• Home
  • About Us
    • Managing Team
    • Researchers
    • Interns
    • Associates
  • Articles
  • Courses
  • Activities
    • CLSD Reader’s Club
    • Summer Course
    • Photovoice
    • SAELA
    • Community Service
  • Research & Publication
Universitas Gadjah Mada Center for Life-Span Development (CLSD)
Faculty of Psychology
Universitas Gadjah Mada
  • Home
  • About Us
    • Managing Team
    • Researchers
    • Interns
    • Associates
  • Articles
  • Courses
  • Activities
    • CLSD Reader’s Club
    • Summer Course
    • Photovoice
    • SAELA
    • Community Service
  • Research & Publication
  • Beranda
  • Artikel Populer
  • Artikel Populer
  • page. 3
Arsip:

Artikel Populer

Berkebun: Salah Satu Sumber Kesehatan Mental di Hari Tua

ArtikelArtikelArtikel Ilmiah Populer Friday, 6 January 2023

Berkebun: Salah Satu Sumber Kesehatan Mental di Hari Tua

Penulis: Ruziqna

Penyunting: Diah Dinar Utami

Semakin tua seseorang, maka semakin banyak perubahan yang akan dirasakan. Perubahan akan semakin terlihat ketika seseorang mulai memasuki usia 60 tahun ke atas. Biasanya usia tersebut dikategorikan dalam kelompok lansia.

Lansia merupakan penduduk rentan karena ketidakstabilan finansial dan kesehatan, sehingga membutuhkan pendampingan dari orang dewasa (Wahyuni, Effendy, Kusumaningrum, & Dewi, 2021). Pemberian dukungan kepada lansia untuk tetap dapat berfungsi dalam kegiatan sehari-hari dapat membantu lansia untuk tetap menjalankan kehidupannya secara positif. Sebagai orang dewasa, hal yang dapat kita lakukan untuk membantu lansia hidup secara positif adalah membantu lansia menemukan makna (meaning) dalam kegiatan kesehariannya (Bonder & Bello-Haas, 2018).

Ternyata, melibatkan lansia pada aktivitas yang berkaitan dengan gerakan fisik dapat membantu kesejahteraan mentalnya (Yen & Lin, 2018). Banyak kegiatan yang sebenarnya masih dapat dilakukan bersama oleh lansia. Salah satu kegiatan yang menyenangkan adalah berkebun di halaman rumah. Berkebun merupakan kegiatan yang berkaitan dengan alam, yang mana berdampak pada kesejahteraan psikis lansia. Berkebun dinilai sesuai dengan lansia, baik ketika dilakukan bersama-sama dengan orang lain, misalnya anak, tetangga, atau teman, dan dan tetap sama menyenangkannya jika dilakukan sendiri (Soga, Gaston, & Yamaura,  2017).

Berkebun memiliki banyak manfaat yang dapat menunjang kualitas hidup lansia. Menurut hasil penelitian Scott, Masser, dan Pachana (2020), berkebun berdampak secara fisik, psikis, dan sosial bagi lansia. Berkebun bermanfaat bagi fisik lansia karena kegiatan ini memerlukan perhatian secara berkelanjutan. Perhatian terhadap tanaman, seperti menyiram, memupuk, dan menyemai, membuat lansia terikat pada kegiatan fisik. Hal ini dapat memperlambat terjadinya osteoporosis, mengurangi resiko penyakit kanker, diabetes, dan penyakit jantung.

Selain menyehatkan fisik, berkebun juga menyehatkan psikis lansia. Melihat tanaman tumbuh dengan subur dan hijau dapat mengurangi stres. Sesederhana ketika berada di dalam kebun dan memperhatikan tanaman, ternyata bermanfaat sebagai media relaksasi bagi lansia. Berkebun juga berdampak pada kemampuan kognitif lansia melalui pemilihan tanaman, melakukan desain kebun yang sesuai dengan keinginan, dan belajar jenis tanaman baru. Hal serupa juga ditemukan pada penelitian Corley, dkk (2021), yang menyatakan bahwa berkebun di rumah dapat mengurangi rasa cemas dan meningkatkan kualitas tidur lansia. Hangatnya sinar matahari pagi dan segarnya udara yang dapat dirasakan ketika berkebun dapat meningkatkan perasaan lansia menjadi lebih baik.

Selain dua manfaat utama di atas, ternyata berkebun juga menjadi media untuk menjalin hubungan sosial dengan orang lain. Berkebun memberikan kesempatan bagi lansia untuk berinteraksi dengan tetangga, teman, atau mengikuti komunitas yang berkaitan dengan kegiatan berkebun. Selain terhubung dengan alam, lansia juga dapat memberi dukungan kepada sesama rekannya. Hal ini penting agar lansia tidak merasa terisolasi dan kesepian (Scott, Masser, & Pachana (2020), Corley, dkk (2021)).

Berdasarkan manfaat berkebun yang telah dibuktikan oleh penelitian di atas, maka dapat dinyatakan bahwa berkebun menjadi salah satu kegiatan yang layak dicoba untuk lansia. Berkebun tetap dapat dilakukan dengan asik dengan menyesuaikan dengan kekuatan fisik lansia. Agar hasil dari berkebun benar-benar dapat dirasakan untuk kesehatan mental lansia, berikut tips berkebun mudah untuk lansia di rumah yang dikutip dari artikel oleh Ross (2021):

  1. Tentukan apa yang akan ditanam

Jenis tanaman yang dipilih untuk berkebun dapat disesuaikan dengan kebutuhan. Jika ingin mendapatkan tanaman yang dapat dimakan, maka pilihlah tanaman sayuran. Jika ingin memperindah halaman dengan berbagai warna dan wewangian, maka tanaman bunga akan lebih cocok. Pemilihan dua jenis kelompok tanaman juga boleh dilakukan. Tips: pilihlah tanaman yang tidak membutuhkan perawatan yang detail serta tidak membutuhkan waktu lama untuk dipanen. Sayuran yang mudah ditanam seperti tomat, cabe, sawi, daun bawang, seledri dan timun.

  1. Tentukan desain kebun

Berkebun di rumah biasanya memiliki lahan yang kecil. Hal ini disiasati dengan penggunaan pot-pot kecil untuk menanam tanaman. Susunan pot biasanya dibuat berjenjang agar dapat memuat banyak pot. Selain itu, penggunaan pot juga dapat dikreasikan dengan kotak kayu. Tips: buatlah desain yang memiliki keleluasaan untuk lansia bergerak.

  1. Gunakan alat bantu

Agar berkebun semakin menyenangkan, maka penggunaan alat bantu berkebun bagi lansia sangat disarankan. Contoh alat bantu adalah:

  1. Tersedia keran dan selang untuk memudahkan lansia menyiram tanaman.
  2. Botol spray untuk tanaman yang masih kecil
  3. Tajak untuk menggemburkan tanah
  4. Kursi kecil untuk duduk
  5. Gunakan sarung tangan agar terhindar dari sesuatu yang tajam
  1. Pilih kegiatan yang tepat

Berkebun memiliki berbagai macam kegiatan di dalamnya. Pilihlah kegiatan yang dapat dilakukan oleh lansia. Kegiatan tersebut dapat berupa menyemai, menyiram, memanen, atau dapat juga hanya berupa berjalan memeriksa kondisi tanaman, menyentuh tanaman, dan merasakan wangi dari tanaman tersebut.

Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa berkebun tidak hanya menyehatkan fisik dan psikis lansia, tetapi juga membantu lansia menemukan makna dari kegiatan sehari-harinya, sehingga dapat menimbulkan perasaan puas menjalani kehidupan hari tuanya. Sebagai orang dewasa, kegiatan ini patut untuk dicoba bersama lansia yang ada di rumah kita, misalnya orangtua dan kakek atau nenek. Selain mudah dilakukan dan menyehatkan, berkebun dapat menjadi salah satu kegiatan untuk merekatkan hubungan dengan orangtua atau kakek-nenek kita.

Referensi:

Bonder, B. R., & Bello-Haas, V. D. (2018). Functional Performance in Older Adults: 4th Edition. USA: F.A. Davis Company.

Corley, J., Okely, J. A., Taylor, A. M., Page, D., Welstead, M., Skarabela, B., Redmond, P., Cox, S. R., & Russ, T. C. (2021). Home garden use during COVID-19: associations with physical and mental wellbeing in older adults. Journal of Environmental Psychology, 73, 101545. https://doi.org/10.1016/j.jenvp.2020.101545

Ross, M. (2021, July 30). Gardening as You Grow Older, Enabling Tools | Gardener’s Supply. Gardeners. https://www.gardeners.com/how-to/gardening-at-any-age/8574.html

Scott, T. L., Masser, B. M., & Pachana, N. A. (2020). Positive aging benefits of home and community gardening activities: older adults report enhanced self-esteem, productive endeavours, social engagement and exercise. SAGE Open Medicine, 8, 205031212090173. https://doi.org/10.1177/2050312120901732

Soga, M., Gaston, K. J., & Yamaura, Y. (2017). Gardening is beneficial for health: a meta-analysis. Preventive Medicine Reports, 5, 92–99. https://doi.org/10.1016/j.pmedr.2016.11.007

Wahyuni, S., Effendy, C., Kusumaningrum, F. M., & Dewi, F. S. T. (2021). Factors associated with independence for elderly people in their activities of daily living. Jurnal Berkala Epidemiologi, 9(1), 44. https://doi.org/10.20473/jbe.v9i12021.44-53

Yen, H. Y., & Lin, L. J. (2018). Quality of life in older adults: Benefits from the productive engagement in physical activity. Journal of Exercise Science and Fitness, 16(2), 49–54. https://doi.org/10.1016/j.jesf.2018.06.001

Menilik Tantangan dan Solusi dalam Tahap Perkembangan Keluarga

ArtikelArtikelArtikel Ilmiah Populer Friday, 6 January 2023

Menilik Tantangan dan Solusi dalam Tahap Perkembangan Keluarga

Penulis: Dewi Amalia Rahmawati

Penyunting : S. B. Suryo Buwono

Dewasa ini banyak kita jumpai munculnya edukasi pranikah di tengah masyarakat. Pihak penyelenggaranya beragam, mulai dari Kantor Urusan Agama, pemerintah daerah, hingga komunitas masyarakat. Kesadaran masyarakat akan pentingnya edukasi pranikah sejalan dengan banyaknya tantangan yang akan dihadapi dalam membangun sebuah keluarga. Beberapa tantangan muncul sebagai ciri khas yang menandakan terjadinya tahap tertentu dalam keluarga dan cenderung berbeda di setiap tahapnya. Evelyn Duvall (1971) mencetuskan teori perkembangan keluarga yang melihat bagaimana pasangan dan anggota keluarga menghadapi berbagai tugas perkembangan dalam pernikahan dan keluarga di setiap tahap siklus hidup. Menurutnya, ada delapan tahapan dalam teori perkembangan keluarga. Berikut penjelasan setiap tahapnya.

Tahap 1: Pasangan menikah (tanpa anak) 

Pernikahan tidak hanya menyatukan dua individu, melainkan juga dua keluarga. Beberapa tahun pertama pernikahan termasuk tahap transisi yang berat bagi pasangan karena masing-masing individu harus meninggalkan keluarganya, kehilangan kebebasan, dan mulai menjalankan fungsinya sebagai pasangan bagi satu sama lain (Indriani, 2014). Agar pernikahan tetap harmonis, pasangan suami istri (pasutri) perlu membangun hubungan kedekatan dan memahami respon emosi satu sama lain, menyelesaikan permasalahan pembagian peran, serta menyesuaikan hubungan dengan keluarga besar dan teman-teman. Sejauh mana tahap awal pernikahan berhasil dilalui oleh pasutri ditandai dengan keberhasilan dalam penyesuaian diri satu sama lain (Ibrahim, 2002 dalam Indriani, 2014).

Tahap 2: Keluarga dengan anak bayi 

Pasangan pada tahap ini melalui transisi untuk menerima anggota baru dalam rumah tangga. Tahap ini berlangsung sejak anak pertama lahir hingga berusia 30 bulan.Tantangan yang muncul meliputi pengabaian satu sama lain karena tingginya atau rendahnya interaksi dengan anak, kesulitan memenuhi tanggung jawab sebagai orang tua, hingga pengabaian terhadap kebutuhan bayi. Oleh karenanya dibutuhkan keseimbangan antara kebutuhan pribadi, pasangan, dan anak. Untuk dapat melewati tahap ini dengan adaptif, setiap pasangan perlu memperhatikan usia mereka saat menikah, tingkat pendidikan, kesiapan menjadi orang tua, dan pola asuh yang akan diterapkan (Setyowati et al., 2017).

Tahap 3: Keluarga dengan anak prasekolah

Tahapan selanjutnya yakni ketika anak pertama berusia 2 tahun 6 bulan sampai 6 tahun. Tantangan yang umum terjadi meliputi Separation problems, power problems, dan conduct problems. Separation problems berbicara mengenai ketidaksiapan anak untuk berpisah dari orang tuanya – atau sebaliknya – saat melakukan aktivitas sosial. Power problems terjadi ketika anak terlalu berkuasa akan keinginannya. Conduct problems terjadi ketika anak tidak mempedulikan orang lain akibat rendahnya pengharapan terhadap anak dan pengawasan yang tidak konsisten. Guna mengatasi tantangan tersebut, orang tua perlu melakukan pengawasan dengan tidak berlebihan, mempersilakan anak mengeksplorasi berbagai emosi, serta mendorong anak untuk mengembangkan perilaku mandiri dan aktivitas sosial di luar rumah. Di lain sisi, intimasi pasangan sebagai suami istri perlu tetap dipertahankan (Agustiani, 2007). 

Tahap 4: Keluarga dengan anak sekolah dasar

Keluarga akan mengalami transisi dengan adanya dunia pendidikan sebagai pendidik bagi anak-anak mereka. Di Indonesia, mayoritas anak usia sekolah dasar adalah 7 hingga 12 tahun. Pada tahun-tahun tersebut anak mengalami pertumbuhan fisik yang pesat, perkembangan motorik dan kognitif, bahasa, sosio-emosional, moral, hingga kesadaran akan gender (Santrock, 2019). Suatu hal yang perlu dipahami yakni sangatlah lumrah jika terjadi perbedaan cara dan waktu dalam pencapaian perkembangan anak. Tantangan yang orang tua hadapi di tahap ini biasanya meliputi performa akademik anak. Untuk mengatasinya, orang tua dapat memahami bahwa performa akademik bukanlah sesuatu yang bersifat mutlak. Stimulasi dan nutrisi yang tepat dari orang tua akan membantu anak untuk mencapai potensi terbaik mereka. 

Tahap 5: Keluarga dengan remaja 

Remaja kerap kali menaruh kepercayaan terhadap teman sebaya dibanding orang tua atau keluarga karena besarnya pengaruh teman sebaya. Adanya kendali keluarga membuat remaja merasa tidak bebas. Oleh karenanya, keluarga dengan remaja perlu meningkatkan fleksibilitas batasan yang ditetapkan pada anak untuk membentuk kebebasan yang tetap bertanggung jawab. Diperlukan pula figur orang tua yang hangat dan suportif serta mau mendengarkan dan memahami pendapat anak untuk membangun relasi orang tua-remaja yang positif (Nayana, 2013). Ditinjau dari sisi pasutri, pada tahap ini orang tua mulai beralih dari kegiatan pengasuhan anak. Mereka kembali memperhatikan pernikahan dan karir maupun mengalihkan fokus kepada keluarga yang lebih tua.

Tahap 6: Keluarga pelontar (launching)

Ketika anak pertama mulai meninggalkan rumah untuk tujuan pendidikan, pekerjaan, maupun pernikahan, saat itulah terjadi tahap keluarga pelontar. Orang tua perlu menyadari bahwa anaknya telah memasuki tahap perkembangan sebagai orang dewasa. Konflik dapat terjadi ketika orang tua terlalu campur tangan dalam setiap lini kehidupan anak sehingga anak tidak dapat memilih jalan hidupnya sendiri. Namun, bukan berarti orang tua memutus hubungan dengan anaknya. Sikap tepat yang dapat diambil orang tua adalah mendampingi anak dengan tidak berlebihan serta mempertahankan keluarga sebagai rumah – dalam artian psikologis – yang menjadi pusat dukungan bagi anak (Agustiani, 2007).

Tahap 7: Keluarga setengah baya

Tahap ini dikenal dengan Empty Nest atau sangkar kosong yang terjadi ketika semua anak telah meninggalkan rumah. Orang tua pun mendekati atau telah mengalami masa pensiun. Tantangan yang muncul bagi pasangan adalah adanya kesulitan dalam menghadapi perubahan, ditandai dengan sedih berlebihan, ketakutan akan peran kehidupan saat ini, serta bagaimana memandang diri sendiri dan fungsi perkawinan. Guna melewati tahap ini dengan adaptif, pasutri perlu meyakinkan diri bahwa kepergian anak merupakan jalan untuk masa depannya (Ghofur & Hidayah, 2014). Pasutri dapat berbagi rasa dengan teman atau saudara yang memiliki kondisi sama, mengalihkan perhatian pada hal menyenangkan seperti melakukan hobi, dan kembali terhubung dengan kawan lama.

Tahap 8: Keluarga lanjut usia/Masa tua  

Pada tahap ini, pasutri telah menginjak usia lanjut. Mereka mengalami perubahan dari kondisi fisik, peran sosial, hingga kondisi psikologisnya. Konflik dapat terjadi ketika lansia tidak mampu menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan tersebut. Ditambah lagi adanya potensi konflik ketika terjadi kematian pasangan maupun kerabat dan mempersiapkan diri menghadapi kematian. Di samping melakukan upaya mandiri untuk menjaga kesehatan fisik dan mental, keberadaan pendamping bagi para lansia sangatlah dibutuhkan. Pendamping berperan sebagai enabler (pemungkin), fasilitator, dinamisator, mediator, dan motivator bagi para lansia. Pendamping dapat berasal dari pusat pelayanan lansia, perawat rumah sakit, dan yang utama dari lingkungan keluarga terdekat. 

Penting bagi kita untuk menyadari sedang berada dimana keluarga kita hari ini. Hal ini berguna untuk dapat menghadapi tugas-tugas perkembangan keluarga secara adaptif. Sehingga terbentuklah keluarga yang tangguh, yakni keluarga yang semakin menguatkan satu sama lain setelah berhasil menyelesaikan konflik-konflik di dalamnya. 

References

Agustiani, H. (2007, November 17). Tahapan Perkembangan Keluarga. [Paper presentation]. Seminar Perkawinan Let’s Talk about Marriage, Bandung.

Duvall, E. M. (1971). Family Development (4th .). New York: JB Lippincott Company.

Ghafur, J., & Hidayah, F. S. (2014). Manajemen waktu di usia madya untuk meminimalisir dampak dari empty nest syndrome. Jurnal Inovasi Dan Kewirausahaan, 3(2), 120–125.

Indriani, R. (2014). Pengaruh kepribadian terhadap kepuasan perkawinan wanita dewasa awal pada fase awal perkawinan ditinjau dari teori trait kepribadian big five. Jurnal Psikologi Klinis Dan Kesehatan Mental, 3(1), 33–39.

Nayana, F. N. (2013). Kefungsian keluarga dan subjective well-being pada remaja. Jurnal Ilmiah Psikologi Terapan, 1(2), 230–244.

Santrock, J. W. (2019). Life span development (17th ed.). New York: Mcgraw-Hill Education.

Setyowati, Y. D., Krisnatuti, D., & Hastuti, D. (2017). Kesiapan Menjadi Orangtua, Pola Asuh, Pertumbuhan dan Perkembangan Sosial Anak Usia 2-3 Tahun Di Kota Medan. [Master thesis, IPB University]. Library of IPB University. https://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/91044 

Say No to Loneliness: Cara Menyikapi Loneliness pada Individu Dewasa Awal

ArtikelArtikelArtikel Ilmiah Populer Tuesday, 13 December 2022

Penulis: Nurva Dillatul Vatin

Penyunting:  Resti Fahmi Dahlia

Berbicara tentang loneliness, berarti kita berbicara tentang seseorang yang mengalami kesepian. Penulis mendefinisikan lonelines dengan merujuk pada pernyataan Subathevan et al. (2022) loneliness is defined as an unpleasant experience due to lack of social interactions. Hal ini menjelaskan loneliness sebagai pengalaman yang tidak menyenangkan karena kurangnya interaksi sosial yang menandakan individu tersebut mengalami kesepian. Orang yang mengalami loneliness akan merasakan ketidaknyamanan kognitif atau kegelisahan karena menganggap diri sendirian.

Loneliness umumnya terjadi pada masa dewasa awal yang menyangkut hubungan sosial sehingga berdampak pada kesehatan mental yang negatif (Nottage et al., 2022). Menurut Erikson tahap dewasa awal berada dalam rentang usia 20 sampai 30 tahun, serta berada pada tugas perkembangan yaitu intimacy vs isolation (Santrock, 2018). Seseorang yang berada pada tahap perkembangan dewasa awal berusaha memperoleh intimasi yang diwujudkan melalui komitmen menjalin hubungan dengan orang lain, namun jika pada tahap itu, seseorang gagal atau tidak mampu membentuk komitmen maka ia akan merasa terisolasi. Isolasi mengacu pada tidak adanya hubungan dengan orang lain, sehingga akan sedikitnya seseorang mengalami kontak sosial yang pada akhirnya membuat seseorang merasa kesepian.

Dampak seseorang yang mengalami loneliness dapat mengarahkan individu pada gangguan jiwa, stres, depresi, serta perasaan perpisahan karena kekosongan yang terjadi dalam kehidupan sosial atau emosional (Diehl et al., 2018). Hal ini tentunya mempengaruhi kesehatan mental dan kesejahteraan individu dalam menjalani hidupnya. Individu yang mengalami loneliness lebih rentan terhadap penurunan kognitif, demensia, dan pikiran untuk bunuh diri (Cacioppo & Cacioppo., 2018). Loneliness menjadi salah satu faktor atas penurunan rasa makna dalam hidup, hilangnya rasa makna dalam hidup seseorang dikarenakan isolasi sosial (Borawski et al., 2022). Lalu, bagaimana cara mengatasi dan mencegah ketika individu merasa loneliness?

Mengutip sebuah studi kualitatif yang dilakukan oleh Fardghassemi dan Joffe (2021)
menemukan strategi coping untuk mengatasi loneliness pada dewasa awal diantaranya;
● Penggunaan platform media sosial
Individu bisa menggunakan fitur yang ada di media sosial yang menawarkan komunikasi aktif. Hal ini menciptakan peluang untuk membentuk persahabatan baru, sehingga mengurangi kesepian. Studi terbaru yang ditemukan oleh Shorter et al. (2022) bahwa penggunaan media sosial atau SNS menjadi motivasi tersendiri bagi individu dalam mengelola perasaan kesepian.
● Terlibat dalam kegiatan sosial
Baru-baru ini penelitian yang dilakukan oleh Williams et al. (2022) menemukan bahwa terlibat dalam kegiatan sosial dapat menjadi intervensi untuk mengurangi perasaan loneliness. Individu bisa terlibat aktif dalam kegiatan sosial yang disediakan oleh sekolah, pemerintah maupun masyarakat yang mana membantu individu untuk dapat menemukan apa yang memberi mereka makna dalam hidup. Hal ini juga memberikan kesempatan kepada individu dewasa awal untuk terlibat dalam kegiatan yang berarti seperti menjadi sukarelawan dan membantu orang lain. Ini bertujuan untuk mengurangi perasaan hampa dan meningkatkan perasaan orang dewasa bahwa hidup mereka memiliki makna.
● Melakukan aktivitas yang bermanfaat
Hal ini bisa dilakukan oleh individu untuk memberikan kesenangan dan menemukan tujuan yang ingin dicapai. Seperti aktivitas membaca, menggambar, melukis, menari atau mendengarkan musik. Aktivitas tersebut dapat mengurangi loneliness pada individu yang mana menciptakan pengalaman, mengurangi perenungan kesadaran diri, memberikan kenikmatan dan makna (Perkins et al., 2021).

● Dukungan sosial
Dukungan sosial dari teman dan keluarga menjadi koping yang efektif untuk mengatasi kesepian. Hal ini dibenarkan oleh Pineda et al. (2022) dukungan sosial menjadi salah satu faktor yang dapat mengurangi efek negatif dari kesepian. Serta, menjadi kontributor utama untuk menciptakan kesejahteraan bagi individu. Sesuai dengan teori determinasi sosial yang menyatakan bahwa berhubungan dengan orang lain adalah kebutuhan psikologis dasar. Intervensi untuk membantu orang dewasa awal mengatasi pengalaman kesepian mereka harus fokus pada kegiatan yang menumbuhkan keterhubungan sosial.

Sejatinya, setiap individu dewasa awal pernah merasakan kesepian, namun jika itu terus dibiarkan akan berdampak pada kesehatan mental. Strategi coping yang dipaparkan sebelumnya dapat membantu individu mengatasi kesepian sehingga bisa menjalani kehidupan dengan baik.

Referensi
Borawski, D., Nowak, A., & Zakrzewska, A. (2022). Lonely meaning – seekers: the moderating role of search for meaning in the relationship between loneliness and presence of meaning. Personality and Individual Differences.190, 1-9.

Cacioppo, J.T., & Cacioppo, S. (2018). Loneliness in the modern age: an evolutionary theory of loneliness (ETL). Advances in Experimental Social Psychology, 58, 127-197.

Diehl, K., Jansen, C., Ishchanova, K., & Hilger-Kolb, J. (2018). Loneliness at universities: determinants of emotional and social loneliness among students. International Journal of Environmental Research and Public Health, 15(9), 1-14.

Fardghassemi, S., & Joffe, H. (2021). Young Adults’ Experience of Loneliness in London’s Most Deprived Areas. Frontiers in Psychology, 12, 1-14.

Nottage, M.K., Oei, N.Y.L., Wolters, N., Klein, A., Van der Heijde, C.M., Vonk, P., Wiers, R.W., & Koelen, J. (2022). Loneliness mediates the association between insecure attachment and mental health among university students. Personality and Individual Differences, 185, 1-7.

Perkins, R., Mason-Bertrand, A., Tymoszuk, U., Spiro, N., Gee, K., & Williamon, A.
(2021). Arts engagement supports social connectedness in adulthood: findings
from the HEartS Survey. BMC Public Health, 21(1), 1-15.

Pineda, C. N., Naz, M. P., Ortiz, A., Ouano, E. L., Padua, N. P., Paronable, J. J., Pelayo, J. M., Regalado, M. C., & Torres, G. C. S. (2022). Nurse Education in Practice Resilience, Social Support, Loneliness and Quality of Life during COVID-19 Pandemic: A Structural Equation Model. Nurse Education in Practice, 64, 1-9.

Santrock, J, W, (2018). A Topical Approach To Life-Span Development. Ninth Edition.
Published by McGraw-Hill Education, 2 Penn Plaza, New York.

Shorter, P., Turner, K., & Mueller-coyne, J. (2022). Computers in Human BehaviorReports Attachment Style’s impact on loneliness and the motivations to use social media. Computers in Human Behavior Reports, 7, 1-6.

Subathevan, S., Suganthan, S., Suranjith, G. H. C., Dilshara, H. M. K. S. J., & S, S. D. S.
W. (2022). Social and emotional loneliness among older adults in a coastal suburb
in Sri Lanka. Aging and Health Research, 2(2), 1-4.

Williams, T., Lakhani, A., & Spelten, E. (2022). Interventions to reduce loneliness and social isolation in rural settings: A mixed-methods review. Journal of Rural Studies, 90, 76–92.

Parent’s Happiness: Sesuatu yang Penting tapi Sering Dilupa ketika Menjadi Orang Tua

ArtikelArtikelArtikel Ilmiah Populer Monday, 12 December 2022

Penulis : Raden Roro Anisa Anggi Dinda

Penyunting: Resti Fahmi Dahlia

Parenting menjadi kata yang lekat dan tidak bisa lepas ketika seorang individu menjalani peran sebagai orang tua. Menurut American Psychological Association, terminologi “parenting” merupakan suatu pola pengasuhan anak oleh orang dewasa. Pola pengasuhan ini tidak terbatas dengan hubungan biologis saja, namun juga memiliki tiga tujuan utama yaitu memastikan anak- anak selalu dalam keadaan sehat dan aman, mempersiapkan anak-anak agar tumbuh menjadi pribadi yang produktif, serta mentransfer nilai-nilai kebudayaan.

Tujuan parenting memang sebagian besar berorientasi pada anak, oleh sebab itu mayoritas kelas-kelas parenting yang ada saat ini berfokus pada bagaimana cara membesarkan anak agar mereka dapat tumbuh dan berkembang dengan optimal. Dibalik menjamurnya kelas -kelas tersebut, kita seringkali lupa bahwa di dalam kata parenting sendiri, terselip kata parent, atau orang tua, yang merupakan komponen dan penggerak utama dari parenting. Padahal menjadi orang tua merupakan salah satu masa transisi penting dalam perkembangan manusia, baik pada dirinya sendiri maupun generasi setelahnya. Meskipun masih sedikit dan terbatas, namun akhir-akhir ini pembahasan mengenai parenting yang berfokus pada orang tua mulai bermunculan. Topik-topik seputar kesehatan mental pun mulai diperbincangkan di kelas-kelas parenting seiring peningkatan awareness akan hal-hal seperti baby blues, postpartum depression, parental fatigue dan lain sebagainya. Lalu, bagaimana dengan happiness? Apakah egois ketika orang tua memikirkan kebahagiaan dirinya sendiri?

Dua studi saintifik yang dilakukan oleh Hansen (2012) dan Stanca (2012) menunjukkan bahwa orang tua (parents) memiliki kepuasan hidup (life satisfaction) yang lebih rendah dari pada mereka yang tidak memiliki anak (childless). Kepuasan hidup sendiri berasosiasi dengan kebahagiaan. Meski demikian, pernyataan ini dievaluasi kembali oleh Deaton & Stone (2014) yang menyimpulkan bahwa sejatinya level kepuasan hidup pada mereka yang memiliki anak maupun tidak, hampir sama. Hanya saja, dalam aktivitas sehari-hari, para orang tua mengalami perubahan momen-momen bahagia dan stressfull dengan frekuensi yang lebih sering dan mendadak. Paparan stres ini meningkatkan gejala depresi dan kecemasan serta emosi negatif seperti kemarahan. Di sisi lain, paparan ini mengurangi perasaan positif seperti kebahagiaan (happiness) (Nomaguchi & Milkie, 2003).

Dalam psikologi, kebahagiaan memiliki banyak konstruk, namun terdapat dua istilah populer untuk jenis kebahagiaan yaitu hedonic happiness dan eudaimonic happiness. Hedonic happiness atau kebahagiaan hedonis dicapai melalui pengalaman kesenangan dan kenikmatan, sedangkan kebahagiaan eudaimonic dicapai melalui pengalaman makna dan tujuan (Di Fabio & Palazzeschi, 2015). Pendekatan hedonis berfokus pada kebahagiaan, mendefinisikan kesejahteraan dalam hal pencapaian kesenangan dan menghindari rasa sakit, sedangkan pendekatan eudaimonic, di sisi lain, berkaitan dengan makna, dan realisasi diri di mana kesejahteraan dilihat sebagai fungsi penuh dari orang tersebut.

Kebahagiaan yang dibicarakan pada konteks ini lebih menitikberatkan pada pendekatan eudaimonic. Kebahagiaan ini bukan sekadar kesenangan semu belaka, namun lebih kepada kepuasan hidup, yaitu seberapa bahagia seseorang dengan cara hidupnya berjalan, dan juga apa yang dirasakan seseorang dari waktu ke waktu. Kebahagiaan sebagai orang tua bukan berbentuk “me-time” liburan tak berkesudahan tanpa peduli dengan anak-anak, namun lebih kepada terpenuhinya semua kebutuhan fisik (seperti pola makan sehat, pola hidup aktif, dan pola tidur teratur) dan juga psikis (seperti rasa percaya diri dan relasi positif kepada orang lain).

Memenuhi kebutuhan ini bukan sesuatu yang egois, apalagi dengan kebutuhan dasar. Justru dengan terpenuhinya semua kebutuhan ini, orang tua bisa memiliki kondisi yang prima dalam menjalani peran pengasuhan. Jika kebutuhan ini tidak terpenuhi, kondisi orang tua bisa jadi tidak stabil baik secara fisik dan juga mental. Ilmu-ilmu baik mengenai pengasuhan dan cara membesarkan anak bisa menjadi sia-sia jika orang tua kurang bisa menyampaikan dan mempraktikkan dengan optimal. Layaknya sebuah mobil yang akan berjalan jauh, perjalanan tersebut, meskipun sudah memiliki bekal dan peta yang memadai, tidak akan berhasil apabila mobilnya “bermasalah”.

Kebahagiaan ini memegang peranan penting dalam berinteraksi dengan anak. Ketika orang tua merasa bahagia, mereka dapat berinteraksi dengan baik dan menyeluruh dengan anak mereka. Namun, ketika orang tua merasa stress dan tertekan, orang tua sering salah mengartikan children’s cues (Muzik et al., 2015). Cues adalah sinyal yang diberikan oleh anak terkait dengan apa yang sebenarnya mereka rasakan dan mereka butuhkan. Cues yang tidak direspon dengan baik akan mengakibatkan kebutuhan anak tidak terpenuhi sehingga anak menjadi lebih rewel dan pastinya orang tua akan lebih merasa stress dan tertekan lagi. Seperti sebuah lingkaran, apa yang orang tua rasakan dan berikan saat berinteraksi dengan anak, pasti akan kembali dalam bentuk yang sama.

Jadi mulai sekarang yuk bersama-sama kita sadari dan taruh perhatian lebih pada
kebahagiaan orang tua, karena parent’s happiness tidak hanya memiliki dampak yang positif
untuk diri sendiri, namun juga seluruh anggota keluarga yang lain.
Reference:
(APA) American Psychological Association, (2018). Parenting. Retrieved from: http://www.apa.org/topics/parenting/index.aspx

Deaton, A., & Stone, A. A. (2014). Evaluative and hedonic well being among those with and without children at home. Proceedings of the National Academy of Sciences of the United States of America, 111(4), 1328–1333. https://doi.org/10.1073/pnas.1311600111

Di Fabio, A., & Palazzeschi, L. (2015). Hedonic and eudaimonic well-being: the role of resilience beyond fluid intelligence and personality traits. Frontiers In Psychology, 6. doi: 10.3389/fpsyg.2015.01367

Hansen, Thomas. (2012) Parenthood and happiness: A review of folk theories versus empirical evidence. Social Indicator Research 108(1):29–64.

Muzik, M., Rosenblum, K. L., Alfafara, E. A., Schuster, M. M., Miller, N. M., Waddell, R. M., & Stanton Kohler, E. (2015). Mom Power: preliminary outcomes of a group intervention to improve mental health and parenting among high-risk mothers. Archives of women’s mental health, 18(3), 507–521. https://doi.org/10.1007/s00737-014-0490-z

Nomaguchi, K. M., & Milkie, M. A. (2003). Costs and rewards of children: The effects of becoming a parent on adults’ lives. Journal of marriage and family, 65(2), 356-374.

Stanca, Luca. (2012) Suffer the little children: Measuring the effects of parenthood on well-being worldwide. Journal of Economic Behavior and Organization 81(3):742–750.

Pentingnya Kecerdasan Emosional bagi Remaja

ArtikelArtikelArtikel Ilmiah Populer Wednesday, 28 September 2022

Penulis: Erythrina Sekar Rani

Penyunting: Arum Febriani

 

Masa remaja merupakan salah satu tahapan perkembangan yang sangat penting. Menurut Erikson, pada masa remaja seseorang menghadapi krisis mencari identitas diri sehingga di akhir masa ini seseorang diharapkan dapat menemukan identitas dirinya (Feist & Feist, 2010). Di sisi lain, pada masa remaja, seseorang cenderung memiliki egosentrisme yang tinggi. Karakteristik egosentrisme inilah yang membuat remaja merasa tertantang untuk melakukan perilaku yang secara tidak sadar dapat membahayakan diri mereka sendiri (Albert, Elkind, & Ginsberg, 2007). Perilaku membahayakan diri dan orang lain yang banyak dilakukan oleh remaja antara lain aksi tawuran, bullying, minum-minuman beralkohol, menggunakan obat-obatan terlarang, atau seks bebas.

Egosentrisme adalah ketidakmampuan membedakan sudut pandang diri sendiri dan sudut pandang orang lain (Santrock, 2011). Menurut David Elkin (dalam Santrock, 2011), ada dua kunci utama dalam egosentrisme remaja yaitu imaginary audience dan personal fabel. Lebih lanjut, dijelaskan bahwa imaginary audience adalah ciri khas remaja yang merasa menjadi pusat perhatian, merasa orang lain tertarik pada sesuatu (sama seperti dirinya), dan biasanya muncul perilaku mencari perhatian. Contohnya, saat berkendara atau berjalan, remaja merasa orang-orang di sekitar memperhatikan mereka. Tidak jarang ada pula remaja yang berperilaku tertentu bertujuan untuk menarik perhatian orang di sekitar. Sementara, personal fabel adalah ciri khas remaja merasa dirinya unik, merasa tidak ada yang memahami, dan merasa dirinya kebal atau tidak terkalahkan. Penelitian yang dilakukan oleh Azhari, Dahlan, dan Mustofa (2019) pada 395 remaja berusia 13-18 tahun yang bersekolah di SMP dan SMA di Kota Bandung menunjukkan bahwa imaginary audience dan personal fabel dapat mempengaruhi perilaku agresi pada remaja.

Tingginya agresi pada remaja ternyata terkait erat dengan rendahnya kecerdasan emosional yang dimiliki. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Siu (2009) di Cina, tingginya perilaku depresi, cemas, stres, agresi, dan kenakalan remaja berhubungan dengan rendahnya kecerdasan emosional yang dimiliki. Hasil serupa juga diperoleh oleh Moskat dan Sorenson (2012) dalam penelitiannya pada remaja usia 12-17 tahun di Washington, tingginya agresivitas berhubungan dengan rendahnya kecerdasan emosional pada remaja. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Kawamoto, Kubota, Sakakibara, Muto, Tonegawa, Komatsu, dan Endo (2021) pada anak dan remaja di Jepang, ditemukan bahwa semakin tinggi kecerdasan emosional pada anak/remaja maka permasalahan mereka dengan teman sebaya dan kesulitan lain yang dihadapi cenderung semakin rendah, serta perilaku prososial (tolong-menolong) cenderung tinggi. Penelitian lain yang dilakukan oleh Masithah, Soedirham, dan Triyoga (2019) pada mahasiswa berusia 18-24 tahun di Indonesia juga menunjukkan bahwa kecerdasan emosional mempengaruhi kontrol perilaku seseorang, pada penelitian ini mempengaruhi pada intensi untuk berhenti merokok. Mengacu pada beberapa hasil penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa diperlukan kecerdasan emosional yang tinggi bagi remaja untuk membantu mereka mengelola emosi dan mengurangi perilaku yang dapat membahayakan diri sendiri maupun orang lain.

Kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang dalam mengelola diri, seperti kemampuan: memotivasi diri, bertahan terhadap stres, mengelola emosi, bersosialisasi, dan hubungannya dengan Tuhan (Goleman, 2009). Orang yang memiliki kecerdasan emosional yang tinggi akan cenderung memiliki kemampuan emosional yang lebih bisa membantu menghadapi permasalahan sehari-hari dan cenderung tidak merugikan diri sendiri maupun orang lain. Cerdas secara akademis saja ternyata tidak cukup untuk seseorang bisa mengontrol diri dan bersosialisasi dengan lingkungan, dibutuhkan kecerdasan emosional untuk menyeimbangkannya.

Kecerdasan emosional dipengaruhi oleh beberapa faktor, terutama faktor eksternal, yaitu:

  1. Keluarga
    Keluarga merupakan tempat pertama kali bagi anak dalam mempelajari kecerdasan emosional, salah satunya melalui interaksi dengan orangtua. Orangtua dapat membantu anak mengenali emosi, memberi label pada emosi, menghargai emosi yang dirasakan, dan menempatkan emosi pada situasi sosial yang relevan (Mayer & Salovey, 1997). Anak memiliki kecenderungan meniru perilaku orang dewasa, termasuk saat mengekspresikan emosi. Oleh karena itu, perlu bagi kita sebagai anggota keluarga untuk sama-sama saling mengenali dan menghargai emosi satu sama lain, serta mengekspresikan emosi dengan cara yang tepat (tidak merugikan diri dan anggota keluarga lain) agar hubungan dalam keluarga bisa terjalin dengan nyaman dan terbuka.
  2. Lingkungan (teman sebaya, pendidikan, dan budaya)
    Baik kita sadari maupun tidak, lingkungan turut berperan dalam kecerdasan emosional kita dan hal ini dapat dimanfaatkan untuk memaksimalkan perkembangan sosioemosional anak sehingga dapat memiliki kecerdasan emosional yang tinggi. Contohnya dapat kita temui pada saat kita berinteraksi dengan teman, guru, ataupun tetangga sebelah rumah kita. Ada proses pembelajaran baik dari segi budaya ataupun kebiasaan yang kita ambil dari interaksi tersebut.

Kecerdasan emosional bukan sesuatu yang diturunkan, melainkan dapat dilatih atau dipelajari dari lingkungan (Saphiro, 2003). Berikut, tips-tips yang bisa dilakukan remaja untuk meningkatkan kecerdasan emosional:

  1. Menyadari dan mengenali emosi yang dirasakan tanpa memberikan penghakiman terhadap perasaan itu. Tidak apa-apa jika merasa sedih, marah, kecewa, takut, cemas, atau emosi yang lainnya.
  2. Mengelola emosi yang dirasakan dan mengekspresikan dengan cara yang sesuai (tidak menyakiti diri dan orang lain). Mengapa emosi perlu dikelola atau diekspresikan? Ketika emosi dipendam terus menerus, hal ini cenderung membuat kita merasa tidak nyaman, sesak, atau bisa meledak pada waktu tertentu. Oleh karena itu, perlu untuk mengekspresikannya dengan cara yang sesuai dengan diri kita. Prinsipnya berusaha tidak menyakiti diri dan orang lain. Misalnya: bercerita kepada orang yang dipercaya, menuliskan jurnal, melakukan meditasi atau relaksasi, mendengarkan lagu, berolahraga, menonton film, bernyanyi, atau yang lainnya.
  3. Mengomunikasikan secara asertif kebutuhan, keinginan, ataupun aspirasi diri. Komunikasi asertif adalah komunikasi yang dilakukan dengan cara yang baik, saling menghormati dan menghargai dengan lawan bicara, menyampaikan pesan dengan jelas (tidak ambigu), memberikan kesempatan kepada lawan bicara untuk menanggapi pembicaraan, dan tidak memaksakan lawan bicara harus sesuai dengan yang kita harapkan sehingga komunikasi dua arah bisa terjalin. Komunikasi asertif dapat dilakukan untuk memediasi ketika kita memiliki permasalahan dengan orang lain atau saat memiliki pesan yang ingin disampaikan kepada orang lain. Jika merasa masih kesulitan, bisa coba untuk tenangkan dan siapkan diri terlebih dahulu ya. Bisa mencoba dengan relaksasi atau menuliskan pesan yang akan disampaikan.
  4. Mengikuti kegiatan positif untuk mengasah potensi diri. Mengisi waktu luang dengan kegiatan positif, seperti: olahraga, kesenian, sosial, keagamaan atau kegiatan lainnya.
  5. Jika merasa menghadapi permasalahan yang tidak dapat diselesaikan sendiri dan mengganggu keberfungsian sehari-hari, bisa untuk mengikuti konseling dengan psikolog atau psikiater.
  6. Terakhir, untuk orang dewasa atau keluarga, kita bisa turut berperan dalam membangun suasana positif bagi peningkatan kecerdasan emosional remaja, seperti: menjadi pendengar yang baik layaknya teman bagi mereka (berempati), memberikan dukungan emosional, dan mengarahkan potensi remaja dalam hal yang positif.

Selamat mencoba! Semoga bermanfaat! 🙂

Referensi:

Alberts, A., Elkind, D., & Ginsberg, S. (2007). The personal fable and risk taking in early adolescence. Journal of Youth Adolescence, 36, 71-76. https://link.springer.com/article/10.1007/s10964-006-9144-4
Azhari, S. M., Dahlan, T. H., & Mustofa. M. A. (2019). Imaginary audience, personal fable, dan perilaku agresi remaja. Jurnal Psikologi Insight, 3(2), 32-42.
Feist, J., & Feist, G. J. (2010). Teori kepribadian terjemahan (7th ed., Vol. 1). Salemba Humanika.
Goleman, D. (2009). Emotional intelligence: Kecerdasan emosional mengapa EI lebih penting daripada IQ. PT Gramedia Pustaka Utama.
Kawamoto, T., Kubota, A. K., Sakakibara, R., Muto, S., Tonegawa, A., Komatsu, & S., Endo, T. (2021). The general factor of personality (GFP), trait emotional intelligence, and problem behaviors in Japanese teens. Personality and Individual Differences, 171, 1-7. https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S0191886920306711
Masithah, D., Soedirham, O., & Triyoga, R. S. (2019). The influence of emotional and spiritual intelligence on smoking cessation intention in college student. Indian Journal of Public Health Research & Development, 10(12), 1651-1655.
Mayer, J. D., & Salovey, P. (1997). What is emotional intelligence? In P. Salovey, & D. J. Sluyter (Eds.), Emotional development and emotional intelligence: Educational implications. Basic Books.
Moskat, H. J., & Sorenson, K. M. (2012). Let’s Talk about feelings: Emotional intelligence and aggression predict juvenile offense [Thesis, Whitman College]. Penrose Library. http://hdl.handle.net/10349/1169
Santrock, J. W. (2011). Life-span development (13th Ed). Mc Graw Hill.
Saphiro, L. E. (2003). Mengajarkan emotional intelligence pada anak. PT Gramedia Pustaka Utama.
Siu, A. F. (2009). Trait emotional intelligence and its relationships with problem behavior in Hong Kong adolescents. Personality and Individual Differences, 47(6), 553-557.

Kapan orang tua perlu berhenti kepo dengan aktivitas berinternet anaknya? Sebuah pelajaran dari studi tentang cyberbullying pada remaja dan emerging adults

ArtikelArtikelArtikel Ilmiah Populer Monday, 5 September 2022

Penulis: S. B. Suryo Buwono

Penyunting: Arum Febriani

 

Internet adalah bagian penting dan tak terelakkan dari kehidupan manusia zaman sekarang. Implikasi dari maraknya penggunaan internet dan berbagai platform komunikasi yang dimediasi komputer, seperti sosial media dan aplikasi pesan instan, adalah munculnya online disinhibition effect. Online disinhibition effect adalah perubahan tingkah laku komunikan yang menjadi lebih terbuka, longgar, dan merasa tanpa kekangan (Suler, 2004). Efek ini muncul secara natural dalam ruang maya karena sifat interaksi di platform ini mendorong penggunanya mengembangkan persepsi anonimitas, asinkronitas, dan minim tanggung jawab langsung atas perilaku.

Dampak dari efek ini bak pisau bermata dua: di satu sisi, memfasilitasi pengguna untuk dapat mengungkapkan dirinya, saling berbagi emosi positif, dan membantu sesama dengan skala yang luas (contohnya seperti menginisiasi crowdfunding); di sisi lain, dengan lunturnya identitas individu dan terminimalisasinya konsekuensi perilaku, banyak pengguna menjadi lebih terdorong untuk berkata kasar, mengumbar kemarahan dan kebencian, dan bahkan secara sengaja berperilaku agresif terhadap orang lain. Dalam istilah yang lebih populer, perilaku agresif secara online yang dilakukan secara sengaja dan berulang diistilahkan sebagai cyberbullying (Patchin & Hinduja, 2015).

Cyberbullying telah meluas dan mudah dijumpai dalam interaksi sehari-hari di jagad maya. Cyberbullying dapat dilakukan oleh dan kepada siapapun yang merupakan pengguna aktif internet. Baik anak-anak, remaja, dewasa, dan lansia dapat menjadi pelaku maupun korban cyberbullying. Selain berdampak serius secara psikologis bagi korban, hal yang tidak kalah mengkhawatirkan dari fenomena cyberbullying adalah potensinya untuk menciptakan siklus kekerasan. Beragam studi telah menemukan bahwa pengalaman menjadi korban (cyber-victimization) berperan sebagai salah satu prediktor utama dari perilaku cyberbullying (e.g., Kowalski et al., 2014; Wong et al., 2014); dengan kata lain, mereka yang sebelumnya merupakan korban berisiko tinggi untuk menjadi pelaku cyberbullying di kemudian hari.

Dalam konteks pengasuhan, secara intuitif umumnya orang tua (atau figur pengasuh) berusaha memproteksi anaknya dari dampak negatif berinternet dengan bersikap kepo dan melakukan pengawasan. Secara empiris, berbagai studi di dunia barat menemukan bahwa “kekepoan” atau keingintahuan orang tua terhadap aktivitas berinternet anak mampu berperan sebagai faktor protektif dan melemahkan hubungan pengalaman sebagai korban dengan perilaku cyberbullying (Hood & Duffy, 2018; Kowalski et al., 2014).

Pertanyaannya, sejauh mana temuan tersebut berlaku di Indonesia? Hingga usia berapakah “kekepoan” orang tua terhadap aktivitas berinternet anak efektif berperan sebagai faktor protektif?

 

Temuan studi pada sampel remaja awal, remaja akhir, dan emerging adults di Indonesia

Gambar 1-3 merangkum temuan rangkaian studi yang dilakukan oleh Center for Lifespan Development (CLSD, 2020) terhadap 1891 remaja awal (13-15 tahun) dan 1212 remaja akhir (16-18 tahun); dan Buwono (2021) terhadap 122 emerging adults (18-29 tahun). Hasil menunjukkan bahwa efektivitas parental monitoring—upaya orang tua untuk mengawasi dan memahami aktivitas berinternet anaknya—dalam melemahkan potensi risiko korban untuk menjadi pelaku cyberbullying hanya berlaku pada remaja awal. Pada remaja akhir, tingginya parental monitoring tidak menentukan kuat lemahnya hubungan antara pengalaman viktimisasi dengan perilaku cyberbullying. Sebaliknya, pada emerging adults, tingginya skor parental monitoring justru memperkuat hubungan kausal positif antara pengalaman mahasiswa sebagai korban dengan perilaku cyberbullying—alih-alih melemahkannya.

Kesimpulannya, efek positif dari parental monitoring tidak universal di semua kelompok usia. Seiring bertambahnya usia anak, “kekepoan” dan kontrol orang tua terhadap aktivitas internet anak justru akan berbalik menjadi bumerang dan menghadirkan efek negatif.

Gambar 1. Tingginya parental monitoring melemahkan hubungan viktimisasi-cyberbullying pada remaja awal (CLSD, 2020).
Gambar 2. Tingginya parental monitoring tidak berkaitan dengan hubungan viktimisasi-cyberbullying pada remaja akhir (CLSD, 2020).
Gambar 3. Tingginya parental monitoring memperkuat hubungan viktimisasi-cyberbullying pada emerging adults (Buwono, 2021).

 

Pembahasan

Hasil studi yang dilakukan Albert dan koleganya (2005) menemukan bahwa karakteristik umum orang tua di Indonesia menyukai kontrol dan selalu ingin tahu dengan apa yang dilakukan anak. Oleh karena itu, dalam budaya pengasuhan di Indonesia sangat wajar ditemukan anak yang hingga usia dewasa masih tinggal bersama orang tua, sebab dependensi dan kepatuhan anak terkadang justru dianggap desirable.

Meski demikian, secara psikologis, proses transisi dari fase remaja ke fase emerging adulthood mendorong anak untuk mengembangkan aspirasi yang tinggi untuk mandiri (Jensen et al., 2004). Akibatnya, monitoring terhadap aktivitas berinternet yang dilakukan oleh orang tua justru akan dipersepsikan sebagai tindakan pengekangan dan hambatan untuk meraih kemandirian.

Alih-alih berperan sebagai buffer, “kekepoan” orang tua justru menghadirkan ketegangan bagi mereka yang berada di fase emerging adulthood. Berdasarkan pandangan General Strain Theory (Agnew, 1992, 2001), ketegangan yang dialami seseorang, terutama yang disebabkan oleh hal-hal yang dianggap tidak adil atau merugikan, mendorong munculnya emosi-emosi negatif seperti frustrasi, amarah, cemas, atau depresi. Menurut Agnew, manusia secara aktif akan mencari cara untuk mereduksi ketegangan dan emosi negatif yang membuat ketidaknyamanan dalam hidupnya; salah satunya dengan berlaku agresif. Oleh karena itu, dalam hal ini, “kekepoan” orang tua adalah komorbid ketegangan yang mengamplifikasi efek ketegangan utama yang bersumber dari pengalaman viktimisasi; menjadikan emerging adults yang dulunya korban menjadi lebih berisiko untuk melakukan cyberbullying di kemudian hari.

 

Saran

Sangat dapat dipahami bahwa “kekepoan” orang tua terhadap aktivitas berinternet anak merupakan ungkapan kepedulian orang tua kepada anak. Meski demikian, orang tua perlu lebih peka untuk menyesuaikan pendekatan pengasuhannya dengan tahapan perkembangan anak. Sebab, tidak ada strategi pengasuhan yang bersifat one-size-fits-all (satu untuk semua). Sebaik-baiknya pengasuhan adalah pengasuhan yang sesuai dengan milestone perkembangan anak.

Seiring bertambahnya usia anak, sedikit demi sedikit kontrol terhadap anak perlu direnggangkan. Kemampuan berkomunikasi secara terbuka dan dua arah menjadi elemen pengganti yang penting untuk merawat kualitas relasi orang tua-anak; hal inilah yang justru mampu berperan sebagai faktor protektif bagi anak yang mulai beranjak dewasa (cf. Kowalski et al., 2014; Ybarra & Mitchell, 2004). Tanpa adanya pola komunikasi ini, mispersepsi akan sangat mungkin terjadi dan konflik akan sulit untuk dapat diresolusi secara konstruktif.

 

Referensi

Agnew, R. (1992). Foundations for a general strain theory of crime and delinquency. Criminology, 30, 47–87.

Agnew, R. (2001). Building on the foundation of general strain theory: Specifying the types of strain most likely to lead to crime and delinquency. Journal of Research in Crime and Delinquency, 38, 319–361.

Albert, I., Trommsdorff, G., Mayer, B., & Schwarz, B. (2005). Value of children in urban and rural Indonesia: Socio-demographic indicators, cultural aspects, and empirical findings.

Buwono, S. B. S. (2021). Parental monitoring increases the risk of cybervictimized college students to become cyberbullies: A study of moderation effect. Paper presented at the 2nd Padjadjaran Psychology Conference Series, Indonesia.

Center for Lifespan Development. (2020). Cyberbullying among adolescents in Indonesia. Laporan Penelitian (Tidak dipublikasikan).

Hood, M., & Duffy, A. L. (2018). Understanding the relationship between cyber-victimisation and cyber-bullying on Social Network Sites: The role of moderating factors. Personality and Individual Differences, 133, 103-108.

Jensen, L. A., Arnett, J. J., Feldman, S. S., & Cauffman, E. (2004). The right to do wrong: Lying to parents among adolescents and emerging adults. Journal of Youth and Adolescence, 33(2), 101-112.

Kowalski, R. M., Giumetti, G. W., Schroeder, A. N., & Lattanner, M. R. (2014). Bullying in the digital age: A critical review and meta-analysis of cyberbullying research among youth. Psychological Bulletin, 140(4), 1073.

Memeriksa Keterampilan Eksekutif pada Bayi Melalui Permainan A not B

ArtikelArtikelArtikel Ilmiah Populer Friday, 15 July 2022

Penulis: Reswara Dyah Prastuty, Reviewer: Diah Dinar Utami

Perkembangan manusia pada 1000 hari pertama kehidupan, yakni sejak masih berada dalam kandungan hingga berusia dua tahun, memiliki peranan penting dalam membentuk pondasi perkembangan manusia sepanjang rentang kehidupan. Pada masa ini, volume otak anak berkembang sangat pesat hingga mencapai 75% dari volume otak orang dewasa (Santrock dkk., 2020). Beriringan dengan itu, berbagai aspek psikologis manusia, seperti sensorik motorik, kognitif, dan sosio emosional, juga turut berkembang. Aspek-aspek yang berkembang pada periode emas ini memiliki pengaruh yang signifikan dalam menentukan potensi perkembangan dan pembelajaran anak di masa mendatang (UNICEF, 2017).

Executive function atau fungsi eksekutif merupakan salah satu keterampilan dasar yang mulai tumbuh pada masa bayi. Keterampilan ini memungkinkan manusia untuk melakukan perencanaan hingga mampu mencapai tujuan. Fungsi eksekutif mencakup berbagai kemampuan kognitif, yaitu kemampuan atensi, pemecahan masalah, koordinasi, pembuatan keputusan, regulasi diri, serta berbagai kemampuan kognitif tingkat tinggi lainnya (Goldstein & Naglieri, 2014). 

Pada anak-anak, keterampilan eksekutif berhubungan dengan performansi akademik (Pascual dkk., 2017). Di sisi lain, keterampilan eksekutif yang terhambat atau kurang berhubungan dengan adanya gangguan perkembangan anak usia dini seperti autisme dan gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas (GPPH) atau yang biasa disebut sebagai ADHD (Lynch dkk., 2017; Krieger & Amador-Campos, 2018). Melihat hal tersebut, pemeriksaan atau skrining terhadap kemampuan eksekutif anak menjadi penting untuk dilakukan sehingga orang tua dapat memahami perkembangan buah hati secara lebih jauh dan menindaklanjutinya dengan intervensi dini bila diperlukan.

Pada tahun 2021, tim peneliti dari Center for Life-span Development (CLSD), Fakultas Psikologi, Universitas Gadjah Mada memberikan pelatihan keterampilan skrining perkembangan fungsi eksekutif bayi kepada para ibu yang memiliki bayi berusia 12-24 bulan. Pada pelatihan tersebut, ibu diajarkan untuk melakukan skrining menggunakan sebuah permainan sederhana, yaitu A not B. Melalui permainan atau tugas ini, ibu akan mengamati strategi bayi dalam mencari mainan yang disembunyikan di hadapannya yang mana hal tersebut mampu menggambarkan keterampilan eksekutifnya (Frossman & Bohlin, 2014). 

Untuk dapat memeriksa kemampuan eksekutif bayi melalui permainan A not B, ada beberapa hal yang perlu disiapkan oleh ibu. Pertama, ibu perlu menyiapkan ruangan yang minim distraksi sebagai tempat untuk melakukan permainan. Kedua, ibu perlu menyediakan alat berupa dua buah mangkuk yang sama persis dan tidak transparan serta sebuah mainan karet yang berukuran lebih kecil dari ukuran mangkuk. Selain itu, bila diperlukan, ibu juga dapat menyediakan kamera untuk merekam perilaku bayi saat melakukan permainan.

Sebelum melakukan permainan, ibu perlu mendudukkan anak di hadapan ibu dengan jarak kurang lebih dua meter. Setelah itu, ibu dapat meletakkan kedua buah mangkuk di depan ibu secara telungkup dan sejajar. Mangkuk yang berada di sisi kanan adalah mangkuk pada posisi A sedangkan yang berada di sisi kiri adalah mangkuk pada posisi B. Selain meletakkan mangkuk, ibu juga perlu menyembunyikan mainan karet di belakang badan ibu. Apabila seluruhnya telah berada pada posisi yang sesuai dengan ketentuan, ibu dapat memulai permainan A not B.

Untuk melakukan permainan A not B, dibutuhkan waktu kurang lebih sepuluh menit. Meskipun tahapan permainan A not B dapat dikatakan sederhana, ibu perlu memperhatikan dan melakukan setiap langkahnya secara teliti dan runtun. Berikut adalah tahap-tahapnya.

  1. Ibu mengeluarkan mainan karet dari balik badan dan memainkannya untuk menarik perhatian anak.
  2. Setelah pandangan mata anak tertuju pada mainan, ibu mengangkat mangkuk pada posisi A, lalu meletakkan mainan ke dalam mangkuk yang posisinya tertutup ke bawah tersebut.
  3. Ibu berkata pada anak, “Sekarang mainannya disembunyikan di sini.”
  4. Ibu menepuk tangan sekali untuk membuyarkan fokus tatapan mata anak.
  5. Ibu memberikan jeda selama tujuh detik dengan tetap berinteraksi atau menjaga kontak mata dengan anak.
  6. Setelah tujuh detik, ibu menggeser kedua mangkuk ke depan sehingga dapat dijangkau oleh anak.
  7. Ibu bertanya kepada anak, “Di mana mainannya?”
  8. Tanpa memberikan instruksi, petunjuk, maupun arahan apapun, ibu menunggu hingga anak bergerak mencari mainan.
  9. Apabila mainan tersebut berhasil ditemukan oleh anak pada posisi mangkuk A, maka ibu boleh membiarkan anak untuk memainkan mainan tersebut sebentar. Sebaliknya, apabila anak tidak menemukan mainan tersebut pada posisi A atau tidak bergerak mencarinya hingga sepuluh detik, maka ibu perlu mengeluarkan mainan dari mangkuk posisi A sambil berkata, “Ini dia!”. 

Setelah selesai menjalankan seluruh langkah yang disebutkan, ibu perlu mengulangi keseluruhan proses tersebut hingga berjumlah empat kali. Kemudian, ibu perlu melakukan dua kali percobaan lagi dengan menyembunyikan mainan pada mangkuk yang terletak pada posisi B. Dengan begitu, ibu akan melakukan enam kali percobaan dalam pelaksanaan permainan A not B. 

Penilaian terhadap perilaku bayi saat melakukan permainan A not B dapat ibu lakukan secara langsung saat melaksanakan permainan maupun setelah menyelesaikan permainan dengan melakukan pengamatan terhadap video rekaman. Dari pengamatan tersebut, ibu dapat mencatat perilaku looking dan reaching bayi. 

Perilaku looking yang benar pada permainan ini dapat dilihat melalui arah pandangan mata bayi yang langsung tertuju pada mangkuk tempat mainan disembunyikan saat ibu bertanya, “Di mana mainannya?”. Adapun perilaku reaching yang benar nampak dari respon perilaku anak yang ingin meraih mangkuk tempat mainan disembunyikan menggunakan tangannya. Ibu dapat menuangkan hasil pengamatan tersebut dalam sebuah tabel yang memuat keterangan perilaku looking dan reaching bayi pada percobaan pertama hingga keenam, apakah benar, salah, tidak menunjukkan perilaku looking maupun reaching sama sekali, atau perilaku looking dan reaching tersebut tertuju pada kedua posisi, yaitu A dan B. 

Setelah hasil skrining diperoleh, bila diperlukan, ibu dapat mengkonsultasikannya kepada profesional, seperti psikolog atau dokter anak. Dengan begitu, akan diperoleh saran yang berguna untuk menstimulasi perkembangan fungsi eksekutif anak maupun melakukan intervensi dini.

Referensi:

Goldstein, S., & Naglieri, J. A. (2014). Handbook of executive functioning. New York: Springer. doi:https://doi.org/10.1007/978-1-4614-8106-5

Eliot, L. (2001). Early Intelligence: How the Brain and Mind Develop in the First Years. London: Penguin.

Johansson, M., Forssman, L., & Bohlin, G. (2014). Individual differences in 10-month-olds’ performance on the A-not-B task. Scandinavian Journal Of Psychology, 55(2), 130-135. doi: 10.1111/sjop.12109

Lynch, C. J. (2017). Executive dysfunction in autism spectrum disorder Is associated with a failure to modulate frontoparietal-insular hub architecture. 2(6), 537-545. doi:https://doi.org/10.1016/j.bpsc.2017.03.008

Pascual, A., Muñoz, N., & Robres, A. (2019). The Relationship Between Executive Functions and Academic Performance in Primary Education: Review and Meta-Analysis. Frontiers in psychology, 10, 1582. https://doi.org/10.3389/fpsyg.2019.01582

Santrock, J., Deater-Deckard, K., & Lansford, J. (2020). Child Development: An Introduction. New York: McGraw Hill.

UNICEF. (2017). Early Moments Matter for Every Child. New York: United Nations Children’s Fund.

Krieger, V., & Amador-Campos, J. A. (2018). Assessment of executive function in ADHD adolescents: contribution of performance tests and rating scales. Child Neuropsychology, 24(8), 1063-1087. doi:10.1080/09297049.2017.1386781

Child See, Child Do: Mendampingi Anak Melakukan Observasi

ArtikelArtikelArtikel Ilmiah Populer Friday, 3 June 2022

Penulis: Resti Fahmi Dahlia, Reviewer: Diah Dinar Utami

Apakah kita sebagai orang dewasa sering takjub atau kagum ketika melihat tingkah anak kecil dapat menirukan perilaku yang mungkin kita lupa pernah melakukannya di depan anak atau anak melakukan perilaku yang mereka lihat melalui video di gadget-nya. Reproduksi perilaku yang dilakukan oleh anak setelah anak mengamati dalam istilah psikologi disebut Deferred Imitation. Penelitian yang telah dilakukan ahli dengan cara mengukur reproduksi dari perilaku yang sudah teramati setelah beberapa waktu berlalu yang dimungkinkan sudah tersimpan dapat diingat kembali berkaitan dengan fungsi memori yang ada pada anak (Heiman, dkk, 2017). Andrew N Meltzoff seorang psikolog dari Amerika pada tahun 1988 dalam penelitiannya menyampaikan bahwa proses meniru atau imitasi perilaku yang dilihat oleh anak dianggap penting dalam perkembangan kognitif anak-anak. Piaget sebagai ahli psikologi perkembangan, Piaget (1999) mengatakan proses reproduksi perilaku yang sudah teramati merupakan salah satu titik penting dari periode sensorimotor sehingga kemampuan ini penting untuk perkembangan anak pada tahap selanjutnya. Jauh sebelum Meltzoff dan Piaget, Albert Bandura telah melakukan penelitian mengenai proses meniru pada anak, sekitar tahun 1963 beliau melakukan eksperimen terhadap anak mengenai perilaku agresi yang dilihat anak menggunakan media dan tanpa media (langsung). Studi sebelumnya yang dilakukan Bandura & Huston (1961) dirancang untuk menjelaskan fenomena identifikasi dalam hal pembelajaran insidental, menunjukkan bahwa anak-anak siap meniru perilaku yang ditunjukkan oleh model orang dewasa di hadapan model.

 

Nah, ternyata ada penelitian dilakukan mengenai deferred imitation yang menunjukkan hasil bahwa proses meniru yang ada pada anak, diantaranya dilakukan Piaget (1999) mengatakan bahwa anak dibawah usia 18 bulan belum memiliki kemampuan untuk menyimpan informasi. Penelitian lain menemukan bahwa anak usia 14 bulan sudah memiliki kemampuan untuk menyimpan informasi dan melakukan produksi perilaku dari informasi yang sudah diterima sebelumnya. Perbedaan setiap anak dalam melakukan imitasi dari perilaku yang telah diamati sebelumnya merefleksikan perbedaan perkembangan memori individu (Jones and Herbert, 2006). Selanjutnya Dunst, dkk (2011) melakukan penelitian dengan mengaitkan mengenai perilaku komunikasi sosial, dengan menggunakan permainan sederhana dan dilakukan secara berulang dapat mendorong peniruan dasar pada bayi dan dapat mengembangkan perilaku komunikasi sosial dalam perkembangan bayi yang khas. Penelitian lain mengenai proses meniru dengan kaitannya komunikasi sosial anak yang dilakukan oleh Hanika & Boyer (2019) menunjukkan peniruan yang dilakukan anak yang berusia 15-18 bulan memiliki hubungan unik dengan komunikasi sosial yang khusus untuk pemahaman bahasa., dimana komunikasi sosial di kemudian hari dapat memprediksi keterampilan bahasa pada anak.  

 

Melihat bahwa anak usia dini sudah memiliki kemampuan mengingat dan meniru setiap perilaku yang teramati baik melalui saudara maupun orangtua untuk mempelajari hal baru (Howe, dkk 2018). Maka sebagai orang dewasa perlu menyediakan lingkungan yang mendukung tumbuh kembang anak yang sesuai dengan nilai dan norma dalam keluarga dan lingkungan. Salah satu yang dapat dilakukan orang tua dalam mengamati tumbuh kembang anak diantaranya mendampingi dan ikut serta ketika anak bermain di rumah. Saat anak bermain atau menggunakan gadget untuk bermain maka sebagai orang dewasa kita dapat mendampingi dengan berpartisipasi bersama anak dan membangun komunikasi dengan anak. Hal ini dilakukan agar apa yang dilihat anak, dapat diketahui oleh orang dewasa di sekitarnya dan dapat diberikan pemahaman mengenai apa yang anak lihat sehingga anak bisa menirukan hal baik dari yang diamati anak dan orang tua dapat berlaku bijak ketika anak menirukan perilaku yang negatif.

 

Referensi:

Bandura, A. & Huston, A.C (1961) Identification as a process of incidental learning. Journal of Abnormal and Social Psychology

Bandura, A., Ross, D., & Ross, S.A. (1963) Transmission of Aggression through imitation of aggressive models. Journal of Abnormal and Social Psychology

Dunst, C., Raab, M. & Trivette, C. (2011)  Characteristics of naturalistic language intervention strategies. Journal of Speech-Language Pathology and Applied Behavior Analysis.

Howe,N., Rosciszewska, J., Persram, R.J. (2018) “I’m an ogre so I’m very hungry!” “I’m assistant ogre”: the social function of sibling imitation in early childhood. Infant Child Development.

Jones, E.J.H., & Herbert, J.S (2006) Exploring memory in infancy: deferred imitation and the development of declarative memory. Infant Child Development, 15,195-205

Meltzoff, A.N (1985) Immediate and deferred imitation in fourteen and twenty-four-month-old infants. Child Development. 56:62-72

Meltzoff, A.N (1988) Infant Imitation After a 1-week delay: long term memory for novel acts and multiple stimuli. Developmental Psychology. 24(4): 470-476

Heimann, M. & Meltzoff. (1996). Deferred imitation in 9 and 14 month-old infants: a longitudinal study of a Swedish sample. British Journal of Developmental Psychology, 14(1), 55-64.

Heimann, M., Edorsson, A., Sundqvist, A., & Koch, F. (2017). Thirteen- to sixteen-months old infants are able to imitate a novel act from memory in both unfamiliar and familiar settings but do not show evidence of rational inferential processes. Frontiers In Psychology, 8. doi: 10.3389/fpsyg.2017.02186

Piaget, J. (1999). Play, dreams, and imitation in childhood. London: Routledge (originally published in 1951).

Mendukung Hubungan Sehat Pada Dewasa Muda Dengan Disabilitas, Bagaimana Caranya?

ArtikelBlog Wednesday, 22 December 2021

Mendukung Hubungan Sehat Pada Dewasa Muda dengan Disabilitas, Bagaimana Caranya?

oleh: Munadira
editor: Resti Fahmi Dahlia

Photo by Ivan Samkov from Pexels

Cinta adalah perasaan natural yang dirasakan oleh tiap individu. Usia dewasa muda kerap dikaitkan dengan usia dimana hubungan romantis menjadi suatu kebutuhan. Hubungan percintaan memungkinkan kita untuk tetap terhubung satu sama lain dan juga melindungi kita dari perasaan kesepian (Ignagni, dkk., 2016).  Serupa dengan individu pada umumnya, kebutuhan terkait mencintai dan dicintai juga dirasakan oleh individu dengan disabilitas. Kebutuhan mereka akan cinta dan koneksi sering kali dipertanyakan atau bahkan dipandang salah oleh mereka yang tidak memiliki disabilitas. Mereka seringkali mengalami stereotip budaya dan prasangka yang menyakitkan dan merusak kepercayaan diri. Mereka yang hidup dengan disabilitas juga terkadang diharapkan untuk menjalin hubungan “dengan jenisnya sendiri”. Menurut penelitian yang dilakukan Friedman (2019), partisipan penelitiannya yang merupakan individu dengan disabilitas mengalami kesulitan untuk menjalin hubungan jangka panjang dengan lawan jenis, terutama hubungan yang bersifat jangka panjang. Selain itu, mereka juga mendapatkan stigma bahwa mereka seharusnya menjalin hubungan dengan sesama individu dengan disabilitas.

Hubungan romantis yang dijalani oleh individu dengan disabilitas adalah sebuah kondisi yang menjadi perhatian dari banyak peneliti. Matilla (2017) meneliti mengenai makna cinta bagi individu dengan disabilitas. Ia menemukan bahwa partisipan penelitiannya memiliki definisi cinta yang spesifik. Penelitian Matilla (2017) mengenai hubungan romantis pada individu dengan disabilitas intelektual menemukan bahwa beberapa dari para partisipannya memiliki pacar, suami, atau istri. Para partisipan ini menggambarkan cinta dari pasangan mereka sebagai sumber berbagi perasaan dan emosi, sumber belajar, dan juga sumber berbagi perhatian (Matilla, 2017). Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Jones, dkk., (2020), juga menemukan bahwa meskipun proses pencarian cinta pada dewasa muda dengan disabilitas penuh lika-liku, ada pula sebagian dari mereka yang memiliki akhir kisah cinta yang bahagia. Beberapa partisipan dalam penelitian Jones, dkk., (2020), mengungkapkan bahwa cinta sejati mereka adalah orang yang mampu menerima disabilitas yang mereka miliki secara tulus dan tidak merendahkan.

Salah satu partisipan dalam kutipan wawancara yang dilakukan oleh Jones (2020), memaparkan:

“Saya percaya, adalah mungkin untuk menghilangkan ketakutan stereotip akan ketidakmampuan yang tidak hanya dimiliki oleh orang-orang dengan disabilitas fisik yang parah, caranya adalah dengan mendukung penyandang disabilitas yang putus asa untuk mencari cerita yang menginspirasi.”

Salah satu karya yang dapat dijadikan rujukan dalam menelusuri kisah inspiratif pasangan dengan disabilitas adalah film yang berjudul “What They Don’t “Talk About When They Talk About Love (2013)”. Film yang bercerita tentang kisah cinta pasangan difabel ini memiliki pesan bahwa ada banyak orang yang unggul dalam berbagai bidang kehidupan dan terkadang memandang keunggulan seseorang harus dipisahkan dari keterbatasan fisik. Beranjak dari penelitian dan studi kasus inspiratif dari Barat, di Indonesia, penelitian dan kisah inspiratif mengenai hubungan romantis para individu disabilitas masih sangat minim. Salah satu kisah inspiratif yang berasal dari Indonesia adalah kisah dari Wahyu dan Aslima. 

Aslima yang merupakan penyandang disabilitas sejak lahir memiliki pasangan tanpa disabilitas yang mampu memandang kekurangan yang ia miliki melalui sudut pandang yang lain (Kompas, 2014). Perjalanan cinta Aslima sendiri penuh lika-liku, sejak remaja ia sempat mengalami stigma bahwa tidak akan menikah karena keterbatasan fisik yang dialaminya. Namun, alih-alih menyerah, ia justru mengembangkan keahliannya di bidang seni hingga akhirnya dapat hidup secara mandiri. Aslima pun dipertemukan dengan Wahyu melalui seni, hal ini yang menyatukan mereka hingga akhirnya memutuskan untuk menikah. Mereka ingin membuktikan bahwa mereka bisa mandiri. Aslima juga ingin hidup seperti keluarga normal dan berperan sebagai istri pada umumnya, melayani suami, mengurus rumah, dan membesarkan anak-anak.

“Istri saya tak ada bedanya dengan perempuan lain yang badannya lengkap. Ia bisa melakukan semua pekerjaan sendiri,” ujar Wahyu (Kompas, 2014)

Aslima menyelesaikan pekerjaan rumahnya tanpa pembantu, dari mulai membersihkan rumah, memasak, mencuci, dan mengasuh anak. Ia tidak ingin keterbatasan fisiknya menghalanginya beraktivitas seperti perempuan lain. Ia juga meminta Wahyu untuk mengajari membuat kerajinan akar wangi agar bisa membantu pekerjaan suaminya. Wahyu kini memiliki dua lapak kerajinan dan cinderamata di Dusun Kinahrejo, Cangkringan.

Melalui kisah inspiratif di atas, pesan yang dapat dipetik bagi kita sebagai individu yang hidup di lingkungan beragam adalah untuk saling menghargai dan memandang bahwa setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangan yang bisa saling melengkapi dirinya. Berdasarkan pesan moral yang didapatkan dari kisah inspiratif tersebut, berikut ini kiat-kiat yang dapat dilakukan untuk mendukung individu dengan disabilitas agar turut merasakan hubungan yang percintaan yang sehat, antara lain:

  1. Percaya bahwa mereka dengan disabilitas juga memiliki perasaan dan keinginan untuk mencintai dan dicintai,
  2. Hargai perasaan mereka dan hindari stigma yang membuat mereka merasa tidak berhak akan perasaan yang dimiliki,
  3. Percaya bahwa mereka dengan disabilitas juga berhak untuk menikah dan memiliki hubungan jangka panjang yang bahagia,
  4. Individu dengan disabilitas tidak ingin dipandang berbeda atau sebagai beban dalam hubungan percintaan yang mereka jalin,
  5. Hindari kata-kata yang dapat menjatuhkan kepercayaan diri mereka saat mendengarkan cerita cinta individu dengan disabilitas,

Pada intinya, ketika individu dengan disabilitas sedang jatuh cinta, hal tersebut adalah bentuk perasaan yang murni dirasakan oleh mereka sama seperti individu pada umumnya. Penelitian Jones, dkk., (2020), mengungkapkan bahwa ketika individu dengan disabilitas percaya diri dalam hubungan romantis yang dijalin, maka ketertarikan dari lawan jenis pada diri mereka akan terpancar. Maka, lakukanlah beberapa tips di atas untuk mendukung kepercayaan diri individu dengan disabilitas dalam menjalin hubungan romantis yang sehat.

 

Referensi: 

Forrester-Jones, R., Bates, C., Skillman, K. M., & Elson, N. (2020). Love and loving relationships: What they mean for people with learning disabilities. Journal of Intellectual Disability Research, 63(7), 863-863.

Friedman, C. (2019). Intimate relationships of people with disabilities. Inclusion, 7(1), 41-56.

Gischa, S. (2021, 2 Januari). Kisah Sejati Tanpa Memandang Fisik. 

Ignagni, E., Fudge Schormans, A., Liddiard, K., & Runswick-Cole, K. (2016). ‘Some people are not allowed to love’: intimate citizenship in the lives of people labeled reference intellectual disabilities. Disability & Society, 31(1), 131-135.

Mattila, J., Määttä, K., & Uusiautti, S. (2017). ‘Everyone needs love’–an interview study about perceptions of love in people with intellectual disability (ID). International journal of adolescence and youth, 22(3), 296-307.

Memandu Anak ASD untuk Disiplin dalam Menggunakan Gadget dan Internet

ArtikelBlog Friday, 17 December 2021

Memandu Anak ASD untuk Disiplin dalam Menggunakan Gadget dan Internet

oleh: Nindya Alifia Tittani
editor: Resti Fahmi Dahlia

Photo by RODNAE Productions from Pexels

Autism Spectrum Disorder (ASD) merupakan salah satu bentuk gangguan neurodevelopmental yang dicirikan dengan adanya kesulitan dalam interaksi sosial, komunikasi, serta memiliki pola atipikal dalam aktivitas sehari-hari (1). Prevalensi anak dengan ASD memiliki peningkatan dari tahun ke tahun, data terakhir dari Centers for Disease Control and Prevention (CDC) pada tahun 2016 menyebutkan bahwa satu dari 54 anak di Amerika terdiagnosis mengalami ASD (4). World Health Organization (WHO) mengestimasikan bahwa satu dari 270 orang di seluruh dunia mengalami Autism Spectrum Disoreder (1). Meski belum terdapat data yang pasti tentang perkembangan kasus ASD di Indonesia, layanan bagi penyandang ASD dan/atau keluarganya tetap perlu diperhatikan. Kondisi ini tidak hanya berdampak pada anak dengan ASD itu sendiri, namun juga memberikan dampak psikologis yang cukup besar kepada orang tua mereka seperti stress dalam pengasuhan karena tuntutan peran serta rendahnya efikasi diri yang dimiliki karena kurangnya rasa percaya diri pada kemampuan orang tua dalam mengasuh anak dengan autism (2,3).

Pandemi COVID-19 mempengaruhi bagaimana orang tua harus mendidik dan mendampingi anak-anak mereka di rumah. Pembelajaran daring yang dilakukan oleh pihak sekolah mengharuskan para orang tua mendampingi anak-anak mereka selama belajar. Hal ini juga di lakukan oleh orang tua yang memiliki anak dengan ASD. Anak dengan ASD memiliki kondisi khusus yang mengharuskan mereka mendapatkan pelayanan pendidikan yang terfokus pada anak. Pusat terapi yang biasanya dijadikan rujukan untuk anak ASD saat ini tidak dapat melayani secara tatap muka dan mengharuskan orang tua mendampingi dan melakukan latihan sederhana agar kemampuan anak ASD yang sudah terbentuk tidak mengalami kemunduran. Selama pandemi, pembelajaran dilakukan melalui daring dan media ynag menghubungkan antara anak dengan sekolah atau pengajarnya adalah media online yang dapat di akses melalui gadget. Platform zoom dan google meet menjadi salah satu alternatif yang digunakan para pengajar untuk memberikan materi dan mengajarkan siswa-siswa mereka selama daring. 

Pembelajaran secara daring memiliki dua sisi yang saling bertolak belakang. Apabila dilakukan secara tidak tepat, hal ini akan berdampak kepada anak dan penggunaan gadget yang kurang bijak yang dilakukan oleh anak non-disabilitas maupun anak dengan disabilitas. Screentime merupakan salah satu hal yang menjadi perhatian para orang tua yang memiliki anak dengan ASD (6). Screentime yang berlebihan memiliki dampak terhadap muncul perilaku-perilaku repetitif dan stereotip pada anak ASD (5,7) Hal ini akan menurunkan hasil treatment yang sudah dilakukan di masa sebelumnya untuk mengurangi perilaku tersebut. Namun, selama pandemi orang tua dengan anak ASD tidak memiliki pilihan lain selain tetap mengikuti pembelajaran atau terapi secara daring. Berkaitan dengan dilema yang dirasakan oleh orang tua dengan anak ASD, berikut ini tips yang dapat dilakukan oleh orang tua dengan anak ASD untuk menyesuaikan pembelajaran anak secara daring (9) : 

  1. Tetapkan batas penggunaan internet.

Orang tua dapat menetapkan alokasi waktu yang menjadi kesepakatan bersama untuk bermain gadget (selain pembelajaran daring) dengan membuat tabel jadwal penggunaan gadget atau mengatur timer sebagai alarm untuk batas waktu maksimum penggunaan gadget. 

  • Membuat aturan dasar untuk penggunaan perangkat antara anak dan orang tua. 

Aturan dasar untuk penggunaan gadget dan internet adalah hal yang penting untuk semua anak, termasuk anak dengan ASD. Aturan yang dibuat oleh orang tua harus singkat dan jelas. Tujuan dari aturan ini adalah memberi tahu anak apabila ia melanggar peraturan mereka akan kehilangan hak istimewa untuk menggunakan gadget dan bermain secara daring untuk sementara. Misalnya, aturan untuk tidak boleh berkomunikasi dengan orang asing di media sosial atau hanya memperbolehkan membuka situs web tertentu, lalu apabila anak melanggar peraturan ini orang tua dapat menarik hak anak menggunakan gadget dalam kurun beberapa waktu sesuai perjanjian dengan anak.

  • Memantau anak pada saat menggunakan internet dan gadget 

Orang tua atau pendamping diusahakan tetap memantau kegiatan anak selama mereka menggunakan gadget dan bermain secara daring. Orang tua dapat mengecek secara berkala mengenai situs-situs yang dibuka oleh anak maupun membatasi situs-situs online yang kurang pantas untuk anak melalui setting pada gadget yang dimiliki. Hal ini secara otomatis akan membatasi ruang anak dalam berselancar di internet dan bermain secara daring. Sehingga, anak akan terpantau dan terlindungi dari situs-situs yang kurang pantas untuk anak-anak.  

  • Gunakan teknologi sebagai suplemen untuk interaksi sosial secara langsung.

Teknologi menawarkan banyak peluang sosial, tetapi hal ini tidak boleh menjadi perangkat utama yang mengalihkan semua interaksi sosial yang dapat dilakukan oleh anak secara langsung (secara tatap muka). Orang tua yang memiliki anak dengan ASD dapat mengondisikan anak untuk menggunakan gadget sebagai alat bantu dalam berintekasi, seperti menjadikan gadget alat perantara untuk bermain secara kelompok yang mana hal ini belum dapat dilakukan dalam kondisi pandemi. Namun, orang tua juga harus tetap mendampingi anak bermain di luar jam bermain gadget sehingga anak merasa bahwa waktu luang tanpa gadget juga merupakan hal yang menyenangkan. 

Tips ini dapat digunakan oleh para orang tua untuk menanggulangi adiksi pada gadget yang memungkinkan untuk terjadi pada anak. Teknologi yang terus berkembang tidak dapat dihentikan maupun dihindari keberadaannya. Anak dengan ASD juga tidak sepatutnya dijauhkan secara permanen dengan gadget ataupun teknologi lain (9). Gadget dan internet juga dapat memiliki fungsi yang baik dan dapat meningkatkan kemampuan di ranah tertentu (seperti: kemampuan problem solving, social awareness) yang mereka pelajari secara tidak langsung melalui video yang mereka lihat di internet maupun permainan online yang mereka ikuti. Cabibihan, Javed, Aldosari, Frazier, dan Elbashir (2017) menemukan bahwa teknologi dan gadget memiliki dampak yang positif terhadap perkembangan anak ASD. Namun, kedua hal ini tetap memerlukan bimbingan dari orang dewasa di sekitar anak sehingga anak tidak dapat sepenuhnya dilepaskan dan dibiarkan untuk bermain gadget tanpa aturan dan batasan waktu (8). 

Nah, berdasarkan informasi dan tips dari artikel ini, semoga parents tidak lagi merasa bimbang untuk memberikan kesempatan anak dalam menggunakan gadget maupun internet. Namun, apabila dirasa membutuhkan bantuan dari professional, parents dapat menghubungi layanan kesehatan/ professional  terdekat atau terpercaya untuk konsultasi lebih lanjut mengenai penetapan jadwal maupun kondisi-kondisi anak yang terdampak dari penggunaan gadget yang kurang bijak di masa sebelumnya. 

Referensi:

  1. WHO. (2021, 1 Juni). Autism Spectrum Disorders
  2. Bearss, K., Burrell, T. L., Stewart, L., & Scahill, L. (2015). Parent Training in Autism Spectrum Disorder: What’s in a Name? Clinical Child and Family Psychology Review, 18(2), 170–182. https://doi.org/10.1007/s10567-015-0179-5 
  3. Crowell, J. A., Keluskar, J., & Gorecki, A. (2019). Parenting behavior and the development of children with autism spectrum disorder. Comprehensive Psychiatry, 90, 21–29. https://doi.org/10.1016/j.comppsych.2018.11.007 
  4. Maenner, M. J., Shaw, K. A., Baio, J., et al. (2020). Prevalence of autism spectrum disorder among children aged 8 years — autism and developmental disabilities monitoring network, 11 sites, united states, 2016. MMWR Surveill Summ, 69:1–12. DOI: http://dx.doi.org/10.15585/mmwr.ss6904a1external icon
  5. Dong, H. Y., Wang, B., Li, H. H., Yue, X. J., dan Jia, F. (2021). Correlation between screen time and autistic symptoms as well as development quotients in children with autism spectrum disorder. Front. Psychiatry. (12). doi: 10.3389/fpsyt.2021.619994
  6. Stiller, A., Weber, J., Strube, F., dan Moessle. (2019). Caregiver reports of screen time use of children with autism spectrum disorder: A qualitative study. Behav. Sci, 9(56). doi:10.3390/bs9050056
  7. Hermawati, D., Rahmadi, F. A., Sumekar, T. A., Winarni, T. I. (2018). Early electronic screen exposure and autistic-like symptoms. J-STAGE. doi: 10.5582/irdr.2018.01007
  8. Cabibihan, J., Javed, H., Aldosari, M., Frazier, T. W., dan Elbashir, H. (2017). Sensing technologies for autism spectrum disorder screening and intervention. Sensors, 17(46). doi:10.3390/s17010046
  9. UNICEF. (2017). Children in digital a world. Division of Communication UNICEF.
1234

Recent Posts

  • Langkah Seto Menuju Pengalaman Global: Mewujudkan Pembelajaran Inklusif bersama Australian Alumni Grants 2025
  • Inklusivitas CLSD: Kisah Seto, Intern Disabilitas Intelektual yang Menginspirasi
  • Sedang Mengalami Life Crisis? Yuk, Terapkan Strategi Ini!
  • “Mencari Bantuan Bukan Berarti Lemah”: Pentingnya Help-Seeking Behavior pada Masa Remaja
  • Petak Umpet: Permainan Tradisional yang dapat Membangun Keterampilan Sosioemosional Anak Usia Dini
Universitas Gadjah Mada

Center for Life-Span Development (CLSD)
D-602, Fakultas Psikologi, Universitas Gadjah Mada
Jalan Sosio Humaniora Bulaksumur, Yogyakarta, Indonesia 55281
clsd.psikologi@ugm.ac.id

© Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY