• Home
  • About Us
    • Managing Team
    • Researchers
    • Interns
    • Associates
  • Articles
  • Courses
  • Activities
    • CLSD Reader’s Club
    • Summer Course
    • Photovoice
    • SAELA
    • Community Service
  • Research & Publication
Universitas Gadjah Mada Center for Life-Span Development (CLSD)
Faculty of Psychology
Universitas Gadjah Mada
  • Home
  • About Us
    • Managing Team
    • Researchers
    • Interns
    • Associates
  • Articles
  • Courses
  • Activities
    • CLSD Reader’s Club
    • Summer Course
    • Photovoice
    • SAELA
    • Community Service
  • Research & Publication
  • Beranda
  • Anak usia dini
  • Anak usia dini
Arsip:

Anak usia dini

Petak Umpet: Permainan Tradisional yang dapat Membangun Keterampilan Sosioemosional Anak Usia Dini

ArtikelArtikelArtikel Ilmiah Populer Wednesday, 16 July 2025

Oleh: Lisa Angela | Penyunting: Rahma Ayuningtyas Fachrunisa, S.Psi., M.Psi., Psikolog

Siapa sangka, dibalik serunya permainan petak umpet tersembunyi potensi besar untuk membentuk keterampilan sosioemosional anak usia dini?

Permainan tradisional adalah permainan khas dari suatu negara yang membawa nilai budaya tertentu. Permainan tradisional di Indonesia merupakan cerminan dari tradisi dan nilai-nilai yang dipegang oleh masyarakat Indonesia, dan telah diwariskan secara turun-temurun (Fitri dkk., 2020). Selain mengandung unsur kearifan lokal, ciri khas dari permainan tradisional di Indonesia adalah interaktif (Wijaya dalam Sovia, 2022). Sisi interaktif ini terlihat dari permainan tradisional yang biasanya dimainkan secara berkelompok, sehingga berfokus pada interaksi sosial dan komunikasi antar pemain (Wijaya dalam Sovia, 2022).

Di tengah maraknya anak-anak yang lebih memilih bermain game online, permainan tradisional menawarkan sejumlah manfaat yang signifikan. Permainan tradisional tidak hanya menghibur tetapi juga mendukung perkembangan sosial dan emosional anak (Gultom dkk, 2022). Perkembangan sosioemosional berkaitan dengan bagaimana anak membangun hubungan positif dengan teman sebaya dan orang dewasa serta mengenali dan mengelola emosinya sendiri. Melalui proses ini, anak belajar untuk berempati, berbagi, dan memahami perasaan orang lain (Harianja dkk., 2023). Anak juga mulai mengenal aturan sosial dan menyesuaikan perilakunya dengan cara orang-orang dan lingkungan di sekitarnya berinteraksi. Keterampilan ini berperan penting dalam mempersiapkan anak agar mampu beradaptasi dan tumbuh dengan baik dalam berbagai situasi sosial (Harianja dkk.,, 2023).

Indonesia memiliki berbagai jenis permainan tradisional. Dari berbagai permainan, terdapat satu contoh permainan yang sesuai untuk anak usia dini, yaitu petak umpet. Petak umpet adalah permainan tradisional di mana satu orang bertugas menghitung sambil menutup mata, sementara teman-teman yang lain bersembunyi. Setelah selesai menghitung, orang yang bertugas akan mencari teman-temannya yang bersembunyi hingga semua ditemukan.

Keunikan petak umpet terletak pada kesederhanaannya. Permainan ini tidak memerlukan alat apa pun, sehingga lebih mudah diakses jika dibandingkan dengan permainan tradisional lainnya. Kemudahan akses ini memungkinkan anak-anak di seluruh Indonesia, baik di perkotaan maupun pedesaan, dari berbagai latar belakang ekonomi, tetap dapat bermain petak umpet. Selain itu, permainan ini juga telah dibuktikan melalui penelitian sebagai sarana yang efektif dalam mendukung perkembangan sosioemosional anak usia dini. 

Penelitian Hananta dan Mas’udah (2016) menunjukkan bahwa dengan bermain petak umpet secara berulang, anak-anak usia dini dapat lebih efektif mengembangkan kemampuan sosial emosional mereka. Kemampuan ini mencakup aspek-aspek penting seperti kemampuan untuk bekerjasama dengan teman, di mana anak menjadi lebih bersedia untuk bermain bersama, merasa gembira saat bermain dalam kelompok, serta menunjukkan sikap saling membantu satu sama lain.

Lebih lanjut, Maghfiroh (2020) menjelaskan bahwa permainan petak umpet mengajarkan beberapa nilai seperti kejujuran, toleransi, kerjasama, kreativitas, dan tanggungjawab. Kejujuran terlihat saat anak mengakui ketika dirinya ditemukan oleh “penjaga”. Toleransi terlihat ketika mereka tidak menghalangi temannya yang bersembunyi. Kerjasama terwujud dengan tidak memberitahu lokasi teman yang bersembunyi. Kreativitas terlihat saat merencanakan strategi untuk berpindah tempat. Terakhir, tanggungjawab untuk menyelesaikan permainan sampai akhir.

Berdasarkan pemaparan di atas, banyak manfaat yang dapat diperoleh dari permainan petak umpet (Salsabila, dalam Damayanti & Suparno, 2023):

1. Mendorong anak lebih aktif

Petak umpet membantu anak menjadi lebih aktif secara fisik karena dalam permainan ini anak harus berlari dan bersembunyi. Aktivitas fisik ini mendukung perkembangan motorik kasar dan membantu anak tumbuh lebih sehat dibandingkan anak yang cenderung pasif.

2. Mengembangkan keterampilan sosial

Permainan ini juga melatih anak untuk bersosialisasi dengan teman sebaya. Sosialisasi harus dibiasakan sejak usia dini agar anak terbiasa berinteraksi dengan baik di masa dewasa. Melalui petak umpet, anak belajar cara bekerja sama dan menghargai teman.

3. Meningkatkan kreativitas

Anak-anak harus berpikir kreatif untuk menemukan tempat persembunyian yang aman dan berbeda dari teman-temannya. Proses ini menantang mereka untuk mengasah kemampuan berpikir kritis dan imajinatif dalam situasi yang sederhana dan menyenangkan.

4. Melatih kepatuhan terhadap aturan

Dalam petak umpet, anak diajarkan untuk mengikuti aturan permainan, seperti giliran mencari dan bersembunyi. Keterampilan ini penting karena kepatuhan terhadap aturan akan membantu mereka menyesuaikan diri di lingkungan keluarga, sekolah, hingga masyarakat yang lebih luas.

5. Belajar berdiskusi dan membuat kesepakatan

Anak-anak perlu berdiskusi dan membuat kesepakatan agar permainan dapat berjalan lancar. Proses ini membantu mereka belajar tentang kompromi, mendengarkan pendapat orang lain, dan mencapai kesepakatan bersama.

6. Mengajarkan sportivitas

Petak umpet mengajarkan anak untuk menerima kekalahan dan kemenangan dengan sikap yang baik.

Menariknya, permainan petak umpet dapat dimainkan baik di dalam maupun di luar rumah. Di rumah, anak-anak dapat bermain bersama saudara atau orang tua sehingga mempererat hubungan keluarga. Sementara di luar rumah, mereka dapat bermain bersama tetangga di sekitar rumah. Kemudian, anak-anak juga dapat bermain di sekolah, terutama saat jam istirahat, pada mata pelajaran yang melibatkan aktivitas fisik seperti olahraga, atau saat mengikuti kegiatan ekstrakurikuler seperti pramuka. Selain itu, komunitas juga dapat menggunakan permainan ini dalam membangun interaksi antar anak.

Melihat manfaat dan kemudahan dalam permainan petak umpet, mari bersama kita berkomitmen untuk melestarikan permainan petak umpet. Melalui petak umpet, anak-anak tidak hanya belajar berinteraksi secara langsung dengan teman-temannya tetapi juga menikmati permainan tanpa bergantung pada gadget. Dengan demikian, kita dapat mewujudkan pertumbuhan generasi yang sehat, kreatif, dan juga sadar akan pentingnya budaya lokal. 

Referensi

Damayanti, N., & Suparno, S. (2023). Efektivitas model permainan petak umpet untuk meningkatkan kemampuan motorik anak. Jurnal Obsesi Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, 7(4), 4243–4258. https://doi.org/10.31004/obsesi.v7i4.4937

Fitri, M., Nur, H. A., & Putri, W. (2020). The commemoration of independence day: recalling indonesian traditional games. Frontiers in Psychology, 11. https://doi.org/10.3389/fpsyg.2020.587196

Gultom, S., Baharuddin, B., Ampera, D., Endriani, D., Jahidin, I., & Tanjung, S. (2022). Traditional games in cultural literacy to build the character of elementary school students during the covid-19 pandemic. NeuroQuantology, 20(5), 704-712. https://doi.org/10.14704/nq.2022.20.5.nq22226

Hananta, R. W., & Mas’udah. (2016). Pengaruh permainan petak umpet terhadap kemampuan sosial emosional anak. Jurnal Penelitian Pendidikan Anak Usia Dini.

Harianja, A. L., Siregar, R., & Lubis, J. N. (2023). Upaya meningkatkan perkembangan sosial emosional anak usia dini melalui bermain peran. Jurnal Obsesi Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, 7(4), 4871–4880. https://doi.org/10.31004/obsesi.v7i4.5159

Maghfiroh, Y. (2020). Peran permainan tradisional dalam membentuk karakter anak usia 4-6 tahun. Jurnal Pendidikan Anak, 6(1), 1–8.

Sovia, A., Harisman, Y., & Rifandi, R. (2022). Saringgong: an alternative media for slow learner students in learning mathematics. Rangkiang Mathematics Journal, 1(1), 9-15. https://doi.org/10.24036/rmj.v1i1.6

Keterlibatan Ayah pada Pengasuhan Anak Usia Dini

ArtikelArtikelArtikel Ilmiah Populer Friday, 21 February 2025

Oleh: Nur Diana Indrawati | Penyunting: Muhammad Ikbal Wahyu Sukron, S.Psi., M.A.

Akhir-akhir ini, jagat media sosial Indonesia sedang gandrung dengan edukasi pengasuhan anak. Menjamurnya akun media sosial tentang edukasi pengasuhan, seperti Tentang Anak, Parentalk.id, Rabbitholeid, dan Momscorner menjadikan ilmu pengasuhan semakin terjangkau bagi semua lapisan masyarakat. Salah satu topik yang sering dibahas akhir-akhir ini adalah mengenai perkembangan anak usia dini. Menjadi orang tua tidak dimulai ketika seorang anak lahir di dunia, tapi dimulai ketika perencanaan kehamilan. Fase kehamilan sampai fase anak usia dini merupakan dasar yang akan menjadi penentu keterampilan dan pembelajaran pada fase berikutnya sampai anak tumbuh dewasa, sehingga permasalahan perkembangan yang dialami pada fase usia dini akan memiliki efek multigenereasi (Black dkk., 2017).


UNICEF (2007) menyatakan bahwa perkembangan anak usia dini merupakan perkembangan dari fase prenatal sampai ke transisi menuju sekolah dasar (usia 7 tahun). Gupta dan Raut (2016) menambahkan bahwa 1000 hari pertama kehidupan merupakan masa yang paling krusial dalam perkembangan anak. Pengasuhan yang responsif dan nutrisi yang tercukupi pada 1000 hari pertama merupakan hal vital yang akan menentukan kesehatan dan kesejahteraan psikologis pada masa yang akan datang (Gupta & Raut, 2016). Menurut Black dkk. (2017), faktor yang mempengaruhi anak untuk mencapai potensi maksimal pada perkembangannya antara lain kesehatan, gizi, rasa aman, pengasuhan yang responsif dan pembelajaran sejak dini. Hal tersebut, salah satunya, bisa dipenuhi dengan memaksimalkan keterlibatan ayah dalam proses pengasuhan anak, yang akan berpengaruh positif pada perkembangan kognitif, bahasa, serta perilaku dan regulasi emosi pada anak (Wang dkk., 2022).


Sayangnya, beberapa penelitian menunjukkan bahwa keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak di beberapa negara berkembang masih rendah. Contohnya di pedesaan Pakistan, hanya sedikit ayah yang meluangkan waktu untuk bermain fisik dengan anak dan terlibat dalam pengasuhan anak (Maselko dkk., 2019). Selanjutnya pada penelitian yang dilakukan di 69 negara, ditemukan bahwa ibu melakukan aktivitas stimulasi pada anak usia dini jauh lebih banyak dibandingkan dengan ayah; bahkan ketika dibandingkan dengan orang dewasa lain yang berada di rumah, ayah ditemukan melakukan pengasuhan dengan porsi yang lebih sedikit (Evans & Jakiela, 2024).


Terdapat beberapa faktor penyebab kurangnya keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak usia dini, antara lain keterbatasan waktu di rumah, kurangnya pengetahuan terkait pengasuhan, serta sikap terhadap gender, seperti menganggap bahwa tugas mengasuh anak adalah tugas perempuan bukan laki-laki (Jeong dkk., 2023). Faktor lain yang memengaruhi keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak usia dini, yaitu keyakinan peran mereka (sebagai ayah, suami, atau pencari nafkah), gejala depresif yang dimiliki oleh ayah, kondisi temperamen anak, gender anak serta faktor sosio demografis, seperti ekonomi dan status pendidikan orang tua (Planalp & Braungart-Rieke, 2016).


Beberapa aktivitas yang bisa dilakukan ayah untuk meningkatkan keterlibatan pengasuhan anak usia dini berupa aktivitas didaktik, seperti menyanyi, membaca, bercerita, dan bermain bersama anak (Wang dkk., 2022). Hofferth (2003) menjelaskan bentuk keterlibatan ayah dalam pengasuhan dengan empat domain, yaitu waktu yang dihabiskan bersama anak, kehangatan (contohnya frekuensi memeluk anak dan memberi tahu anak bahwa mereka mencintainya), kontrol dan pengawasan (seperti penerapan aturan tentang kegiatan seperti makan dan belajar), serta tanggung jawab, yaitu sejauh mana orang tua, baik ayah maupun ibu, melakukan tugas memandikan anak, mendisiplinkan anak, mengantar anak, membeli pakaian untuk anak, dan bermain dengan anak.


Sejauh ini, dibandingkan intervensi yang diberikan kepada Ibu, intervensi untuk meningkatkan keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak usia dini masih terbatas. Beberapa penelitian yang mengidentifikasi intervensi untuk meningkatkan keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak usia dini, antara lain edukasi tentang perawatan pada bayi, memberi makan bayi, merawat ibu, serta memberikan dorongan dan dukungan terhadap praktik menyusui yang diberikan pada ayah bayi yang baru lahir di Kenya dapat meningkatkan pengetahuan para ayah (Dinga, 2019). Selanjutnya program COACHES (The Coaching Our Acting Out Children: Heightening Essential Skills), yaitu sebuah pelatihan tentang strategi pengasuhan yang diberikan selama enam minggu dan berhasil meningkatkan kalimat pujian dan menurunkan komunikasi negatif pada ayah yang memiliki anak dengan gangguan ADHD (Fabiano dkk., 2021).


Di Indonesia, salah satu gerakan keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak usia dini yang cukup masif adalah penggalakan program Ayah ASI yang diprakarsai oleh Shafiq Pontoh dan delapan ayah baru lain pada tahun 2011. Bentuk program dari gerakan ini antara lain edukasi, pusat pertolongan, dan juga media promosi mengenai keterlibatan ayah dalam proses menyusui (Riski, 2017). Gerakan tersebut diinisiasi oleh kegelisahan para pendiri akan minimnya pengetahuan mereka sebagai ayah bagi bayi mereka yang baru lahir.


Kegelisahan seperti ini yang perlu kita perhatikan bersama untuk memunculkan gerakan yang dapat meningkatkan keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak usia dini. Ayah seringkali berpikir bahwa tugas utamanya adalah mencari nafkah untuk keluarga. Namun tanpa disadari, pola pikir tersebut yang menjadikan mereka berpikir bahwa mengasuh anak merupakan tugas utama ibu. Di sisi lain, ibu juga jarang memberikan kesempatan bagi Ayah untuk terlibat dalam pengasuhan anak.


Proses pengasuhan yang optimal pada anak usia dini akan menentukan keberhasilan proses perkembangannya sampai usia dewasa. Dibutuhkan peran maksimal ayah dan ibu untuk menunjang keberhasilan pengasuhan anak usia dini. Beberapa faktor penyebab kurangnya keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak usia dini, antara lain karena kurangnya pengetahuan terkait pengasuhan, keyakinan terhadap peranan mereka, sikap terhadap gender, serta minimnya kesempatan yang diberikan pada ayah untuk terlibat dalam pengasuhan anak dini. Dengan demikian, penting bagi para ayah untuk meningkatkan pengetahuan terkait pengasuhan anak usia dini mengingat pentingnya peran ayah dalam pengasuhan anak usia dini.

Daftar Pustaka
Black, M. M., Walker, S. P., Fernald, L. C. H., Andersen, C. T., DiGirolamo, A. M., Lu, C., McCoy, D. C., Fink, G., Shawar, Y. R., Shiffman, J., Devercelli, A. E., Wodon, Q. T., Vargas-Barón, E., & Grantham-McGregor, S. (2017). Early childhood development coming of age: science through the life course. The Lancet, 389(10064), 77–90. https://doi.org/10.1016/S0140-6736(16)31389-7
Dinga, L. A. (2019). Effect of father-targeted nutrition education on feeding practices, nutritional status and morbidity among infants in Kisumu East, Kenya. Jomo Kenyatta University.
Fabiano, G. A., Schatz, N. K., Lupas, K., Gordon, C., Hayes, T., Tower, D., Soto, T. S., Macphee, F., Pelham, W. E., & Hulme, K. (2021). A school-based parenting program for children with attention-deficit/hyperactivity disorder: Impact on paternal caregivers. Journal of School Psychology, 86, 133–150. https://doi.org/10.1016/j.jsp.2021.04.002
Gupta, S., & Raut, A. (2016). Early childhood development: Maximizing the human potential. Frontiers in Social Pediatrics. https://doi.org/10.5005/jp/books/12773
Guswandi, F. A. (2021). School starting age and academic performance: An empirical study in Indonesia. Jurnal Perencanaan Pembangunan: The Indonesian Journal of Development Planning, 5(3), 344–362. https://doi.org/10.36574/jpp.v5i3.218
Herbst, M., & Strawiński, P. (2016). Early effects of an early start: Evidence from lowering the school starting age in Poland. Journal of Policy Modeling, 38(2), 256–271. https://doi.org/10.1016/j.jpolmod.2016.01.004
Hofferth, S. L. (2003). Race/ethnic differences in father involvement in two-parent families: Culture, context, or economy? Journal of Family Issues, 24(2), 185–216. https://doi.org/10.1177/0192513X02250087
Maselko, J., Hagaman, A. K., Bates, L. M., Bhalotra, S., Biroli, P., Gallis, J. A., O’Donnell, K., Sikander, S., Turner, E. L., & Rahman, A. (2019). Father involvement in the first year of life: Associations with maternal mental health and child development outcomes in rural Pakistan. Social Science and Medicine, 237, 112421. https://doi.org/10.1016/j.socscimed.2019.112421
Planalp, E. M., & Braungart-Rieker, J. M. (2016). Evidence from the ECLS-B. J Fam Psychol, 30(1), 135–146. https://doi.org/10.1037/fam0000156.Determinants
Riski, P. (2017). Fathers and Father Involvement in Indonesia : A Pilot Study Exploring the Community of Breastfeed-Supporthing Fathers (Ayah ASI). https://doi.org/10.13140/RG.2.2.10698.79042
Wang, L., Li, H., Dill, S. E., Zhang, S., & Rozelle, S. (2022). Does paternal involvement matter for early childhood development in rural China? Applied Developmental Science, 26(4), 741–765. https://doi.org/10.1080/10888691.2021.1990061

Kader Hebat, Anak Bahagia: Pelatihan Stimulasi Sosioemosional pada Anak Usia Dini untuk Kader Bina Keluarga Balita di Bantul

Artikel Liputan KegiatanBlog Thursday, 12 September 2024

Rabu, 24 Juli 2024, CLSD UGM dan Perwakilan BKKBN DIY mengadakan Pelatihan Stimulasi Sosioemosional pada Anak Usia Dini di Rumah Dukuh Gadungan Kepuh, Canden, Jetis, Bantul. Kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan keterampilan kader Bina Keluarga Balita dalam mendukung perkembangan sosioemosional pada anak usia dini.

Pelatihan yang berlangsung dari pukul 08.00 hingga 12.30 WIB ini dihadiri oleh 25 peserta, yang terdiri dari kader Bina Keluarga Balita (BKB) Matahari, penyuluh keluarga berencana, serta orang tua setempat. Acara ini dipandu oleh Ibu Wirdatul Anisa, S.Psi., M.Psi., Psikolog, dan didukung oleh panitia dari tim interns CLSD UGM.

Tujuan utama pelatihan ini adalah untuk memperluas pemahaman dan keterampilan kader dalam menstimulasi perkembangan sosioemosional anak usia dini. Dengan meningkatkan pengetahuan mengenai cara melatih keterampilan emosional anak, para kader diharapkan dapat menerapkan dan menyebarluaskan pengetahuan tersebut di komunitas masing-masing. Melalui berbagai materi dan praktik, para peserta belajar cara membangun hubungan yang baik dengan anak dan mengenali perkembangan sosioemosional melalui metode yang interaktif.

Kegiatan dimulai dengan sosialisasi tentang pengisian Kartu Kembang Anak (KKA) yang dipandu oleh perwakilan dari BKKBN DIY. Selanjutnya, narasumber memberikan pemaparan materi tentang tujuan dan metode stimulasi sosioemosional pada anak yang kemudian dilanjutkan dengan praktik langsung, termasuk aktivitas “Berkenalan & Belajar dengan Anak” serta “Mengenal Perkembangan Emosi”. 

Pada sesi “Berkenalan dan Belajar dengan Anak“, peserta mempelajari prinsip-prinsip interaksi yang baik dan penggunaan penguatan positif untuk membentuk perilaku anak. Aktivitas ini bertujuan agar peserta mampu membangun hubungan hangat dan menciptakan suasana belajar yang menyenangkan. Selanjutnya, di sesi “Mengenal Perkembangan Emosi“, peserta diajarkan cara mengenali dan menyebutkan emosi dasar, serta mengidentifikasi ekspresi emosi melalui media video dan kartu emosi. 

Untuk semakin memperkuat pemahaman peserta, tim CLSD juga mengadakan sesi monitoring berkelanjutan. Para peserta diminta untuk mempraktikkan materi yang telah dipelajari dan melaporkan kemajuan mereka melalui grup WhatsApp yang telah disediakan.

Acara ini diakhiri dengan sesi refleksi mengenai umpan balik pelatihan dari peserta. Ibu Rita, perwakilan dari BKB Matahari, mengungkapkan, “Terima kasih kepada BKKBN dan CLSD UGM atas ilmu yang telah diberikan. Banyak materi yang dapat kami implementasikan pada kelompok kami.” 

Selain itu, Bapak Diyan Purnomo, Dukuh Padukuhan Gadungan Kepuh, menyampaikan apresiasi terhadap BKKBN dan CLSD UGM, “Saya berterima kasih atas ilmu yang telah diberikan dan berharap pengetahuan ini dapat dibagikan kepada keluarga lain. Semoga semakin banyak keluarga yang dapat mengikuti pelatihan ini.”

Pelatihan ini merupakan bagian dari upaya berkelanjutan untuk meningkatkan kualitas pengasuhan anak di Kabupaten Bantul. Pelatihan ini sejalan dengan tujuan SDGs yaitu kesehatan yang baik dan kesejahteraan (3), pendidikan bermutu (4), dan kemitraan untuk mencapai tujuan (17). Dengan keterampilan baru yang diperoleh, diharapkan kader dan orang tua dapat lebih efektif dalam mendukung perkembangan sosioemosional anak usia dini, yang pada akhirnya berkontribusi pada pembentukan generasi yang lebih sehat dan bahagia.

Recent Posts

  • Langkah Seto Menuju Pengalaman Global: Mewujudkan Pembelajaran Inklusif bersama Australian Alumni Grants 2025
  • Inklusivitas CLSD: Kisah Seto, Intern Disabilitas Intelektual yang Menginspirasi
  • Sedang Mengalami Life Crisis? Yuk, Terapkan Strategi Ini!
  • “Mencari Bantuan Bukan Berarti Lemah”: Pentingnya Help-Seeking Behavior pada Masa Remaja
  • Petak Umpet: Permainan Tradisional yang dapat Membangun Keterampilan Sosioemosional Anak Usia Dini
Universitas Gadjah Mada

Center for Life-Span Development (CLSD)
D-602, Fakultas Psikologi, Universitas Gadjah Mada
Jalan Sosio Humaniora Bulaksumur, Yogyakarta, Indonesia 55281
clsd.psikologi@ugm.ac.id

© Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY

[EN] We use cookies to help our viewer get the best experience on our website. -- [ID] Kami menggunakan cookie untuk membantu pengunjung kami mendapatkan pengalaman terbaik di situs web kami.I Agree / Saya Setuju