• Home
  • About Us
    • Managing Team
    • Researchers
    • Interns
    • Associates
  • Articles
  • Courses
  • Activities
    • CLSD Reader’s Club
    • Research of Baby Screening
    • COMPRE Class
    • Summer Course
    • Photovoice
    • SAELA
    • Community Service
  • Research & Publication
Universitas Gadjah Mada Center for Life-Span Development (CLSD)
Faculty of Psychology
Universitas Gadjah Mada
  • Home
  • About Us
    • Managing Team
    • Researchers
    • Interns
    • Associates
  • Articles
  • Courses
  • Activities
    • CLSD Reader’s Club
    • Research of Baby Screening
    • COMPRE Class
    • Summer Course
    • Photovoice
    • SAELA
    • Community Service
  • Research & Publication
  • Beranda
  • Blog
  • page. 4
Arsip:

Blog

Kursus Intensif Metode Penelitian Naratif

ArtikelBlogEvent Wednesday, 29 December 2021

Kursus Intensif Metode Penelitian Naratif

Center for Life-Span Development (CLSD) dan Program Studi Doktor Ilmu Psikologi, Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada kembali menyelenggarakan Kursus Intensif Metode Penelitian Naratif yang diadakan selama empat hari yaitu Selasa, 16 November 2021 hingga Jumat, 19 November 2021. Kursus yang diikuti oleh sejumlah mahasiswa Prodi Doktor Ilmu Psikologi (S3) Fakultas Psikologi UGM dan juga terbuka untuk umum dengan kuota terbatas ini dibawakan oleh empat narasumber yang merupakan ahli di bidangnya. Keempat narasumber masing-masing membawakan dua materi dalam satu hari secara berkelanjutan. Berikut adalah daftar narasumber dengan topik-topik yang disampaikan:

1️⃣ Sejarah dan Perkembangan Penelitian Naratif
Pemateri: Edilburga Wulan Saptandari, M.Psi., Ph.D., Psikolog
Selasa, 16 November 2021 (10.00 – 11.00 WIB)

2️⃣ Teori dan Desain Penelitian Naratif
Pemateri: Edilburga Wulan Saptandari, M.Psi., Ph.D., Psikolog
Selasa, 16 November 2021 (11.00 – 13.00 WIB)

3️⃣ Metode Pengumpulan Data Naratif
Pemateri: Made Diah Lestari, Ph.D (Cand)
Rabu, 17 November 2021 (13.00 – 15.00 WIB)

4️⃣ Praktik Metode Pengumpulan Data Naratif
Pemateri: Made Diah Lestari, Ph.D (Cand)
Rabu, 17 November 2021 (15.00 – 17.00 WIB)

5️⃣ Beragam Pendekatan Analisis Naratif
Pemateri: Prof. Dr. Heddy Shri Ahimsa-Putra, M.A., M.Phil.
Kamis, 18 November 2021 (10.00 – 12.00 WIB)

6️⃣ Praktik Analisis Naratif
Pemateri: Prof. Dr. Heddy Shri Ahimsa-Putra, M.A., M.Phil.
Kamis, 18 November 2021 (13.00 – 15.00 WIB)

7️⃣ Penyajian Hasil Penelitian Naratif
Pemateri: Elga Andriana, S.Psi., M.Ed., Ph.D
Jumat, 19 November 2021 (13.00 – 14.00 WIB)

8️⃣ Presentasi Penelitian/Outline Penelitian Naratif
Pemateri: Elga Andriana, S.Psi., M.Ed., Ph.D
Jumat, 19 November 2021 (14.00 – 16.00 WIB)

Tiap sesi diawali dengan penyampaian materi dan diakhiri dengan tanya-jawab antara peserta dan narasumber. Pada sesi keenam, sejumlah peserta yang merupakan perwakilan dari peserta umum dan mahasiswa melakukan presentasi mengenai rancangan riset yang menggunakan metodologi kualitatif dengan metode penelitian naratif. Di penghujung sesi, peserta mendapatkan sertifikat elektronik serta akses materi kursus. Melalui webinar ini, diharapkan peserta memperoleh wawasan mengenai seperti apa dan bagaimana cara melaksanakan penelitian dengan metode naratif.

(SRP/CLSD)

Mendukung Hubungan Sehat Pada Dewasa Muda Dengan Disabilitas, Bagaimana Caranya?

ArtikelBlog Wednesday, 22 December 2021

Mendukung Hubungan Sehat Pada Dewasa Muda dengan Disabilitas, Bagaimana Caranya?

oleh: Munadira
editor: Resti Fahmi Dahlia

Photo by Ivan Samkov from Pexels

Cinta adalah perasaan natural yang dirasakan oleh tiap individu. Usia dewasa muda kerap dikaitkan dengan usia dimana hubungan romantis menjadi suatu kebutuhan. Hubungan percintaan memungkinkan kita untuk tetap terhubung satu sama lain dan juga melindungi kita dari perasaan kesepian (Ignagni, dkk., 2016).  Serupa dengan individu pada umumnya, kebutuhan terkait mencintai dan dicintai juga dirasakan oleh individu dengan disabilitas. Kebutuhan mereka akan cinta dan koneksi sering kali dipertanyakan atau bahkan dipandang salah oleh mereka yang tidak memiliki disabilitas. Mereka seringkali mengalami stereotip budaya dan prasangka yang menyakitkan dan merusak kepercayaan diri. Mereka yang hidup dengan disabilitas juga terkadang diharapkan untuk menjalin hubungan “dengan jenisnya sendiri”. Menurut penelitian yang dilakukan Friedman (2019), partisipan penelitiannya yang merupakan individu dengan disabilitas mengalami kesulitan untuk menjalin hubungan jangka panjang dengan lawan jenis, terutama hubungan yang bersifat jangka panjang. Selain itu, mereka juga mendapatkan stigma bahwa mereka seharusnya menjalin hubungan dengan sesama individu dengan disabilitas.

Hubungan romantis yang dijalani oleh individu dengan disabilitas adalah sebuah kondisi yang menjadi perhatian dari banyak peneliti. Matilla (2017) meneliti mengenai makna cinta bagi individu dengan disabilitas. Ia menemukan bahwa partisipan penelitiannya memiliki definisi cinta yang spesifik. Penelitian Matilla (2017) mengenai hubungan romantis pada individu dengan disabilitas intelektual menemukan bahwa beberapa dari para partisipannya memiliki pacar, suami, atau istri. Para partisipan ini menggambarkan cinta dari pasangan mereka sebagai sumber berbagi perasaan dan emosi, sumber belajar, dan juga sumber berbagi perhatian (Matilla, 2017). Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Jones, dkk., (2020), juga menemukan bahwa meskipun proses pencarian cinta pada dewasa muda dengan disabilitas penuh lika-liku, ada pula sebagian dari mereka yang memiliki akhir kisah cinta yang bahagia. Beberapa partisipan dalam penelitian Jones, dkk., (2020), mengungkapkan bahwa cinta sejati mereka adalah orang yang mampu menerima disabilitas yang mereka miliki secara tulus dan tidak merendahkan.

Salah satu partisipan dalam kutipan wawancara yang dilakukan oleh Jones (2020), memaparkan:

“Saya percaya, adalah mungkin untuk menghilangkan ketakutan stereotip akan ketidakmampuan yang tidak hanya dimiliki oleh orang-orang dengan disabilitas fisik yang parah, caranya adalah dengan mendukung penyandang disabilitas yang putus asa untuk mencari cerita yang menginspirasi.”

Salah satu karya yang dapat dijadikan rujukan dalam menelusuri kisah inspiratif pasangan dengan disabilitas adalah film yang berjudul “What They Don’t “Talk About When They Talk About Love (2013)”. Film yang bercerita tentang kisah cinta pasangan difabel ini memiliki pesan bahwa ada banyak orang yang unggul dalam berbagai bidang kehidupan dan terkadang memandang keunggulan seseorang harus dipisahkan dari keterbatasan fisik. Beranjak dari penelitian dan studi kasus inspiratif dari Barat, di Indonesia, penelitian dan kisah inspiratif mengenai hubungan romantis para individu disabilitas masih sangat minim. Salah satu kisah inspiratif yang berasal dari Indonesia adalah kisah dari Wahyu dan Aslima. 

Aslima yang merupakan penyandang disabilitas sejak lahir memiliki pasangan tanpa disabilitas yang mampu memandang kekurangan yang ia miliki melalui sudut pandang yang lain (Kompas, 2014). Perjalanan cinta Aslima sendiri penuh lika-liku, sejak remaja ia sempat mengalami stigma bahwa tidak akan menikah karena keterbatasan fisik yang dialaminya. Namun, alih-alih menyerah, ia justru mengembangkan keahliannya di bidang seni hingga akhirnya dapat hidup secara mandiri. Aslima pun dipertemukan dengan Wahyu melalui seni, hal ini yang menyatukan mereka hingga akhirnya memutuskan untuk menikah. Mereka ingin membuktikan bahwa mereka bisa mandiri. Aslima juga ingin hidup seperti keluarga normal dan berperan sebagai istri pada umumnya, melayani suami, mengurus rumah, dan membesarkan anak-anak.

“Istri saya tak ada bedanya dengan perempuan lain yang badannya lengkap. Ia bisa melakukan semua pekerjaan sendiri,” ujar Wahyu (Kompas, 2014)

Aslima menyelesaikan pekerjaan rumahnya tanpa pembantu, dari mulai membersihkan rumah, memasak, mencuci, dan mengasuh anak. Ia tidak ingin keterbatasan fisiknya menghalanginya beraktivitas seperti perempuan lain. Ia juga meminta Wahyu untuk mengajari membuat kerajinan akar wangi agar bisa membantu pekerjaan suaminya. Wahyu kini memiliki dua lapak kerajinan dan cinderamata di Dusun Kinahrejo, Cangkringan.

Melalui kisah inspiratif di atas, pesan yang dapat dipetik bagi kita sebagai individu yang hidup di lingkungan beragam adalah untuk saling menghargai dan memandang bahwa setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangan yang bisa saling melengkapi dirinya. Berdasarkan pesan moral yang didapatkan dari kisah inspiratif tersebut, berikut ini kiat-kiat yang dapat dilakukan untuk mendukung individu dengan disabilitas agar turut merasakan hubungan yang percintaan yang sehat, antara lain:

  1. Percaya bahwa mereka dengan disabilitas juga memiliki perasaan dan keinginan untuk mencintai dan dicintai,
  2. Hargai perasaan mereka dan hindari stigma yang membuat mereka merasa tidak berhak akan perasaan yang dimiliki,
  3. Percaya bahwa mereka dengan disabilitas juga berhak untuk menikah dan memiliki hubungan jangka panjang yang bahagia,
  4. Individu dengan disabilitas tidak ingin dipandang berbeda atau sebagai beban dalam hubungan percintaan yang mereka jalin,
  5. Hindari kata-kata yang dapat menjatuhkan kepercayaan diri mereka saat mendengarkan cerita cinta individu dengan disabilitas,

Pada intinya, ketika individu dengan disabilitas sedang jatuh cinta, hal tersebut adalah bentuk perasaan yang murni dirasakan oleh mereka sama seperti individu pada umumnya. Penelitian Jones, dkk., (2020), mengungkapkan bahwa ketika individu dengan disabilitas percaya diri dalam hubungan romantis yang dijalin, maka ketertarikan dari lawan jenis pada diri mereka akan terpancar. Maka, lakukanlah beberapa tips di atas untuk mendukung kepercayaan diri individu dengan disabilitas dalam menjalin hubungan romantis yang sehat.

 

Referensi: 

Forrester-Jones, R., Bates, C., Skillman, K. M., & Elson, N. (2020). Love and loving relationships: What they mean for people with learning disabilities. Journal of Intellectual Disability Research, 63(7), 863-863.

Friedman, C. (2019). Intimate relationships of people with disabilities. Inclusion, 7(1), 41-56.

Gischa, S. (2021, 2 Januari). Kisah Sejati Tanpa Memandang Fisik. 

Ignagni, E., Fudge Schormans, A., Liddiard, K., & Runswick-Cole, K. (2016). ‘Some people are not allowed to love’: intimate citizenship in the lives of people labeled reference intellectual disabilities. Disability & Society, 31(1), 131-135.

Mattila, J., Määttä, K., & Uusiautti, S. (2017). ‘Everyone needs love’–an interview study about perceptions of love in people with intellectual disability (ID). International journal of adolescence and youth, 22(3), 296-307.

Memandu Anak ASD untuk Disiplin dalam Menggunakan Gadget dan Internet

ArtikelBlog Friday, 17 December 2021

Memandu Anak ASD untuk Disiplin dalam Menggunakan Gadget dan Internet

oleh: Nindya Alifia Tittani
editor: Resti Fahmi Dahlia

Photo by RODNAE Productions from Pexels

Autism Spectrum Disorder (ASD) merupakan salah satu bentuk gangguan neurodevelopmental yang dicirikan dengan adanya kesulitan dalam interaksi sosial, komunikasi, serta memiliki pola atipikal dalam aktivitas sehari-hari (1). Prevalensi anak dengan ASD memiliki peningkatan dari tahun ke tahun, data terakhir dari Centers for Disease Control and Prevention (CDC) pada tahun 2016 menyebutkan bahwa satu dari 54 anak di Amerika terdiagnosis mengalami ASD (4). World Health Organization (WHO) mengestimasikan bahwa satu dari 270 orang di seluruh dunia mengalami Autism Spectrum Disoreder (1). Meski belum terdapat data yang pasti tentang perkembangan kasus ASD di Indonesia, layanan bagi penyandang ASD dan/atau keluarganya tetap perlu diperhatikan. Kondisi ini tidak hanya berdampak pada anak dengan ASD itu sendiri, namun juga memberikan dampak psikologis yang cukup besar kepada orang tua mereka seperti stress dalam pengasuhan karena tuntutan peran serta rendahnya efikasi diri yang dimiliki karena kurangnya rasa percaya diri pada kemampuan orang tua dalam mengasuh anak dengan autism (2,3).

Pandemi COVID-19 mempengaruhi bagaimana orang tua harus mendidik dan mendampingi anak-anak mereka di rumah. Pembelajaran daring yang dilakukan oleh pihak sekolah mengharuskan para orang tua mendampingi anak-anak mereka selama belajar. Hal ini juga di lakukan oleh orang tua yang memiliki anak dengan ASD. Anak dengan ASD memiliki kondisi khusus yang mengharuskan mereka mendapatkan pelayanan pendidikan yang terfokus pada anak. Pusat terapi yang biasanya dijadikan rujukan untuk anak ASD saat ini tidak dapat melayani secara tatap muka dan mengharuskan orang tua mendampingi dan melakukan latihan sederhana agar kemampuan anak ASD yang sudah terbentuk tidak mengalami kemunduran. Selama pandemi, pembelajaran dilakukan melalui daring dan media ynag menghubungkan antara anak dengan sekolah atau pengajarnya adalah media online yang dapat di akses melalui gadget. Platform zoom dan google meet menjadi salah satu alternatif yang digunakan para pengajar untuk memberikan materi dan mengajarkan siswa-siswa mereka selama daring. 

Pembelajaran secara daring memiliki dua sisi yang saling bertolak belakang. Apabila dilakukan secara tidak tepat, hal ini akan berdampak kepada anak dan penggunaan gadget yang kurang bijak yang dilakukan oleh anak non-disabilitas maupun anak dengan disabilitas. Screentime merupakan salah satu hal yang menjadi perhatian para orang tua yang memiliki anak dengan ASD (6). Screentime yang berlebihan memiliki dampak terhadap muncul perilaku-perilaku repetitif dan stereotip pada anak ASD (5,7) Hal ini akan menurunkan hasil treatment yang sudah dilakukan di masa sebelumnya untuk mengurangi perilaku tersebut. Namun, selama pandemi orang tua dengan anak ASD tidak memiliki pilihan lain selain tetap mengikuti pembelajaran atau terapi secara daring. Berkaitan dengan dilema yang dirasakan oleh orang tua dengan anak ASD, berikut ini tips yang dapat dilakukan oleh orang tua dengan anak ASD untuk menyesuaikan pembelajaran anak secara daring (9) : 

  1. Tetapkan batas penggunaan internet.

Orang tua dapat menetapkan alokasi waktu yang menjadi kesepakatan bersama untuk bermain gadget (selain pembelajaran daring) dengan membuat tabel jadwal penggunaan gadget atau mengatur timer sebagai alarm untuk batas waktu maksimum penggunaan gadget. 

  • Membuat aturan dasar untuk penggunaan perangkat antara anak dan orang tua. 

Aturan dasar untuk penggunaan gadget dan internet adalah hal yang penting untuk semua anak, termasuk anak dengan ASD. Aturan yang dibuat oleh orang tua harus singkat dan jelas. Tujuan dari aturan ini adalah memberi tahu anak apabila ia melanggar peraturan mereka akan kehilangan hak istimewa untuk menggunakan gadget dan bermain secara daring untuk sementara. Misalnya, aturan untuk tidak boleh berkomunikasi dengan orang asing di media sosial atau hanya memperbolehkan membuka situs web tertentu, lalu apabila anak melanggar peraturan ini orang tua dapat menarik hak anak menggunakan gadget dalam kurun beberapa waktu sesuai perjanjian dengan anak.

  • Memantau anak pada saat menggunakan internet dan gadget 

Orang tua atau pendamping diusahakan tetap memantau kegiatan anak selama mereka menggunakan gadget dan bermain secara daring. Orang tua dapat mengecek secara berkala mengenai situs-situs yang dibuka oleh anak maupun membatasi situs-situs online yang kurang pantas untuk anak melalui setting pada gadget yang dimiliki. Hal ini secara otomatis akan membatasi ruang anak dalam berselancar di internet dan bermain secara daring. Sehingga, anak akan terpantau dan terlindungi dari situs-situs yang kurang pantas untuk anak-anak.  

  • Gunakan teknologi sebagai suplemen untuk interaksi sosial secara langsung.

Teknologi menawarkan banyak peluang sosial, tetapi hal ini tidak boleh menjadi perangkat utama yang mengalihkan semua interaksi sosial yang dapat dilakukan oleh anak secara langsung (secara tatap muka). Orang tua yang memiliki anak dengan ASD dapat mengondisikan anak untuk menggunakan gadget sebagai alat bantu dalam berintekasi, seperti menjadikan gadget alat perantara untuk bermain secara kelompok yang mana hal ini belum dapat dilakukan dalam kondisi pandemi. Namun, orang tua juga harus tetap mendampingi anak bermain di luar jam bermain gadget sehingga anak merasa bahwa waktu luang tanpa gadget juga merupakan hal yang menyenangkan. 

Tips ini dapat digunakan oleh para orang tua untuk menanggulangi adiksi pada gadget yang memungkinkan untuk terjadi pada anak. Teknologi yang terus berkembang tidak dapat dihentikan maupun dihindari keberadaannya. Anak dengan ASD juga tidak sepatutnya dijauhkan secara permanen dengan gadget ataupun teknologi lain (9). Gadget dan internet juga dapat memiliki fungsi yang baik dan dapat meningkatkan kemampuan di ranah tertentu (seperti: kemampuan problem solving, social awareness) yang mereka pelajari secara tidak langsung melalui video yang mereka lihat di internet maupun permainan online yang mereka ikuti. Cabibihan, Javed, Aldosari, Frazier, dan Elbashir (2017) menemukan bahwa teknologi dan gadget memiliki dampak yang positif terhadap perkembangan anak ASD. Namun, kedua hal ini tetap memerlukan bimbingan dari orang dewasa di sekitar anak sehingga anak tidak dapat sepenuhnya dilepaskan dan dibiarkan untuk bermain gadget tanpa aturan dan batasan waktu (8). 

Nah, berdasarkan informasi dan tips dari artikel ini, semoga parents tidak lagi merasa bimbang untuk memberikan kesempatan anak dalam menggunakan gadget maupun internet. Namun, apabila dirasa membutuhkan bantuan dari professional, parents dapat menghubungi layanan kesehatan/ professional  terdekat atau terpercaya untuk konsultasi lebih lanjut mengenai penetapan jadwal maupun kondisi-kondisi anak yang terdampak dari penggunaan gadget yang kurang bijak di masa sebelumnya. 

Referensi:

  1. WHO. (2021, 1 Juni). Autism Spectrum Disorders
  2. Bearss, K., Burrell, T. L., Stewart, L., & Scahill, L. (2015). Parent Training in Autism Spectrum Disorder: What’s in a Name? Clinical Child and Family Psychology Review, 18(2), 170–182. https://doi.org/10.1007/s10567-015-0179-5 
  3. Crowell, J. A., Keluskar, J., & Gorecki, A. (2019). Parenting behavior and the development of children with autism spectrum disorder. Comprehensive Psychiatry, 90, 21–29. https://doi.org/10.1016/j.comppsych.2018.11.007 
  4. Maenner, M. J., Shaw, K. A., Baio, J., et al. (2020). Prevalence of autism spectrum disorder among children aged 8 years — autism and developmental disabilities monitoring network, 11 sites, united states, 2016. MMWR Surveill Summ, 69:1–12. DOI: http://dx.doi.org/10.15585/mmwr.ss6904a1external icon
  5. Dong, H. Y., Wang, B., Li, H. H., Yue, X. J., dan Jia, F. (2021). Correlation between screen time and autistic symptoms as well as development quotients in children with autism spectrum disorder. Front. Psychiatry. (12). doi: 10.3389/fpsyt.2021.619994
  6. Stiller, A., Weber, J., Strube, F., dan Moessle. (2019). Caregiver reports of screen time use of children with autism spectrum disorder: A qualitative study. Behav. Sci, 9(56). doi:10.3390/bs9050056
  7. Hermawati, D., Rahmadi, F. A., Sumekar, T. A., Winarni, T. I. (2018). Early electronic screen exposure and autistic-like symptoms. J-STAGE. doi: 10.5582/irdr.2018.01007
  8. Cabibihan, J., Javed, H., Aldosari, M., Frazier, T. W., dan Elbashir, H. (2017). Sensing technologies for autism spectrum disorder screening and intervention. Sensors, 17(46). doi:10.3390/s17010046
  9. UNICEF. (2017). Children in digital a world. Division of Communication UNICEF.

Optimalisasi Pengasuhan ABK di Masa Pandemi

ArtikelBlog Monday, 13 December 2021

Optimalisasi Pengasuhan ABK di Masa Pandemi

oleh: Resti Fahmi Dahlia
editor: Diah Dinar Utami

Photo by Cliff Booth from Pexels

Coronavirus disease 2019 (COVID-19) merupakan salah satu permasalahan kesehatan yang sedang dihadapi oleh masyarakat di seluruh dunia, tidak terkecuali di Indonesia. Di Indonesia sendiri, dampak pandemi COVID-19 mempengaruhi berbagai macam sektor seperti ekonomi, pendidikan, dan kesehatan. Selain itu, pandemi juga dirasakan oleh anak-anak, orang dewasa, pelajar, orang tua siswa, dan guru. Kondisi psikologis seperti kecemasan, stres, dan depresi juga dirasakan oleh para siswa hingga mahasiswa di Indonesia, baik individu tanpa disabilitas maupun individu dengan disabilitas. Kondisi pandemi ini membuat pemerintah mengeluarkan keputusan melalui surat edaran nomor 4 tahun 2020 mengenai pembelajaran jarak jauh. Pembelajaran jarak jauh dengan mengutamakan keselamatan peserta didik, pendidik, tenaga kependidikan, keluarga dan masyarakat serta mempertimbangkan tumbuh kembang siswa dan kondisi psikososial dalam upaya pemenuhan layanan pendidikan selama pandemi COVID-192. 

Publikasi penelitian mengenai dampak permasalahan COVID-19 pada individu dengan disabilitas mulai bermunculan, diantaranya penelitian yang dilakukan oleh Turk dan McDermott4 yang meneliti dampak pandemi terhadap individu dengan intelectual disability disorder. Penelitian ini menemukan bahwa permasalahan yang dihadapi individu dengan intellectual disability disorder terkait dengan kegiatan sehari-hari, sehingga hal tersebut mengakibatkan adanya perubahan perilaku individu. Hal ini sejalan dengan kajian yang telah dilakukan oleh Radissa, Wibowo, Humaedi dan Irfan3 di Indonesia yang menemukan bahwa individu dengan kebutuhan khusus merupakan kelompok paling rentan dalam situasi pandemi. Hal ini disebabkan oleh pemenuhan kebutuhan yang terganggu, pembatasan secara sosial yang menyebabkan kesulitan akses kesehatan dan pemenuhan akses informasi mengenai COVID-19 yang cenderung sulit karena kebijakan yang masih abai terhadap individu dengan kebutuhan khusus.

Selain memiliki dampak terhadap individu dengan kebutuhan khusus, situasi pandemi juga memiliki dampak terhadap keluarga yang memiliki anggota dengan kebutuhan khusus5. Penelitian yang dilakukan Amorim, dkk.,6 menunjukkan bahawa sebagain besar orang tua yang memiliki anak dengan autism spectrum disorder memiliki emosi yang negatif berkaitan dengan situasi pandemi COVID-19. Selanjutnya, literatur dari Asbury, Fox, Deniz, Code dn Toseeb (2021) menunjukkan bahwa keluarga yang memiliki anak dengan kebutuhan khusus mengalami permasalahan kesehatan mental yang buruk dan mereka merasa berada dibawah tekanan selama pandemi COVID-19. Penelitian-penelitian yang telah dibahas menunjukkan bahwa orang tua dan keluarga sebagai caregiver anak berkebutuhan khusus memiliki kerentanan terhadap stres ketika menghadapi pandemi COVID-19 dengan metode pembelajaran jarak jauh dan penerapan sistem jaga jarak antar individu. 

Salah satu hal yang diperlukan orang tua yang sekaligus berperan sebagai caregiver anak berkebutuhan khusus di rumah adalah dengan memiliki strategi koping untuk menghadapi situasi saat ini yang tidak menentu dan berubah-ubah. Strategi koping adalah suatu strategi yang digunakan oleh individu untuk menghadapi situasi yang menekan dan mengolahnya sesuai dengan sumber daya dalam diri yang dimiliki7.

Berikut ini adalah beberapa hal yang dapat dilakukan sebagai coping oleh keluarga yang memiliki ABK untuk menghadapi situasi yang tak menentu8:

  • Planning

Orang tua dapat melakukan penjadwalan mengenai hal-hal yang dapat dilakukan oleh orang tua dan anak selama kegiatan dilakukan di rumah. Penjadwalan mengenai kegiatan harian dan kegiatan akademik akan membantu orang tua mengurangi stres dan juga beban untuk mendampingi anak. Penjadwalan ini dapat dilakukan dengan membuat jadwal baru bagi anak. Jadwal ini meliputi waktu bermain, belajar, makan, dan waktu istirahat tenang tanpa gawai.

  • Seeking social support for instrumental and emotional reason

Tindakan untuk meminta bantuan, nasihat, dan informasi untuk menghadapi kondisi stres atau cemas yang dihadapi selama masa pandemi COVID-19. Tindakan ini juga dapat dilakukan dengan cara individu tetap terhubung dengan kerabat atau individu lain melalui media sosial disaat kondisi pembatasan mobilitas masyarakat. Bertukar cerita secara online dengan keluarga lain yang memiliki ABK akan memberikan informasi pada orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus mengenai pengalaman mereka untuk menjalani kesehariannya selama pandemi COVID-19 bersama dengan anak berkebutuhan khsuus. 

  • Active coping

Tindakan untuk mengambil langkah aktif dalam menanggulangi dampak situasi yang berubah-ubah dan tak menentu. Tindakan ini dapat diwujudkan dengan mengajak anak aktif melakukan kegiatan kebersihan diri untuk mengatasi atau menghindari tertular virus saat pandemi COVID-19. Melakukan kegiatan olahraga yang disesuaikan dengan usia anak di rumah untuk menjaga kesehatan diri. Memberikan informasi pada anak yang memiliki kebutuhan khusus mengenai pandemi COVID-19 sesuai dengan usia perkembangannya.

Selain memiliki strategi koping yang adaptif, keluarga juga sebaiknya mampu untuk mengolah tekanan dan stress yang hadir dari lingkungan luar berkaitan dengan kondisi pandemi. American Psychology Association (APA)9 memberikan ulasan mengenai cara untuk mengurasi      stres bagi keluarga dengan ABK diantaranya:

  1. Membuat kegiatan baru bagi anak, hal ini bermaksud agar anak merasa aman dan memahami apa yang diharapkan dari anak serta memperkenalkan perilaku baru dalam kehidupan sehari-hari. 
  2. Memberikan empati dan validasi atas perasaan yang dirasakan anak yang mungkin mengenai ketidaknyamanan atau tantangan yang mempengaruhi aktivitas sensorik atau terapi anak.
  3. Menunjukkan cinta tanpa syarat pada anak berkebutuhan khusus di masa pandemi dan mendorong anak untuk berbicara tentang perasaan mereka.
  4. Memberikan kesempatan pada anak untuk tetap menjalin komunikasi melalui media dengan teman atau terapis saat masa isolasi sosial. 

Referensi 

  1. Hasanah, U. Ludiana & Livana, P.H. (2020) Gambaran Psikologis Mahasiswa dalam Proses Pembelajaran Selama Pandemi Covid-19. 8(3), 299-306
  2. Kemendikbud.co.id
  3. Radissa, V.S., Wibowo, H., Humaedi, S., & Irfan, M (2020) Pemenuhan Kebutuhan Dasar Penyandang Disabilitas pada Masa Pendemi COVID-19. Jurnal Pekerja Sosial
  4. Turk, M.A. & McDermott, S. (2020) The COVID-19 pandemic and people with disability. Disabil Health J
  5. Amy, H., Debbi, H., Ashli, M., Tal, L.D., Christopher, R. (2020) Children with disabilities in the united state and the COVID-19 pandemic.
  6. Amorim, R. Catarino, S. Miragaia, P., Ferreras, C., Viana, V. & Guardiano, M (2020) The impact of COVID-19 on children with autism spectrum disorder. Rev Neurol
  7. Lazarus, R.S & Folkman, S. (1984) Stress appraisal and coping. Newyork: Springer Publishing Company. Inc
  8. Carver, C.S., Weintraub, J.K. & Scheier, M.F. (1989) Assessing Coping Strategirs: A Theoretically Based Approach. Journal of Personality and Social Psychology
  9. American Psychology Association (APA) (2020) Psychologists’ research offers ways to help families, caregivers and children cope during the pandemic.https://www.apa.org/research/action/children-disabilities-covid-19 

Pendidikan Anak Usia Dini dan Tahap Perkembangan Anak

ArtikelBlog Friday, 10 December 2021

Pendidikan Anak Usia Dini dan Tahap Perkembangan Anak

oleh: Yunita Ch. Yoseph
editor: Resti Fahmi Dahlia

 

Dalam satu dekade, kemunculan lembaga-lembaga pendidikan anak usia dini semakin merebak di Indonesia. Lembaga pendidikan anak usia dini (PAUD) sebagai lembaga pendidikan formal hadir bersama lembaga non formal lainnya yang juga berfokus pada perkembangan anak usia dini seperti kelompok bermain dan tempat penitipan anak. Meningkatnya jumlah sekolah dan peserta didik pada lembaga PAUD belum tentu dibarengi dengan meningkatnya kesadaran akan pentingnya pendidikan anak usia dini pada masyarakat Indonesia. Partisipasi dan persepsi orang tua terhadap lembaga PAUD masih rendah (1) Banyak orang tua yang mendaftarkan anak mereka pada sekolah PAUD karena membutuhkan tempat untuk menitipkan anak tanpa mengevaluasi perkembangan anak mereka  Selain rendahnya partisipasi orang tua, masalah pun muncul dari pihak lembaga-lembaga PAUD di Indonesia.

Penyelenggaraan lembaga PAUD di Indonesia yang mengacu pada kurikulum PAUD 2013 memiliki standar capaian yang meliputi enam aspek, yakni aspek nilai-nilai agama dan moral, fisik motorik, kognitif, bahasa, sosial-emosional dan seni (2). Empat aspek di antaranya sesuai dengan teori perkembangan yang diutarakan oleh Santrock. Pada usia tiga tahun, ukuran otak anak mencapai 95% dari otak dewasa dan pada usia enam tahun, ukuran otak menjadi hampir sama dengan ukuran otak anak tersebut kelak setelah dewasa. Bagian otak yang pesat bertumbuh pada masa ini adalah area lobus frontal yang berfungsi sebagai perencanaan, pengorganisasian dan atensi.

 Sedangkan pada aspek kognitif, anak pada usia ini mulai membentuk konsep, bernalar dan munculnya egosentrisme. Anak-anak dapat membayangkan penampilan objek yang tidak hadir secara fisik. Sedangkan egosentrisme menjelaskan kemampuan anak yang tidak dapat membedakan perspektif dirinya sendiri dan orang lain. Selain egosentrisme, adapula keterbatasan animisme, yakni benda mati seolah-olah memiliki kualitas yang sama dengan benda hidup. Vygotsky menambahkan dalam teorinya bahwa kognitif anak tergantung pada perangkat yang disediakan lingkungan dan pikiran mereka dibentuk oleh konteks kultural (3). Pada aspek bahasa, anak-anak masuk pada masa transisi eksternal kepada internal, yakni penggunaan bahasa untuk berkomunikasi dengan orang lain menjadi  fokus pada pikiran mereka. Yang sering dilakukan anak-anak pada masa ini adalah private speech. Beberapa peneliti menemukan bahwa anak-anak yang menggunakan private speech menjadi lebih perhatian dan meningkat prestasinya dibanding anak-anak yang tidak menggunakan private speech. Pada aspek sosio emosional, anak-anak diijinkan untuk mengekspresikan perasaannya. Salah satu contoh bahwa aspek perkembangan ini tidak terfasilitasi dengan baik yang penulis temui adalah ketika anak laki-laki menangis, pendamping PAUD mengatakan, ‘Ayo laki-laki jangan cengeng’. Ungkapan seperti ini justru tidak mengizinkan anak untuk menjadi jujur dengan perasaannya

Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa pelaksanaan kurikulum yang sudah dikembangkan tidak berjalan semulus yang dibayangkan. Masalah besar yang dihadapi bangsa ini adalah adanya kesenjangan pengetahuan dan pola pikir antara konseptor dan pelaksana. Sebuah penelitian terhadap tingkat pemahaman guru pada kurikulum 2013 pada salah satu kecamatan di Kab. Pamekasan menunjukkan hasil sebagai berikut:

  • Faktor mengingat (C1) sebagian besar berada pada kategori baik yaitu dengan persentase sebesar 94,38%,
  • Faktor menerapkan (C2) sebagian besar berada pada kategori baik yaitu sebesar 85,57%,
  • Faktor mengaplikasikan (C3) mengalami penurunan yaitu sebesar 70,37%  (4).

Masalah-masalah dalam memahami kurikulum akan selalu timbul jika masalah kualitas pendidik tidak diselesaikan, di antaranya guru PAUD yang disyaratkan berlatarbelakang S1 PG PAUD pada kenyataannya masih didominasi dari lulusan SMA sederajat. Untuk meningkatkan profesionalitas, beberapa kegiatan telah dilakukan, seperti Pendidikan dan Latihan Profesi Guru, kendati demikian masih banyak guru yang belum lulus kegiatan ini. Hal ini menunjukkan potret pendidik anak usia dini di Indonesia memang belum baik (5). Padahal tingkat kompetisi guru berhubungan erat dengan kemampuannya melakukan manajemen kelas yang erat kaitannya dengan kualitas pembelajaran (6).  Selain itu, terdapat masalah lain, yakni gaji guru PAUD yang relatif kecil padahal biaya sekolah PAUD relatif mahal.(7) Kualitas tenaga pendidik memang sangat berpengaruh pada kualitas perubahan pendidikan yang diharapkan. Terutama bagi pendidik anak usia dini yang merupakan masa emas perkembangan. Guru PAUD perlu dilatih untuk melakukan manajemen kelas yang baik, di antaranya dengan pendekatan konstruktivis Hal ini tentu juga sebuah harapan bagi perombakan sistem pendidikan nasional agar mulai meninggalkan pendidikan yang berpusat pada kognitif. 

Pola pendidikan konstruktivis mengekspos pelajar pada pengalaman baru dengan menciptakan rasa penasaran atau pertanyaan-pertanyaan yang merupakan bentuk kegelisahan mental yang menantang untuk memahami informasi baru yang dihasilkan pengalaman baru (8). Pola pendekatan ini memfasilitasi aspek-aspek perkembangan anak usia dini(9), antara lain: 1) proses aktif baik secara individu, sosial, mental maupun fisik; 2) proses sosial yang mengakomodasi adanya perbedaan pengetahuan setiap individu; 3) proses kreatif yang dapat datang dari dalam individu maupun dari luar melalui diskusi, argumentasi maupun berbagi interpretasi pengetahuan yang datang dari setting sosial. 

Contoh teknis pembelajaran yang dapat dilakukan untuk mendukung pendekatan ini adalah dengan metode  bermain peran. Bermain peran mengacu pada latihan pengalaman aktif sehingga peserta belajar mengenai etika melalui gambaran potensi keputusan yang harus dibuat. Cara ini dapat meninggalkan kesan yang mendalam dibandingkan dengan pola ceramah searah oleh pendidik dan peserta menerimanya begitu saja, lalu kemudiaan kesempurnaan hapalan materi dianggap sebagai kesuksesan pembelajaran. Anak akan kesulitan merapkan prinsip-prinsip tertentu ketika bertemu dengan situasi baru yang sangat berbeda dengan situasi kelas, atau lebih buruk, anak-anak pun tak dapat memahami prinsip sebuah ilmu pengetahuan, hal inilah yang berkaitan erat dengan tingkat literasi Indonesia yang dilaporkan masih sangat rendah. Buku-buku yang dapat digunakan untuk mendukung pendekatan ini adalah buku-buku bergambar di mana anak dapat memanipulasinya, buku yang menyajikan obyek-obyek dan anak mengenali obyek yang bermakna baginya dan buku dengan tokoh yang dapat mewakili perasaan anak (10). Proses ini akan membawa anak pada pandangannya yang baru setelah melihat dirinya sendiri dan dunia. Melalui konstruktivisme, pendidikan menjadi sarana pemenuhan diri karena memungkinkan individu untuk mengeksplor dirinya sendiri.

Referensi

  1. Nugraheni, S., & Fakhruddin, F. (2014). Persepsi Dan Partisipasi Orang Tua Terhadap Lembaga PAUD Sebagai Tempat Pendidikan Untuk Anak Usia Dini (Studi Pada Orang Tua di Desa Tragung Kecamatan Kandeman Kabupaten Batang). Journal of Nonformal Education and Community Empowerment  3(2), 3739.
  2. ___________ (2018). Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum 2013 Pendidikan Anak Usia Dini. Jakarta: Direktorat Pembinaan Pendidikan Anak Usia Dini. Diakses dari https://banpaudpnf.kemdikbud.go.id/upload/download-center/Buku%20Kerangka %20Dasar_1554107062
  3. Santrock, John. (2012). Life-Span Development Edisi Ketigabelas Jilid I. USA: McGraw Hills.
  4. Noviana, Nisa dan Karim. (2019). Tingkat Pengetahuan Guru Paud Tentang Kurikulum2013. Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran Anak Usia Dini 6 (2), 114–124.
  5. Christianti, Martha. (2012). Profesionalisme Pendidik Anak Usia Dini. Jurnal Pendidikan Anak 1(1), 112-122.
  6. Fatmawati, Eka. (2019). Hubungan Kompetensi Guru PAUD dengan Manajemen Kelas di TK Kelurahan Sokanegara Purwokerto.Skripsi Thesis. IAIN Purwokerto.
  7. Hewi, La dan Muh Shaleh. (2020). Refleksi Hasil PISA (The Programme for International Student Assesment): Upaya Perbaikan Bertumpu pada Pendidikan Anak Usia Dini. Jurnal Golden Age 4(1), 30-41.
  8. Saphira-Lishchinsky. (2015). Simulation-based constructivist approach for education leaders. Educational Management Administration & Leadership 43 (6) 972-988. DOI: 10.1177/1741143214543203
  9. Graffam, Ben. (2003). Constructivism and Understanding: Implementing the Teaching for Understanding Framework. The Journal of Secondary Gifted Education 25 (1), 13-22.
  10. Nurgiyantoro, Burhan. (2005). Tahapan Perkembangan Anak Dan Pemilihan Bacaan Sastra Anak. Cakrawala Pendidikan 2, 197-218.

Mendidik dengan Santun

ArtikelBlogSummer Course Wednesday, 24 November 2021

Mendidik dengan Santun
oleh: Nur Arifah
editor: Resti Fahmi Dahlia

Photo by August de Richelieu from Pexels

Di Indonesia, masih banyak orang tua yang menggunakan beragam bentuk kekerasan fisik dan psikologis dalam mendidik anak. Survei yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2014 yang mengambil sampel 75 ribu rumah tangga dari seluruh kabupaten/kota di Indonesia menemukan bahwa 23,17% orang tua atau hampir seperempat dari total responden ditemukan menggunakan cara-cara kekerasan fisik dan psikologis dalam mendidik anak mereka (Mardina, 2018). Bentuk kekerasan fisik yang paling banyak ditemui adalah mencubit dan menjewer (30,97%), lalu menampar, memukul dan menendang (4,34%), dan mendorong dan mengguncang badan (3,3%) sedangkan bentuk kekerasan psikologis yang paling banyak dijumpai adalah membentak dan menakuti (41,86%), dan diikuti oleh mengatai dengan panggilan buruk seperti bodoh dan sebagainya (12,44%). 

Mengambil fokus pada anak usia dini, praktik mendidik dengan cara kekerasan juga banyak ditemukan, bahkan di kota pendidikan, Kota Yogyakarta. Penelitian survei oleh Muarifah, dkk (2020) dengan sampel 320 responden dari 3 kecamatan di Kota Yogyakarta menemukan bahwa 46% responden melakukan kekerasan fisik dan 54% responden melakukan kekerasan non-fisik atau verbal terhadap anak mereka yang berusia dini (usia 4-6 tahun). Terkait bentuk kekerasan fisik yang paling banyak dilakukan, hasilnya sama dengan hasil dari survei nasional oleh BPS yaitu mencubit (23%) dan menjewer (21%). Baru kemudian diikuti oleh memukul (13,75%), menampar (6,25%), dan menendang (0,6%). Disamping itu juga terjadi bentuk kekerasan fisik seperti menggigit dan menjambak. Bentuk kekerasan non-fisik yang paling banyak dilakukan adalah memelototi (21%) dan membanding-bandingkan dengan anak lain (15%), sedangnya bentuk kekerasan non-fisik lain yang dilakukan adalah menghardik, memarahi, mengejek, mencibir, dan merendahkan. Lebih lanjut, sebagian besar orang tua diatas beralasan bahwa mereka melakukan hal tersebut untuk mendisiplinkan anak mereka, disamping pandangan bahwa anak telah nakal dan perlu untuk mendapat hukuman (Muarifah, dkk, 2020). 

Bagi sebagian masyarakat, kenyataan bahwa bentuk-bentuk tindakan untuk mendidik atau “mendisiplinkan” anak diatas dapat dikategorikan sebagai bentuk kekerasan mungkin cukup mengejutkan. Hal ini mungkin karena tindakan seperti mencubit dan menjewer masih dianggap lumrah (Laveda & Ramadhan, 2020). Di Kamus Bahasa Jawa – Bahasa Indonesia I (Nardiati, dkk, 1993) ada kata-kata bermakna kekerasan yang menurut penulis kerap terdengar di telinga masyarakat Jawa seperti cethot (cubit), jiwit (cubit), gebug (pukul), dan keplak (tampar). Lantas apa saja tindakan-tindakan yang termasuk kekerasan fisik dan non-fisik (verbal/psikologis/emosional), apa dampak yang ditimbulkan, dan alternatif atau cara mendidik bagaimana yang sebaiknya dilakukan. Tulisan ini berupaya untuk membahas mengenai ketiga hal tersebut.

Pertama mengenai tindakan-tindakan yang termasuk ke dalam tindakan kekerasan terhadap anak. Menurut Kantor Pusat Layanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A), terdapat beberapa jenis kekerasan terhadap anak yaitu kekerasan fisik, kekerasan emosional, kekerasan seksual, pengabaian dan penelantaran, dan kekerasan ekonomi (Mardina, 2018). Artikel ini hanya akan membahas kekerasan fisik dan kekerasan emosional. Disebutkan disana bahwa tindakan yang dapat digolongkan ke dalam jenis kekerasan fisik adalah memukul, menampar, menendang, mencubit, dan sebagainya, sedangkan yang termasuk kekerasan emosional dapat berupa mengancam, menakut-nakuti, menghina, mencaci, dan memaki dengan keras dan kasar. Jenis dan contoh kekerasan tersebut senada dengan yang dinyatakan dalam UN Convention on the Right of the Child and the World Report on Violence and Health oleh World Health Organization 2002 (Mardina, 2018).  Lantas apa dampaknya ketika kekerasan fisik digunakan sebagai cara mendidik anak? American Psychological Association (APA) belum lama mengeluarkan pernyataan kebijakan yang berdasar pada penelitian-penelitian longitudinal yang kuat (Glicksman, 2019). Mereka menyatakan bahwa hukuman fisik tidak efektif digunakan untuk memperbaiki perilaku anak, justru sebaliknya, menjadi risiko tumbuhnya beragam permasalahan emosional, perilaku, dan akademik. Beberapa diantaranya, pertama, memukul anak tidak mengajarkan anak mengenai tanggung jawab, kesadaran diri, dan kontrol diri. Dengan memukul, tidak terjadi proses internalisasi atau pemahaman dalam diri mengapa sesuatu boleh dan tidak diboleh dilakukan. Anak hanya akan berusaha menghindari perilaku yang membuat mereka dipukul ketika ada orang tua saja, namun tetap akan melakukan ketika orang tua tidak ada. Kedua, anak belajar dari melihat orang tuanya. Melihat orang tua menggunakan kekerasan fisik mengajarkan pada anak mengenai penggunaan kekerasan fisik untuk mengatasi konflik kedepannya. Tindakan orang tua justru mendorong anak untuk menjadi agresif. Dalam pernyataan publik lain yang dikeluarkan oleh the American Academy of Pediatric (Sege & Siegel, 2018), penggunaan kekerasan fisik sebagai hukuman dapat meningkatkan agresivitas pada anak usia prasekolah dan usia sekolah, melemahkan hubungan orang tua-anak, dan meningkatkan risiko gangguan kesehatan mental dan permasalahan kognitif anak.

Banyak orang tua yang hanya mengulangi bagaimana mereka dididik dulu dan tidak memahami cara lain yang baik dalam mendidik atau mendisiplinkan anak (Glickman, 2019). Cara alternatif dalam mendidik yang dinyatakan oleh APA (Glickman, 2019), diantaranya melakukan komunikasi yang penuh dengan sikap menghargai anak, berupaya melibatkan anak dalam menyelesaikan permasalahan (kolaboratif), dan orang tua mencontohkan perilaku yang ingin diajarkan pada anak dalam kesehariannya. Salah satu prinsip yang dapat dipegang adalah jangan melakukan sesuatu pada anak, apa yang tidak akan kita lakukan pada orang dewasa.

Selain kurangnya pengetahuan mengenai cara pengasuhan yang baik, kondisi psikologis orang tua juga berpengaruh dalam terjadinya perilaku kekerasan pada anak, seperti gangguan psikologis yang diderita atau pengalaman mengalami hal serupa di masa lalu (Peterson, dkk, 2014) oleh karenanya orang tua dapat berusaha mengakses tenaga profesional seperti psikolog dan psikiater untuk menangani permasalahan psikologisnya sendiri. Diharapkan nantinya ada dampak positif secara tidak langsung pada cara-cara pengasuhannya.

Demikian sedikit uraian mengenai masih maraknya penggunaan cara-cara kekerasan dalam mendidik anak yang terjadi di masyarakat, apa saja yang sebenarnya masuk dalam perilaku kekerasan kepada anak, dampak yang ditimbulkan, serta alternatif pengasuhan yang sebaiknya diambil. Harapannya orang tua yang masih menggunakan cara-cara tersebut berhenti untuk melakukannya dan mulai berusaha mengupayakan cara pengasuhan yang baik seperti menambah pengetahuan pengasuhan dengan membaca buku, mendengarkan podcast, menonton video, mengikuti seminar, atau berdiskusi dengan para ahli. Disamping itu, orang tua yang masih sangat kesulitan dalam mengupayakan pengasuhan yang baik karena masih memiliki permasalahan psikologisnya sendiri dapat mencari bantuan tenaga profesional seperti psikolog atau psikiater.

Referensi

Glicksman, E. (2019, Mei 05). Physical disipline is harmful and ineffective : A new APA resolution cites evidence that physical punishment can cause lasting harm for children. American Psychological Association. https://www.apa.org/monitor/2019/05/physical-discipline

Laveda, M., & Ramadhan, B. (2020, Juli 24. Orang Tua Mencubit dan Menjewer Anak Masih Dianggap Biasa. Republika.co.id. https://www.republika.co.id/berita/qdycay330/orang-tua-mencubit-dan-menjewer-anak-masih-dianggap-biasa

Mardina, R. (2018). Kekerasan terhadap Anak dan Remaja. Pusat Data dan Kesehatan Kementrian RI

Muarifah, A., Wati, D.E., & Puspitasari, I. (2020). Identifikasi Bentuk dan Dampak Kekerasan Pada Anak Usia Dini di Kota Yogyakarta. Jurnal Obsesi: Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, 4(2),757-765

Peterson, A.C., Joseph, J., & Feit, M. (2014). New Direction in Child Abuse and Neglect Research. National Academy of Science

Nardiati, S., Suwadji., Sukardi., Pardi., & Suwanto, E. (1993). Kamus Bahasa Jawa – Bahasa Indonesia I. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. http://repositori.kemdikbud.go.id/2885/1/kamus%20bahasa%20jawa%20-%20bahasa%20indonesia%20I%20%20469ha.pdf

Sege, R.D & Siegel, B.S (2018). Effective Discipline to Raise Healthy Children. Pediatrics, 142(6). https://doi.org/10.1542/peds.2018-3112

Bermain Bersama Anak saat Pandemi

ArtikelBlog Monday, 22 November 2021

Bermain Bersama Anak saat Pandemi

oleh: Reswara Dyah Prastuty
editor: Resti Fahmi Dahlia

Sebagian orang tua beranggapan bahwa bermain hanyalah sebuah aktivitas yang ditujukan untuk bersenang-senang semata. Padahal, bermain memiliki peranan dalam mendukung tumbuh kembang anak, khususnya anak usia dini. Melalui aktivitas bermain, anak usia dini dapat mengeksplorasi lingkungan sekitarnya, mempelajari berbagai hal baru, dan membangun pemahaman tentang dunia. Seorang pionir di bidang psikologi anak, yaitu Vygotski, mengemukakan bahwa bermain adalah aktivitas yang krusial bagi perkembangan kognitif dan sosial anak (1). Bagi anak usia dini, bermain juga bermanfaat dalam mendukung perkembangan bahasanya (2), melatih keterampilan motoriknya (3), serta memfasilitasinya untuk memahami dan merasakan emosinya (4).

Pada situasi pandemi COVID-19 bermain menjadi semakin penting bagi anak terlebih anak menjadi salah satu kelompok usia yang rentan mengalami stres (5). Sebagaimana orang dewasa, anak usia dini juga harus menghadapi ketidakamanan dan berbagai perubahan dalam kehidupan. Mereka harus melaksanakan protokol kesehatan secara ketat, terisolasi dari dunia luar, dan mengikuti pembelajaran daring di rumah dengan kondisi yang tentu saja berbeda dengan di sekolah. 

Pandemi telah menghalangi anak usia dini untuk bermain dan berinteraksi dengan teman-teman sebayanya, sehingga penting bagi orang tua untuk berperan aktif dalam mengisi kekosongan tersebut demi terjaganya kesehatan mental sang buah hati. Riset menunjukkan bahwa aktivitas permainan yang melibatkan interaksi positif anak dan orang tua dapat meningkatkan kesehatan mental keduanya. Ketika orang tua melibatkan diri secara penuh saat bermain bersama anak, orang tua tidak hanya mendukung perkembangan sang anak, namun juga meningkatkan kesejahteraan dirinya (6, 7). Tidak hanya itu, bermain bersama anak juga dapat menguatkan ikatan antara anak dengan orang tua sehingga aspek sosioemosional anak dapat berkembang secara sehat (8).

Untuk memperoleh manfaat bermain secara optimal, anak usia dini perlu mendapatkan atensi penuh dari orang tua. Oleh sebab itu, penting bagi orang tua untuk menjadwalkan diri secara khusus untuk bermain bersama sang buah hati. Meskipun hanya di rumah, kegiatan bermain akan menjadi berkualitas apabila orang tua hadir secara utuh tanpa adanya distraksi gawai atau aktivitas pribadi lainnya. Dengan memberikan pertanyaan dan merespon ucapan maupun ekspresinya saat bermain, anak usia dini akan belajar untuk memproses emosi dan berpikir secara kritis. Kenyamanan, keamanan, dan kasih sayang yang diberikan orang tua selama aktivitas bermain juga membantu sang anak untuk membangun kepercayaan diri dan perasaan bahwa mereka dicintai.

Salah satu permainan yang bermanfaat dan menyenangkan untuk dilakukan oleh anak dan orang tua adalah bermain peran. Melakukan aktivitas bermain peran di saat pandemi dipercaya dapat membantu anak untuk mengekspresikan emosi dan menghidupkan kembali imajinasinya akan dunia sekitar (9,10). Permainan ini dapat dilakukan dengan mudah. Orang tua dapat mendorong anak untuk memilih topik dan tokoh yang ia inginkan. Apabila anak tidak menunjukkan keinginannya, orang tua dapat memberikan pilihan topik yang familiar bagi sang anak, misalnya tentang kisah-kisah di buku cerita kesukaannya atau tentang profesi-profesi yang pernah ia temui. Permainan dapat dilakukan dengan memerankan tokoh-tokohnya secara langsung, misalnya anak menjadi dokter dan ibu menjadi pasien, maupun melakukan permainan simbolik dengan menggunakan boneka. 

Keterlibatan orang tua dalam aktivitas bermain peran memiliki dampak positif terhadap perkembangan bahasa dan sosial anak usia dini. Saat bermain, anak akan terstimulasi untuk berbicara, merespon, dan mengembangkan cerita sehingga keterampilan bahasa ekspresif dan reseptifnya akan meningkat (11). Anak juga dapat mencoba memainkan berbagai jenis peran sosial maupun peran imajinatif lainnya sekaligus belajar untuk mengontrol perasaannya (12). 

Lalu, apa yang dapat dilakukan oleh orang tua ketika pekerjaan rumah sedang menumpuk? Sekalipun dalam kondisi demikian, bermain bersama anak tetap dapat dilakukan oleh orang tua. Ibu dapat menyusun aktivitas bermain peran dengan tema restoran ketika sedang ingin menyelesaikan pekerjaan dapur. Pada tema ini, Ibu dan anak dapat berperan sebagai koki yang sedang berbagi tugas untuk menyiapkan makanan yang lezat. Dengan berbekal alat masak mainan dan perhatian yang Ibu berikan sambil memasak, anak akan larut dalam perannya. Dengan begitu, Ibu tetap dapat menghidangkan sajian untuk keluarga sekaligus bermain bersama anak.  

Aktivitas bermain hampir tidak bisa dipisahkan dari mainan atau properti. Mainan dan properti membuat aktivitas bermain, khususnya bermain peran, terasa lebih nyata dan mengasyikkan. Alih-alih membeli mainan dan properti baru, orang tua dapat mengajak dan mendampingi anak untuk berkreasi membuat mainan dan properti dari barang bekas. Selain itu, orang tua juga bisa mendorong anak untuk memanfaatkan alat rumah tangga dan bahan alam secara bebas sebagai properti permainan, misalnya menjadikan selimut sebagai sayap, panci sebagai alat musik, dan dedaunan sebagai mahkota. Aktivitas ini dapat menstimulasi anak untuk berimajinasi, mengembangkan kemampuan untuk melihat berbagai manfaat dari benda-benda di sekitar, dan belajar tentang bagaimana cara menghibur diri di berbagai situasi, termasuk di situasi pandemi seperti saat ini (5). 

Referensi:

  1. Vygotsky, L. (1978). Mind in Society: Development of Higher Psychological Processes. Cambrige: Harvard University Press.
  2. Orr, E., & Geva, R. (2015). Symbolic play and language development. Infant Behavior and Development, 147-161. doi:http://dx.doi.org/10.1016/j.infbeh.2015.01.002
  3. Cheraghi, F., Shokri, Z., Roshanaei, G., & Khalili, A. (2021). Effect of age-appropriate play on promoting motor development of preschool children. Early Childhood Development and Care, 1-12. doi:https://doi.org.ezproxy.ugm.ac.id/10.1080/03004430.2021.1871903
  4. Colliver, Y., & Veraksa, N. (2021). Vygotsky’s contributions to understandings of emotional development through early childhood play. Early Child Development and Care, 1-15. doi:https://doi.org.ezproxy.ugm.ac.id/10.1080/03004430.2021.1887166
  5. CDC. (2021). Coping with Stress. Retrieved July 5, 2021, from Centers for Disease Control and Prevention: https://www.cdc.gov/coronavirus/2019-ncov/daily-life-coping/managing-stress-anxiety.html
  6. Husain, N., et al. (2021). An integrated parenting intervention for maternal depression and child development in a low-resource setting: Cluster randomized controlled trial. Depress and Anxiety, 1-15. doi:https://doi.org/10.1002/da.23169
  7. Coyl-Shepherd, D. D., & Hanlon, C. (2017). Family play and leisure activities: correlates of parents’ and children’s socio-emotional well-being. In C. D. Clark, Play and Wellbeing (pp. 96-114). London: Routledge. doi:https://doi.org/10.4324/9781315651118
  8. Milteer, R. M., & Ginsburg, K. R. (2012). The Importance of Play in Promoting Healthy Child Development and Maintaining Strong Parent-Child Bond: Focus on Children in Poverty. Illinois: American Academy of Pediatrics. doi:10.1542/peds.2011-2953
  9. Close, N. (2020, May 1). Wondering How Your Children Are Doing During COVID-19? Watch Them Play. Retrieved July 5, 2021, from Yale School of Medicine: https://medicine.yale.edu/news-article/wondering-how-your-children-are-doing-during-covid-19-watch-them-play/
  10. Sheridan, M. D. (2011). Play in Early Childhood from Birth to Six Years (3rd ed.). Oxon: Routledge.
  11. Holmes, R. M. (2020). Is there a connection between children’s language skills, creativity, and play? Early Child Development and Care, 1-12. doi:10.1080/03004430.2020.1853115
  12. Waite, S., & Rees, S. (2013). Practising empathy: enacting alternative perspectives through imaginative play. Cambridge Journal of Education, 1-18. doi:https://doi.org.ezproxy.ugm.ac.id/10.1080/0305764X.2013.811218

Mengatasi Kecemasan terhadap Karier dan Tuntutan Sosial di Masa Pandemi

ArtikelBlog Saturday, 20 November 2021

“Mengatasi Kecemasan terhadap Karier dan Tuntutan Sosial di Masa Pandemi” 

Oleh Erythrina Sekar Rani (erythrina.sekar.r@mail.ugm.ac.id)
Editor: Lisa Sunaryo Putri

Photo by Andrea Piacquadio from Pexels

Pandemi COVID-19 di Indonesia telah mempengaruhi berbagai sektor kehidupan, salah satunya sektor ekonomi. Berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan per 20 April 2020, sebanyak 2.084.593 pekerja dari 116.370 perusahaan telah dirumahkan dan terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Dari data tersebut 27,7% berusia 20-24 tahun; 11,6 % usia 25-29 tahun; dan 1,1 % berada pada rentang usia 30-34 tahun (1).

Pandemi COVID-19 juga telah mengubah kebiasaan masyarakat. Perubahan yang cenderung mendadak dan belum diketahui kapan mulai membaik ini cenderung mempengaruhi keadaan psikologis masyarakat. Berdasarkan data hasil swa-periksa Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) pada 4010 orang sejak lima bulan COVID-19 ada di Indonesia, diketahui bahwa 64,8 % subjek mengalami kecemasan dan terbanyak terjadi pada rentang usia 17-29 tahun dan individu berusia lebih dari 60 tahun (2). Bisa disimpulkan bahwa kecemasan banyak dialami pada individu dewasa dan lanjut usia.

Bila kita fokuskan kepada individu usia dewasa awal, individu tersebut memiliki tugas perkembangan yang perlu untuk dijalankan. Menurut Erikson, pada usia dewasa awal (20-30 tahun), seseorang dihadapkan pada tugas perkembangan untuk membangun hubungan yang intim yaitu membentuk pertemanan yang sehat dan hubungan dengan lawan jenis. Lebih lanjut, menurut Levinson, pada masa dewasa awal (22-28 tahun), terdapat dua tugas perkembangan yang perlu dikuasai, yaitu kehidupan dewasa dan mengembangkan struktur hidup yang stabil. Levinson melihat ini sebagai fase pemula, transisi untuk menjadi lebih mandiri yang ditandai dengan membangun mimpi berupa karier dan pernikahan (3). Namun, adanya kondisi pandemi COVID-19 mungkin akan mempengaruhi ketercapaian pemenuhan tugas perkembangan pada usia dewasa awal tersebut dan mendorong timbulnya kecemasan.

Durand & Barlow mendefinisikan kecemasan sebagai keadaan suasana hati yang berorientasi pada masa depan yang ditandai dengan adanya kekhawatiran karena tidak dapat memprediksi atau mengendalikan kejadian yang akan datang. Selanjutnya, dijelaskan bahwa sebenarnya rasa cemas memiliki fungsi untuk diri kita jika jumlahnya tidak berlebihan. Misalnya untuk mendeteksi adanya kondisi bahaya yang mengancam sehingga individu diharapkan mampu mengambil tindakan untuk menghadapinya (4). 

Masih dalam penelitiannya, Durand & Barlow juga menyatakan bahwa kecemasan dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu (4): 

  • Biologis: genetik, sirkuit di otak, dan sistem neurotransmitter tertentu.       
  • Psikologis: keinginan untuk mengontrol segala aspek kehidupan sampai ketidakpastian yang ada dalam diri kita sendiri, pola asuh (cenderung mengontrol atau direktif), dan pengaruh lingkungan lain (contohnya di era pandemi saat ini: banyaknya karyawan yang di PHK, ketersediaan lapangan kerja yang cenderung menurun, daya saing cenderung tinggi, kesulitan untuk bersosialisasi secara langsung karena pembatasan sosial, bingung menentukan karier, ditambah jika belum menemukan tujuan hidup ataupun passion, dll).·       
  • Sosial: pengalaman traumatis (contoh: bullying, masalah di tempat kerja, perceraian, kematian orang yang dicintai, dll) dan tekanan sosial (contoh: tuntutan harus berprestasi, membandingkan atau dibandingkan dengan orang lain, merasa insecure dengan pencapaian orang lain, adanya tuntutan dari keluarga untuk menikah atau mendapatkan pekerjaan yang layak, maupun tuntutan lain dari dalam diri).

Nah, kira-kira apa saja yang bisa kita lakukan untuk mencegah dan mengatasi kecemasan terhadap tugas perkembangan pada individu dewasa awal berkaitan dengan karir dan tuntutan sosial lainnya di masa pandemi ini? 

Berikut adalah tips untuk membantu mengatasi kecemasan di masa pandemi ini :       

  • Mengendalikan apa yang bisa kita kendalikan (pikiran, perkataan, dan tindakan, dan segala sesuatu yang ada dalam diri kita).
    Sering kali, masalah muncul dari kenyataan bahwa kita menginginkan sesuatu yang tidak bisa kita miliki atau menyangkal sesuatu yang tidak kita inginkan (5), contohnya: saat mendapatkan nilai jelek, mengalami kegagalan, berbuat salah, mendapatkan komentar negatif dari orang lain, merasa insecure atas pencapaian orang lain, dan yang lainnya.  Semakin kita ingin mengendalikan hal-hal yang tidak bisa kita kendalikan, hal ini akan membuat diri kita cenderung lebih mudah merasa kecewa, sedih, marah, cemas, khawatir, takut, dan emosi negatif lain.

    Kita bisa belajar untuk mengelola emosi negatif ini dengan filsafat stoisisme. Filsafat stoisisme bertujuan untuk menumbuhkan ketenangan dan kedamaian dalam hidup, penganut stoisisme biasanya pandai mengendalikan emosi yang dirasakan (6). Dengan demikian, kita perlu berfokus untuk mengendalikan sesuatu yang bisa kita kendalikan, yaitu pikiran, perkataan, tindakan, dan segala sesuatu yang ada dalam diri kita, berusaha menjadi diri versi terbaik dari diri kita.

     

  • Melatih Mindfulness
    Mengapa kita perlu melatih mindfulness? Biasanya, kita jarang sadar ketika melakukan sesuatu, terjebak dalam pikiran yang mengganggu atau pendapat tentang sesuatu yang terjadi saat ini (7). Entah karena sudah terbiasa melakukan atau karena suatu hal yang lain, misalnya: kita sering lupa meletakkan kunci motor atau handphone, tidak sadar makanan yang kita makan sudah habis, atau bekerja tetapi pikiran tidak ada di sana. Ketika kita mindful, kita cenderung sadar dan mampu mengenali sesuatu yang terjadi di sini dan kini (7).

    Mindfulness bisa dilatih dengan memperhatikan penuh dari momen ke momen yang dilewati, tanpa memberikan judgement, ide atau opini tertentu, suka atau tidak suka (8). Mengapa? Kebiasaan mengkategorikan atau men-judge sesuatu akan membuat diri kita memberikan respons secara otomatis (bahkan tidak disadari), menjadi tidak objektif dalam mengamati yang sedang terjadi, dan sulit menemukan kedamaian dalam diri (8).

    Mari berlatih untuk cukup menyadari sesuatu yang indra kita tangkap tanpa memberikan judgement agar bisa lebih objektif dalam menanggapi sesuatu, tidak mudah terbawa suasana, bisa menyadari dan mengendalikan respons kita.

  • Membuat Tujuan Hidup
    Tujuan hidup adalah sumber motivasi utama diri kita. Lebih lanjut dijelaskan, tujuan yang dikembangkan secara sadar dapat mengarahkan tindakan kita untuk mencapai tujuan tersebut (8). Salah satu metode yang bisa kita lakukan untuk membantu menetapkan tujuan hidup adalah dengan metode “SMART Goal” (Specific, Measurable, Attainable, Result-Oriented, dan Timely atau Time Based). Setelah itu, kita bisa mencoba break down ke tugas-tugas yang lebih kecil yang bisa kita lakukan untuk mencapai tujuan.

    Perlu kita ingat bahwa masa depan bukan suatu hal yang bisa kita pastikan, tetapi bukan berarti kita tidak boleh bermimpi atau memiliki tujuan. Namun, perlu kita sadari bahwa yang bisa kita lakukan adalah fokus mengusahakan semaksimal kita, mengenai masa depannya terwujud atau tidak, bukan ada di kendali kita.

  • Mengembangkan diri dengan hobi atau aktivitas positif yang kita sukai
    Melakukan aktivitas positif yang disukai untuk memanfaatkan waktu luang dan meningkatkan kapasitas diri, seperti: mengikuti kursus bahasa, belajar trading, berolahraga, melukis, menulis, atau membaca buku pengembangan diri seperti “Filosofi Teras” karya Henry Manampiring; “Mengheningkan Cinta” karya Adjie Santoso Putro; “Sebuah Seni untuk Bersikap Bodo Amat” karya Mark Manson; “Start with Why” atau “Find Your Why” karya Simon Sinek, dan yang lain sebagainya.
  • Jangan sungkan untuk mengikuti konseling dengan psikolog atau psikiater, jika dirasa permasalahan yang dihadapi mengganggu fungsi sehari-hari, misalnya: waktu tidur, nafsu makan, dan interaksi dengan orang lain terganggu, sulit berkonsentrasi, tidak termotivasi, atau yang lainnya. Karena meminta bantuan kepada ahlinya ketika kita butuh adalah salah satu wujud kita mencintai diri kita.

Teman-teman, itulah beberapa tips yang mungkin bisa dicoba untuk mengurangi rasa cemas akan keadaan yang tidak kita inginkan khususnya dalam tugas kita memasuki fase dewasa awal kehidupan. Tumbuhkan rasa percaya diri pada diri kita sendiri karena itulah yang membuat kita menjadi lebih baik. Selamat berproses! Semoga kita selalu bertumbuh setiap harinya. 

Sumber:

  1. Pekerja Terkena PHK. (2020, Mei 20). Retrieved Juli 4, 2021, from LIPI Indonesia: https://twitter.com/lipiindonesia/status/1263079374137503749/photo/2
  2. 5 Bulan Pandemi Covid di Indonesia. (2020). Retrieved Juli 2, 2021, from Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI): http://pdskji.org/
  3. Santrock, J. W. (2012). A Topical Approach to Life-Span Development Sixth Edition. New York: McGraw Hill.
  4. Durand, V. M., & Barlow, D. H. (2006). Psikologi Abnormal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
  5. Ferraiolo, W. (2020). A Life Worth Living. Alresford: John Hunt Publishing (ebook).
  6. Drakulić, A. M. (2012). http://pdskji.org/home. A Phenomenological Perspective on Subjective well-Being: From Myth to Science, 32.
  7. Germer, C. K. (2005). What is Mindfulness? Insight Journal, 24.
  8. Kabat-Zinn, J. (2013). Full Catastrophe Living: Ho to Cope with Stress, Pain, and Illness using Mindfulness Meditation. London: Piatkus (ebook).
  9. Locke, E. A., & Latham, G. P. (2013). New Developments in Goal Setting and Task Performance. Hove: Cenveo Publisher Services (ebook).

International Online Summer Course on DIsability and Lifespan Development: Indonesia and Global Perspectives

BlogEventSummer Course Thursday, 18 November 2021

International Online Summer Course on DIsability and Lifespan Development: Indonesia and Global Perspectives

In 2021, the Center for Life-Span Development (CLSD) Faculty of Psychology, Universitas Gadjah Mada for the very first time held a summer course entitled International Online Summer Course on Disability and Lifespan Development: Indonesia and Global Perspectives. Collaborating with Indonesia and global experts on disability studies, this summer course will serve as a channel to facilitate critical learning to unpack and understand intersecting barriers dealt by people with disabilities and encourage knowledge and practice sharing and debates, while building network, between experienced and young scientists in the field of disability studies, which will inspire creation of new research initiatives and field applications.

This summer course is a collaboration between CLSD, Faculty of Psychology, and OIA (Office of International Affairs) Universitas Gadjah Mada. We invited fifteen international speakers and five national speakers with various backgrounds and fields of study from various parts of the world, including Malaysia, United Kingdom, Australia, New Zealand, and the United States. Each expert presents a comprehensive, specific, and in-depth topic in order to dissect the realm of disability and the range of human development viewed from various perspectives. Not only attended by 65 Indonesian students but this summer course activity was also attended by approximately 45 international students and professionals from various parts of the world, such as West Africa, Australia, Pakistan, Nepal, Tanzania, Philippines, Ghana, Bangladesh, Malaysia, Iran, Romania, Nigeria, South Africa, and the United States.

The course consisted of five different modules, each highlighting different topics delivered by local and international experts coming from various backgrounds experience. Module 1, which titled Understanding Disability and Intersectionality, talked about the conceptual understanding of disability and intersectionality in general.

As for Module 2, the participants were given lectures on the subject of People with Disability at the Intersection. This module covered, investigated, and discussed how people with disabilities are dynamic in society and what their daily lives are like.

Furthermore, the focus of learning continues on the topic of life-span development. Titled Disability across lifespan development, this module facilitated students to discuss disability from a human development perspective that focuses on certain age ranges, life-span development issues, learning disabilities and neuropsychology, the practice of involving student in research on inclusive education in order to meet the needs of the subject, and the importance of listening to children with disabilities’ voices while enabling their agency and self-determination.

The course went on with Module 4, which covered the topic of Collaborative Disability and Lifespan Development Research in a Multicultural Setting. The discussed subjects were disability and family, discourse regarding disaster risk mitigation and research involving children with disability, and a universal design to support the learning process of children with disability. This course also talked about the intersection between curriculum, pedagogy, and assessment with the implications for disabled people, their families, and their teachers.

Lastly, the last module was delivered and simultaneously closed the whole series of the summer course. Besides discussing disability and disasters, the other two courses explored and investigated the theory and practice of conducting research around disability matters, such as co-designing and co-producing research with people with disabilities, and research involving people with disabilities in service-learning in the community.

Taking place over two days, eight groups of students presented their research proposals at the Student-Led Conference, with four examiners: Dr. Pradytia Putri Pertiwi, Dr. Elga Andriana, Dr. Wuri Handayani, and Prof. David Evans from The University of Sydney (Australia). At this event, other participants who took part in the student-led conference session were also welcome to ask questions regarding the research proposals that had been presented.

The International Summer Course on Disability and Life-Span Development: Indonesia and Global Perspectives has come to an end. With a total of 20 sessions, 21 speakers from 7 different countries, and 110 participants from 15 countries, our summer course ran from August 3 to October 14, 2021. At the final session, our student-led conference accommodated eight hard-working student groups to showcase their research ideas as the course learning outcome.

Massive thank you to our speakers for sharing their valuable insight and expert knowledge on disability and life-span development, and to all of our participants for having actively participated and supported our event by attending sessions and contributing their ideas. We hope to see you at our upcoming events in the future.

(SRP CLSD)

Quarter-Life Crisis : Mencari Meaning dalam Krisis

ArtikelBlog Friday, 12 November 2021

Quarter-Life Crisis : Mencari Meaning dalam Krisis
Oleh Dini Fadillah
Editor: Lisa Sunaryo Putri

photo by Matese Fields on Unsplash

Pernahkah mengalami momen mempertanyakan kemana harus melangkah setelah lulus dari sekolah atau perguruan tinggi? Pun ketika sudah menjalani suatu pekerjaan, mempertanyakan apakah sudah tepat keputusan yang diambil? Melihat cuplikan kehidupan teman di media sosial, kemudian merasa jauh tertinggal dibandingkan orang lain? Jika iya, barangkali inilah yang disebut dengan Quarter Life Crisis (QLC).  

Quarter life Crisis merupakan suatu fase yang ditandai dengan individu mengalami ketidakstabilan dalam hidup dan tengah menghadapi berbagai permasalahan baik dalam dunia karier, keluarga, dan hubungan romantis (1). Ketidakstabilan tersebut muncul karena seseorang merasa kehidupan yang sedang dijalani cenderung statis. Sedangkan di sisi lain ada dorongan untuk mempersiapkan masa yang akan datang. Selain itu, individu juga merasakan dorongan untuk mengeksplorasi berbagai macam hal dan menata hidup agar lebih produktif. Quarter Life Crisis biasanya dialami oleh individu pada rentang usia 20-29 tahun.   

Berdasarkan studi yang dilakukan oleh OnePoll pada tahun 2017, setidaknya 56% dari 2000 populasi orang dewasa (25-35 tahun) di Inggris mengaku tengah mengalami berbagai permasalahan dalam hidup yang membuat mereka stress (2). Fenomena QLC ini juga termanifestasi lewat media sosial. Agarwal, dkk melakukan studi untuk menganalisis fenomena Quarter Life Crisis yang dialami oleh pengguna twitter di Amerika dan Inggris dengan rentang usia 18-30 (3). Hasil temuan mengatakan, 1.400 user pernah mem-posting 1,5 juta tweet yang menceritakan permasalahan-permasalahan seputar karier, kesehatan, sekolah, dan keluarga lewat posting-an twitter.  Fenomena yang sama juga ditemukan juga di Indonesia. Survei terhadap 31 anak muda dengan rentang usia 18-25 tahun mengatakan bahwa pada usia ini membuat mereka mencemaskan urusan karier, percintaan, pendidikan, dan kesehatan (4).

Quarter Life Crisis dapat dibedakan menjadi dua fase. Fase locked-out dan locked-in (1). Fase locked-out merupakan fase awal dan ditandai dengan individu bersemangat untuk menata hidupnya. Muncul keinginan untuk membangun karier, relasi, pacaran atau menikah, dll. Masa eksplorasi ini tentu tidak sepenuhnya berjalan mulus. Kegagalan dan stress merupakan hal yang biasa ditemui ketika realitas yang berjalan tidak sesuai dengan rencana. Namun, proses mengevaluasi perjalanan yang telah ditempuh terus dilakukan setelahnya hingga pada akhirnya dapat menemukan solusi dari permasalahan yang dijumpai. 

Berbeda dengan fase locked-out, pada fase locked-in, individu sudah menjalankan suatu komitmen. Namun, di tengah proses tersebut ia merasakan kekeliruan dan ketidakpuasan dalam proses yang tengah ia jalani, baik dalam urusan karier, pasangan, keluarga, dll. Hal ini mengakibatkan munculnya dorongan untuk menyudahi komitmen tersebut. Keberhasilan dan kegagalan dalam perjalanan hidup, membuat individu merefleksikan setiap proses dan terus mencari sudut pandang baru dan makna terhadap suatu hal.

Mengapa Quarter Life Crisis bisa terjadi? Hal ini dapat dijelaskan dengan suatu konsep dari Arnett yang disebut dengan periode Emerging Adulthood (5). Periode ini merupakan bagian dari rentang perkembangan hidup manusia yang terjadi berkisar usia 18-25 tahun. Masa ini merupakan masa transisi dari remaja menuju usia dewasa (20-an). Karakteristik dari periode Emerging Adulthood antar individu berbeda tergantung pandangan subjektif dan pengalaman eksplorasi diri. Meskipun eksplorasi diri sudah dimulai sejak remaja, namun pada masa ini tetap berlangsung hingga usia 20-an. Umumnya eksplorasi diri meliputi urusan percintaan, pekerjaan, dan pandangan hidup. Dalam urusan percintaan, individu tidak sekadar memilih pasangan dengan alasan cantik atau tampan, teman untuk jalan, namun sudah mempertimbangkan pasangan yang dapat menemaninya seumur hidup. Dalam pekerjaan, individu bekerja tidak sekadar memperoleh uang, namun juga bekerja dalam bentuk menyalurkan potensi dan mencari kepuasan dalam jangka waktu yang lebih lama. Adapun pencarian pandangan hidup bersifat dinamis. Pandangan hidup individu sejak dia di bangku sekolah, kuliah, bekerja bisa jadi berubah seiring pengalaman. 

Bagaimana melewati Quarter Life Crisis?

photo by Tony Tran on Unsplash

 

  1. Pahami “3 Principles of Life”

Terdapat tiga prinsip hidup yang perlu kita sadari, yaitu freedom, uncertainty, dan hope (6). Freedom artinya setiap individu memiliki kebebasan dalam memilih apa pun di hidupnya. Ia bebas merencanakan segala hal, melakukan kegiatan yang disenangi, dan menjauhi hal yang tidak menyenangkan. Maka ketika individu telah memilih, hal yang perlu dilakukan adalah mampu mempertanggungjawabkan konsekuensi dari pilihan tersebut. Mempertanggungjawabkan suatu keputusan yang telah diambil merupakan salah satu karakter positif yang penting ada di diri individu ketika memasuki usia dewasa (5).  

Uncertainty mengartikan bahwa kehidupan penuh dengan ketidakpastian. Individu memang bebas dalam memilih, namun ia tidak mampu untuk memastikan suatu hal pasti akan terjadi. Dengan demikian, di sinilah pentingnya tolerance of uncertainty. Sikap mentolerir ketidakpastian dalam hidup, mentolerir hal di luar dugaan dan perencanaan  merupakan sikap yang penting untuk dimiliki, agar individu tetap mampu melanjutkan hidup yang sehat (7).   

Hope atau harapan ini erat kaitannya dengan ketidakpastian. Seperti yang dikatakan oleh Dr. Bagus Riyono dalam bukunya yang berjudul, Motivasi dan Kepribadian, beliau menjelaskan (6):

Hope tidak sekadar di ranah kognitif ataupun afektif, melainkan berada di ranah spiritual, yaitu aspek psikologis dalam diri manusia yang meliputi “belief system” terhadap sesuatu yang belum pernah dialami, belum pernah dilihat, yang di luar nalar biasa (“beyond reason”), dan sesuatu yang luar biasa (“bigger than life”). 

Hope atau harapan merupakan rasa yakin bahwa akan ada kebaikan yang muncul dibalik suatu ketidakpastian. Besar kecil dan kuat-lemahnya harapan tergantung apa yang diyakini individu. Semakin besar keyakinan seseorang tentang adanya “kekuatan lain” yang memiliki kemampuan untuk menolong dirinya keluar dari ketidakpastian dengan selamat, maka akan semakin besar pula hope yang ia miliki.

      2. Kenali diri

Terdapat sebuah konsep dari Jepang bernama Ikigai. Konsep ini bertujuan untuk membantu individu menemukan “purpose in life” atau arti hidupnya. Jika bingung ingin menata hidup mulai dari mana, barangkali konsep ikigai ini bisa membantu. Ikigai merupakan irisan antara passion, profession, vocation dan mission (8). 

Passion merupakan irisan dari hal yang disukai dan potensi yang dimiliki. Cobalah lihat ke dalam diri, hal-hal apa saja yang disenangi dan bidang mana saja yang Anda kuasai. Jika sudah ditemukan, maka tentukan apakah bidang tersebut mengandung unsur profession? Profession adalah irisan dari kompetensi diri dan Anda bisa menghasilkan uang darinya. Kemudian terdapat vocation dan mission yang bersifat kontributif. Vocation adalah irisan dari apa yang bisa kita lakukan dan apa yang dunia butuhkan. Adapun mission merupakan hal yang disukai dan bermanfaat bagi orang lain.

     3. QLC adalah tantangan untuk menemukan makna

Tantangan merupakan stimulus yang datang dari luar diri individu. Jika individu tidak dapat merespons tantangan yang datang, maka ada risiko psikologis yang akan ditanggung. Risiko itu dapat berupa penurunan harga diri, atau penilaian negatif dari lingkungan sosial (6). Disisi lain, tantangan juga dibutuhkan individu untuk bertumbuh. Krisis yang dialami saat quarter-life ini adalah salah satu contoh tantangan. Adanya tantangan akan membuat proses belajar menjadi asyik dan mendorong individu untuk menguasai suatu hal, serta membangun konsep diri lebih positif (9). Ketika individu melakukan suatu pekerjaan yang menantang, maka akan timbul rasa telah berprestasi, tanggung jawab, bertumbuh, rasa asyik ketika menjalaninya, dan mendapatkan pengakuan atau pujian (6).

Dibalik tantangan, pasti ada makna yang bisa didapatkan. Esensi dari kebermaknaan adalah percaya bahwa di luar sana dan suatu saat nanti akan ada kebaikan dari usaha yang dilakukan (6). Makna akan membuat individu bertahan dalam menghadapi tantangan yang sulit. Jadi, bagaimana Anda memaknai Quarter Life Crisis ini?

 

References :

  1. Robinson, O.C. (2015). Emerging adulthood, early adulthood and quarter-life crisis: Updating Erikson for the twenty-first century. In. R. Žukauskiene (Ed.) Emerging adulthood in a European context (pp.17-30). New York: Routledge
  2. https://www1.firstdirect.com/uncovered/heads-up/quarter-life-catalyst/
  3. Agarwal, S., Guntuku, S. C., Robinson, O., Dunn, A., & Ungar, L. (2020). Examining the Phenomenon of Quarter-life Crisis through Artificial Intelligence and the Language of Twitter. Frontiers in Psychology , 1-23.
  4. https://gensindo.sindonews.com/read/14429/700/survei-5-hal-paling-dicemaskan-saat-quarter-life-crisis-1588370747
  5. Arnett, J.J. (2007) ‘Emerging adulthood: What is it, and what is it good for?’ Child Development Perspectives, 1(2): 68–73.  doi: 10.1111/j.1750-8606.2007.00016.x
  6. Riyono, B. (2020). Motivasi dan Kepribadian. Jakarta Selatan: Al-Mawardi.
  7. https://www.psychologytoday.com/us/blog/the-gen-y-guide/201709/why-millennials-need-quarter-life-crises 
  8. Mogi, Ken. (2017). The Book of ikigai : make life worth living / Ken Mogi. Jakarta: Noura Books.
  9. Ferre-Caja, E. dan Weiss, M. R. (2000). Predictors of intrinsic motivation among adolescent students in physical education. Research Quarterly for Exercise and Sport. 71(3), 267.
12345

Recent Posts

  • Eco-Conscious Parenting: Menumbuhkan Praktik Berkelanjutan pada Perkembangan Anak
  • Memahami Pendidikan untuk Pembangunan Berkelanjutan di Kedai Kopi
  • Membangun Kembali Kegembiraan: Pentingnya Bermain Bagi Kesejahteraan Mental Bagi Masyarakat
  • Keterlibatan Ayah pada Pengasuhan Anak Usia Dini
  • Kader Hebat, Anak Bahagia: Pelatihan Stimulasi Sosioemosional pada Anak Usia Dini untuk Kader Bina Keluarga Balita di Gunungkidul
Universitas Gadjah Mada

Center for Life-Span Development (CLSD)
D-602, Fakultas Psikologi, Universitas Gadjah Mada
Jalan Sosio Humaniora Bulaksumur, Yogyakarta, Indonesia 55281
clsd.psikologi@ugm.ac.id

© Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY

[EN] We use cookies to help our viewer get the best experience on our website. -- [ID] Kami menggunakan cookie untuk membantu pengunjung kami mendapatkan pengalaman terbaik di situs web kami.I Agree / Saya Setuju