• Home
  • About Us
    • Managing Team
    • Researchers
    • Interns
    • Associates
  • Articles
  • Courses
  • Activities
    • CLSD Reader’s Club
    • Research of Baby Screening
    • COMPRE Class
    • Summer Course
    • Photovoice
    • SAELA
    • Community Service
  • Research & Publication
Universitas Gadjah Mada Center for Life-Span Development (CLSD)
Faculty of Psychology
Universitas Gadjah Mada
  • Home
  • About Us
    • Managing Team
    • Researchers
    • Interns
    • Associates
  • Articles
  • Courses
  • Activities
    • CLSD Reader’s Club
    • Research of Baby Screening
    • COMPRE Class
    • Summer Course
    • Photovoice
    • SAELA
    • Community Service
  • Research & Publication
  • Beranda
  • SDGs
  • SDGs
Arsip:

SDGs

Eco-Conscious Parenting: Menumbuhkan Praktik Berkelanjutan pada Perkembangan Anak

ArtikelArtikel Thursday, 8 May 2025

Oleh: Arifatul Alawiyah | Penyunting: Fakhirah Inayaturrobbani S.Psi, M.A

Saat ini, komitmen kuat dalam menjaga keberlanjutan lingkungan mulai menjadi sebuah trend dalam tatanan masyarakat yang tercermin pada berbagai aspek kehidupan. Tidak terbatas pada kebijakan pemerintah maupun aksi global, peningkatan kepedulian terhadap isu lingkungan terjadi di berbagai lapisan masyarakat, termasuk dalam komunitas keluarga. Tekanan dari budaya konsumsi global serta kesadaran akan risiko lingkungan mendorong terjadinya perubahan dalam praktik pangasuhan secara luas (Shrum dkk., 2023). Sebagai bagian dari upaya membentuk generasi yang lebih peduli terhadap keberlanjutan, banyak keluarga mulai beralih untuk menerapkan konsep baru terkait pola asuh yang disebut eco-conscious parenting.

Eco-conscious parenting muncul sebagai suatu konsep penting yang menawarkan pendekatan pengasuhan modern yang memperhatikan keseimbangan antara aspek perkembangan anak yang sehat dan kelestarian lingkungan. Sebuah penelitian membuktikan efektifitas praktik keluarga yang menerapkan gaya hidup ramah lingkungan secara signifikan berkontribusi terhadap pola konsumsi energi yang lebih bijaksana (Wang dkk., 2022). Pada pola asuh ini, orangtua tidak hanya menjalankan gaya hidup berkelanjutan, tetapi juga melibatkan anak dalam praktik-praktik kegiatan berkelanjutan seperti mengurangi penggunaan plastik, mempromosikan daur ulang, menggunakan produk organik, dan memperkenalkan kegiatan berbasis alam sejak usia dini (Hosany dkk., 2022). Penelitian juga menunjukkan bahwa eco-conscious parenting mampu mendorong anak-anak untuk lebih memahami hubungannya dengan alam dan menyadarkan pentingnya menjaga sumber daya alam demi masa depan yang lebih aman dan sehat (Auriffeille & Fleming, 2022; Shrum dkk., 2023). 

Lebih dari sekedar gaya hidup, pendekatan eco-conscious parenting ternyata mampu membentuk nilai-nilai dasar keluarga seperti tanggung jawab, empati, dan kesadaran sosial. Proses modeling dan melibatkan anak dalam kegiatan peduli lingkungan memungkinkan anak untuk menginternalisasi nilai, mengasah sensitivitas terhadap isu, dan membiasakan anak untuk mempertimbangkan aspek lingkungan dalam setiap pengambilan keputusan di masa depan (Barreto dkk., 2014). Sebuah penelitian menunjukkan bahwa anak yang terlibat dalam kegiatan peduli lingkungan cenderung akan memiliki pemahaman yang lebih baik terhadap dampak lingkungan dan merasa lebih bertanggung jawab terhadap keberlanjutan (UNICEF, 2024). Selain itu, aspek keterhubungan antara manusia-alam dalam konsep ini mampu meningkatkan rasa empati anak, baik terhadap sesama manusia maupun makhluk hidup lainnya, sehingga memperluas kemampuan anak untuk lebih peduli dan mampu bekerja sama (Hosany dkk., 2022). Kesadaran sosial juga mampu tercipta ketika anak mulai memahami implikasi global dari perilaku lokal terhadap ekosistem dunia. Tidak hanya membuat anak lebih berwawasan luas, pendekatan ini juga mampu memperkuat karakter anak yang lebih peduli pada kebutuhan masyarakat dan lingkungan (UNICEF, 2024).

Disisi lain, perkembangan penelitian juga telah menunjukkan kontribusi konsep eco-conscious parenting dalam mendukung kesejahteraan psikologis orangtua maupun anak. Perasaan berkontribusi positif terhadap kondisi lingkungan global dari praktik berkelanjutan mengakibatkan adanya perasaan terpenuhi dan cenderung kurang cemas orangtua (Kaligis dkk., 2024). Selain itu, penelitian menunjukkan bahwa anak yang terlibat dalam kegiatan berbasis alam, seperti berkebun atau eksplorasi alam bebas, memiliki tingkat stres yang lebih rendah, peningkatan kebahagiaan,  dan perkembangan kognitif yang lebih baik (Arola dkk., 2023). Merujuk pada teori restorative environment oleh Kaplan (dalam Liu dkk., 2024), interaksi dengan alam memberikan efek pemulihan psikologis yang kuat melalui sensasi pengalaman menenangkan dan pemulihan perhatian yang lelah akibat stress. Melalui eco-conscious parenting, interaksi positif orangtua-anak memperbesar terciptanya pengalaman bermakna yang positif sehingga berupa aktivitas menjaga lingkungan akan mampu menciptakan ikatan emosional yang aman (secure attachment). Adanya interaksi positif yang bermakna tersebut kemudian dapat membantu orangtua-anak mengembangkan kemampuan regulasi emosi yang lebih baik, memperkuat daya tahan mental mereka terhadap stres, serta menghasilkan kesehatan mental yang lebih baik secara keseluruhan (Spence dkk., 2022). 

Meskipun masih menghadapi banyak tantangan, namun potensi pengembangan eco-conscious parenting bukanlah sesuatu yang mustahil di Indonesia. Didukung oleh modal sosial budaya yang ada seperti realitas krisis lingkungan yang mulai terasa dampaknya, adanya nilai-nilai tradisional yang menghargai alam, program edukasi pemerintah, serta kemudahan akses literasi digital mampu berfungsi sebagai landasan yang kuat bagi orang tua untuk menanamkan nilai-nilai keberlanjutan pada anaknya. Untuk memaksimalkan potensi tersebut, diperlukan program edukasi dan motivasi berkelanjutan agar perilaku ramah lingkungan dapat muncul secara konsisten. Penelitian menunjukkan bahwa intervensi seperti kampanye publik dan integrasi edukasi lingkungan di sekolah secara efektif mendorong perilaku pro lingkungan dalam keluarga (Sihvonen dkk., 2024; Stapleton dkk., 2022). Dengan dorongan tepat, Indonesia berpotensi menciptakan generasi baru yang peduli terhadap kelestarian lingkungan dan mewariskan nilai keberlanjutan bagi masa depan.

Berdasarkan penjelasan di atas menunjukkan bahwa melalui aspek pengasuhan, adopsi konsep eco-conscious parenting mampu menjadi investasi yang keberlanjutan dan menjanjikan untuk masa depan. Dalam menghadapi tantangan global terkait krisis iklim yang terjadi, eco-conscious parenting terbukti mampu membekali anak dengan keterampilan dan nilai-nilai yang diperlukan dalam menghadapi tantangan global. Tidak hanya mampu memberikan kontribusi dalam membangun generasi masa depan yang lebih sadar dan bertanggung jawab terhadap isu keberlanjutan lingkungan, penerapan eco-conscious parenting mampu memperkuat fondasi kesejahteraan anak disamping orangtua yang mengimplementasikan konsep tersebut secara praktis di masa kini. Oleh karena itu, promosi eco-conscious parenting kepada publik direkomendasikan dengan target capaian agar mampu menciptakan budaya tatanan keluarga yang responsif dalam menjawab masalah global terkait kesejahteraan keluarga dan keberlanjutan lingkungan.

Referensi

Arola, T., Aulake, M., Ott, A., Lindholm, M., Kouvonen, P., Virtanen, P., & Paloniemi, R. (2023). The impacts of nature connectedness on children’s well-being: Systematic literature review. Journal of Environmental Psychology, 85, 101913. https://doi.org/10.1016/j.jenvp.2022.101913

Auriffeille, D. M., & Fleming, C. (2022). Parenting for Environmental Change. Contexts, 21(1), 26–31. https://doi.org/10.1177/15365042221083007

Barreto, M. L., Szóstek, A., Karapanos, E., Nunes, N. J., Pereira, L., & Quintal, F. (2014). Understanding families’ motivations for sustainable behaviors. Computers in Human Behavior, 40, 6–15. https://doi.org/10.1016/j.chb.2014.07.042

Hosany, A. R. S., Hosany, S., & He, H. (2022). Children sustainable behaviour: A review and research agenda. Journal of Business Research, 147, 236–257. https://doi.org/10.1016/j.jbusres.2022.04.008

Kaligis, F., Wangge, G., Fernando, G., Palguna, I. B. N. A., Pramatirta, B., & Purba, N. V. T. (2024). Breaking the silence: Unveiling the intersection of climate change and youth mental health in Indonesia. Medical Journal of Indonesia, 32(4), 249–253. https://doi.org/10.13181/mji.bc.247147

Liu, Y., Zhang, J., Liu, C., & Yang, Y. (2024). A Review of Attention Restoration Theory: Implications for Designing Restorative Environments. Sustainability, 16(9), Article 9. https://doi.org/10.3390/su16093639

Shrum, T. R., Platt, N. S., Markowitz, E., & Syropoulos, S. (2023). A scoping review of the green parenthood effect on environmental and climate engagement. WIREs Climate Change, 14(2), e818. https://doi.org/10.1002/wcc.818

Sihvonen, P., Lappalainen, R., Herranen, J., & Aksela, M. (2024). Promoting Sustainability Together with Parents in Early Childhood Education. Education Sciences, 14(5), 541. https://doi.org/10.3390/educsci14050541

Spence, R., Kagan, L., Nunn, S., Bailey‐Rodriguez, D., Fisher, H. L., Hosang, G. M., & Bifulco, A. (2022). The moderation effect of secure attachment on the relationship between positive events and wellbeing. Psych Journal, 11(4), 541–549. https://doi.org/10.1002/pchj.546

Stapleton, A., McHugh, L., & Karekla, M. (2022). How to Effectively Promote Eco-Friendly Behaviors: Insights from Contextual Behavioral Science. Sustainability, 14(21), 13887. https://doi.org/10.3390/su142113887

Wang, J., Long, R., Chen, H., & Li, Q. (2022). How do parents and children promote each other? The impact of intergenerational learning on willingness to save energy. Energy Research & Social Science, 87, 102465. https://doi.org/10.1016/j.erss.2021.102465

UNICEF. (2024). Engaging Youth on Climate Change & Environmental Sustainability. India: UNICEF. https://clearinghouse.unicef.org/download-ch-media/43e8c5b0-9a48-4990-95b8-b147d8a066d4

Memahami Pendidikan untuk Pembangunan Berkelanjutan di Kedai Kopi

ArtikelArtikel Monday, 21 April 2025

Oleh: Olyn Silvania | Penyunting: Rahma Ayuningtyas Fachrunisa, S.Psi., M.Psi., Psikolog

Dan Schechtman, seorang peraih penghargaan Nobel pada bidang kimia tahun 2011 pernah berkata, “Pembangunan berkelanjutan membutuhkan kecerdasan manusia, sehingga manusia adalah sumber daya terpenting.” Perkataan tersebut mengarah pada pentingnya mencapai Sustainable Development Goals (SDG-4) Pendidikan yang Berkualitas (SDGS Bappenas, n.d.). Oleh karena itu, pemerintah, institusi pendidikan, organisasi non-pemerintah, pemilik usaha, komunitas, dan influencer perlu berkontribusi dalam menerapkan pendidikan untuk pembangunan berkelanjutan atau education for sustainable development (ESD) (UNESCO, 2024). 

ESD merupakan pendidikan yang mendorong pengetahuan, keterampilan, nilai-nilai, sikap, dan bahkan kemampuan masyarakat agar mampu mengatasi tantangan global seperti perubahan iklim, hilangnya keanekaragaman hayati, penggunaan sumber daya yang tidak berkelanjutan, dan kesenjangan (UNESCO, 2024). ESD adalah proses belajar sepanjang hayat (Segara, 2013), sehingga penerapannya perlu melibatkan 1) Dimensi kognitif yakni meningkatkan kemampuan berpikir dan memahami informasi; 2) Dimensi sosioemosional yakni membangun keterampilan bersosialisasi, berempati, dan kecerdasan emosional; dan 3) Dimensi perilaku yakni mendorong tindakan atau masyarakat yang positif (UNESCO, 2024).

ESD tidak hanya terbatas pada institusi pendidikan, tetapi juga dapat dilakukan di kedai kopi. Data dari Organisasi Kopi Dunia mencatat bahwa Indonesia merupakan produsen kopi terbesar kedua di Asia dan Oseania setelah Vietnam. Dalam rentang tahun 2022 hingga 2023, produksi kopi di Indonesia meningkat sebesar 2,4% (12 juta kantong) (Pressrelease.id, n.d.). Meningkatnya produksi kopi di Indonesia berdampak dengan makin menjamurnya kedai kopi di Indonesia.Sudah bukan rahasia umum lagi bahwa kedai kopi telah menjadi destinasi favorit berbagai kalangan usia, khususnya kaum muda. Hasil survei dari GoodStats (2024) terhadap 1.005 responden yang mayoritas berusia 18-24 tahun (43,7%) menunjukkan bahwa 66% responden di antaranya memilih untuk membeli kopi di kedai kopi daripada menyeduh kopi sendiri (34%). Bagi kaum muda, kedai kopi bukan hanya sekedar tempat untuk menikmati secangkir kopi, tetapi juga menjadi sarana kaum muda melepaskan rasa penat dari rutinitas harian dengan cara bersosialisasi dengan teman sebaya (Maspul, 2024). 

Sebagai salah satu destinasi favorit kaum muda, bisnis kedai kopi memiliki posisi penting dalam mempromosikan ESD kepada kaum muda. Hal ini dikarenakan kaum muda, khususnya mahasiswa dianggap sebagai pihak yang berkepentingan terhadap lingkungan hidup dan pengambil keputusan yang potensial di masa depan (Hamid dkk., 2017; Swaim dkk., 2014), sehingga menjadi kelompok usia yang menjadi fokus utama UNESCO untuk diberdayakan (UNESCO, 2024). Dengan demikian, kedai kopi yang mempromosikan ESD terhadap kaum muda berkontribusi dalam mendukung kaum muda untuk memenuhi tugas perkembangannya sebagai dewasa awal (18-40 tahun) yakni menjadi warga negara yang bertanggungjawab (Hurlock, 2009) dengan mengambil tindakan yang peduli terhadap keberlangsungan planet bumi baik secara individual maupun kolektif Lantas, apa saja yang dapat dilakukan oleh pemilik kedai kopi untuk mempromosikan ESD kepada kaum muda?

Mempromosikan perilaku pro-lingkungan (pro-enviromental behavior) dengan membuat sistem kedai kopi yang ramah lingkungan 

Pemilik kedai kopi dapat mendorong perilaku kaum muda yang positif dengan cara mempromosikan perilaku pro-lingkungan yang merupakan salah satu penerapan gaya hidup berkelanjutan, yakni perilaku manusia yang meminimalkan degradasi lingkungan sembari mendukung pembangunan sosial ekonomi yang adil dan kualitas hidup manusia yang lebih baik (UN Environment Programme. n.d.). 

Promosi perilaku pro-lingkungan dapat dilakukan dengan membuat sistem kedai kopi yang ramah lingkungan, seperti menggunakan lampu LED agar lebih hemat listrik, menyediakan tempat sampah organik dan anorganik, menyajikan minuman dan makanan ke dalam wadah berbahan kaca, menggunakan bahan baku organik, dan menggunakan sedotan yang bisa digunakan kembali, meminimalisir penggunaan pendingin ruangan agar lebih hemat energi, dan bahkan mendesain kedai kopi dengan memanfaatkan bahan alam (Jo dkk., 2019; Maspul dkk., 2024). Selain beberapa cara tersebut, kedai kopi juga menunjukkan apresiasi dengan cara memberikan potongan harga kepada kaum muda yang menunjukkan perilaku yang ramah lingkungan, seperti membawa tumbler sendiri

Memberikan edukasi kepada kaum muda mengenai penerapan perilaku pro-lingkungan 

Pemilik kedai kopi dapat meningkatkan pengetahuan sekaligus kemampuan berpikir dan memahami informasi kaum muda dengan aktif memberikan edukasi. Dalam hal ini, pemilik kedai kopi dapat membagikan informasi melalui workshop, seminar, dan konten edukatif di media sosial mengenai bagaimana membuat konsep atau sistem kedai kopi yang lebih ramah lingkungan, mengelola sampah, mendaur ulang barang yang tidak mudah didaur ulang, dan memilih dan mengelola biji kopi yang organik (Mair & Laing, 2013). Edukasi juga dapat dilakukan dengan diskusi bulanan mengenai isu-isu lingkungan, sehingga kaum muda dapat saling bertukar pikiran dan pendapat. 

Mendorong perilaku altruistik dan perilaku yang setara 

Gaya hidup berkelanjutan bertujuan untuk mempromosikan kesejahteraan umat manusia (Di Fabio, 2017). Oleh karena itu, pendidikan untuk pembangunan berkelanjutan di kedai kopi perlu mengembangkan kemampuan bersosialisasi, berempati, dan kecerdasan emosi pada kaum muda. Pemilik kedai kopi dapat mendorong kaum muda untuk melakukan perilaku altruistik, seperti mengajak kaum muda untuk membeli menu spesial yang dibuat oleh petani kopi lokal, ikut serta dalam kampanye terkait isu lingkungan, dan brdonasi. Selain itu, pemilik kedai kopi juga dapat mengedukasi kaum muda terkait perilaku yang setara, yakni perilaku yang menunjukkan keadilan kepada orang lain, seperti menyediakan fasilitas yang ramah disabilitas, anak-anak, dan ibu hamil (Verdugo, 2012). 

Referensi

Di Fabio, A. (2017). The psychology of sustainability and sustainable development for well being in organizations. Frontiers in Psychology, 8, 1534. https://doi.org/10.3389/fpsyg.2017.01534 

Good Stats. (2024). Hasil survei pola konsumsi kopi orang Indonesia di tahun 2024. Goodstats. 

Hamid S., TahaIjab M., Sulaiman H., Anwar R.M., Norman AA (2017). Social media for environmental sustainability awareness in higher education. Int J Sustain High Educ, 18(4), 474–491

Hurlock, E. B. (2009). Psikologi perkembangan: Suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan. Erlangga. 

Jo, H., Song, C., &  Miyazaki, Y. (2019). Physiological benefits of viewing nature: A systematic review of indoor experiments. International Journal of Environmental Research and Public Health, 16(23), 4739.

Mair, J., & Laing, J. H. (2013). Encouraging pro-environmental behaviour: The role of sustainability-focused events. Journal of Sustainable Tourism, 21(8), 1113-1128.

Maspul, K. A. (2024). Exploring the relationship between coffee shop visitors’ coping strategies and well-being. Jurnal Psikologi, 1 (2), 1-13. https://doi.org/10.47134/pjp.v1i2.2028

Pressrelease.id. (n.d.). Tren industri kopu masa depan: Keberlenjutan bisnis hingga keberlanjutan lingkungan. https://pressrelease.kontan.co.id/news/trend-industri-kopi-masa-depan-keberlanjutan-bisnis-hingga-keberlanjutan-lingkungan

SDGS Bappenas. (n.d.). SDGs 4 Pendidikan berkualitas. Bappenas. Diunduh pada 28 Agustus 2024.  https://sdgs.bappenas.go.id/17-goals/goal-4/

Segara, N., B. (2015). Education  for  sustainable  development (ESD) Sebuah upaya mewujudkan kelestarian lingkungan. SOSIO DIDAKTIKA: Social Science Education Journal, 2(1), 2015, 22-30. https://doi.org/10.15408/sd.v2i1.1349

Swaim J. M. M., Napshin S, & Henley A (2014) Influences on student

intention and behavior toward environmental sustainability.Journal of Business Ethics. 124(3), 465–484

UN Environment Programme (n.d.). Gaya hidup berkelanjutan. UN Envrironment Programme. Diunduh pada 30 Agustus 2024. https://www.unep.org/explore-topics/resource-efficiency/what-we-do/sustainable-lifestyles 

UNESCO. (May 30, 2024). What you need to know about education for sustainable development. UNESCO. https://www.unesco.org/en/sustainable-development/education/need-know?hub=72522 Verdugo, V. (2012). The positive psychology of sustainability. Environment, Development and Sustainability, 14, 651-666. https:/doi.org/10.1007/s10668-012-9346-8

Membangun Kembali Kegembiraan: Pentingnya Bermain Bagi Kesejahteraan Mental Bagi Masyarakat

ArtikelArtikel Thursday, 20 March 2025

Oleh: Lana Savira Kusuma Dewi | Penyunting: Fakhirah Inayaturrobbani S.Psi, M.A

Di tengah percepatan dunia digital, masyarakat modern sering terjebak dalam rutinitas kaku dan tekanan pekerjaan yang tinggi sehingga perlahan kehilangan keseimbangan antara produktivitas dan kebahagiaan (Gupta, 2023). Rutinitas yang kaku serta minimnya ruang untuk bermain dapat memicu stres dan menurunkan kesejahteraan mental (Kirkham et al., 2022)—merujuk pada kesejahteraan emosional, psikologis, dan sosial seseorang yang memengaruhi cara berpikir, berperasaan, dan bertindak dalam menjalani kehidupan (Gautam et al., 2024). Oleh sebab itu, perlu menciptakan masyarakat yang lebih playful. Bukan hanya menambah waktu luang untuk bersenang-senang, tetapi menciptakan keseimbangan antara pekerjaan dan waktu luang. Dengan memberi ruang untuk bermain dalam kehidupan sehari-hari, kita bukan hanya membantu meningkatkan kesehatan mental individu tetapi juga membentuk masyarakat yang lebih sehat, sejahtera, dan bahagia secara keseluruhan. Artikel ini akan membahas pentingnya peran bermain dalam kehidupan sehari-hari, upaya kolektif yang dapat kita lakukan, serta mengapa perubahan ini mendesak untuk meningkatkan kesejahteraan mental.

Meskipun manfaat bermain berkelindan dengan kesehatan mental individu, masyarakat modern sering kali mengabaikan pentingnya aktivitas ini, terutama orang dewasa. Kehidupan yang sangat terstruktur—di mana setiap jam dipenuhi dengan tugas dan tanggung jawab—menyisakan sedikit ruang untuk kegiatan yang hanya dimaksudkan untuk kesenangan. Dalam konteks psikologi perkembangan, bermain tidak hanya relevan bagi anak-anak, tetapi juga memiliki peran signifikan dalam mendukung kesehatan mental dan sosial di setiap tahap kehidupan manusia (Shen & Masek, 2023).

Pada masa bayi dan anak-anak, bermain menjadi sarana utama untuk belajar dan mengeksplorasi dunia. Aktivitas bermain membantu perkembangan kognitif, motorik, dan sosial, seperti yang dijelaskan oleh Piaget (Shakhobiddinovna, 2022). Bermain simbolis, misalnya, mendukung kemampuan anak dalam memecahkan masalah dan memahami perspektif orang lain (Creaghe & Kidd, 2022). Anak-anak yang memiliki akses ke permainan cenderung menunjukkan perkembangan emosi yang lebih stabil dan kemampuan sosial yang lebih baik. 

Saat memasuki masa remaja, bermain berubah menjadi aktivitas yang lebih terstruktur, seperti olahraga atau permainan kelompok. Aktivitas ini membantu remaja mengembangkan identitas, mengelola emosi, dan membangun hubungan sosial yang mendalam (Chasciar, 2024). Bermain juga menjadi cara penting untuk menyalurkan energi dan mengurangi tekanan akademik serta sosial yang sering dialami di usia ini.

Pada masa dewasa, bermain tetap relevan, meskipun sering kali dipandang tidak penting. Bagi orang dewasa, bermain memberikan peluang untuk mengekspresikan diri, membangun koneksi sosial, dan menjaga keseimbangan emosional. Esposito (2023) menyoroti bahwa bermain bagi orang dewasa membantu mengurangi stres, meningkatkan kreativitas, dan memperkuat hubungan interpersonal. Aktivitas seperti permainan rekreasional, olahraga, atau kegiatan seni dapat menjadi cara efektif untuk mendukung kesehatan mental dan mencegah kelelahan emosional.

Bahkan pada tahap lansia, bermain tetap memiliki manfaat yang signifikan. Aktivitas seperti permainan puzzle, olahraga ringan, atau permainan kelompok dapat meningkatkan fungsi kognitif dan memperlambat proses penurunan mental yang berkaitan dengan penuaan (Pitayanti & Umam, 2023). Bermain juga dapat memperkuat hubungan sosial di kalangan lansia, yang membantu mengurangi rasa kesepian dan isolasi.

Dengan memahami peran bermain di setiap tahap perkembangan, kita dapat melihat bahwa bermain bukan hanya aktivitas untuk anak-anak tetapi merupakan kebutuhan mendasar manusia sepanjang hidup. Oleh karena itu, membangun lingkungan yang mendukung aktivitas bermain, baik melalui kebijakan publik, perencanaan kota, maupun perubahan persepsi sosial, merupakan langkah penting untuk mendukung perkembangan manusia secara holistik dan menciptakan masyarakat yang lebih sejahtera.

Untuk mengatasi kurangnya budaya bermain, diperlukan upaya yang terencana dan berbasis kebijakan serta komunitas. Pertama, pemerintah dan institusi dapat mendorong kebijakan yang mendukung waktu bermain, seperti fleksibilitas jam kerja bagi karyawan dan penambahan waktu istirahat untuk siswa di sekolah. Kebijakan ini akan memberikan ruang yang lebih memadai untuk aktivitas non-produktif yang dapat mengurangi stres dan meningkatkan kesejahteraan. Kedua, pengembangan infrastruktur publik menjadi langkah penting. Perencanaan kota harus memasukkan pembangunan taman, fasilitas olahraga, dan ruang publik lainnya yang dirancang untuk mendukung aktivitas bermain yang inklusif dan mendorong interaksi sosial. Ketiga, budaya bermain dapat diperkuat melalui kegiatan yang diintegrasikan dalam kehidupan sehari-hari, seperti tradisi bermain keluarga atau acara permainan berbasis komunitas. Strategi ini memungkinkan aktivitas bermain menjadi bagian yang melekat dalam rutinitas masyarakat. Dengan langkah-langkah yang sistematis ini, kita dapat membangun kembali budaya bermain yang tidak hanya bermanfaat bagi individu tetapi juga mendukung kesejahteraan sosial secara kolektif.

Bermain adalah elemen esensial dalam perjalanan hidup manusia yang mencakup semua tahap perkembangan, dari kanak-kanak hingga usia lanjut. Dalam konteks psikologi perkembangan, bermain tidak hanya menjadi sarana eksplorasi dan pembelajaran, tetapi juga kunci untuk menjaga keseimbangan emosional, memperkuat koneksi sosial, dan meningkatkan kualitas hidup. Namun, perubahan gaya hidup modern yang serba cepat telah menyisihkan peran bermain, menciptakan tekanan yang berdampak buruk pada kesehatan mental dan sosial. Oleh karena itu, mengintegrasikan kembali budaya bermain melalui kebijakan pendukung, infrastruktur publik yang inklusif, dan kebiasaan bermain dalam kehidupan sehari-hari adalah langkah mendesak. Dengan menjadikan bermain sebagai bagian integral dari rutinitas, kita dapat membangun masyarakat yang lebih sehat, bahagia, dan seimbang, sekaligus memastikan kesejahteraan manusia terjaga sepanjang hayat.

Referensi

Chasciar, V. (2024). Improving social competences through sport: an exploration of the educational role of physical activity in adolescent development. Journal Plus Education, 35(1), 130–136. https://doi.org/10.24250/JPE/1/2024/VC/

Creaghe, N., & Kidd, E. (2022). Symbolic play as a zone of proximal development: An analysis of informational exchange. Social Development, 31(4), 1138–1156. https://doi.org/10.1111/SODE.12592

Esposito, E. (2024). Order of play – disorder of the world. Into the Magic Circle, 1(1), 1–8. https://doi.org/10.26116/1HRB-TH63

Gautam, S., Jain, A., Chaudhary, J., Gautam, M., Gaur, M., & Grover, S. (2024). Concept of mental health and mental well-being, it’s determinants and coping strategies. Indian Journal of Psychiatry, 66, S231–S244. https://doi.org/10.4103/INDIANJPSYCHIATRY.INDIANJPSYCHIATRY_707_23

Gupta, R. (2023). Impact of Work on Emotional Well-being : Results of a Survey of NHS Employees from a Minority Ethnic background. Sushruta Journal of Health Policy & Opinion, 15(3), 1–7. https://doi.org/10.38192/15.3.3

Kirkham, E. J., Lawrie, S. M., Crompton, C. J., Iveson, M. H., Jenkins, N. D., Goerdten, J., Beange, I., Chan, S. W. Y., McIntosh, A., & Fletcher-Watson, S. (2022). Experience of clinical services shapes attitudes to mental health data sharing: findings from a UK-wide survey. BMC Public Health, 22(1), 1–12. https://doi.org/10.1186/S12889-022-12694-Z/FIGURES/2

Pitayanti, A., & Umam, F. N. (2023). Efektivitas permainan puzzle  terhadap upaya peningkatan kognitif  pada lansia. Jurnal Penelitian Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Nahdlatul Ulama Tuban, 5(1). https://doi.org/10.47710/JP.V5I1.206

Shakhobiddinovna, R. S. (2024). The importance of play in the mental development of preschool children. International Journal of Advance Scientific Research , 04(04), 84–88. https://sciencebring.com/index.php/ijasr/article/view/725/691

Shen, X., & Masek, L. (2024). The playful mediator, moderator, or outcome? An integrative review of the roles of play and playfulness in adult-centered psychological interventions for mental health. The Journal of Positive Psychology. https://doi.org/10.1080/17439760.2023.2288955

Keterlibatan Ayah pada Pengasuhan Anak Usia Dini

ArtikelArtikel Friday, 21 February 2025

Oleh: Nur Diana Indrawati | Penyunting: Muhammad Ikbal Wahyu Sukron, S.Psi., M.A.

Akhir-akhir ini, jagat media sosial Indonesia sedang gandrung dengan edukasi pengasuhan anak. Menjamurnya akun media sosial tentang edukasi pengasuhan, seperti Tentang Anak, Parentalk.id, Rabbitholeid, dan Momscorner menjadikan ilmu pengasuhan semakin terjangkau bagi semua lapisan masyarakat. Salah satu topik yang sering dibahas akhir-akhir ini adalah mengenai perkembangan anak usia dini. Menjadi orang tua tidak dimulai ketika seorang anak lahir di dunia, tapi dimulai ketika perencanaan kehamilan. Fase kehamilan sampai fase anak usia dini merupakan dasar yang akan menjadi penentu keterampilan dan pembelajaran pada fase berikutnya sampai anak tumbuh dewasa, sehingga permasalahan perkembangan yang dialami pada fase usia dini akan memiliki efek multigenereasi (Black dkk., 2017).


UNICEF (2007) menyatakan bahwa perkembangan anak usia dini merupakan perkembangan dari fase prenatal sampai ke transisi menuju sekolah dasar (usia 7 tahun). Gupta dan Raut (2016) menambahkan bahwa 1000 hari pertama kehidupan merupakan masa yang paling krusial dalam perkembangan anak. Pengasuhan yang responsif dan nutrisi yang tercukupi pada 1000 hari pertama merupakan hal vital yang akan menentukan kesehatan dan kesejahteraan psikologis pada masa yang akan datang (Gupta & Raut, 2016). Menurut Black dkk. (2017), faktor yang mempengaruhi anak untuk mencapai potensi maksimal pada perkembangannya antara lain kesehatan, gizi, rasa aman, pengasuhan yang responsif dan pembelajaran sejak dini. Hal tersebut, salah satunya, bisa dipenuhi dengan memaksimalkan keterlibatan ayah dalam proses pengasuhan anak, yang akan berpengaruh positif pada perkembangan kognitif, bahasa, serta perilaku dan regulasi emosi pada anak (Wang dkk., 2022).


Sayangnya, beberapa penelitian menunjukkan bahwa keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak di beberapa negara berkembang masih rendah. Contohnya di pedesaan Pakistan, hanya sedikit ayah yang meluangkan waktu untuk bermain fisik dengan anak dan terlibat dalam pengasuhan anak (Maselko dkk., 2019). Selanjutnya pada penelitian yang dilakukan di 69 negara, ditemukan bahwa ibu melakukan aktivitas stimulasi pada anak usia dini jauh lebih banyak dibandingkan dengan ayah; bahkan ketika dibandingkan dengan orang dewasa lain yang berada di rumah, ayah ditemukan melakukan pengasuhan dengan porsi yang lebih sedikit (Evans & Jakiela, 2024).


Terdapat beberapa faktor penyebab kurangnya keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak usia dini, antara lain keterbatasan waktu di rumah, kurangnya pengetahuan terkait pengasuhan, serta sikap terhadap gender, seperti menganggap bahwa tugas mengasuh anak adalah tugas perempuan bukan laki-laki (Jeong dkk., 2023). Faktor lain yang memengaruhi keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak usia dini, yaitu keyakinan peran mereka (sebagai ayah, suami, atau pencari nafkah), gejala depresif yang dimiliki oleh ayah, kondisi temperamen anak, gender anak serta faktor sosio demografis, seperti ekonomi dan status pendidikan orang tua (Planalp & Braungart-Rieke, 2016).


Beberapa aktivitas yang bisa dilakukan ayah untuk meningkatkan keterlibatan pengasuhan anak usia dini berupa aktivitas didaktik, seperti menyanyi, membaca, bercerita, dan bermain bersama anak (Wang dkk., 2022). Hofferth (2003) menjelaskan bentuk keterlibatan ayah dalam pengasuhan dengan empat domain, yaitu waktu yang dihabiskan bersama anak, kehangatan (contohnya frekuensi memeluk anak dan memberi tahu anak bahwa mereka mencintainya), kontrol dan pengawasan (seperti penerapan aturan tentang kegiatan seperti makan dan belajar), serta tanggung jawab, yaitu sejauh mana orang tua, baik ayah maupun ibu, melakukan tugas memandikan anak, mendisiplinkan anak, mengantar anak, membeli pakaian untuk anak, dan bermain dengan anak.


Sejauh ini, dibandingkan intervensi yang diberikan kepada Ibu, intervensi untuk meningkatkan keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak usia dini masih terbatas. Beberapa penelitian yang mengidentifikasi intervensi untuk meningkatkan keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak usia dini, antara lain edukasi tentang perawatan pada bayi, memberi makan bayi, merawat ibu, serta memberikan dorongan dan dukungan terhadap praktik menyusui yang diberikan pada ayah bayi yang baru lahir di Kenya dapat meningkatkan pengetahuan para ayah (Dinga, 2019). Selanjutnya program COACHES (The Coaching Our Acting Out Children: Heightening Essential Skills), yaitu sebuah pelatihan tentang strategi pengasuhan yang diberikan selama enam minggu dan berhasil meningkatkan kalimat pujian dan menurunkan komunikasi negatif pada ayah yang memiliki anak dengan gangguan ADHD (Fabiano dkk., 2021).


Di Indonesia, salah satu gerakan keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak usia dini yang cukup masif adalah penggalakan program Ayah ASI yang diprakarsai oleh Shafiq Pontoh dan delapan ayah baru lain pada tahun 2011. Bentuk program dari gerakan ini antara lain edukasi, pusat pertolongan, dan juga media promosi mengenai keterlibatan ayah dalam proses menyusui (Riski, 2017). Gerakan tersebut diinisiasi oleh kegelisahan para pendiri akan minimnya pengetahuan mereka sebagai ayah bagi bayi mereka yang baru lahir.


Kegelisahan seperti ini yang perlu kita perhatikan bersama untuk memunculkan gerakan yang dapat meningkatkan keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak usia dini. Ayah seringkali berpikir bahwa tugas utamanya adalah mencari nafkah untuk keluarga. Namun tanpa disadari, pola pikir tersebut yang menjadikan mereka berpikir bahwa mengasuh anak merupakan tugas utama ibu. Di sisi lain, ibu juga jarang memberikan kesempatan bagi Ayah untuk terlibat dalam pengasuhan anak.


Proses pengasuhan yang optimal pada anak usia dini akan menentukan keberhasilan proses perkembangannya sampai usia dewasa. Dibutuhkan peran maksimal ayah dan ibu untuk menunjang keberhasilan pengasuhan anak usia dini. Beberapa faktor penyebab kurangnya keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak usia dini, antara lain karena kurangnya pengetahuan terkait pengasuhan, keyakinan terhadap peranan mereka, sikap terhadap gender, serta minimnya kesempatan yang diberikan pada ayah untuk terlibat dalam pengasuhan anak dini. Dengan demikian, penting bagi para ayah untuk meningkatkan pengetahuan terkait pengasuhan anak usia dini mengingat pentingnya peran ayah dalam pengasuhan anak usia dini.

Daftar Pustaka
Black, M. M., Walker, S. P., Fernald, L. C. H., Andersen, C. T., DiGirolamo, A. M., Lu, C., McCoy, D. C., Fink, G., Shawar, Y. R., Shiffman, J., Devercelli, A. E., Wodon, Q. T., Vargas-Barón, E., & Grantham-McGregor, S. (2017). Early childhood development coming of age: science through the life course. The Lancet, 389(10064), 77–90. https://doi.org/10.1016/S0140-6736(16)31389-7
Dinga, L. A. (2019). Effect of father-targeted nutrition education on feeding practices, nutritional status and morbidity among infants in Kisumu East, Kenya. Jomo Kenyatta University.
Fabiano, G. A., Schatz, N. K., Lupas, K., Gordon, C., Hayes, T., Tower, D., Soto, T. S., Macphee, F., Pelham, W. E., & Hulme, K. (2021). A school-based parenting program for children with attention-deficit/hyperactivity disorder: Impact on paternal caregivers. Journal of School Psychology, 86, 133–150. https://doi.org/10.1016/j.jsp.2021.04.002
Gupta, S., & Raut, A. (2016). Early childhood development: Maximizing the human potential. Frontiers in Social Pediatrics. https://doi.org/10.5005/jp/books/12773
Guswandi, F. A. (2021). School starting age and academic performance: An empirical study in Indonesia. Jurnal Perencanaan Pembangunan: The Indonesian Journal of Development Planning, 5(3), 344–362. https://doi.org/10.36574/jpp.v5i3.218
Herbst, M., & Strawiński, P. (2016). Early effects of an early start: Evidence from lowering the school starting age in Poland. Journal of Policy Modeling, 38(2), 256–271. https://doi.org/10.1016/j.jpolmod.2016.01.004
Hofferth, S. L. (2003). Race/ethnic differences in father involvement in two-parent families: Culture, context, or economy? Journal of Family Issues, 24(2), 185–216. https://doi.org/10.1177/0192513X02250087
Maselko, J., Hagaman, A. K., Bates, L. M., Bhalotra, S., Biroli, P., Gallis, J. A., O’Donnell, K., Sikander, S., Turner, E. L., & Rahman, A. (2019). Father involvement in the first year of life: Associations with maternal mental health and child development outcomes in rural Pakistan. Social Science and Medicine, 237, 112421. https://doi.org/10.1016/j.socscimed.2019.112421
Planalp, E. M., & Braungart-Rieker, J. M. (2016). Evidence from the ECLS-B. J Fam Psychol, 30(1), 135–146. https://doi.org/10.1037/fam0000156.Determinants
Riski, P. (2017). Fathers and Father Involvement in Indonesia : A Pilot Study Exploring the Community of Breastfeed-Supporthing Fathers (Ayah ASI). https://doi.org/10.13140/RG.2.2.10698.79042
Wang, L., Li, H., Dill, S. E., Zhang, S., & Rozelle, S. (2022). Does paternal involvement matter for early childhood development in rural China? Applied Developmental Science, 26(4), 741–765. https://doi.org/10.1080/10888691.2021.1990061

Kader Hebat, Anak Bahagia: Pelatihan Stimulasi Sosioemosional pada Anak Usia Dini untuk Kader Bina Keluarga Balita di Gunungkidul

Event Friday, 3 January 2025

Pada Selasa, 23 Juli 2024, Center for Life-Span Development (CLSD) Fakultas Psikologi UGM mengadakan pelatihan “Stimulasi Sosioemosional pada Anak Usia Dini” di Padukuhan Jambu, Giricahyo, Purwosari, Gunungkidul. Acara ini merupakan kolaborasi antara CLSD dengan perwakilan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) DIY dan dihadiri oleh 25 peserta, termasuk Kader Bina Keluarga Balita (BKB) PUSPAMEKAR dan beberapa orang tua setempat. Dian Mufitasari, S.Psi., M.Psi., Psikolog, dosen Fakultas Psikologi UGM menjadi narasumber utama pada acara pelatihan ini.

Pelatihan ini bertujuan untuk meningkatkan pemahaman dan keterampilan para kader Bina Keluarga Balita Holistik Integratif (BKB HI) dalam menstimulasi perkembangan sosioemosional anak usia dini. Harapannya, kader dapat mengaplikasikan ilmu yang didapatkan ke lingkungan sekitar mereka.

 “Kami ingin kader memiliki pemahaman yang mendalam tentang pentingnya stimulasi sosioemosional pada anak usia dini agar mampu memberikan dampak positif pada perkembangan anak,” ujar Dian Mufitasari, selaku narasumber utama dalam pelatihan ini.

Pelatihan dibuka dengan sosialisasi pengisian Kartu Kembang Anak (KKA) yang dipandu oleh perwakilan BKKBN DIY. Dalam sesi ini, para peserta diajak untuk mempelajari cara mengisi KKA sebagai instrumen untuk memonitor perkembangan anak. Selanjutnya, narasumber memberikan pemaparan materi mengenai pentingnya stimulasi sosioemosional serta metode-metode yang dapat diterapkan oleh para kader dan orang tua dalam mengembangkan kemampuan sosioemosional anak.

Setelah pemaparan materi, para peserta berkesempatan mempraktikkan secara langsung beberapa teknik stimulasi sosioemosional melalui suatu kegiatan membaca cerita bertajuk “Gajah yang Baik Hati”. Dalam sesi praktik ini, peserta belajar mengenali dan memberi nama emosi yang dirasakan orang lain serta mengekspresikan kepedulian terhadap sesama dengan menggunakan kartu bergambar emosi. Tidak hanya teori dan praktik, pelatihan ini juga dilengkapi dengan sesi sosialisasi mengenai metode monitoring keberhasilan pelatihan. Para peserta diminta untuk menerapkan materi yang telah dipelajari kepada komunitas masing-masing. Proses ini akan dimonitor oleh tim CLSD melalui grup WhatsApp dan peserta yang berhasil mengaplikasikan metode dengan baik akan mendapatkan penghargaan dalam bentuk kompetisi.

Sebagai penutup, peserta diminta mengisi refleksi tentang pelatihan yang telah dijalani. “Melalui refleksi ini, kami berharap peserta dapat menganalisis pengalaman mereka dan memahami sejauh mana pelatihan ini bermanfaat bagi mereka,” jelas Salsabila Salwa, co-trainer dalam pelatihan ini. Refleksi ini juga akan digunakan sebagai bahan evaluasi untuk meningkatkan kualitas pelatihan di masa mendatang.

Pelatihan stimulasi sosioemosional ini merupakan langkah nyata untuk memperkuat kapasitas kader dalam mengoptimalkan perkembangan anak usia dini. Dengan adanya kolaborasi antara CLSD Fakultas Psikologi UGM dan BKKBN DIY, diharapkan semakin banyak kader yang mampu menjadi agen perubahan di lingkungan mereka. Pelatihan ini juga menekankan pentingnya kolaborasi antara masyarakat, lembaga pendidikan, dan pemerintah dalam mewujudkan lingkungan yang mendukung tumbuh kembang anak secara optimal.

Recent Posts

  • Eco-Conscious Parenting: Menumbuhkan Praktik Berkelanjutan pada Perkembangan Anak
  • Memahami Pendidikan untuk Pembangunan Berkelanjutan di Kedai Kopi
  • Membangun Kembali Kegembiraan: Pentingnya Bermain Bagi Kesejahteraan Mental Bagi Masyarakat
  • Keterlibatan Ayah pada Pengasuhan Anak Usia Dini
  • Kader Hebat, Anak Bahagia: Pelatihan Stimulasi Sosioemosional pada Anak Usia Dini untuk Kader Bina Keluarga Balita di Gunungkidul
Universitas Gadjah Mada

Center for Life-Span Development (CLSD)
D-602, Fakultas Psikologi, Universitas Gadjah Mada
Jalan Sosio Humaniora Bulaksumur, Yogyakarta, Indonesia 55281
clsd.psikologi@ugm.ac.id

© Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY

[EN] We use cookies to help our viewer get the best experience on our website. -- [ID] Kami menggunakan cookie untuk membantu pengunjung kami mendapatkan pengalaman terbaik di situs web kami.I Agree / Saya Setuju