• Home
  • About Us
    • Managing Team
    • Researchers
    • Interns
    • Associates
  • Articles
  • Courses
  • Activities
    • CLSD Reader’s Club
    • Summer Course
    • Photovoice
    • SAELA
    • Community Service
  • Research & Publication
Universitas Gadjah Mada Center for Life-Span Development (CLSD)
Faculty of Psychology
Universitas Gadjah Mada
  • Home
  • About Us
    • Managing Team
    • Researchers
    • Interns
    • Associates
  • Articles
  • Courses
  • Activities
    • CLSD Reader’s Club
    • Summer Course
    • Photovoice
    • SAELA
    • Community Service
  • Research & Publication
  • Beranda
  • Blog
  • page. 4
Arsip:

Blog

Mengatasi Kecemasan terhadap Karier dan Tuntutan Sosial di Masa Pandemi

ArtikelBlog Saturday, 20 November 2021

“Mengatasi Kecemasan terhadap Karier dan Tuntutan Sosial di Masa Pandemi” 

Oleh Erythrina Sekar Rani (erythrina.sekar.r@mail.ugm.ac.id)
Editor: Lisa Sunaryo Putri

Photo by Andrea Piacquadio from Pexels

Pandemi COVID-19 di Indonesia telah mempengaruhi berbagai sektor kehidupan, salah satunya sektor ekonomi. Berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan per 20 April 2020, sebanyak 2.084.593 pekerja dari 116.370 perusahaan telah dirumahkan dan terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Dari data tersebut 27,7% berusia 20-24 tahun; 11,6 % usia 25-29 tahun; dan 1,1 % berada pada rentang usia 30-34 tahun (1).

Pandemi COVID-19 juga telah mengubah kebiasaan masyarakat. Perubahan yang cenderung mendadak dan belum diketahui kapan mulai membaik ini cenderung mempengaruhi keadaan psikologis masyarakat. Berdasarkan data hasil swa-periksa Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) pada 4010 orang sejak lima bulan COVID-19 ada di Indonesia, diketahui bahwa 64,8 % subjek mengalami kecemasan dan terbanyak terjadi pada rentang usia 17-29 tahun dan individu berusia lebih dari 60 tahun (2). Bisa disimpulkan bahwa kecemasan banyak dialami pada individu dewasa dan lanjut usia.

Bila kita fokuskan kepada individu usia dewasa awal, individu tersebut memiliki tugas perkembangan yang perlu untuk dijalankan. Menurut Erikson, pada usia dewasa awal (20-30 tahun), seseorang dihadapkan pada tugas perkembangan untuk membangun hubungan yang intim yaitu membentuk pertemanan yang sehat dan hubungan dengan lawan jenis. Lebih lanjut, menurut Levinson, pada masa dewasa awal (22-28 tahun), terdapat dua tugas perkembangan yang perlu dikuasai, yaitu kehidupan dewasa dan mengembangkan struktur hidup yang stabil. Levinson melihat ini sebagai fase pemula, transisi untuk menjadi lebih mandiri yang ditandai dengan membangun mimpi berupa karier dan pernikahan (3). Namun, adanya kondisi pandemi COVID-19 mungkin akan mempengaruhi ketercapaian pemenuhan tugas perkembangan pada usia dewasa awal tersebut dan mendorong timbulnya kecemasan.

Durand & Barlow mendefinisikan kecemasan sebagai keadaan suasana hati yang berorientasi pada masa depan yang ditandai dengan adanya kekhawatiran karena tidak dapat memprediksi atau mengendalikan kejadian yang akan datang. Selanjutnya, dijelaskan bahwa sebenarnya rasa cemas memiliki fungsi untuk diri kita jika jumlahnya tidak berlebihan. Misalnya untuk mendeteksi adanya kondisi bahaya yang mengancam sehingga individu diharapkan mampu mengambil tindakan untuk menghadapinya (4). 

Masih dalam penelitiannya, Durand & Barlow juga menyatakan bahwa kecemasan dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu (4): 

  • Biologis: genetik, sirkuit di otak, dan sistem neurotransmitter tertentu.       
  • Psikologis: keinginan untuk mengontrol segala aspek kehidupan sampai ketidakpastian yang ada dalam diri kita sendiri, pola asuh (cenderung mengontrol atau direktif), dan pengaruh lingkungan lain (contohnya di era pandemi saat ini: banyaknya karyawan yang di PHK, ketersediaan lapangan kerja yang cenderung menurun, daya saing cenderung tinggi, kesulitan untuk bersosialisasi secara langsung karena pembatasan sosial, bingung menentukan karier, ditambah jika belum menemukan tujuan hidup ataupun passion, dll).·       
  • Sosial: pengalaman traumatis (contoh: bullying, masalah di tempat kerja, perceraian, kematian orang yang dicintai, dll) dan tekanan sosial (contoh: tuntutan harus berprestasi, membandingkan atau dibandingkan dengan orang lain, merasa insecure dengan pencapaian orang lain, adanya tuntutan dari keluarga untuk menikah atau mendapatkan pekerjaan yang layak, maupun tuntutan lain dari dalam diri).

Nah, kira-kira apa saja yang bisa kita lakukan untuk mencegah dan mengatasi kecemasan terhadap tugas perkembangan pada individu dewasa awal berkaitan dengan karir dan tuntutan sosial lainnya di masa pandemi ini? 

Berikut adalah tips untuk membantu mengatasi kecemasan di masa pandemi ini :       

  • Mengendalikan apa yang bisa kita kendalikan (pikiran, perkataan, dan tindakan, dan segala sesuatu yang ada dalam diri kita).
    Sering kali, masalah muncul dari kenyataan bahwa kita menginginkan sesuatu yang tidak bisa kita miliki atau menyangkal sesuatu yang tidak kita inginkan (5), contohnya: saat mendapatkan nilai jelek, mengalami kegagalan, berbuat salah, mendapatkan komentar negatif dari orang lain, merasa insecure atas pencapaian orang lain, dan yang lainnya.  Semakin kita ingin mengendalikan hal-hal yang tidak bisa kita kendalikan, hal ini akan membuat diri kita cenderung lebih mudah merasa kecewa, sedih, marah, cemas, khawatir, takut, dan emosi negatif lain.

    Kita bisa belajar untuk mengelola emosi negatif ini dengan filsafat stoisisme. Filsafat stoisisme bertujuan untuk menumbuhkan ketenangan dan kedamaian dalam hidup, penganut stoisisme biasanya pandai mengendalikan emosi yang dirasakan (6). Dengan demikian, kita perlu berfokus untuk mengendalikan sesuatu yang bisa kita kendalikan, yaitu pikiran, perkataan, tindakan, dan segala sesuatu yang ada dalam diri kita, berusaha menjadi diri versi terbaik dari diri kita.

     

  • Melatih Mindfulness
    Mengapa kita perlu melatih mindfulness? Biasanya, kita jarang sadar ketika melakukan sesuatu, terjebak dalam pikiran yang mengganggu atau pendapat tentang sesuatu yang terjadi saat ini (7). Entah karena sudah terbiasa melakukan atau karena suatu hal yang lain, misalnya: kita sering lupa meletakkan kunci motor atau handphone, tidak sadar makanan yang kita makan sudah habis, atau bekerja tetapi pikiran tidak ada di sana. Ketika kita mindful, kita cenderung sadar dan mampu mengenali sesuatu yang terjadi di sini dan kini (7).

    Mindfulness bisa dilatih dengan memperhatikan penuh dari momen ke momen yang dilewati, tanpa memberikan judgement, ide atau opini tertentu, suka atau tidak suka (8). Mengapa? Kebiasaan mengkategorikan atau men-judge sesuatu akan membuat diri kita memberikan respons secara otomatis (bahkan tidak disadari), menjadi tidak objektif dalam mengamati yang sedang terjadi, dan sulit menemukan kedamaian dalam diri (8).

    Mari berlatih untuk cukup menyadari sesuatu yang indra kita tangkap tanpa memberikan judgement agar bisa lebih objektif dalam menanggapi sesuatu, tidak mudah terbawa suasana, bisa menyadari dan mengendalikan respons kita.

  • Membuat Tujuan Hidup
    Tujuan hidup adalah sumber motivasi utama diri kita. Lebih lanjut dijelaskan, tujuan yang dikembangkan secara sadar dapat mengarahkan tindakan kita untuk mencapai tujuan tersebut (8). Salah satu metode yang bisa kita lakukan untuk membantu menetapkan tujuan hidup adalah dengan metode “SMART Goal” (Specific, Measurable, Attainable, Result-Oriented, dan Timely atau Time Based). Setelah itu, kita bisa mencoba break down ke tugas-tugas yang lebih kecil yang bisa kita lakukan untuk mencapai tujuan.

    Perlu kita ingat bahwa masa depan bukan suatu hal yang bisa kita pastikan, tetapi bukan berarti kita tidak boleh bermimpi atau memiliki tujuan. Namun, perlu kita sadari bahwa yang bisa kita lakukan adalah fokus mengusahakan semaksimal kita, mengenai masa depannya terwujud atau tidak, bukan ada di kendali kita.

  • Mengembangkan diri dengan hobi atau aktivitas positif yang kita sukai
    Melakukan aktivitas positif yang disukai untuk memanfaatkan waktu luang dan meningkatkan kapasitas diri, seperti: mengikuti kursus bahasa, belajar trading, berolahraga, melukis, menulis, atau membaca buku pengembangan diri seperti “Filosofi Teras” karya Henry Manampiring; “Mengheningkan Cinta” karya Adjie Santoso Putro; “Sebuah Seni untuk Bersikap Bodo Amat” karya Mark Manson; “Start with Why” atau “Find Your Why” karya Simon Sinek, dan yang lain sebagainya.
  • Jangan sungkan untuk mengikuti konseling dengan psikolog atau psikiater, jika dirasa permasalahan yang dihadapi mengganggu fungsi sehari-hari, misalnya: waktu tidur, nafsu makan, dan interaksi dengan orang lain terganggu, sulit berkonsentrasi, tidak termotivasi, atau yang lainnya. Karena meminta bantuan kepada ahlinya ketika kita butuh adalah salah satu wujud kita mencintai diri kita.

Teman-teman, itulah beberapa tips yang mungkin bisa dicoba untuk mengurangi rasa cemas akan keadaan yang tidak kita inginkan khususnya dalam tugas kita memasuki fase dewasa awal kehidupan. Tumbuhkan rasa percaya diri pada diri kita sendiri karena itulah yang membuat kita menjadi lebih baik. Selamat berproses! Semoga kita selalu bertumbuh setiap harinya. 

Sumber:

  1. Pekerja Terkena PHK. (2020, Mei 20). Retrieved Juli 4, 2021, from LIPI Indonesia: https://twitter.com/lipiindonesia/status/1263079374137503749/photo/2
  2. 5 Bulan Pandemi Covid di Indonesia. (2020). Retrieved Juli 2, 2021, from Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI): http://pdskji.org/
  3. Santrock, J. W. (2012). A Topical Approach to Life-Span Development Sixth Edition. New York: McGraw Hill.
  4. Durand, V. M., & Barlow, D. H. (2006). Psikologi Abnormal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
  5. Ferraiolo, W. (2020). A Life Worth Living. Alresford: John Hunt Publishing (ebook).
  6. Drakulić, A. M. (2012). http://pdskji.org/home. A Phenomenological Perspective on Subjective well-Being: From Myth to Science, 32.
  7. Germer, C. K. (2005). What is Mindfulness? Insight Journal, 24.
  8. Kabat-Zinn, J. (2013). Full Catastrophe Living: Ho to Cope with Stress, Pain, and Illness using Mindfulness Meditation. London: Piatkus (ebook).
  9. Locke, E. A., & Latham, G. P. (2013). New Developments in Goal Setting and Task Performance. Hove: Cenveo Publisher Services (ebook).

International Online Summer Course on DIsability and Lifespan Development: Indonesia and Global Perspectives

Artikel Liputan KegiatanBlogEventSummer Course Thursday, 18 November 2021

International Online Summer Course on DIsability and Lifespan Development: Indonesia and Global Perspectives

In 2021, the Center for Life-Span Development (CLSD) Faculty of Psychology, Universitas Gadjah Mada for the very first time held a summer course entitled International Online Summer Course on Disability and Lifespan Development: Indonesia and Global Perspectives. Collaborating with Indonesia and global experts on disability studies, this summer course will serve as a channel to facilitate critical learning to unpack and understand intersecting barriers dealt by people with disabilities and encourage knowledge and practice sharing and debates, while building network, between experienced and young scientists in the field of disability studies, which will inspire creation of new research initiatives and field applications.

This summer course is a collaboration between CLSD, Faculty of Psychology, and OIA (Office of International Affairs) Universitas Gadjah Mada. We invited fifteen international speakers and five national speakers with various backgrounds and fields of study from various parts of the world, including Malaysia, United Kingdom, Australia, New Zealand, and the United States. Each expert presents a comprehensive, specific, and in-depth topic in order to dissect the realm of disability and the range of human development viewed from various perspectives. Not only attended by 65 Indonesian students but this summer course activity was also attended by approximately 45 international students and professionals from various parts of the world, such as West Africa, Australia, Pakistan, Nepal, Tanzania, Philippines, Ghana, Bangladesh, Malaysia, Iran, Romania, Nigeria, South Africa, and the United States.

The course consisted of five different modules, each highlighting different topics delivered by local and international experts coming from various backgrounds experience. Module 1, which titled Understanding Disability and Intersectionality, talked about the conceptual understanding of disability and intersectionality in general.

As for Module 2, the participants were given lectures on the subject of People with Disability at the Intersection. This module covered, investigated, and discussed how people with disabilities are dynamic in society and what their daily lives are like.

Furthermore, the focus of learning continues on the topic of life-span development. Titled Disability across lifespan development, this module facilitated students to discuss disability from a human development perspective that focuses on certain age ranges, life-span development issues, learning disabilities and neuropsychology, the practice of involving student in research on inclusive education in order to meet the needs of the subject, and the importance of listening to children with disabilities’ voices while enabling their agency and self-determination.

The course went on with Module 4, which covered the topic of Collaborative Disability and Lifespan Development Research in a Multicultural Setting. The discussed subjects were disability and family, discourse regarding disaster risk mitigation and research involving children with disability, and a universal design to support the learning process of children with disability. This course also talked about the intersection between curriculum, pedagogy, and assessment with the implications for disabled people, their families, and their teachers.

Lastly, the last module was delivered and simultaneously closed the whole series of the summer course. Besides discussing disability and disasters, the other two courses explored and investigated the theory and practice of conducting research around disability matters, such as co-designing and co-producing research with people with disabilities, and research involving people with disabilities in service-learning in the community.

Taking place over two days, eight groups of students presented their research proposals at the Student-Led Conference, with four examiners: Dr. Pradytia Putri Pertiwi, Dr. Elga Andriana, Dr. Wuri Handayani, and Prof. David Evans from The University of Sydney (Australia). At this event, other participants who took part in the student-led conference session were also welcome to ask questions regarding the research proposals that had been presented.

The International Summer Course on Disability and Life-Span Development: Indonesia and Global Perspectives has come to an end. With a total of 20 sessions, 21 speakers from 7 different countries, and 110 participants from 15 countries, our summer course ran from August 3 to October 14, 2021. At the final session, our student-led conference accommodated eight hard-working student groups to showcase their research ideas as the course learning outcome.

Massive thank you to our speakers for sharing their valuable insight and expert knowledge on disability and life-span development, and to all of our participants for having actively participated and supported our event by attending sessions and contributing their ideas. We hope to see you at our upcoming events in the future.

(SRP CLSD)

Quarter-Life Crisis : Mencari Meaning dalam Krisis

ArtikelBlog Friday, 12 November 2021

Quarter-Life Crisis : Mencari Meaning dalam Krisis
Oleh Dini Fadillah
Editor: Lisa Sunaryo Putri

photo by Matese Fields on Unsplash

Pernahkah mengalami momen mempertanyakan kemana harus melangkah setelah lulus dari sekolah atau perguruan tinggi? Pun ketika sudah menjalani suatu pekerjaan, mempertanyakan apakah sudah tepat keputusan yang diambil? Melihat cuplikan kehidupan teman di media sosial, kemudian merasa jauh tertinggal dibandingkan orang lain? Jika iya, barangkali inilah yang disebut dengan Quarter Life Crisis (QLC).  

Quarter life Crisis merupakan suatu fase yang ditandai dengan individu mengalami ketidakstabilan dalam hidup dan tengah menghadapi berbagai permasalahan baik dalam dunia karier, keluarga, dan hubungan romantis (1). Ketidakstabilan tersebut muncul karena seseorang merasa kehidupan yang sedang dijalani cenderung statis. Sedangkan di sisi lain ada dorongan untuk mempersiapkan masa yang akan datang. Selain itu, individu juga merasakan dorongan untuk mengeksplorasi berbagai macam hal dan menata hidup agar lebih produktif. Quarter Life Crisis biasanya dialami oleh individu pada rentang usia 20-29 tahun.   

Berdasarkan studi yang dilakukan oleh OnePoll pada tahun 2017, setidaknya 56% dari 2000 populasi orang dewasa (25-35 tahun) di Inggris mengaku tengah mengalami berbagai permasalahan dalam hidup yang membuat mereka stress (2). Fenomena QLC ini juga termanifestasi lewat media sosial. Agarwal, dkk melakukan studi untuk menganalisis fenomena Quarter Life Crisis yang dialami oleh pengguna twitter di Amerika dan Inggris dengan rentang usia 18-30 (3). Hasil temuan mengatakan, 1.400 user pernah mem-posting 1,5 juta tweet yang menceritakan permasalahan-permasalahan seputar karier, kesehatan, sekolah, dan keluarga lewat posting-an twitter.  Fenomena yang sama juga ditemukan juga di Indonesia. Survei terhadap 31 anak muda dengan rentang usia 18-25 tahun mengatakan bahwa pada usia ini membuat mereka mencemaskan urusan karier, percintaan, pendidikan, dan kesehatan (4).

Quarter Life Crisis dapat dibedakan menjadi dua fase. Fase locked-out dan locked-in (1). Fase locked-out merupakan fase awal dan ditandai dengan individu bersemangat untuk menata hidupnya. Muncul keinginan untuk membangun karier, relasi, pacaran atau menikah, dll. Masa eksplorasi ini tentu tidak sepenuhnya berjalan mulus. Kegagalan dan stress merupakan hal yang biasa ditemui ketika realitas yang berjalan tidak sesuai dengan rencana. Namun, proses mengevaluasi perjalanan yang telah ditempuh terus dilakukan setelahnya hingga pada akhirnya dapat menemukan solusi dari permasalahan yang dijumpai. 

Berbeda dengan fase locked-out, pada fase locked-in, individu sudah menjalankan suatu komitmen. Namun, di tengah proses tersebut ia merasakan kekeliruan dan ketidakpuasan dalam proses yang tengah ia jalani, baik dalam urusan karier, pasangan, keluarga, dll. Hal ini mengakibatkan munculnya dorongan untuk menyudahi komitmen tersebut. Keberhasilan dan kegagalan dalam perjalanan hidup, membuat individu merefleksikan setiap proses dan terus mencari sudut pandang baru dan makna terhadap suatu hal.

Mengapa Quarter Life Crisis bisa terjadi? Hal ini dapat dijelaskan dengan suatu konsep dari Arnett yang disebut dengan periode Emerging Adulthood (5). Periode ini merupakan bagian dari rentang perkembangan hidup manusia yang terjadi berkisar usia 18-25 tahun. Masa ini merupakan masa transisi dari remaja menuju usia dewasa (20-an). Karakteristik dari periode Emerging Adulthood antar individu berbeda tergantung pandangan subjektif dan pengalaman eksplorasi diri. Meskipun eksplorasi diri sudah dimulai sejak remaja, namun pada masa ini tetap berlangsung hingga usia 20-an. Umumnya eksplorasi diri meliputi urusan percintaan, pekerjaan, dan pandangan hidup. Dalam urusan percintaan, individu tidak sekadar memilih pasangan dengan alasan cantik atau tampan, teman untuk jalan, namun sudah mempertimbangkan pasangan yang dapat menemaninya seumur hidup. Dalam pekerjaan, individu bekerja tidak sekadar memperoleh uang, namun juga bekerja dalam bentuk menyalurkan potensi dan mencari kepuasan dalam jangka waktu yang lebih lama. Adapun pencarian pandangan hidup bersifat dinamis. Pandangan hidup individu sejak dia di bangku sekolah, kuliah, bekerja bisa jadi berubah seiring pengalaman. 

Bagaimana melewati Quarter Life Crisis?

photo by Tony Tran on Unsplash

 

  1. Pahami “3 Principles of Life”

Terdapat tiga prinsip hidup yang perlu kita sadari, yaitu freedom, uncertainty, dan hope (6). Freedom artinya setiap individu memiliki kebebasan dalam memilih apa pun di hidupnya. Ia bebas merencanakan segala hal, melakukan kegiatan yang disenangi, dan menjauhi hal yang tidak menyenangkan. Maka ketika individu telah memilih, hal yang perlu dilakukan adalah mampu mempertanggungjawabkan konsekuensi dari pilihan tersebut. Mempertanggungjawabkan suatu keputusan yang telah diambil merupakan salah satu karakter positif yang penting ada di diri individu ketika memasuki usia dewasa (5).  

Uncertainty mengartikan bahwa kehidupan penuh dengan ketidakpastian. Individu memang bebas dalam memilih, namun ia tidak mampu untuk memastikan suatu hal pasti akan terjadi. Dengan demikian, di sinilah pentingnya tolerance of uncertainty. Sikap mentolerir ketidakpastian dalam hidup, mentolerir hal di luar dugaan dan perencanaan  merupakan sikap yang penting untuk dimiliki, agar individu tetap mampu melanjutkan hidup yang sehat (7).   

Hope atau harapan ini erat kaitannya dengan ketidakpastian. Seperti yang dikatakan oleh Dr. Bagus Riyono dalam bukunya yang berjudul, Motivasi dan Kepribadian, beliau menjelaskan (6):

Hope tidak sekadar di ranah kognitif ataupun afektif, melainkan berada di ranah spiritual, yaitu aspek psikologis dalam diri manusia yang meliputi “belief system” terhadap sesuatu yang belum pernah dialami, belum pernah dilihat, yang di luar nalar biasa (“beyond reason”), dan sesuatu yang luar biasa (“bigger than life”). 

Hope atau harapan merupakan rasa yakin bahwa akan ada kebaikan yang muncul dibalik suatu ketidakpastian. Besar kecil dan kuat-lemahnya harapan tergantung apa yang diyakini individu. Semakin besar keyakinan seseorang tentang adanya “kekuatan lain” yang memiliki kemampuan untuk menolong dirinya keluar dari ketidakpastian dengan selamat, maka akan semakin besar pula hope yang ia miliki.

      2. Kenali diri

Terdapat sebuah konsep dari Jepang bernama Ikigai. Konsep ini bertujuan untuk membantu individu menemukan “purpose in life” atau arti hidupnya. Jika bingung ingin menata hidup mulai dari mana, barangkali konsep ikigai ini bisa membantu. Ikigai merupakan irisan antara passion, profession, vocation dan mission (8). 

Passion merupakan irisan dari hal yang disukai dan potensi yang dimiliki. Cobalah lihat ke dalam diri, hal-hal apa saja yang disenangi dan bidang mana saja yang Anda kuasai. Jika sudah ditemukan, maka tentukan apakah bidang tersebut mengandung unsur profession? Profession adalah irisan dari kompetensi diri dan Anda bisa menghasilkan uang darinya. Kemudian terdapat vocation dan mission yang bersifat kontributif. Vocation adalah irisan dari apa yang bisa kita lakukan dan apa yang dunia butuhkan. Adapun mission merupakan hal yang disukai dan bermanfaat bagi orang lain.

     3. QLC adalah tantangan untuk menemukan makna

Tantangan merupakan stimulus yang datang dari luar diri individu. Jika individu tidak dapat merespons tantangan yang datang, maka ada risiko psikologis yang akan ditanggung. Risiko itu dapat berupa penurunan harga diri, atau penilaian negatif dari lingkungan sosial (6). Disisi lain, tantangan juga dibutuhkan individu untuk bertumbuh. Krisis yang dialami saat quarter-life ini adalah salah satu contoh tantangan. Adanya tantangan akan membuat proses belajar menjadi asyik dan mendorong individu untuk menguasai suatu hal, serta membangun konsep diri lebih positif (9). Ketika individu melakukan suatu pekerjaan yang menantang, maka akan timbul rasa telah berprestasi, tanggung jawab, bertumbuh, rasa asyik ketika menjalaninya, dan mendapatkan pengakuan atau pujian (6).

Dibalik tantangan, pasti ada makna yang bisa didapatkan. Esensi dari kebermaknaan adalah percaya bahwa di luar sana dan suatu saat nanti akan ada kebaikan dari usaha yang dilakukan (6). Makna akan membuat individu bertahan dalam menghadapi tantangan yang sulit. Jadi, bagaimana Anda memaknai Quarter Life Crisis ini?

 

References :

  1. Robinson, O.C. (2015). Emerging adulthood, early adulthood and quarter-life crisis: Updating Erikson for the twenty-first century. In. R. Žukauskiene (Ed.) Emerging adulthood in a European context (pp.17-30). New York: Routledge
  2. https://www1.firstdirect.com/uncovered/heads-up/quarter-life-catalyst/
  3. Agarwal, S., Guntuku, S. C., Robinson, O., Dunn, A., & Ungar, L. (2020). Examining the Phenomenon of Quarter-life Crisis through Artificial Intelligence and the Language of Twitter. Frontiers in Psychology , 1-23.
  4. https://gensindo.sindonews.com/read/14429/700/survei-5-hal-paling-dicemaskan-saat-quarter-life-crisis-1588370747
  5. Arnett, J.J. (2007) ‘Emerging adulthood: What is it, and what is it good for?’ Child Development Perspectives, 1(2): 68–73.  doi: 10.1111/j.1750-8606.2007.00016.x
  6. Riyono, B. (2020). Motivasi dan Kepribadian. Jakarta Selatan: Al-Mawardi.
  7. https://www.psychologytoday.com/us/blog/the-gen-y-guide/201709/why-millennials-need-quarter-life-crises 
  8. Mogi, Ken. (2017). The Book of ikigai : make life worth living / Ken Mogi. Jakarta: Noura Books.
  9. Ferre-Caja, E. dan Weiss, M. R. (2000). Predictors of intrinsic motivation among adolescent students in physical education. Research Quarterly for Exercise and Sport. 71(3), 267.

Module 5: Disability-inclusive Lifespan Methodological Research

Artikel Liputan KegiatanBlogEventSummer Course Wednesday, 10 November 2021

Liputan Kegiatan Summer Course Module 5: Disability-inclusive Lifespan Methodological Research

Berkolaborasi dengan ahli studi disabilitas Indonesia dan internasional, summer course bertema International Online Summer Course on Disability and Lifespan Development: Indonesia and Global Perspectives bertujuan untuk memfasilitasi pembelajaran kritis dalam menganalisis dan memahami hambatan yang dihadapi oleh penyandang disabilitas, serta mendorong pertukaran ilmu pengetahuan, diskusi, sekaligus membangun koneksi antara ilmuwan muda dan ahli-ahli berpengalaman di ranah penelitian disabilitas yang diharapkan mampu menginspirasi penelitian baru dan implementasinya di dunia nyata. Kursus musim panas ini merupakan summer course pertama yang diselenggarakan oleh Center for Life-Span Development (CLSD), Fakultas Psikologi, Universitas Gadjah Mada. 

Modul kelima diawali oleh narasumber Prof. Gavin Sullivan dari Coventry University (United Kingdom) dengan topik Disasters, Disability and Collective Action: Individual and Collective Emotional and Identity-related Responses pada hari Senin, 4 Oktober 2021 pukul 17:00 – 19.00 WIB. Prof. Sullivan menjelaskan bahwa, sementara kebijakan-kebijakan bencana menyoroti kebutuhan untuk mengikutsertakan penyandang disabilitas, perencanaan bencana dan penelitian yang berfokus pada penyandang disabilitas masih terbatas. Dalam kuliah ini, Prof. Sullivan mengajak partisipan mengeksplorasi dan mengkritisi pertimbangan disabilitas dalam kaitannya dengan dua penelitian yang telah beliau publikasikan: yang pertama adalah pemeriksaan lanjutan terhadap gempa bumi Yogyakarta tahun 2006 dan yang kedua adalah survei kualitas hidup dan status sosial di antara orang-orang yang dipindahkan, direlokasi, atau masih bertahan di lokasi pasca lima tahun letusan Gunung Sinabung. Di penghujung kuliah, partisipan diharapkan mampu memahami bagaimana eksplorasi pendekatan identitas sosial atau penyembuhan sosial untuk disabilitas dan perkembangan dapat relevan dalam kesiapsiagaan dan pemulihan bencana serta mendiskusikan bagaimana wawasan dari sesi ini dapat diterapkan pada penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti dan rekan-rekan di Palu pada tahun 2022 mendatang.

Lecture selanjutnya terbagi menjadi dua bagian yaitu Lecture ke-18 dan 19 yang dibawakan oleh Prof. Iva Strnadová, profesor Special Education and Disability Studies dari University of New South Wales, Australia pada Selasa, 5 Oktober 2021 dan Rabu, 6 Oktober 2021. Berjudul Co-designing and Co-producing Research with People with Disabilities, Prof. Strnadová menjelaskan mengenai cara mendesain dan melakukan penelitian bersama orang-orang dengan disabilitas. Mengutip Beebeejaum (2014), dalam penelitian atau penciptaan pengetahuan, konteks co-production menekankan kontribusi yang dapat diberikan oleh komunitas non-akademik terhadap proses penelitian (dan hasilnya). Di sini, penelitian dilakukan ‘dengan’ komunitas, bukan ‘dalam’ komunitas. Dalam kuliahnya, Prof. Strnadová menekankan bahwa alih-alih memisahkan produsen pengetahuan dan pengguna pengetahuan menjadi dua kelompok yang berbeda, proses co-production bertujuan untuk menciptakan komunitas yang melakukan praktik bersama di mana semua pemangku kepentingan memiliki peran dalam proses pencarian atau penciptaan pengetahuan (Rycroft-Malone et al., 2016). Dalam sesi ini, partisipan belajar tentang mengapa penelitian bersama sangat penting dalam penelitian yang relevan dengan penyandang disabilitas, dari mana istilah produksi bersama berasal, untuk apa istilah itu diterapkan, apa landasan teoretis dan filosofis dari penelitian bersama, dalam penelitian, apa prinsip-prinsipnya, dan apa manfaat dari penelitian bersama.

Lecture terakhir dari modul kelima sekaligus yang mengakhiri rangkaian sesi Summer Course dibawakan oleh Dr. Michelle Bonati dari State University of New York, Plattsburgh, USA berjudul Research Involving People with Disabilities in Service-Learning in the Community. Lecture ini diadakan pada Kamis, 7 Oktober 2021 pukul 18.00 – 20.00 WIB. Pada sesi ini, Dr. Bonati mengajak peserta belajar tentang service-learning, pendekatan pedagogis yang dapat melibatkan siswa dengan dan tanpa disabilitas dari TK-SMA hingga pendidikan tinggi. Sesi ini juga membahas sepintas tentang kerangka teoritis service-learning dan proses penerapan service-learning dalam memperbaiki kurikulum siswa. Partisipan juga diajak untuk menelaah faktor-faktor pendukung dan penghambat pembelajaran layanan berbasis masyarakat inklusif dengan menggunakan contoh dari Dr. Bonati sendiri yang bekerja sebagai guru pendidikan khusus sekaligus sebagai peneliti. Kuliah ini juga membahas metode dan pertimbangan untuk penelitian inklusif yang melibatkan siswa dengan dan tanpa disabilitas yang terlibat dalam pembelajaran layanan berbasis masyarakat. Pada akhir sesi, partisipan melakukan diskusi kelompok kecil yang berfokus pada studi kasus proyek pembelajaran layanan inklusif dan pertimbangan penelitian. Sebagai penutup, masing-masing perwakilan kelompok berbagi tanggapan atau hasil diskusi terhadap studi kasus dalam sesi tanya-jawab formal.

Student-led Conference

Student-led Conference Day #1 dilakukan pada Selasa, 12 Oktober 2021 pukul 17.00 – 19.00 WIB secara daring melalui Zoom Meeting. Terdapat empat kelompok siswa yang melakukan presentasi atas proposal riset mereka. Kelompok 2 mempresentasikan proposal riset dengan judul “Understanding psychological wellbeing of adolescents with disability during COVID-19 Pandemic in Indonesia.”, disusul oleh kelompok 5 yang membawakan judul “Exploring employers’ perception on employability of people with disabilities in Western and NonWestern countries.”, selanjutnya kelompok 6 dengan tema penelitian Identifying the barriers and supportive factors in the inclusive school that children with disabilities require to to feel safe and motivated to study.“, dan diakhiri oleh kelompok 7 yang memaparkan proposal riset dengan judul “Barriers that University Students with Disabilities Face in Studying Abroad.”. Pada sesi hari ini, terdapat tiga orang pembahas presentasi kelompok siswa yaitu: Dr. Pradytia Putri Pertiwi, Dr. Elga Andriana, dan Dr. Wuri Handayani. Para peserta lain dan juga partisipan umum yang mengikuti sesi student-led conference ini juga dipersilakan untuk mengajukan pertanyaan terkait proposal riset yang telah dipresentasikan.

Hari berikutnya yaitu Kamis, 14 Oktober 2021, pukul 17.00 – 19.00 WIB diteruskan dengan Student-led Conference Day #2 yang dilakukan kembali secara daring melalui Zoom Meeting. Di hari kedua ini, terdapat empat kelompok siswa yang melakukan presentasi atas proposal riset mereka. Presentasi diawali oleh kelompok 1 yang menyampaikan proposal riset dengan tema “Support for children with disabilities to gain access to education from the perspective of bio-psycho-social models during covid-19 pandemic”. Selanjutnya, kelompok 3 memaparkan proposal riset dengan tema “Disability perspectives: education and lifetime consequences” dan dilanjutkan oleh kelompok 1 dengan tema “Supporting a return to school for children with disabilities in a post pandemic environment: A comparative  study of Indonesia, Malaysia, and Australia”. Pada akhir kegiatan, kelompok 8 menutup presentasi dengan tema proposal riset “Acceptance and perception of mainstream teachers and students towards students with disability in an inclusion classroom in Indonesia and Malaysia.” Pada sesi hari ini, Prof. David Evans dari The University of Sydney (Australia) turut hadir dan menjadi pembahas dalam presentasi kelompok siswa. 

Penutup

Rangkaian kegiatan Summer Course secara resmi ditutup oleh Dekan Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, Bapak Rahmat Hidayat, S.Psi., M.Sc., Ph.D. The International Summer Course on Disability and Life-Span Development: Indonesia and Global Perspectives pun telah berakhir. Dengan total 20 sesi, 21 pembicara dari 7 negara berbeda, dan 110 peserta dari 15 negara, Summer Course ini dimulai dari 3 Agustus dan berlangsung hingga 14 Oktober 2021. Kami mengucapkan terima kasih kepada para pembicara atas wawasan dan bimbingan yang telah disampaikan mengenai disabilitas dan perkembangan rentang hidup, serta kepada seluruh peserta Summer Course yang telah berpartisipasi secara aktif dan mendukung kegiatan ini dengan menghadiri sesi dan menyumbangkan ide-ide terbaiknya. Sampai jumpa di acara CLSD selanjutnya!

(SRP CLSD)

Module 4: Collaborative Disability and Lifespan Development Research in Multicultural Setting

Artikel Liputan KegiatanBlogEventSummer Course Tuesday, 9 November 2021

Liputan Kegiatan Summer Course Module 4: Collaborative Disability and Lifespan Development Research in Multicultural Setting

Berkolaborasi dengan ahli studi disabilitas Indonesia dan internasional, summer course bertema International Online Summer Course on Disability and Lifespan Development: Indonesia and Global Perspectives bertujuan untuk memfasilitasi pembelajaran kritis dalam menganalisis dan memahami hambatan yang dihadapi oleh penyandang disabilitas, serta mendorong pertukaran ilmu pengetahuan, diskusi, sekaligus membangun koneksi antara ilmuwan muda dan ahli-ahli berpengalaman di ranah penelitian disabilitas yang diharapkan mampu menginspirasi penelitian baru dan implementasinya di dunia nyata. Kursus musim panas ini merupakan summer course pertama yang diselenggarakan oleh Center for Life-Span Development (CLSD), Fakultas Psikologi, Universitas Gadjah Mada. 

Lecture #13 yang merupakan sesi pertama pada modul keempat bertajuk Disability and Family diselenggarakan pada hari Kamis, 16 September 2021 pukul 17.00 – 19. 00 WIB dan disampaikan oleh Prof. Gwynnyth Llewellyn dari The University of Sydney. Prof. Llewellyn menjelaskan mengenai peran keluarga dan disabilitas, di mana keluarga berada di pusat tatanan sosial komunitas dan masyarakat secara lebih luas. Menurut beliau, keluarga memberikan makna pribadi, rasa identitas dan hubungan dalam keluarga serta keterhubungan di luar keluarga dengan masyarakat luas. Banyak faktor–entah itu pribadi, sosial, ekonomi, budaya–mempengaruhi bagaimana pengalaman suatu keluarga yang memiliki anggota keluarga yang merupakan penyandang disabilitas. Dalam kuliah ini, Prof. Llewellyn berbicara tentang konsep keluarga dalam struktur masyarakat dan budaya yang berbeda di berbagai tingkatan; wawasan dari penelitian perkembangan dalam setting multikultural tentang kehidupan keluarga dengan anak dan remaja penyandang disabilitas: serta wawasan dari kolaborasi penelitian internasional mengenai kepala keluarga sebagai orang tua penyandang disabilitas. Selain itu, sebagai ahli terkemuka dalam topik ini, Prof. Llewellyn menjelaskan bagaimana cara memanfaatkan penelitian dengan landasan teoritis dan empiris yang kuat, dan memberikan contoh bagaimana penelitian ini dapat diterapkan dalam kebijakan dan praktik.

Lecture #14 yang bertajuk Disability-inclusive Disaster Risk and Children with Disabilities dilaksanakan pada hari Kamis, 21 September 2021 pada pukul 17.00 – 19.00 WIB dengan penyampaian materi oleh Prof. Laura Stough dari Texas A&M  University (United States of America). Prof. Stough menjelaskan bahwa banyak penelitian kolektif yang menetapkan bahwa bencana mempengaruhi penyandang disabilitas baik secara negatif maupun merugikan penyandang disabilitas dengan banyak cara. Penelitian yang relevan melintasi berbagai fokus disiplin ilmu seperti psikologi, epidemiologi, kesehatan masyarakat, kesehatan mental, studi disabilitas, dan studi bencana. Namun, melakukan penelitian di persimpangan disabilitas dan bencana mengungkap sejumlah tantangan dan hambatan, serta mencerminkan asumsi epistemologis yang berbeda dan pengetahuan yang beragam tentang disabilitas. Organisasi yang berafiliasi dengan disabilitas berperan penting dalam mendukung dan bekerja sama dengan individu dan lembaga menuju pengurangan risiko bencana. Elemen penting dalam mereformasi praktik manajemen darurat adalah memastikan penyandang disabilitas dapat menjadi peserta aktif dalam kesiapsiagaan mereka sendiri, pengurangan risiko bencana, tanggap bencana, serta pemulihan bencana. Dalam kuliah ini, Prof. Stough mengajak partisipan untuk mengeksplorasi penelitian dan praktik di persimpangan disabilitas dan bencana, termasuk konsepsi (dis)ability dan (dis)aster.

Pada minggu berikutnya, Lecture #15 berjudul Universal Design for Learning in School Setting disampaikan oleh Prof. David Evans dari The University of Sydney, Australia pada Rabu, 29 September 2021 pukul 16:00 – 18:00 WIB. Prof. Evans menjelaskan tentang bagaimana komunitas global bekerja untuk memastikan semua anak dan remaja memiliki akses, dapat berpartisipasi, dan belajar dari pendidikan inklusif yang berkualitas. Seperti apakah pendidikan inklusif yang berkualitas? Berdasarkan penjelasan Prof. Evans, pendidikan inklusif yang berkualitas adalah pendidikan yang mendukung masing-masing dari 17 Sustainable Development Goals dan merupakan dasar untuk mempromosikan kesetaraan dan kohesi sosial di semua lapisan masyarakat. Namun, mencapai pendidikan inklusif yang berkualitas di berbagai negara ternyata menimbulkan tantangan besar, dan penyandang disabilitas terus mendapatkan diskriminasi atau tindakan pengucilan pada tingkat yang berbeda-beda. 

Dalam kuliah ini, Prof. Evans membahas desain universal untuk kerangka pembelajaran– sebuah kerangka kerja yang berusaha menghilangkan hambatan dalam konteks pendidikan, dan dengan demikian dapat memberikan dasar bagi pendidikan inklusif yang berkualitas. Kuliah disampaikan menggunakan konteks pendidikan di Australia sebagai dasar untuk menguraikan jalan ke depan untuk mempromosikan akses dan partisipasi yang lebih besar bagi semua pelajar. Hal ini akan menimbulkan dilema berkelanjutan yang dihadapi dalam konteks ini, dan menarik kesejajaran dengan konteks regional lainnya. Pada kuliahnya, Prof. Evans memberikan ide dan saran untuk mengatasi tantangan, hambatan dan dilema melalui mempromosikan kekuatan desain universal untuk kerangka pembelajaran. Dalam mempelajari kerangka desain universal ini, bukan berarti akan ada perbaikan ajaib instan yang dijanjikan; para delegasi, bagaimanapun, ditantang untuk mengatasi keyakinan, sikap dan disposisi mereka terhadap pendidikan inklusif yang berkualitas.

Selanjutnya, Lecture #16 yang berjudul The Lesson Learned from Social Participation of Students with Learning Disabilities in Malaysia  disampaikan oleh Dr. Hasrul Hosshan dari Sultan Idris Education University, Malaysia pada Selasa, 28 September 2021, puku; 17:00 – 19:00 WIB. Pada kuliahnya, Dr. Hosshan menjelaskan bahwa partisipasi sosial merupakan salah satu indikator kunci dari hasil sekolah inklusif. Penelitian menunjukkan bahwa siswa dengan learning disability/LD di kelas cenderung mengalami partisipasi sosial yang lebih sedikit daripada teman sebayanya yang tidak memiliki LD. Pemahaman tentang pentingnya partisipasi sosial dalam mendukung  siswa dengan LD diharapkan dapat meningkatkan rasa memiliki siswa terhadap sekolah, berkembangnya tingkat penerimaan, serta mengurangi ketakutan akan kegagalan dan meningkatkan kesuksesan mereka. Pada kuliah ini, Dr. Hosshan juga mendemonstrasikan tahapan evaluasi pendidikan inklusif dari model Input-Processes-Outcomes (IPO). Partisipan diajak untuk mencari tahu lebih dalam tentang apa itu model IPO serta  bagaimana cara menggunakannya secara efektif pada siswa dengan berbagai tingkat kemampuan dan siswa yang berpartisipasi dalam berbagai kegiatan. Dr. Hosshan juga mendemonstrasikan tentang bagaimana mengumpulkan informasi dan membuat keputusan berdasarkan informasi mengenai tingkat dukungan yang dibutuhkan ketika mendukung siswa dengan LD. Partisipan juga diberikan contoh yang menjelaskan berbagai jenis partisipasi sosial dan bagaimana siswa harus didukung pada setiap tahap model IPO dari perspektif-perspektif kerangka sosio-ekologis.

Lecture #17 sekaligus kuliah terakhir pada modul keempat ini berjudul Intersecting Discourses of Difference, Curriculum, Pedagogy and Assessment: The Implications for Disabled People, Their Families and Their Teachers dan disampaikan oleh Prof. Missy Morton dari The University of Auckland, New Zealand pada Kamis, 30 September 2021 pukul 13:00 – 15:00 WIB. Pada sesi ini, Prof. Morton membantu partisipan menerapkan kerangka teoritis dari psikologi kritis yaitu konstruksi sosial diskursus dan wacana. Pada kuliahnya, Prof. Morton menggunakan ide-ide dari konstruksionisme sosial untuk melihat bagaimana wacana (gagasan, keyakinan, nilai, dan praktik yang saling terkait) dikonstruksi dari aspek sosial. Beliau berfokus pada penjelasan diskursus perbedaan, kurikulum, pedagogi, dan penilaian yang dibangun secara sosial. Pada kuliah ini, partisipan diajak untuk melihat bagaimana perbedaan makna yang dibangun secara sosial dapat membuka beberapa kemungkinan untuk mencapai inklusivitas yang diharapkan. Proses, makna, dan efek ini diilustrasikan melalui proyek sepuluh tahun di sekolah dasar dan menengah Selandia Baru yang telah dikembangkan dengan asesmen naratif.

(SRP CLSD)

1000 HARI PERTAMA KEHIDUPAN

ArtikelBlog Friday, 5 November 2021

1000 HARI PERTAMA KEHIDUPAN
oleh: Ruth Setyaning

photo by Kazuend on Unsplash

1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) adalah periode sejak janin masih berada di dalam kandungan sampai anak berusia 2 tahun. 1000 HPK disebut juga sebagai periode emas, karena pada periode ini terjadi pertumbuhan otak yang sangat pesat, yang mendukung seluruh proses perkembangan anak dengan sempurna. Gizi sangatlah berperan, karena kekurangan gizi pada periode ini tidak dapat diperbaiki di kehidupan selanjutnya. 

1. NUTRISI SAAT KEHAMILAN

Saat hamil, tubuh mengalami perubahan fisik dan hormon. Dalam kondisi tersebut, asupan gizi yang baik sangat penting untuk kesehatan ibu dan janinnya. Selama kehamilan, pastikan kebutuhan nutrisi ibu terpenuhi, sehingga bayi terlahir sehat. Pemenuhan kebutuhan nutrisi bukan berarti makan dalam jumlah porsi yang banyak. Melainkan, ibu harus memastikan bahwa zat gizi yang dibutuhkan selama kehamilan terdapat di dalam makanan yang dikonsumsi.

KEBUTUHAN CAIRAN 

Ibu hamil harus menjaga keseimbangan cairan dalam tubuh agar tidak mengalami dehidrasi. Saat hamil, kebutuhan cairan meningkat karena cairan di dalam terpakai untuk pembentukan cairan ketuban dan mengalirkan asupan makanan ke janin. Jumlah cairan yang dianjurkan untuk ibu hamil yaitu sekurang-kurangnya 2300-3000 ml per hari, atau sekitar 10-12 gelas.

PANTANGAN MAKAN 

  1. Kopi dan teh: konsumsi kafein yang terkandung dalam kopi berisiko menyebabkan keguguran dan berat badan lahir rendah (BBLR), sedangkan teh dapat mengganggu penyerapan zat gizi di dalam usus.
  2. Makanan dan minuman yang mengandung alkohol.
  3. Makanan mentah atau setengah matang: kurang dianjurkan karena berpotensi mengandung bakteri yang berbahaya bagi janin.

STRATEGI UNTUK MENGURANGI MUAL DAN MUNTAH

Mual dan muntah terjadi karena pengaruh hormon HCG (Human Chorionic Gonadotropin) yang meningkat saat hamil, puncaknya pada usia kehamilan 12 minggu. Pada fase ini, yang bisa ibu hamil lakukan adalah:

  • Makan sedikit-sedikit tetapi sering.
  • Hindari makanan dengan kandungan lemak yang tinggi.
  • Hindari makanan yang pedas dan berbumbu tajam.
  • Setelah makan ataupun minum, tidak dianjurkan untuk langsung tidur atau berbaring.
  • Minum di sela-sela makan.
  • Hindari kafein (banyak terkandung di dalam kopi).
  • Melakukan jalan-jalan kecil setelah makan.
  • Tidak disarankan menggunakan pakaian yang ketat.

2. NUTRISI IBU MENYUSUI

Pada saat menyusui, wajar terjadi penurunan berat badan dalam 6 bulan pertama menyusui yaitu sekitar 0.5-1 kg/bulan karena asupan energi banyak digunakan untuk memproduksi ASI. Meski demikian, ada pula yang tidak mengalami penurunan berat badan. Ibu disarankan untuk tetap menjaga asupan makan bergizi seimbang dan banyak minum karena ketika menyusui, kebutuhan cairan dalam tubuh meningkat. Dianjurkan untuk minum air 8-12 gelas setiap harinya untuk mencegah dehidrasi.

FAKTA TENTANG AIR SUSU IBU (ASI) 

  • Produksi ASI sesuai dengan permintaan bayi. Proses pengeluaran ASI merangsang pembentukan ASI, jadi semakin sering ibu menyusui bayinya, akan semakin banyak ASI yang diproduksi. 
  • Frekuensi makan ibu menyusui tidak mempengaruhi produksi ASI.
  • Ukuran payudara tidak menentukan jumlah ASI yang diproduksi.

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI ASI

  1. Gizi: makanan yang dikonsumsi sehari-hari harus mengandung asam folat, protein, kalsium dan zat besi.
  2. Psikis: stres dan kecemasan dapat menghambat produksi ASI.
  3. Perawatan payudara yang dilakukan saat usia 6-9 bulan bisa merangsang kelenjar air susu, memperlancar ASI dan melenturkan serta menguatkan puting susu.

TIPS IBU MENYUSUI

  1. Menghindari minuman yang mengandung kafein (banyak terkandung di kopi), karena bayi belum bisa mencerna kafein di dalam tubuhnya. Kelebihan kafein pada bayi menyebabkan hiperaktif, rewel dan lemas.
  2. Menghindari asap rokok.
  3. Menghindari makanan atau minuman yang mengandung alkohol. Alkohol dapat menurunkan hormon oksitosin, yaitu hormon yang berperan di dalam produksi ASI.
  4. Mengurangi konsumsi makanan yang mengandung banyak bawang putih dan bumbu yang tajam karena dapat mempengaruhi bau ASI.
  5. Mengurangi konsumsi bawang putih, bawang merah, kubis, brokoli, kacang dan melon karena dapat menyebabkan kolik dan diare pada bayi.
  6. Sebaiknya memilih minuman yang tidak mengandung gula.
  7. Diet ketat tidak dianjurkan karena akan mempengaruhi kualitas ASI yang dihasilkan.

3. NUTRISI BAYI

Pemberian gizi yang tepat sangat penting, karena setahun pertama (usia 0-12 bulan) merupakan masa di mana anak mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang pesat. Gizi yang tepat berperan untuk mencapai pertumbuhan, perkembangan dan kesehatan yang optimal. Pada periode ini, sangat dianjurkan untuk selalu memantau pertumbuhan anak, sehingga jika ada masalah gizi dapat segera ditangani sebelum terbawa ke kehidupan selanjutnya.

SYARAT PEMBERIAN MAKANAN BAYI

  1. Memenuhi kecukupan energi dan semua zat gizi.
  2. Susunan hidangan gizinya harus seimbang.
  3. Bentuk dan porsi menyesuaikan daya terima bayi.
  4. Memperhatikan kebersihan dari persiapan makanan, peralatan makan, penyajian dan kebersihan lingkungan.

Makanan lumat: semua makanan yang disajikan dalam bentuk halus, seperti bubur susu.
Makanan lembek: makanan peralihan dari makanan lumat ke makanan biasa seperti nasi tim.

MAKANAN BAYI BERDASARKAN TINGKAT USIA

ASI 

  • Diberikan secara eksklusif pada usia 0-6 bulan, tidak disertai dengan makanan atau minuman lain termasuk air putih. Susu formula hanya diberikan pada kondisi khusus misalnya berat badan bayi rendah, ibu mengalami sakit penyakit tertentu sehingga tidak bisa menyusui.
  • ASI mengandung semua zat gizi yang dibutuhkan oleh bayi pada usia 0-6 bulan.
  • ASI yang diberikan secara eksklusif terbukti mampu membentuk sistem kekebalan tubuh bayi.
  • Sistem pencernaan dan kekebalan tubuh bayi belum terbentuk sempurna sehingga belum bisa mencerna makanan dan minuman selain ASI. Bayi yang mendapat makanan sebelum berusia 6 bulan berisiko terkena alergi, diare, sembelit, batuk pilek dan panas, dibandingkan dengan bayi yang hanya diberi ASI.

 

Makanan Pendamping ASI (MPASI)

  • MPASI merupakan makanan yang diberikan bersamaan dengan pemberian ASI sebagai makanan pendamping untuk melengkapi zat gizi yang kurang dari ASI. 
  • Diberikan saat bayi sudah berusia 6 bulan. Pada usia ini, sistem pencernaan bayi sudah relatif sempurna dan siap menerima MPASI.
  • Tujuan diberikan MPASI:
        1. melengkapi zat gizi yang kurang terdapat pada ASI,
        2. mengembangkan kemampuan bayi untuk menerima makanan dengan berbagai rasa dan tekstur,
        3. mengembangkan kemampuan bayi dalam mengunyah dan menelan. 
      • MPASI diberikan secara hati-hati, sedikit demi sedikit dari bentuk yang encer sampai ke bentuk yang lebih kental.
      • Urutan pemberian MPASI: buah – tepung tepungan – sayur – telur – daging.

      JENIS-JENIS MPASI

      1. Makanan Lumat/Halus (usia 6-7 bulan)
        • Contoh bahan makanan untuk membuat makanan lumat: 
          1. tepung beras atau tepung bebas gluten (contoh: maizena, hunkwe, tepung kacang hijau),
          2. buah yang dihaluskan (pisang, pepaya, jeruk, apel),
          3. sayur yang dihaluskan (wortel, tomat, brokoli).
        • Tepung, sari buah dan sayur lebih baik jika dicampur dengan ASI atau susu formula daripada air biasa.
        • Frekuensi pemberian makanan dan jumlah makanan ditingkatkan secara bertahap, dari 1 kali menjadi 2 sampai 3 kali sehari. 
        • Pertama kali bayi diperkenalkan dengan buah lumat, diberikan 2 sendok makan untuk 2x sehari. Pada 2 sampai 3 hari berturut-turut diberikan buah yang sama agar mengenal rasanya, setelah itu diperkenalkan dengan buah yang lain. Hal ini disarankan untuk mendorong penerimaan dan cita rasa yang baik.
        • Setelah bayi mengenal rasa buah, baru diberikan bubur susu. Setelah cukup mengenal rasa makanan, bayi dapat diberikan makanan secara bergantian, misalnya dalam 2x sehari diberikan buah lumat dan bubur susu.
        • Tingkatkan kekentalan makanan secara bertahap dengan mengurangi jumlah air yang ditambahkan. Pastikan bahwa tekstur MPASI tidak terlalu encer, jadi air yang digunakan tidak berlebihan agar zat gizinya tidak kurang.
        • Cara membuat makanan lumat: 
        • Tepung-tepungan 1-2 sdt dicampur dengan ASI atau susu formula.
        • Pisang, pepaya dilumatkan atau diblender sampai halus. Untuk apel dan jeruk diambil sarinya dan disingkirkan bijinya.
        • Wortel, tomat, brokoli dikukus dengan air mendidih sampai matang selama 5 menit, kemudian diblender (dikukus lebih baik daripada direbus, karena tidak banyak menghilangkan zat gizinya).
        • Hindari penggunaan garam dan gula untuk melatih bayi merasakan rasa alami dari makanan. Gula dan garam sebaiknya diberikan setelah bayi berusia 1 tahun. Bayi yang sudah diperkenalkan dengan garam dan gula terlalu dini akan cenderung menjadi picky-eater atau terlalu pilih-pilih makanan dan susah makan ketika beranjak ke masa anak-anak.

              2. Makanan Tim Campur (usia 8-9 bulan)

            • Tekstur makanan ditingkatkan menjadi bentuk makanan tumbuk, dicincang atau dicacah.Bahan
            • makanan yang diberikan semakin bervariasi, terdiri dari tepung-tepungan, lauk hewani, nabati, sayuran, buah.
            • Bayi mulai diperkenalkan dengan “finger foods”, di mana bayi mulai diajarkan memegang makanannya sendiri. Hal ini dapat melatih penerimaan terhadap tekstur makanan yang bermacam-macam. Bahan makanan yang dipilih tidak menyebabkan risiko tersedak dan dapat melatih pertumbuhan gigi seperti biskuit bayi, apel, wortel, pepaya.

                   3. Makanan Lembek (usia 9-12 bulan) 

                • Tekstur makanan dinaikkan menjadi semi-padat. Contoh: nasi tim, bubur tanpa disaring, irisan makanan lunak.
                • Pemberian makanan ditingkatkan menjadi 3-4 kali sehari, dengan snack 1-2 kali sehari.

                4. NUTRISI TODDLER (1-3 TAHUN)

                 

                Di usia ini, anak mulai mengeksplorasi lingkungan dan berusaha untuk mengontrol orang lain melalui perilakunya. Periode ini merupakan fase di mana anak mengalami perkembangan dan pertumbuhan intelektual. Anak memiliki kemampuan untuk mengunyah makanan dengan tekstur yang beragam, bahkan dapat mengambil dan memasukkan makanan sendiri ke mulut dengan menggunakan tangan.  

                photo by Kelly Sikkema on Unsplash

                PERILAKU MAKAN ANAK USIA TODDLER

                1. Anak mulai menunjukkan preferensi atau makanan yang menjadi kesukaan mereka, dan makanan yang tidak disukai.
                2. Anak bisa makan makanan yang mereka sukai dalam jangka waktu tertentu.
                3. Anak akan mudah diperkenalkan dengan makanan baru saat kondisi lapar atau ketika melihat anggota keluarga yang lain makan makanan tersebut.
                4. Anak akan melihat dan meniru pola dan perilaku makan anggota keluarganya yang lain. Contohnya: bila orangtuanya menyukai sayur, maka anak juga akan cenderung menyukai sayur karena mengikuti apa yang dimakan orang tuanya.
                5. Pada jangka waktu tertentu, anak mengalami penurunan nafsu makan dan mudah teralihkan oleh hal lain saat sedang makan. Hal ini wajar terjadi karena pada fase ini, pertumbuhan anak tidak terlalu pesat dibandingkan ketika masih bayi (slowing growth).

                TIPS PEMBERIAN MAKANAN

                1. Anak usia toddler disajikan makanan sesuai dengan porsi usianya, karena tidak mampu makan makanan dalam jumlah yang banyak sekaligus. Makanan selingan atau snack juga diberikan untuk memenuhi kebutuhan gizi anak.
                2. Tidak dianjurkan untuk memberikan snack kemasan yang terlalu manis atau terlalu asin. Makanan yang mengandung tinggi gula dan garam dapat meningkatkan ambang rasa pada lidah anak, sehingga anak tidak tertarik dengan makanan rumah yang seolah-olah menjadi terasa lebih “hambar”.
                3. Orang tua harus mengontrol porsi makanan utama dan makanan selingan. Porsi makanan selingan tidak lebih banyak dari makanan utama. Contoh snack untuk toddler: puding susu, biskuit khusus untuk anak.
                4. Pastikan makanan memenuhi gizi seimbang, mengandung karbohidrat, protein, lemak dan serat. Sayur dan buah diberikan setiap hari untuk memenuhi kebutuhan vitamin dan mineral, serta mencegah sembelit.
                5. Penuhi asupan cairan untuk mencegah dehidrasi.
                6. Anak mulai diajari untuk menggosok gigi, supaya gigi tetap bersih dan mencegah karies gigi.

                5. NUTRISI PRA SEKOLAH (USIA 3-5 TAHUN)

                Pada periode ini, terjadi fase percepatan pertumbuhan (growth-spurt) sehingga nafsu makan anak akan cenderung meningkat. Anak mulai memiliki sikap ‘ingin menyenangkan’ orang tua atau pengasuhnya, oleh sebab itu pada fase ini adalah waktu yang baik untuk melibatkan anak di dalam mempersiapkan makanan mereka. Anak mulai diberikan kesempatan untuk memilih makanan atau membantu membersihkan bahan makanan saat orang tua memasak.   

                PERILAKU MAKAN ANAK USIA PRA SEKOLAH

                • Mulai mampu mengatur sendiri porsi makannya. Asupan makan bisa naik turun tergantung makanan yang dimakan. Oleh sebab itu orang tua kurang disarankan terlalu memaksa anak untuk selalu menghabiskan makanannya.
                • Meniru perilaku makan orang dewasa atau teman sebayanya. Orang tua atau pengasuh harus menjadi role model makan makanan sehat.
                • Cenderung makan makanan yang sama, yang mereka anggap enak, untuk beberapa waktu tertentu.
                • Mulai tertarik dengan iklan dan tampilan makanan. Orang tua atau pengasuh harus mampu menyajikan tampilan makanan yang menarik untuk anak.
                • Memilih makanan yang sudah familiar bagi mereka. Lingkungan mempengaruhi preferensi atau pemilihan makanan. Misalnya teman sebayanya atau orang tua suka makan tempe, maka hal itu pun akan diikuti oleh anak. 
                • Kesukaan atau ketidaksukaan anak terhadap makanan tertentu dipengaruhi oleh perasaan atau peristiwa di masa lalu. Contohnya anak menyukai kue karena kue tersebut merupakan pemberian temannya saat ulang tahun. Demikian sebaliknya, anak bisa menjadi trauma dan tidak suka makan makanan tertentu karena orangtua pernah memarahinya saat anak tidak menghabiskan makanan tersebut.  
                • Cenderung menolak makanan baru, namun bisa diatasi dengan memperkenalkan makanan baru tersebut secara berulang-ulang sampai anak menerimanya. 

                               

                                        Apakah aku terkena sindrom FoMO? Bagaimana cara mengatasinya?

                                        ArtikelBlog Tuesday, 2 November 2021

                                        Apakah aku terkena sindrom FoMO? Bagaimana cara mengatasinya?
                                        Ditulis oleh: Agustin Andhika Putri
                                        Editor: Lisa Sunaryo Putri

                                        Photo by Vladimir Fedotov on Unsplash

                                        Media sosial tidak dapat dilepaskan dari kehidupan individu khususnya remaja. Media sosial seakan telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam hidupnya. Perkembangan media sosial yang semakin cepat membuat penggunanya tidak ingin tertinggal mengenai informasi baru. Rasa penasaran yang tinggi membuat remaja berusaha untuk selalu up to date. Biasanya, remaja akan merasa cemas ketika dirinya ketinggalan berita dan merasa gelisah bila tidak segera terhubung atau mengikuti tren di dunia maya. 

                                        Rasa takut tertinggal oleh perkembangan informasi di media sosial sering disebut dengan Fear of Missing Out atau biasa disingkat menjadi FoMO. Sindrom FoMO dapat menyebabkan remaja lebih banyak menghabiskan waktunya di media sosial. Hal tersebut terjadi karena remaja merasa takut tertinggal dengan perkembangan jejaring sosial, takut tertinggal dengan informasi mengenai orang lain, dan ketakutan terhadap pengucilan sosial (1). FoMO juga didefinisikan sebagai perasaan gelisah dan takut tertinggal apabila teman-teman melakukan atau merasakan sesuatu yang lebih baik atau lebih menyenangkan daripada apa yang sedang ia lakukan atau miliki pada saat ini (2). FoMO merupakan sindrom kecemasan sosial yang ditandai dengan keinginan untuk terus terhubung dengan apa yang sedang dilakukan oleh orang lain. 

                                        Apakah aku termasuk orang yang memiliki FoMO? Berikut adalah ciri-ciri FoMO, yaitu: 

                                        • Beranggapan orang lain lebih nyaman dan menikmati hidupnya daripada yang kita alami.
                                        • Selalu merasa ketinggalan tren dan tidak mampu melakukan seperti yang dilakukan oleh orang lain.
                                        • Merasa kehilangan sesuatu yang dirasa penting dan kehilangan tersebut membuat hidup selalu merasa kurang. 

                                        Pikiran dan anggapan tersebut dapat muncul sesaat dan setelah melihat unggahan orang lain di media sosial.

                                        Perasaan Fear of Missing Out dapat membahayakan individu karena selalu berusaha mencari informasi terbaru dan keinginan untuk selalu terlibat dalam perkembangan media sosial. Sindrom FoMO memiliki potensi untuk membahayakan diri sendiri dan orang lain, misalnya karena ingin selalu mengetahui informasi terbaru, individu tetap berselancar di dunia maya saat sedang mengemudi atau menghadiri rapat penting. Individu cenderung menggunakan media sosial secara berlebihan, berusaha menanggapi lelucon di grup obrolan secara berlebihan, dan mengikuti lifestyle orang lain di media sosial walaupun tidak sesuai dengan kepribadiannya. Oleh sebab itu, FoMO juga dikaitkan dengan individu yang memiliki autonomy yang rendah. Artinya, individu cenderung tidak memiliki kemampuan untuk memilih sesuatu berdasarkan dirinya sendiri. 

                                        Hasil survei yang dilakukan oleh Organisasi Profesi Psikologi Australia (Australian Psychological Society) atau APS menunjukkan sebanyak 50% remaja memiliki prevalensi FoMO dan 25% pada kelompok dewasa ¹. Sedangkan, survei lembaga independen kesehatan masyarakat di Inggris Royal Society of Public Health atau RSPH menemukan bahwa sebanyak 40% pengguna media sosial mengidap gangguan FoMO². Di Indonesia sendiri, beberapa fenomena FoMO memiliki dampak yang tragis. Salah satu portal berita online pernah mengangkat kasus tentang remaja berusia 15 tahun yang tewas usai melakukan selfie dari lantai lima sebuah gedung kosong di Jakarta Utara³. Perilaku yang mengikuti tren tersebut dapat mengakibatkan dampak buruk hingga menghilangkan nyawa seseorang. 

                                        Contoh kasus lain terjadi di tahun 2018. Saat itu seluruh dunia dihebohkan dengan Kiki Challenge yang pada akhirnya pihak berwajib mengeluarkan larangan untuk melakukan tarian tersebut. Kiki Challenge adalah sebuah tantangan menari yang dikemas dalam bentuk video dengan diiringi lagu Drake-In My Feelings. Sekilas hal tersebut merupakan sesuatu yang normal dilakukan. Akan tetapi, tantangan ini mengharuskan individu untuk melompat keluar dan menari di sebelah pintu mobilnya yang terbuka sedangkan mobil tersebut masih dalam kondisi berjalan. Rekan satunya di dalam mobil bertugas untuk merekam aktivitas tersebut. Hal ini tentu membuat polisi geram karena dapat membahayakan nyawa dan mengganggu pengguna jalan yang lain4. 

                                        Individu yang memiliki gangguan FoMO yang tinggi cenderung mengalami perasaan cemas, harga diri yang rendah, dan tidak berdaya. Selain itu, individu yang mengalami perasaan FoMO yang intens, sering dikaitkan dengan peningkatan efek negatif, seperti peningkatan kelelahan, stres yang lebih besar, lebih banyak masalah tidur dan gejala fisik, sementara tidak terkait dengan afek positif dan vitalitas (3). Hal tersebut dapat terjadi karena individu yang melihat konten orang lain secara emosional akan percaya bahwa orang lain lebih bahagia, sukses, dan lebih positif secara emosional dibandingkan dengan hidup mereka sendiri. 

                                        Oleh sebab itu, Martha Beck seorang sosiolog yang pernah didiagnosis mengalami sindrom Fear of Missing Out, memberikan beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengurangi FoMO5:

                                        1. Sadarilah bahwa FoMO didasarkan pada sebuah kebohongan, seseorang yang mem-posting aktivitasnya di situs media sosial telah memilih bagian mana dari aktivitas tersebut yang akan dibagikan. 
                                        2. Lawan FoMO dengan mengubah pola pikir, seseorang dapat memakai diksi yang berbeda. Misalnya FoMO yang dimaksud adalah ‘Feel okay more often’. 
                                        3. Mengendalikan diri atau memutuskan untuk berhenti dan mengurangi waktu penggunaan media sosial. Sadari bahwa berinteraksi secara langsung lebih menyenangkan daripada melalui media sosial. 

                                        Selain itu, terdapat pula beberapa penelitian yang memberikan cara bagaimana mengatasi FoMo antara lain (1,3,4,5) :

                                        1. Terapi kognitif.
                                        2. Mengisi waktu luang dengan kegiatan yang lebih bermanfaat, seperti bergabung dengan kegiatan sosial daripada menggunakan media sosial secara intensif.
                                        3. Penjelasan penggunaan smartphone dan literasi media sosial pada masa remaja.
                                        4. Meningkatkan hubungan keluarga dan teman sebaya untuk meningkatkan kesehatan mental dan kesadaran remaja.

                                        Dari beberapa penjelasan di atas, semoga teman-teman menjadi bisa mengetahui apakah saat ini sedang mengalami FoMO. Jika iya, semangat untuk melawan dan fokus kepada pengembangan diri masing-masing. Yuk, ubah Fear of Missing Out-mu menjadi Feel Okay More Often. 


                                        1https://www.psychology.org.au/news/media_releases/8Nov2015-stress/
                                        2 https://www.rsph.org.uk/static/uploaded/d125b27c-0b62-41c5-a2c0155a8887cd01.pdf
                                        3https://news.detik.com/berita/d-3204210/asyik-selfie-siswa-smp-tewas-terjatuh-dari-lantai-5-gedung-kosong-di-koja
                                        4https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20180724150946-255-316593/bahaya-di-balik-viralnya-keke-challenge
                                        5https://www.huffpost.com/entry/fomo-fear-of-missing-out_n_3685195

                                        Daftar Pustaka

                                        1. Coskun, S. (2019). Investigation of problematic mobile phones use and fear of missing out (fomo) level in adolescents. Community Mental Health Journal, 55, 1004–1014
                                        2. Akbar, R. S., Aulya, A., Apsari, A., & Sofia, L. (2018). Ketakutan akan kehilangan momen (fomo) pada remaja kota samarinda. Psikostudia: Jurnal Psikologi, 7(2), 38–47.
                                        3. Milyavskaya, M., Saffran, M., Hope, N., & Koestner, R. (2018). Fear of missing out: Prevalence, dynamics, and consequences of experiencing FoMO. Motivation and Emotion, 42(5), 725–737. https://doi.org/10.1007/s11031-018-9683-5.
                                        4. Dossey, L. (2014). FoMO, digital dementia, and our dangerous experiment. Explore: The Journal of Science and Healing, 10(2), 69–73. https://doi.org/10.1016/j.explore.2013.12.008.
                                        5. Akbay, S. E. (2019). Smartphone addiction, fear of missing out, and perceived competence as predictors of social media addiction of adolescents. European Journal of Educational Research, 8(2), 559–566. https://doi.org/10.12973/eu-jer.8.2.559.

                                        Module 3: Disability Across Lifespan Development

                                        Artikel Liputan KegiatanBlogEventSummer Course Sunday, 17 October 2021

                                        Liputan Kegiatan Summer Course Module 3: Disability Across Lifespan Development

                                        Center for Life-Span Development (CLSD) berkolaborasi bersama ahli studi Indonesia dan internasional menyelenggarakan summer course bertema International Online Summer Course on Disability and Lifespan Development: Indonesia and Global Perspectives. Summer course yang merupakan buah kerja sama antara CLSD, Fakultas Psikologi, dan OIA (Office of International Affairs) UGM ini turut mengundang 16 pembicara internasional yang berasal dari Malaysia, Inggris, Australia, Selandia Baru, Belanda, dan Amerika Serikat, serta diikuti oleh kurang lebih 45 mahasiswa dan profesional tingkat internasional yang berasal dari berbagai penjuru dunia, seperti Afrika Barat, Australia, Pakistan, Nepal, Tanzania, Filipina, Ghana, Bangladesh, Malaysia, Iran, Romania, Nigeria, Afrika Selatan, serta Amerika Serikat.

                                        Kuliah kesembilan berjudul Children with Disabilities and Life-Span Development Issues yang juga merupakan sesi pertama dari modul ketiga diselenggarakan pada Selasa, 31 Agustus 2021. Dimoderatori oleh  Hanifah Nurul Fatimah, S.Psi., M.Sc., kuliah ini disampaikan oleh Prof. Irwanto dari Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya yang membahas disabilitas pada anak-anak serta permasalahan rentang perkembangan hidup yang ada. Prof. Irwanto menjelaskan pengasuhan anak berkebutuhan khusus dari perspektif perkembangan rentang kehidupan. Beliau membagi pembahasan topik ini ke dalam dua aspek, yang pertama adalah penguraian isu-isu tentang pemahaman disabilitas dalam konteks budaya. Pada bagian ini, Prof. Irwanto menjelaskan apa itu disabilitas, siapa yang mendefinisikan disabilitas dan konsekuensinya, seperti apa kearifan lokal berperan, serta model dan dampak apa saja yang dimiliki disabilitas terhadap kebijakan publik. 

                                        Pada aspek kedua, Prof. Irwanto berbicara tentang disabilitas dari perspektif perkembangan manusia. Kerangka kerja yang beliau gunakan pada aspek  ini adalah rentang perkembangan hidup (life-span development), perkembangan siklus hidup (life-cycle development), model Continuum of care, serta ekologi pembangunan manusia dan isu-isu strategis. Terakhir, Prof. Irwanto turut menyampaikan penjelasan tentang pola asuh bagi anak berkebutuhan khusus, yang di antaranya berhubungan dengan persoalan pola asuh sebagai kebijakan publik, membantu orang tua, dan peran program perlindungan sosial.

                                        Selanjutnya, Lecture #10 yang dimoderatori oleh Ammik Kisriyani, S.Psi., MA pada hari Jumat, 3 September 2021 pukul 16:00 – 18.00 WIB disampaikan oleh dosen Fakultas Psikologi UGM, Supra Wimbarti, M.Sc., Ph.D yang membahas mengenai Learning disability and neuropsychology. Pada kuliahnya, beliau menjelaskan mengenai dua jenis learning disability atau kesulitan belajar yang paling populer, yaitu disleksia dan diskalkulia yang disebabkan oleh persoalan neurologis. Berbeda dengan disleksia yang telah banyak diteliti sejak lebih dari 50 tahun yang lalu, diskalkulia nyatanya masih memerlukan banyak penelitian yang lebih mendalam. Menurut pemaparan Dr. Wimbarti, keduanya merupakan disabilitas yang menjadi perhatian bagi para profesional seperti psikolog, neuropsikolog, neuropediatri, psikiater, guru, dan tentunya orang tua dari anak yang mengalami disleksia dan disalkulia.  Sebagai salah satu gangguan perkembangan saraf, banyak penelitian tentang kesulitan belajar ini yang melibatkan pencitraan saraf (neuroimaging) serta penerapan intervensi psikologis dan neuropsikologis pada anak, remaja, atau dewasa. Pada kuliah ini, Dr. Wimbarti secara keseluruhan membahas tentang pengertian learning disability terutama disleksia dan diskalkulia, gejala awal, etiologi, hubungan neural antara kedua gangguan tersebut, bagaimana bentuk intervensinya, serta bagaimana disabilitas belajar ditangani secara spesifik di Indonesia.

                                        Summer course pun berlanjut ke sesi ke-sebelas dengan tema Required flexibility for student voice research in inclusive education: Meeting the language (needs) of the participant yang dibawakan oleh Dr Renske Ria de Leeuw dari Saxion University of Applied Sciences, The Netherlands pada hari Selasa, 7 September 2021, 05:00 – 07.00 PM Jakarta (GMT +7). Pada sesi yang dimoderatori oleh Dr. Wuri Handayani ini, Dr. de Leeuw menjelaskan mengenai fleksibilitas dalam memenuhi kebutuhan bahasa dan komunikasi anak-anak serta siswa penyandang disabilitas. Beliau  menekankan bahwa setiap siswa memiliki perbedaan, terutama pada setting pendidikan inklusif. Ketika mendengar suara siswa (student voice) dalam pendidikan inklusif, penting bagi kita untuk menjadi peka  dalam aspek budaya, perkembangan, serta kontekstual. Secara umum, Dr. de Leeuw menyampaikan tentang keragaman perkembangan bahasa pada anak dan anak penyandang disabilitas, hak-hak anak dan suara siswa, bagaimana cara memenuhi kemampuan bahasa dan komunikasi anak/siswa, apa itu metodologi Q, serta apa metode penelitian yang fleksibel untuk mencari tahu lebih lanjut hal-hal yang dibutuhkan siswa. Oleh karena itu, peserta pada kuliah ini diperkenalkan dengan metodologi Q dan berbagai aplikasi dari metode tersebut, yang secara bersamaan menunjukkan seperti apa fleksibilitas metode penelitian dalam rangka memenuhi kebutuhan bahasa dan komunikasi dari peserta yang beragam.

                                        Sesi ke-dua belas yang berjudul Self determination and agency in children and youth voices, dilaksanakan pada Jumat, 17 September 2021 pukul 16.00 – 18.00 WIB dan menandakan berakhirnya modul ketiga. Dimoderatori oleh Dr. Wuri Handayani,kuliah ini dibawakan oleh dosen Fakultas Psikologi UGM, Elga Andriana, Ph.D, yang juga merupakan seorang peneliti di bidang pendidikan inklusi, penelitian yang melibatkan  anak-anak, serta Universal Design Learning. Pada kuliah ini, beliau  ditemani oleh tiga rekan penelitinya, yaitu Raditya Setadewa (Sekolah Tumbuh), Keanu Arya (SMKN 5 Yogyakarta), dan Ezra Prabu (Institut Seni Indonesia). Bersama-sama, keempat narasumber membahas dan berbagi tentang bagaimana dukungan dapat diberikan agar anak-anak merasa percaya diri sebagai rekan peneliti (kompetensi); merasa mandiri dalam menentukan pilihan selama tahap penelitian (otonomi); dan merasa terhubung dengan orang lain di sekolah dan masyarakat luas selama proyek (keterkaitan). Selain membagikan pengamatannya tentang self-determination pada  anak-anak dan remaja dalam aktivisme mereka, Dr. Andriana juga mempresentasikan teori dan praktik tentang self-determination dan penelitian dengan anak-anak. .  

                                        (SRP/SNH CLSD)

                                        Short News: Teenager-Related Cyberbullying Case in Indonesia

                                        ArtikelArtikelArtikel Liputan KegiatanBlog Thursday, 23 September 2021

                                        Kurnia Yohana Yulianti, S.Psi., M.Sc. dan Acintya Ratna Priwati, S.Psi., M.A. yang merupakan peneliti dari Center for Life-Span Development (CLSD) berkolaborasi dengan Center for Digital Society (CfDS) melakukan riset berjudul: Fenomena Cyberbullying pada Remaja di Indonesia (Teenager-Related Cyberbullying Case in Indonesia) yang berlangsung dari tahun 2020 hingga pertengahan tahun 2021.

                                        Penelitian ini dilatarbelakangi oleh fenomena penggunaan media sosial yang kini telah menjadi bagian integral kehidupan sehari-hari terlebih pada generasi muda. Bagi mereka, media sosial menjadi sarana yang tepat untuk mengekspresikan perasaan, bersosialisasi dengan teman sebaya, dan mengeksplorasi identitas pribadi tanpa harus melakukan interaksi tatap muka. Namun, terdapat bahaya cyberbullying yang mengintai anak-anak muda di media sosial. Pada tahun 2016, KPAI mencatat 904 kasus bullying online terhadap anak di bawah umur. Selain itu, sebuah survei pada 495 murid SMA di Yogyakarta juga menemukan bahwa sebanyak 80% responden telah mengalami cyber victimization (Safaria dkk., 2016). 

                                        Cyberbullying yang didefinisikan sebagai kerugian yang disengaja dan berulang yang ditimbulkan melalui komputer, ponsel, dan perangkat elektronik lainnya (Patchin & HInduja, 2015) berusaha diteliti melalui perspektif psikologis dan sosiologis dalam penelitian ini. Pada perspektif psikologis, digunakan Theory of Planned Behavior yang telah banyak dilibatkan dalam memahami isu cyberbullying pada remaja. Di samping itu, peneliti juga menilik dua faktor normatif pribadi (extended) yang dapat mempengaruhi intensi perilaku individu serta proses pengambilan keputusan, norma-norma moral, serta anticipated regret. Melalui perspektif sosiologis, penelitian ini berusaha menjelaskan bagaimana ketidakseimbangan kekuasaan (power imbalances) dapat berkontribusi dalam berkembangnya praktik cyberbullying di antara remaja. Dengan begitu, penelitian ini berusaha meneliti peran media sosial dalam fenomena cyberbullying pada remaja di Indonesia.

                                        Disesuaikan dengan tujuan penelitian, peneliti menggunakan metode pendekatan campuran. Pengumpulan data dilakukan melalui survei, focus group discussion (FGD), dan wawancara. Survei nasional dilakukan pada 34 provinsi di Indonesia untuk mengumpulkan data kuantitatif mengenai perspektif dan pengalaman remaja Indonesia tentang cyberbullying. Sampel dipilih berdasarkan stratified random sampling untuk memastikan representasi remaja di seluruh Indonesia. Sesi wawancara melibatkan 6 pasangan orangtua dari remaja berusia 13-18 tahun. Sementara itu, sesi FGD melibatkan partisipan dari SMA 1 Bantul, SMP 2 Lendah, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kementerian Pendidikan, Komisi Perlindungan Anak, Clerry Cleffy Institute, dan SEJIWA Foundation. 

                                        Berdasarkan data yang didapat, sejumlah 3077 partisipan memenuhi kriteria dan merespon kuesioner. Secara keseluruhan, 1182 partisipan atau 38.41% mengaku sebagai cyber-offender dan 45.35% merupakan cyber-victims. Pelaku siber menggunakan tiga platform media sosial terbanyak masing-masing di WhatsApp, Instagram, dan Facebook. Pelaku melakukan  cyberbullying dalam bentuk perilaku merendahkan (menyebarkan gosip dan rumor), dan mengucilkan (mengisolasi orang lain dari grup yang diikuti di platform online). Dengan membandingkan tingkat pendidikan peserta, ditemukan bahwa lebih banyak siswa sekolah menengah yang terlibat dalam pencemaran nama baik dan pengucilan. Data tersebut juga menunjukkan bahwa partisipan pria lebih banyak terlibat dalam cyberbullying melalui pelecehan dan pengucilan dan partisipan perempuan lebih banyak terlibat dalam perilaku pencemaran nama baik. Sedangkan secara kualitatif, survei menunjukkan bahwa cyberbullying merupakan fenomena umum di kalangan remaja Indonesia. Tidak hanya rentan menjadi korban, remaja juga bisa menjadi pelaku cyberbullying.

                                        Adapun terkait strategi dan intervensi, berdasarkan penelitian kami, diperoleh pendekatan alternatif untuk mengatasi cyberbullying di kalangan anak muda Indonesia,  yaitu program anti-cyberbullying dengan menggunakan TPB sebagai kerangka teoritisnya. Program ini berfokus pada determinan niat dan perilaku cyberbullying yang terkait dengan faktor internal (yaitu sikap, keyakinan, dan kontrol perilaku yang dirasakan) dan faktor eksternal (yaitu bagaimana orang lain menanggapi perilaku tersebut).

                                        Secara praktis, kerangka TPB dapat diimplementasikan melalui strategi berikut:

                                        • Memberikan dan mensosialisasikan informasi yang relevan tentang pengertian cyberbullying sesuai konteks Indonesia. 
                                        • Memberikan pengetahuan dan kesadaran tentang akibat negatif dari perilaku terkait.
                                        • Pemberdayaan dan pelatihan bagi orang tua dan guru sekolah atau konselor tentang pelaksanaan program TPB.
                                        • Memberikan koordinasi yang lebih komprehensif antar pemangku kepentingan untuk memperkuat sistem perlindungan di ruang online, terutama untuk anak-anak. 
                                        • Meningkatkan kerja kolaboratif antar pemangku kepentingan, baik di tingkat nasional dan lokal, tentang tindakan pencegahan.

                                        (sumber foto: RODNAE Productions from Pexels)


                                        Penelitian ini merupakan salah satu upaya paling awal dan komprehensif untuk memahami cyberbullying remaja di Indonesia. Oleh karena itu, penelitian ini berkontribusi untuk membangun pengetahuan tentang fenomena cyberbullying remaja di tanah air. Hal ini dilakukan dengan menjangkau sejumlah besar responden pelajar remaja di seluruh penjuru  Indonesia. Selanjutnya, penelitian ini secara ekstensif menjelaskan cyberbullying remaja dengan menganalisis faktor psikologis dan sosiologis. Para peneliti menganalisis Perspektif Psikologis (TPB) dan menyelidiki dua faktor normatif pribadi yang diperluas yang mempengaruhi niat perilaku individu dan proses pengambilan keputusan, norma moral, dan penyesalan yang diantisipasi. Dalam arti yang lebih luas di mana lingkungan sosiologis menjadi penentu aktif fenomena tersebut, peneliti juga menemukan bahwa ketidakseimbangan kekuatan dapat berkontribusi pada menjamurnya praktik cyberbullying di kalangan remaja.

                                        Masih banyak peluang untuk menganalisis data-data tersebut secara lebih rinci. Sebagai contoh, data tersebut dapat digali untuk mengkonstruksi perspektif dan definisi masyarakat Indonesia tentang cyberbullying, seperti definisi cyberbullying dalam bahasa Indonesia masih belum jelas. Selain itu, peneliti menemukan bahwa ada beberapa definisi cyberbullying yang tidak sesuai dengan yang diidentifikasi dalam penelitian yang ada, dibandingkan dengan apa yang ditemukan di lapangan. Dengan demikian, beberapa tindakan dapat diidentifikasi sebagai cyberbullying dalam literatur, sementara tidak mungkin terjadi dalam konteks Indonesia, dan sebaliknya.

                                        Studi ini, mungkin, dapat menganalisis secara intensif mengapa beberapa daerah memiliki kasus cyberbullying yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang lain. Selain itu, penelitian ini juga dapat mencakup mengapa kasus cyberbullying di beberapa platform ditemukan lebih tinggi daripada yang lain. Terakhir, hasil penelitian ini dapat dianalisis lebih lanjut untuk mengidentifikasi rekomendasi kebijakan. 

                                        Sumber: #35 CfDS Digitimes – Teenager Related Cyberbullying Case in Indonesia ugm.id/cfdsdigitimes

                                        (SRP & SNH/CLSD)

                                        Module 2: People with Disability at the Intersection

                                        ArtikelArtikel Liputan KegiatanBlogEventSummer Course Wednesday, 8 September 2021

                                        Liputan Kegiatan Summer Course Module 2: People with Disability at the Intersection

                                        Berkolaborasi dengan ahli studi disabilitas Indonesia dan internasional, summer course bertema International Online Summer Course on Disability and Lifespan Development: Indonesia and Global Perspectives bertujuan untuk memfasilitasi pembelajaran kritis dalam menganalisis dan memahami hambatan yang dihadapi oleh penyandang disabilitas, serta mendorong pertukaran ilmu pengetahuan, diskusi, sekaligus membangun koneksi antara ilmuwan muda dan ahli-ahli berpengalaman di ranah penelitian disabilitas yang diharapkan mampu menginspirasi penelitian baru dan implementasinya di dunia nyata. Kursus musim panas ini merupakan summer course pertama yang diselenggarakan oleh Center for Life-Span Development (CLSD), Fakultas Psikologi, Universitas Gadjah Mada. 

                                        Summer course yang merupakan buah kerja sama antara CLSD, Fakultas Psikologi, dan OIA (Office of International Affairs) UGM ini turut mengundang 16 pembicara internasional yang berasal dari Malaysia, Inggris, Australia, Selandia Baru, Belanda, dan Amerika Serikat. Selain itu, kegiatan summer course juga diikuti oleh kurang lebih 45 mahasiswa dan profesional tingkat internasional yang berasal dari berbagai penjuru dunia, seperti Afrika Barat, Australia, Pakistan, Nepal, Tanzania, Filipina, Ghana, Bangladesh, Malaysia, Iran, Romania, Nigeria, Afrika Selatan, serta Amerika Serikat.

                                        Lecture #5 yang merupakan sesi pertama pada modul kedua Summer Course bertajuk Women with Disabilities in Muslim Societies, diselenggarakan pada hari Selasa, 17 Agustus 2021 pada pukul 17.00 – 19.00 WIB. Dimoderatori oleh Dr. Wuri Handayani, kuliah ini disampaikan oleh dua narasumber yaitu  Dr. Dina Afrianty (La Trobe University, Australia) dan Dr. Arina Hayati (Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Indonesia). Kuliah pertama-tama dibuka oleh Dr. Arina Hayati yang menceritakan latar belakang kehidupan serta perjalanan akademiknya sebagai penyandang polio, yang kemudian dilanjutkan oleh Dr. Dina Afrianty yang memaparkan topik utama perkuliahan seputar penelitian disabilitas, interseksionalitas, disabilitas dan Islam, serta perempuan dengan disabilitas dalam masyarakat Muslim. Berdasarkan penjelasan Dr. Afrianty, disabilitas dan agama merupakan salah satu bidang penelitian yang sedang berkembang. Mempelajari ajaran agama tentang disabilitas membantu kita memahami perlakuan dan persepsi masyarakat tentang disabilitas, bagaimana disabilitas digambarkan dalam tradisi dan yurisprudensi suatu agama (di mana dalam kuliah ini adalah Islam), serta memahami terminologi disabilitas dalam sumber-sumber kitab suci dan tradisi dalam Islam. 

                                        Adapun Lecture #6 yang dilaksanakan pada hari Kamis, 19 Agustus 2021 pada pukul 17.00 – 19.– WIB dengan penyampaian materi oleh Herbert Klein (European Society for Mental Health and Deafness, UK) dan Laura Lesmana Wijaya Ketua Pusbisindo (Sign Language Center Indonesia) menjelaskan tentang kesehatan mental kelompok tuli di Indonesia. Merupakan seorang penasihat independen terkemuka dengan jam terbang dan pengalaman luas di bidang mental health services mulai dari fasilitator komunikasi, deaf advisor, dosen tamu, trainer, konselor, hingga deaf therapist, Herbert Klein yang berasal dari Inggris pada kuliah ini menyajikan perbandingan pelayanan kesehatan mental untuk orang-orang tuli di sana dengan yang ada di Indonesia sekaligus memberi gambaran mengenai bagaimana langkah-langkah yang bisa ditempuh selanjutnya. Adapun Laura Lesmana Wijaya yang mengetuai Pusbisindo Indonesia juga aktif sebagai seorang penggiat kampanye hak-hak orang tuli dan menempuh pendidikan di Universitas Hongkong di bidang Linguistik Bahasa Isyarat. Bersama-sama, Laura dan Herbert bekerja sama dengan pemerintah Indonesia pada tahun 2015 membuat perencanaan dalam jangka waktu lima tahun berupa suatu organisasi yang berfokus memperjuangkan hak tuli (seperti akses bahasa Indonesia melalui teks, akses bahasa isyarat, akses kesetaraan dalam pekerjaan, akses kesehatan, akses pendidikan, dan sebagainya) bernama Gerakan untuk Kesejahteraan Tunarungu Indonesia (Indonesian Association for the Welfare of the Deaf). Kuliah ini pun turut dihadiri oleh Surya Sahetapy, yaitu juru bahasa isyarat, aktor, dan aktivis Tuli terkenal di Indonesia.

                                        Summer course pun berlanjut ke sesi ketujuh dengan tema People with Disabilities and Socioeconomic yang dibawakan oleh Dr. Wuri Handayani (Universitas Gadjah Mada, Indonesia) pada hari Selasa, 24 Agustus 2021 pada pukul 17.00 – 19.00 WIB. Seorang dosen dan peneliti di bidang Ekonomi yang juga seorang penyandang disabilitas, Dr. Wuri Handayani menjelaskan mengenai konsep status sosioekonomi secara umum dan dari sudut pandang pandemi serta membahas lingkaran setan yang ada antara disabilitas dan kemiskinan baik dari perspektif internasional maupun Indonesia. Dr. Handayani juga menjelaskan tentang implikasi-implikasi yang diakibatkan oleh ketidakakuratan data pada penyandang disabilitas, regulasi dan permasalahan yang dihadapi dalam membangun edukasi inklusif, partisipasi penyandang disabilitas sebagai tenaga kerja serta perbedaan upah, dan cara memutus vicious cycle disabilitas dan kemiskinan di Indonesia.

                                        Sesi kedelapan yang sekaligus menandakan berakhirnya modul kedua dilaksanakan pada Kamis, 26 Agustus 2021 pukul 16.00 – 18.00 WIB dan dibawakan oleh Dr. Sutarsa Nyoman (Australian National University, Australia). Dr. Sutarsa Nyoman memaparkan kuliah dengan tema Biomedical Power in Shaping Body with Illness and Disability sebelum membagi partisipan ke dalam breakout room untuk mendiskusikan sebuah studi kasus terkait materi yang disampaikan. Pada kuliahnya, Dr. Sutarsa Nyoman mengajak peserta untuk mengidentifikasi kelebihan dan keterbatasan dari model biomedis dan sosial pada diskursus disabilitas. Beliau juga menjelaskan bagaimana cara mengaplikasikan kedua model tersebut dalam memandang masalah serta merencanakan solusi untuk orang-orang yang hidup dengan different abilities, sebelum mendorong peserta untuk berdiskusi mengenai pentingnya interseksionalitas dalam diskursus disabilitas.

                                        (SRP & SNH/CLSD)

                                        12345

                                        Recent Posts

                                        • Mendidik Anak dengan Bahasa Cinta
                                        • Eco-Conscious Parenting: Menumbuhkan Praktik Berkelanjutan pada Perkembangan Anak
                                        • Memahami Pendidikan untuk Pembangunan Berkelanjutan di Kedai Kopi
                                        • Membangun Kembali Kegembiraan: Pentingnya Bermain Bagi Kesejahteraan Mental Bagi Masyarakat
                                        • Keterlibatan Ayah pada Pengasuhan Anak Usia Dini
                                        Universitas Gadjah Mada

                                        Center for Life-Span Development (CLSD)
                                        D-602, Fakultas Psikologi, Universitas Gadjah Mada
                                        Jalan Sosio Humaniora Bulaksumur, Yogyakarta, Indonesia 55281
                                        clsd.psikologi@ugm.ac.id

                                        © Universitas Gadjah Mada

                                        KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY

                                        [EN] We use cookies to help our viewer get the best experience on our website. -- [ID] Kami menggunakan cookie untuk membantu pengunjung kami mendapatkan pengalaman terbaik di situs web kami.I Agree / Saya Setuju