• Home
  • About Us
    • Managing Team
    • Researchers
    • Interns
    • Associates
  • Articles
  • Courses
  • Activities
    • CLSD Reader’s Club
    • Research of Baby Screening
    • COMPRE Class
    • Summer Course
    • Photovoice
    • SAELA
    • Community Service
  • Research & Publication
Universitas Gadjah Mada Center for Life-Span Development (CLSD)
Faculty of Psychology
Universitas Gadjah Mada
  • Home
  • About Us
    • Managing Team
    • Researchers
    • Interns
    • Associates
  • Articles
  • Courses
  • Activities
    • CLSD Reader’s Club
    • Research of Baby Screening
    • COMPRE Class
    • Summer Course
    • Photovoice
    • SAELA
    • Community Service
  • Research & Publication
  • Beranda
  • 2024
  • page. 2
Arsip:

2024

Memahami Remaja Melalui Perkembangan Otak

ArtikelBlog Saturday, 18 May 2024

Penulis: Alfi Syukrina Hadi

Penyunting: Raden Roro Anisa Anggi Dinda

Masa remaja dikenal sebagai periode perkembangan yang ditandai dengan keputusan dan tindakan yang belum cukup dewasa sehingga menimbulkan peningkatan insiden cedera dan kekerasan yang tidak disengaja, penyalahgunaan alkohol dan obat-obatan, kehamilan yang tidak diinginkan, bahkan penyakit menular seksual (Casey et al., 2008). Hal ini memperlihatkan bahwa pada masa remaja, perilaku-perilaku menyimpang yang timbul dapat berdampak besar baik untuk dirinya sendiri maupun lingkungannya. Urgensi yang timbul akibat permasalahan-permasalahan ini tidak hanya menjadi kecemasan orang tua, namun telah mengambil perhatian banyak pihak dalam masyarakat. Berbagai usaha telah dilakukan agar dapat mengintervensi perilaku negatif pada kelompok remaja, namun sayangnya intervensi-intervensi yang diusahakan ini seringkali gagal dalam membantu remaja mengatasi perilaku-perilaku negatif (Yaeger et al., 2018). Pertanyaan yang kemudian timbul, apakah mungkin intervensi-intervensi yang dicanangkan selama ini tidak dapat berjalan dengan baik karena pemahaman yang masih belum tepat tentang perubahan internal pada masa remaja? 

Untuk dapat memberikan intervensi yang baik, maka diperlukan pemahaman yang akurat tentang remaja. Salah satu sudut pandang yang bisa diambil agar dapat memahami remaja adalah sudut pandang pertumbuhan biologis pada masa remaja. Namun pertumbuhan biologis pada masa remaja sering hanya diartikan sebagai perubahan fisik dan perubahan hormonal yang dialami oleh remaja. Padahal masih ada perkembangan yang sangat krusial pada masa ini, yaitu perkembangan otak pada remaja. 

Masa remaja dimulai dari saat bermulanya masa pubertas hingga individu bisa mendapatkan peran mandiri dalam masyarakat (Dumontheil, 2016).  Pada periode ini, penyakit mental lebih rentan untuk muncul, dengan hampir 75% penyakit mental yang dialami oleh orang dewasa muncul pada periode ini (Willenberg et al., 2020). Hal ini juga diakibatkan karena otak remaja merupakan periode sensitif dalam pertumbuhan neuro-kognitifnya. Lalu bagaimana pemahaman tentang remaja jika dilihat dari perkembangan neuro-kognitifnya?

Masa remaja dianggap sebagai fase reorganisasi saraf (neuroplasticity), yaitu kemampuan otak untuk membentuk dan mengatur kembali koneksi sinaptik, terutama dalam menanggapi pembelajaran atau pengalaman tertentu. Fase ini berlangsung secara dramatis sehingga menjadi fase rentan dan dapat menyebabkan perkembangan psikopatologi (Andrews et al., 2021; Dow-Edwards et al., 2019). Ditekankan oleh Dow-Edwards et al. (2019), bahwa sistem otak remaja memberikan respon yang berbeda pada suatu stimuli dibandingkan dengan orang dewasa dan anak-anak. Perubahan yang dialami pada saat remaja ini, diasosiasikan dengan penguatan dan pembahagian neuron pada otak baik secara strukturnya, fungsinya dan kognitif skill-nya (Dumontheil, 2016). Uniknya, perkembangan otak pada masa sensitif ini tidak hanya mempengaruhi bagaimana remaja menghadapi lingkungan sosialnya, namun juga dipengaruhi oleh lingkungan sosial remaja tersebut (Andrews et al., 2021; Dow-Edwards et al., 2019).  

Pada tingkatan perkembangan fungsional otak, dapat difokuskan penjelasannya pada tiga fungsi; kognisi, sosial dan perkembangan emosional. Social brain adalah fungsi otak yang paling aktif dan berkembang yang mana fungsi ini menjadi target sasaran plasticity yang besar pada saat remaja (Dow-Edwards et al., 2019). Dijelaskan lebih mendalam oleh Andrews et al. (2020), bagaimana seorang remaja dapat menavigasikan kehidupan sosialnya dengan baik, sangat bergantung pada sosio-kognitif proses yang dimilikinya. Di sisi lain, dalam segi sosial kognisi dan emosi, remaja secara konsisten menunjukkan aktifasi bagian otak yang lebih besar dibandingkan orang dewasa di medial prefrontal cortex. Pada saat ini remaja nampak lebih sensitif terhadap kehadiran teman sebayanya, pengucilan sosial dan terlihat narsistik. Pada masa remaja konteks sosial sangatlah penting, sama halnya dengan perkembangan emosionalnya yang berdampak pada pengambilan keputusan (Dumontheil, 2016). 

Dari hasil-hasil penelitian terdahulu, terlihat bahwa remaja memiliki strategi kognisi yang berbeda dengan orang dewasa ketika berusa memahami intensi orang lain. Hal ini sesuai dengan teori bahwa remaja menggunakan strategi kognisi yang bergantung pada refleksi eksplisit tentang dirinya dan orang lain. Proses ini berlangsung pada Dorsomedial Prefrontal Cortex (dmPFC). Dari pernyataan ini ada beberapa poin penting yang dapat digaris bawahi; kemampuan remaja untuk memahami perspektif orang lain masih dalam masa perkembangan pada masa ini; koneksi fungsional pada otak remaja terlihat lebih besar dibandingkan orang dewasa ketika sedang memikirkan suatu kejadian yang mengandung emosi, sehingga remaja memiliki tendensi membesar-besarkan suatu masalah yang sedang dihadapinya (Andrews et al., 2020). 

Dengan pembahasan perubahan sistem kerja otak karena neuroplasticity yang ada pada remaja, diharapkan orang tua serta lingkungan masyarakat dapat lebih menghargai tantangan yang sedang dihadapi oleh remaja selama masa penyesuaian dan pertumbuhan sistem sarafnya. Selain itu juga diharapkan agar lingkungan sosial remaja dapat memberikan dukungan yang baik dengan menyesuaikan dengan kondisi perkembangan otak remaja. Adapun beberapa intervensi yang dapat diberikan pada remaja pada periode sensitif ini seperti; aktivitas fisik agar mempromosikan hidup sehat, boosting kemampuan kognisi agar dapat menggunakan kemampuan kognisi yang berkembang secara optimal, melatih kemampuan meditasi agar dapat melatih regulasi emosi, dan memastikan remaja berada pada lingkungan sosial pertemanan yang sehat (Yeager et al., 2018). 

Selain itu orang tua dan masyarakat haruslah menciptakan lingkungan yang suportif untuk tumbuh kembang remaja, berusaha memberikan sikap yang menghargai keberadaan dan tantangan yang dihadapi remaja serta mengurangi pengaruh negatif dari lingkungan terhadap status dan kondisi remaja. Dengan mempertimbangkan kondisi perkembangan kognisi yang sensitif pada remaja ini, diharapkan orang tua dan masyarakat dapat memberikan intervensi-intervensi yang lebih positif dan efektif bagi tumbuh kembang remaja.

Referensi

Andrews, J. L., Ahmed, S. P., & Blakemore, S. J. (2021). Navigating the social environment in adolescence: The role of social brain development. Biological Psychiatry, 89(2), 109-118.

Casey, B. J., Getz, S., & Galvan, A. (2008). The adolescent brain. Developmental review, 28(1), 62-77.

Dumontheil, I. (2016). Adolescent brain development. Current Opinion in Behavioral Sciences, 10, 39-44.

Dow-Edwards, D., MacMaster, F. P., Peterson, B. S., Niesink, R., Andersen, S., & Braams, B. R. (2019). Experience during adolescence shapes brain development: From synapses and networks to normal and pathological behavior. Neurotoxicology and teratology, 76, 106834.

Willenberg, L., Wulan, N., Medise, B. E., Devaera, Y., Riyanti, A., Ansariadi, A., … & Azzopardi, P. S. (2020). Understanding mental health and its determinants from the perspective of adolescents: a qualitative study across diverse social settings in Indonesia. Asian Journal of Psychiatry, 52, 102148Yeager, D. S., Dahl, R. E., & Dweck, C. S. (2018). Why interventions to influence adolescent behavior often fail but could succeed. Perspectives on Psychological Science, 13(1), 101-122.

“Siapakah Aku?” Krisis Identitas yang Biasa Dialami Remaja

ArtikelBlog Saturday, 4 May 2024

“Siapakah aku? Untuk apakah aku dilahirkan di dunia?”

Sebagian besar remaja setidaknya pernah mengalami fase ini, yakni mulai mempertanyakan identitas dirinya. Masa remaja yang dianggap sebagai tahap peralihan dari masa kanak-kanak ke dewasa merupakan babak kehidupan yang pasti dilalui seseorang dengan proses pencarian jati diri. Pada fase ini, remaja tidak hanya berhadapan dengan perubahan fisik, tetapi juga dengan pertanyaan mendalam tentang siapa mereka sebenarnya. 

Menurut Erikson, remaja akan mengalami suatu fase dalam hidupnya, yaitu krisis dalam pencarian identitas (Feist & Feist, 2010). Umumnya, fase ini dialami oleh remaja berusia 10 hingga 20 tahun. Fase yang disebut sebagai “identity versus role confusion” tersebut membuat remaja sering kali mempertanyakan hampir segala hal dalam dirinya, seperti penampilan fisik, pendidikan, pekerjaan, percintaan, pertemanan, dan banyak hal lainnya. Oleh karena itu, remaja akan bereksplorasi untuk mencari jawaban tersebut.

Perjalanan untuk mengeksplorasi jati diri ini tidak semudah membalikkan telapak tangan. Remaja akan berhadapan dengan berbagai tantangan atau konflik yang harus mereka selesaikan dalam pencarian identitas diri. Jika mereka mampu menemukan identitas diri yang paling sesuai dan merasa nyaman akan identitasnya, maka dapat dikatakan remaja tersebut berhasil menyelesaikan fase ini. Alhasil, jati diri yang kuat dan stabil akan terbentuk pada diri seseorang. Sementara itu, kegagalan dalam tahap ini akan mengarah pada krisis identitas atau yang biasa disebut sebagai role confusion. 

Munculnya kebingungan akan identitas dalam proses eksplorasi diri berpotensi membuat remaja menjadi khawatir tentang citra diri di mata orang lain sehingga remaja akan mengidentifikasi diri secara berlebihan dengan orang-orang sekitar (Nadiah dkk., 2021). Ketiadaan dukungan suportif dari lingkungan sekitar, terutama orang tua, akan semakin memperparah krisis identitas pada remaja. Alhasil, remaja akan dipenuhi oleh rasa tidak aman dan bingung terhadap diri sendiri serta masa depannya. Hal tersebut akan mengarah pada perasaan tertekan dan kurang percaya diri. Bahkan, remaja akan cenderung menerima identitas negatif yang diberi oleh orang sekitar ketika mereka tidak memiliki tujuan dan identitas yang jelas (Erikson, 1968).  

Menurut Siregar (2018), remaja yang gagal menemukan jati dirinya sering kali memiliki self esteem dan self confidence yang rendah. Akibatnya, hal tersebut berpengaruh terhadap penurunan motivasi belajar di sekolah. Selain itu, remaja juga berpotensi memiliki empati dan sikap prososial yang rendah sehingga berdampak terhadap buruknya kualitas hubungan sosial yang dimiliki. Kegagalan dalam menangani krisis identitas juga berpotensi mengarahkan remaja pada perasaan sia-sia, tidak berdaya, menarik diri, hingga tindakan agresif seperti kenakalan remaja (Erikson, 1968). 

Lalu bagaimana solusi atas permasalahan ini?  Berikut sejumlah tips untuk membantu remaja yang sedang mengalami krisis identitas. 

  1. Berikan dukungan dan ciptakan lingkungan yang aman bagi remaja.

Kolaborasi antara orang tua, institusi pendidikan, teman sebaya, dan lingkungan masyarakat akan menjadi cara terbaik dalam membantu remaja menghadapi krisis identitas. Menurut Santrock (2018), orang tua menjadi figur penting dalam perkembangan identitas remaja. Oleh karena itu, orang tua diharapkan dapat memberikan ruang yang aman untuk eksplorasi diri remaja. Selain itu, teman sebaya dapat menjadi lingkungan yang aman bagi proses pencarian identitas. Institusi pendidikan seperti sekolah juga menjadi lini yang tak kalah penting sebagai tempat paling banyak remaja menghabiskan waktunya. Sekolah dapat membantu dalam optimalisasi perkembangan remaja, seperti melalui bimbingan konseling dan penyediaan berbagai kegiatan ekstrakurikuler (Maulida dkk., 2023).

  1. Dorong remaja untuk terus bereksplorasi.

Selain dukungan eksternal, diperlukan juga kesadaran internal yang kuat pada diri remaja untuk terus mengeksplorasi diri. Remaja yang nyaman dalam mencoba hal-hal baru, maka akan semakin mudah untuk membentuk identitas diri (Maulida dkk., 2023). Oleh karena  itu, remaja perlu didorong untuk aktif melakukan berbagai kegiatan positif. 

  1. Evaluasi diri.

Evaluasi diri diperlukan selama proses eksplorasi yang dilakukan remaja. Firhanida dan Hadiyati (2018) mendefinisikan evaluasi diri sebagai pandangan terhadap diri sendiri yang dibentuk melalui nilai, kesuksesan, dan kemampuan yang dimiliki individu. Menurut Maulida dkk. (2023), selama pencarian identitas, remaja akan terus mengevaluasi diri mereka sendiri melalui teman-teman sebaya. Hal ini selaras dengan Erikson (1968) yang menyatakan bahwa pembentukan identitas merupakan proses yang melibatkan refleksi dan pengamatan diri sendiri dengan orang lain. Oleh karena itu, remaja akan sering melakukan interaksi sosial dengan orang lain untuk mendapatkan gambaran diri dari sudut pandang orang lain. Hal ini akan membantu remaja dalam memahami dirinya. 

Tidak bisa dipungkiri bahwa perkembangan manusia merupakan proses yang dinamis, termasuk ketika individu tersebut berada di usia remaja yang sejatinya rentan akan kelabilan emosi. Remaja juga akan dihadapkan pada berbagai tantangan dan membuat remaja menghadapi hal krusial, yaitu krisis identitas. Keberhasilan remaja dalam menangani krisis identitas dipengaruhi oleh 3 aspek penting, yaitu ketepatan dalam membuat persepsi terhadap diri sendiri maupun lingkungannya; keterampilan untuk melakukan eksplorasi dan komitmen peran; serta umpan balik dari orang lain, seperti orang tua atau kelompok teman sebaya (Erikson, 1968). Dengan demikian, sudah menjadi tugas bersama berbagai pihak untuk membimbing dan memberikan ruang aman dalam proses pencarian jati diri remaja. Ayah dan ibu dapat berkolaborasi dengan sekolah untuk mengarahkan anak dalam kegiatan positif selama proses pencarian identitas tersebut.

Referensi

Erikson, E. H. (1968). Identity, youth and crisis. W. W. Norton & Co. 

Feist, J., & Feist, G. J. (2010). Teori kepribadian terjemahan (7th ed., Vol. 1). Salemba Humanika.

Firhanida, S., & Hadiyati, F. N. R. (2018). Hubungan Antara Keputusan Pembelian Produk E-Commerce dan Kohesivitas Kelompok dengan Self-Esteem pada Mahasiswa Tahun Pertama Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro (Doctoral dissertation, Undip).

Maulida, A. R., Wibowo, H., & Rusyidi, B. (2023). Rancang bangun model pengembangan kegiatan pendampingan sosial pada remaja generasi Z dalam mengatasi krisis identitas. Share: Social Work Journal, 13(1), 92-101.

Nadiah, S., Nadhirah, N. A., & Fahriza, I. (2021). Hubungan faktor perkembangan psikososial dengan identitas vokasional pada remaja akhir. Quanta, 5(1), 21-29.

Santrock, J., W. (2018). A topical approach to life-span development (ninth edition) Chapter 1-9. McGraw-Hill Education.Siregar, I. K. (2018). Kecerdasan emosional dan hasil belajar siswa. Kumpulan Jurnal Dosen Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara.

Remaja dan Cybersex

Artikel Monday, 8 April 2024

Penulis: Sri Rahmita

Penyunting: Nur Nisrina Hanif Rifda

Masa remaja merupakan masa yang kritis dalam rentang perkembangan individu. Pada masa ini, terjadi banyak perubahan diri individu sebagai tahapan memasuki masa dewasa. Remaja banyak mengalami gejolak perubahan, baik secara fisik, psikologis, maupun sosial. Dalam masa peralihan ini, sering kali muncul konflik antara remaja dengan dirinya sendiri maupun dengan lingkungan sosial. Apabila tidak diselesaikan dengan baik, maka konflik-konflik tersebut akan memberikan dampak negatif terhadap perkembangan remaja di masa mendatang, terutama dalam hal pematangan karakter hingga memicu terjadinya permasalahan kesehatan mental. Salah satu faktor utama terjadinya permasalahan kesehatan mental pada remaja yaitu penggunaan komunikasi elektronik dan media sosial, atau disebut juga sebagai digitalisasi.

Perkembangan pesat dalam hal teknologi informasi dan komunikasi semakin memudahkan manusia untuk berinteraksi ataupun mencari serta menyebarkan informasi melalui media internet. Saat ini, eksistensi media internet sangat digandrungi oleh generasi muda. Internet memberikan wadah baru bagi berbagai generasi untuk saling berinteraksi secara daring (online). Media internet juga dapat menjadi wadah bagi remaja untuk berekspresi dan mengembangkan kreativitas. Media internet menjadi hal yang tidak terpisahkan dari tumbuh kembang remaja (Griggs, 2009). Hal ini dibuktikan dengan kondisi remaja saat ini yang akan merasa kehidupannya hampa ketika tidak mampu mengakses internet. Di sisi lain, internet juga memberikan dampak negatif terhadap perkembangan remaja, salah satunya yaitu cybersex.

Cybersex mencakup berbagai aktivitas yang mengandung unsur pornografi, seperti melihat gambar-gambar erotis, terlibat dalam chatting mengenai seks, hingga saling bertukar gambar atau pesan tentang seks (Cooper, 2003). Cybersex dimanfaatkan oleh remaja untuk mengunjungi berbagai situs internet terkait aktivitas seksual dan mencari pengalaman seksual melalui internet.

Pengalaman seksual melalui internet terdiri dari dua jenis, yaitu pengalaman pasif, seperti menonton video porno, membaca cerita seks, dan melihat konten yang berbau pornografi; serta aktif, seperti melakukan hubungan seksual ataupun berfantasi seksual dengan pasangan di internet (Goldberg, 2004). Perilaku  cybersex pada remaja tersebut dapat dipengaruhi oleh kemudahan mengakses konten pornografi di internet serta anonimitas atau kerahasiaan nama ketika mengakses konten pornografi tersebut (Afriani, 2016).

Ross dkk. (2005) menyatakan bahwa penggunaan internet dengan tujuan seksual  banyak didominasi oleh kalangan remaja. Rasa ingin tahu yang besar menyebabkan remaja mencari informasi mengenai seksualitas melalui internet sebagai sumber informasi yang mudah diakses dan didapatkan. Namun, tidak setiap informasi yang diperoleh dapat dipahami secara bijak oleh remaja sehingga memberikan dampak negatif (Mukhlis, 2010). Kerentanan remaja dalam menghadapi masalah seksualitas timbul seiring dengan perkembangan remaja yang sedang dalam masa pancaroba atau peralihan. Pada masa ini, remaja akan mengalami perubahan fisik dan psikis dengan ciri-ciri yang berbeda satu sama lain. Remaja juga akan mengalami perkembangan alat dan hormon seksualitas yang turut memengaruhi kondisi psikis remaja (Harlock, 2011).

Kematangan secara seksual membuat remaja menjadi mudah terangsang akan hal-hal yang berkaitan dengan seksualitas karena dorongan seksual yang meningkat. Salah satu cara yang dianggap paling “aman” untuk menyalurkan hasrat seksual bagi remaja adalah dengan mengakses berbagai macam aktivitas seksual melalui internet, salah satunya adalah dengan menonton konten pornografi. Pornografi merupakan media eksplisit seksual yang bertujuan untuk membangkitkan gairah seksual yang melihatnya (Malamuth & Huppin, 2005).

Fenomena seringnya remaja mengakses cybersex dapat berdampak terhadap kecanduan akan hal-hal seksual, kerusakan fungsi otak, penurunan intelegensi dan prestasi akademik karena tidak mampu membuat perencanaan, ketidakmampuan mengontrol hawa nafsu dan emosi, = serta ketidakmampuan mengambil keputusan (Sauvika, 2017). Dampak lain yang ditimbulkan adalah masalah dalam hubungan sosial, seperti maraknya pergaulan bebas di kalangan remaja karena meniru konten yang mereka lihat. Selain itu, Cooper dkk., (2000) mengemukakan bahwa individu yang melihat tayangan pornografi di internet secara terus-menerus termasuk dalam kriteria permasalahan seksual kompulsif.

Terdapat beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi cybersex pada remaja (Dianawati, 2006; Willis, 2017), antara lain:

  1. Pembinaan mental dan kepribadian yang berlandaskan pendidikan agama
  2. Pemberian edukasi seksual pada remaja 
  3. Penguatan pengawasan dari guru dan orang tua 
  4. Pemantauan orangtua terhadap remaja saat mengakses internet, baik menggunakan smartphone ataupun komputer
  5. Pengembangan bakat-bakat khusus yang dimiliki remaja.

Referensi

Cooper, A., Delmonico, D. L., & Burg, R. (2000). Cybersex users, abusers, and compulsives: new findings and implications. Sexual Addiction and Compulsivity, 7, 5–2

Cooper, A., Mansson, S.A., Daneback, K., Tikkanen, R.,& Ross, M. (2003). Predicting the future of internet sex: online sexual activities in Sweden. Sexual and Relationship Therapy, 18-(3), 277-291.

Dianawati, A. (2006). Pendikan seksual remaja. Kawan Pustaka

Goldberg, P. D. (2004). An exploratory study about the impacts that cybersex (the use of the internet for sexual purposes) is having on families and the practices of marriage and family therapists. Thesis, Polytechnic Institute and State University. Faculty of the Virginia.

Griffiths, M. (2001). Sex on the internet: observations and implications for internet sex addictions. The Journal of Sex Research, 38, 333–342.

Hurlock, Elizabeth B. (2011). Psikologi perkembangan: suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan. Erlangga

Malamuth, N. M., Huppin, M., & Paul, B. (2005). Sexual coercion. In D. M. Buss (Ed.), The handbook of evolutionary psychology (pp. 394–418). John Wiley & Sons, Inc.     

Ross, M. W., Månsson, S.-A., Daneback, K., Cooper, A., & Tikkanen, R. (2005). Biases in internet sexual health samples: comparison of an internet sexuality survey and a national sexual health survey in Sweden. Social Science & Medicine, 61(1), 245–252. https://doi.org/10.1016/j.socscimed.2005.01.019

Willis, Sofyan S. 2017. Remaja dan masalahnya (mengupas berbagai bentuk kenakalan remaja seperti narkoba, free sex dan pemecahannya). Alfabeta

CLSD Membangun Semangat Literasi di Kampung Suronatan melalui Pelatihan Membaca Nyaring

ArtikelArtikel Tuesday, 26 March 2024

Pada hari Sabtu, 2 Maret 2024 pukul 08.30-11.30 WIB, Center for Life-Span Development (CLSD) Fakultas Psikologi UGM melalui Tim The Reading Buddies mengadakan acara pelatihan read aloud atau membaca nyaring di Kampung Suronatan, Kelurahan Notoprajan, Kemantren Ngampilan, Kota Yogyakarta. Acara dihadiri oleh 19 orang, terdiri dari Kader Bina Keluarga Balita (BKB) dan orang tua yang memiliki anak usia dini. Tujuan dari acara ini adalah untuk mengenalkan dan meningkatkan kemampuan para kader BKB dan orang tua dalam praktik membaca nyaring di rumah maupun di komunitas. Kegiatan pelatihan ini merupakan kelanjutan dari aktivitas membaca nyaring oleh Tim The Reading Buddiesdua minggu sebelumnya, dengan tujuan agar masyarakat di Kampung Suronatan mampu secara mandiri melanjutkan aktivitas literasi ini.

Acara dimulai dengan sambutan dari perwakilan BKB, diikuti oleh sambutan dari moderator juga merupakan perwakilan dari CLSD, yaitu Kevin Pasquella Helian, S.Psi. Acara kemudian dilanjutkan dengan sesi pemateri oleh Navia Fathona Handayani, S.Psi., seorang pegiat literasi yang memiliki pengalaman luas dalam gerakan membaca nyaring. Materi yang disampaikan mencakup penjelasan tentang pentingnya membacakan nyaring, unsur-unsur buku yang perlu diperhatikan saat membaca nyaring, serta demonstrasi praktik membaca nyaring. Peserta menyimak dengan antusias untuk memahami berbagai aspek membaca nyaring yang diajarkan oleh pemateri.

Selanjutnya, acara melibatkan pembagian peserta pelatihan ke dalam empat kelompok kecil. Tujuan dari agenda ini adalah untuk mengaplikasikan materi yang telah diajarkan sebelumnya oleh pemateri. Dua orang fasilitator, Rahmita Laily Muhtadini, S.Psi., dan Riskhi Pratama Kusuma Arum Jati, S.Psi., bertugas memandu dinamika peserta di dalam kelompok kecil. Dalam proses ini, peserta diberi waktu untuk memilih buku dengan mempertimbangkan berbagai unsur seperti tema, alur, latar, dan tokoh cerita. Setiap peserta kemudian berlatih membaca nyaring di dalam kelompok kecil. Proses ini sangat penting untuk memastikan bahwa peserta memahami konsep membacakan nyaring tidak hanya di ranah pengetahuan, tetapi juga dalam ranah keterampilan.

Agenda berikutnya adalah sesi praktik membaca nyaring oleh perwakilan peserta dari masing-masing kelompok. Selain bertujuan untuk melihat kemampuan peserta setelah pelatihan, agenda ini juga dirancang untuk proses evaluasi bersama. Peserta memberikan apresiasi dan masukan terhadap sesama peserta selama proses membaca nyaring di depan kelas. Acara ditutup dengan pemberian sertifikat, doorprize, serta foto bersama.

Seluruh rangkaian acara dalam pelatihan membaca nyaring ini diharapkan dapat meningkatkan kepekaan dan kemampuan kader BKB serta orang tua. Acara ini juga diharapkan dapat membangun kemandirian bagi warga Kampung Suronatan dalam menyebarkan semangat literasi di rumah maupun masyarakat.

Sumber: CLSD UGM

Editor: Erna

Kecerdasan Buatan: Support System Bagi Emerging Adult di Kala Krisis

ArtikelArtikel Saturday, 23 March 2024

Penulis: Olyn Silvania

Penyunting: Muhammad Ikbal Wahyu Sukron

“Jadi orang gede emang menyenangkan, tapi susah dijalanin.”

Pernahkah kalian mendengar kalimat di atas? Jika diperhatikan kembali, penggalan kalimat dalam iklan Tri Indonesia (2013) tersebut cukup berkaitan dengan kehidupan individu beranjak dewasa atau emerging adult (18-29 tahun) yang seolah-olah menyenangkan. Hal ini dikarenakan masa emerging adult memberi kesempatan bagi individu untuk mengeksplorasi berbagai pilihan hidup terkait pendidikan, karir, dan hubungan romantis yang tersedia baginya. Dengan demikian, emerging adult dapat mengembangkan identitas diri terkait seperti apa ia ingin dikenal oleh orang lain (Arnett, 2013). Selain itu, emerging adult telah dianggap dewasa secara hukum, sehingga otoritas orang tua pun berkurang. Hal ini memberi peluang bagi emerging adult untuk lebih fokus terhadap diri, mengembangkan kemampuan dan membangun fondasi masa selanjutnya, sehingga dapat meningkatkan kemandiriannya (Arnett dkk., 2014). Namun, masa emerging adulthood tidak selalu menyenangkan dan penuh tantangan. Mengapa demikian, ya? 

Tantangan tugas perkembangan emerging adulthood terhadap kesehatan mental emerging adult

Emerging adult dihadapkan dengan peran dan tanggung jawab yang semakin berat (Erickson, 1968). Mereka harus memenuhi dan menyesuaikan diri terhadap berbagai tugas perkembangan, seperti mencapai kemandirian secara fisik, finansial, dan emosi; mendapatkan suatu pekerjaan, memilih pasangan hidup, menjalani hidup berkeluarga (sebagai pasangan suami istri dan orang tua), menerima tanggung jawab sebagai warga negara, dan bergabung dalam kelompok sosial (Hurlock, 1991).

Dalam menjalani berbagai tugas perkembangan, emerging adult seringkali mengalami masalah, menghadapi perubahan hidup yang konstan, dan ketidakpastian. Emerging adult juga menghadapi tekanan pekerjaan, hubungan, keluarga, dan harapan untuk menjadi orang dewasa yang sukses. Berbagai hal tersebut menjadikan emerging adult rentan mengalami quarter life crisis (Herawati & Hidayat, 2020).

Fenomena krisis seperempat baya telah digambarkan dalam berbagai penelitian. Penelitian Agarwal dkk. (2020) menemukan bahwa 1.400 pengguna twitter berusia rentang 18-30 tahun di Amerika dan Inggris pernah mengunggah 1,5 juta tweet tentang permasalahan karir, kesehatan, dan keluarga yang mereka hadapi. Lalu, hasil penelitian mixed-methods dari Robinson (2018) di Inggris menunjukkan bahwa krisis seperempat baya dialami oleh individu yang gagal mencari pekerjaan. Selain itu, juga ditemukan bahwa krisis seperempat baya dapat menurunkan tingkat harga diri individu. Selanjutnya, fenomena krisis seperempat baya juga terjadi di Indonesia. Penelitian kualitatif Putri dkk. (2022) menemukan bahwa krisis seperempat baya pada emerging adult selama masa pandemi Covid-19 ditandai dengan perasaan dan pikiran yang mengganggu karena adanya tuntutan pekerjaan, rencana pernikahan, dan permasalahan keluarga.

Dari ketiga hasil penelitian di atas, kita bisa melihat bahwa krisis seperempat baya timbul karena lingkungan sekitar. Pertanyaan yang dianggap ringan oleh sebagian orang, seperti “Kapan wisuda?”, “Sudah dapat kerja belum? Kok masih menganggur?”, “Kapan menikah?”, dan lain sebagainya, justru dianggap berat bagi emerging adult. Dengan kata lain, krisis seperempat baya‒yang dipandang sebagai masa sulit oleh emerging adult‒dapat disebabkan oleh konstruk sosial yang dibangun di masyarakat.

Dalam jangka panjang, krisis seperempat baya dapat menimbulkan konsekuensi negatif. Beberapa literatur menunjukkan bahwa kondisi stress yang terakumulasi akibat krisis seperempat baya dapat menimbulkan berbagai permasalahan baru, seperti masalah emosi dan perilaku, menurunkan kesejahteraan psikologis, meningkatkan perilaku agresif, tindak kekerasan, meningkatkan kecenderungan menarik diri secara sosial, dan menimbulkan permasalahan kesehatan mental seperti depresi dan kecemasan (Habibie dkk., 2019).

Mengatasi quarter life crisis dengan bantuan kecerdasan buatan

Menanggapi dampak krisis seperempat baya khususnya terhadap kesehatan mental, pemerintah, praktisi, dan peneliti tengah mengupayakan promosi dan pencegahan permasalahan kesehatan mental. Tujuannya untuk membangun resiliensi emerging adult dalam menghadapi masa krisisnya (Gotzl dkk., 2022). Salah satu caranya adalah mengembangkan kecerdasan buatan (artificial intelligence), yaitu sistem komputer yang diprogram untuk membantu memecahkan masalah, mengambil keputusan, dan menyelesaikan tugas manusia yang spesifik.

Kontribusi kecerdasan buatan dalam bidang kesehatan mental telah disebutkan dalam berapa literatur (Gotzl dkk., 2022; Gumelar, 2023), seperti dapat membantu mengidentifikasi gangguan kesehatan mental pada emerging adult. Contohnya adalah chatbot terapeutik. Chatbot terapeutik menggunakan teknologi pemrosesan bahasa alami untuk berkomunikasi dengan emerging adult dan memberikan dukungan emosional. Dukungan emosional seperti ucapan semangat dan afirmasi positif dari chatbot terapeutik dapat membantu mengurangi gejala kecemasan dan depresi pada individu. Contoh lainnya adalah terapi online, yakni terapi yang memberikan kesempatan bagi klien emerging adult untuk berbincang dengan terapis melalui internet. Dengan menggunakan kecerdasan buatan, terapis dapat menganalisis percakapan dengan pasien, lalu memberikan rekomendasi terapi atau latihan mandiri yang dapat diterapkan oleh klien emerging adult untuk membantu meredakan gejala gangguan kesehatan mentalnya (Gumelar, 2023). Lebih lanjut, penelitian Gotzl dkk. (2022) menemukan bahwa aplikasi kesehatan mental berbasis kecerdasan buatan bernama mHealth apps memberikan berbagai pelatihan dan solusi atas situasi yang sulit, sehingga membantu emerging adult dalam mencapai tujuannya.

Akhir kata, kecerdasan buatan dapat menjadi support system yang mampu meredakan gejala permasalahan psikologis pada emerging adult. Meskipun demikian, penggunaan kecerdasan buatan yang berlebihan dapat menimbulkan ketergantungan dan mengurangi interaksi sosial. Maka dari itu, masih dibutuhkan kebijakan dan pendekatan yang tepat terkait penggunaan kecerdasan buatan agar tidak mengganggu interaksi sosial dan keseimbangan psikologis emerging adult.

Referensi: 

Agarwal, S., Guntuku, S. C., Robinson, O., Dunn, A., & Ungar, L. (2020). Examining the phenomenon of quarter-life crisis through artificial intelligence and the language of twitter. Frontiers in Psychology, 1-23.

Arnett, J. J. (2013). Adolescence and emerging adulthood: A cultural approach. Pearson Education

Arnett, J. J., Zukauskiene, R., & Sugimura, K. (2014). The new life stage of emerging adulthood at ages 18-29 years. Lancet Psychiatry, 1, 569-576. 

Erickson, E. H. (1968). Identity: Youth and crisis. Norton.

Götzl, C., Hiller, S., Rauschenberg, C., Schick, A., Fechtelpeter, J., Fischer Abaigar, U., … & Krumm, S. (2022). Artificial intelligence-informed mobile mental health apps for young people: a mixed-methods approach on users’ and stakeholders’ perspectives. Child and Adolescent Psychiatry and Mental Health, 16(1), 1-19.

Gumelar, G. (2023). Menavigasi tantangan dan menciptakan peluang: Peran vital ilmu psikologi di era kecerdasan buatan. Jurnal Penelitian dan Pengukuran Psikologi, 12(1), 1-4. 

Habibie, A., Syakarofath, N. A., & Anwar, Z. (2019). Peran religiusitas terhadap quarter-life crisis pada mahasiswa. Gadjah Mada Journal of Psychology, 5(2), 129-138. 

Hurlock, E. B. (1991). Psikologi perkembangan: Suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan (Edisi 5). Penerbit Erlangga.

Putri, A. L. K., Lestari, S., & Khisbiyah, Y. (2022). A quarter-life crisis in early adulthood in indonesia during the covid-19 pandemic. Indigenous: Jurnal Ilmiah Psikologi, 7(1), 28–47. https://doi.org/10.23917/indigenous.v7i1.15543

Robinson, O. C. (2018). A longitudinal mixed-methods case study of quarter-life crisis during the post-university transition: Locked-out and locked-in forms in combination. Emerging Adulthood, 7(3), 167–179. https://doi.org/10.1177/2167696818764144Tri Indonesia (2013, Juni 19). Trie-Indie+ (Versi cewe) [File video]. YouTube https://www.youtube.com/watch?v=2RVcOiYkcc4

Mengenali Technoference pada Orang Tua: Waspada Risiko Orang Tua Asyik dengan Smartphone Saat Mengasuh Anak

ArtikelBlog Thursday, 7 March 2024

Penulis: Kurnia Farwati

Penyunting: Raden Roro Anisa Anggi Dinda

Perkembangan media digital salah satunya smartphone dirasakan manfaatnya untuk semua kalangan, tidak terkecuali orang tua. Smartphone dapat dibawa ke mana pun dan dapat digunakan kapan saja karena bentuk smartphone yang cenderung kecil dan ringan di tangan. Dengan demikian, orang tua dapat menghabiskan waktu bersama dengan anak-anak mereka dan dalam waktu yang bersamaan juga dapat bertukar pesan dengan teman atau mitra profesional saat melakukan aktivitas pekerjaan secara jarak jauh, atau bahkan dapat menikmati berbagai hiburan yang ada di smartphone miliknya.

Penggunaan smartphone ini apabila kurang bisa dikontrol dengan baik, maka akan berdampak negatif bagi penggunanya. Fenomena adanya interupsi interaksi sosial melalui teknologi ini disebut dengan technoference (McDaniel & Radesky, 2018), dan pengguna yang asyik dengan smartphone juga disebut dengan istilah “immersion”. Immersion berarti penarikan perhatian dari lingkungan yang kemudian dipusatkan pada perangkat digital dalam hal ini adalah smartphone. Adanya technoference pada orang tua dapat berdampak negatif terhadap hubungan orang tua-anak, kesehatan, serta perkembangan anak (Mackay et al., 2022).

Hubungan orang tua-anak biasanya merujuk pada kualitas interaksi orang tua dengan anak dan kelekatan yang terjalin di antara mereka. Interaksi orang tua-anak yang optimal dapat diamati ketika seorang anak mengucapkan secara verbal, memberi isyarat, atau menangis dan kemudian orang tua merespon secara tepat dengan verbalisasi, kontak mata, atau dengan sentuhan fisik (Mackay et al., 2022). Interaksi yang demikian diketahui menjadi faktor utama untuk menghasilkan perkembangan anak yang optimal termasuk emosi positif, perilaku, perkembangan psikologis, dan sosial (Mackay et al., 2022). Fokus perhatian orang tua pada smartphone saat bersama anak dapat mengurangi perhatian orang tua, daya tanggap, dan kehangatan yang ditampilkan kepada anak-anak mereka (Knitter & Zemp, 2020; McDaniel & Radesky, 2018).

Technoference pada orang tua saat mengasuh anak tidak hanya berlangsung di dalam rumah namun juga saat melakukan aktivitas di luar rumah seperti di playground, tempat makan umum, dsb. Beberapa studi observasional yang dilakukan di tempat umum seperti di restoran dan taman bermain menemukan bahwa interaksi antara orang tua-anak berjalan kurang optimal. Orang tua yang tenggelam dengan smartphone mereka, lebih jarang berkomunikasi dengan anak-anaknya, dan kurang tanggap terhadap kebutuhan anak saat mereka berperilaku mencari perhatian orang tuanya serta kurang memperhatikan keamanan anak (Elias et al., 2021; Wolfers et al., 2020). Menariknya, temuan lain dari Elias et al (2021) yaitu aktivitas lainnya seperti membaca majalah dan berbicara dengan orang lain di taman bermain, juga menyibukkan orang tua dan orang tua mengalami gangguan respon kepada anak mereka, namun tidak sebanyak saat orang tua menggunakan smartphone.

Kelalaian orang tua akibat asyik dengan smartphone saat bersama anak dapat berakibat fatal yakni dapat menyebabkan anak terluka bahkan hingga meninggal. Terdapat beberapa insiden pada anak akibat orang tua yang terlalu fokus pada smartphone miliknya saat bersama anak seperti terjepit lift saat sedang bersama ibunya (Nicolaus, 2019), tertabrak mobil saat bermain sendiri di pelataran parkiran sementara ibunya asyik dengan handphone dan berujung meninggal setelah dilarikan ke rumah sakit (Liputan6.com., 2018). Kasus serupa juga terjadi bahkan ditabrak oleh ayahnya sendiri karena fokus dengan handphone miliknya dan tidak menyadari bahwa anaknya sudah turun dari mobil (Putra, 2018).

Kecelakaan pada anak-anak seringkali berakibat lebih fatal karena anak-anak memiliki keterbatasan seperti keterbatasan fisik, kognitif, emosi maupun sosial dibandingkan dengan orang dewasa. Anak-anak memiliki postur tubuh yang kecil sehingga anak mudah luput dari perhatian sekitar. Selain itu, sifat alamiah anak-anak yang cenderung memiliki rasa ingin tahu tinggi sehingga senang melakukan eksplorasi benda, tempat, atau hal lainnya yang menarik perhatiannya tanpa mempertimbangkan baik atau buruknya, aman atau tidaknya karena kemampuan anak untuk menalar atau mempersepsikan lingkungan di sekitarnya cenderung masih terbatas sehingga belum mampu memahami adanya potensi bahaya yang ada.

Apabila kelalaian orang tua semacam ini terus terjadi secara berulang, maka dapat mendatangkan dampak tidak langsung dalam jangka panjang terhadap perkembangan anak. Sikap orang tua yang menampakkan wajah kesal atau bahkan bermusuhan ketika anak mereka mengulangi perilaku mencari perhatian kepada mereka sebagai orang tuanya (Elias et al., 2021) dapat menimbulkan perasaan diabaikan yang kemudian dapat memicu adanya masalah perilaku, emosional, sosial, depresi, dan perilaku anti sosial pada anak (Beamish et al., 2019; McDaniel & Radesky, 2018). Fokus dengan smartphone saat bersama anak juga dapat menjadi pemicu awal anak terlibat dalam penggunaan digital di usia yang belum seharusnya karena telah mendapatkan contoh langsung penggunaan smartphone yakni dari orang tuanya (Bohnert & Gracia, 2021).

Melihat ragam dampak dari fenomena technoference pada orang tua saat mengasuh anak, pentingnya orang tua untuk memahami dan menyadari bahwa kehadiran orang tua saat bersama anak tidak hanya hadir secara fisik namun benar-benar hadir secara utuh yakni secara fisik dan emosional. Saat membersamai anak bermain di rumah maupun di luar rumah, penting bagi orang tua untuk turut terlibat dalam permainan. Selain berguna untuk membangun kelekatan emosional dengan anak, orang tua juga dapat memastikan secara langsung keamanan anak. Apabila orang tua harus menggunakan smartphone saat anak sedang bermain karena urusan pekerjaan atau hal penting lainnya, orang tua dapat meminta bantuan kepada orang dewasa lain di sekitarnya untuk memperhatikan anaknya.

Referensi :

Beamish, N., Fisher, J., & Rowe, H. (2019). Parents’ use of mobile computing devices, caregiving and the social and emotional development of children: a systematic review of the evidence. Australasian Psychiatry, 27(2), 132–143. https://doi.org/10.1177/1039856218789764

Bohnert, M., & Gracia, P. (2021). Emerging Digital Generations ? Impacts of Child Digital Use on Mental and Socioemotional Well-Being across Two Cohorts in Ireland , 2007 – 2018 Content courtesy of Springer Nature , terms of use apply . Rights reserved . Content courtesy of Springer Natur. Child Indicators Research.

Elias, N., Lemish, D., Dalyot, S., & Floegel, D. (2021). “Where are you?” An observational exploration of parental technoference in public places in the US and Israel. Journal of Children and Media, 15(3), 376–388. https://doi.org/10.1080/17482798.2020.1815228

Knitter, B., & Zemp, M. (2020). Digital Family Life: A Systematic Review of the Impact of Parental Smartphone Use on Parent-Child Interactions. Digital Psychology, 1(1), 29–43. https://doi.org/10.24989/dp.v1i1.1809

Liputan6.com. (5 Juni 2018). Gara-Gara Ibu Sibuk Main Posel, Anak Tertabrak Mobil. https://www.liputan6.com/citizen6/read/3406356/gara-gara-ibu-sibuk-main-ponsel-anak- tertabrak-mobil

Mackay, L. J., Komanchuk, J., Hayden, K. A., & Letourneau, N. (2022). Impacts of parental technoference on parent-child relationships and child health and developmental outcomes: a scoping review protocol. Systematic Reviews, 11(1), 1–7. https://doi.org/10.1186/s13643- 022-01918-3

McDaniel, B. T., & Radesky, J. S. (2018). Technoference: Parent Distraction With Technology and Associations With Child Behavior Problems. Child Development, 89(1), 100–109. https://doi.org/10.1111/cdev.12822

Nicolaus. (1 Agustus 2019). Ironis, Seorang Ibu Sibuk Main Ponsel Tak Perhatikan Tangan Anaknya Terjepit Lift, Masih Sempat Pegang HP Saat Mencoba Menolong.

https://www.grid.id/read/041804446/ironis-seorang-ibu-sibuk-main-ponsel-tak-perhatikan- tangan-anaknya-terjepit-lift-masih-sempat-pegang-hp-saat-coba-menolong

Putra, P. (26 Juli 2018). Tragis, Bocah Tewas Tertabrak Mobil Ayahnya Karena Sibuk dengan Ponsel. https://jatim.inews.id/berita/tragis-bocah-tewas-tertabrak-mobil-ayahnya-karena- sibuk-dengan-ponselWolfers, L. N., Kitzmann, S., Sauer, S., & Sommer, N. (2020). Phone use while parenting: An observational study to assess the association of maternal sensitivity and smartphone use in a playground setting. Computers in Human Behavior, 102(August 2019), 31–38. https://doi.org/10.1016/j.chb.2019.08.013

Generasi Baru, Kebutuhan Baru: Membimbing Pembelajaran Anak Digital Native di Tengah Pengaruh Gadget

ArtikelBlog Wednesday, 7 February 2024

Di era yang dipenuhi dengan gemerlap teknologi, anak-anak masa kini tumbuh dalam realitas yang berbeda. Marc Prensky, seorang konsultan pendidikan, menyebut mereka dengan istilah ‘digital native’, yang merujuk pada generasi yang lahir dan tumbuh dengan paparan teknologi, sehingga mereka dianggap sebagai pengguna bahasa digital yang fasih (Prensky, 2001). Generasi ini dimulai dari generasi milenial, yaitu yang lahir pada kisaran tahun 1980 sampai 2000-an, hingga ke generasi-generasi setelahnya (Moran, 2016). Sedangkan, generasi-generasi sebelumnya dikenal dengan istilah ‘digital immigrant’, yaitu generasi yang tidak lahir pada era digital, sehingga baru berkesempatan untuk belajar dan beradaptasi pada teknologi setelah dewasa.

Sebagai orang dewasa yang masih masuk ke generasi digital immigrant, atau ada pula yang telah masuk ke generasi digital native namun mungkin tak terpapar teknologi sebanyak anak-anak digital native di zaman sekarang, penting bagi guru untuk memahami pengalaman ber-gadget murid dan mencari tahu cara yang tepat untuk mendukung mereka, terutama dalam penggunaan gadget untuk pembelajaran. Sebab, apabila tidak dibimbing dengan baik, bisa jadi murid tidak dapat meraih potensi maksimalnya, atau bahkan dapat terjerumus ke efek samping buruk dari gadget. Maka dalam artikel ini, kita akan menjelajahi bagaimana gadget mempengaruhi anak-anak digital native, sambil menggali cara guru dapat membantu mereka menjadikan teknologi sebagai sahabat sejati dalam meraih potensi terbaik dan menghadapi tantangan zaman.

Dengan lingkungan tumbuh kembang yang berbeda, tentunya generasi digital native memiliki karakteristik yang berbeda dari digital immigrant. Salah satu aspek yang menonjol dari pengaruh gadget adalah perubahan dalam cara anak-anak digital native belajar dan berpikir. Berikut adalah beberapa karakteristik yang dimiliki generasi digital native atau Net Generation sebagai pengaruh dari teknologi menurut Tappscott (2009):

  1. Kebebasan: mereka menginginkan kebebasan dari berbagai aspek, mulai dari kebebasan untuk memilih hingga kebebasan berekspresi.
  2. Kustomisasi dan personalisasi: mereka menginginkan hal-hal dapat disesuaikan dengan preferensi mereka.
  3. Kritis terhadap informasi: mereka cenderung mengkritisi dan mengevaluasi informasi dengan lebih teliti.
  4. Integritas dan keterbukaan: mereka menghargai integritas dan keterbukaan dalam berinteraksi, serta menginginkan informasi yang jujur dan transparan.
  5. Kesenangan atau entertainment: mereka menginginkan pekerjaan, pendidikan, serta kehidupan sosial yang menyenangkan.
  6. Kolaborasi: mereka saling berhubungan erat dan saling mempengaruhi satu sama lain, terutama karena pengaruh teknologi yang dapat menghubungkan yang jauh.
  7. Kecepatan: mereka terbiasa dengan hal-hal yang serba cepat, terutama dalam hal komunikasi yang kini telah terbantu oleh teknologi.
  8. Inovasi: mereka adalah generasi yang inovatif dan terus mencari cara untuk membuat inovasi-inovasi baru dalam berbagai aspek.

Dari karakteristik di atas, dapat disimpulkan bahwa generasi digital native telah mengadopsi banyak keahlian baru yang didapat dari paparan teknologi sejak dini. Dengan kehidupan yang serba cepat, saling terhubung, dan tetap mementingkan kesenangan, maka akan sulit bagi generasi ini untuk belajar dengan cara lama yang umumnya berpusat pada guru. Cara ini hanya bertujuan untuk mengetes memori anak, yang seringkali menggunakan metode kelas yang serius, mendengarkan presentasi dari guru, dan kurangnya diskusi dan komunikasi antar murid. Meski metode konvensional ini memudahkan murid dalam mempersiapkan diri untuk ujian, metode ini menyebabkan murid terlalu bergantung pada guru dan tidak mengasah kemampuan mereka dalam berpikir kritis (Prensky, 2001; Wang, 2022). Jika guru tidak beradaptasi dengan kebutuhan generasi ini, maka mereka hanya akan menganggap pembelajaran sebagai membosankan dan tidak efektif.

Dengan mempertimbangkan hal tersebut, sangat penting bagi guru untuk menyesuaikan diri dengan kemajuan teknologi dan perkembangan generasi agar dapat pembelajaran murid sesuai dengan kebutuhan dan preferensi mereka. Berikut adalah beberapa hal yang bisa dilakukan guru untuk memfasilitasi pembelajaran murid digital native menurut Kelly dkk. (2009, dalam Kivunja, 2014):

  1. Mengejar kesenjangan antara guru dan murid digital native, melalui penggunaan gaya bahasa dan teknologi yang familiar dengan murid (Prensky, 2001, dalam Kivunja, 2014)
  2. Berkomunikasi secara langsung dengan murid dengan memanfaatkan teknologi yang ada (e-mail, chatting, membaca blog, bermain game online, mendengarkan dan membuat podcast, dan lain-lain)
  3. Terlibat dengan berbagai aktivitas lain bersama murid
  4. Terhubung dengan dunia digital murid agar sekolah dan pembelajaran dapat menjadi relevan bagi murid
  5. Mempelajari cara penggunaan alat-alat atau platform digital baru yang dapat mendukung pembelajaran murid
  6. Mendapatkan pengalaman baru secara langsung di dunia digital untuk digunakan dalam membantu pembentukan pengetahuan murid

Dalam era gadget yang tak terhindarkan, menjadi pemandu bagi murid digital native bukanlah tugas yang mudah. Namun, dengan kesadaran, komunikasi, serta kemauan untuk belajar dan beradaptasi, kita dapat membantu mereka untuk belajar dengan efektif di generasi baru ini. Jadi, mari kita melangkah maju bersama mereka, membangun masa depan yang cerah dalam era digital yang penuh potensi.

Referensi

Kivunja, C. (2014). Theoretical perspectives of how digital natives learn. International Journal of Higher Education, 3(1). https://doi.org/10.5430/ijhe.v3n1p94

Moran, K. (2016, January 3). Millennials as digital natives: Myths & realities. Nielsen Norman Group. https://www.nngroup.com/articles/millennials-digital-natives/

Prensky, M. (2001). Digital natives, digital immigrants part 1. On The Horizon, 9(5), 1 – 6. http://dx.doi.org/10.1108/10748120110424816

Tapscott, D. (2009). Grown up digital: How the net generation is changing your world. McGraw-Hill.

Wang, Y. (2022). A comparative study on the effectiveness of traditional and modern teaching methods. Proceedings of the 2022 5th International Conference on Humanities Education and Social Sciences (ICHESS 2022), 270-277. https://doi.org/10.2991/978-2-494069-89-3_32

Webinar SAELA “Children’s Voices: Well-Being for All” Building Student Well-Being through Child-Led Initiatives

SAELA Tuesday, 6 February 2024

Pada hari Rabu, 31 Januari 2024 pukul 15.00-17.00 WIB, Center for Life-Span Development (CLSD) menyelenggarakan webinar bertajuk “Children’s Voices: Well-Being for All, Building Student Well-Being through Child-led Initiatives”. Webinar ini terbuka untuk umum dan ditujukan kepada audiens yang beragam seperti siswa sekolah dasar dan menengah, guru, akademisi, praktisi, dan orang tua. Webinar dilaksanakan secara daring melalui Zoom Meeting dan diikuti oleh kurang lebih 320 peserta yang berasal dari Indonesia, Thailand, dan Filipina. Adapun tujuan webinar ini adalah memberikan kesempatan bagi peneliti muda untuk berbagi inisiatif dan hasil penelitian mereka dalam rangka meningkatkan kesadaran publik tentang pentingnya mendengarkan suara anak-anak untuk meningkatkan kesejahteraan mereka.

Acara diawali dengan pembukaan, dipandu oleh MC yang merupakan siswa SD Taman Muda IP Tamansiswa – Yogyakarta, yaitu Tiffany dan Caroline. Mereka menyambut para peserta dan membuka acara dengan penuh semangat. Acara dilanjutkan dengan sambutan oleh Deputy Director (Programme Development) SEAMEO, John Arnold Siena. Beliau menyampaikan pesan dan harapannya terkait acara ini, yang mana menyoroti pentingnya penelitian dan proyek-proyek inovatif dalam dunia pendidikan. Dr. Elga Andriana selaku peneliti yang memperoleh SEAMEO-Australia Education Link Award (SAELA) 2022 dengan judul penelitian “Our (photo)Voice: Children and Young People’s Joint Action Research on Student Well-Being for All” kemudian menambahkan penjelasan mendalam mengenai penelitian yang akan dibahas dalam acara ini. 

Webinar dilanjutkan dengan penyampaian materi atau presentasi yang terbagi ke dalam tiga sesi. Presenter pertama, Ayun Septa Wibawa, siswa SMP Taman Dewasa IP  Tamansiswa – Yogyakarta, membagikan pengalaman penelitiannya yang berjudul “Small Voices, Big Impact.” Ayun berbicara tentang pengalaman menjadi peneliti muda dan hasil penelitiannya, termasuk solusi yang diusulkan dan tindakan yang diambil bersama guru dan orang tua. Selanjutnya, tiga anak dari Anak Rimba WARSI – Jambi yang bernama Melandai, Nanju, dan Becenteng, menyajikan paparan penelitian mereka yang berjudul “From Trash to Treasure“. Penelitian tersebut berfokus pada perubahan dari sampah menjadi barang berharga. Mereka berbagi pengalamannya sebagai peneliti muda dan perubahan yang telah mereka lakukan di komunitas mereka. Presenter terakhir, yaitu Dilbert Thimoty Tansania, siswa SMP Santa Maria Assumpta – Kupang, menyajikan pemikirannya dalam sesi yang berjudul “Bridging Perspectives of Friends and Parents for Student Well-being in an Inclusive“. Dilbert memaparkan proyeknya yang bertujuan untuk memahami dan merangkul siswa berkebutuhan khusus di sekolah inklusif. Ia berbicara tentang temuan dan perubahan yang dihasilkan dari proyek photovoice mereka. Pada akhir setiap sesi presentasi dilanjutkan dengan diskusi yang dipandu oleh para penanggap yaitu Dr. Elga Andriana, Dr. Indra Yohanes Kiling, dan Yohana Berliana Marpaung. Diskusi ini memberikan kesempatan kepada peserta untuk bertanya, berbagi ide, dan berkolaborasi.

Acara mencapai puncaknya pada sesi tanya jawab dengan para peserta. Pertanyaan dari peserta dijawab oleh para presenter dan penanggap dengan memperdalam pemahaman mengenai topik-topik yang telah dibahas. Pada akhir acara, Policy and Planning Specialist SEAMEO, Emiljohn Columna Sentillas, memberikan penutup yang merangkum inti dari acara tersebut. Beliau menyampaikan apresiasi kepada para pembicara, peserta, dan seluruh panitia yang telah berkontribusi dalam menyukseskan acara ini. Selain itu, beliau juga memberikan arahan untuk melanjutkan semangat kolaborasi dan inovasi dalam dunia pendidikan. Semua sesi disampaikan dalam bahasa Indonesia, dengan terjemahan bahasa Inggris yang juga disediakan oleh pihak penyelenggara.Penelitian “Our (photo)Voice: Children and Young People’s Joint Action Research on Student Wellbeing for All” memberikan kesempatan bagi anak-anak, termasuk anak-anak disabilitas dan anak-anak dari komunitas lokal, untuk berperan sebagai peneliti muda dalam memahami kesejahteraan mereka di lingkungan masing-masing. Melalui metode photovoice, peneliti muda dapat mengidentifikasi permasalahan kesejahteraan mereka serta memberikan saran rencana tindakan yang dapat diimplementasikan secara kolaboratif antara anak, guru, dan orang tua.

Small voice, big impact: Young Researchers Act on Enhancing Student’s Well-being

SAELA Friday, 2 February 2024

On October 2, 2023, our young researchers presented their impactful findings to school authorities, uncovering concerns shared by both special needs and typical students. The issues ranged from bullying to the desire for more extracurricular activities. Aligned with the young researchers’ insights, teachers acknowledged the need for action. A month later, on December 18, 2023, the school initiated training for the new student council, focusing on organizational skills and discipline. Inspired by the young researchers, the school took a stand against bullying by imposing sanctions. On December 20, 2023, the young researchers received psychoeducation on sexual harassment prevention, proactively sharing information through booklets and wall magazines to foster a safer and healthier school environment.

From Presentation to Change: Child Researchers Influence School Regulations

SAELA Friday, 2 February 2024

On September 22, 2023, our child researchers from Yogyakarta presented their research findings in front of their teachers and school foundation officials. During the presentation, the child researchers emphasized statements from special needs students who conveyed discomfort with the presence of their parents or family members as shadow teachers during class activities. This prompted a discussion involving the child researchers, mentors, and school authorities on the most effective practices to address the issue.

Derived from the outcomes of the discussion, the school authorities then amended school regulations regarding the accompaniment of family members in the school setting. Beginning in October 2023, the revised regulation prohibited higher-grade students (grades 4-6) from being accompanied by parents or family members during class activities.

On January 2, 2024, which was three months after the implementation of the new regulation, our child researchers conducted a follow-up assessment to inquire about the impact of the regulation on the students through simple interviews. The results have shown positive outcomes. Students have shared that they experience heightened happiness and comfort in the modified learning environment. The newfound independence has empowered them to explore and learn autonomously. Significantly, students have expressed a strong desire for the ongoing implementation of this regulatory adjustment in the future.

123

Recent Posts

  • Mendidik Anak dengan Bahasa Cinta
  • Eco-Conscious Parenting: Menumbuhkan Praktik Berkelanjutan pada Perkembangan Anak
  • Memahami Pendidikan untuk Pembangunan Berkelanjutan di Kedai Kopi
  • Membangun Kembali Kegembiraan: Pentingnya Bermain Bagi Kesejahteraan Mental Bagi Masyarakat
  • Keterlibatan Ayah pada Pengasuhan Anak Usia Dini
Universitas Gadjah Mada

Center for Life-Span Development (CLSD)
D-602, Fakultas Psikologi, Universitas Gadjah Mada
Jalan Sosio Humaniora Bulaksumur, Yogyakarta, Indonesia 55281
clsd.psikologi@ugm.ac.id

© Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY

[EN] We use cookies to help our viewer get the best experience on our website. -- [ID] Kami menggunakan cookie untuk membantu pengunjung kami mendapatkan pengalaman terbaik di situs web kami.I Agree / Saya Setuju