• Home
  • About Us
    • Managing Team
    • Researchers
    • Interns
    • Associates
  • Articles
  • Courses
  • Activities
    • CLSD Reader’s Club
    • Summer Course
    • Photovoice
    • SAELA
    • Community Service
  • Research & Publication
Universitas Gadjah Mada Center for Life-Span Development (CLSD)
Faculty of Psychology
Universitas Gadjah Mada
  • Home
  • About Us
    • Managing Team
    • Researchers
    • Interns
    • Associates
  • Articles
  • Courses
  • Activities
    • CLSD Reader’s Club
    • Summer Course
    • Photovoice
    • SAELA
    • Community Service
  • Research & Publication
  • Beranda
  • SDG 3: Kehidupan Sehat dan Sejahtera
  • SDG 3: Kehidupan Sehat dan Sejahtera
Arsip:

SDG 3: Kehidupan Sehat dan Sejahtera

Mendidik Anak dengan Bahasa Cinta

ArtikelArtikelArtikel Ilmiah Populer Wednesday, 21 May 2025

Oleh: Fitria | Penyunting: Muhammad Ikbal Wahyu Sukron, S.Psi., M.A.

“By speaking your childs’s own love language, you can fill his “emotional tank” with love. When your child feels loved, he is much easier to discipline and train than when his “emotional tank” is running near empty.”

Kutipan di atas merupakan potongan tulisan dari Gary Chapman dan Ross Campbell dalam bukunya yang berjudul The 5 Love Languages of Children. Kutipan tersebut menjelaskan bahwa setiap anak memiliki caranya sendiri untuk merasakan cinta melalui bahasa cinta yang mereka miliki. Ketika orang tua berkomunikasi dengan menggunakan bahasa cinta yang anak miliki, anak akan merasa dihargai dan dicintai. Perasaan dicintai ini dapat dianalogikan sebagai “tangki emosional”. Ketika tangki emosional ini terisi penuh, maka akan lebih mudah untuk mendisiplinkan anak. Sebaliknya, jika anak merasa kurang dicintai, “tangki emosional”-nya akan kosong dan cenderung lebih sulit untuk menerapkan kedisiplinan pada mereka.

Konsep bahasa cinta pertama kali diperkenalkan oleh Gary Chapman pada tahun 1992. Chapman mendefinisikan bahasa cinta sebagai bentuk dari ekspresi perilaku yang sifatnya spesifik. Chapman dan Campbell (2015) kemudian membagi bahasa cinta menjadi lima bentuk, yaitu: kata-kata penegasan (words of affirmation), waktu berkualitas (quality time), pemberian hadiah (receiving gifts), tindakan melayani (acts of service), dan sentuhan fisik (physical touch). Bahasa cinta ini kemudian menjadi sebuah konsep yang menarik di masyarakat, karena bahasa cinta mengisyaratkan bahwa hubungan yang langgeng akan terwujud ketika seseorang mengungkapkan cinta sesuai dengan bahasa cinta mereka (Impett dkk., 2024).

 Frasa bahasa cinta seringkali dianggap sebagai istilah populer dalam psikologi. Namun, sebuah artikel ilmiah yang ditulis oleh Bülow (2023) menjelaskan bahwa bahasa cinta merupakan konsep yang telah divalidasi secara ilmiah dan dapat membantu individu dalam memahami diri mereka dengan lebih baik lagi. Kondisi ilmiah ini dapat dilihat dari keterkaitan bahasa cinta dengan neurobiologi, yang memperlihatkan bahwa kondisi otak dan tubuh manusia berbeda satu sama lain tergantung bahasa cinta yang paling sesuai dengan diri mereka (Bülow, 2023). Selain itu, bahasa cinta juga memiliki impilikasi terhadap kondisi kesehatan mental, misalnya terkait relasi antara orang tua dengan anak.

Sebuah studi yang dilakukan oleh Maximo dkk. (2016) menunjukkan bahwa orang tua yang membesarkan anak-anaknya dengan penuh kasih sayang, maka akan membuat anak tumbuh menjadi individu yang tangguh (resilience) di kemudian hari. Orang tua berperan penting dalam membantu anak membangun ketangguhan diri mereka. Dalam konteks ini, tiga bahasa cinta yang berperan adalah waktu yang berkualitas, kata-kata penegasan, dan tindakan melayani. Ketiga bahasa cinta ini akan memberikan dukungan emosional, motivasi, dan bantuan praktis yang diberikan oleh orang tua kepada anak-anaknya (Maximo dkk., 2016). 

Orang tua berperan penting dalam menerapkan bahasa cinta di rumah, sementara di sekolah, guru yang menggantikan peran tersebut selama proses belajar. Hal ini tentu menjadi tantangan tersendiri bagi guru maupun sekolah sebagai bagian dari sistem pendidikan yang berkualitas bagi anak. Sementara itu, Indonesia sendiri masih menghadapi tantangan yang cukup besar dalam menyediakan pendidikan bagi tenaga pendidik yang mampu memberikan pengajaran berkualitas kepada setiap siswa (OECD, 2015). Kualitas dalam hal ini tidak hanya dilihat dalam hal akademik, tetapi juga bagaimana anak-anak dapat memperoleh pendidikan yang berkualitas dalam membangun karakter mereka. 

Bahasa cinta memiliki keterkaitan yang erat dalam menumbuhkan empati pada anak melalui interaksi yang hangat di sekolah. Ketika guru berusaha memperkenalkan bahasa cinta dan berupaya untuk memberikan kasih sayang kepada anak sesuai dengan bahasa cintanya, sebenarnya guru sedang mengajarkan empati pada anak. Empati dalam hal ini dapat dilihat dari upaya guru dalam memahami dan turut merasakan kebutuhan emosional siswanya. Empati tidak hanya membentuk karakter anak, tetapi berperan dalam membangun kecerdasan moral anak (Borba, 2002).

Pendidikan karakter anak menjadi bagian penting dalam proses membangun pendidikan yang berkualitas. Kondisi ini tidak hanya menjadi jalan untuk mengembangkan moral dan etika pada diri anak, tetapi juga mempersiapkan mereka agar mampu menjalani kehidupan sosial di masa kini maupun masa depan. Hal ini sejalan dengan Sustain Development Goal (SDG) 4 di mana Indonesia diharapkan dapat menciptakan pendidikan yang berkualitas. Lebih lanjut, tujuan ini diharapkan dapat terealisasi dalam point target 4.2) akses yang sama terhadap pendidikan anak usia dini yang berkualitas; dan target 4.C) meningkatkan pasokan guru yang berkualitas di negara-negara berkembang.  Untuk mencapai tujuan ini, guru perlu menerapkan pendekatan yang mendukung, misalnya melalui pengenalan bahasa cinta dalam pendidikan karakter. Memperkenalkan bahasa cinta pada anak dapat menjadi salah satu upaya yang dilakukan oleh guru dalam mendidik karakter pada anak sehingga mereka dapat tumbuh dengan penuh kasih sayang dan berdampak pada kualitas pendidikan yang lebih baik. Kondisi ini akan menciptakan iklim pembelajaran yang lebih hangat karena guru dianggap sebagai sosok yang menyayangi sehingga “tangki emosional” anak pun terpenuhi dengan cinta. Sebuah studi yang dilakukan oleh Parker dan Sudibyo (2024) menunjukkan bahwa ketidakhadiran guru yang baik hati, murah hati, serta membantu siswanya dapat menjadi salah satu penyebab mengapa generasi muda meninggalkan bangku sekolah lebih awal. Oleh karena itu, penerapan bahasa cinta dalam proses belajar penting untuk dilakukan, karena anak akan merasa dihargai keberadaannya dan membantu dalam menciptakan lingkungan belajar yang positif.

Referensi

Borba, M. (2002). Building moral intelligence: The seven essential virtues that teach kids to do the right thing. Jossey-Bass.

Bülow, P. (2023) Love languages: The science and your mental health. Journal of Science, Humanities, and Arts. 10(3).

Chapman, G., & Campbell, R. (2015). The 5 love languages of children. Northfield.

Impett, E. A., Park, H. G., & Muise, A. (2024). Popular psychology through a scientific lens: evaluating love languages from a relationship science perspective. Current Directions in Psychological Science, 33(2), 87-92. DOI: https://doi.org/10.1177/09637214231217663.

Maximo, S. I., & Carranza, J. S. (2016). Parental attachment and love language as determinants of resilience among graduating university students. Sage Open, 6(1). DOI: https://doi.org/10.1177/2158244015622800.

Parker, L., & Sudibyo, L. (2022). Why young people leave school early in Papua, Indonesia, and education policy options to address this problem. Compare: A Journal of Comparative and International Education, 54(1), 146–162. https://doi.org/10.1080/03057925.2022.2084037.

OECD/Asian Development Bank. (2015). Education in Indonesia: Rising to the challenge. OECD Publishing. DOI: http://dx.doi.org/10.1787/9789264230750-en.

Eco-Conscious Parenting: Menumbuhkan Praktik Berkelanjutan pada Perkembangan Anak

ArtikelArtikelArtikel Ilmiah Populer Thursday, 8 May 2025

Oleh: Arifatul Alawiyah | Penyunting: Fakhirah Inayaturrobbani S.Psi, M.A

Saat ini, komitmen kuat dalam menjaga keberlanjutan lingkungan mulai menjadi sebuah trend dalam tatanan masyarakat yang tercermin pada berbagai aspek kehidupan. Tidak terbatas pada kebijakan pemerintah maupun aksi global, peningkatan kepedulian terhadap isu lingkungan terjadi di berbagai lapisan masyarakat, termasuk dalam komunitas keluarga. Tekanan dari budaya konsumsi global serta kesadaran akan risiko lingkungan mendorong terjadinya perubahan dalam praktik pangasuhan secara luas (Shrum dkk., 2023). Sebagai bagian dari upaya membentuk generasi yang lebih peduli terhadap keberlanjutan, banyak keluarga mulai beralih untuk menerapkan konsep baru terkait pola asuh yang disebut eco-conscious parenting.

Eco-conscious parenting muncul sebagai suatu konsep penting yang menawarkan pendekatan pengasuhan modern yang memperhatikan keseimbangan antara aspek perkembangan anak yang sehat dan kelestarian lingkungan. Sebuah penelitian membuktikan efektifitas praktik keluarga yang menerapkan gaya hidup ramah lingkungan secara signifikan berkontribusi terhadap pola konsumsi energi yang lebih bijaksana (Wang dkk., 2022). Pada pola asuh ini, orangtua tidak hanya menjalankan gaya hidup berkelanjutan, tetapi juga melibatkan anak dalam praktik-praktik kegiatan berkelanjutan seperti mengurangi penggunaan plastik, mempromosikan daur ulang, menggunakan produk organik, dan memperkenalkan kegiatan berbasis alam sejak usia dini (Hosany dkk., 2022). Penelitian juga menunjukkan bahwa eco-conscious parenting mampu mendorong anak-anak untuk lebih memahami hubungannya dengan alam dan menyadarkan pentingnya menjaga sumber daya alam demi masa depan yang lebih aman dan sehat (Auriffeille & Fleming, 2022; Shrum dkk., 2023). 

Lebih dari sekedar gaya hidup, pendekatan eco-conscious parenting ternyata mampu membentuk nilai-nilai dasar keluarga seperti tanggung jawab, empati, dan kesadaran sosial. Proses modeling dan melibatkan anak dalam kegiatan peduli lingkungan memungkinkan anak untuk menginternalisasi nilai, mengasah sensitivitas terhadap isu, dan membiasakan anak untuk mempertimbangkan aspek lingkungan dalam setiap pengambilan keputusan di masa depan (Barreto dkk., 2014). Sebuah penelitian menunjukkan bahwa anak yang terlibat dalam kegiatan peduli lingkungan cenderung akan memiliki pemahaman yang lebih baik terhadap dampak lingkungan dan merasa lebih bertanggung jawab terhadap keberlanjutan (UNICEF, 2024). Selain itu, aspek keterhubungan antara manusia-alam dalam konsep ini mampu meningkatkan rasa empati anak, baik terhadap sesama manusia maupun makhluk hidup lainnya, sehingga memperluas kemampuan anak untuk lebih peduli dan mampu bekerja sama (Hosany dkk., 2022). Kesadaran sosial juga mampu tercipta ketika anak mulai memahami implikasi global dari perilaku lokal terhadap ekosistem dunia. Tidak hanya membuat anak lebih berwawasan luas, pendekatan ini juga mampu memperkuat karakter anak yang lebih peduli pada kebutuhan masyarakat dan lingkungan (UNICEF, 2024).

Disisi lain, perkembangan penelitian juga telah menunjukkan kontribusi konsep eco-conscious parenting dalam mendukung kesejahteraan psikologis orangtua maupun anak. Perasaan berkontribusi positif terhadap kondisi lingkungan global dari praktik berkelanjutan mengakibatkan adanya perasaan terpenuhi dan cenderung kurang cemas orangtua (Kaligis dkk., 2024). Selain itu, penelitian menunjukkan bahwa anak yang terlibat dalam kegiatan berbasis alam, seperti berkebun atau eksplorasi alam bebas, memiliki tingkat stres yang lebih rendah, peningkatan kebahagiaan,  dan perkembangan kognitif yang lebih baik (Arola dkk., 2023). Merujuk pada teori restorative environment oleh Kaplan (dalam Liu dkk., 2024), interaksi dengan alam memberikan efek pemulihan psikologis yang kuat melalui sensasi pengalaman menenangkan dan pemulihan perhatian yang lelah akibat stress. Melalui eco-conscious parenting, interaksi positif orangtua-anak memperbesar terciptanya pengalaman bermakna yang positif sehingga berupa aktivitas menjaga lingkungan akan mampu menciptakan ikatan emosional yang aman (secure attachment). Adanya interaksi positif yang bermakna tersebut kemudian dapat membantu orangtua-anak mengembangkan kemampuan regulasi emosi yang lebih baik, memperkuat daya tahan mental mereka terhadap stres, serta menghasilkan kesehatan mental yang lebih baik secara keseluruhan (Spence dkk., 2022). 

Meskipun masih menghadapi banyak tantangan, namun potensi pengembangan eco-conscious parenting bukanlah sesuatu yang mustahil di Indonesia. Didukung oleh modal sosial budaya yang ada seperti realitas krisis lingkungan yang mulai terasa dampaknya, adanya nilai-nilai tradisional yang menghargai alam, program edukasi pemerintah, serta kemudahan akses literasi digital mampu berfungsi sebagai landasan yang kuat bagi orang tua untuk menanamkan nilai-nilai keberlanjutan pada anaknya. Untuk memaksimalkan potensi tersebut, diperlukan program edukasi dan motivasi berkelanjutan agar perilaku ramah lingkungan dapat muncul secara konsisten. Penelitian menunjukkan bahwa intervensi seperti kampanye publik dan integrasi edukasi lingkungan di sekolah secara efektif mendorong perilaku pro lingkungan dalam keluarga (Sihvonen dkk., 2024; Stapleton dkk., 2022). Dengan dorongan tepat, Indonesia berpotensi menciptakan generasi baru yang peduli terhadap kelestarian lingkungan dan mewariskan nilai keberlanjutan bagi masa depan.

Berdasarkan penjelasan di atas menunjukkan bahwa melalui aspek pengasuhan, adopsi konsep eco-conscious parenting mampu menjadi investasi yang keberlanjutan dan menjanjikan untuk masa depan. Dalam menghadapi tantangan global terkait krisis iklim yang terjadi, eco-conscious parenting terbukti mampu membekali anak dengan keterampilan dan nilai-nilai yang diperlukan dalam menghadapi tantangan global. Tidak hanya mampu memberikan kontribusi dalam membangun generasi masa depan yang lebih sadar dan bertanggung jawab terhadap isu keberlanjutan lingkungan, penerapan eco-conscious parenting mampu memperkuat fondasi kesejahteraan anak disamping orangtua yang mengimplementasikan konsep tersebut secara praktis di masa kini. Oleh karena itu, promosi eco-conscious parenting kepada publik direkomendasikan dengan target capaian agar mampu menciptakan budaya tatanan keluarga yang responsif dalam menjawab masalah global terkait kesejahteraan keluarga dan keberlanjutan lingkungan.

Referensi

Arola, T., Aulake, M., Ott, A., Lindholm, M., Kouvonen, P., Virtanen, P., & Paloniemi, R. (2023). The impacts of nature connectedness on children’s well-being: Systematic literature review. Journal of Environmental Psychology, 85, 101913. https://doi.org/10.1016/j.jenvp.2022.101913

Auriffeille, D. M., & Fleming, C. (2022). Parenting for Environmental Change. Contexts, 21(1), 26–31. https://doi.org/10.1177/15365042221083007

Barreto, M. L., Szóstek, A., Karapanos, E., Nunes, N. J., Pereira, L., & Quintal, F. (2014). Understanding families’ motivations for sustainable behaviors. Computers in Human Behavior, 40, 6–15. https://doi.org/10.1016/j.chb.2014.07.042

Hosany, A. R. S., Hosany, S., & He, H. (2022). Children sustainable behaviour: A review and research agenda. Journal of Business Research, 147, 236–257. https://doi.org/10.1016/j.jbusres.2022.04.008

Kaligis, F., Wangge, G., Fernando, G., Palguna, I. B. N. A., Pramatirta, B., & Purba, N. V. T. (2024). Breaking the silence: Unveiling the intersection of climate change and youth mental health in Indonesia. Medical Journal of Indonesia, 32(4), 249–253. https://doi.org/10.13181/mji.bc.247147

Liu, Y., Zhang, J., Liu, C., & Yang, Y. (2024). A Review of Attention Restoration Theory: Implications for Designing Restorative Environments. Sustainability, 16(9), Article 9. https://doi.org/10.3390/su16093639

Shrum, T. R., Platt, N. S., Markowitz, E., & Syropoulos, S. (2023). A scoping review of the green parenthood effect on environmental and climate engagement. WIREs Climate Change, 14(2), e818. https://doi.org/10.1002/wcc.818

Sihvonen, P., Lappalainen, R., Herranen, J., & Aksela, M. (2024). Promoting Sustainability Together with Parents in Early Childhood Education. Education Sciences, 14(5), 541. https://doi.org/10.3390/educsci14050541

Spence, R., Kagan, L., Nunn, S., Bailey‐Rodriguez, D., Fisher, H. L., Hosang, G. M., & Bifulco, A. (2022). The moderation effect of secure attachment on the relationship between positive events and wellbeing. Psych Journal, 11(4), 541–549. https://doi.org/10.1002/pchj.546

Stapleton, A., McHugh, L., & Karekla, M. (2022). How to Effectively Promote Eco-Friendly Behaviors: Insights from Contextual Behavioral Science. Sustainability, 14(21), 13887. https://doi.org/10.3390/su142113887

Wang, J., Long, R., Chen, H., & Li, Q. (2022). How do parents and children promote each other? The impact of intergenerational learning on willingness to save energy. Energy Research & Social Science, 87, 102465. https://doi.org/10.1016/j.erss.2021.102465

UNICEF. (2024). Engaging Youth on Climate Change & Environmental Sustainability. India: UNICEF. https://clearinghouse.unicef.org/download-ch-media/43e8c5b0-9a48-4990-95b8-b147d8a066d4

Membangun Kembali Kegembiraan: Pentingnya Bermain Bagi Kesejahteraan Mental Bagi Masyarakat

ArtikelArtikelArtikel Ilmiah Populer Thursday, 20 March 2025

Oleh: Lana Savira Kusuma Dewi | Penyunting: Fakhirah Inayaturrobbani S.Psi, M.A

Di tengah percepatan dunia digital, masyarakat modern sering terjebak dalam rutinitas kaku dan tekanan pekerjaan yang tinggi sehingga perlahan kehilangan keseimbangan antara produktivitas dan kebahagiaan (Gupta, 2023). Rutinitas yang kaku serta minimnya ruang untuk bermain dapat memicu stres dan menurunkan kesejahteraan mental (Kirkham et al., 2022)—merujuk pada kesejahteraan emosional, psikologis, dan sosial seseorang yang memengaruhi cara berpikir, berperasaan, dan bertindak dalam menjalani kehidupan (Gautam et al., 2024). Oleh sebab itu, perlu menciptakan masyarakat yang lebih playful. Bukan hanya menambah waktu luang untuk bersenang-senang, tetapi menciptakan keseimbangan antara pekerjaan dan waktu luang. Dengan memberi ruang untuk bermain dalam kehidupan sehari-hari, kita bukan hanya membantu meningkatkan kesehatan mental individu tetapi juga membentuk masyarakat yang lebih sehat, sejahtera, dan bahagia secara keseluruhan. Artikel ini akan membahas pentingnya peran bermain dalam kehidupan sehari-hari, upaya kolektif yang dapat kita lakukan, serta mengapa perubahan ini mendesak untuk meningkatkan kesejahteraan mental.

Meskipun manfaat bermain berkelindan dengan kesehatan mental individu, masyarakat modern sering kali mengabaikan pentingnya aktivitas ini, terutama orang dewasa. Kehidupan yang sangat terstruktur—di mana setiap jam dipenuhi dengan tugas dan tanggung jawab—menyisakan sedikit ruang untuk kegiatan yang hanya dimaksudkan untuk kesenangan. Dalam konteks psikologi perkembangan, bermain tidak hanya relevan bagi anak-anak, tetapi juga memiliki peran signifikan dalam mendukung kesehatan mental dan sosial di setiap tahap kehidupan manusia (Shen & Masek, 2023).

Pada masa bayi dan anak-anak, bermain menjadi sarana utama untuk belajar dan mengeksplorasi dunia. Aktivitas bermain membantu perkembangan kognitif, motorik, dan sosial, seperti yang dijelaskan oleh Piaget (Shakhobiddinovna, 2022). Bermain simbolis, misalnya, mendukung kemampuan anak dalam memecahkan masalah dan memahami perspektif orang lain (Creaghe & Kidd, 2022). Anak-anak yang memiliki akses ke permainan cenderung menunjukkan perkembangan emosi yang lebih stabil dan kemampuan sosial yang lebih baik. 

Saat memasuki masa remaja, bermain berubah menjadi aktivitas yang lebih terstruktur, seperti olahraga atau permainan kelompok. Aktivitas ini membantu remaja mengembangkan identitas, mengelola emosi, dan membangun hubungan sosial yang mendalam (Chasciar, 2024). Bermain juga menjadi cara penting untuk menyalurkan energi dan mengurangi tekanan akademik serta sosial yang sering dialami di usia ini.

Pada masa dewasa, bermain tetap relevan, meskipun sering kali dipandang tidak penting. Bagi orang dewasa, bermain memberikan peluang untuk mengekspresikan diri, membangun koneksi sosial, dan menjaga keseimbangan emosional. Esposito (2023) menyoroti bahwa bermain bagi orang dewasa membantu mengurangi stres, meningkatkan kreativitas, dan memperkuat hubungan interpersonal. Aktivitas seperti permainan rekreasional, olahraga, atau kegiatan seni dapat menjadi cara efektif untuk mendukung kesehatan mental dan mencegah kelelahan emosional.

Bahkan pada tahap lansia, bermain tetap memiliki manfaat yang signifikan. Aktivitas seperti permainan puzzle, olahraga ringan, atau permainan kelompok dapat meningkatkan fungsi kognitif dan memperlambat proses penurunan mental yang berkaitan dengan penuaan (Pitayanti & Umam, 2023). Bermain juga dapat memperkuat hubungan sosial di kalangan lansia, yang membantu mengurangi rasa kesepian dan isolasi.

Dengan memahami peran bermain di setiap tahap perkembangan, kita dapat melihat bahwa bermain bukan hanya aktivitas untuk anak-anak tetapi merupakan kebutuhan mendasar manusia sepanjang hidup. Oleh karena itu, membangun lingkungan yang mendukung aktivitas bermain, baik melalui kebijakan publik, perencanaan kota, maupun perubahan persepsi sosial, merupakan langkah penting untuk mendukung perkembangan manusia secara holistik dan menciptakan masyarakat yang lebih sejahtera.

Untuk mengatasi kurangnya budaya bermain, diperlukan upaya yang terencana dan berbasis kebijakan serta komunitas. Pertama, pemerintah dan institusi dapat mendorong kebijakan yang mendukung waktu bermain, seperti fleksibilitas jam kerja bagi karyawan dan penambahan waktu istirahat untuk siswa di sekolah. Kebijakan ini akan memberikan ruang yang lebih memadai untuk aktivitas non-produktif yang dapat mengurangi stres dan meningkatkan kesejahteraan. Kedua, pengembangan infrastruktur publik menjadi langkah penting. Perencanaan kota harus memasukkan pembangunan taman, fasilitas olahraga, dan ruang publik lainnya yang dirancang untuk mendukung aktivitas bermain yang inklusif dan mendorong interaksi sosial. Ketiga, budaya bermain dapat diperkuat melalui kegiatan yang diintegrasikan dalam kehidupan sehari-hari, seperti tradisi bermain keluarga atau acara permainan berbasis komunitas. Strategi ini memungkinkan aktivitas bermain menjadi bagian yang melekat dalam rutinitas masyarakat. Dengan langkah-langkah yang sistematis ini, kita dapat membangun kembali budaya bermain yang tidak hanya bermanfaat bagi individu tetapi juga mendukung kesejahteraan sosial secara kolektif.

Bermain adalah elemen esensial dalam perjalanan hidup manusia yang mencakup semua tahap perkembangan, dari kanak-kanak hingga usia lanjut. Dalam konteks psikologi perkembangan, bermain tidak hanya menjadi sarana eksplorasi dan pembelajaran, tetapi juga kunci untuk menjaga keseimbangan emosional, memperkuat koneksi sosial, dan meningkatkan kualitas hidup. Namun, perubahan gaya hidup modern yang serba cepat telah menyisihkan peran bermain, menciptakan tekanan yang berdampak buruk pada kesehatan mental dan sosial. Oleh karena itu, mengintegrasikan kembali budaya bermain melalui kebijakan pendukung, infrastruktur publik yang inklusif, dan kebiasaan bermain dalam kehidupan sehari-hari adalah langkah mendesak. Dengan menjadikan bermain sebagai bagian integral dari rutinitas, kita dapat membangun masyarakat yang lebih sehat, bahagia, dan seimbang, sekaligus memastikan kesejahteraan manusia terjaga sepanjang hayat.

Referensi

Chasciar, V. (2024). Improving social competences through sport: an exploration of the educational role of physical activity in adolescent development. Journal Plus Education, 35(1), 130–136. https://doi.org/10.24250/JPE/1/2024/VC/

Creaghe, N., & Kidd, E. (2022). Symbolic play as a zone of proximal development: An analysis of informational exchange. Social Development, 31(4), 1138–1156. https://doi.org/10.1111/SODE.12592

Esposito, E. (2024). Order of play – disorder of the world. Into the Magic Circle, 1(1), 1–8. https://doi.org/10.26116/1HRB-TH63

Gautam, S., Jain, A., Chaudhary, J., Gautam, M., Gaur, M., & Grover, S. (2024). Concept of mental health and mental well-being, it’s determinants and coping strategies. Indian Journal of Psychiatry, 66, S231–S244. https://doi.org/10.4103/INDIANJPSYCHIATRY.INDIANJPSYCHIATRY_707_23

Gupta, R. (2023). Impact of Work on Emotional Well-being : Results of a Survey of NHS Employees from a Minority Ethnic background. Sushruta Journal of Health Policy & Opinion, 15(3), 1–7. https://doi.org/10.38192/15.3.3

Kirkham, E. J., Lawrie, S. M., Crompton, C. J., Iveson, M. H., Jenkins, N. D., Goerdten, J., Beange, I., Chan, S. W. Y., McIntosh, A., & Fletcher-Watson, S. (2022). Experience of clinical services shapes attitudes to mental health data sharing: findings from a UK-wide survey. BMC Public Health, 22(1), 1–12. https://doi.org/10.1186/S12889-022-12694-Z/FIGURES/2

Pitayanti, A., & Umam, F. N. (2023). Efektivitas permainan puzzle  terhadap upaya peningkatan kognitif  pada lansia. Jurnal Penelitian Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Nahdlatul Ulama Tuban, 5(1). https://doi.org/10.47710/JP.V5I1.206

Shakhobiddinovna, R. S. (2024). The importance of play in the mental development of preschool children. International Journal of Advance Scientific Research , 04(04), 84–88. https://sciencebring.com/index.php/ijasr/article/view/725/691

Shen, X., & Masek, L. (2024). The playful mediator, moderator, or outcome? An integrative review of the roles of play and playfulness in adult-centered psychological interventions for mental health. The Journal of Positive Psychology. https://doi.org/10.1080/17439760.2023.2288955

Keterlibatan Ayah pada Pengasuhan Anak Usia Dini

ArtikelArtikelArtikel Ilmiah Populer Friday, 21 February 2025

Oleh: Nur Diana Indrawati | Penyunting: Muhammad Ikbal Wahyu Sukron, S.Psi., M.A.

Akhir-akhir ini, jagat media sosial Indonesia sedang gandrung dengan edukasi pengasuhan anak. Menjamurnya akun media sosial tentang edukasi pengasuhan, seperti Tentang Anak, Parentalk.id, Rabbitholeid, dan Momscorner menjadikan ilmu pengasuhan semakin terjangkau bagi semua lapisan masyarakat. Salah satu topik yang sering dibahas akhir-akhir ini adalah mengenai perkembangan anak usia dini. Menjadi orang tua tidak dimulai ketika seorang anak lahir di dunia, tapi dimulai ketika perencanaan kehamilan. Fase kehamilan sampai fase anak usia dini merupakan dasar yang akan menjadi penentu keterampilan dan pembelajaran pada fase berikutnya sampai anak tumbuh dewasa, sehingga permasalahan perkembangan yang dialami pada fase usia dini akan memiliki efek multigenereasi (Black dkk., 2017).


UNICEF (2007) menyatakan bahwa perkembangan anak usia dini merupakan perkembangan dari fase prenatal sampai ke transisi menuju sekolah dasar (usia 7 tahun). Gupta dan Raut (2016) menambahkan bahwa 1000 hari pertama kehidupan merupakan masa yang paling krusial dalam perkembangan anak. Pengasuhan yang responsif dan nutrisi yang tercukupi pada 1000 hari pertama merupakan hal vital yang akan menentukan kesehatan dan kesejahteraan psikologis pada masa yang akan datang (Gupta & Raut, 2016). Menurut Black dkk. (2017), faktor yang mempengaruhi anak untuk mencapai potensi maksimal pada perkembangannya antara lain kesehatan, gizi, rasa aman, pengasuhan yang responsif dan pembelajaran sejak dini. Hal tersebut, salah satunya, bisa dipenuhi dengan memaksimalkan keterlibatan ayah dalam proses pengasuhan anak, yang akan berpengaruh positif pada perkembangan kognitif, bahasa, serta perilaku dan regulasi emosi pada anak (Wang dkk., 2022).


Sayangnya, beberapa penelitian menunjukkan bahwa keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak di beberapa negara berkembang masih rendah. Contohnya di pedesaan Pakistan, hanya sedikit ayah yang meluangkan waktu untuk bermain fisik dengan anak dan terlibat dalam pengasuhan anak (Maselko dkk., 2019). Selanjutnya pada penelitian yang dilakukan di 69 negara, ditemukan bahwa ibu melakukan aktivitas stimulasi pada anak usia dini jauh lebih banyak dibandingkan dengan ayah; bahkan ketika dibandingkan dengan orang dewasa lain yang berada di rumah, ayah ditemukan melakukan pengasuhan dengan porsi yang lebih sedikit (Evans & Jakiela, 2024).


Terdapat beberapa faktor penyebab kurangnya keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak usia dini, antara lain keterbatasan waktu di rumah, kurangnya pengetahuan terkait pengasuhan, serta sikap terhadap gender, seperti menganggap bahwa tugas mengasuh anak adalah tugas perempuan bukan laki-laki (Jeong dkk., 2023). Faktor lain yang memengaruhi keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak usia dini, yaitu keyakinan peran mereka (sebagai ayah, suami, atau pencari nafkah), gejala depresif yang dimiliki oleh ayah, kondisi temperamen anak, gender anak serta faktor sosio demografis, seperti ekonomi dan status pendidikan orang tua (Planalp & Braungart-Rieke, 2016).


Beberapa aktivitas yang bisa dilakukan ayah untuk meningkatkan keterlibatan pengasuhan anak usia dini berupa aktivitas didaktik, seperti menyanyi, membaca, bercerita, dan bermain bersama anak (Wang dkk., 2022). Hofferth (2003) menjelaskan bentuk keterlibatan ayah dalam pengasuhan dengan empat domain, yaitu waktu yang dihabiskan bersama anak, kehangatan (contohnya frekuensi memeluk anak dan memberi tahu anak bahwa mereka mencintainya), kontrol dan pengawasan (seperti penerapan aturan tentang kegiatan seperti makan dan belajar), serta tanggung jawab, yaitu sejauh mana orang tua, baik ayah maupun ibu, melakukan tugas memandikan anak, mendisiplinkan anak, mengantar anak, membeli pakaian untuk anak, dan bermain dengan anak.


Sejauh ini, dibandingkan intervensi yang diberikan kepada Ibu, intervensi untuk meningkatkan keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak usia dini masih terbatas. Beberapa penelitian yang mengidentifikasi intervensi untuk meningkatkan keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak usia dini, antara lain edukasi tentang perawatan pada bayi, memberi makan bayi, merawat ibu, serta memberikan dorongan dan dukungan terhadap praktik menyusui yang diberikan pada ayah bayi yang baru lahir di Kenya dapat meningkatkan pengetahuan para ayah (Dinga, 2019). Selanjutnya program COACHES (The Coaching Our Acting Out Children: Heightening Essential Skills), yaitu sebuah pelatihan tentang strategi pengasuhan yang diberikan selama enam minggu dan berhasil meningkatkan kalimat pujian dan menurunkan komunikasi negatif pada ayah yang memiliki anak dengan gangguan ADHD (Fabiano dkk., 2021).


Di Indonesia, salah satu gerakan keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak usia dini yang cukup masif adalah penggalakan program Ayah ASI yang diprakarsai oleh Shafiq Pontoh dan delapan ayah baru lain pada tahun 2011. Bentuk program dari gerakan ini antara lain edukasi, pusat pertolongan, dan juga media promosi mengenai keterlibatan ayah dalam proses menyusui (Riski, 2017). Gerakan tersebut diinisiasi oleh kegelisahan para pendiri akan minimnya pengetahuan mereka sebagai ayah bagi bayi mereka yang baru lahir.


Kegelisahan seperti ini yang perlu kita perhatikan bersama untuk memunculkan gerakan yang dapat meningkatkan keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak usia dini. Ayah seringkali berpikir bahwa tugas utamanya adalah mencari nafkah untuk keluarga. Namun tanpa disadari, pola pikir tersebut yang menjadikan mereka berpikir bahwa mengasuh anak merupakan tugas utama ibu. Di sisi lain, ibu juga jarang memberikan kesempatan bagi Ayah untuk terlibat dalam pengasuhan anak.


Proses pengasuhan yang optimal pada anak usia dini akan menentukan keberhasilan proses perkembangannya sampai usia dewasa. Dibutuhkan peran maksimal ayah dan ibu untuk menunjang keberhasilan pengasuhan anak usia dini. Beberapa faktor penyebab kurangnya keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak usia dini, antara lain karena kurangnya pengetahuan terkait pengasuhan, keyakinan terhadap peranan mereka, sikap terhadap gender, serta minimnya kesempatan yang diberikan pada ayah untuk terlibat dalam pengasuhan anak dini. Dengan demikian, penting bagi para ayah untuk meningkatkan pengetahuan terkait pengasuhan anak usia dini mengingat pentingnya peran ayah dalam pengasuhan anak usia dini.

Daftar Pustaka
Black, M. M., Walker, S. P., Fernald, L. C. H., Andersen, C. T., DiGirolamo, A. M., Lu, C., McCoy, D. C., Fink, G., Shawar, Y. R., Shiffman, J., Devercelli, A. E., Wodon, Q. T., Vargas-Barón, E., & Grantham-McGregor, S. (2017). Early childhood development coming of age: science through the life course. The Lancet, 389(10064), 77–90. https://doi.org/10.1016/S0140-6736(16)31389-7
Dinga, L. A. (2019). Effect of father-targeted nutrition education on feeding practices, nutritional status and morbidity among infants in Kisumu East, Kenya. Jomo Kenyatta University.
Fabiano, G. A., Schatz, N. K., Lupas, K., Gordon, C., Hayes, T., Tower, D., Soto, T. S., Macphee, F., Pelham, W. E., & Hulme, K. (2021). A school-based parenting program for children with attention-deficit/hyperactivity disorder: Impact on paternal caregivers. Journal of School Psychology, 86, 133–150. https://doi.org/10.1016/j.jsp.2021.04.002
Gupta, S., & Raut, A. (2016). Early childhood development: Maximizing the human potential. Frontiers in Social Pediatrics. https://doi.org/10.5005/jp/books/12773
Guswandi, F. A. (2021). School starting age and academic performance: An empirical study in Indonesia. Jurnal Perencanaan Pembangunan: The Indonesian Journal of Development Planning, 5(3), 344–362. https://doi.org/10.36574/jpp.v5i3.218
Herbst, M., & Strawiński, P. (2016). Early effects of an early start: Evidence from lowering the school starting age in Poland. Journal of Policy Modeling, 38(2), 256–271. https://doi.org/10.1016/j.jpolmod.2016.01.004
Hofferth, S. L. (2003). Race/ethnic differences in father involvement in two-parent families: Culture, context, or economy? Journal of Family Issues, 24(2), 185–216. https://doi.org/10.1177/0192513X02250087
Maselko, J., Hagaman, A. K., Bates, L. M., Bhalotra, S., Biroli, P., Gallis, J. A., O’Donnell, K., Sikander, S., Turner, E. L., & Rahman, A. (2019). Father involvement in the first year of life: Associations with maternal mental health and child development outcomes in rural Pakistan. Social Science and Medicine, 237, 112421. https://doi.org/10.1016/j.socscimed.2019.112421
Planalp, E. M., & Braungart-Rieker, J. M. (2016). Evidence from the ECLS-B. J Fam Psychol, 30(1), 135–146. https://doi.org/10.1037/fam0000156.Determinants
Riski, P. (2017). Fathers and Father Involvement in Indonesia : A Pilot Study Exploring the Community of Breastfeed-Supporthing Fathers (Ayah ASI). https://doi.org/10.13140/RG.2.2.10698.79042
Wang, L., Li, H., Dill, S. E., Zhang, S., & Rozelle, S. (2022). Does paternal involvement matter for early childhood development in rural China? Applied Developmental Science, 26(4), 741–765. https://doi.org/10.1080/10888691.2021.1990061

Kader Hebat, Anak Bahagia: Pelatihan Stimulasi Sosioemosional pada Anak Usia Dini untuk Kader Bina Keluarga Balita di Gunungkidul

Artikel Liputan KegiatanEvent Friday, 3 January 2025

Pada Selasa, 23 Juli 2024, Center for Life-Span Development (CLSD) Fakultas Psikologi UGM mengadakan pelatihan “Stimulasi Sosioemosional pada Anak Usia Dini” di Padukuhan Jambu, Giricahyo, Purwosari, Gunungkidul. Acara ini merupakan kolaborasi antara CLSD dengan perwakilan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) DIY dan dihadiri oleh 25 peserta, termasuk Kader Bina Keluarga Balita (BKB) PUSPAMEKAR dan beberapa orang tua setempat. Dian Mufitasari, S.Psi., M.Psi., Psikolog, dosen Fakultas Psikologi UGM menjadi narasumber utama pada acara pelatihan ini.

Pelatihan ini bertujuan untuk meningkatkan pemahaman dan keterampilan para kader Bina Keluarga Balita Holistik Integratif (BKB HI) dalam menstimulasi perkembangan sosioemosional anak usia dini. Harapannya, kader dapat mengaplikasikan ilmu yang didapatkan ke lingkungan sekitar mereka.

 “Kami ingin kader memiliki pemahaman yang mendalam tentang pentingnya stimulasi sosioemosional pada anak usia dini agar mampu memberikan dampak positif pada perkembangan anak,” ujar Dian Mufitasari, selaku narasumber utama dalam pelatihan ini.

Pelatihan dibuka dengan sosialisasi pengisian Kartu Kembang Anak (KKA) yang dipandu oleh perwakilan BKKBN DIY. Dalam sesi ini, para peserta diajak untuk mempelajari cara mengisi KKA sebagai instrumen untuk memonitor perkembangan anak. Selanjutnya, narasumber memberikan pemaparan materi mengenai pentingnya stimulasi sosioemosional serta metode-metode yang dapat diterapkan oleh para kader dan orang tua dalam mengembangkan kemampuan sosioemosional anak.

Setelah pemaparan materi, para peserta berkesempatan mempraktikkan secara langsung beberapa teknik stimulasi sosioemosional melalui suatu kegiatan membaca cerita bertajuk “Gajah yang Baik Hati”. Dalam sesi praktik ini, peserta belajar mengenali dan memberi nama emosi yang dirasakan orang lain serta mengekspresikan kepedulian terhadap sesama dengan menggunakan kartu bergambar emosi. Tidak hanya teori dan praktik, pelatihan ini juga dilengkapi dengan sesi sosialisasi mengenai metode monitoring keberhasilan pelatihan. Para peserta diminta untuk menerapkan materi yang telah dipelajari kepada komunitas masing-masing. Proses ini akan dimonitor oleh tim CLSD melalui grup WhatsApp dan peserta yang berhasil mengaplikasikan metode dengan baik akan mendapatkan penghargaan dalam bentuk kompetisi.

Sebagai penutup, peserta diminta mengisi refleksi tentang pelatihan yang telah dijalani. “Melalui refleksi ini, kami berharap peserta dapat menganalisis pengalaman mereka dan memahami sejauh mana pelatihan ini bermanfaat bagi mereka,” jelas Salsabila Salwa, co-trainer dalam pelatihan ini. Refleksi ini juga akan digunakan sebagai bahan evaluasi untuk meningkatkan kualitas pelatihan di masa mendatang.

Pelatihan stimulasi sosioemosional ini merupakan langkah nyata untuk memperkuat kapasitas kader dalam mengoptimalkan perkembangan anak usia dini. Dengan adanya kolaborasi antara CLSD Fakultas Psikologi UGM dan BKKBN DIY, diharapkan semakin banyak kader yang mampu menjadi agen perubahan di lingkungan mereka. Pelatihan ini juga menekankan pentingnya kolaborasi antara masyarakat, lembaga pendidikan, dan pemerintah dalam mewujudkan lingkungan yang mendukung tumbuh kembang anak secara optimal.

Module 3: Thematic Explorations of Contextual Research and Intervention on Life-Span Development

Artikel Liputan KegiatanBlogEventSummer Course Tuesday, 19 November 2024

Collaborating with the Center for Indigenous and Cultural Psychology (CICP), the Center for Life-Span Development (CLSD) organized an international summer course program titled International Summer Course on Cultural Dynamics and Life-Span Development: Research Approaches and Practical Interventions. This summer course focuses on helping students gain an understanding of the role culture plays in life-span development as well as offering valuable insights into current research methodologies and approaches relevant to cultural and lifespan development. This event invites various speakers from Indonesia and all over the world with various backgrounds.

The last module, titled Thematic Explorations of Contextual Research and Intervention on Life-Span Development is unique compared to the other modules, the fact that it is divided into two sections; research, which explores the utilization of cultural and indigenous methodologies into life-span developmental research, and intervention, which talks about the significance of cultural considerations in interventions. Examples include; youth dynamics, addressing bullying, and the empowerment of older adults. The last module is constructed to fulfill Sustainable Development Goals (SDGs) such as Good Health and Well-Being (3), Quality Education (4) and Reduced Inequalities (10).

The seventh session was held on Friday, 27 September 2024, titled Social relations in the Javanese context by Prof. Faturochman, one of the lecturers in the Faculty of Psychology of Gadjah Mada University. This is also the first session of the last module. The session starts with Prof. Faturochman explains how the Javanese are divided into three classes; Santri, Abangan, and Priyayi. He then began to explain social-psychological relations, such as interpersonal, within group relations, and intergroup relations as well as explaining the aspects of relations, with emphasis on examples from Indonesia, such as Rukun (Harmony). After that, Prof. Faturochman explains a research that he did in 2018, which researches the multi-identity and relations of a local parliament member. He then continues the session by explaining the data results of his research. Just like other sessions, the session concludes with a Q & A.

Due to technical issues, the second session was postponed to a later date. The module continues with the third session, which was held on Tuesday, 1 October 2024 titled An Indonesian Indigenous perspective of life-span development by Mr. Ryan Sugiarto, one of the lecturers at Sarjanawiyata Tamansiswa University. The session begins with Mr. Sugiarto talking about Macapat, an Indonesian perspective on life-span development, specifically in Java. He also explains about the other Javanese perspectives on life-span development, with him mentioning that there are some that have three stages, some even have twelve. The session ends with a Q & A. 

The fourth session was held on Wednesday, 2 October 2024 titled Digital society and life-span development by Dr. Jessica Navarro from Elon University, the United States. The session begins with Dr. Navarro going over the basic information regarding Urie Bronfenbrenner’s theory, such as his background, why he created the theory, the development of the theory, and the criticisms of the earlier iterations of the theory. Dr. Navarro then explains one flaw in the older versions of the theory; that it didn’t include how technology can impact child and adolescent development. This is where she introduces the Neo-Ecological theory, an improved version of Bronfenbrenner’s theory, with technology and social media being considered as vital influences in each of the levels. She ends the session with explaining how artificial intelligence (AI) can be implemented into the Neo-Ecological theory. 

The fifth session was held on Thursday, 3 October 2024 titled Collaborative life-span development intervention by Dr. Sutarimah Ampuni, the head of CLSD and Dr. Yuni Hastutiningsih, a representative from The National Population and Family Planning Board (BKKBN) Yogyakarta. The session begins with Dr. Ampuni going over the basics of psychological intervention, such as the definition, stages, procedure, etc. She also explains Bronfenbrenner’s ecological theory. The session is then handed over to Dr. Hatutiningsih. She explains the general information on BKKBN, the policies, the efforts to achieve “Indonesia Emas 2045”, the programs that are available for the different life-span age groups. The session goes back to Dr. Ampuni, with her explaining the programs created with the collaboration between CLSD and BKKBN.

The sixth session was held on Monday, 7 October 2024 titled Research with children and youth in the context of migration by Dr. Roy Huijsmans, from Erasmus University Rotterdam, the Netherlands. The session starts with Dr. Huijsmans reviewing the exact meaning of child and youth. He then asks the students to take their time to answer questions regarding child and youth, specifically in relation to their age with certain behaviors. After that, he began explaining about agency in childhood and youth. Prof. Huijsmans then starts to talk about a case study he did in Laos about young people and migration. He explains that the concept of migration belongs in the youth stage of a person’s life-span. He ends the session with explaining the interventions that focus on the migrant youth of minority age. 

The seventh session was held on Tuesday, 8 October 2024 titled Empowering Older Adults by Prof. Elisabeth Schröder-Butterfill, from the University of Southampton, the UK. The session starts with Prof. Schröder-Butterfill asking the audience what ideas the students associate with older people. She then starts to explain the disengagement theory, in which withdrawal from society done by older individuals is a normal part of aging. Due to the negative connotations of the theory, Prof. Schröder-Butterfill then explains the successful aging theory. After that, Prof. Schröder-Butterfill starts to explain a program she worked on; Care Networks, which is situated in Indonesia, specifically in the regions of West Sumatra, Jakarta Yogyakarta, East Java, and the island of Alor in East Nusa Tenggara. Prof. Schröder-Butterfill concludes the session that despite the efforts of implementing elderly care in Indonesia, it’s still a major obstacle in the Indonesian healthcare system.  

The last session of this module was the postponed second session, held on Friday, 11 October 2024 titled Risk and resilience in developmental diversity: Learning from Deaf culture by Mr. Surya Sahetapy, from the Rochester Institute of Technology, the United States. This is also the final session for the international summer course. The session begins with Mr. Sahetapy explains the historical and social contexts of deaf culture, with one of the points being how it’s easier for hearing people to communicate with deaf people by ensuring that light is present and how rounded tables give deaf people an easier way to see everybody, thus ensuring better communication. Mr. Sahetapy then explains the risks faced by the deaf individuals, such as language deprivations, educational challenges, lower median earning, Mr. Sahetapy then ends the session with explaining how hearing people can become allies for deaf people.

After the session with Mr. Surya Sahetapy, a student-led conference was held on Monday, 14 October 2024. This conference has the students create a research proposal based off of the materials from the lectures as the course learning outcome.  With that, the International Summer Course on Cultural Dynamics and Life-Span Development: Research Approaches and Practical Interventions has ended, which ran from 17 September to 14 October 2024, with a total of 13 sessions, 14 speakers from 9 countries, and 47 participants from 5 countries. 

We want to give a huge thank you to our speakers for sharing their insights and knowledge on cultural dynamics and lifespan development. We would also like to thank our students for their active engagement, attendance, and thoughtful contributions during the sessions. We look forward to welcoming you at our future events! [MWK]

Module 1: Understanding Culture and Life-Span Development: Concept and Current Perspectives

Artikel Liputan KegiatanBlogEventSummer Course Tuesday, 19 November 2024

For a period of two months, the Center for Life-Span Development (CLSD) collaborated with the Center for Indigenous and Cultural Psychology (CICP) to organize a summer course event titled International Summer Course on Cultural Dynamics and Life-Span Development: Research Approaches and Practical Interventions. Collaborating with a panel of experts from Indonesia and around the world, this summer course focuses on helping students gain an understanding of the role culture plays in life-span development as well as offering valuable insights into current research methodologies and approaches relevant to cultural and lifespan development. 

We invited nine international speakers and five national speakers with various backgrounds and fields of expertise from various parts of the world, such as Denmark, Italy, Australia, Malaysia, and the United States. This course is attended by 47 students, 43 from Indonesia and 4 from various countries such as Denmark, Germany, Nepal, and Australia. 

The course is divided into 3 modules. The first module, titled Understanding Culture and Life-Span Development: Concept and Current Perspectives focuses on the paradigm of culture and how its context is correlated with today’s global conditions. It also focuses on the influence of the global north-global south paradigm, digital interactions as well as the climate crises on life-span development. The first module is constructed to fulfill Sustainable Development Goals (SDGs) such as Good Health and Well-Being (3), Quality Education (4) and Reduced Inequalities (10).

The first session of the first module was held with both an online and offline session on Tuesday, 17 September 2024. The event was carried by the Master of Ceremony of the session, Christine Rachel Margaretha and opened by Rahmat Hidayat, S.Psi., M.Sc., Ph.D., who is the dean of the Faculty of Psychology. The session begins with an introductory video on the profiles of CLSD and CICP, followed by the main event, a lecture carried out by Prof. Jaan Valsiner from Aalborg University, Denmark and Prof. Giuseppina Marsico from the University of Salerno, Italy on the topic of Redefining Culture in current context. Prof. Valsiner starts with debunking the 4 gaps of existing thinking in psychological science. After explaining the gaps, he then explains the new aspects of a “new general psychology”. He then emphasizes that researchers often use a two-dimensional method to explore the human mind, in which he uses a new method, shaped after a kleinian geometry to illustrate it. The rest of the material is then explained by Prof. Marsico, in which she explains the cultural psychology of the bordering process. The session ended with a Q & A session. 

The second session was conducted with both an online and offline session the next day, with the speakers still the same but with a different topic; (Global North–Global South) culture interactions and how it shapes life-span development. Prof. Valsiner starts this session by arguing that psychology in general needs more data. He then began explaining the important features of the methodology cycle. Examples include basic assumptions, or meta-codes, which are used to build theories, such as the assimilation theory and the proculturation theory. He also tells the students that research needs more “doubt”, which is done to reduce enforced fixed opinions. Prof. Marsico continues the lecture by explaining the Global North-Global South culture interactions and why it is important. The session ends with Prof. Valsiner & Prof. Marsico explaining their project proposal called “The Global South Network of Cultural Psychology”.

The third session was conducted on Thursday, 19 September 2024 with the topic Polyculturalism in understanding lifespan development in current society by Prof. Emiko Kashima from La Trobe University, Australia. The session started with Prof. Kashima explains Lay cultural theory and diversity ideologies, such as polyculturalism. After that, she starts to dissect the exact meaning of culture, specifically focusing on how cultural influences are “selected” through different cultural traditions. Prof. Kashima also elaborates on the topic of multiculturalism, specifically its benefits, differences, limitations, etc. The session continues with Prof. Kashima explaining cultural identity. The session ends with Prof. Kashima showing the correlation between polyculturalism and cultural identity. 

The final session of this module was held on Friday, 20 September 2024 with the topic A critique of life course intervention by Prof. Peter van Eeuwijk from the University of Basel, Switzerland. He starts the session by critiquing the definitions of lifespan and intervention. He also critiques the World Health Organization’s conventional life course model. Prof. Eeuwijk also mentions his experience using longitudinal and transversal research methodologies. During the session, Prof. Eeuwijk asks the students what is the most important factor on life quality. He ends the session by explaining about vulnerability, resiliency, and agency by using case studies. The end of Prof. Eeuwijk’s session also marks the end of the first module of the International Summer Course. [MWK]

Kader Hebat, Anak Bahagia: Pelatihan Stimulasi Sosioemosional pada Anak Usia Dini untuk Kader Bina Keluarga Balita di Bantul

Artikel Liputan KegiatanBlog Thursday, 12 September 2024

Rabu, 24 Juli 2024, CLSD UGM dan Perwakilan BKKBN DIY mengadakan Pelatihan Stimulasi Sosioemosional pada Anak Usia Dini di Rumah Dukuh Gadungan Kepuh, Canden, Jetis, Bantul. Kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan keterampilan kader Bina Keluarga Balita dalam mendukung perkembangan sosioemosional pada anak usia dini.

Pelatihan yang berlangsung dari pukul 08.00 hingga 12.30 WIB ini dihadiri oleh 25 peserta, yang terdiri dari kader Bina Keluarga Balita (BKB) Matahari, penyuluh keluarga berencana, serta orang tua setempat. Acara ini dipandu oleh Ibu Wirdatul Anisa, S.Psi., M.Psi., Psikolog, dan didukung oleh panitia dari tim interns CLSD UGM.

Tujuan utama pelatihan ini adalah untuk memperluas pemahaman dan keterampilan kader dalam menstimulasi perkembangan sosioemosional anak usia dini. Dengan meningkatkan pengetahuan mengenai cara melatih keterampilan emosional anak, para kader diharapkan dapat menerapkan dan menyebarluaskan pengetahuan tersebut di komunitas masing-masing. Melalui berbagai materi dan praktik, para peserta belajar cara membangun hubungan yang baik dengan anak dan mengenali perkembangan sosioemosional melalui metode yang interaktif.

Kegiatan dimulai dengan sosialisasi tentang pengisian Kartu Kembang Anak (KKA) yang dipandu oleh perwakilan dari BKKBN DIY. Selanjutnya, narasumber memberikan pemaparan materi tentang tujuan dan metode stimulasi sosioemosional pada anak yang kemudian dilanjutkan dengan praktik langsung, termasuk aktivitas “Berkenalan & Belajar dengan Anak” serta “Mengenal Perkembangan Emosi”. 

Pada sesi “Berkenalan dan Belajar dengan Anak“, peserta mempelajari prinsip-prinsip interaksi yang baik dan penggunaan penguatan positif untuk membentuk perilaku anak. Aktivitas ini bertujuan agar peserta mampu membangun hubungan hangat dan menciptakan suasana belajar yang menyenangkan. Selanjutnya, di sesi “Mengenal Perkembangan Emosi“, peserta diajarkan cara mengenali dan menyebutkan emosi dasar, serta mengidentifikasi ekspresi emosi melalui media video dan kartu emosi. 

Untuk semakin memperkuat pemahaman peserta, tim CLSD juga mengadakan sesi monitoring berkelanjutan. Para peserta diminta untuk mempraktikkan materi yang telah dipelajari dan melaporkan kemajuan mereka melalui grup WhatsApp yang telah disediakan.

Acara ini diakhiri dengan sesi refleksi mengenai umpan balik pelatihan dari peserta. Ibu Rita, perwakilan dari BKB Matahari, mengungkapkan, “Terima kasih kepada BKKBN dan CLSD UGM atas ilmu yang telah diberikan. Banyak materi yang dapat kami implementasikan pada kelompok kami.” 

Selain itu, Bapak Diyan Purnomo, Dukuh Padukuhan Gadungan Kepuh, menyampaikan apresiasi terhadap BKKBN dan CLSD UGM, “Saya berterima kasih atas ilmu yang telah diberikan dan berharap pengetahuan ini dapat dibagikan kepada keluarga lain. Semoga semakin banyak keluarga yang dapat mengikuti pelatihan ini.”

Pelatihan ini merupakan bagian dari upaya berkelanjutan untuk meningkatkan kualitas pengasuhan anak di Kabupaten Bantul. Pelatihan ini sejalan dengan tujuan SDGs yaitu kesehatan yang baik dan kesejahteraan (3), pendidikan bermutu (4), dan kemitraan untuk mencapai tujuan (17). Dengan keterampilan baru yang diperoleh, diharapkan kader dan orang tua dapat lebih efektif dalam mendukung perkembangan sosioemosional anak usia dini, yang pada akhirnya berkontribusi pada pembentukan generasi yang lebih sehat dan bahagia.

Recent Posts

  • Mendidik Anak dengan Bahasa Cinta
  • Eco-Conscious Parenting: Menumbuhkan Praktik Berkelanjutan pada Perkembangan Anak
  • Memahami Pendidikan untuk Pembangunan Berkelanjutan di Kedai Kopi
  • Membangun Kembali Kegembiraan: Pentingnya Bermain Bagi Kesejahteraan Mental Bagi Masyarakat
  • Keterlibatan Ayah pada Pengasuhan Anak Usia Dini
Universitas Gadjah Mada

Center for Life-Span Development (CLSD)
D-602, Fakultas Psikologi, Universitas Gadjah Mada
Jalan Sosio Humaniora Bulaksumur, Yogyakarta, Indonesia 55281
clsd.psikologi@ugm.ac.id

© Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY

[EN] We use cookies to help our viewer get the best experience on our website. -- [ID] Kami menggunakan cookie untuk membantu pengunjung kami mendapatkan pengalaman terbaik di situs web kami.I Agree / Saya Setuju