• Home
  • About Us
    • Managing Team
    • Researchers
    • Interns
    • Associates
  • Articles
  • Courses
  • Activities
    • CLSD Reader’s Club
    • Summer Course
    • Photovoice
    • SAELA
    • Community Service
  • Research & Publication
Universitas Gadjah Mada Center for Life-Span Development (CLSD)
Faculty of Psychology
Universitas Gadjah Mada
  • Home
  • About Us
    • Managing Team
    • Researchers
    • Interns
    • Associates
  • Articles
  • Courses
  • Activities
    • CLSD Reader’s Club
    • Summer Course
    • Photovoice
    • SAELA
    • Community Service
  • Research & Publication
  • Beranda
  • Artikel Populer
  • Artikel Populer
  • page. 3
Arsip:

Artikel Populer

Parent’s Happiness: Sesuatu yang Penting tapi Sering Dilupa ketika Menjadi Orang Tua

ArtikelArtikel Monday, 12 December 2022

Penulis : Raden Roro Anisa Anggi Dinda

Penyunting: Resti Fahmi Dahlia

Parenting menjadi kata yang lekat dan tidak bisa lepas ketika seorang individu menjalani peran sebagai orang tua. Menurut American Psychological Association, terminologi “parenting” merupakan suatu pola pengasuhan anak oleh orang dewasa. Pola pengasuhan ini tidak terbatas dengan hubungan biologis saja, namun juga memiliki tiga tujuan utama yaitu memastikan anak- anak selalu dalam keadaan sehat dan aman, mempersiapkan anak-anak agar tumbuh menjadi pribadi yang produktif, serta mentransfer nilai-nilai kebudayaan.

Tujuan parenting memang sebagian besar berorientasi pada anak, oleh sebab itu mayoritas kelas-kelas parenting yang ada saat ini berfokus pada bagaimana cara membesarkan anak agar mereka dapat tumbuh dan berkembang dengan optimal. Dibalik menjamurnya kelas -kelas tersebut, kita seringkali lupa bahwa di dalam kata parenting sendiri, terselip kata parent, atau orang tua, yang merupakan komponen dan penggerak utama dari parenting. Padahal menjadi orang tua merupakan salah satu masa transisi penting dalam perkembangan manusia, baik pada dirinya sendiri maupun generasi setelahnya. Meskipun masih sedikit dan terbatas, namun akhir-akhir ini pembahasan mengenai parenting yang berfokus pada orang tua mulai bermunculan. Topik-topik seputar kesehatan mental pun mulai diperbincangkan di kelas-kelas parenting seiring peningkatan awareness akan hal-hal seperti baby blues, postpartum depression, parental fatigue dan lain sebagainya. Lalu, bagaimana dengan happiness? Apakah egois ketika orang tua memikirkan kebahagiaan dirinya sendiri?

Dua studi saintifik yang dilakukan oleh Hansen (2012) dan Stanca (2012) menunjukkan bahwa orang tua (parents) memiliki kepuasan hidup (life satisfaction) yang lebih rendah dari pada mereka yang tidak memiliki anak (childless). Kepuasan hidup sendiri berasosiasi dengan kebahagiaan. Meski demikian, pernyataan ini dievaluasi kembali oleh Deaton & Stone (2014) yang menyimpulkan bahwa sejatinya level kepuasan hidup pada mereka yang memiliki anak maupun tidak, hampir sama. Hanya saja, dalam aktivitas sehari-hari, para orang tua mengalami perubahan momen-momen bahagia dan stressfull dengan frekuensi yang lebih sering dan mendadak. Paparan stres ini meningkatkan gejala depresi dan kecemasan serta emosi negatif seperti kemarahan. Di sisi lain, paparan ini mengurangi perasaan positif seperti kebahagiaan (happiness) (Nomaguchi & Milkie, 2003).

Dalam psikologi, kebahagiaan memiliki banyak konstruk, namun terdapat dua istilah populer untuk jenis kebahagiaan yaitu hedonic happiness dan eudaimonic happiness. Hedonic happiness atau kebahagiaan hedonis dicapai melalui pengalaman kesenangan dan kenikmatan, sedangkan kebahagiaan eudaimonic dicapai melalui pengalaman makna dan tujuan (Di Fabio & Palazzeschi, 2015). Pendekatan hedonis berfokus pada kebahagiaan, mendefinisikan kesejahteraan dalam hal pencapaian kesenangan dan menghindari rasa sakit, sedangkan pendekatan eudaimonic, di sisi lain, berkaitan dengan makna, dan realisasi diri di mana kesejahteraan dilihat sebagai fungsi penuh dari orang tersebut.

Kebahagiaan yang dibicarakan pada konteks ini lebih menitikberatkan pada pendekatan eudaimonic. Kebahagiaan ini bukan sekadar kesenangan semu belaka, namun lebih kepada kepuasan hidup, yaitu seberapa bahagia seseorang dengan cara hidupnya berjalan, dan juga apa yang dirasakan seseorang dari waktu ke waktu. Kebahagiaan sebagai orang tua bukan berbentuk “me-time” liburan tak berkesudahan tanpa peduli dengan anak-anak, namun lebih kepada terpenuhinya semua kebutuhan fisik (seperti pola makan sehat, pola hidup aktif, dan pola tidur teratur) dan juga psikis (seperti rasa percaya diri dan relasi positif kepada orang lain).

Memenuhi kebutuhan ini bukan sesuatu yang egois, apalagi dengan kebutuhan dasar. Justru dengan terpenuhinya semua kebutuhan ini, orang tua bisa memiliki kondisi yang prima dalam menjalani peran pengasuhan. Jika kebutuhan ini tidak terpenuhi, kondisi orang tua bisa jadi tidak stabil baik secara fisik dan juga mental. Ilmu-ilmu baik mengenai pengasuhan dan cara membesarkan anak bisa menjadi sia-sia jika orang tua kurang bisa menyampaikan dan mempraktikkan dengan optimal. Layaknya sebuah mobil yang akan berjalan jauh, perjalanan tersebut, meskipun sudah memiliki bekal dan peta yang memadai, tidak akan berhasil apabila mobilnya “bermasalah”.

Kebahagiaan ini memegang peranan penting dalam berinteraksi dengan anak. Ketika orang tua merasa bahagia, mereka dapat berinteraksi dengan baik dan menyeluruh dengan anak mereka. Namun, ketika orang tua merasa stress dan tertekan, orang tua sering salah mengartikan children’s cues (Muzik et al., 2015). Cues adalah sinyal yang diberikan oleh anak terkait dengan apa yang sebenarnya mereka rasakan dan mereka butuhkan. Cues yang tidak direspon dengan baik akan mengakibatkan kebutuhan anak tidak terpenuhi sehingga anak menjadi lebih rewel dan pastinya orang tua akan lebih merasa stress dan tertekan lagi. Seperti sebuah lingkaran, apa yang orang tua rasakan dan berikan saat berinteraksi dengan anak, pasti akan kembali dalam bentuk yang sama.

Jadi mulai sekarang yuk bersama-sama kita sadari dan taruh perhatian lebih pada
kebahagiaan orang tua, karena parent’s happiness tidak hanya memiliki dampak yang positif
untuk diri sendiri, namun juga seluruh anggota keluarga yang lain.
Reference:
(APA) American Psychological Association, (2018). Parenting. Retrieved from: http://www.apa.org/topics/parenting/index.aspx

Deaton, A., & Stone, A. A. (2014). Evaluative and hedonic well being among those with and without children at home. Proceedings of the National Academy of Sciences of the United States of America, 111(4), 1328–1333. https://doi.org/10.1073/pnas.1311600111

Di Fabio, A., & Palazzeschi, L. (2015). Hedonic and eudaimonic well-being: the role of resilience beyond fluid intelligence and personality traits. Frontiers In Psychology, 6. doi: 10.3389/fpsyg.2015.01367

Hansen, Thomas. (2012) Parenthood and happiness: A review of folk theories versus empirical evidence. Social Indicator Research 108(1):29–64.

Muzik, M., Rosenblum, K. L., Alfafara, E. A., Schuster, M. M., Miller, N. M., Waddell, R. M., & Stanton Kohler, E. (2015). Mom Power: preliminary outcomes of a group intervention to improve mental health and parenting among high-risk mothers. Archives of women’s mental health, 18(3), 507–521. https://doi.org/10.1007/s00737-014-0490-z

Nomaguchi, K. M., & Milkie, M. A. (2003). Costs and rewards of children: The effects of becoming a parent on adults’ lives. Journal of marriage and family, 65(2), 356-374.

Stanca, Luca. (2012) Suffer the little children: Measuring the effects of parenthood on well-being worldwide. Journal of Economic Behavior and Organization 81(3):742–750.

Pentingnya Kecerdasan Emosional bagi Remaja

ArtikelArtikelBlog Wednesday, 28 September 2022

Penulis: Erythrina Sekar Rani

Penyunting: Arum Febriani

 

Masa remaja merupakan salah satu tahapan perkembangan yang sangat penting. Menurut Erikson, pada masa remaja seseorang menghadapi krisis mencari identitas diri sehingga di akhir masa ini seseorang diharapkan dapat menemukan identitas dirinya (Feist & Feist, 2010). Di sisi lain, pada masa remaja, seseorang cenderung memiliki egosentrisme yang tinggi. Karakteristik egosentrisme inilah yang membuat remaja merasa tertantang untuk melakukan perilaku yang secara tidak sadar dapat membahayakan diri mereka sendiri (Albert, Elkind, & Ginsberg, 2007). Perilaku membahayakan diri dan orang lain yang banyak dilakukan oleh remaja antara lain aksi tawuran, bullying, minum-minuman beralkohol, menggunakan obat-obatan terlarang, atau seks bebas.

Egosentrisme adalah ketidakmampuan membedakan sudut pandang diri sendiri dan sudut pandang orang lain (Santrock, 2011). Menurut David Elkin (dalam Santrock, 2011), ada dua kunci utama dalam egosentrisme remaja yaitu imaginary audience dan personal fabel. Lebih lanjut, dijelaskan bahwa imaginary audience adalah ciri khas remaja yang merasa menjadi pusat perhatian, merasa orang lain tertarik pada sesuatu (sama seperti dirinya), dan biasanya muncul perilaku mencari perhatian. Contohnya, saat berkendara atau berjalan, remaja merasa orang-orang di sekitar memperhatikan mereka. Tidak jarang ada pula remaja yang berperilaku tertentu bertujuan untuk menarik perhatian orang di sekitar. Sementara, personal fabel adalah ciri khas remaja merasa dirinya unik, merasa tidak ada yang memahami, dan merasa dirinya kebal atau tidak terkalahkan. Penelitian yang dilakukan oleh Azhari, Dahlan, dan Mustofa (2019) pada 395 remaja berusia 13-18 tahun yang bersekolah di SMP dan SMA di Kota Bandung menunjukkan bahwa imaginary audience dan personal fabel dapat mempengaruhi perilaku agresi pada remaja.

Tingginya agresi pada remaja ternyata terkait erat dengan rendahnya kecerdasan emosional yang dimiliki. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Siu (2009) di Cina, tingginya perilaku depresi, cemas, stres, agresi, dan kenakalan remaja berhubungan dengan rendahnya kecerdasan emosional yang dimiliki. Hasil serupa juga diperoleh oleh Moskat dan Sorenson (2012) dalam penelitiannya pada remaja usia 12-17 tahun di Washington, tingginya agresivitas berhubungan dengan rendahnya kecerdasan emosional pada remaja. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Kawamoto, Kubota, Sakakibara, Muto, Tonegawa, Komatsu, dan Endo (2021) pada anak dan remaja di Jepang, ditemukan bahwa semakin tinggi kecerdasan emosional pada anak/remaja maka permasalahan mereka dengan teman sebaya dan kesulitan lain yang dihadapi cenderung semakin rendah, serta perilaku prososial (tolong-menolong) cenderung tinggi. Penelitian lain yang dilakukan oleh Masithah, Soedirham, dan Triyoga (2019) pada mahasiswa berusia 18-24 tahun di Indonesia juga menunjukkan bahwa kecerdasan emosional mempengaruhi kontrol perilaku seseorang, pada penelitian ini mempengaruhi pada intensi untuk berhenti merokok. Mengacu pada beberapa hasil penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa diperlukan kecerdasan emosional yang tinggi bagi remaja untuk membantu mereka mengelola emosi dan mengurangi perilaku yang dapat membahayakan diri sendiri maupun orang lain.

Kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang dalam mengelola diri, seperti kemampuan: memotivasi diri, bertahan terhadap stres, mengelola emosi, bersosialisasi, dan hubungannya dengan Tuhan (Goleman, 2009). Orang yang memiliki kecerdasan emosional yang tinggi akan cenderung memiliki kemampuan emosional yang lebih bisa membantu menghadapi permasalahan sehari-hari dan cenderung tidak merugikan diri sendiri maupun orang lain. Cerdas secara akademis saja ternyata tidak cukup untuk seseorang bisa mengontrol diri dan bersosialisasi dengan lingkungan, dibutuhkan kecerdasan emosional untuk menyeimbangkannya.

Kecerdasan emosional dipengaruhi oleh beberapa faktor, terutama faktor eksternal, yaitu:

  1. Keluarga
    Keluarga merupakan tempat pertama kali bagi anak dalam mempelajari kecerdasan emosional, salah satunya melalui interaksi dengan orangtua. Orangtua dapat membantu anak mengenali emosi, memberi label pada emosi, menghargai emosi yang dirasakan, dan menempatkan emosi pada situasi sosial yang relevan (Mayer & Salovey, 1997). Anak memiliki kecenderungan meniru perilaku orang dewasa, termasuk saat mengekspresikan emosi. Oleh karena itu, perlu bagi kita sebagai anggota keluarga untuk sama-sama saling mengenali dan menghargai emosi satu sama lain, serta mengekspresikan emosi dengan cara yang tepat (tidak merugikan diri dan anggota keluarga lain) agar hubungan dalam keluarga bisa terjalin dengan nyaman dan terbuka.
  2. Lingkungan (teman sebaya, pendidikan, dan budaya)
    Baik kita sadari maupun tidak, lingkungan turut berperan dalam kecerdasan emosional kita dan hal ini dapat dimanfaatkan untuk memaksimalkan perkembangan sosioemosional anak sehingga dapat memiliki kecerdasan emosional yang tinggi. Contohnya dapat kita temui pada saat kita berinteraksi dengan teman, guru, ataupun tetangga sebelah rumah kita. Ada proses pembelajaran baik dari segi budaya ataupun kebiasaan yang kita ambil dari interaksi tersebut.

Kecerdasan emosional bukan sesuatu yang diturunkan, melainkan dapat dilatih atau dipelajari dari lingkungan (Saphiro, 2003). Berikut, tips-tips yang bisa dilakukan remaja untuk meningkatkan kecerdasan emosional:

  1. Menyadari dan mengenali emosi yang dirasakan tanpa memberikan penghakiman terhadap perasaan itu. Tidak apa-apa jika merasa sedih, marah, kecewa, takut, cemas, atau emosi yang lainnya.
  2. Mengelola emosi yang dirasakan dan mengekspresikan dengan cara yang sesuai (tidak menyakiti diri dan orang lain). Mengapa emosi perlu dikelola atau diekspresikan? Ketika emosi dipendam terus menerus, hal ini cenderung membuat kita merasa tidak nyaman, sesak, atau bisa meledak pada waktu tertentu. Oleh karena itu, perlu untuk mengekspresikannya dengan cara yang sesuai dengan diri kita. Prinsipnya berusaha tidak menyakiti diri dan orang lain. Misalnya: bercerita kepada orang yang dipercaya, menuliskan jurnal, melakukan meditasi atau relaksasi, mendengarkan lagu, berolahraga, menonton film, bernyanyi, atau yang lainnya.
  3. Mengomunikasikan secara asertif kebutuhan, keinginan, ataupun aspirasi diri. Komunikasi asertif adalah komunikasi yang dilakukan dengan cara yang baik, saling menghormati dan menghargai dengan lawan bicara, menyampaikan pesan dengan jelas (tidak ambigu), memberikan kesempatan kepada lawan bicara untuk menanggapi pembicaraan, dan tidak memaksakan lawan bicara harus sesuai dengan yang kita harapkan sehingga komunikasi dua arah bisa terjalin. Komunikasi asertif dapat dilakukan untuk memediasi ketika kita memiliki permasalahan dengan orang lain atau saat memiliki pesan yang ingin disampaikan kepada orang lain. Jika merasa masih kesulitan, bisa coba untuk tenangkan dan siapkan diri terlebih dahulu ya. Bisa mencoba dengan relaksasi atau menuliskan pesan yang akan disampaikan.
  4. Mengikuti kegiatan positif untuk mengasah potensi diri. Mengisi waktu luang dengan kegiatan positif, seperti: olahraga, kesenian, sosial, keagamaan atau kegiatan lainnya.
  5. Jika merasa menghadapi permasalahan yang tidak dapat diselesaikan sendiri dan mengganggu keberfungsian sehari-hari, bisa untuk mengikuti konseling dengan psikolog atau psikiater.
  6. Terakhir, untuk orang dewasa atau keluarga, kita bisa turut berperan dalam membangun suasana positif bagi peningkatan kecerdasan emosional remaja, seperti: menjadi pendengar yang baik layaknya teman bagi mereka (berempati), memberikan dukungan emosional, dan mengarahkan potensi remaja dalam hal yang positif.

Selamat mencoba! Semoga bermanfaat! 🙂

Referensi:

Alberts, A., Elkind, D., & Ginsberg, S. (2007). The personal fable and risk taking in early adolescence. Journal of Youth Adolescence, 36, 71-76. https://link.springer.com/article/10.1007/s10964-006-9144-4
Azhari, S. M., Dahlan, T. H., & Mustofa. M. A. (2019). Imaginary audience, personal fable, dan perilaku agresi remaja. Jurnal Psikologi Insight, 3(2), 32-42.
Feist, J., & Feist, G. J. (2010). Teori kepribadian terjemahan (7th ed., Vol. 1). Salemba Humanika.
Goleman, D. (2009). Emotional intelligence: Kecerdasan emosional mengapa EI lebih penting daripada IQ. PT Gramedia Pustaka Utama.
Kawamoto, T., Kubota, A. K., Sakakibara, R., Muto, S., Tonegawa, A., Komatsu, & S., Endo, T. (2021). The general factor of personality (GFP), trait emotional intelligence, and problem behaviors in Japanese teens. Personality and Individual Differences, 171, 1-7. https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S0191886920306711
Masithah, D., Soedirham, O., & Triyoga, R. S. (2019). The influence of emotional and spiritual intelligence on smoking cessation intention in college student. Indian Journal of Public Health Research & Development, 10(12), 1651-1655.
Mayer, J. D., & Salovey, P. (1997). What is emotional intelligence? In P. Salovey, & D. J. Sluyter (Eds.), Emotional development and emotional intelligence: Educational implications. Basic Books.
Moskat, H. J., & Sorenson, K. M. (2012). Let’s Talk about feelings: Emotional intelligence and aggression predict juvenile offense [Thesis, Whitman College]. Penrose Library. http://hdl.handle.net/10349/1169
Santrock, J. W. (2011). Life-span development (13th Ed). Mc Graw Hill.
Saphiro, L. E. (2003). Mengajarkan emotional intelligence pada anak. PT Gramedia Pustaka Utama.
Siu, A. F. (2009). Trait emotional intelligence and its relationships with problem behavior in Hong Kong adolescents. Personality and Individual Differences, 47(6), 553-557.

Kapan orang tua perlu berhenti kepo dengan aktivitas berinternet anaknya? Sebuah pelajaran dari studi tentang cyberbullying pada remaja dan emerging adults

ArtikelArtikelBlog Monday, 5 September 2022

Penulis: S. B. Suryo Buwono

Penyunting: Arum Febriani

 

Internet adalah bagian penting dan tak terelakkan dari kehidupan manusia zaman sekarang. Implikasi dari maraknya penggunaan internet dan berbagai platform komunikasi yang dimediasi komputer, seperti sosial media dan aplikasi pesan instan, adalah munculnya online disinhibition effect. Online disinhibition effect adalah perubahan tingkah laku komunikan yang menjadi lebih terbuka, longgar, dan merasa tanpa kekangan (Suler, 2004). Efek ini muncul secara natural dalam ruang maya karena sifat interaksi di platform ini mendorong penggunanya mengembangkan persepsi anonimitas, asinkronitas, dan minim tanggung jawab langsung atas perilaku.

Dampak dari efek ini bak pisau bermata dua: di satu sisi, memfasilitasi pengguna untuk dapat mengungkapkan dirinya, saling berbagi emosi positif, dan membantu sesama dengan skala yang luas (contohnya seperti menginisiasi crowdfunding); di sisi lain, dengan lunturnya identitas individu dan terminimalisasinya konsekuensi perilaku, banyak pengguna menjadi lebih terdorong untuk berkata kasar, mengumbar kemarahan dan kebencian, dan bahkan secara sengaja berperilaku agresif terhadap orang lain. Dalam istilah yang lebih populer, perilaku agresif secara online yang dilakukan secara sengaja dan berulang diistilahkan sebagai cyberbullying (Patchin & Hinduja, 2015).

Cyberbullying telah meluas dan mudah dijumpai dalam interaksi sehari-hari di jagad maya. Cyberbullying dapat dilakukan oleh dan kepada siapapun yang merupakan pengguna aktif internet. Baik anak-anak, remaja, dewasa, dan lansia dapat menjadi pelaku maupun korban cyberbullying. Selain berdampak serius secara psikologis bagi korban, hal yang tidak kalah mengkhawatirkan dari fenomena cyberbullying adalah potensinya untuk menciptakan siklus kekerasan. Beragam studi telah menemukan bahwa pengalaman menjadi korban (cyber-victimization) berperan sebagai salah satu prediktor utama dari perilaku cyberbullying (e.g., Kowalski et al., 2014; Wong et al., 2014); dengan kata lain, mereka yang sebelumnya merupakan korban berisiko tinggi untuk menjadi pelaku cyberbullying di kemudian hari.

Dalam konteks pengasuhan, secara intuitif umumnya orang tua (atau figur pengasuh) berusaha memproteksi anaknya dari dampak negatif berinternet dengan bersikap kepo dan melakukan pengawasan. Secara empiris, berbagai studi di dunia barat menemukan bahwa “kekepoan” atau keingintahuan orang tua terhadap aktivitas berinternet anak mampu berperan sebagai faktor protektif dan melemahkan hubungan pengalaman sebagai korban dengan perilaku cyberbullying (Hood & Duffy, 2018; Kowalski et al., 2014).

Pertanyaannya, sejauh mana temuan tersebut berlaku di Indonesia? Hingga usia berapakah “kekepoan” orang tua terhadap aktivitas berinternet anak efektif berperan sebagai faktor protektif?

 

Temuan studi pada sampel remaja awal, remaja akhir, dan emerging adults di Indonesia

Gambar 1-3 merangkum temuan rangkaian studi yang dilakukan oleh Center for Lifespan Development (CLSD, 2020) terhadap 1891 remaja awal (13-15 tahun) dan 1212 remaja akhir (16-18 tahun); dan Buwono (2021) terhadap 122 emerging adults (18-29 tahun). Hasil menunjukkan bahwa efektivitas parental monitoring—upaya orang tua untuk mengawasi dan memahami aktivitas berinternet anaknya—dalam melemahkan potensi risiko korban untuk menjadi pelaku cyberbullying hanya berlaku pada remaja awal. Pada remaja akhir, tingginya parental monitoring tidak menentukan kuat lemahnya hubungan antara pengalaman viktimisasi dengan perilaku cyberbullying. Sebaliknya, pada emerging adults, tingginya skor parental monitoring justru memperkuat hubungan kausal positif antara pengalaman mahasiswa sebagai korban dengan perilaku cyberbullying—alih-alih melemahkannya.

Kesimpulannya, efek positif dari parental monitoring tidak universal di semua kelompok usia. Seiring bertambahnya usia anak, “kekepoan” dan kontrol orang tua terhadap aktivitas internet anak justru akan berbalik menjadi bumerang dan menghadirkan efek negatif.

Gambar 1. Tingginya parental monitoring melemahkan hubungan viktimisasi-cyberbullying pada remaja awal (CLSD, 2020).
Gambar 2. Tingginya parental monitoring tidak berkaitan dengan hubungan viktimisasi-cyberbullying pada remaja akhir (CLSD, 2020).
Gambar 3. Tingginya parental monitoring memperkuat hubungan viktimisasi-cyberbullying pada emerging adults (Buwono, 2021).

 

Pembahasan

Hasil studi yang dilakukan Albert dan koleganya (2005) menemukan bahwa karakteristik umum orang tua di Indonesia menyukai kontrol dan selalu ingin tahu dengan apa yang dilakukan anak. Oleh karena itu, dalam budaya pengasuhan di Indonesia sangat wajar ditemukan anak yang hingga usia dewasa masih tinggal bersama orang tua, sebab dependensi dan kepatuhan anak terkadang justru dianggap desirable.

Meski demikian, secara psikologis, proses transisi dari fase remaja ke fase emerging adulthood mendorong anak untuk mengembangkan aspirasi yang tinggi untuk mandiri (Jensen et al., 2004). Akibatnya, monitoring terhadap aktivitas berinternet yang dilakukan oleh orang tua justru akan dipersepsikan sebagai tindakan pengekangan dan hambatan untuk meraih kemandirian.

Alih-alih berperan sebagai buffer, “kekepoan” orang tua justru menghadirkan ketegangan bagi mereka yang berada di fase emerging adulthood. Berdasarkan pandangan General Strain Theory (Agnew, 1992, 2001), ketegangan yang dialami seseorang, terutama yang disebabkan oleh hal-hal yang dianggap tidak adil atau merugikan, mendorong munculnya emosi-emosi negatif seperti frustrasi, amarah, cemas, atau depresi. Menurut Agnew, manusia secara aktif akan mencari cara untuk mereduksi ketegangan dan emosi negatif yang membuat ketidaknyamanan dalam hidupnya; salah satunya dengan berlaku agresif. Oleh karena itu, dalam hal ini, “kekepoan” orang tua adalah komorbid ketegangan yang mengamplifikasi efek ketegangan utama yang bersumber dari pengalaman viktimisasi; menjadikan emerging adults yang dulunya korban menjadi lebih berisiko untuk melakukan cyberbullying di kemudian hari.

 

Saran

Sangat dapat dipahami bahwa “kekepoan” orang tua terhadap aktivitas berinternet anak merupakan ungkapan kepedulian orang tua kepada anak. Meski demikian, orang tua perlu lebih peka untuk menyesuaikan pendekatan pengasuhannya dengan tahapan perkembangan anak. Sebab, tidak ada strategi pengasuhan yang bersifat one-size-fits-all (satu untuk semua). Sebaik-baiknya pengasuhan adalah pengasuhan yang sesuai dengan milestone perkembangan anak.

Seiring bertambahnya usia anak, sedikit demi sedikit kontrol terhadap anak perlu direnggangkan. Kemampuan berkomunikasi secara terbuka dan dua arah menjadi elemen pengganti yang penting untuk merawat kualitas relasi orang tua-anak; hal inilah yang justru mampu berperan sebagai faktor protektif bagi anak yang mulai beranjak dewasa (cf. Kowalski et al., 2014; Ybarra & Mitchell, 2004). Tanpa adanya pola komunikasi ini, mispersepsi akan sangat mungkin terjadi dan konflik akan sulit untuk dapat diresolusi secara konstruktif.

 

Referensi

Agnew, R. (1992). Foundations for a general strain theory of crime and delinquency. Criminology, 30, 47–87.

Agnew, R. (2001). Building on the foundation of general strain theory: Specifying the types of strain most likely to lead to crime and delinquency. Journal of Research in Crime and Delinquency, 38, 319–361.

Albert, I., Trommsdorff, G., Mayer, B., & Schwarz, B. (2005). Value of children in urban and rural Indonesia: Socio-demographic indicators, cultural aspects, and empirical findings.

Buwono, S. B. S. (2021). Parental monitoring increases the risk of cybervictimized college students to become cyberbullies: A study of moderation effect. Paper presented at the 2nd Padjadjaran Psychology Conference Series, Indonesia.

Center for Lifespan Development. (2020). Cyberbullying among adolescents in Indonesia. Laporan Penelitian (Tidak dipublikasikan).

Hood, M., & Duffy, A. L. (2018). Understanding the relationship between cyber-victimisation and cyber-bullying on Social Network Sites: The role of moderating factors. Personality and Individual Differences, 133, 103-108.

Jensen, L. A., Arnett, J. J., Feldman, S. S., & Cauffman, E. (2004). The right to do wrong: Lying to parents among adolescents and emerging adults. Journal of Youth and Adolescence, 33(2), 101-112.

Kowalski, R. M., Giumetti, G. W., Schroeder, A. N., & Lattanner, M. R. (2014). Bullying in the digital age: A critical review and meta-analysis of cyberbullying research among youth. Psychological Bulletin, 140(4), 1073.

Memeriksa Keterampilan Eksekutif pada Bayi Melalui Permainan A not B

ArtikelArtikelBlog Friday, 15 July 2022

Penulis: Reswara Dyah Prastuty, Reviewer: Diah Dinar Utami

Perkembangan manusia pada 1000 hari pertama kehidupan, yakni sejak masih berada dalam kandungan hingga berusia dua tahun, memiliki peranan penting dalam membentuk pondasi perkembangan manusia sepanjang rentang kehidupan. Pada masa ini, volume otak anak berkembang sangat pesat hingga mencapai 75% dari volume otak orang dewasa (Santrock dkk., 2020). Beriringan dengan itu, berbagai aspek psikologis manusia, seperti sensorik motorik, kognitif, dan sosio emosional, juga turut berkembang. Aspek-aspek yang berkembang pada periode emas ini memiliki pengaruh yang signifikan dalam menentukan potensi perkembangan dan pembelajaran anak di masa mendatang (UNICEF, 2017).

Executive function atau fungsi eksekutif merupakan salah satu keterampilan dasar yang mulai tumbuh pada masa bayi. Keterampilan ini memungkinkan manusia untuk melakukan perencanaan hingga mampu mencapai tujuan. Fungsi eksekutif mencakup berbagai kemampuan kognitif, yaitu kemampuan atensi, pemecahan masalah, koordinasi, pembuatan keputusan, regulasi diri, serta berbagai kemampuan kognitif tingkat tinggi lainnya (Goldstein & Naglieri, 2014). 

Pada anak-anak, keterampilan eksekutif berhubungan dengan performansi akademik (Pascual dkk., 2017). Di sisi lain, keterampilan eksekutif yang terhambat atau kurang berhubungan dengan adanya gangguan perkembangan anak usia dini seperti autisme dan gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas (GPPH) atau yang biasa disebut sebagai ADHD (Lynch dkk., 2017; Krieger & Amador-Campos, 2018). Melihat hal tersebut, pemeriksaan atau skrining terhadap kemampuan eksekutif anak menjadi penting untuk dilakukan sehingga orang tua dapat memahami perkembangan buah hati secara lebih jauh dan menindaklanjutinya dengan intervensi dini bila diperlukan.

Pada tahun 2021, tim peneliti dari Center for Life-span Development (CLSD), Fakultas Psikologi, Universitas Gadjah Mada memberikan pelatihan keterampilan skrining perkembangan fungsi eksekutif bayi kepada para ibu yang memiliki bayi berusia 12-24 bulan. Pada pelatihan tersebut, ibu diajarkan untuk melakukan skrining menggunakan sebuah permainan sederhana, yaitu A not B. Melalui permainan atau tugas ini, ibu akan mengamati strategi bayi dalam mencari mainan yang disembunyikan di hadapannya yang mana hal tersebut mampu menggambarkan keterampilan eksekutifnya (Frossman & Bohlin, 2014). 

Untuk dapat memeriksa kemampuan eksekutif bayi melalui permainan A not B, ada beberapa hal yang perlu disiapkan oleh ibu. Pertama, ibu perlu menyiapkan ruangan yang minim distraksi sebagai tempat untuk melakukan permainan. Kedua, ibu perlu menyediakan alat berupa dua buah mangkuk yang sama persis dan tidak transparan serta sebuah mainan karet yang berukuran lebih kecil dari ukuran mangkuk. Selain itu, bila diperlukan, ibu juga dapat menyediakan kamera untuk merekam perilaku bayi saat melakukan permainan.

Sebelum melakukan permainan, ibu perlu mendudukkan anak di hadapan ibu dengan jarak kurang lebih dua meter. Setelah itu, ibu dapat meletakkan kedua buah mangkuk di depan ibu secara telungkup dan sejajar. Mangkuk yang berada di sisi kanan adalah mangkuk pada posisi A sedangkan yang berada di sisi kiri adalah mangkuk pada posisi B. Selain meletakkan mangkuk, ibu juga perlu menyembunyikan mainan karet di belakang badan ibu. Apabila seluruhnya telah berada pada posisi yang sesuai dengan ketentuan, ibu dapat memulai permainan A not B.

Untuk melakukan permainan A not B, dibutuhkan waktu kurang lebih sepuluh menit. Meskipun tahapan permainan A not B dapat dikatakan sederhana, ibu perlu memperhatikan dan melakukan setiap langkahnya secara teliti dan runtun. Berikut adalah tahap-tahapnya.

  1. Ibu mengeluarkan mainan karet dari balik badan dan memainkannya untuk menarik perhatian anak.
  2. Setelah pandangan mata anak tertuju pada mainan, ibu mengangkat mangkuk pada posisi A, lalu meletakkan mainan ke dalam mangkuk yang posisinya tertutup ke bawah tersebut.
  3. Ibu berkata pada anak, “Sekarang mainannya disembunyikan di sini.”
  4. Ibu menepuk tangan sekali untuk membuyarkan fokus tatapan mata anak.
  5. Ibu memberikan jeda selama tujuh detik dengan tetap berinteraksi atau menjaga kontak mata dengan anak.
  6. Setelah tujuh detik, ibu menggeser kedua mangkuk ke depan sehingga dapat dijangkau oleh anak.
  7. Ibu bertanya kepada anak, “Di mana mainannya?”
  8. Tanpa memberikan instruksi, petunjuk, maupun arahan apapun, ibu menunggu hingga anak bergerak mencari mainan.
  9. Apabila mainan tersebut berhasil ditemukan oleh anak pada posisi mangkuk A, maka ibu boleh membiarkan anak untuk memainkan mainan tersebut sebentar. Sebaliknya, apabila anak tidak menemukan mainan tersebut pada posisi A atau tidak bergerak mencarinya hingga sepuluh detik, maka ibu perlu mengeluarkan mainan dari mangkuk posisi A sambil berkata, “Ini dia!”. 

Setelah selesai menjalankan seluruh langkah yang disebutkan, ibu perlu mengulangi keseluruhan proses tersebut hingga berjumlah empat kali. Kemudian, ibu perlu melakukan dua kali percobaan lagi dengan menyembunyikan mainan pada mangkuk yang terletak pada posisi B. Dengan begitu, ibu akan melakukan enam kali percobaan dalam pelaksanaan permainan A not B. 

Penilaian terhadap perilaku bayi saat melakukan permainan A not B dapat ibu lakukan secara langsung saat melaksanakan permainan maupun setelah menyelesaikan permainan dengan melakukan pengamatan terhadap video rekaman. Dari pengamatan tersebut, ibu dapat mencatat perilaku looking dan reaching bayi. 

Perilaku looking yang benar pada permainan ini dapat dilihat melalui arah pandangan mata bayi yang langsung tertuju pada mangkuk tempat mainan disembunyikan saat ibu bertanya, “Di mana mainannya?”. Adapun perilaku reaching yang benar nampak dari respon perilaku anak yang ingin meraih mangkuk tempat mainan disembunyikan menggunakan tangannya. Ibu dapat menuangkan hasil pengamatan tersebut dalam sebuah tabel yang memuat keterangan perilaku looking dan reaching bayi pada percobaan pertama hingga keenam, apakah benar, salah, tidak menunjukkan perilaku looking maupun reaching sama sekali, atau perilaku looking dan reaching tersebut tertuju pada kedua posisi, yaitu A dan B. 

Setelah hasil skrining diperoleh, bila diperlukan, ibu dapat mengkonsultasikannya kepada profesional, seperti psikolog atau dokter anak. Dengan begitu, akan diperoleh saran yang berguna untuk menstimulasi perkembangan fungsi eksekutif anak maupun melakukan intervensi dini.

Referensi:

Goldstein, S., & Naglieri, J. A. (2014). Handbook of executive functioning. New York: Springer. doi:https://doi.org/10.1007/978-1-4614-8106-5

Eliot, L. (2001). Early Intelligence: How the Brain and Mind Develop in the First Years. London: Penguin.

Johansson, M., Forssman, L., & Bohlin, G. (2014). Individual differences in 10-month-olds’ performance on the A-not-B task. Scandinavian Journal Of Psychology, 55(2), 130-135. doi: 10.1111/sjop.12109

Lynch, C. J. (2017). Executive dysfunction in autism spectrum disorder Is associated with a failure to modulate frontoparietal-insular hub architecture. 2(6), 537-545. doi:https://doi.org/10.1016/j.bpsc.2017.03.008

Pascual, A., Muñoz, N., & Robres, A. (2019). The Relationship Between Executive Functions and Academic Performance in Primary Education: Review and Meta-Analysis. Frontiers in psychology, 10, 1582. https://doi.org/10.3389/fpsyg.2019.01582

Santrock, J., Deater-Deckard, K., & Lansford, J. (2020). Child Development: An Introduction. New York: McGraw Hill.

UNICEF. (2017). Early Moments Matter for Every Child. New York: United Nations Children’s Fund.

Krieger, V., & Amador-Campos, J. A. (2018). Assessment of executive function in ADHD adolescents: contribution of performance tests and rating scales. Child Neuropsychology, 24(8), 1063-1087. doi:10.1080/09297049.2017.1386781

Child See, Child Do: Mendampingi Anak Melakukan Observasi

ArtikelArtikelArtikel Ilmiah PopulerBlog Friday, 3 June 2022

Penulis: Resti Fahmi Dahlia, Reviewer: Diah Dinar Utami

Apakah kita sebagai orang dewasa sering takjub atau kagum ketika melihat tingkah anak kecil dapat menirukan perilaku yang mungkin kita lupa pernah melakukannya di depan anak atau anak melakukan perilaku yang mereka lihat melalui video di gadget-nya. Reproduksi perilaku yang dilakukan oleh anak setelah anak mengamati dalam istilah psikologi disebut Deferred Imitation. Penelitian yang telah dilakukan ahli dengan cara mengukur reproduksi dari perilaku yang sudah teramati setelah beberapa waktu berlalu yang dimungkinkan sudah tersimpan dapat diingat kembali berkaitan dengan fungsi memori yang ada pada anak (Heiman, dkk, 2017). Andrew N Meltzoff seorang psikolog dari Amerika pada tahun 1988 dalam penelitiannya menyampaikan bahwa proses meniru atau imitasi perilaku yang dilihat oleh anak dianggap penting dalam perkembangan kognitif anak-anak. Piaget sebagai ahli psikologi perkembangan, Piaget (1999) mengatakan proses reproduksi perilaku yang sudah teramati merupakan salah satu titik penting dari periode sensorimotor sehingga kemampuan ini penting untuk perkembangan anak pada tahap selanjutnya. Jauh sebelum Meltzoff dan Piaget, Albert Bandura telah melakukan penelitian mengenai proses meniru pada anak, sekitar tahun 1963 beliau melakukan eksperimen terhadap anak mengenai perilaku agresi yang dilihat anak menggunakan media dan tanpa media (langsung). Studi sebelumnya yang dilakukan Bandura & Huston (1961) dirancang untuk menjelaskan fenomena identifikasi dalam hal pembelajaran insidental, menunjukkan bahwa anak-anak siap meniru perilaku yang ditunjukkan oleh model orang dewasa di hadapan model.

 

Nah, ternyata ada penelitian dilakukan mengenai deferred imitation yang menunjukkan hasil bahwa proses meniru yang ada pada anak, diantaranya dilakukan Piaget (1999) mengatakan bahwa anak dibawah usia 18 bulan belum memiliki kemampuan untuk menyimpan informasi. Penelitian lain menemukan bahwa anak usia 14 bulan sudah memiliki kemampuan untuk menyimpan informasi dan melakukan produksi perilaku dari informasi yang sudah diterima sebelumnya. Perbedaan setiap anak dalam melakukan imitasi dari perilaku yang telah diamati sebelumnya merefleksikan perbedaan perkembangan memori individu (Jones and Herbert, 2006). Selanjutnya Dunst, dkk (2011) melakukan penelitian dengan mengaitkan mengenai perilaku komunikasi sosial, dengan menggunakan permainan sederhana dan dilakukan secara berulang dapat mendorong peniruan dasar pada bayi dan dapat mengembangkan perilaku komunikasi sosial dalam perkembangan bayi yang khas. Penelitian lain mengenai proses meniru dengan kaitannya komunikasi sosial anak yang dilakukan oleh Hanika & Boyer (2019) menunjukkan peniruan yang dilakukan anak yang berusia 15-18 bulan memiliki hubungan unik dengan komunikasi sosial yang khusus untuk pemahaman bahasa., dimana komunikasi sosial di kemudian hari dapat memprediksi keterampilan bahasa pada anak.  

 

Melihat bahwa anak usia dini sudah memiliki kemampuan mengingat dan meniru setiap perilaku yang teramati baik melalui saudara maupun orangtua untuk mempelajari hal baru (Howe, dkk 2018). Maka sebagai orang dewasa perlu menyediakan lingkungan yang mendukung tumbuh kembang anak yang sesuai dengan nilai dan norma dalam keluarga dan lingkungan. Salah satu yang dapat dilakukan orang tua dalam mengamati tumbuh kembang anak diantaranya mendampingi dan ikut serta ketika anak bermain di rumah. Saat anak bermain atau menggunakan gadget untuk bermain maka sebagai orang dewasa kita dapat mendampingi dengan berpartisipasi bersama anak dan membangun komunikasi dengan anak. Hal ini dilakukan agar apa yang dilihat anak, dapat diketahui oleh orang dewasa di sekitarnya dan dapat diberikan pemahaman mengenai apa yang anak lihat sehingga anak bisa menirukan hal baik dari yang diamati anak dan orang tua dapat berlaku bijak ketika anak menirukan perilaku yang negatif.

 

Referensi:

Bandura, A. & Huston, A.C (1961) Identification as a process of incidental learning. Journal of Abnormal and Social Psychology

Bandura, A., Ross, D., & Ross, S.A. (1963) Transmission of Aggression through imitation of aggressive models. Journal of Abnormal and Social Psychology

Dunst, C., Raab, M. & Trivette, C. (2011)  Characteristics of naturalistic language intervention strategies. Journal of Speech-Language Pathology and Applied Behavior Analysis.

Howe,N., Rosciszewska, J., Persram, R.J. (2018) “I’m an ogre so I’m very hungry!” “I’m assistant ogre”: the social function of sibling imitation in early childhood. Infant Child Development.

Jones, E.J.H., & Herbert, J.S (2006) Exploring memory in infancy: deferred imitation and the development of declarative memory. Infant Child Development, 15,195-205

Meltzoff, A.N (1985) Immediate and deferred imitation in fourteen and twenty-four-month-old infants. Child Development. 56:62-72

Meltzoff, A.N (1988) Infant Imitation After a 1-week delay: long term memory for novel acts and multiple stimuli. Developmental Psychology. 24(4): 470-476

Heimann, M. & Meltzoff. (1996). Deferred imitation in 9 and 14 month-old infants: a longitudinal study of a Swedish sample. British Journal of Developmental Psychology, 14(1), 55-64.

Heimann, M., Edorsson, A., Sundqvist, A., & Koch, F. (2017). Thirteen- to sixteen-months old infants are able to imitate a novel act from memory in both unfamiliar and familiar settings but do not show evidence of rational inferential processes. Frontiers In Psychology, 8. doi: 10.3389/fpsyg.2017.02186

Piaget, J. (1999). Play, dreams, and imitation in childhood. London: Routledge (originally published in 1951).

Mendukung Hubungan Sehat Pada Dewasa Muda Dengan Disabilitas, Bagaimana Caranya?

ArtikelBlog Wednesday, 22 December 2021

Mendukung Hubungan Sehat Pada Dewasa Muda dengan Disabilitas, Bagaimana Caranya?

oleh: Munadira
editor: Resti Fahmi Dahlia

Photo by Ivan Samkov from Pexels

Cinta adalah perasaan natural yang dirasakan oleh tiap individu. Usia dewasa muda kerap dikaitkan dengan usia dimana hubungan romantis menjadi suatu kebutuhan. Hubungan percintaan memungkinkan kita untuk tetap terhubung satu sama lain dan juga melindungi kita dari perasaan kesepian (Ignagni, dkk., 2016).  Serupa dengan individu pada umumnya, kebutuhan terkait mencintai dan dicintai juga dirasakan oleh individu dengan disabilitas. Kebutuhan mereka akan cinta dan koneksi sering kali dipertanyakan atau bahkan dipandang salah oleh mereka yang tidak memiliki disabilitas. Mereka seringkali mengalami stereotip budaya dan prasangka yang menyakitkan dan merusak kepercayaan diri. Mereka yang hidup dengan disabilitas juga terkadang diharapkan untuk menjalin hubungan “dengan jenisnya sendiri”. Menurut penelitian yang dilakukan Friedman (2019), partisipan penelitiannya yang merupakan individu dengan disabilitas mengalami kesulitan untuk menjalin hubungan jangka panjang dengan lawan jenis, terutama hubungan yang bersifat jangka panjang. Selain itu, mereka juga mendapatkan stigma bahwa mereka seharusnya menjalin hubungan dengan sesama individu dengan disabilitas.

Hubungan romantis yang dijalani oleh individu dengan disabilitas adalah sebuah kondisi yang menjadi perhatian dari banyak peneliti. Matilla (2017) meneliti mengenai makna cinta bagi individu dengan disabilitas. Ia menemukan bahwa partisipan penelitiannya memiliki definisi cinta yang spesifik. Penelitian Matilla (2017) mengenai hubungan romantis pada individu dengan disabilitas intelektual menemukan bahwa beberapa dari para partisipannya memiliki pacar, suami, atau istri. Para partisipan ini menggambarkan cinta dari pasangan mereka sebagai sumber berbagi perasaan dan emosi, sumber belajar, dan juga sumber berbagi perhatian (Matilla, 2017). Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Jones, dkk., (2020), juga menemukan bahwa meskipun proses pencarian cinta pada dewasa muda dengan disabilitas penuh lika-liku, ada pula sebagian dari mereka yang memiliki akhir kisah cinta yang bahagia. Beberapa partisipan dalam penelitian Jones, dkk., (2020), mengungkapkan bahwa cinta sejati mereka adalah orang yang mampu menerima disabilitas yang mereka miliki secara tulus dan tidak merendahkan.

Salah satu partisipan dalam kutipan wawancara yang dilakukan oleh Jones (2020), memaparkan:

“Saya percaya, adalah mungkin untuk menghilangkan ketakutan stereotip akan ketidakmampuan yang tidak hanya dimiliki oleh orang-orang dengan disabilitas fisik yang parah, caranya adalah dengan mendukung penyandang disabilitas yang putus asa untuk mencari cerita yang menginspirasi.”

Salah satu karya yang dapat dijadikan rujukan dalam menelusuri kisah inspiratif pasangan dengan disabilitas adalah film yang berjudul “What They Don’t “Talk About When They Talk About Love (2013)”. Film yang bercerita tentang kisah cinta pasangan difabel ini memiliki pesan bahwa ada banyak orang yang unggul dalam berbagai bidang kehidupan dan terkadang memandang keunggulan seseorang harus dipisahkan dari keterbatasan fisik. Beranjak dari penelitian dan studi kasus inspiratif dari Barat, di Indonesia, penelitian dan kisah inspiratif mengenai hubungan romantis para individu disabilitas masih sangat minim. Salah satu kisah inspiratif yang berasal dari Indonesia adalah kisah dari Wahyu dan Aslima. 

Aslima yang merupakan penyandang disabilitas sejak lahir memiliki pasangan tanpa disabilitas yang mampu memandang kekurangan yang ia miliki melalui sudut pandang yang lain (Kompas, 2014). Perjalanan cinta Aslima sendiri penuh lika-liku, sejak remaja ia sempat mengalami stigma bahwa tidak akan menikah karena keterbatasan fisik yang dialaminya. Namun, alih-alih menyerah, ia justru mengembangkan keahliannya di bidang seni hingga akhirnya dapat hidup secara mandiri. Aslima pun dipertemukan dengan Wahyu melalui seni, hal ini yang menyatukan mereka hingga akhirnya memutuskan untuk menikah. Mereka ingin membuktikan bahwa mereka bisa mandiri. Aslima juga ingin hidup seperti keluarga normal dan berperan sebagai istri pada umumnya, melayani suami, mengurus rumah, dan membesarkan anak-anak.

“Istri saya tak ada bedanya dengan perempuan lain yang badannya lengkap. Ia bisa melakukan semua pekerjaan sendiri,” ujar Wahyu (Kompas, 2014)

Aslima menyelesaikan pekerjaan rumahnya tanpa pembantu, dari mulai membersihkan rumah, memasak, mencuci, dan mengasuh anak. Ia tidak ingin keterbatasan fisiknya menghalanginya beraktivitas seperti perempuan lain. Ia juga meminta Wahyu untuk mengajari membuat kerajinan akar wangi agar bisa membantu pekerjaan suaminya. Wahyu kini memiliki dua lapak kerajinan dan cinderamata di Dusun Kinahrejo, Cangkringan.

Melalui kisah inspiratif di atas, pesan yang dapat dipetik bagi kita sebagai individu yang hidup di lingkungan beragam adalah untuk saling menghargai dan memandang bahwa setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangan yang bisa saling melengkapi dirinya. Berdasarkan pesan moral yang didapatkan dari kisah inspiratif tersebut, berikut ini kiat-kiat yang dapat dilakukan untuk mendukung individu dengan disabilitas agar turut merasakan hubungan yang percintaan yang sehat, antara lain:

  1. Percaya bahwa mereka dengan disabilitas juga memiliki perasaan dan keinginan untuk mencintai dan dicintai,
  2. Hargai perasaan mereka dan hindari stigma yang membuat mereka merasa tidak berhak akan perasaan yang dimiliki,
  3. Percaya bahwa mereka dengan disabilitas juga berhak untuk menikah dan memiliki hubungan jangka panjang yang bahagia,
  4. Individu dengan disabilitas tidak ingin dipandang berbeda atau sebagai beban dalam hubungan percintaan yang mereka jalin,
  5. Hindari kata-kata yang dapat menjatuhkan kepercayaan diri mereka saat mendengarkan cerita cinta individu dengan disabilitas,

Pada intinya, ketika individu dengan disabilitas sedang jatuh cinta, hal tersebut adalah bentuk perasaan yang murni dirasakan oleh mereka sama seperti individu pada umumnya. Penelitian Jones, dkk., (2020), mengungkapkan bahwa ketika individu dengan disabilitas percaya diri dalam hubungan romantis yang dijalin, maka ketertarikan dari lawan jenis pada diri mereka akan terpancar. Maka, lakukanlah beberapa tips di atas untuk mendukung kepercayaan diri individu dengan disabilitas dalam menjalin hubungan romantis yang sehat.

 

Referensi: 

Forrester-Jones, R., Bates, C., Skillman, K. M., & Elson, N. (2020). Love and loving relationships: What they mean for people with learning disabilities. Journal of Intellectual Disability Research, 63(7), 863-863.

Friedman, C. (2019). Intimate relationships of people with disabilities. Inclusion, 7(1), 41-56.

Gischa, S. (2021, 2 Januari). Kisah Sejati Tanpa Memandang Fisik. 

Ignagni, E., Fudge Schormans, A., Liddiard, K., & Runswick-Cole, K. (2016). ‘Some people are not allowed to love’: intimate citizenship in the lives of people labeled reference intellectual disabilities. Disability & Society, 31(1), 131-135.

Mattila, J., Määttä, K., & Uusiautti, S. (2017). ‘Everyone needs love’–an interview study about perceptions of love in people with intellectual disability (ID). International journal of adolescence and youth, 22(3), 296-307.

Memandu Anak ASD untuk Disiplin dalam Menggunakan Gadget dan Internet

ArtikelBlog Friday, 17 December 2021

Memandu Anak ASD untuk Disiplin dalam Menggunakan Gadget dan Internet

oleh: Nindya Alifia Tittani
editor: Resti Fahmi Dahlia

Photo by RODNAE Productions from Pexels

Autism Spectrum Disorder (ASD) merupakan salah satu bentuk gangguan neurodevelopmental yang dicirikan dengan adanya kesulitan dalam interaksi sosial, komunikasi, serta memiliki pola atipikal dalam aktivitas sehari-hari (1). Prevalensi anak dengan ASD memiliki peningkatan dari tahun ke tahun, data terakhir dari Centers for Disease Control and Prevention (CDC) pada tahun 2016 menyebutkan bahwa satu dari 54 anak di Amerika terdiagnosis mengalami ASD (4). World Health Organization (WHO) mengestimasikan bahwa satu dari 270 orang di seluruh dunia mengalami Autism Spectrum Disoreder (1). Meski belum terdapat data yang pasti tentang perkembangan kasus ASD di Indonesia, layanan bagi penyandang ASD dan/atau keluarganya tetap perlu diperhatikan. Kondisi ini tidak hanya berdampak pada anak dengan ASD itu sendiri, namun juga memberikan dampak psikologis yang cukup besar kepada orang tua mereka seperti stress dalam pengasuhan karena tuntutan peran serta rendahnya efikasi diri yang dimiliki karena kurangnya rasa percaya diri pada kemampuan orang tua dalam mengasuh anak dengan autism (2,3).

Pandemi COVID-19 mempengaruhi bagaimana orang tua harus mendidik dan mendampingi anak-anak mereka di rumah. Pembelajaran daring yang dilakukan oleh pihak sekolah mengharuskan para orang tua mendampingi anak-anak mereka selama belajar. Hal ini juga di lakukan oleh orang tua yang memiliki anak dengan ASD. Anak dengan ASD memiliki kondisi khusus yang mengharuskan mereka mendapatkan pelayanan pendidikan yang terfokus pada anak. Pusat terapi yang biasanya dijadikan rujukan untuk anak ASD saat ini tidak dapat melayani secara tatap muka dan mengharuskan orang tua mendampingi dan melakukan latihan sederhana agar kemampuan anak ASD yang sudah terbentuk tidak mengalami kemunduran. Selama pandemi, pembelajaran dilakukan melalui daring dan media ynag menghubungkan antara anak dengan sekolah atau pengajarnya adalah media online yang dapat di akses melalui gadget. Platform zoom dan google meet menjadi salah satu alternatif yang digunakan para pengajar untuk memberikan materi dan mengajarkan siswa-siswa mereka selama daring. 

Pembelajaran secara daring memiliki dua sisi yang saling bertolak belakang. Apabila dilakukan secara tidak tepat, hal ini akan berdampak kepada anak dan penggunaan gadget yang kurang bijak yang dilakukan oleh anak non-disabilitas maupun anak dengan disabilitas. Screentime merupakan salah satu hal yang menjadi perhatian para orang tua yang memiliki anak dengan ASD (6). Screentime yang berlebihan memiliki dampak terhadap muncul perilaku-perilaku repetitif dan stereotip pada anak ASD (5,7) Hal ini akan menurunkan hasil treatment yang sudah dilakukan di masa sebelumnya untuk mengurangi perilaku tersebut. Namun, selama pandemi orang tua dengan anak ASD tidak memiliki pilihan lain selain tetap mengikuti pembelajaran atau terapi secara daring. Berkaitan dengan dilema yang dirasakan oleh orang tua dengan anak ASD, berikut ini tips yang dapat dilakukan oleh orang tua dengan anak ASD untuk menyesuaikan pembelajaran anak secara daring (9) : 

  1. Tetapkan batas penggunaan internet.

Orang tua dapat menetapkan alokasi waktu yang menjadi kesepakatan bersama untuk bermain gadget (selain pembelajaran daring) dengan membuat tabel jadwal penggunaan gadget atau mengatur timer sebagai alarm untuk batas waktu maksimum penggunaan gadget. 

  • Membuat aturan dasar untuk penggunaan perangkat antara anak dan orang tua. 

Aturan dasar untuk penggunaan gadget dan internet adalah hal yang penting untuk semua anak, termasuk anak dengan ASD. Aturan yang dibuat oleh orang tua harus singkat dan jelas. Tujuan dari aturan ini adalah memberi tahu anak apabila ia melanggar peraturan mereka akan kehilangan hak istimewa untuk menggunakan gadget dan bermain secara daring untuk sementara. Misalnya, aturan untuk tidak boleh berkomunikasi dengan orang asing di media sosial atau hanya memperbolehkan membuka situs web tertentu, lalu apabila anak melanggar peraturan ini orang tua dapat menarik hak anak menggunakan gadget dalam kurun beberapa waktu sesuai perjanjian dengan anak.

  • Memantau anak pada saat menggunakan internet dan gadget 

Orang tua atau pendamping diusahakan tetap memantau kegiatan anak selama mereka menggunakan gadget dan bermain secara daring. Orang tua dapat mengecek secara berkala mengenai situs-situs yang dibuka oleh anak maupun membatasi situs-situs online yang kurang pantas untuk anak melalui setting pada gadget yang dimiliki. Hal ini secara otomatis akan membatasi ruang anak dalam berselancar di internet dan bermain secara daring. Sehingga, anak akan terpantau dan terlindungi dari situs-situs yang kurang pantas untuk anak-anak.  

  • Gunakan teknologi sebagai suplemen untuk interaksi sosial secara langsung.

Teknologi menawarkan banyak peluang sosial, tetapi hal ini tidak boleh menjadi perangkat utama yang mengalihkan semua interaksi sosial yang dapat dilakukan oleh anak secara langsung (secara tatap muka). Orang tua yang memiliki anak dengan ASD dapat mengondisikan anak untuk menggunakan gadget sebagai alat bantu dalam berintekasi, seperti menjadikan gadget alat perantara untuk bermain secara kelompok yang mana hal ini belum dapat dilakukan dalam kondisi pandemi. Namun, orang tua juga harus tetap mendampingi anak bermain di luar jam bermain gadget sehingga anak merasa bahwa waktu luang tanpa gadget juga merupakan hal yang menyenangkan. 

Tips ini dapat digunakan oleh para orang tua untuk menanggulangi adiksi pada gadget yang memungkinkan untuk terjadi pada anak. Teknologi yang terus berkembang tidak dapat dihentikan maupun dihindari keberadaannya. Anak dengan ASD juga tidak sepatutnya dijauhkan secara permanen dengan gadget ataupun teknologi lain (9). Gadget dan internet juga dapat memiliki fungsi yang baik dan dapat meningkatkan kemampuan di ranah tertentu (seperti: kemampuan problem solving, social awareness) yang mereka pelajari secara tidak langsung melalui video yang mereka lihat di internet maupun permainan online yang mereka ikuti. Cabibihan, Javed, Aldosari, Frazier, dan Elbashir (2017) menemukan bahwa teknologi dan gadget memiliki dampak yang positif terhadap perkembangan anak ASD. Namun, kedua hal ini tetap memerlukan bimbingan dari orang dewasa di sekitar anak sehingga anak tidak dapat sepenuhnya dilepaskan dan dibiarkan untuk bermain gadget tanpa aturan dan batasan waktu (8). 

Nah, berdasarkan informasi dan tips dari artikel ini, semoga parents tidak lagi merasa bimbang untuk memberikan kesempatan anak dalam menggunakan gadget maupun internet. Namun, apabila dirasa membutuhkan bantuan dari professional, parents dapat menghubungi layanan kesehatan/ professional  terdekat atau terpercaya untuk konsultasi lebih lanjut mengenai penetapan jadwal maupun kondisi-kondisi anak yang terdampak dari penggunaan gadget yang kurang bijak di masa sebelumnya. 

Referensi:

  1. WHO. (2021, 1 Juni). Autism Spectrum Disorders
  2. Bearss, K., Burrell, T. L., Stewart, L., & Scahill, L. (2015). Parent Training in Autism Spectrum Disorder: What’s in a Name? Clinical Child and Family Psychology Review, 18(2), 170–182. https://doi.org/10.1007/s10567-015-0179-5 
  3. Crowell, J. A., Keluskar, J., & Gorecki, A. (2019). Parenting behavior and the development of children with autism spectrum disorder. Comprehensive Psychiatry, 90, 21–29. https://doi.org/10.1016/j.comppsych.2018.11.007 
  4. Maenner, M. J., Shaw, K. A., Baio, J., et al. (2020). Prevalence of autism spectrum disorder among children aged 8 years — autism and developmental disabilities monitoring network, 11 sites, united states, 2016. MMWR Surveill Summ, 69:1–12. DOI: http://dx.doi.org/10.15585/mmwr.ss6904a1external icon
  5. Dong, H. Y., Wang, B., Li, H. H., Yue, X. J., dan Jia, F. (2021). Correlation between screen time and autistic symptoms as well as development quotients in children with autism spectrum disorder. Front. Psychiatry. (12). doi: 10.3389/fpsyt.2021.619994
  6. Stiller, A., Weber, J., Strube, F., dan Moessle. (2019). Caregiver reports of screen time use of children with autism spectrum disorder: A qualitative study. Behav. Sci, 9(56). doi:10.3390/bs9050056
  7. Hermawati, D., Rahmadi, F. A., Sumekar, T. A., Winarni, T. I. (2018). Early electronic screen exposure and autistic-like symptoms. J-STAGE. doi: 10.5582/irdr.2018.01007
  8. Cabibihan, J., Javed, H., Aldosari, M., Frazier, T. W., dan Elbashir, H. (2017). Sensing technologies for autism spectrum disorder screening and intervention. Sensors, 17(46). doi:10.3390/s17010046
  9. UNICEF. (2017). Children in digital a world. Division of Communication UNICEF.

Optimalisasi Pengasuhan ABK di Masa Pandemi

ArtikelBlog Monday, 13 December 2021

Optimalisasi Pengasuhan ABK di Masa Pandemi

oleh: Resti Fahmi Dahlia
editor: Diah Dinar Utami

Photo by Cliff Booth from Pexels

Coronavirus disease 2019 (COVID-19) merupakan salah satu permasalahan kesehatan yang sedang dihadapi oleh masyarakat di seluruh dunia, tidak terkecuali di Indonesia. Di Indonesia sendiri, dampak pandemi COVID-19 mempengaruhi berbagai macam sektor seperti ekonomi, pendidikan, dan kesehatan. Selain itu, pandemi juga dirasakan oleh anak-anak, orang dewasa, pelajar, orang tua siswa, dan guru. Kondisi psikologis seperti kecemasan, stres, dan depresi juga dirasakan oleh para siswa hingga mahasiswa di Indonesia, baik individu tanpa disabilitas maupun individu dengan disabilitas. Kondisi pandemi ini membuat pemerintah mengeluarkan keputusan melalui surat edaran nomor 4 tahun 2020 mengenai pembelajaran jarak jauh. Pembelajaran jarak jauh dengan mengutamakan keselamatan peserta didik, pendidik, tenaga kependidikan, keluarga dan masyarakat serta mempertimbangkan tumbuh kembang siswa dan kondisi psikososial dalam upaya pemenuhan layanan pendidikan selama pandemi COVID-192. 

Publikasi penelitian mengenai dampak permasalahan COVID-19 pada individu dengan disabilitas mulai bermunculan, diantaranya penelitian yang dilakukan oleh Turk dan McDermott4 yang meneliti dampak pandemi terhadap individu dengan intelectual disability disorder. Penelitian ini menemukan bahwa permasalahan yang dihadapi individu dengan intellectual disability disorder terkait dengan kegiatan sehari-hari, sehingga hal tersebut mengakibatkan adanya perubahan perilaku individu. Hal ini sejalan dengan kajian yang telah dilakukan oleh Radissa, Wibowo, Humaedi dan Irfan3 di Indonesia yang menemukan bahwa individu dengan kebutuhan khusus merupakan kelompok paling rentan dalam situasi pandemi. Hal ini disebabkan oleh pemenuhan kebutuhan yang terganggu, pembatasan secara sosial yang menyebabkan kesulitan akses kesehatan dan pemenuhan akses informasi mengenai COVID-19 yang cenderung sulit karena kebijakan yang masih abai terhadap individu dengan kebutuhan khusus.

Selain memiliki dampak terhadap individu dengan kebutuhan khusus, situasi pandemi juga memiliki dampak terhadap keluarga yang memiliki anggota dengan kebutuhan khusus5. Penelitian yang dilakukan Amorim, dkk.,6 menunjukkan bahawa sebagain besar orang tua yang memiliki anak dengan autism spectrum disorder memiliki emosi yang negatif berkaitan dengan situasi pandemi COVID-19. Selanjutnya, literatur dari Asbury, Fox, Deniz, Code dn Toseeb (2021) menunjukkan bahwa keluarga yang memiliki anak dengan kebutuhan khusus mengalami permasalahan kesehatan mental yang buruk dan mereka merasa berada dibawah tekanan selama pandemi COVID-19. Penelitian-penelitian yang telah dibahas menunjukkan bahwa orang tua dan keluarga sebagai caregiver anak berkebutuhan khusus memiliki kerentanan terhadap stres ketika menghadapi pandemi COVID-19 dengan metode pembelajaran jarak jauh dan penerapan sistem jaga jarak antar individu. 

Salah satu hal yang diperlukan orang tua yang sekaligus berperan sebagai caregiver anak berkebutuhan khusus di rumah adalah dengan memiliki strategi koping untuk menghadapi situasi saat ini yang tidak menentu dan berubah-ubah. Strategi koping adalah suatu strategi yang digunakan oleh individu untuk menghadapi situasi yang menekan dan mengolahnya sesuai dengan sumber daya dalam diri yang dimiliki7.

Berikut ini adalah beberapa hal yang dapat dilakukan sebagai coping oleh keluarga yang memiliki ABK untuk menghadapi situasi yang tak menentu8:

  • Planning

Orang tua dapat melakukan penjadwalan mengenai hal-hal yang dapat dilakukan oleh orang tua dan anak selama kegiatan dilakukan di rumah. Penjadwalan mengenai kegiatan harian dan kegiatan akademik akan membantu orang tua mengurangi stres dan juga beban untuk mendampingi anak. Penjadwalan ini dapat dilakukan dengan membuat jadwal baru bagi anak. Jadwal ini meliputi waktu bermain, belajar, makan, dan waktu istirahat tenang tanpa gawai.

  • Seeking social support for instrumental and emotional reason

Tindakan untuk meminta bantuan, nasihat, dan informasi untuk menghadapi kondisi stres atau cemas yang dihadapi selama masa pandemi COVID-19. Tindakan ini juga dapat dilakukan dengan cara individu tetap terhubung dengan kerabat atau individu lain melalui media sosial disaat kondisi pembatasan mobilitas masyarakat. Bertukar cerita secara online dengan keluarga lain yang memiliki ABK akan memberikan informasi pada orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus mengenai pengalaman mereka untuk menjalani kesehariannya selama pandemi COVID-19 bersama dengan anak berkebutuhan khsuus. 

  • Active coping

Tindakan untuk mengambil langkah aktif dalam menanggulangi dampak situasi yang berubah-ubah dan tak menentu. Tindakan ini dapat diwujudkan dengan mengajak anak aktif melakukan kegiatan kebersihan diri untuk mengatasi atau menghindari tertular virus saat pandemi COVID-19. Melakukan kegiatan olahraga yang disesuaikan dengan usia anak di rumah untuk menjaga kesehatan diri. Memberikan informasi pada anak yang memiliki kebutuhan khusus mengenai pandemi COVID-19 sesuai dengan usia perkembangannya.

Selain memiliki strategi koping yang adaptif, keluarga juga sebaiknya mampu untuk mengolah tekanan dan stress yang hadir dari lingkungan luar berkaitan dengan kondisi pandemi. American Psychology Association (APA)9 memberikan ulasan mengenai cara untuk mengurasi      stres bagi keluarga dengan ABK diantaranya:

  1. Membuat kegiatan baru bagi anak, hal ini bermaksud agar anak merasa aman dan memahami apa yang diharapkan dari anak serta memperkenalkan perilaku baru dalam kehidupan sehari-hari. 
  2. Memberikan empati dan validasi atas perasaan yang dirasakan anak yang mungkin mengenai ketidaknyamanan atau tantangan yang mempengaruhi aktivitas sensorik atau terapi anak.
  3. Menunjukkan cinta tanpa syarat pada anak berkebutuhan khusus di masa pandemi dan mendorong anak untuk berbicara tentang perasaan mereka.
  4. Memberikan kesempatan pada anak untuk tetap menjalin komunikasi melalui media dengan teman atau terapis saat masa isolasi sosial. 

Referensi 

  1. Hasanah, U. Ludiana & Livana, P.H. (2020) Gambaran Psikologis Mahasiswa dalam Proses Pembelajaran Selama Pandemi Covid-19. 8(3), 299-306
  2. Kemendikbud.co.id
  3. Radissa, V.S., Wibowo, H., Humaedi, S., & Irfan, M (2020) Pemenuhan Kebutuhan Dasar Penyandang Disabilitas pada Masa Pendemi COVID-19. Jurnal Pekerja Sosial
  4. Turk, M.A. & McDermott, S. (2020) The COVID-19 pandemic and people with disability. Disabil Health J
  5. Amy, H., Debbi, H., Ashli, M., Tal, L.D., Christopher, R. (2020) Children with disabilities in the united state and the COVID-19 pandemic.
  6. Amorim, R. Catarino, S. Miragaia, P., Ferreras, C., Viana, V. & Guardiano, M (2020) The impact of COVID-19 on children with autism spectrum disorder. Rev Neurol
  7. Lazarus, R.S & Folkman, S. (1984) Stress appraisal and coping. Newyork: Springer Publishing Company. Inc
  8. Carver, C.S., Weintraub, J.K. & Scheier, M.F. (1989) Assessing Coping Strategirs: A Theoretically Based Approach. Journal of Personality and Social Psychology
  9. American Psychology Association (APA) (2020) Psychologists’ research offers ways to help families, caregivers and children cope during the pandemic.https://www.apa.org/research/action/children-disabilities-covid-19 

Pendidikan Anak Usia Dini dan Tahap Perkembangan Anak

ArtikelBlog Friday, 10 December 2021

Pendidikan Anak Usia Dini dan Tahap Perkembangan Anak

oleh: Yunita Ch. Yoseph
editor: Resti Fahmi Dahlia

 

Dalam satu dekade, kemunculan lembaga-lembaga pendidikan anak usia dini semakin merebak di Indonesia. Lembaga pendidikan anak usia dini (PAUD) sebagai lembaga pendidikan formal hadir bersama lembaga non formal lainnya yang juga berfokus pada perkembangan anak usia dini seperti kelompok bermain dan tempat penitipan anak. Meningkatnya jumlah sekolah dan peserta didik pada lembaga PAUD belum tentu dibarengi dengan meningkatnya kesadaran akan pentingnya pendidikan anak usia dini pada masyarakat Indonesia. Partisipasi dan persepsi orang tua terhadap lembaga PAUD masih rendah (1) Banyak orang tua yang mendaftarkan anak mereka pada sekolah PAUD karena membutuhkan tempat untuk menitipkan anak tanpa mengevaluasi perkembangan anak mereka  Selain rendahnya partisipasi orang tua, masalah pun muncul dari pihak lembaga-lembaga PAUD di Indonesia.

Penyelenggaraan lembaga PAUD di Indonesia yang mengacu pada kurikulum PAUD 2013 memiliki standar capaian yang meliputi enam aspek, yakni aspek nilai-nilai agama dan moral, fisik motorik, kognitif, bahasa, sosial-emosional dan seni (2). Empat aspek di antaranya sesuai dengan teori perkembangan yang diutarakan oleh Santrock. Pada usia tiga tahun, ukuran otak anak mencapai 95% dari otak dewasa dan pada usia enam tahun, ukuran otak menjadi hampir sama dengan ukuran otak anak tersebut kelak setelah dewasa. Bagian otak yang pesat bertumbuh pada masa ini adalah area lobus frontal yang berfungsi sebagai perencanaan, pengorganisasian dan atensi.

 Sedangkan pada aspek kognitif, anak pada usia ini mulai membentuk konsep, bernalar dan munculnya egosentrisme. Anak-anak dapat membayangkan penampilan objek yang tidak hadir secara fisik. Sedangkan egosentrisme menjelaskan kemampuan anak yang tidak dapat membedakan perspektif dirinya sendiri dan orang lain. Selain egosentrisme, adapula keterbatasan animisme, yakni benda mati seolah-olah memiliki kualitas yang sama dengan benda hidup. Vygotsky menambahkan dalam teorinya bahwa kognitif anak tergantung pada perangkat yang disediakan lingkungan dan pikiran mereka dibentuk oleh konteks kultural (3). Pada aspek bahasa, anak-anak masuk pada masa transisi eksternal kepada internal, yakni penggunaan bahasa untuk berkomunikasi dengan orang lain menjadi  fokus pada pikiran mereka. Yang sering dilakukan anak-anak pada masa ini adalah private speech. Beberapa peneliti menemukan bahwa anak-anak yang menggunakan private speech menjadi lebih perhatian dan meningkat prestasinya dibanding anak-anak yang tidak menggunakan private speech. Pada aspek sosio emosional, anak-anak diijinkan untuk mengekspresikan perasaannya. Salah satu contoh bahwa aspek perkembangan ini tidak terfasilitasi dengan baik yang penulis temui adalah ketika anak laki-laki menangis, pendamping PAUD mengatakan, ‘Ayo laki-laki jangan cengeng’. Ungkapan seperti ini justru tidak mengizinkan anak untuk menjadi jujur dengan perasaannya

Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa pelaksanaan kurikulum yang sudah dikembangkan tidak berjalan semulus yang dibayangkan. Masalah besar yang dihadapi bangsa ini adalah adanya kesenjangan pengetahuan dan pola pikir antara konseptor dan pelaksana. Sebuah penelitian terhadap tingkat pemahaman guru pada kurikulum 2013 pada salah satu kecamatan di Kab. Pamekasan menunjukkan hasil sebagai berikut:

  • Faktor mengingat (C1) sebagian besar berada pada kategori baik yaitu dengan persentase sebesar 94,38%,
  • Faktor menerapkan (C2) sebagian besar berada pada kategori baik yaitu sebesar 85,57%,
  • Faktor mengaplikasikan (C3) mengalami penurunan yaitu sebesar 70,37%  (4).

Masalah-masalah dalam memahami kurikulum akan selalu timbul jika masalah kualitas pendidik tidak diselesaikan, di antaranya guru PAUD yang disyaratkan berlatarbelakang S1 PG PAUD pada kenyataannya masih didominasi dari lulusan SMA sederajat. Untuk meningkatkan profesionalitas, beberapa kegiatan telah dilakukan, seperti Pendidikan dan Latihan Profesi Guru, kendati demikian masih banyak guru yang belum lulus kegiatan ini. Hal ini menunjukkan potret pendidik anak usia dini di Indonesia memang belum baik (5). Padahal tingkat kompetisi guru berhubungan erat dengan kemampuannya melakukan manajemen kelas yang erat kaitannya dengan kualitas pembelajaran (6).  Selain itu, terdapat masalah lain, yakni gaji guru PAUD yang relatif kecil padahal biaya sekolah PAUD relatif mahal.(7) Kualitas tenaga pendidik memang sangat berpengaruh pada kualitas perubahan pendidikan yang diharapkan. Terutama bagi pendidik anak usia dini yang merupakan masa emas perkembangan. Guru PAUD perlu dilatih untuk melakukan manajemen kelas yang baik, di antaranya dengan pendekatan konstruktivis Hal ini tentu juga sebuah harapan bagi perombakan sistem pendidikan nasional agar mulai meninggalkan pendidikan yang berpusat pada kognitif. 

Pola pendidikan konstruktivis mengekspos pelajar pada pengalaman baru dengan menciptakan rasa penasaran atau pertanyaan-pertanyaan yang merupakan bentuk kegelisahan mental yang menantang untuk memahami informasi baru yang dihasilkan pengalaman baru (8). Pola pendekatan ini memfasilitasi aspek-aspek perkembangan anak usia dini(9), antara lain: 1) proses aktif baik secara individu, sosial, mental maupun fisik; 2) proses sosial yang mengakomodasi adanya perbedaan pengetahuan setiap individu; 3) proses kreatif yang dapat datang dari dalam individu maupun dari luar melalui diskusi, argumentasi maupun berbagi interpretasi pengetahuan yang datang dari setting sosial. 

Contoh teknis pembelajaran yang dapat dilakukan untuk mendukung pendekatan ini adalah dengan metode  bermain peran. Bermain peran mengacu pada latihan pengalaman aktif sehingga peserta belajar mengenai etika melalui gambaran potensi keputusan yang harus dibuat. Cara ini dapat meninggalkan kesan yang mendalam dibandingkan dengan pola ceramah searah oleh pendidik dan peserta menerimanya begitu saja, lalu kemudiaan kesempurnaan hapalan materi dianggap sebagai kesuksesan pembelajaran. Anak akan kesulitan merapkan prinsip-prinsip tertentu ketika bertemu dengan situasi baru yang sangat berbeda dengan situasi kelas, atau lebih buruk, anak-anak pun tak dapat memahami prinsip sebuah ilmu pengetahuan, hal inilah yang berkaitan erat dengan tingkat literasi Indonesia yang dilaporkan masih sangat rendah. Buku-buku yang dapat digunakan untuk mendukung pendekatan ini adalah buku-buku bergambar di mana anak dapat memanipulasinya, buku yang menyajikan obyek-obyek dan anak mengenali obyek yang bermakna baginya dan buku dengan tokoh yang dapat mewakili perasaan anak (10). Proses ini akan membawa anak pada pandangannya yang baru setelah melihat dirinya sendiri dan dunia. Melalui konstruktivisme, pendidikan menjadi sarana pemenuhan diri karena memungkinkan individu untuk mengeksplor dirinya sendiri.

Referensi

  1. Nugraheni, S., & Fakhruddin, F. (2014). Persepsi Dan Partisipasi Orang Tua Terhadap Lembaga PAUD Sebagai Tempat Pendidikan Untuk Anak Usia Dini (Studi Pada Orang Tua di Desa Tragung Kecamatan Kandeman Kabupaten Batang). Journal of Nonformal Education and Community Empowerment  3(2), 3739.
  2. ___________ (2018). Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum 2013 Pendidikan Anak Usia Dini. Jakarta: Direktorat Pembinaan Pendidikan Anak Usia Dini. Diakses dari https://banpaudpnf.kemdikbud.go.id/upload/download-center/Buku%20Kerangka %20Dasar_1554107062
  3. Santrock, John. (2012). Life-Span Development Edisi Ketigabelas Jilid I. USA: McGraw Hills.
  4. Noviana, Nisa dan Karim. (2019). Tingkat Pengetahuan Guru Paud Tentang Kurikulum2013. Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran Anak Usia Dini 6 (2), 114–124.
  5. Christianti, Martha. (2012). Profesionalisme Pendidik Anak Usia Dini. Jurnal Pendidikan Anak 1(1), 112-122.
  6. Fatmawati, Eka. (2019). Hubungan Kompetensi Guru PAUD dengan Manajemen Kelas di TK Kelurahan Sokanegara Purwokerto.Skripsi Thesis. IAIN Purwokerto.
  7. Hewi, La dan Muh Shaleh. (2020). Refleksi Hasil PISA (The Programme for International Student Assesment): Upaya Perbaikan Bertumpu pada Pendidikan Anak Usia Dini. Jurnal Golden Age 4(1), 30-41.
  8. Saphira-Lishchinsky. (2015). Simulation-based constructivist approach for education leaders. Educational Management Administration & Leadership 43 (6) 972-988. DOI: 10.1177/1741143214543203
  9. Graffam, Ben. (2003). Constructivism and Understanding: Implementing the Teaching for Understanding Framework. The Journal of Secondary Gifted Education 25 (1), 13-22.
  10. Nurgiyantoro, Burhan. (2005). Tahapan Perkembangan Anak Dan Pemilihan Bacaan Sastra Anak. Cakrawala Pendidikan 2, 197-218.

Mendidik dengan Santun

ArtikelBlog Wednesday, 24 November 2021

Mendidik dengan Santun
oleh: Nur Arifah
editor: Resti Fahmi Dahlia

Photo by August de Richelieu from Pexels

Di Indonesia, masih banyak orang tua yang menggunakan beragam bentuk kekerasan fisik dan psikologis dalam mendidik anak. Survei yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2014 yang mengambil sampel 75 ribu rumah tangga dari seluruh kabupaten/kota di Indonesia menemukan bahwa 23,17% orang tua atau hampir seperempat dari total responden ditemukan menggunakan cara-cara kekerasan fisik dan psikologis dalam mendidik anak mereka (Mardina, 2018). Bentuk kekerasan fisik yang paling banyak ditemui adalah mencubit dan menjewer (30,97%), lalu menampar, memukul dan menendang (4,34%), dan mendorong dan mengguncang badan (3,3%) sedangkan bentuk kekerasan psikologis yang paling banyak dijumpai adalah membentak dan menakuti (41,86%), dan diikuti oleh mengatai dengan panggilan buruk seperti bodoh dan sebagainya (12,44%). 

Mengambil fokus pada anak usia dini, praktik mendidik dengan cara kekerasan juga banyak ditemukan, bahkan di kota pendidikan, Kota Yogyakarta. Penelitian survei oleh Muarifah, dkk (2020) dengan sampel 320 responden dari 3 kecamatan di Kota Yogyakarta menemukan bahwa 46% responden melakukan kekerasan fisik dan 54% responden melakukan kekerasan non-fisik atau verbal terhadap anak mereka yang berusia dini (usia 4-6 tahun). Terkait bentuk kekerasan fisik yang paling banyak dilakukan, hasilnya sama dengan hasil dari survei nasional oleh BPS yaitu mencubit (23%) dan menjewer (21%). Baru kemudian diikuti oleh memukul (13,75%), menampar (6,25%), dan menendang (0,6%). Disamping itu juga terjadi bentuk kekerasan fisik seperti menggigit dan menjambak. Bentuk kekerasan non-fisik yang paling banyak dilakukan adalah memelototi (21%) dan membanding-bandingkan dengan anak lain (15%), sedangnya bentuk kekerasan non-fisik lain yang dilakukan adalah menghardik, memarahi, mengejek, mencibir, dan merendahkan. Lebih lanjut, sebagian besar orang tua diatas beralasan bahwa mereka melakukan hal tersebut untuk mendisiplinkan anak mereka, disamping pandangan bahwa anak telah nakal dan perlu untuk mendapat hukuman (Muarifah, dkk, 2020). 

Bagi sebagian masyarakat, kenyataan bahwa bentuk-bentuk tindakan untuk mendidik atau “mendisiplinkan” anak diatas dapat dikategorikan sebagai bentuk kekerasan mungkin cukup mengejutkan. Hal ini mungkin karena tindakan seperti mencubit dan menjewer masih dianggap lumrah (Laveda & Ramadhan, 2020). Di Kamus Bahasa Jawa – Bahasa Indonesia I (Nardiati, dkk, 1993) ada kata-kata bermakna kekerasan yang menurut penulis kerap terdengar di telinga masyarakat Jawa seperti cethot (cubit), jiwit (cubit), gebug (pukul), dan keplak (tampar). Lantas apa saja tindakan-tindakan yang termasuk kekerasan fisik dan non-fisik (verbal/psikologis/emosional), apa dampak yang ditimbulkan, dan alternatif atau cara mendidik bagaimana yang sebaiknya dilakukan. Tulisan ini berupaya untuk membahas mengenai ketiga hal tersebut.

Pertama mengenai tindakan-tindakan yang termasuk ke dalam tindakan kekerasan terhadap anak. Menurut Kantor Pusat Layanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A), terdapat beberapa jenis kekerasan terhadap anak yaitu kekerasan fisik, kekerasan emosional, kekerasan seksual, pengabaian dan penelantaran, dan kekerasan ekonomi (Mardina, 2018). Artikel ini hanya akan membahas kekerasan fisik dan kekerasan emosional. Disebutkan disana bahwa tindakan yang dapat digolongkan ke dalam jenis kekerasan fisik adalah memukul, menampar, menendang, mencubit, dan sebagainya, sedangkan yang termasuk kekerasan emosional dapat berupa mengancam, menakut-nakuti, menghina, mencaci, dan memaki dengan keras dan kasar. Jenis dan contoh kekerasan tersebut senada dengan yang dinyatakan dalam UN Convention on the Right of the Child and the World Report on Violence and Health oleh World Health Organization 2002 (Mardina, 2018).  Lantas apa dampaknya ketika kekerasan fisik digunakan sebagai cara mendidik anak? American Psychological Association (APA) belum lama mengeluarkan pernyataan kebijakan yang berdasar pada penelitian-penelitian longitudinal yang kuat (Glicksman, 2019). Mereka menyatakan bahwa hukuman fisik tidak efektif digunakan untuk memperbaiki perilaku anak, justru sebaliknya, menjadi risiko tumbuhnya beragam permasalahan emosional, perilaku, dan akademik. Beberapa diantaranya, pertama, memukul anak tidak mengajarkan anak mengenai tanggung jawab, kesadaran diri, dan kontrol diri. Dengan memukul, tidak terjadi proses internalisasi atau pemahaman dalam diri mengapa sesuatu boleh dan tidak diboleh dilakukan. Anak hanya akan berusaha menghindari perilaku yang membuat mereka dipukul ketika ada orang tua saja, namun tetap akan melakukan ketika orang tua tidak ada. Kedua, anak belajar dari melihat orang tuanya. Melihat orang tua menggunakan kekerasan fisik mengajarkan pada anak mengenai penggunaan kekerasan fisik untuk mengatasi konflik kedepannya. Tindakan orang tua justru mendorong anak untuk menjadi agresif. Dalam pernyataan publik lain yang dikeluarkan oleh the American Academy of Pediatric (Sege & Siegel, 2018), penggunaan kekerasan fisik sebagai hukuman dapat meningkatkan agresivitas pada anak usia prasekolah dan usia sekolah, melemahkan hubungan orang tua-anak, dan meningkatkan risiko gangguan kesehatan mental dan permasalahan kognitif anak.

Banyak orang tua yang hanya mengulangi bagaimana mereka dididik dulu dan tidak memahami cara lain yang baik dalam mendidik atau mendisiplinkan anak (Glickman, 2019). Cara alternatif dalam mendidik yang dinyatakan oleh APA (Glickman, 2019), diantaranya melakukan komunikasi yang penuh dengan sikap menghargai anak, berupaya melibatkan anak dalam menyelesaikan permasalahan (kolaboratif), dan orang tua mencontohkan perilaku yang ingin diajarkan pada anak dalam kesehariannya. Salah satu prinsip yang dapat dipegang adalah jangan melakukan sesuatu pada anak, apa yang tidak akan kita lakukan pada orang dewasa.

Selain kurangnya pengetahuan mengenai cara pengasuhan yang baik, kondisi psikologis orang tua juga berpengaruh dalam terjadinya perilaku kekerasan pada anak, seperti gangguan psikologis yang diderita atau pengalaman mengalami hal serupa di masa lalu (Peterson, dkk, 2014) oleh karenanya orang tua dapat berusaha mengakses tenaga profesional seperti psikolog dan psikiater untuk menangani permasalahan psikologisnya sendiri. Diharapkan nantinya ada dampak positif secara tidak langsung pada cara-cara pengasuhannya.

Demikian sedikit uraian mengenai masih maraknya penggunaan cara-cara kekerasan dalam mendidik anak yang terjadi di masyarakat, apa saja yang sebenarnya masuk dalam perilaku kekerasan kepada anak, dampak yang ditimbulkan, serta alternatif pengasuhan yang sebaiknya diambil. Harapannya orang tua yang masih menggunakan cara-cara tersebut berhenti untuk melakukannya dan mulai berusaha mengupayakan cara pengasuhan yang baik seperti menambah pengetahuan pengasuhan dengan membaca buku, mendengarkan podcast, menonton video, mengikuti seminar, atau berdiskusi dengan para ahli. Disamping itu, orang tua yang masih sangat kesulitan dalam mengupayakan pengasuhan yang baik karena masih memiliki permasalahan psikologisnya sendiri dapat mencari bantuan tenaga profesional seperti psikolog atau psikiater.

Referensi

Glicksman, E. (2019, Mei 05). Physical disipline is harmful and ineffective : A new APA resolution cites evidence that physical punishment can cause lasting harm for children. American Psychological Association. https://www.apa.org/monitor/2019/05/physical-discipline

Laveda, M., & Ramadhan, B. (2020, Juli 24. Orang Tua Mencubit dan Menjewer Anak Masih Dianggap Biasa. Republika.co.id. https://www.republika.co.id/berita/qdycay330/orang-tua-mencubit-dan-menjewer-anak-masih-dianggap-biasa

Mardina, R. (2018). Kekerasan terhadap Anak dan Remaja. Pusat Data dan Kesehatan Kementrian RI

Muarifah, A., Wati, D.E., & Puspitasari, I. (2020). Identifikasi Bentuk dan Dampak Kekerasan Pada Anak Usia Dini di Kota Yogyakarta. Jurnal Obsesi: Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, 4(2),757-765

Peterson, A.C., Joseph, J., & Feit, M. (2014). New Direction in Child Abuse and Neglect Research. National Academy of Science

Nardiati, S., Suwadji., Sukardi., Pardi., & Suwanto, E. (1993). Kamus Bahasa Jawa – Bahasa Indonesia I. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. http://repositori.kemdikbud.go.id/2885/1/kamus%20bahasa%20jawa%20-%20bahasa%20indonesia%20I%20%20469ha.pdf

Sege, R.D & Siegel, B.S (2018). Effective Discipline to Raise Healthy Children. Pediatrics, 142(6). https://doi.org/10.1542/peds.2018-3112

1234

Recent Posts

  • Mendidik Anak dengan Bahasa Cinta
  • Eco-Conscious Parenting: Menumbuhkan Praktik Berkelanjutan pada Perkembangan Anak
  • Memahami Pendidikan untuk Pembangunan Berkelanjutan di Kedai Kopi
  • Membangun Kembali Kegembiraan: Pentingnya Bermain Bagi Kesejahteraan Mental Bagi Masyarakat
  • Keterlibatan Ayah pada Pengasuhan Anak Usia Dini
Universitas Gadjah Mada

Center for Life-Span Development (CLSD)
D-602, Fakultas Psikologi, Universitas Gadjah Mada
Jalan Sosio Humaniora Bulaksumur, Yogyakarta, Indonesia 55281
clsd.psikologi@ugm.ac.id

© Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY

[EN] We use cookies to help our viewer get the best experience on our website. -- [ID] Kami menggunakan cookie untuk membantu pengunjung kami mendapatkan pengalaman terbaik di situs web kami.I Agree / Saya Setuju