• Home
  • About Us
    • Managing Team
    • Researchers
    • Interns
    • Associates
  • Articles
  • Courses
  • Activities
    • CLSD Reader’s Club
    • Summer Course
    • Photovoice
    • SAELA
    • Community Service
  • Research & Publication
Universitas Gadjah Mada Center for Life-Span Development (CLSD)
Faculty of Psychology
Universitas Gadjah Mada
  • Home
  • About Us
    • Managing Team
    • Researchers
    • Interns
    • Associates
  • Articles
  • Courses
  • Activities
    • CLSD Reader’s Club
    • Summer Course
    • Photovoice
    • SAELA
    • Community Service
  • Research & Publication
  • Beranda
  • Artikel
  • page. 3
Arsip:

Artikel

Mengenal Emosi Anak: Strategi Orang Tua dalam Menangani Anak Temper Tantrum

ArtikelArtikelArtikel Ilmiah Populer Tuesday, 20 June 2023

Penulis: Hanifah Sholihah

Temper tantrum pada umumnya dianggap sebagai fenomena normal yang secara alami pasti terjadi pada anak-anak. Sejalan dengan ini, tantrum ditandai dengan gejala awal dari masalah perilaku yang mengganggu dan terlibat dalam perkembangan gangguan perilaku dan mood anak (Van den akker et al., 2022). Temper tantrum diartikan sebagai munculnya episode kemarahan dan frustasi yang sangat ekstrem (Daniels et al., 2012). Temper tantrum adalah suatu ledakan amarah yang sering terjadi pada anak yang sedang menunjukkan sikap negativistik atau penolakan (Izzaty, 2005). Gangguan perilaku bermasalah temper tantrum paling umum terjadi pada anak-anak sekitar usia 18 bulan hingga 4 tahun (Watson et al., 2010). Lebih lanjut Zuhroh & Kamilah (2020) menjelaskan bahwa anak usia prasekolah yang berusia antara 3 sampai 6 tahun biasanya berperilaku temper tantrum. Perilaku temper tantrum memberikan ruang yang unik bagi anak-anak untuk mengekspresikan frustasi mereka dengan permasalahan yang mereka hadapi dalam menyelesaikan tugas perkembangan.

Temper tantrum sering terjadi pada anak-anak yang sedang mengalami kelelahan, lapar, ketidaknyamanan atau perasaan yang tidak enak (Wakschlag, et al., 2012). Hal ini bisa menjadi pemicu ledakan emosi anak yang bisa mengakibatkan temper tantrum berkelanjutan. Perilaku temper tantrum dimanifestasikan dalam bentuk temper tantrum ringan, seperti kehilangan kesabaran atau mengamuk saat frustasi, marah atau kesal, menangis, berteriak hingga menunjukkan perilaku bermasalah yang berkelanjutan dan bisa mengganggu psikologisnya, seperti menghancurkan barang-barang saat sedang marah, menyakiti dirinya sendiri (Wakschlag et al., 2012; Zuhroh & Kamilah, 2020). Perilaku temper tantrum ini bisa berlanjut di tahapan perkembangan selanjutnya sehingga anak akan berperilaku maladaptif, seperti perilaku penghindaran, dan kekerasan hingga makian verbal (Daniels et al., 2012).

Temper tantrum dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti lingkungan, psikologi, penyesuaian diri, dan juga pola asuh orang tua (Umami & Sari, 2020). Peran pola asuh orang tua sangat berpengaruh pada perkembangan anak terutama emosi. Sejalan dengan penelitian Zuhroh & Kamilah (2020) bahwa 85.7% anak usia prasekolah mengalami temper tantrum di mana hal ini menunjukkan bahwa karakteristik ibu seperti usia dan jenis pekerjaan dapat mempengaruhi munculnya temper tantrum pada anak. Secara eksplisit, ibu yang berada pada rentang usia dewasa secara psikologis dianggap mampu berperan aktif dalam pola asuh anak, memberikan stimulus pada anak, dan juga membantu anak dalam mengembangkan kemampuan dasarnya. Lebih lanjut, ibu yang bekerja purna waktu dapat mempengaruhi pola asuh pada anak karena ibu yang terlalu sibuk bekerja lebih banyak menghabiskan waktunya di tempat kerja dibandingkan dengan waktu bersama dengan anaknya. Hal ini bisa berakibat pada kedekatan emosional antara ibu dan anak kurang sehingga anak akan merasa cemas, diabaikan kemudian mencari perhatian di luar rumah.

Banyak orang tua yang tidak sadar dalam menangani temper tantrum dengan tepat sehingga kondisi emosi anak cenderung tidak stabil. Hal tersebut dikarenakan orang tua lebih fokus pada menenangkan dirinya sendiri dibandingkan dengan menenangkan emosi anaknya. Pernyataan diatas diperkuat dengan penelitian Gina & Jessica (2007) bahwa saat anak yang  sedang tantrum sekitar 59% orang tua mencoba menenangkan anak, 37% mengacuhkan dan 31% menyuruh anak diam. Penanganan temper tantrum yang dilakukan oleh orang tua seharusnya bisa menciptakan lingkungan yang kondusif sehingga anak merasa nyaman. Di samping itu, orang tua juga harus bisa memahami berbagai emosi anak agar bisa membantu anak dalam mengekspresikan emosinya. Hal tersebut bisa dilakukan orang tua dengan memberikan respon penuh simpati dan kasih sayang yang menunjukkan bahwa orang tua memahami dan mengerti apa yang dirasakan anak. 

Tantrum memberikan tekanan yang besar pada hubungan orang tua dan anak (Salameh, et al., 2021). Ketika anak-anak berkembang, mereka bertindak melampaui batas sehingga anak-anak cenderung tidak patuh, merengek, menjadi pemarah, hiperaktif, dan agresi (Wakschlag et al., 2012). Hal ini bisa memicu temper tantrum pada anak dan orang tua harus bisa responsif saat anak sedang tantrum. Orang tua bertanggung jawab untuk membantu anak-anak mereka dalam mengeksplorasi dan menguasai keterampilan baru termasuk mengenali emosi dan melakukan regulasi emosi. Orang tua yang mengajarkan anaknya untuk bisa mengekspresikan emosinya di kehidupan sehari-hari, seperti memberikan ruang untuk merefleksikan diri dan berempati dengan orang lain akan bisa mendorong anak untuk belajar meregulasi emosinya dengan baik (Salameh, et al., 2021). Regulasi emosi merupakan keterampilan penting dari perkembangan masa bayi yang mempunyai implikasi jangka panjang pada coping dan resiliensi (Shin & Kemps, 2020; Coyne, et al., 2021). 

Penelitian Branjerdporn et al (2019) menyatakan bahwa apabila orang tua sudah bisa memahami apa yang dirasakan anaknya maka saat anak sedang mengalami tantrum, orang tua akan menerima berbagai rangsangan dari anaknya yang sedang mengalami tantrum, meliputi: 

  1. Rangsangan pendengaran, seperti anak berteriak dengan suara keras bernada tinggi, anak menangis tak terkendali. 
  2. Rangsangan visual, seperti anak melambaikan tangan secara spontan, anak melempar benda. 
  3. Rangsangan proprioseptif, seperti anak mendorong orang tua. 
  4. Rangsangan vestibular, seperti orang tua menoleh untuk melihat apakah orang lain melihat dan orang tua bergerak ke arah anak.

Berdasarkan penjelasan diatas, ada beberapa strategi dari penulis yang bisa diterapkan orang tua apabila anak sedang mengalami temper tantrum. Seperti, orang tua dapat memberikan ruang untuk anak melampiaskan emosinya namun tetap memastikan segala sesuatu dalam keadaan yang aman, baik untuk orang tua atau pengasuh serta barang-barang di sekelilingnya. Tak hanya itu, orang tua harus tanggap untuk memberikan respon yang positif, misalnya memberikan perhatian penuh kepada anak setidaknya dengan memeluk anak saat bahagia maupun sedih. Orang tua juga harus bisa mengendalikan emosinya dan berusaha untuk memahami perasaan anak. Bersamaan dengan itu, ada beberapa tindakan yang harus dihindari orang tua, seperti: membujuk, berdebat, memberikan nasihat-nasihat moral agar anak diam dan juga memberlakukan anak dengan kasar. Pengenalan emosi sangat penting dalam perkembangan anak agar anak dapat memahami perasaannya dan juga dapat membantu anak dalam mengontrol diri. 

Referensi

Branjerdporn, G., Meredith, P., Strong, J., & Green, M. (2019). Sensory sensitivity and its relationship with adult attachment and parenting styles. PLoS ONE, 14(1), 1–17. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0209555

Coyne, S. M., Shawcroft, J., Gale, M., Gentile, D. A., Etherington, J. T., Holmgren, H., Stockdale, L. (2021). Tantrums, toddlers and technology: Temperament, media emotion regulation, and problematic media use in early childhood. Computers in Human Behavior, 120, 1-9. https://doi.org/10.1016/j.chb.2021.106762

Daniels, E., Mandleco, B., & Luthy, K. E. (2012). Assessment, management, and prevention of childhood temper tantrums. Journal of the American Academy of Nurse Practitioners, 24(10), 569–573. https://doi.org/10.1111/j.1745-7599.2012.00755.x

Gina, M., & Jessica, T. (2007). Tantrums and anxiety in early childhood: A pilot study. Early Childhood Research and Practice Journal, 9(2).

Izzaty, R. E. (2005). Mengenali Permasalahan Perkembangan Anak Usia TK. Departemen Pendidikan Nasional.

Salameh, A. K. B., Malak, M. Z., Al-Amer, R. M., Al Omari, O. S. H., El-Hneiti, M., Sharour, L. M. A. Assessment of temper tantrums behaviour among preschool children in Jordan. Journal of Pediatric Nursing, 59, 106-111. https://doi.org/10.1016/j.pedn.2021.02.008

Shin, M., & Kemps, E. (2020). Media multitasking as an avoidance coping strategy against emotionally negative stimuli. Anxiety, Stress & Coping, 33(4), 440–451. https://doi.org/10.1080/10615806.2020.1745194 

Umami, D. A., & Sari, L. Y. (2020). Confirmation of five factors that affect temper tantrums in preschool children: A literature review. Journal of Global Research in Public Health, 5(2), 151–157. https://doi.org/10.30994/jgrph.v5i2.283

Van den akker, A. L., Hoffenaar, P., & Overbeek, G. (2022). Temper tantrums in toddlers and preschoolers: longitudinal associations with adjustment problems. Journal of Developmental & Behavioral Pediatrics, Publish Ah (00), 1–9. https://doi.org/10.1097/dbp.0000000000001071

Wakschlag, L. S., Choi, S. W., Carter, A. S., Hullsiek, H., Burns, J., McCarthy, K., Leibenluft, E., & Briggs-Gowan, M. J. (2012). Defining the developmental parameters of temper loss in early childhood. Journal of Child Psychology and Psychiatry, 53(11), 1099–1108. doi: 10.1111/j.1469-7610.2012.02595.x.

Watson, S., Watson, T., & Gebhardt, S. (2010). Temper Tantrums: Guidelines for Parents and Teachers. National Association of School Psychologists.

Zuhroh, D. F., & Kamilah. (2020). The correlation between child and mother’s characteristics with incidence of temper tantrum in preschool aged children. IJPN, 1(2), 24–33. https://doi.org/http://dx.doi.org/10.30587/ijpn.v1i2.2310

Pentingnya Pemahaman Orang Tua terhadap Pola Asuh Anak

ArtikelArtikelArtikel Ilmiah Populer Tuesday, 20 June 2023

Sumber gambar: freepik.com

Penulis: Hilman Dwi Himawan

Penyunting: Reswara Dyah Prastuty

Hampir sebagian besar masyarakat Indonesia mengetahui bahwa salah satu tugas orang tua adalah mendidik anak. Beragam cara diterapkan orang tua dalam mendidik anak, seperti mendidik dengan memberikan aturan-aturan yang ketat, bahkan ada yang sama sekali tidak memberikan aturan, mengabaikan hak-hak anak seperti kasih sayang, pendidikan, dan sebagainya, serta memberikan aturan sekaligus kebebasan kepada anak. Bervariasinya pola asuh ini dimungkinkan bisa disebabkan oleh beberapa faktor, seperti faktor budaya di mana orang tua berada, kepribadian orang tua, dan sebagainya. 

Beragamnya pola asuh orang tua di Indonesia memicu sebuah pertanyaan mendasar mengenai seberapa jauh pemahaman orang tua mengenai pola asuh yang diterapkan. Nyatanya, tidak semua orang tua memahami mengenai pola asuh yang diterapkan terutama berkaitan dengan dampak bagi perkembangan anak ke depan. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pola asuh yang diterapkan orang tua terhadap anak akan mempengaruhi perkembangan anak. Salah satunya adalah penelitian yang dilakukan oleh Ashari et al. (2017) yang menyebutkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pola asuh orang tua dengan perkembangan kognitif anak. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Solihah et al. (2021) menunjukkan bahwa terdapat pengaruh pola asuh orang tua yang signifikan terhadap perkembangan sosioemosional anak di mana 44% perkembangan sosioemosional anak dipengaruhi oleh pola asuh orang tua dan sisanya dipengaruhi oleh faktor-faktor lainnya. Hasil temuan tersebut menunjukkan bahwa penting bagi orang tua untuk memahami pola asuh yang diberikan terhadap anak.

Pemahaman pertama yang perlu diperhatikan oleh orang tua mengenai pola asuh adalah jenis pola asuh yang diberikan. Di balik beragamnya pola asuh orang tua sebenarnya bisa disederhanakan menjadi 4 pola asuh. Menurut Diana Baumrind, terdapat 4 jenis pola asuh orang tua (Santrock, 2016), yaitu: 

  1. Pola asuh authoritarian berkaitan dengan membatasi, memaksa, memarahi, dan menghukum. 
  2. Authoritative berkaitan dengan pola asuh yang hangat, mendukung, memberi kebebasan namun tetap menekankan tanggung jawab.
  3. Neglectful berkaitan dengan pola asuh orang tua yang tidak terlibat dalam hidup anak serta tidak ada kontrol dan norma. 
  4. Indulgent berkaitan dengan pola asuh orang tua yang sangat terlibat dengan anak namun tidak menuntut dan menerapkan aturan dan anak dibiarkan melakukan apapun yang mereka mau. Melalui pemahaman pertama ini, orang tua diharapkan mampu mengidentifikasi pola asuh apa yang diterapkan pada anak. 

Pemahaman selanjutnya yang perlu diperhatikan oleh orang tua mengenai pola asuh adalah batasan dalam penerapan. Setelah mengidentifikasi jenis pola asuh yang diberikan kepada anak, orang tua perlu memahami seberapa jauh pola asuh tersebut diterapkan. Hal ini perlu dilakukan agar pola asuh yang diberikan tetap berdampak positif bagi perkembangan anak. Menurut Santrock (2016), pola asuh authoritative akan menjadikan anak tumbuh sebagai pribadi yang ceria, memiliki kontrol diri, mandiri, berorientasi pada pencapaian, bersahabat, kooperatif, mampu mengatasi stres dengan baik, dan memiliki harga diri yang baik. Selanjutnya, pola asuh authoritarian akan menjadikan anak tumbuh sebagai pribadi yang tidak bahagia, penuh dengan rasa takut, cemas, inisiasi yang rendah, keterampilan komunikasi yang lemah, dan bisa berperilaku agresif terutama laki-laki. Kemudian, pola asuh indulgent menjadikan anak tumbuh sebagai pribadi yang tidak sopan dengan orang lain, kontrol diri yang rendah, dominan, egosentris, dan tidak patuh. Terakhir, pola asuh neglectful menjadikan anak tumbuh sebagai pribadi yang memiliki kompetensi sosial rendah, kontrol diri yang rendah, harga diri yang rendah, tidak dewasa, dan tidak memiliki kemandirian yang baik. Jika mengacu pada temuan tersebut, maka bisa disimpulkan bahwa sebaiknya pola asuh authoritarian, indulgent, dan neglectful tidak diberikan secara intensif kepada anak. Sebaliknya, pola asuh authoritative perlu dipertimbangkan sebagai pola asuh utama yang diterapkan orang tua kepada anak.

Pemahaman terakhir yang perlu diperhatikan oleh orang tua mengenai pola asuh adalah sebisa mungkin menghindari pemberian hukuman pada anak. Berdasarkan penelitian, ternyata hukuman atau kekerasan fisik yang dilakukan orang tua banyak berhubungan dengan berbagai dampak negatif pada anak seperti rendahnya internalisasi moral, rendahnya kesehatan mental, tingginya agresivitas, depresi pada remaja, dan externalizing problems seperti kenakalan remaja (Cicchetti, 2017; Cicchetti & Toth, 2016). Selain itu, pemberian hukuman atau kekerasan fisik juga sebaiknya dihindari karena setidaknya terdapat lima dampak negatif lainnya (Santrock, 2016). Kelima dampak tersebut, yaitu: 

  1. Ketika orang dewasa menghukum anak dengan teriakan atau pukulan maka ia justru sedang memberikan model bagi anak untuk lepas kontrol dalam menghadapi situasi yang stressful sehingga anak akan meniru. 
  2. Hukuman akan menanamkan ketakutan, kemarahan atau penghindaran sehingga anak justru takut dekat dengan orang tua.
  3. Hukuman lebih menekankan pada apa yang tidak boleh dilakukan daripada apa yang seharusnya dilakukan. 
  4. Pemberian hukuman bisa menjadikan orang tua lepas kendali dan membahayakan anak. 
  5. Hukuman kadang-kadang mengarah pada terjadinya child maltreatment yang bisa berakibat pada rendahnya regulasi emosi, masalah kelekatan, bermasalah dalam relasi kelompok, sulit beradaptasi di sekolah, dan masalah psikologis lainnya serta bisa menyebabkan anak berperilaku agresif dan menyalahgunakan obat-obatan. 

Mengetahui betapa pentingnya pemahaman orang tua terhadap pola asuh anak, sudah seharusnya orang tua mulai menyadari tiga pemahaman mendasar mengenai pola asuh terhadap anak, yaitu jenis pola asuh yang diberikan, batasan dalam penerapan, dan sebisa mungkin menghindari pemberian hukuman pada anak. Adanya pemahaman mengenai pola asuh tersebut diharapkan dapat menjadikan orang tua semakin bijak dalam memberikan pengasuhan pada anak. Dengan demikian, perkembangan anak diharapkan akan menjadi lebih optimal, baik dari segi kognitif, emosi, sosial, maupun budaya. 

Daftar Pustaka 

Ashari, C. D., Utami, N. W., & Susmini. (2017). Hubungan Pola Asuh Orang Tua dengan Perkembangan Kognitif Anak Usia 3-4 Tahun di PAUD Kecamatan Magelang Selatan. Nursing news, 2(3), 565–579.

Cicchetti, D. (2017, in press). A Multilevel Developmental Approach to the Prevention of Psychopathology in Children and Adolescents. In J.N. Butcher & Others (Eds.), APA Handbook of Psychopathology. American Psychological Association.

Cicchetti, D., Toth, S. L. (2016). Child Maltreatment and Developmental Psychopathology: A Multi-level Perspective. In D. Cicchetti (Ed.), Developmental Psychopathology (3rd ed.). Wiley.

Santrock, J. W. (2016). A Topical Approach To Life-Span Development (9nd ed.). McGraw Hill Education.  

Solihah, S., Ali, M., & Yuniarni, D. (2021). Pengaruh Pola Asuh Orang Tua terhadap Perkembangan Sosial Emosional Anak di TK Mujahidin Pontianak. Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran Khatulistiwa, 10(9), 1–8. https://jurnal.untan.ac.id/index.php/jpdpb/article/view/49434

Sibling Rivalry: Jangan Biarkan Anak Bersaing dengan Saudara Sendiri

ArtikelArtikelArtikel Ilmiah Populer Monday, 19 June 2023

Penulis: Nur Nisrina Hanif Rifda

Penyunting: Sukmo Bayu Suryo Buwono

Pada hakikatnya, setiap manusia memiliki kebutuhan untuk ingin diakui dan diterima oleh sekelilingnya. Adanya kebutuhan untuk diakui membuat manusia berusaha untuk melakukan pemenuhan terhadap tujuan tersebut. Meski demikian, upaya pemenuhan yang dilakukan tidak selalu positif, bahkan terkadang dapat memunculkan adanya persaingan antarmanusia.

Persaingan dapat terjadi pada siapa saja, termasuk antar sesama saudara kandung. Di satu sisi, kehadiran saudara kandung tentu dapat membuat anak tidak merasa kesepian, tetapi di sisi lain juga tidak jarang memunculkan persaingan atau pertengkaran. Fenomena persaingan dengan saudara kandung disebut sebagai sibling rivalry (Kastenbaum, dalam Oktaviani & Tentama, 2019). Dari sudut pandang psikologi, fenomena sibling rivalry tidak selalu bersifat negatif. Ketika persaingan saudara kandung dikelola secara tepat, ia dapat difungsikan sebagai medium stimulasi kemampuan sosial, interpersonal, dan kognitif yang penting bagi perkembangan anak hingga masa dewasa–alih-alih menimbulkan berbagai permasalahan psikologis.

Pengelolaan dan pencegahan terhadap sibling rivalry perlu dilakukan karena dampak negatif dari persaingan yang berlebihan dapat bertahan hingga anak tumbuh dewasa. Studi terdahulu menemukan bahwa sibling rivalry dapat memunculkan sifat agresi, tantrum, emosi yang meledak-ledak, gangguan kepercayaan diri, hingga dendam terhadap saudara kandung (Putri dkk., 2013). Karakter maladaptif dapat mendorong anak enggan berbagi ataupun membantu sesama, bahkan hingga menjadikannya cenderung bersikap dominan. Kondisi ini tentu dapat membahayakan hubungan persaudaraan, terlebih ketika orang tua sudah meninggal dunia (Marhamah & Fidesrinur, 2019).

Mengasuh anak tentu bukan pekerjaan mudah, terlebih untuk membagi kasih dan menyeimbangkan bentuk pengasuhan antaranak. Oleh karena itu, orang tua perlu memahami cara mengelola sibling rivalry secara sehat dan tepat. Di bawah ini adalah sejumlah tips untuk melakukannya.

Kenali penyebab pertengkaran anak
Setiap anak memiliki penyebab pertengkaran yang berbeda-beda dengan saudaranya. Orang tua perlu mengamati perilaku anak secara lebih detail untuk dapat mengetahui karakteristik setiap anak. Ketika anak bertengkar dengan saudaranya, orang tua dapat mencoba untuk turut memahami penyebab pertengkaran tersebut (Stephens, 2007). Dengan memahami penyebab pertengkaran dari sudut pandang anak, orang tua dapat lebih mudah menentukan langkah preventif untuk mencegah terjadinya pertengkaran yang berulang.

Jadi contoh yang baik untuk anak
Anak merupakan seorang peniru yang andal. Ketika mengeksplorasi sekitar, anak akan turut menyerap berbagai informasi, termasuk meniru cara untuk bertindak dalam menyikapi sesuatu. Kondisi ini juga dapat berlaku dalam konteks penanganan sibling rivalry. Orang tua dapat berperan dalam memberikan teladan yang baik bagi anak melalui upaya-upaya manajemen konflik secara bijak, seperti menunjukkan sikap mau berbagi dengan anak atau menerapkan budaya berani meminta maaf.

Jaga keseimbangan waktu bagi setiap anak
Orang tua tidak perlu khawatir apabila harus membagi waktu antara pekerjaan dengan quality time bersama anak, karena salah satu hal yang ditekankan saat menjalani quality time bersama anak adalah tentang kualitas, bukan kuantitas. Orang tua dapat mengajak anak untuk bersama- sama terlibat dalam aktivitas sebagai bentuk quality time, seperti memasak, membersihkan rumah, atau menemani anak melakukan hobi.

Terdapat empat jenis waktu dasar yang dapat menjadi patokan bagi orang tua untuk menyeimbangkan waktu bagi setiap anak, yaitu (Guryan dkk., 2008):

  1. Basic, yaitu waktu untuk kebutuhan dasar anak, seperti menyusui, menidurkan,
    menyiapkan makanan, atau membantu anak berdandan.
  2. Educational, seperti kegiatan menemani anak mengerjakan PR, membaca buku untuk anak, atau menghadiri kegiatan anak di sekolah.
  3. Recreational, seperti bermain bersama anak atau pergi bertamasya bersama.
  4. Travel, seperti mengantar anak pergi ke sekolah, mengantar anak ke dokter, atau kegiatan lain yang berkaitan dengan tiga jenis waktu lainnya.

Fokus pada kelebihan masing-masing
Orang tua perlu mengembangkan mindset bahwa setiap anak terlahir dengan bakat istimewa yang berbeda-beda. Terkadang, salah satu hal yang dapat memicu timbulnya sibling rivalry adalah sikap favoritisme orang tua terhadap anak tertentu. Orang tua, entah secara sadar maupun tidak sadar, kerap melakukan perbandingan antara kemampuan anak dengan saudaranya. Untuk menghindari dampak negatif sibling rivalry, orang tua perlu lebih mengenal dan berfokus pada eksplorasi minat dan bakat dari masing-masing anak (Government of South Australia, 2015). Orang tua dapat mendukung anak untuk mengembangkan diri sesuai minatnya dengan menanamkan bahwa setiap anak dapat berkarya melalui bidang masing-masing. Orang tua juga dapat memberikan apresiasi sesuai dengan kemampuan masing-masing anak tanpa membandingkan anak dengan saudaranya.

Berikan privasi dan kepemilikan anak atas barangnya
Terkadang, orang tua ingin mengajarkan tentang konsep berbagi kepada anak dengan membiasakan mereka berbagi mainan dengan saudaranya. Akan tetapi, hal tersebut kurang tepat apabila dilakukan terus-menerus. Orang tua perlu memberikan privasi dan membuat anak merasa memiliki barangnya sendiri (Government of South Australia, 2015). Dengan demikian, anak dapat menurunkan intensitas kecemburuan yang muncul akibat adanya keharusan dan keterpaksaan untuk berbagi dengan saudaranya.

Pengelolaan sibling rivalry tentu tidak mudah untuk dilakukan. Akan tetapi, orang tua tentu dapat belajar dan mengembangkan strategi untuk menyikapi kondisi tersebut demi menjaga keharmonisan hubungan anak dengan saudara kandung. Ayah dan ibu dapat saling bantu dan berkoordinasi untuk menghindarkan anak dari dampak negatif sibling rivalry. Orang tua juga dapat berkonsultasi lebih lanjut dengan psikolog untuk menemukan cara paling sesuai dalam memberikan pengasuhan kepada anak.

Referensi

  • Government of South Australia (2015). Sibling rivalry. Retrieved July 3, 2022 from
    https://parenting.sa.gov.au/pegs/peg27.pdf
  • Guryan, J., Hurst, E., & Kearney, M. S. (2008). Parental education and parental time with
    children. Journal of Economic Perspectives, 22(13993).
    https://doi.org/10.1257/jep.22.3.23
  • Marhamah, A. A., & Fidesrinur (2019). Gambaran strategi orang tua dalam penanganan
    fenomena sibling rivalry pada anak usia pra sekolah. Jurnal AUDHI, 2(1), 30-36.
    https://doi.org/10.36722/jaudhi.v2i1.578
  • Oktaviani, F., & Tentama, F. (2019). The construct of validity sibling rivalry: Confirmatory
    factor analysis second order in the science of sibling rivalry. International Journal of
    Scientific & Technology Research, 8(12), 3737-3742.
    http://eprints.uad.ac.id/20090/1/The-Construct-Of-Validity-Sibling-Rivalry.pdf
  • Putri, A. C. T., Deliana, S. M., & Hendriyani, R. (2013). Dampak sibling rivalry (persaingan
    saudara kandung) pada anak usia dini. Developmental and Clinical Psychology, 2(1), 33-37 http://lib.unnes.ac.id/id/eprint/18553
  • Stephens, K. (2007). Sibling rivalry: ways to help children manage it. Parenting Exchange.
    Retrieved July 3, 2022 from https://www.easternflorida.edu/community-resources/child-
    development-centers/parent-resource-library/documents/sibling-rivalry.pdf

Pemikiran Ki Ageng Suryomentaram Mengenai Pertumbuhan dan Perkembangan Manusia

ArtikelArtikelArtikel Ilmiah Populer Monday, 19 June 2023

Photo credit: Kompasiana (https://www.kompasiana.com/farouqalghoribi5681/6365a2e94addee0df119d913/biografi-ki-ageng-suryomentaram-k-a-s)

Penulis: Siti Waringah – waringah_psy@ugm.ac.id

Kawruh Jiwa Suryomentaram merupakan pengetahuan yang membahas pemahaman tentang jiwa dan sifat-sifatnya, yang dikemukakan oleh Ki Ageng Suryomentaram, salah satu putra dari Sri Sultan Hamengku Buwono VII. Pertumbuhan dan perkembangan manusia yang dijabarkan dalam Kawruh Jiwa Suryomentaram menjelaskan berbagai perubahan pada diri individu sejak masa bayi sampai mencapai kematangan, dan perubahan-perubahan pada proses yang menyertai, serta berbagai faktor yang menentukan (Suryomentaram, 1990). Afif (2012) menjelaskan lebih lanjut bahwa pertumbuhan dan perkembangan tersebut terkait dengan rasa yang ada pada diri seseorang yang pada awal pertumbuhannya terkait dengan rasa kesadaran fisik, lalu tumbuh dan berkembang terkait dengan rasa kesadaran psikologis (rasa kesadaran fisik, afektif, dan kognitif), serta terkait dengan rasa kesadaran spiritual (rasa kesadaran fisik, afektif, kognitif, dan intuitif).

Ditinjau dari proses berlangsungnya, Adimassana (1986) dan Waringah (dalam Sugiarto (2015) menggambarkan bahwa pertumbuhan dan perkembangan seseorang, menurut pemikiran Suryomentaram meliputi empat (4) tahap, yaitu: (1). Dimensi/ukuran I, (2). Dimensi/ukuran II, (3). Dimensi/ukuran III, dan (4). Dimensi/ukuran IV. Hal tersebut didasarkan pada jabaran pemikiran Ki Ageng Suryomentaram yang tertulis dalam buku Kawruh Jiwa, Wejanganipun Ki Ageng Suryomentaram (1990) yang diuraikan dalam bahasa Jawa. Gambaran keempat dimensi/ukuran tersebut adalah:

(I). Dimensi/ukuran I, disebut sebagai juru catat (juru cathet). Pada dimensi/ukuran I ini, manusia tunduk pada tuntutan kebutuhan fisik biologis sensual yang bersifat instingtif dan secara intelektual baru mampu mengabstraksi apa yang ditangkap oleh kesan-kesan dari fungsi pancaindera (sensory motoric). Dalam dimensi/ukuran I ini, manusia melalui pancainderanya akan mencatat (mempersepsi) segala hal yang ada di sekelilingnya. 

Dimensi/ukuran I adalah hidup seorang bayi yang baru lahir dalam beberapa hari. Bayi tersebut dapat merasakan sesuatu namun belum dapat menggunakan fisik/tubuhnya sesuai perasaannya. Ketika bayi digigit nyamuk, ia merasa sakit tetapi tangannya belum dapat digunakan untuk menghalau nyamuk dan menggaruk tempat yang gatal akibat gigitan nyamuk. Hidup dalam dimensi/ukuran I disebut sebagai hidup yang hanya mempunyai satu dimensi saja, yaitu hanya merasakan, mengalami, atau menerima semua rangsangan dari luar. Yang berfungsi pada tahap ini hanya dimensi pancaindera saja.

(II). Dimensi/ukuran II, disebut sebagai catatan-catatan (kumpulan cathetan) yang merupakan hasil dari proses mencatat/melakukan persepsi pada dimensi/ukuran I. Pada  tahap ini, jiwa manusia menyimpan banyak catatan/cathetan atau persepsi sebagai hasil kerja pancaindera. Pengalaman hidup sejak kecil hingga dewasa akan menjadi catatan-catatan (kumpulan cathetan) yang ada pada dimensi/ukuran II. Menurut Suryomentaram, ada 11 kelompok catatan yang dimiliki manusia, yaitu catatan harta benda, kehormatan, kekuasaan, keluarga, golongan, kebangsaan, jenis, kepandaian, kebatinan, ilmu pengetahuan, dan rasa hidup. Catatan-catatan itu tidak hanya bersifat menyenangkan (afek positif), tetapi ada juga yang tidak menyenangkan (afek negatif). Oleh karena itu, dimensi/ukuran II disebut sebagai fungsi emosi. Pada tahap ini, jiwa masih belum berkembang potensi kepribadiannya karena dimensi/ukuran II ini belum mampu mengantarkan individu mencapai kebermaknaan hidup secara luhur. 

Hidup pada dimensi/ukuran II adalah hidup anak-anak yang bagian badannya sudah dapat digunakan untuk mengikuti perasaannya namun belum mengerti sifat dari hukum benda-benda. Seorang anak yang melihat api bercahaya akan senang, kemudian dipegangnya api tersebut. Hal itu terjadi karena anak belum dapat mengerti hukum alam benda bahwa api dapat membakar tangannya. Hidup dalam dimensi/ukuran II, anak mampu menerima rangsangan dan menanggapinya, namun belum dapat menggunakan pikiran atau pengertian tentang hukum-hukumnya, sehingga tindakannya sering keliru, pikirannya belum berfungsi.

(III). Dimensi/ukuran III, disebut sang pemikir (si tukang pikir, atau kramadangsa), yang merujuk pada kepribadian manusia yang bersesuaian dengan nama dan sifat khas masing-masing orang. Tahap ini disebut sebagai fase tumbuh dan berkembangnya kramadangsa “si tukang pikir”, yang merupakan kesadaran personal dalam fungsi kognisi. Suryomentaram menjelaskan bahwa pada dimensi/ukuran III manusia memiliki perkembangan fungsi pikiran, oleh karena itu dalam tindakan-tindakannya tidak selalu didorong oleh emosi-emosinya saja (pengaruh catatan yang menyenangkan dan tidak menyenangkan). Manusia dalam bertindak juga mempertimbangkan pikiran rasional.

Hidup manusia pada dimensi/ukuran III, sudah dapat merasakan sesuatu, badannya dapat digunakan sesuai dengan perasaannya dan dirinya sudah dapat mengerti sifat alam hukum benda. Pada tahap ini ada tiga hal yang sudah dapat berfungsi pada manusia, yaitu alat perasa (pancaindera), organ untuk menanggapi, dan pikiran. Hidup pada dimensi/ukuran III ini berorientasi ke arah pemenuhan kebutuhan diri sendiri. Suryomentaram juga menjelaskan bahwa dimensi/ukuran III merupakan kramadangsa atau manusia yang berorientasi pada pengalaman/catatan-catatan kawruh jiwa yang dimiliki. Pengalaman/catatan-catatan kawruh jiwa yang membentuk kramadangsa/“aku” yang merasa tersebut, akan muncul sebagai tanggapan rasa suka atau benci. 

Anak-anak sebagai individu, pertumbuhan dan perkembangannya masih  belum  sempurna,  dan masih berlangsung   terus  sesuai  dengan pengalaman-pengalaman yang dimiliki. Ditinjau dari kawruh jiwa Suryomentaram, pertumbuhan dan perkembangan anak masih sebatas sampai pada dimensi/ukuran I, II, dan III (Adimassana, 1986). 

(IV). Dimensi/ukuran IV, disebut sebagai tahap manusia tanpa ciri/menungsa tanpa tenger. Pada  tahap ini, manusia sudah mampu melampaui tuntutan akal objektif ke tingkat ideal. Manusia pada tahap dimensi/ukuran  IV ini memiliki sifat ethic-altruistic, yang memungkinkan seseorang menghayati rasa orang lain dan mengetahui kekurangan atau kesalahan diri sendiri (self evaluation). Apabila seseorang merasa dirinya paling benar, maka ia akan kembali ke dimensi/ukuran III, yakni akan membela diri sendiri sebagai yang paling benar. Hal itu akan menghambat perkembangan dimensi/ukuran IV. Menghambat perkembangan dimensi/ukuran IV berarti menghambat pertumbuhan dan perkembangan pribadi manusia tanpa ciri/menungsa tanpa tenger yang sehat dan sejahtera. Individu dengan kualitas pribadi manusia tanpa ciri/menungsa tanpa tenger akan dapat merasakan ketenangan dan ketentraman. Itulah keadaan jiwa sehat menurut Suryomentaram (Waringah dalam Sugiarto, dkk., 2015). 

Uraian-uraian di atas menunjukkan adanya empat tahap pertumbuhan dan perkembangan manusia yang dijabarkan oleh Ki Ageng Suryomentaram dalam kawruh jiwa. Keempat tahap tersebut dikenal sebagai dimensi/ukuran I, dimensi/ukuran II, dimensi/ukuran III, dan dimensi/ukuran IV; yang meliputi pertumbuhan dan perkembangan secara fisik, emosi, kognisi, dan intuisi. Thesis-thesis tersebut disusun berdasarkan pengalaman pribadi Ki Ageng Suryomentaram yang diverifikasi dengan pengalaman sahabat-sahabatnya yang hidup di era penjajahan, di situasi PD I dan PD II, serta di kondisi bangsa yang sedang memperjuangkan kemerdekaan. Thesis-thesis tersebut telah diteliti dan diuji validitasnya oleh Jatman (1985) dalam kajian psikologi melalui karya ilmiah yang berupa tesis S2. Tesis-tesis tersebut diuji kesesuaiannya dengan kenyataan hidup masa kini serta didialogkan dengan konsep-konsep serupa dalam psikologi modern (teori Maslow dan Rogers).

Referensi:

Adimassana, J. B.; 1986. Ki Ageng Suryomentaram tentang Citra Manusia. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Afif, A. 2012. Matahari dari Mataram. Menyelami Spiritualitas Jawa Rasional Ki Ageng Suryomentaram. Yogyakarta: Penerbit Kepik.

Jatman, D. 1985. Ilmu Jiwa Kramadangsa, Satu Usaha Eksplisitasi dan Sistematisasi dari Wejangan-Wejangan Ki Ageng Suryomentaram. Thesis. Yogyakarta: Pascasarjana Universitas Gadjah Mada.

Sugiarto, R.; dkk. 2015. Handbook Ilmu Kawruh Jiwa Suryomentaram, Riwayat, dan Jalan Menuju Bahagia. Yogyakarta: Dinas Kebudayaan DIY.Suryomentaram, G. (1990). Kawruh Jiwa Wejanganipun Ki Ageng Suryomentaram (Jilid 2). Jakarta: CV Haji Masagung.

Memutus “Lingkaran Setan” Gaya Pengasuhan Authoritarian pada Asian Parents

ArtikelArtikelArtikel Ilmiah Populer Thursday, 15 June 2023

Photo credit: pikwizard.com

Penulis: Maura Olivia Situmorang
Penyunting: Diah Dinar Utami

Melihat realita yang ada, banyak orang tua menjadikan anak sebagai miniatur mereka. Anak diharap bisa menjadi sosok yang diinginkan orang tua meskipun seringkali bertolak belakang dengan keinginan anak. Ambisi ini membuat anak terkesan seperti robot yang bebas diperintah. Gaya pengasuhan seperti ini disebut authoritarian dan pada dasarnya terdapat pada berbagai budaya, tetapi lebih sering dijumpai pada Asian parents. Li dkk. (2010) melaporkan bahwa anak Asia menerima gaya pengasuhan authoritarian yang lebih tinggi dibanding anak Amerika dan Eropa. Gaya pengasuhan ini dicirikan dengan kehangatan emosional yang rendah, kontrol orang tua yang berlebihan, kepatuhan dan rasa hormat yang tinggi pada orang tua, serta komunikasi dua arah yang kurang (Mousavi dkk., 2016).

Cole (2016) mengatakan bahwa selama masa kanak-kanak, Asian parents cenderung mendorong anak untuk menyimpan emosi daripada meminta anak mengekspresikan emosi. Rothbaum & Trommsdorff (2007) menjelaskan, pada budaya Jepang, orang tua berusaha mencegah anak mengalami emosi negatif, sedangkan orang tua pada budaya Barat lebih sering merespon setelah anak tertekan dan membantu anak mengatasi emosinya.

Gaya pengasuhan tersebut berkontribusi pada perkembangan kehidupan dan kesehatan mental anak. Pada masa remaja, anak yang diasuh dengan gaya authoritarian menunjukkan harga diri, kepercayaan diri, self-efficacy, dan kemampuan hubungan interpersonal yang rendah (Ang & Goh, 2006). Pada masa dewasa, mereka menunjukkan kemampuan regulasi diri yang rendah (Shen dkk., 2018). Di samping itu, adanya batasan ketat dan komunikasi buruk menyebabkan stres pada anak meningkat dan akhirnya berimbas pada kesehatan mental.

Melihat adanya dampak buruk gaya pengasuhan authoritarian, orang tua perlu mengevaluasi gaya pengasuhan yang selama ini diterapkan. Umumnya, pola asuh ini diturunkan dari generasi ke generasi. Orang tua yang memiliki trauma masa kecil akibat pengasuhan authoritarian biasanya menerapkan hal serupa pada anaknya. Orang tua perlu memilih dan mempertimbangkan gaya pengasuhan yang terbaik dan berdampak positif bagi perkembangan anak.

Orang tua bisa menerapkan gaya pengasuhan authoritarian dan authoritative secara bersamaan. Di satu sisi, pengasuhan authoritarian diperlukan untuk menghindarkan anak dari perilaku yang destruktif, tetapi di sisi lain bisa menjadi boomerang yang berdampak buruk bagi perkembangan anak. Beberapa hal yang bisa dilakukan oleh orang tua:

1. Tidak menekan emosi anak
Orang tua perlu membantu anak mengenali dan mengekspresikan emosinya. Ketika anak merasakan emosi negatif, orang tua perlu membimbing anak untuk mengatasi emosi tersebut dengan baik ketimbang menghakimi ataupun meminta anak menahan emosi.

2. Ketahuilah bahwa anak merupakan pribadi yang otentik
Orang tua tidak perlu memaksa segala pilihan anak. Beri mereka otonomi untuk memilih dan melakukan semua yang diinginkan selama hal tersebut positif. Cara ini akan membantu meningkatkan kemandirian pada anak.

3. Memberikan kesempatan pada anak untuk menyampaikan pendapat dan mendengarkan
segala keluh kesah mereka

Komunikasi merupakan kunci keharmonisan hubungan anak dan orang tua. Dengan adanya komunikasi yang efektif, anak akan merasa lebih dihargai, meningkatkan kepercayaan diri anak, dan membantu membangun hubungan interpersonal yang lebih baik.

Mengasuh anak bukanlah perkara yang sepele. Tumbuh kembang anak akan sangat dipengaruhi oleh gaya asuh yang diterapkan orang tua. Selama ini, kebanyakan Asian parents masih menggunakan gaya pengasuhan authoritarian yang pada kenyataannya malah membawa dampak buruk bagi mental anak. Dengan demikian, orang tua perlu memiliki pemahaman yang tepat mengenai pengasuhan yang efektif dengan menerapkan beberapa cara di atas. Namun, apabila menemukan permasalahan lain seputar pola asuh yang berdampak pada kesehatan mental anak, jangan ragu untuk berkonsultasi dengan layanan profesional, seperti psikolog/paramedis.

Referensi:
Ang, R., & Goh, D. (2006). Authoritarian Parenting Style in Asian Societies: A Cluster- Analytic Investigation*. Contemporary Family Therapy, 28(1), 131-151. https://doi.org/10.1007/s10591-006-9699-y

Cole, P. (2016). Emotion and the Development of Psychopathology. Developmental Psychopathology, 1-60. https://doi.org/10.1002/9781119125556.devpsy107

Li, Y., Costanzo, P., & Putallaz, M. (2010). Maternal Socialization Goals, Parenting Styles, and Social-Emotional Adjustment Among Chinese and European American Young Adults: Testing a Mediation Model. The Journal Of Genetic Psychology, 171(4), 330-362. https://doi.org/10.1080/00221325.2010.505969

Mousavi, S., Low, W., & Hashim, A. (2016). Perceived Parenting Styles and Cultural Influences in Adolescent’s Anxiety: A Cross-Cultural Comparison. Journal Of Child And Family Studies, 25(7), 2102-2110. https://doi.org/10.1007/s10826-016-0393-x

Rothbaum, F., & Trommsdorff, G. (2007). Do Roots and Wings Complement or Oppose One Another?: The Socialization of Relatedness and Autonomy in Cultural Context. In J. E. Grusec & P. D. Hastings (Eds.), Handbook of socialization: Theory and research (pp.461–489). The Guilford Press.

Shen, J., Cheah, C., & Yu, J. (2018). Asian American and European American emerging adults’ perceived parenting styles and self-regulation ability. Asian American Journal Of Psychology, 9(2), 140-148. https://doi.org/10.1037/aap0000099

Menyoal n-Po generation: Akankah Indonesia mengalami hal yang sama?

ArtikelArtikelArtikel Ilmiah Populer Monday, 5 June 2023

Penulis: Muhammad Ikbal Wahyu Sukron

Penyunting: Diah Dinar Utami

Istilah “n-Po generation” mungkin masih asing terdengar di telinga. Tetapi, bagi kamu yang pernah menonton serial drama korea bertajuk “My Liberation Notes”, tentu familiar dengan permasalahan yang dihadapi oleh individu yang memasuki usia dewasa. Generasi n-Po (n-Posedae) atau numerous giving-up generation merupakan istilah untuk menggambarkan fenomena generasi muda Korea Selatan yang menyerah pada sejumlah poin penting dalam hidup, seperti kehidupan percintaan, pernikahan, menunda memiliki anak, mencari pekerjaan, dan tempat tinggal. Banyak faktor yang menyebabkan generasi muda memilih untuk menyerah, seperti tekanan ekonomi, kenaikan harga, dan kurangnya lapangan pekerjaan, .

Generasi n-Po merupakan perluasan istilah dari generasi sampo (sam= 3; po= giving-up) yang awalnya hanya menyerah pada 3 poin, seperti percintaan, pernikahan, menunda memiliki anak. Generasi n-Po umumnya terjadi pada rentang usia 20-an hingga 30-an akhir. Pada periode usia ini, individu memiliki tuntutan lebih besar secara sosial untuk mandiri secara individual, finansial, dan menjalin hubungan romantis dengan lawan jenis. Banyak perempuan Korea Selatan yang menyerah pada beberapa poin penting dalam hidup karena tuntutan sosial, mahalnya biaya pendidikan, perumahan, dan bahan pokok. Mereka yang menyerah akan hubungan asmara dan menunda untuk memiliki anak beralasan bahwa menghidupi diri sendiri saja sudah tidak mampu apalagi harus menghidupi keluarga. Alasan ini tentu sangat logis mengingat tidak seorang pun yang ingin orang yang dicintainya hidup dalam kondisi kekurangan; para orang tua juga ingin anak mereka memiliki penghidupan yang layak sehingga akan lebih baik kiranya tidak menjalin hubungan daripada menyengsarakan orang lain.

Kesulitan mencari pekerjaan dan kenaikan harga tempat tinggal membuat orang dewasa menyerah dan memilih untuk hidup apa adanya. Pilihan untuk hidup apa adanya tentu tidak ada yang mempermasalahkan, tetapi ketika keadaan ini menyebabkan orang dewasa tidak lagi berhasrat untuk menetapkan tujuan (goals) dalam hidup sehingga hidup tidak lagi bermakna maka ada yang salah dengan pilihan tersebut.

Jika melihat fenomena ini dari kacamata ilmu psikologi perkembangan, setiap rentang kehidupan memiliki tugas perkembangannya masing-masing. Tuntutan individu yang sudah memasuki usia dewasa akan berbeda dari mereka yang masih berada pada rentang usia remaja. Havighurst menjelaskan beberapa tugas perkembangan orang dewasa, seperti mencapai otonomi, mengembangkan stabilitas emosi, membangun karir, membangun keintiman, menjadi bagian dari komunitas, dan menjadi orangtua serta mengasuh anak.

Nah, jika mengacu pada tugas perkembangan yang dikemukakan oleh Havighurst tersebut, generasi n-Po tidak menyelesaikan hampir keseluruhan tugas perkembangan masa dewasa. Padahal, ketidakmampuan untuk menyelesaikan tugas perkembangan pada masa dewasa akan berpengaruh pada pemenuhan tugas perkembangan pada fase berikutnya. 

Berkaca pada fenomena generasi n-Po di Korea Selatan, ada kemungkinan individu dewasa di Indonesia juga mengalami hal serupa. Salah satunya terkait kepemilikan tempat tinggal. Tingginya permintaan dan rendahnya daya beli membuat para milenial di Indonesia akan kesulitan untuk memiliki rumah pribadi. Selanjutnya, tak jarang terdengar frasa “menikah nunggu mapan, mau dikasih makan apa anak orang” atau frasa-frasa sejenis yang secara tak langsung membatasi perkembangan diri. Apa yang disampaikan dalam frasa tersebut memang betul, namun ketika frasa tersebut menjadi falsafah hidup dan kemudian menjadi ketidaksadaran kolektif maka akan banyak orang dewasa yang memilih “menyerah” dengan realitas kehidupan atau bahkan remaja enggan memilih untuk menjadi dewasa. Terakhir, tingginya biaya untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari dan kesulitan mencari pekerjaan akan meningkatkan probabilitas munculnya generasi n-Po di Indonesia.

Sangat dimungkinkan nantinya Indonesia memunculkan istilah baru, entah itu generasi santuy, generasi pasrah, atau apapun itu yang juga merujuk pada term generasi n-Po. Hal ini tentu sama-sama tidak kita harapkan sehingga perlu adanya perhatian terhadap beberapa faktor yang menjadi faktor risiko kemunculan generasi n-Po, diantaranya:

  1. Struktur dan status ekonomi sosial

Situasi finansial dapat menjadi faktor risiko dalam kemunculan generasi n-Po. Orang dewasa yang sudah mandiri secara finansial memiliki kesempatan yang lebih besar untuk mengembangkan dirinya, mereka lebih percaya diri untuk mengambil tanggung jawab, mampu membuat keputusan sendiri, dan merencanakan kehidupan yang lebih sejahtera di masa depan. Sedangkan mereka yang belum mandiri secara finansial cenderung menjadi individu yang dependen, pasif dalam beradaptasi, dan takut akan masa depan yang dipandang penuh dengan risiko dan ketidakpastian.

  1. Tingkat pendidikan 

Tingkat pendidikan individu juga berperan dalam meningkatkan probabilitas munculnya generasi n-Po di Indonesia. Data BPS hingga 2021 menunjukkan bahwa rendahnya tingkat pendidikan yang ditamatkan oleh individu linear dengan tingginya persentase pengangguran terbuka. Selain itu, Komisi IX DPR RI menyebutkan bahwa rendahnya tingkat pendidikan individu menjadi tantangan dalam penyerapan tenaga kerja di Indonesia. Di sisi lain, banyak perusahaan atau penyedia tenaga kerja yang mensyaratkan tingkat pendidikan sebagai salah satu kualifikasi dalam proses penerimaan karyawan.

  1. Skill individu

Tidak cukup dengan tingkat pendidikan, generasi n-Po juga dikarenakan permintaan untuk pekerjaan dengan skill individu level rendah (low-level skills) semakin menurun karena digantikan oleh mereka yang memiliki kualifikasi yang lebih tinggi atas pekerjaan tersebut. Hal ini tentu sangat logis, ketika banyak sarjana lulusan universitas maka pencarian pekerjaan akan semakin kompetitif. Sementara itu, perusahaan tentu akan menyeleksi kandidat terbaik diantara para pelamar untuk bekerja di perusahaan mereka. Oleh karena itu, tidak cukup bagi orang dewasa hanya memiliki gelar pendidikan tetapi juga harus dibarengi dengan kemampuan (skill) yang dibutuhkan pasar (job market).

  1. Budaya pengasuhan

Sama hal nya dengan struktur dan status ekonomi sosial, budaya pengasuhan di Indonesia dapat menjadi faktor risiko kemunculan n-Po di Indonesia. Meskipun konstruk sosial menuntut orang dewasa untuk mandiri secara finansial, pekerjaan, dan kepemilikan tempat tinggal; para orangtua di Indonesia masih menganggap dirinya bertanggung jawab atas kesejahteraan anak dan proses pengasuhan dilakukan sepanjang hayat. Anak masih diterima untuk tinggal bersama orang tua meskipun sudah memasuki usia dewasa. Budaya pengasuhan seperti ini akan membuat orang dewasa cenderung bergantung pada orangtua dan pasrah dengan keadaan.

Berdasarkan pemaparan di atas, generasi n-Po bisa dikatakan sebagai kelompok orang dewasa yang mengalami hambatan dalam penyelesaian tugas perkembangan masa dewasa dan tentu akan berpengaruh pada pemenuhan tugas perkembangan pada fase berikutnya. Oleh karena itu, perlu atensi khusus terhadap faktor risiko munculnya generasi n-Po di Indonesia, seperti tingkat pendidikan, keterampilan (skill) individu, budaya pengasuhan, struktur dan status ekonomi sosial masyarakat Indonesia.

Referensi

Humanities for alternative community: Sharing, connectivity and sustainable utopia. Dari laman http://ccs.khu.ac.kr/m/eng/project/content1

Chong, K. (2016, April 27). South Korea’s troubled millennial generation. Dari laman https://cmr.berkeley.edu/blog/2016/4/south-korea/

Kim, S. (2021, Mei 26). South Korea crosses a population rubicon in warning to the world. Dari laman https://www.bloomberg.com/news/features/2021-05-25/south-korea-is-growing-old-fast-leaving-a-younger-generation-home-alone-and-chi

Arifahsasti, F., Iskandar, K. (2022). The effect of confucianism on future birth rates in South Korea and Japan. Budapest International Research and Critics Institute-Journal (BIRCI-Journal). 05(2), 8307-8318.

Hutteman, R., Hennecke, M., Orth, U., Reitz, A. K., & Specht, J. (2014). Developmental Tasks as a Framework to Study Personality Development in Adulthood and Old Age. European Journal of Personality, 28(3), 267–278.

Santrock, J.W. (2012). Life-span development, ed. 13. Jakarta: Penerbit Erlangga

Hastanto, I. (2022, Juli 08). Menkeu Sri Mulyani prediksi anak muda makin susah beli rumah, terpaksa ikut mertua. Dari laman https://www.vice.com/id/article/akegep/menkeu-sri-mulyani-di-forum-g20-prediksi-anak-muda-indonesia-bakal-makin-susah-beli-rumah

Ranta, M., Punamaki, R. L., Tolvanen, A., & Salmela-Aro, K. (2012). The role of financial resources and agency in success and satisfaction regarding developmental tasks in early adulthood. Economic Stress and the Family. 187-233.

___. (2022). Tingkat pengangguran terbuka berdasarkan tingkat pendidikan 2019-2021. Dari laman https://www.bps.go.id/indicator/6/1179/1/tingkat-pengangguran-terbuka-berdasarkan-tingkat-pendidikan.html

Sulaeman (2020, Juli 08). Tingkat pendidikan pekerja jadi tantangan penyerapan tenaga kerja. Dari laman https://www.merdeka.com/uang/tingkat-pendidikan-pekerja-jadi-tantangan-penyerapan-tenaga-kerja.html

Jun, S. (2017, May 31). Korea’s ‘N-Po’ generation looks to new administration for jobs. Dari laman https://asiafoundation.org/2017/05/31/koreas-n-po-generation-looks-new-administration-jobs/

Trauma Masa Kecil dan Inner Child yang Terbawa hingga Dewasa

ArtikelArtikelArtikel Ilmiah Populer Monday, 16 January 2023

Trauma Masa Kecil dan Inner Child yang Terbawa hingga Dewasa

Penulis: Munadira

Penyunting: Reswara Dyah Prastuty

Beberapa riset menemukan bahwa perilaku yang dimunculkan di usia dewasa berakar dari trauma yang dialami seseorang di masa kecil. Peristiwa yang dialami seorang anak dan sifatnya mengancam kehidupan merupakan hal-hal yang bisa membentuk perilaku-perilaku di masa dewasa. Pelecehan seksual, perundungan, atau kekerasan dari orang tua merupakan beberapa trauma masa kecil yang mengakibatkan stres pada anak dan dapat berdampak pada masa depan anak di usia dewasa (Kim et al, 2017). Kumpulan trauma yang dialami anak di masa kecil akan menjadi luka psikis yang terus melekat dalam diri anak hingga ia dewasa (Huh et al, 2017). Luka tersebut masih ada di alam bawah sadar sehingga bermanifestasi dalam bentuk perilaku dan emosi negatif, contohnya perasaan tidak dicintai oleh orang lain, tidak percaya diri, cemas, atau ingin mendominasi orang lain (Burlakova & Karpova, 2021).

Beberapa dampak yang berakar pada luka atau trauma masa lalu anak dapat muncul pada usia dewasa. Di antara dampak tersebut adalah sebagai berikut.
1. Kendala dalam mengatur emosi
Bagi beberapa individu, trauma masa kecil yang tidak diatasi dengan baik dapat menyebabkan gangguan PTSD (Post-Traumatic Stress Disorder)  atau gangguan stres pascatrauma (Kim et al, 2017). Menurut Kim et al (2017), salah satu yang dapat muncul ketika seseorang mengalami kendala mengatur emosi adalah hyperarousal. Kondisi ini umumnya mengakibatkan seseorang tidak bisa mengatur emosi dengan baik karena adanya trauma di masa sebelumnya. Orang-orang dengan hyperarousal cenderung bereaksi berlebihan saat mengalami kondisi yang memicu stres dan kurang memikirkan tindakannya secara matang. Mereka juga cenderung mencari pelarian atau lari dari tanggung jawab. Selain itu, hyperarousal juga ditandai dengan kewaspadaan berlebihan.

2. Kesulitan untuk fokus dan berkonsentrasi
Trauma masa kecil yang membekas di otak anak juga berdampak pada perkembangan otak. Studi yang dilakukan Suzuki et al (2014) menemukan bahwa anak-anak yang berada di usia 6-12 tahun dan terus menerus mengalami kejadian traumatis yang memicu stres memiliki kortisol yang merespon lebih lemah dalam situasi yang memicu stres dibandingkan mereka yang tidak mengalami pengalaman traumatis. Hormon kortisol dihasilkan untuk mempersiapkan individu menghadapi hal yang dianggap sebagai ancaman (Jones et al, 2021). Sementara itu, untuk menunjang perkembangan otak yang optimal, seseorang membutuhkan rasa aman dan terhindar dari stres ataupun pengalaman traumatik. Mereka yang memiliki trauma masa kecil merasa kegiatan belajar di sekolah menjadi hal yang sulit. Anak-anak tersebut akan sulit berkonsentrasi apalagi saat ingatan trauma kembali terngiang di kepalanya (Kim et al, 2017).

3. Kesulitan dalam menjalin hubungan dengan orang lain
Dalam kehidupan sehari-hari, trauma dapat memiliki dampak yang signifikan dan beragam pada fungsi sosial atau karakter seseorang. Berkaitan dengan trauma masa kecil, pada umumnya, masalah mental ini bisa berupa kondisi seseorang yang kurang mampu mengendalikan dirinya sendiri (Burlakova & Karpova, 2021). Oleh sebab itu, individu yang pernah memiliki trauma cenderung sulit menjalin relasi dengan orang lain. Kesulitan memiliki hubungan ditandai juga dengan perilaku orang tersebut yang menunjukkan sifat membutuhkan atau manipulatif, hingga perilaku agresif dan kekerasan (Suzuki et al, 2020).

Untuk berdamai dengan luka masa kecil yang dialami, terdapat beberapa cara yang bisa dilakukan individu, antara lain melakukan kegiatan yang dapat lebih mengenal inner child seperti, menulis jurnal, refleksi diri, melakukan kegiatan self-care, atau berkonsultasi pada para profesional.

Referensi
Burlakova, N., & Karpova, O. (2021). Parent-child communication and inner dialogues in the self-awareness of children with disabilities. European Psychiatry, 64(S1), S506-S506
Huh, H. J., Kim, K. H., Lee, H. K., & Chae, J. H. (2017). The relationship between childhood trauma and the severity of adulthood depression and anxiety symptoms in a clinical sample: The mediating role of cognitive emotion regulation strategies. Journal of affective disorders, 213, 44-50.
Jones, R., Tarter, R., & Ross, A. M. (2021). Greenspace interventions, stress and cortisol: a scoping review. International journal of environmental research and public health, 18(6), 2802.
Kim, J. S., Jin, M. J., Jung, W., Hahn, S. W., & Lee, S. H. (2017). Rumination as a mediator between childhood trauma and adulthood depression/anxiety in non-clinical participants. Frontiers in psychology, 8, 1597.
Suzuki, A., Poon, L., Papadopoulos, A. S., Kumari, V., & Cleare, A. J. (2014). Long term effects of childhood trauma on cortisol stress reactivity in adulthood and relationship to the occurrence of depression. Psychoneuroendocrinology, 50, 289 299.

Joint Attention: Melatih Kemampuan Eksekutif Bayi dengan Cara Sederhana

ArtikelArtikelArtikel Ilmiah Populer Monday, 9 January 2023

Joint Attention: Melatih Kemampuan Eksekutif Bayi dengan Cara Sederhana

Penulis: Diah Dinar Utami

Penyunting: Reswara Dyah Prastuty

Pelatihan metode skrining untuk mengukur perkembangan memori dan kemampuan eksekutif pada bayi dilakukan oleh tim peneliti Fakultas Psikologi UGM pada tahun 2021. Pelatihan ini dilakukan terhadap ibu yang memiliki bayi berusia 12 hingga 24 bulan. Dalam pelatihan ini, para ibu diajarkan untuk dapat bermain bersama bayi mereka dan memperhatikan beberapa aspek penting mengenai perkembangan memori dan keterampilan eksekutif pada bayi. Selain mengajarkan metode skrining ini, tim peneliti juga mengajarkan teknik joint attention kepada para ibu untuk menarik minat bayi terhadap kegiatan yang akan dilakukan oleh ibu dan bayi. Teknik ini merupakan dasar untuk menarik perhatian bayi sebelum skrining dilakukan. Joint attention merupakan salah satu bentuk keterampilan eksekutif pada bayi untuk menaruh perhatian dan fokus terhadap apa yang diberikan kepada mereka. 

Keterampilan eksekutif bayi dapat diobservasi dan distimulasi melalui permainan-permainan sederhana yang dilakukan sehari-hari. Hal ini dapat dilakukan oleh Ibu atau pengasuh bayi. Salah satu kemampuan eksekutif pada bayi yang dapat diobservasi oleh pengasuh atau Ibu adalah kemampuan bayi dalam melakukan joint attention. Joint attention adalah suatu kondisi yang melibatkan minimal dua orang untuk berfokus kepada hal yang sama dan saling terlibat satu sama lain, misalnya terlibat pada tatapan mata yang sama, gerakan tubuh, atau kata-kata untuk mengarahkan perhatian, seperti ‘ayo coba lihat ke sini’ atau ‘coba lihat yang ada di atas sana’ (Rocha, 2019). Joint attention sudah muncul dan dapat diobservasi maupun dilatih kepada bayi sejak usia 9 bulan (Van Hecke, 2012) meskipun fondasi awalnya dimulai pada awal masa bayi (usia 0 bulan) ketika bayi berinteraksi dengan orang tua dan pengasuh melalui kontak mata, suara, dan senyuman (Brandes-Aitken, 2020).

Joint attention juga memiliki peran yang penting untuk perkembangan bahasa selanjutnya, keterampilan kognitif sosial, empati, dan perilaku prososial (Poysa-Tarhonen, 2021 ; Rocha, dkk. 2019). Selama melakukan joint attention, bayi memiliki banyak kesempatan untuk tidak hanya mengamati bahasa, tetapi juga berlatih untuk memproses dalam memorinya. Selain itu, keterampilan sosial yang dapat terlatih melalui joint attention adalah kemampuan dalam memulai, menanggapi orang lain yang memulai, mempertahankan interaksi bolak-balik, dsb. Hal-hal ini merupakan bagian integral dari komunikasi, hubungan, pembelajaran, dan kolaborasi yang dibutuhkan oleh individu dalam melakukan kontak sosial.

Melihat pentingnya joint attention pada bayi, hal ini dapat dilakukan dan dilatih sejak dini oleh para ibu maupun pengasuh. Berikut ini tips and trick yang dapat dilakukan oleh para ibu untuk melatih joint attention pada bayi dan anak:

1.Sejajarkan posisi badan dengan tinggi bayi atau anak Anda.

Aspek terpenting dari joint attention adalah kemampuan untuk melihat apa yang dilakukan bayi dari sudut pandangnya dan berada sejajar dengan mata mereka untuk melakukan kontak mata. Tujuan hal ini agar bayi Anda melihat mainannya lalu melihat kembali ke arah Ibu sebagai referensi, lalu melanjutkan bermain. Ibu dapat duduk bersimpuh atau sedikit merunduk untuk menyesuaikan tinggi badan bayi.

2.Lakukan kontak mata sesering mungkin dan tanggapi dengan tepat saat anak           memulai kontak mata. 

Jika Ibu dan bayi sedang melihat buku atau mainan bersama, pastikan Ibu memberikan kontak mata kepada bayi ketika sedang menjelaskan atau mengomentari sesuatu mengenai hal yang sedang dilakukan bersama.  Lalu, jika bayi melihat ke arah ibu untuk persetujuan atau untuk menunjukkan keinginan, tanggapi dengan berkomentar atau terlibat dalam tindakan yang diinginkan oleh bayi.

3.Tiru tindakan atau suara anak. 

Saat bermain bersama, Ibu dapat menarik perhatian bayi dengan meniru cara mereka bermain. Jika bayi mengatakan “bumm… bumm..” saat mendorong mobil, dorong mobil yang ada di hadapan Ibu dan buat suara yang sama. Hal ini akan membuat bayi merasa bahwa Ibu melakukan aktivitas yang sama bersama dengan mereka. Hal ini mendorong minat bayi untuk bermain bersama Ibu.

4.Arahkan bayi dengan menggunakan gerakan tubuh yang sesuai

Jika Ibu sedang membaca buku bersama, Ibu dapat menunjuk kata yang Ibu sedang baca atau gambar yang Ibu sedang lihat. Bayi akan menirukan hal serupa seperti apa yang dilakukan oleh Ibu. Ketika Bayi menunjuk ke arah sesuatu, pastikan Ibu juga melihat ke arah yang sama dan memberikan komentar terhadap hal tersebut. Gerakan lain yang dapat dilakukan oleh Ibu untuk menunjang joint attention pada anak adalah mengangkat mainan untuk dilihat oleh bayi atau melambai pada bayi ketika ingin menunjukkan sesuatu.

5.Bergiliran dengan bayi. 

Bergiliran atau bergantian dapat mengembangkan tidak hanya keterampilan joint attention, tetapi juga keterampilan sosialisasi lain yang diperlukan untuk berbicara dan memainkan permainan yang terorganisir. Bergiliran bisa sesederhana mengoper bola ke depan dan ke belakang atau bergantian siapa yang akan mengirim mobil menuruni tanjakan. 

6.Ikuti petunjuk anak Anda. 

Hal terbaik untuk memastikan bayi terlibat dalam suatu aktivitas adalah dengan membiarkannya memilih apa dan bagaimana cara bermainnya. Usahakan untuk tidak terlalu banyak bertanya atau memberi terlalu banyak perintah. Tunggu dan amati apa yang dilakukan oleh bayi kemudian mainkan dengan cara ia bermain.

7.Gunakan kata-kata yang sederhana. 

Memberi terlalu banyak perintah rumit atau mengajukan pertanyaan panjang dapat membingungkan bayi. Hal ini dapat menghentikan ritme alami permainan yang sedang dilakukan bersama bayi. Ibu dapat menggunakan frasa yang singkat dan berhubungan langsung dengan apa yang dilakukan bayi, misalnya, ‘ini apa sayang?’ atau ‘coba lihat ini’.

Nah, dari 7 tips ini, Ibu dapat memulainya di rumah masing-masing ketika sedang berkegiatan bersama anak. Silahkan lakukan tips dan trick ini secara konsisten untuk melatih kemampuan joint attention yang lebih baik lagi pada bayi atau anak di rumah. Permainan dan kegiatan akan lebih berkualitas ketika Ibu dan bayi memiliki perhatian yang sama akan kegiatan yang sedang dilakukan. 

 

Referensi :

  1. Brandes-Aitken A, Braren S, Gandhi J, Perry RE, Rowe-Harriott S, Blair C. Joint attention partially mediates the longitudinal relation between attuned caregiving and executive functions for low-income children. Dev Psychol. 2020 Oct;56(10):1829-1841. doi: 10.1037/dev0001089. Epub 2020 Jul 23. PMID: 32700951.
  2. Pöysä-Tarhonen, J., Awwal, N., Hakkinen, P., & Otieno, S. (2021). Joint attention behaviour in remote collaborative problem solving: Exploring different attentional levels in dyadic interaction. Research and Practice in Technology Enhanced Learning. https://doi.org/10.1186/s41039-021-00160-0
  3. Rocha, N. A. C. F., Silva, F. P. S., Mariana, M. S., & Dusing, S. C. (2019). Impact of mother–infant interaction on development during the first year of life: A systematic review. Journal of Child Health Care. DOI: 10.1177/1367493519864742
  4. Van Hecke, V. A., Mundy, P., Block, J. J., Delgado, C. E., Parlade, M. V., Pomares, Y. B., & Hobson, J. A. (2012). Infant responding to joint attention, executive processes, and self-regulation in preschool children. Infant behavior & development, 35(2), 303–311. https://doi.org/10.1016/j.infbeh.2011.12.001

Berkebun: Salah Satu Sumber Kesehatan Mental di Hari Tua

ArtikelArtikelArtikel Ilmiah Populer Friday, 6 January 2023

Berkebun: Salah Satu Sumber Kesehatan Mental di Hari Tua

Penulis: Ruziqna

Penyunting: Diah Dinar Utami

Semakin tua seseorang, maka semakin banyak perubahan yang akan dirasakan. Perubahan akan semakin terlihat ketika seseorang mulai memasuki usia 60 tahun ke atas. Biasanya usia tersebut dikategorikan dalam kelompok lansia.

Lansia merupakan penduduk rentan karena ketidakstabilan finansial dan kesehatan, sehingga membutuhkan pendampingan dari orang dewasa (Wahyuni, Effendy, Kusumaningrum, & Dewi, 2021). Pemberian dukungan kepada lansia untuk tetap dapat berfungsi dalam kegiatan sehari-hari dapat membantu lansia untuk tetap menjalankan kehidupannya secara positif. Sebagai orang dewasa, hal yang dapat kita lakukan untuk membantu lansia hidup secara positif adalah membantu lansia menemukan makna (meaning) dalam kegiatan kesehariannya (Bonder & Bello-Haas, 2018).

Ternyata, melibatkan lansia pada aktivitas yang berkaitan dengan gerakan fisik dapat membantu kesejahteraan mentalnya (Yen & Lin, 2018). Banyak kegiatan yang sebenarnya masih dapat dilakukan bersama oleh lansia. Salah satu kegiatan yang menyenangkan adalah berkebun di halaman rumah. Berkebun merupakan kegiatan yang berkaitan dengan alam, yang mana berdampak pada kesejahteraan psikis lansia. Berkebun dinilai sesuai dengan lansia, baik ketika dilakukan bersama-sama dengan orang lain, misalnya anak, tetangga, atau teman, dan dan tetap sama menyenangkannya jika dilakukan sendiri (Soga, Gaston, & Yamaura,  2017).

Berkebun memiliki banyak manfaat yang dapat menunjang kualitas hidup lansia. Menurut hasil penelitian Scott, Masser, dan Pachana (2020), berkebun berdampak secara fisik, psikis, dan sosial bagi lansia. Berkebun bermanfaat bagi fisik lansia karena kegiatan ini memerlukan perhatian secara berkelanjutan. Perhatian terhadap tanaman, seperti menyiram, memupuk, dan menyemai, membuat lansia terikat pada kegiatan fisik. Hal ini dapat memperlambat terjadinya osteoporosis, mengurangi resiko penyakit kanker, diabetes, dan penyakit jantung.

Selain menyehatkan fisik, berkebun juga menyehatkan psikis lansia. Melihat tanaman tumbuh dengan subur dan hijau dapat mengurangi stres. Sesederhana ketika berada di dalam kebun dan memperhatikan tanaman, ternyata bermanfaat sebagai media relaksasi bagi lansia. Berkebun juga berdampak pada kemampuan kognitif lansia melalui pemilihan tanaman, melakukan desain kebun yang sesuai dengan keinginan, dan belajar jenis tanaman baru. Hal serupa juga ditemukan pada penelitian Corley, dkk (2021), yang menyatakan bahwa berkebun di rumah dapat mengurangi rasa cemas dan meningkatkan kualitas tidur lansia. Hangatnya sinar matahari pagi dan segarnya udara yang dapat dirasakan ketika berkebun dapat meningkatkan perasaan lansia menjadi lebih baik.

Selain dua manfaat utama di atas, ternyata berkebun juga menjadi media untuk menjalin hubungan sosial dengan orang lain. Berkebun memberikan kesempatan bagi lansia untuk berinteraksi dengan tetangga, teman, atau mengikuti komunitas yang berkaitan dengan kegiatan berkebun. Selain terhubung dengan alam, lansia juga dapat memberi dukungan kepada sesama rekannya. Hal ini penting agar lansia tidak merasa terisolasi dan kesepian (Scott, Masser, & Pachana (2020), Corley, dkk (2021)).

Berdasarkan manfaat berkebun yang telah dibuktikan oleh penelitian di atas, maka dapat dinyatakan bahwa berkebun menjadi salah satu kegiatan yang layak dicoba untuk lansia. Berkebun tetap dapat dilakukan dengan asik dengan menyesuaikan dengan kekuatan fisik lansia. Agar hasil dari berkebun benar-benar dapat dirasakan untuk kesehatan mental lansia, berikut tips berkebun mudah untuk lansia di rumah yang dikutip dari artikel oleh Ross (2021):

  1. Tentukan apa yang akan ditanam

Jenis tanaman yang dipilih untuk berkebun dapat disesuaikan dengan kebutuhan. Jika ingin mendapatkan tanaman yang dapat dimakan, maka pilihlah tanaman sayuran. Jika ingin memperindah halaman dengan berbagai warna dan wewangian, maka tanaman bunga akan lebih cocok. Pemilihan dua jenis kelompok tanaman juga boleh dilakukan. Tips: pilihlah tanaman yang tidak membutuhkan perawatan yang detail serta tidak membutuhkan waktu lama untuk dipanen. Sayuran yang mudah ditanam seperti tomat, cabe, sawi, daun bawang, seledri dan timun.

  1. Tentukan desain kebun

Berkebun di rumah biasanya memiliki lahan yang kecil. Hal ini disiasati dengan penggunaan pot-pot kecil untuk menanam tanaman. Susunan pot biasanya dibuat berjenjang agar dapat memuat banyak pot. Selain itu, penggunaan pot juga dapat dikreasikan dengan kotak kayu. Tips: buatlah desain yang memiliki keleluasaan untuk lansia bergerak.

  1. Gunakan alat bantu

Agar berkebun semakin menyenangkan, maka penggunaan alat bantu berkebun bagi lansia sangat disarankan. Contoh alat bantu adalah:

  1. Tersedia keran dan selang untuk memudahkan lansia menyiram tanaman.
  2. Botol spray untuk tanaman yang masih kecil
  3. Tajak untuk menggemburkan tanah
  4. Kursi kecil untuk duduk
  5. Gunakan sarung tangan agar terhindar dari sesuatu yang tajam
  1. Pilih kegiatan yang tepat

Berkebun memiliki berbagai macam kegiatan di dalamnya. Pilihlah kegiatan yang dapat dilakukan oleh lansia. Kegiatan tersebut dapat berupa menyemai, menyiram, memanen, atau dapat juga hanya berupa berjalan memeriksa kondisi tanaman, menyentuh tanaman, dan merasakan wangi dari tanaman tersebut.

Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa berkebun tidak hanya menyehatkan fisik dan psikis lansia, tetapi juga membantu lansia menemukan makna dari kegiatan sehari-harinya, sehingga dapat menimbulkan perasaan puas menjalani kehidupan hari tuanya. Sebagai orang dewasa, kegiatan ini patut untuk dicoba bersama lansia yang ada di rumah kita, misalnya orangtua dan kakek atau nenek. Selain mudah dilakukan dan menyehatkan, berkebun dapat menjadi salah satu kegiatan untuk merekatkan hubungan dengan orangtua atau kakek-nenek kita.

Referensi:

Bonder, B. R., & Bello-Haas, V. D. (2018). Functional Performance in Older Adults: 4th Edition. USA: F.A. Davis Company.

Corley, J., Okely, J. A., Taylor, A. M., Page, D., Welstead, M., Skarabela, B., Redmond, P., Cox, S. R., & Russ, T. C. (2021). Home garden use during COVID-19: associations with physical and mental wellbeing in older adults. Journal of Environmental Psychology, 73, 101545. https://doi.org/10.1016/j.jenvp.2020.101545

Ross, M. (2021, July 30). Gardening as You Grow Older, Enabling Tools | Gardener’s Supply. Gardeners. https://www.gardeners.com/how-to/gardening-at-any-age/8574.html

Scott, T. L., Masser, B. M., & Pachana, N. A. (2020). Positive aging benefits of home and community gardening activities: older adults report enhanced self-esteem, productive endeavours, social engagement and exercise. SAGE Open Medicine, 8, 205031212090173. https://doi.org/10.1177/2050312120901732

Soga, M., Gaston, K. J., & Yamaura, Y. (2017). Gardening is beneficial for health: a meta-analysis. Preventive Medicine Reports, 5, 92–99. https://doi.org/10.1016/j.pmedr.2016.11.007

Wahyuni, S., Effendy, C., Kusumaningrum, F. M., & Dewi, F. S. T. (2021). Factors associated with independence for elderly people in their activities of daily living. Jurnal Berkala Epidemiologi, 9(1), 44. https://doi.org/10.20473/jbe.v9i12021.44-53

Yen, H. Y., & Lin, L. J. (2018). Quality of life in older adults: Benefits from the productive engagement in physical activity. Journal of Exercise Science and Fitness, 16(2), 49–54. https://doi.org/10.1016/j.jesf.2018.06.001

Menilik Tantangan dan Solusi dalam Tahap Perkembangan Keluarga

ArtikelArtikelArtikel Ilmiah Populer Friday, 6 January 2023

Menilik Tantangan dan Solusi dalam Tahap Perkembangan Keluarga

Penulis: Dewi Amalia Rahmawati

Penyunting : S. B. Suryo Buwono

Dewasa ini banyak kita jumpai munculnya edukasi pranikah di tengah masyarakat. Pihak penyelenggaranya beragam, mulai dari Kantor Urusan Agama, pemerintah daerah, hingga komunitas masyarakat. Kesadaran masyarakat akan pentingnya edukasi pranikah sejalan dengan banyaknya tantangan yang akan dihadapi dalam membangun sebuah keluarga. Beberapa tantangan muncul sebagai ciri khas yang menandakan terjadinya tahap tertentu dalam keluarga dan cenderung berbeda di setiap tahapnya. Evelyn Duvall (1971) mencetuskan teori perkembangan keluarga yang melihat bagaimana pasangan dan anggota keluarga menghadapi berbagai tugas perkembangan dalam pernikahan dan keluarga di setiap tahap siklus hidup. Menurutnya, ada delapan tahapan dalam teori perkembangan keluarga. Berikut penjelasan setiap tahapnya.

Tahap 1: Pasangan menikah (tanpa anak) 

Pernikahan tidak hanya menyatukan dua individu, melainkan juga dua keluarga. Beberapa tahun pertama pernikahan termasuk tahap transisi yang berat bagi pasangan karena masing-masing individu harus meninggalkan keluarganya, kehilangan kebebasan, dan mulai menjalankan fungsinya sebagai pasangan bagi satu sama lain (Indriani, 2014). Agar pernikahan tetap harmonis, pasangan suami istri (pasutri) perlu membangun hubungan kedekatan dan memahami respon emosi satu sama lain, menyelesaikan permasalahan pembagian peran, serta menyesuaikan hubungan dengan keluarga besar dan teman-teman. Sejauh mana tahap awal pernikahan berhasil dilalui oleh pasutri ditandai dengan keberhasilan dalam penyesuaian diri satu sama lain (Ibrahim, 2002 dalam Indriani, 2014).

Tahap 2: Keluarga dengan anak bayi 

Pasangan pada tahap ini melalui transisi untuk menerima anggota baru dalam rumah tangga. Tahap ini berlangsung sejak anak pertama lahir hingga berusia 30 bulan.Tantangan yang muncul meliputi pengabaian satu sama lain karena tingginya atau rendahnya interaksi dengan anak, kesulitan memenuhi tanggung jawab sebagai orang tua, hingga pengabaian terhadap kebutuhan bayi. Oleh karenanya dibutuhkan keseimbangan antara kebutuhan pribadi, pasangan, dan anak. Untuk dapat melewati tahap ini dengan adaptif, setiap pasangan perlu memperhatikan usia mereka saat menikah, tingkat pendidikan, kesiapan menjadi orang tua, dan pola asuh yang akan diterapkan (Setyowati et al., 2017).

Tahap 3: Keluarga dengan anak prasekolah

Tahapan selanjutnya yakni ketika anak pertama berusia 2 tahun 6 bulan sampai 6 tahun. Tantangan yang umum terjadi meliputi Separation problems, power problems, dan conduct problems. Separation problems berbicara mengenai ketidaksiapan anak untuk berpisah dari orang tuanya – atau sebaliknya – saat melakukan aktivitas sosial. Power problems terjadi ketika anak terlalu berkuasa akan keinginannya. Conduct problems terjadi ketika anak tidak mempedulikan orang lain akibat rendahnya pengharapan terhadap anak dan pengawasan yang tidak konsisten. Guna mengatasi tantangan tersebut, orang tua perlu melakukan pengawasan dengan tidak berlebihan, mempersilakan anak mengeksplorasi berbagai emosi, serta mendorong anak untuk mengembangkan perilaku mandiri dan aktivitas sosial di luar rumah. Di lain sisi, intimasi pasangan sebagai suami istri perlu tetap dipertahankan (Agustiani, 2007). 

Tahap 4: Keluarga dengan anak sekolah dasar

Keluarga akan mengalami transisi dengan adanya dunia pendidikan sebagai pendidik bagi anak-anak mereka. Di Indonesia, mayoritas anak usia sekolah dasar adalah 7 hingga 12 tahun. Pada tahun-tahun tersebut anak mengalami pertumbuhan fisik yang pesat, perkembangan motorik dan kognitif, bahasa, sosio-emosional, moral, hingga kesadaran akan gender (Santrock, 2019). Suatu hal yang perlu dipahami yakni sangatlah lumrah jika terjadi perbedaan cara dan waktu dalam pencapaian perkembangan anak. Tantangan yang orang tua hadapi di tahap ini biasanya meliputi performa akademik anak. Untuk mengatasinya, orang tua dapat memahami bahwa performa akademik bukanlah sesuatu yang bersifat mutlak. Stimulasi dan nutrisi yang tepat dari orang tua akan membantu anak untuk mencapai potensi terbaik mereka. 

Tahap 5: Keluarga dengan remaja 

Remaja kerap kali menaruh kepercayaan terhadap teman sebaya dibanding orang tua atau keluarga karena besarnya pengaruh teman sebaya. Adanya kendali keluarga membuat remaja merasa tidak bebas. Oleh karenanya, keluarga dengan remaja perlu meningkatkan fleksibilitas batasan yang ditetapkan pada anak untuk membentuk kebebasan yang tetap bertanggung jawab. Diperlukan pula figur orang tua yang hangat dan suportif serta mau mendengarkan dan memahami pendapat anak untuk membangun relasi orang tua-remaja yang positif (Nayana, 2013). Ditinjau dari sisi pasutri, pada tahap ini orang tua mulai beralih dari kegiatan pengasuhan anak. Mereka kembali memperhatikan pernikahan dan karir maupun mengalihkan fokus kepada keluarga yang lebih tua.

Tahap 6: Keluarga pelontar (launching)

Ketika anak pertama mulai meninggalkan rumah untuk tujuan pendidikan, pekerjaan, maupun pernikahan, saat itulah terjadi tahap keluarga pelontar. Orang tua perlu menyadari bahwa anaknya telah memasuki tahap perkembangan sebagai orang dewasa. Konflik dapat terjadi ketika orang tua terlalu campur tangan dalam setiap lini kehidupan anak sehingga anak tidak dapat memilih jalan hidupnya sendiri. Namun, bukan berarti orang tua memutus hubungan dengan anaknya. Sikap tepat yang dapat diambil orang tua adalah mendampingi anak dengan tidak berlebihan serta mempertahankan keluarga sebagai rumah – dalam artian psikologis – yang menjadi pusat dukungan bagi anak (Agustiani, 2007).

Tahap 7: Keluarga setengah baya

Tahap ini dikenal dengan Empty Nest atau sangkar kosong yang terjadi ketika semua anak telah meninggalkan rumah. Orang tua pun mendekati atau telah mengalami masa pensiun. Tantangan yang muncul bagi pasangan adalah adanya kesulitan dalam menghadapi perubahan, ditandai dengan sedih berlebihan, ketakutan akan peran kehidupan saat ini, serta bagaimana memandang diri sendiri dan fungsi perkawinan. Guna melewati tahap ini dengan adaptif, pasutri perlu meyakinkan diri bahwa kepergian anak merupakan jalan untuk masa depannya (Ghofur & Hidayah, 2014). Pasutri dapat berbagi rasa dengan teman atau saudara yang memiliki kondisi sama, mengalihkan perhatian pada hal menyenangkan seperti melakukan hobi, dan kembali terhubung dengan kawan lama.

Tahap 8: Keluarga lanjut usia/Masa tua  

Pada tahap ini, pasutri telah menginjak usia lanjut. Mereka mengalami perubahan dari kondisi fisik, peran sosial, hingga kondisi psikologisnya. Konflik dapat terjadi ketika lansia tidak mampu menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan tersebut. Ditambah lagi adanya potensi konflik ketika terjadi kematian pasangan maupun kerabat dan mempersiapkan diri menghadapi kematian. Di samping melakukan upaya mandiri untuk menjaga kesehatan fisik dan mental, keberadaan pendamping bagi para lansia sangatlah dibutuhkan. Pendamping berperan sebagai enabler (pemungkin), fasilitator, dinamisator, mediator, dan motivator bagi para lansia. Pendamping dapat berasal dari pusat pelayanan lansia, perawat rumah sakit, dan yang utama dari lingkungan keluarga terdekat. 

Penting bagi kita untuk menyadari sedang berada dimana keluarga kita hari ini. Hal ini berguna untuk dapat menghadapi tugas-tugas perkembangan keluarga secara adaptif. Sehingga terbentuklah keluarga yang tangguh, yakni keluarga yang semakin menguatkan satu sama lain setelah berhasil menyelesaikan konflik-konflik di dalamnya. 

References

Agustiani, H. (2007, November 17). Tahapan Perkembangan Keluarga. [Paper presentation]. Seminar Perkawinan Let’s Talk about Marriage, Bandung.

Duvall, E. M. (1971). Family Development (4th .). New York: JB Lippincott Company.

Ghafur, J., & Hidayah, F. S. (2014). Manajemen waktu di usia madya untuk meminimalisir dampak dari empty nest syndrome. Jurnal Inovasi Dan Kewirausahaan, 3(2), 120–125.

Indriani, R. (2014). Pengaruh kepribadian terhadap kepuasan perkawinan wanita dewasa awal pada fase awal perkawinan ditinjau dari teori trait kepribadian big five. Jurnal Psikologi Klinis Dan Kesehatan Mental, 3(1), 33–39.

Nayana, F. N. (2013). Kefungsian keluarga dan subjective well-being pada remaja. Jurnal Ilmiah Psikologi Terapan, 1(2), 230–244.

Santrock, J. W. (2019). Life span development (17th ed.). New York: Mcgraw-Hill Education.

Setyowati, Y. D., Krisnatuti, D., & Hastuti, D. (2017). Kesiapan Menjadi Orangtua, Pola Asuh, Pertumbuhan dan Perkembangan Sosial Anak Usia 2-3 Tahun Di Kota Medan. [Master thesis, IPB University]. Library of IPB University. https://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/91044 

12345…7

Recent Posts

  • Mendidik Anak dengan Bahasa Cinta
  • Eco-Conscious Parenting: Menumbuhkan Praktik Berkelanjutan pada Perkembangan Anak
  • Memahami Pendidikan untuk Pembangunan Berkelanjutan di Kedai Kopi
  • Membangun Kembali Kegembiraan: Pentingnya Bermain Bagi Kesejahteraan Mental Bagi Masyarakat
  • Keterlibatan Ayah pada Pengasuhan Anak Usia Dini
Universitas Gadjah Mada

Center for Life-Span Development (CLSD)
D-602, Fakultas Psikologi, Universitas Gadjah Mada
Jalan Sosio Humaniora Bulaksumur, Yogyakarta, Indonesia 55281
clsd.psikologi@ugm.ac.id

© Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY

[EN] We use cookies to help our viewer get the best experience on our website. -- [ID] Kami menggunakan cookie untuk membantu pengunjung kami mendapatkan pengalaman terbaik di situs web kami.I Agree / Saya Setuju