniru yang ada pada anak, diantaranya dilakukan Piaget (1999) mengatakan bahwa anak dibawah usia 18 bulan belum memiliki kemampuan untuk menyimpan informasi. Penelitian lain menemukan bahwa anak usia 14 bulan sudah memiliki kemampuan untuk menyimpan informasi dan melakukan produksi perilaku dari informasi yang sudah diterima sebelumnya. Perbedaan setiap anak dalam melakukan imitasi dari perilaku yang telah diamati sebelumnya merefleksikan perbedaan perkembangan memori individu (Jones and Herbert, 2006). Selanjutnya Dunst, dkk (2011) melakukan penelitian dengan mengaitkan mengenai perilaku komunikasi sosial, dengan menggunakan permainan sederhana dan dilakukan secara berulang dapat mendorong peniruan dasar pada bayi dan dapat mengembangkan perilaku komunikasi sosial dalam perkembangan bayi yang khas. Penelitian lain mengenai proses meniru dengan kaitannya komunikasi sosial anak yang dilakukan oleh Hanika & Boyer (2019) menunjukkan peniruan yang dilakukan anak yang berusia 15-18 bulan memiliki hubungan unik dengan komunikasi sosial yang khusus untuk pemahaman bahasa., dimana komunikasi sosial di kemudian hari dapat memprediksi keterampilan bahasa pada anak.  

 

Melihat bahwa anak usia dini sudah memiliki kemampuan mengingat dan meniru setiap perilaku yang teramati baik melalui saudara maupun orangtua untuk mempelajari hal baru (Howe, dkk 2018). Maka sebagai orang dewasa perlu menyediakan lingkungan yang mendukung tumbuh kembang anak yang sesuai dengan nilai dan norma dalam keluarga dan lingkungan. Salah satu yang dapat dilakukan orang tua dalam mengamati tumbuh kembang anak diantaranya mendampingi dan ikut serta ketika anak bermain di rumah. Saat anak bermain atau menggunakan gadget untuk bermain maka sebagai orang dewasa kita dapat mendampingi dengan berpartisipasi bersama anak dan membangun komunikasi dengan anak. Hal ini dilakukan agar apa yang dilihat anak, dapat diketahui oleh orang dewasa di sekitarnya dan dapat diberikan pemahaman mengenai apa yang anak lihat sehingga anak bisa menirukan hal baik dari yang diamati anak dan orang tua dapat berlaku bijak ketika anak menirukan perilaku yang negatif.

 

Referensi:

Bandura, A. & Huston, A.C (1961) Identification as a process of incidental learning. Journal of Abnormal and Social Psychology

Bandura, A., Ross, D., & Ross, S.A. (1963) Transmission of Aggression through imitation of aggressive models. Journal of Abnormal and Social Psychology

Dunst, C., Raab, M. & Trivette, C. (2011)  Characteristics of naturalistic language intervention strategies. Journal of Speech-Language Pathology and Applied Behavior Analysis.

Howe,N., Rosciszewska, J., Persram, R.J. (2018) “I’m an ogre so I’m very hungry!” “I’m assistant ogre”: the social function of sibling imitation in early childhood. Infant Child Development.

Jones, E.J.H., & Herbert, J.S (2006) Exploring memory in infancy: deferred imitation and the development of declarative memory. Infant Child Development, 15,195-205

Meltzoff, A.N (1985) Immediate and deferred imitation in fourteen and twenty-four-month-old infants. Child Development. 56:62-72

Meltzoff, A.N (1988) Infant Imitation After a 1-week delay: long term memory for novel acts and multiple stimuli. Developmental Psychology. 24(4): 470-476

Heimann, M. & Meltzoff. (1996). Deferred imitation in 9 and 14 month-old infants: a longitudinal study of a Swedish sample. British Journal of Developmental Psychology, 14(1), 55-64.

Heimann, M., Edorsson, A., Sundqvist, A., & Koch, F. (2017). Thirteen- to sixteen-months old infants are able to imitate a novel act from memory in both unfamiliar and familiar settings but do not show evidence of rational inferential processes. Frontiers In Psychology, 8. doi: 10.3389/fpsyg.2017.02186

Piaget, J. (1999). Play, dreams, and imitation in childhood. London: Routledge (originally published in 1951).

Recent Posts

  • Mendidik Anak dengan Bahasa Cinta
  • Eco-Conscious Parenting: Menumbuhkan Praktik Berkelanjutan pada Perkembangan Anak
  • Memahami Pendidikan untuk Pembangunan Berkelanjutan di Kedai Kopi
  • Membangun Kembali Kegembiraan: Pentingnya Bermain Bagi Kesejahteraan Mental Bagi Masyarakat
  • Keterlibatan Ayah pada Pengasuhan Anak Usia Dini
Universitas Gadjah Mada

Center for Life-Span Development (CLSD)
D-602, Fakultas Psikologi, Universitas Gadjah Mada
Jalan Sosio Humaniora Bulaksumur, Yogyakarta, Indonesia 55281
clsd.psikologi@ugm.ac.id

© Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY

[EN] We use cookies to help our viewer get the best experience on our website. -- [ID] Kami menggunakan cookie untuk membantu pengunjung kami mendapatkan pengalaman terbaik di situs web kami.I Agree / Saya Setuju