• Home
  • About Us
    • Managing Team
    • Researchers
    • Interns
    • Associates
  • Articles
  • Courses
  • Activities
    • CLSD Reader’s Club
    • Summer Course
    • Photovoice
    • SAELA
    • Community Service
  • Research & Publication
Universitas Gadjah Mada Center for Life-Span Development (CLSD)
Faculty of Psychology
Universitas Gadjah Mada
  • Home
  • About Us
    • Managing Team
    • Researchers
    • Interns
    • Associates
  • Articles
  • Courses
  • Activities
    • CLSD Reader’s Club
    • Summer Course
    • Photovoice
    • SAELA
    • Community Service
  • Research & Publication
  • Beranda
  • Artikel
  • page. 3
Arsip:

Artikel

Pemikiran Ki Ageng Suryomentaram Mengenai Pertumbuhan dan Perkembangan Manusia

ArtikelArtikel Monday, 19 June 2023

Photo credit: Kompasiana (https://www.kompasiana.com/farouqalghoribi5681/6365a2e94addee0df119d913/biografi-ki-ageng-suryomentaram-k-a-s)

Penulis: Siti Waringah – waringah_psy@ugm.ac.id

Kawruh Jiwa Suryomentaram merupakan pengetahuan yang membahas pemahaman tentang jiwa dan sifat-sifatnya, yang dikemukakan oleh Ki Ageng Suryomentaram, salah satu putra dari Sri Sultan Hamengku Buwono VII. Pertumbuhan dan perkembangan manusia yang dijabarkan dalam Kawruh Jiwa Suryomentaram menjelaskan berbagai perubahan pada diri individu sejak masa bayi sampai mencapai kematangan, dan perubahan-perubahan pada proses yang menyertai, serta berbagai faktor yang menentukan (Suryomentaram, 1990). Afif (2012) menjelaskan lebih lanjut bahwa pertumbuhan dan perkembangan tersebut terkait dengan rasa yang ada pada diri seseorang yang pada awal pertumbuhannya terkait dengan rasa kesadaran fisik, lalu tumbuh dan berkembang terkait dengan rasa kesadaran psikologis (rasa kesadaran fisik, afektif, dan kognitif), serta terkait dengan rasa kesadaran spiritual (rasa kesadaran fisik, afektif, kognitif, dan intuitif).

Ditinjau dari proses berlangsungnya, Adimassana (1986) dan Waringah (dalam Sugiarto (2015) menggambarkan bahwa pertumbuhan dan perkembangan seseorang, menurut pemikiran Suryomentaram meliputi empat (4) tahap, yaitu: (1). Dimensi/ukuran I, (2). Dimensi/ukuran II, (3). Dimensi/ukuran III, dan (4). Dimensi/ukuran IV. Hal tersebut didasarkan pada jabaran pemikiran Ki Ageng Suryomentaram yang tertulis dalam buku Kawruh Jiwa, Wejanganipun Ki Ageng Suryomentaram (1990) yang diuraikan dalam bahasa Jawa. Gambaran keempat dimensi/ukuran tersebut adalah:

(I). Dimensi/ukuran I, disebut sebagai juru catat (juru cathet). Pada dimensi/ukuran I ini, manusia tunduk pada tuntutan kebutuhan fisik biologis sensual yang bersifat instingtif dan secara intelektual baru mampu mengabstraksi apa yang ditangkap oleh kesan-kesan dari fungsi pancaindera (sensory motoric). Dalam dimensi/ukuran I ini, manusia melalui pancainderanya akan mencatat (mempersepsi) segala hal yang ada di sekelilingnya. 

Dimensi/ukuran I adalah hidup seorang bayi yang baru lahir dalam beberapa hari. Bayi tersebut dapat merasakan sesuatu namun belum dapat menggunakan fisik/tubuhnya sesuai perasaannya. Ketika bayi digigit nyamuk, ia merasa sakit tetapi tangannya belum dapat digunakan untuk menghalau nyamuk dan menggaruk tempat yang gatal akibat gigitan nyamuk. Hidup dalam dimensi/ukuran I disebut sebagai hidup yang hanya mempunyai satu dimensi saja, yaitu hanya merasakan, mengalami, atau menerima semua rangsangan dari luar. Yang berfungsi pada tahap ini hanya dimensi pancaindera saja.

(II). Dimensi/ukuran II, disebut sebagai catatan-catatan (kumpulan cathetan) yang merupakan hasil dari proses mencatat/melakukan persepsi pada dimensi/ukuran I. Pada  tahap ini, jiwa manusia menyimpan banyak catatan/cathetan atau persepsi sebagai hasil kerja pancaindera. Pengalaman hidup sejak kecil hingga dewasa akan menjadi catatan-catatan (kumpulan cathetan) yang ada pada dimensi/ukuran II. Menurut Suryomentaram, ada 11 kelompok catatan yang dimiliki manusia, yaitu catatan harta benda, kehormatan, kekuasaan, keluarga, golongan, kebangsaan, jenis, kepandaian, kebatinan, ilmu pengetahuan, dan rasa hidup. Catatan-catatan itu tidak hanya bersifat menyenangkan (afek positif), tetapi ada juga yang tidak menyenangkan (afek negatif). Oleh karena itu, dimensi/ukuran II disebut sebagai fungsi emosi. Pada tahap ini, jiwa masih belum berkembang potensi kepribadiannya karena dimensi/ukuran II ini belum mampu mengantarkan individu mencapai kebermaknaan hidup secara luhur. 

Hidup pada dimensi/ukuran II adalah hidup anak-anak yang bagian badannya sudah dapat digunakan untuk mengikuti perasaannya namun belum mengerti sifat dari hukum benda-benda. Seorang anak yang melihat api bercahaya akan senang, kemudian dipegangnya api tersebut. Hal itu terjadi karena anak belum dapat mengerti hukum alam benda bahwa api dapat membakar tangannya. Hidup dalam dimensi/ukuran II, anak mampu menerima rangsangan dan menanggapinya, namun belum dapat menggunakan pikiran atau pengertian tentang hukum-hukumnya, sehingga tindakannya sering keliru, pikirannya belum berfungsi.

(III). Dimensi/ukuran III, disebut sang pemikir (si tukang pikir, atau kramadangsa), yang merujuk pada kepribadian manusia yang bersesuaian dengan nama dan sifat khas masing-masing orang. Tahap ini disebut sebagai fase tumbuh dan berkembangnya kramadangsa “si tukang pikir”, yang merupakan kesadaran personal dalam fungsi kognisi. Suryomentaram menjelaskan bahwa pada dimensi/ukuran III manusia memiliki perkembangan fungsi pikiran, oleh karena itu dalam tindakan-tindakannya tidak selalu didorong oleh emosi-emosinya saja (pengaruh catatan yang menyenangkan dan tidak menyenangkan). Manusia dalam bertindak juga mempertimbangkan pikiran rasional.

Hidup manusia pada dimensi/ukuran III, sudah dapat merasakan sesuatu, badannya dapat digunakan sesuai dengan perasaannya dan dirinya sudah dapat mengerti sifat alam hukum benda. Pada tahap ini ada tiga hal yang sudah dapat berfungsi pada manusia, yaitu alat perasa (pancaindera), organ untuk menanggapi, dan pikiran. Hidup pada dimensi/ukuran III ini berorientasi ke arah pemenuhan kebutuhan diri sendiri. Suryomentaram juga menjelaskan bahwa dimensi/ukuran III merupakan kramadangsa atau manusia yang berorientasi pada pengalaman/catatan-catatan kawruh jiwa yang dimiliki. Pengalaman/catatan-catatan kawruh jiwa yang membentuk kramadangsa/“aku” yang merasa tersebut, akan muncul sebagai tanggapan rasa suka atau benci. 

Anak-anak sebagai individu, pertumbuhan dan perkembangannya masih  belum  sempurna,  dan masih berlangsung   terus  sesuai  dengan pengalaman-pengalaman yang dimiliki. Ditinjau dari kawruh jiwa Suryomentaram, pertumbuhan dan perkembangan anak masih sebatas sampai pada dimensi/ukuran I, II, dan III (Adimassana, 1986). 

(IV). Dimensi/ukuran IV, disebut sebagai tahap manusia tanpa ciri/menungsa tanpa tenger. Pada  tahap ini, manusia sudah mampu melampaui tuntutan akal objektif ke tingkat ideal. Manusia pada tahap dimensi/ukuran  IV ini memiliki sifat ethic-altruistic, yang memungkinkan seseorang menghayati rasa orang lain dan mengetahui kekurangan atau kesalahan diri sendiri (self evaluation). Apabila seseorang merasa dirinya paling benar, maka ia akan kembali ke dimensi/ukuran III, yakni akan membela diri sendiri sebagai yang paling benar. Hal itu akan menghambat perkembangan dimensi/ukuran IV. Menghambat perkembangan dimensi/ukuran IV berarti menghambat pertumbuhan dan perkembangan pribadi manusia tanpa ciri/menungsa tanpa tenger yang sehat dan sejahtera. Individu dengan kualitas pribadi manusia tanpa ciri/menungsa tanpa tenger akan dapat merasakan ketenangan dan ketentraman. Itulah keadaan jiwa sehat menurut Suryomentaram (Waringah dalam Sugiarto, dkk., 2015). 

Uraian-uraian di atas menunjukkan adanya empat tahap pertumbuhan dan perkembangan manusia yang dijabarkan oleh Ki Ageng Suryomentaram dalam kawruh jiwa. Keempat tahap tersebut dikenal sebagai dimensi/ukuran I, dimensi/ukuran II, dimensi/ukuran III, dan dimensi/ukuran IV; yang meliputi pertumbuhan dan perkembangan secara fisik, emosi, kognisi, dan intuisi. Thesis-thesis tersebut disusun berdasarkan pengalaman pribadi Ki Ageng Suryomentaram yang diverifikasi dengan pengalaman sahabat-sahabatnya yang hidup di era penjajahan, di situasi PD I dan PD II, serta di kondisi bangsa yang sedang memperjuangkan kemerdekaan. Thesis-thesis tersebut telah diteliti dan diuji validitasnya oleh Jatman (1985) dalam kajian psikologi melalui karya ilmiah yang berupa tesis S2. Tesis-tesis tersebut diuji kesesuaiannya dengan kenyataan hidup masa kini serta didialogkan dengan konsep-konsep serupa dalam psikologi modern (teori Maslow dan Rogers).

Referensi:

Adimassana, J. B.; 1986. Ki Ageng Suryomentaram tentang Citra Manusia. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Afif, A. 2012. Matahari dari Mataram. Menyelami Spiritualitas Jawa Rasional Ki Ageng Suryomentaram. Yogyakarta: Penerbit Kepik.

Jatman, D. 1985. Ilmu Jiwa Kramadangsa, Satu Usaha Eksplisitasi dan Sistematisasi dari Wejangan-Wejangan Ki Ageng Suryomentaram. Thesis. Yogyakarta: Pascasarjana Universitas Gadjah Mada.

Sugiarto, R.; dkk. 2015. Handbook Ilmu Kawruh Jiwa Suryomentaram, Riwayat, dan Jalan Menuju Bahagia. Yogyakarta: Dinas Kebudayaan DIY.Suryomentaram, G. (1990). Kawruh Jiwa Wejanganipun Ki Ageng Suryomentaram (Jilid 2). Jakarta: CV Haji Masagung.

Memutus “Lingkaran Setan” Gaya Pengasuhan Authoritarian pada Asian Parents

ArtikelArtikel Thursday, 15 June 2023

Photo credit: pikwizard.com

Penulis: Maura Olivia Situmorang
Penyunting: Diah Dinar Utami

Melihat realita yang ada, banyak orang tua menjadikan anak sebagai miniatur mereka. Anak diharap bisa menjadi sosok yang diinginkan orang tua meskipun seringkali bertolak belakang dengan keinginan anak. Ambisi ini membuat anak terkesan seperti robot yang bebas diperintah. Gaya pengasuhan seperti ini disebut authoritarian dan pada dasarnya terdapat pada berbagai budaya, tetapi lebih sering dijumpai pada Asian parents. Li dkk. (2010) melaporkan bahwa anak Asia menerima gaya pengasuhan authoritarian yang lebih tinggi dibanding anak Amerika dan Eropa. Gaya pengasuhan ini dicirikan dengan kehangatan emosional yang rendah, kontrol orang tua yang berlebihan, kepatuhan dan rasa hormat yang tinggi pada orang tua, serta komunikasi dua arah yang kurang (Mousavi dkk., 2016).

Cole (2016) mengatakan bahwa selama masa kanak-kanak, Asian parents cenderung mendorong anak untuk menyimpan emosi daripada meminta anak mengekspresikan emosi. Rothbaum & Trommsdorff (2007) menjelaskan, pada budaya Jepang, orang tua berusaha mencegah anak mengalami emosi negatif, sedangkan orang tua pada budaya Barat lebih sering merespon setelah anak tertekan dan membantu anak mengatasi emosinya.

Gaya pengasuhan tersebut berkontribusi pada perkembangan kehidupan dan kesehatan mental anak. Pada masa remaja, anak yang diasuh dengan gaya authoritarian menunjukkan harga diri, kepercayaan diri, self-efficacy, dan kemampuan hubungan interpersonal yang rendah (Ang & Goh, 2006). Pada masa dewasa, mereka menunjukkan kemampuan regulasi diri yang rendah (Shen dkk., 2018). Di samping itu, adanya batasan ketat dan komunikasi buruk menyebabkan stres pada anak meningkat dan akhirnya berimbas pada kesehatan mental.

Melihat adanya dampak buruk gaya pengasuhan authoritarian, orang tua perlu mengevaluasi gaya pengasuhan yang selama ini diterapkan. Umumnya, pola asuh ini diturunkan dari generasi ke generasi. Orang tua yang memiliki trauma masa kecil akibat pengasuhan authoritarian biasanya menerapkan hal serupa pada anaknya. Orang tua perlu memilih dan mempertimbangkan gaya pengasuhan yang terbaik dan berdampak positif bagi perkembangan anak.

Orang tua bisa menerapkan gaya pengasuhan authoritarian dan authoritative secara bersamaan. Di satu sisi, pengasuhan authoritarian diperlukan untuk menghindarkan anak dari perilaku yang destruktif, tetapi di sisi lain bisa menjadi boomerang yang berdampak buruk bagi perkembangan anak. Beberapa hal yang bisa dilakukan oleh orang tua:

1. Tidak menekan emosi anak
Orang tua perlu membantu anak mengenali dan mengekspresikan emosinya. Ketika anak merasakan emosi negatif, orang tua perlu membimbing anak untuk mengatasi emosi tersebut dengan baik ketimbang menghakimi ataupun meminta anak menahan emosi.

2. Ketahuilah bahwa anak merupakan pribadi yang otentik
Orang tua tidak perlu memaksa segala pilihan anak. Beri mereka otonomi untuk memilih dan melakukan semua yang diinginkan selama hal tersebut positif. Cara ini akan membantu meningkatkan kemandirian pada anak.

3. Memberikan kesempatan pada anak untuk menyampaikan pendapat dan mendengarkan
segala keluh kesah mereka

Komunikasi merupakan kunci keharmonisan hubungan anak dan orang tua. Dengan adanya komunikasi yang efektif, anak akan merasa lebih dihargai, meningkatkan kepercayaan diri anak, dan membantu membangun hubungan interpersonal yang lebih baik.

Mengasuh anak bukanlah perkara yang sepele. Tumbuh kembang anak akan sangat dipengaruhi oleh gaya asuh yang diterapkan orang tua. Selama ini, kebanyakan Asian parents masih menggunakan gaya pengasuhan authoritarian yang pada kenyataannya malah membawa dampak buruk bagi mental anak. Dengan demikian, orang tua perlu memiliki pemahaman yang tepat mengenai pengasuhan yang efektif dengan menerapkan beberapa cara di atas. Namun, apabila menemukan permasalahan lain seputar pola asuh yang berdampak pada kesehatan mental anak, jangan ragu untuk berkonsultasi dengan layanan profesional, seperti psikolog/paramedis.

Referensi:
Ang, R., & Goh, D. (2006). Authoritarian Parenting Style in Asian Societies: A Cluster- Analytic Investigation*. Contemporary Family Therapy, 28(1), 131-151. https://doi.org/10.1007/s10591-006-9699-y

Cole, P. (2016). Emotion and the Development of Psychopathology. Developmental Psychopathology, 1-60. https://doi.org/10.1002/9781119125556.devpsy107

Li, Y., Costanzo, P., & Putallaz, M. (2010). Maternal Socialization Goals, Parenting Styles, and Social-Emotional Adjustment Among Chinese and European American Young Adults: Testing a Mediation Model. The Journal Of Genetic Psychology, 171(4), 330-362. https://doi.org/10.1080/00221325.2010.505969

Mousavi, S., Low, W., & Hashim, A. (2016). Perceived Parenting Styles and Cultural Influences in Adolescent’s Anxiety: A Cross-Cultural Comparison. Journal Of Child And Family Studies, 25(7), 2102-2110. https://doi.org/10.1007/s10826-016-0393-x

Rothbaum, F., & Trommsdorff, G. (2007). Do Roots and Wings Complement or Oppose One Another?: The Socialization of Relatedness and Autonomy in Cultural Context. In J. E. Grusec & P. D. Hastings (Eds.), Handbook of socialization: Theory and research (pp.461–489). The Guilford Press.

Shen, J., Cheah, C., & Yu, J. (2018). Asian American and European American emerging adults’ perceived parenting styles and self-regulation ability. Asian American Journal Of Psychology, 9(2), 140-148. https://doi.org/10.1037/aap0000099

Menyoal n-Po generation: Akankah Indonesia mengalami hal yang sama?

ArtikelBlog Monday, 5 June 2023

Penulis: Muhammad Ikbal Wahyu Sukron

Penyunting: Diah Dinar Utami

Istilah “n-Po generation” mungkin masih asing terdengar di telinga. Tetapi, bagi kamu yang pernah menonton serial drama korea bertajuk “My Liberation Notes”, tentu familiar dengan permasalahan yang dihadapi oleh individu yang memasuki usia dewasa. Generasi n-Po (n-Posedae) atau numerous giving-up generation merupakan istilah untuk menggambarkan fenomena generasi muda Korea Selatan yang menyerah pada sejumlah poin penting dalam hidup, seperti kehidupan percintaan, pernikahan, menunda memiliki anak, mencari pekerjaan, dan tempat tinggal. Banyak faktor yang menyebabkan generasi muda memilih untuk menyerah, seperti tekanan ekonomi, kenaikan harga, dan kurangnya lapangan pekerjaan, .

Generasi n-Po merupakan perluasan istilah dari generasi sampo (sam= 3; po= giving-up) yang awalnya hanya menyerah pada 3 poin, seperti percintaan, pernikahan, menunda memiliki anak. Generasi n-Po umumnya terjadi pada rentang usia 20-an hingga 30-an akhir. Pada periode usia ini, individu memiliki tuntutan lebih besar secara sosial untuk mandiri secara individual, finansial, dan menjalin hubungan romantis dengan lawan jenis. Banyak perempuan Korea Selatan yang menyerah pada beberapa poin penting dalam hidup karena tuntutan sosial, mahalnya biaya pendidikan, perumahan, dan bahan pokok. Mereka yang menyerah akan hubungan asmara dan menunda untuk memiliki anak beralasan bahwa menghidupi diri sendiri saja sudah tidak mampu apalagi harus menghidupi keluarga. Alasan ini tentu sangat logis mengingat tidak seorang pun yang ingin orang yang dicintainya hidup dalam kondisi kekurangan; para orang tua juga ingin anak mereka memiliki penghidupan yang layak sehingga akan lebih baik kiranya tidak menjalin hubungan daripada menyengsarakan orang lain.

Kesulitan mencari pekerjaan dan kenaikan harga tempat tinggal membuat orang dewasa menyerah dan memilih untuk hidup apa adanya. Pilihan untuk hidup apa adanya tentu tidak ada yang mempermasalahkan, tetapi ketika keadaan ini menyebabkan orang dewasa tidak lagi berhasrat untuk menetapkan tujuan (goals) dalam hidup sehingga hidup tidak lagi bermakna maka ada yang salah dengan pilihan tersebut.

Jika melihat fenomena ini dari kacamata ilmu psikologi perkembangan, setiap rentang kehidupan memiliki tugas perkembangannya masing-masing. Tuntutan individu yang sudah memasuki usia dewasa akan berbeda dari mereka yang masih berada pada rentang usia remaja. Havighurst menjelaskan beberapa tugas perkembangan orang dewasa, seperti mencapai otonomi, mengembangkan stabilitas emosi, membangun karir, membangun keintiman, menjadi bagian dari komunitas, dan menjadi orangtua serta mengasuh anak.

Nah, jika mengacu pada tugas perkembangan yang dikemukakan oleh Havighurst tersebut, generasi n-Po tidak menyelesaikan hampir keseluruhan tugas perkembangan masa dewasa. Padahal, ketidakmampuan untuk menyelesaikan tugas perkembangan pada masa dewasa akan berpengaruh pada pemenuhan tugas perkembangan pada fase berikutnya. 

Berkaca pada fenomena generasi n-Po di Korea Selatan, ada kemungkinan individu dewasa di Indonesia juga mengalami hal serupa. Salah satunya terkait kepemilikan tempat tinggal. Tingginya permintaan dan rendahnya daya beli membuat para milenial di Indonesia akan kesulitan untuk memiliki rumah pribadi. Selanjutnya, tak jarang terdengar frasa “menikah nunggu mapan, mau dikasih makan apa anak orang” atau frasa-frasa sejenis yang secara tak langsung membatasi perkembangan diri. Apa yang disampaikan dalam frasa tersebut memang betul, namun ketika frasa tersebut menjadi falsafah hidup dan kemudian menjadi ketidaksadaran kolektif maka akan banyak orang dewasa yang memilih “menyerah” dengan realitas kehidupan atau bahkan remaja enggan memilih untuk menjadi dewasa. Terakhir, tingginya biaya untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari dan kesulitan mencari pekerjaan akan meningkatkan probabilitas munculnya generasi n-Po di Indonesia.

Sangat dimungkinkan nantinya Indonesia memunculkan istilah baru, entah itu generasi santuy, generasi pasrah, atau apapun itu yang juga merujuk pada term generasi n-Po. Hal ini tentu sama-sama tidak kita harapkan sehingga perlu adanya perhatian terhadap beberapa faktor yang menjadi faktor risiko kemunculan generasi n-Po, diantaranya:

  1. Struktur dan status ekonomi sosial

Situasi finansial dapat menjadi faktor risiko dalam kemunculan generasi n-Po. Orang dewasa yang sudah mandiri secara finansial memiliki kesempatan yang lebih besar untuk mengembangkan dirinya, mereka lebih percaya diri untuk mengambil tanggung jawab, mampu membuat keputusan sendiri, dan merencanakan kehidupan yang lebih sejahtera di masa depan. Sedangkan mereka yang belum mandiri secara finansial cenderung menjadi individu yang dependen, pasif dalam beradaptasi, dan takut akan masa depan yang dipandang penuh dengan risiko dan ketidakpastian.

  1. Tingkat pendidikan 

Tingkat pendidikan individu juga berperan dalam meningkatkan probabilitas munculnya generasi n-Po di Indonesia. Data BPS hingga 2021 menunjukkan bahwa rendahnya tingkat pendidikan yang ditamatkan oleh individu linear dengan tingginya persentase pengangguran terbuka. Selain itu, Komisi IX DPR RI menyebutkan bahwa rendahnya tingkat pendidikan individu menjadi tantangan dalam penyerapan tenaga kerja di Indonesia. Di sisi lain, banyak perusahaan atau penyedia tenaga kerja yang mensyaratkan tingkat pendidikan sebagai salah satu kualifikasi dalam proses penerimaan karyawan.

  1. Skill individu

Tidak cukup dengan tingkat pendidikan, generasi n-Po juga dikarenakan permintaan untuk pekerjaan dengan skill individu level rendah (low-level skills) semakin menurun karena digantikan oleh mereka yang memiliki kualifikasi yang lebih tinggi atas pekerjaan tersebut. Hal ini tentu sangat logis, ketika banyak sarjana lulusan universitas maka pencarian pekerjaan akan semakin kompetitif. Sementara itu, perusahaan tentu akan menyeleksi kandidat terbaik diantara para pelamar untuk bekerja di perusahaan mereka. Oleh karena itu, tidak cukup bagi orang dewasa hanya memiliki gelar pendidikan tetapi juga harus dibarengi dengan kemampuan (skill) yang dibutuhkan pasar (job market).

  1. Budaya pengasuhan

Sama hal nya dengan struktur dan status ekonomi sosial, budaya pengasuhan di Indonesia dapat menjadi faktor risiko kemunculan n-Po di Indonesia. Meskipun konstruk sosial menuntut orang dewasa untuk mandiri secara finansial, pekerjaan, dan kepemilikan tempat tinggal; para orangtua di Indonesia masih menganggap dirinya bertanggung jawab atas kesejahteraan anak dan proses pengasuhan dilakukan sepanjang hayat. Anak masih diterima untuk tinggal bersama orang tua meskipun sudah memasuki usia dewasa. Budaya pengasuhan seperti ini akan membuat orang dewasa cenderung bergantung pada orangtua dan pasrah dengan keadaan.

Berdasarkan pemaparan di atas, generasi n-Po bisa dikatakan sebagai kelompok orang dewasa yang mengalami hambatan dalam penyelesaian tugas perkembangan masa dewasa dan tentu akan berpengaruh pada pemenuhan tugas perkembangan pada fase berikutnya. Oleh karena itu, perlu atensi khusus terhadap faktor risiko munculnya generasi n-Po di Indonesia, seperti tingkat pendidikan, keterampilan (skill) individu, budaya pengasuhan, struktur dan status ekonomi sosial masyarakat Indonesia.

Referensi

Humanities for alternative community: Sharing, connectivity and sustainable utopia. Dari laman http://ccs.khu.ac.kr/m/eng/project/content1

Chong, K. (2016, April 27). South Korea’s troubled millennial generation. Dari laman https://cmr.berkeley.edu/blog/2016/4/south-korea/

Kim, S. (2021, Mei 26). South Korea crosses a population rubicon in warning to the world. Dari laman https://www.bloomberg.com/news/features/2021-05-25/south-korea-is-growing-old-fast-leaving-a-younger-generation-home-alone-and-chi

Arifahsasti, F., Iskandar, K. (2022). The effect of confucianism on future birth rates in South Korea and Japan. Budapest International Research and Critics Institute-Journal (BIRCI-Journal). 05(2), 8307-8318.

Hutteman, R., Hennecke, M., Orth, U., Reitz, A. K., & Specht, J. (2014). Developmental Tasks as a Framework to Study Personality Development in Adulthood and Old Age. European Journal of Personality, 28(3), 267–278.

Santrock, J.W. (2012). Life-span development, ed. 13. Jakarta: Penerbit Erlangga

Hastanto, I. (2022, Juli 08). Menkeu Sri Mulyani prediksi anak muda makin susah beli rumah, terpaksa ikut mertua. Dari laman https://www.vice.com/id/article/akegep/menkeu-sri-mulyani-di-forum-g20-prediksi-anak-muda-indonesia-bakal-makin-susah-beli-rumah

Ranta, M., Punamaki, R. L., Tolvanen, A., & Salmela-Aro, K. (2012). The role of financial resources and agency in success and satisfaction regarding developmental tasks in early adulthood. Economic Stress and the Family. 187-233.

___. (2022). Tingkat pengangguran terbuka berdasarkan tingkat pendidikan 2019-2021. Dari laman https://www.bps.go.id/indicator/6/1179/1/tingkat-pengangguran-terbuka-berdasarkan-tingkat-pendidikan.html

Sulaeman (2020, Juli 08). Tingkat pendidikan pekerja jadi tantangan penyerapan tenaga kerja. Dari laman https://www.merdeka.com/uang/tingkat-pendidikan-pekerja-jadi-tantangan-penyerapan-tenaga-kerja.html

Jun, S. (2017, May 31). Korea’s ‘N-Po’ generation looks to new administration for jobs. Dari laman https://asiafoundation.org/2017/05/31/koreas-n-po-generation-looks-new-administration-jobs/

Trauma Masa Kecil dan Inner Child yang Terbawa hingga Dewasa

ArtikelArtikel Monday, 16 January 2023

Trauma Masa Kecil dan Inner Child yang Terbawa hingga Dewasa

Penulis: Munadira

Penyunting: Reswara Dyah Prastuty

Beberapa riset menemukan bahwa perilaku yang dimunculkan di usia dewasa berakar dari trauma yang dialami seseorang di masa kecil. Peristiwa yang dialami seorang anak dan sifatnya mengancam kehidupan merupakan hal-hal yang bisa membentuk perilaku-perilaku di masa dewasa. Pelecehan seksual, perundungan, atau kekerasan dari orang tua merupakan beberapa trauma masa kecil yang mengakibatkan stres pada anak dan dapat berdampak pada masa depan anak di usia dewasa (Kim et al, 2017). Kumpulan trauma yang dialami anak di masa kecil akan menjadi luka psikis yang terus melekat dalam diri anak hingga ia dewasa (Huh et al, 2017). Luka tersebut masih ada di alam bawah sadar sehingga bermanifestasi dalam bentuk perilaku dan emosi negatif, contohnya perasaan tidak dicintai oleh orang lain, tidak percaya diri, cemas, atau ingin mendominasi orang lain (Burlakova & Karpova, 2021).

Beberapa dampak yang berakar pada luka atau trauma masa lalu anak dapat muncul pada usia dewasa. Di antara dampak tersebut adalah sebagai berikut.
1. Kendala dalam mengatur emosi
Bagi beberapa individu, trauma masa kecil yang tidak diatasi dengan baik dapat menyebabkan gangguan PTSD (Post-Traumatic Stress Disorder)  atau gangguan stres pascatrauma (Kim et al, 2017). Menurut Kim et al (2017), salah satu yang dapat muncul ketika seseorang mengalami kendala mengatur emosi adalah hyperarousal. Kondisi ini umumnya mengakibatkan seseorang tidak bisa mengatur emosi dengan baik karena adanya trauma di masa sebelumnya. Orang-orang dengan hyperarousal cenderung bereaksi berlebihan saat mengalami kondisi yang memicu stres dan kurang memikirkan tindakannya secara matang. Mereka juga cenderung mencari pelarian atau lari dari tanggung jawab. Selain itu, hyperarousal juga ditandai dengan kewaspadaan berlebihan.

2. Kesulitan untuk fokus dan berkonsentrasi
Trauma masa kecil yang membekas di otak anak juga berdampak pada perkembangan otak. Studi yang dilakukan Suzuki et al (2014) menemukan bahwa anak-anak yang berada di usia 6-12 tahun dan terus menerus mengalami kejadian traumatis yang memicu stres memiliki kortisol yang merespon lebih lemah dalam situasi yang memicu stres dibandingkan mereka yang tidak mengalami pengalaman traumatis. Hormon kortisol dihasilkan untuk mempersiapkan individu menghadapi hal yang dianggap sebagai ancaman (Jones et al, 2021). Sementara itu, untuk menunjang perkembangan otak yang optimal, seseorang membutuhkan rasa aman dan terhindar dari stres ataupun pengalaman traumatik. Mereka yang memiliki trauma masa kecil merasa kegiatan belajar di sekolah menjadi hal yang sulit. Anak-anak tersebut akan sulit berkonsentrasi apalagi saat ingatan trauma kembali terngiang di kepalanya (Kim et al, 2017).

3. Kesulitan dalam menjalin hubungan dengan orang lain
Dalam kehidupan sehari-hari, trauma dapat memiliki dampak yang signifikan dan beragam pada fungsi sosial atau karakter seseorang. Berkaitan dengan trauma masa kecil, pada umumnya, masalah mental ini bisa berupa kondisi seseorang yang kurang mampu mengendalikan dirinya sendiri (Burlakova & Karpova, 2021). Oleh sebab itu, individu yang pernah memiliki trauma cenderung sulit menjalin relasi dengan orang lain. Kesulitan memiliki hubungan ditandai juga dengan perilaku orang tersebut yang menunjukkan sifat membutuhkan atau manipulatif, hingga perilaku agresif dan kekerasan (Suzuki et al, 2020).

Untuk berdamai dengan luka masa kecil yang dialami, terdapat beberapa cara yang bisa dilakukan individu, antara lain melakukan kegiatan yang dapat lebih mengenal inner child seperti, menulis jurnal, refleksi diri, melakukan kegiatan self-care, atau berkonsultasi pada para profesional.

Referensi
Burlakova, N., & Karpova, O. (2021). Parent-child communication and inner dialogues in the self-awareness of children with disabilities. European Psychiatry, 64(S1), S506-S506
Huh, H. J., Kim, K. H., Lee, H. K., & Chae, J. H. (2017). The relationship between childhood trauma and the severity of adulthood depression and anxiety symptoms in a clinical sample: The mediating role of cognitive emotion regulation strategies. Journal of affective disorders, 213, 44-50.
Jones, R., Tarter, R., & Ross, A. M. (2021). Greenspace interventions, stress and cortisol: a scoping review. International journal of environmental research and public health, 18(6), 2802.
Kim, J. S., Jin, M. J., Jung, W., Hahn, S. W., & Lee, S. H. (2017). Rumination as a mediator between childhood trauma and adulthood depression/anxiety in non-clinical participants. Frontiers in psychology, 8, 1597.
Suzuki, A., Poon, L., Papadopoulos, A. S., Kumari, V., & Cleare, A. J. (2014). Long term effects of childhood trauma on cortisol stress reactivity in adulthood and relationship to the occurrence of depression. Psychoneuroendocrinology, 50, 289 299.

Joint Attention: Melatih Kemampuan Eksekutif Bayi dengan Cara Sederhana

ArtikelArtikel Monday, 9 January 2023

Joint Attention: Melatih Kemampuan Eksekutif Bayi dengan Cara Sederhana

Penulis: Diah Dinar Utami

Penyunting: Reswara Dyah Prastuty

Pelatihan metode skrining untuk mengukur perkembangan memori dan kemampuan eksekutif pada bayi dilakukan oleh tim peneliti Fakultas Psikologi UGM pada tahun 2021. Pelatihan ini dilakukan terhadap ibu yang memiliki bayi berusia 12 hingga 24 bulan. Dalam pelatihan ini, para ibu diajarkan untuk dapat bermain bersama bayi mereka dan memperhatikan beberapa aspek penting mengenai perkembangan memori dan keterampilan eksekutif pada bayi. Selain mengajarkan metode skrining ini, tim peneliti juga mengajarkan teknik joint attention kepada para ibu untuk menarik minat bayi terhadap kegiatan yang akan dilakukan oleh ibu dan bayi. Teknik ini merupakan dasar untuk menarik perhatian bayi sebelum skrining dilakukan. Joint attention merupakan salah satu bentuk keterampilan eksekutif pada bayi untuk menaruh perhatian dan fokus terhadap apa yang diberikan kepada mereka. 

Keterampilan eksekutif bayi dapat diobservasi dan distimulasi melalui permainan-permainan sederhana yang dilakukan sehari-hari. Hal ini dapat dilakukan oleh Ibu atau pengasuh bayi. Salah satu kemampuan eksekutif pada bayi yang dapat diobservasi oleh pengasuh atau Ibu adalah kemampuan bayi dalam melakukan joint attention. Joint attention adalah suatu kondisi yang melibatkan minimal dua orang untuk berfokus kepada hal yang sama dan saling terlibat satu sama lain, misalnya terlibat pada tatapan mata yang sama, gerakan tubuh, atau kata-kata untuk mengarahkan perhatian, seperti ‘ayo coba lihat ke sini’ atau ‘coba lihat yang ada di atas sana’ (Rocha, 2019). Joint attention sudah muncul dan dapat diobservasi maupun dilatih kepada bayi sejak usia 9 bulan (Van Hecke, 2012) meskipun fondasi awalnya dimulai pada awal masa bayi (usia 0 bulan) ketika bayi berinteraksi dengan orang tua dan pengasuh melalui kontak mata, suara, dan senyuman (Brandes-Aitken, 2020).

Joint attention juga memiliki peran yang penting untuk perkembangan bahasa selanjutnya, keterampilan kognitif sosial, empati, dan perilaku prososial (Poysa-Tarhonen, 2021 ; Rocha, dkk. 2019). Selama melakukan joint attention, bayi memiliki banyak kesempatan untuk tidak hanya mengamati bahasa, tetapi juga berlatih untuk memproses dalam memorinya. Selain itu, keterampilan sosial yang dapat terlatih melalui joint attention adalah kemampuan dalam memulai, menanggapi orang lain yang memulai, mempertahankan interaksi bolak-balik, dsb. Hal-hal ini merupakan bagian integral dari komunikasi, hubungan, pembelajaran, dan kolaborasi yang dibutuhkan oleh individu dalam melakukan kontak sosial.

Melihat pentingnya joint attention pada bayi, hal ini dapat dilakukan dan dilatih sejak dini oleh para ibu maupun pengasuh. Berikut ini tips and trick yang dapat dilakukan oleh para ibu untuk melatih joint attention pada bayi dan anak:

1.Sejajarkan posisi badan dengan tinggi bayi atau anak Anda.

Aspek terpenting dari joint attention adalah kemampuan untuk melihat apa yang dilakukan bayi dari sudut pandangnya dan berada sejajar dengan mata mereka untuk melakukan kontak mata. Tujuan hal ini agar bayi Anda melihat mainannya lalu melihat kembali ke arah Ibu sebagai referensi, lalu melanjutkan bermain. Ibu dapat duduk bersimpuh atau sedikit merunduk untuk menyesuaikan tinggi badan bayi.

2.Lakukan kontak mata sesering mungkin dan tanggapi dengan tepat saat anak           memulai kontak mata. 

Jika Ibu dan bayi sedang melihat buku atau mainan bersama, pastikan Ibu memberikan kontak mata kepada bayi ketika sedang menjelaskan atau mengomentari sesuatu mengenai hal yang sedang dilakukan bersama.  Lalu, jika bayi melihat ke arah ibu untuk persetujuan atau untuk menunjukkan keinginan, tanggapi dengan berkomentar atau terlibat dalam tindakan yang diinginkan oleh bayi.

3.Tiru tindakan atau suara anak. 

Saat bermain bersama, Ibu dapat menarik perhatian bayi dengan meniru cara mereka bermain. Jika bayi mengatakan “bumm… bumm..” saat mendorong mobil, dorong mobil yang ada di hadapan Ibu dan buat suara yang sama. Hal ini akan membuat bayi merasa bahwa Ibu melakukan aktivitas yang sama bersama dengan mereka. Hal ini mendorong minat bayi untuk bermain bersama Ibu.

4.Arahkan bayi dengan menggunakan gerakan tubuh yang sesuai

Jika Ibu sedang membaca buku bersama, Ibu dapat menunjuk kata yang Ibu sedang baca atau gambar yang Ibu sedang lihat. Bayi akan menirukan hal serupa seperti apa yang dilakukan oleh Ibu. Ketika Bayi menunjuk ke arah sesuatu, pastikan Ibu juga melihat ke arah yang sama dan memberikan komentar terhadap hal tersebut. Gerakan lain yang dapat dilakukan oleh Ibu untuk menunjang joint attention pada anak adalah mengangkat mainan untuk dilihat oleh bayi atau melambai pada bayi ketika ingin menunjukkan sesuatu.

5.Bergiliran dengan bayi. 

Bergiliran atau bergantian dapat mengembangkan tidak hanya keterampilan joint attention, tetapi juga keterampilan sosialisasi lain yang diperlukan untuk berbicara dan memainkan permainan yang terorganisir. Bergiliran bisa sesederhana mengoper bola ke depan dan ke belakang atau bergantian siapa yang akan mengirim mobil menuruni tanjakan. 

6.Ikuti petunjuk anak Anda. 

Hal terbaik untuk memastikan bayi terlibat dalam suatu aktivitas adalah dengan membiarkannya memilih apa dan bagaimana cara bermainnya. Usahakan untuk tidak terlalu banyak bertanya atau memberi terlalu banyak perintah. Tunggu dan amati apa yang dilakukan oleh bayi kemudian mainkan dengan cara ia bermain.

7.Gunakan kata-kata yang sederhana. 

Memberi terlalu banyak perintah rumit atau mengajukan pertanyaan panjang dapat membingungkan bayi. Hal ini dapat menghentikan ritme alami permainan yang sedang dilakukan bersama bayi. Ibu dapat menggunakan frasa yang singkat dan berhubungan langsung dengan apa yang dilakukan bayi, misalnya, ‘ini apa sayang?’ atau ‘coba lihat ini’.

Nah, dari 7 tips ini, Ibu dapat memulainya di rumah masing-masing ketika sedang berkegiatan bersama anak. Silahkan lakukan tips dan trick ini secara konsisten untuk melatih kemampuan joint attention yang lebih baik lagi pada bayi atau anak di rumah. Permainan dan kegiatan akan lebih berkualitas ketika Ibu dan bayi memiliki perhatian yang sama akan kegiatan yang sedang dilakukan. 

 

Referensi :

  1. Brandes-Aitken A, Braren S, Gandhi J, Perry RE, Rowe-Harriott S, Blair C. Joint attention partially mediates the longitudinal relation between attuned caregiving and executive functions for low-income children. Dev Psychol. 2020 Oct;56(10):1829-1841. doi: 10.1037/dev0001089. Epub 2020 Jul 23. PMID: 32700951.
  2. Pöysä-Tarhonen, J., Awwal, N., Hakkinen, P., & Otieno, S. (2021). Joint attention behaviour in remote collaborative problem solving: Exploring different attentional levels in dyadic interaction. Research and Practice in Technology Enhanced Learning. https://doi.org/10.1186/s41039-021-00160-0
  3. Rocha, N. A. C. F., Silva, F. P. S., Mariana, M. S., & Dusing, S. C. (2019). Impact of mother–infant interaction on development during the first year of life: A systematic review. Journal of Child Health Care. DOI: 10.1177/1367493519864742
  4. Van Hecke, V. A., Mundy, P., Block, J. J., Delgado, C. E., Parlade, M. V., Pomares, Y. B., & Hobson, J. A. (2012). Infant responding to joint attention, executive processes, and self-regulation in preschool children. Infant behavior & development, 35(2), 303–311. https://doi.org/10.1016/j.infbeh.2011.12.001

Berkebun: Salah Satu Sumber Kesehatan Mental di Hari Tua

ArtikelArtikel Friday, 6 January 2023

Berkebun: Salah Satu Sumber Kesehatan Mental di Hari Tua

Penulis: Ruziqna

Penyunting: Diah Dinar Utami

Semakin tua seseorang, maka semakin banyak perubahan yang akan dirasakan. Perubahan akan semakin terlihat ketika seseorang mulai memasuki usia 60 tahun ke atas. Biasanya usia tersebut dikategorikan dalam kelompok lansia.

Lansia merupakan penduduk rentan karena ketidakstabilan finansial dan kesehatan, sehingga membutuhkan pendampingan dari orang dewasa (Wahyuni, Effendy, Kusumaningrum, & Dewi, 2021). Pemberian dukungan kepada lansia untuk tetap dapat berfungsi dalam kegiatan sehari-hari dapat membantu lansia untuk tetap menjalankan kehidupannya secara positif. Sebagai orang dewasa, hal yang dapat kita lakukan untuk membantu lansia hidup secara positif adalah membantu lansia menemukan makna (meaning) dalam kegiatan kesehariannya (Bonder & Bello-Haas, 2018).

Ternyata, melibatkan lansia pada aktivitas yang berkaitan dengan gerakan fisik dapat membantu kesejahteraan mentalnya (Yen & Lin, 2018). Banyak kegiatan yang sebenarnya masih dapat dilakukan bersama oleh lansia. Salah satu kegiatan yang menyenangkan adalah berkebun di halaman rumah. Berkebun merupakan kegiatan yang berkaitan dengan alam, yang mana berdampak pada kesejahteraan psikis lansia. Berkebun dinilai sesuai dengan lansia, baik ketika dilakukan bersama-sama dengan orang lain, misalnya anak, tetangga, atau teman, dan dan tetap sama menyenangkannya jika dilakukan sendiri (Soga, Gaston, & Yamaura,  2017).

Berkebun memiliki banyak manfaat yang dapat menunjang kualitas hidup lansia. Menurut hasil penelitian Scott, Masser, dan Pachana (2020), berkebun berdampak secara fisik, psikis, dan sosial bagi lansia. Berkebun bermanfaat bagi fisik lansia karena kegiatan ini memerlukan perhatian secara berkelanjutan. Perhatian terhadap tanaman, seperti menyiram, memupuk, dan menyemai, membuat lansia terikat pada kegiatan fisik. Hal ini dapat memperlambat terjadinya osteoporosis, mengurangi resiko penyakit kanker, diabetes, dan penyakit jantung.

Selain menyehatkan fisik, berkebun juga menyehatkan psikis lansia. Melihat tanaman tumbuh dengan subur dan hijau dapat mengurangi stres. Sesederhana ketika berada di dalam kebun dan memperhatikan tanaman, ternyata bermanfaat sebagai media relaksasi bagi lansia. Berkebun juga berdampak pada kemampuan kognitif lansia melalui pemilihan tanaman, melakukan desain kebun yang sesuai dengan keinginan, dan belajar jenis tanaman baru. Hal serupa juga ditemukan pada penelitian Corley, dkk (2021), yang menyatakan bahwa berkebun di rumah dapat mengurangi rasa cemas dan meningkatkan kualitas tidur lansia. Hangatnya sinar matahari pagi dan segarnya udara yang dapat dirasakan ketika berkebun dapat meningkatkan perasaan lansia menjadi lebih baik.

Selain dua manfaat utama di atas, ternyata berkebun juga menjadi media untuk menjalin hubungan sosial dengan orang lain. Berkebun memberikan kesempatan bagi lansia untuk berinteraksi dengan tetangga, teman, atau mengikuti komunitas yang berkaitan dengan kegiatan berkebun. Selain terhubung dengan alam, lansia juga dapat memberi dukungan kepada sesama rekannya. Hal ini penting agar lansia tidak merasa terisolasi dan kesepian (Scott, Masser, & Pachana (2020), Corley, dkk (2021)).

Berdasarkan manfaat berkebun yang telah dibuktikan oleh penelitian di atas, maka dapat dinyatakan bahwa berkebun menjadi salah satu kegiatan yang layak dicoba untuk lansia. Berkebun tetap dapat dilakukan dengan asik dengan menyesuaikan dengan kekuatan fisik lansia. Agar hasil dari berkebun benar-benar dapat dirasakan untuk kesehatan mental lansia, berikut tips berkebun mudah untuk lansia di rumah yang dikutip dari artikel oleh Ross (2021):

  1. Tentukan apa yang akan ditanam

Jenis tanaman yang dipilih untuk berkebun dapat disesuaikan dengan kebutuhan. Jika ingin mendapatkan tanaman yang dapat dimakan, maka pilihlah tanaman sayuran. Jika ingin memperindah halaman dengan berbagai warna dan wewangian, maka tanaman bunga akan lebih cocok. Pemilihan dua jenis kelompok tanaman juga boleh dilakukan. Tips: pilihlah tanaman yang tidak membutuhkan perawatan yang detail serta tidak membutuhkan waktu lama untuk dipanen. Sayuran yang mudah ditanam seperti tomat, cabe, sawi, daun bawang, seledri dan timun.

  1. Tentukan desain kebun

Berkebun di rumah biasanya memiliki lahan yang kecil. Hal ini disiasati dengan penggunaan pot-pot kecil untuk menanam tanaman. Susunan pot biasanya dibuat berjenjang agar dapat memuat banyak pot. Selain itu, penggunaan pot juga dapat dikreasikan dengan kotak kayu. Tips: buatlah desain yang memiliki keleluasaan untuk lansia bergerak.

  1. Gunakan alat bantu

Agar berkebun semakin menyenangkan, maka penggunaan alat bantu berkebun bagi lansia sangat disarankan. Contoh alat bantu adalah:

  1. Tersedia keran dan selang untuk memudahkan lansia menyiram tanaman.
  2. Botol spray untuk tanaman yang masih kecil
  3. Tajak untuk menggemburkan tanah
  4. Kursi kecil untuk duduk
  5. Gunakan sarung tangan agar terhindar dari sesuatu yang tajam
  1. Pilih kegiatan yang tepat

Berkebun memiliki berbagai macam kegiatan di dalamnya. Pilihlah kegiatan yang dapat dilakukan oleh lansia. Kegiatan tersebut dapat berupa menyemai, menyiram, memanen, atau dapat juga hanya berupa berjalan memeriksa kondisi tanaman, menyentuh tanaman, dan merasakan wangi dari tanaman tersebut.

Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa berkebun tidak hanya menyehatkan fisik dan psikis lansia, tetapi juga membantu lansia menemukan makna dari kegiatan sehari-harinya, sehingga dapat menimbulkan perasaan puas menjalani kehidupan hari tuanya. Sebagai orang dewasa, kegiatan ini patut untuk dicoba bersama lansia yang ada di rumah kita, misalnya orangtua dan kakek atau nenek. Selain mudah dilakukan dan menyehatkan, berkebun dapat menjadi salah satu kegiatan untuk merekatkan hubungan dengan orangtua atau kakek-nenek kita.

Referensi:

Bonder, B. R., & Bello-Haas, V. D. (2018). Functional Performance in Older Adults: 4th Edition. USA: F.A. Davis Company.

Corley, J., Okely, J. A., Taylor, A. M., Page, D., Welstead, M., Skarabela, B., Redmond, P., Cox, S. R., & Russ, T. C. (2021). Home garden use during COVID-19: associations with physical and mental wellbeing in older adults. Journal of Environmental Psychology, 73, 101545. https://doi.org/10.1016/j.jenvp.2020.101545

Ross, M. (2021, July 30). Gardening as You Grow Older, Enabling Tools | Gardener’s Supply. Gardeners. https://www.gardeners.com/how-to/gardening-at-any-age/8574.html

Scott, T. L., Masser, B. M., & Pachana, N. A. (2020). Positive aging benefits of home and community gardening activities: older adults report enhanced self-esteem, productive endeavours, social engagement and exercise. SAGE Open Medicine, 8, 205031212090173. https://doi.org/10.1177/2050312120901732

Soga, M., Gaston, K. J., & Yamaura, Y. (2017). Gardening is beneficial for health: a meta-analysis. Preventive Medicine Reports, 5, 92–99. https://doi.org/10.1016/j.pmedr.2016.11.007

Wahyuni, S., Effendy, C., Kusumaningrum, F. M., & Dewi, F. S. T. (2021). Factors associated with independence for elderly people in their activities of daily living. Jurnal Berkala Epidemiologi, 9(1), 44. https://doi.org/10.20473/jbe.v9i12021.44-53

Yen, H. Y., & Lin, L. J. (2018). Quality of life in older adults: Benefits from the productive engagement in physical activity. Journal of Exercise Science and Fitness, 16(2), 49–54. https://doi.org/10.1016/j.jesf.2018.06.001

Menilik Tantangan dan Solusi dalam Tahap Perkembangan Keluarga

ArtikelArtikel Friday, 6 January 2023

Menilik Tantangan dan Solusi dalam Tahap Perkembangan Keluarga

Penulis: Dewi Amalia Rahmawati

Penyunting : S. B. Suryo Buwono

Dewasa ini banyak kita jumpai munculnya edukasi pranikah di tengah masyarakat. Pihak penyelenggaranya beragam, mulai dari Kantor Urusan Agama, pemerintah daerah, hingga komunitas masyarakat. Kesadaran masyarakat akan pentingnya edukasi pranikah sejalan dengan banyaknya tantangan yang akan dihadapi dalam membangun sebuah keluarga. Beberapa tantangan muncul sebagai ciri khas yang menandakan terjadinya tahap tertentu dalam keluarga dan cenderung berbeda di setiap tahapnya. Evelyn Duvall (1971) mencetuskan teori perkembangan keluarga yang melihat bagaimana pasangan dan anggota keluarga menghadapi berbagai tugas perkembangan dalam pernikahan dan keluarga di setiap tahap siklus hidup. Menurutnya, ada delapan tahapan dalam teori perkembangan keluarga. Berikut penjelasan setiap tahapnya.

Tahap 1: Pasangan menikah (tanpa anak) 

Pernikahan tidak hanya menyatukan dua individu, melainkan juga dua keluarga. Beberapa tahun pertama pernikahan termasuk tahap transisi yang berat bagi pasangan karena masing-masing individu harus meninggalkan keluarganya, kehilangan kebebasan, dan mulai menjalankan fungsinya sebagai pasangan bagi satu sama lain (Indriani, 2014). Agar pernikahan tetap harmonis, pasangan suami istri (pasutri) perlu membangun hubungan kedekatan dan memahami respon emosi satu sama lain, menyelesaikan permasalahan pembagian peran, serta menyesuaikan hubungan dengan keluarga besar dan teman-teman. Sejauh mana tahap awal pernikahan berhasil dilalui oleh pasutri ditandai dengan keberhasilan dalam penyesuaian diri satu sama lain (Ibrahim, 2002 dalam Indriani, 2014).

Tahap 2: Keluarga dengan anak bayi 

Pasangan pada tahap ini melalui transisi untuk menerima anggota baru dalam rumah tangga. Tahap ini berlangsung sejak anak pertama lahir hingga berusia 30 bulan.Tantangan yang muncul meliputi pengabaian satu sama lain karena tingginya atau rendahnya interaksi dengan anak, kesulitan memenuhi tanggung jawab sebagai orang tua, hingga pengabaian terhadap kebutuhan bayi. Oleh karenanya dibutuhkan keseimbangan antara kebutuhan pribadi, pasangan, dan anak. Untuk dapat melewati tahap ini dengan adaptif, setiap pasangan perlu memperhatikan usia mereka saat menikah, tingkat pendidikan, kesiapan menjadi orang tua, dan pola asuh yang akan diterapkan (Setyowati et al., 2017).

Tahap 3: Keluarga dengan anak prasekolah

Tahapan selanjutnya yakni ketika anak pertama berusia 2 tahun 6 bulan sampai 6 tahun. Tantangan yang umum terjadi meliputi Separation problems, power problems, dan conduct problems. Separation problems berbicara mengenai ketidaksiapan anak untuk berpisah dari orang tuanya – atau sebaliknya – saat melakukan aktivitas sosial. Power problems terjadi ketika anak terlalu berkuasa akan keinginannya. Conduct problems terjadi ketika anak tidak mempedulikan orang lain akibat rendahnya pengharapan terhadap anak dan pengawasan yang tidak konsisten. Guna mengatasi tantangan tersebut, orang tua perlu melakukan pengawasan dengan tidak berlebihan, mempersilakan anak mengeksplorasi berbagai emosi, serta mendorong anak untuk mengembangkan perilaku mandiri dan aktivitas sosial di luar rumah. Di lain sisi, intimasi pasangan sebagai suami istri perlu tetap dipertahankan (Agustiani, 2007). 

Tahap 4: Keluarga dengan anak sekolah dasar

Keluarga akan mengalami transisi dengan adanya dunia pendidikan sebagai pendidik bagi anak-anak mereka. Di Indonesia, mayoritas anak usia sekolah dasar adalah 7 hingga 12 tahun. Pada tahun-tahun tersebut anak mengalami pertumbuhan fisik yang pesat, perkembangan motorik dan kognitif, bahasa, sosio-emosional, moral, hingga kesadaran akan gender (Santrock, 2019). Suatu hal yang perlu dipahami yakni sangatlah lumrah jika terjadi perbedaan cara dan waktu dalam pencapaian perkembangan anak. Tantangan yang orang tua hadapi di tahap ini biasanya meliputi performa akademik anak. Untuk mengatasinya, orang tua dapat memahami bahwa performa akademik bukanlah sesuatu yang bersifat mutlak. Stimulasi dan nutrisi yang tepat dari orang tua akan membantu anak untuk mencapai potensi terbaik mereka. 

Tahap 5: Keluarga dengan remaja 

Remaja kerap kali menaruh kepercayaan terhadap teman sebaya dibanding orang tua atau keluarga karena besarnya pengaruh teman sebaya. Adanya kendali keluarga membuat remaja merasa tidak bebas. Oleh karenanya, keluarga dengan remaja perlu meningkatkan fleksibilitas batasan yang ditetapkan pada anak untuk membentuk kebebasan yang tetap bertanggung jawab. Diperlukan pula figur orang tua yang hangat dan suportif serta mau mendengarkan dan memahami pendapat anak untuk membangun relasi orang tua-remaja yang positif (Nayana, 2013). Ditinjau dari sisi pasutri, pada tahap ini orang tua mulai beralih dari kegiatan pengasuhan anak. Mereka kembali memperhatikan pernikahan dan karir maupun mengalihkan fokus kepada keluarga yang lebih tua.

Tahap 6: Keluarga pelontar (launching)

Ketika anak pertama mulai meninggalkan rumah untuk tujuan pendidikan, pekerjaan, maupun pernikahan, saat itulah terjadi tahap keluarga pelontar. Orang tua perlu menyadari bahwa anaknya telah memasuki tahap perkembangan sebagai orang dewasa. Konflik dapat terjadi ketika orang tua terlalu campur tangan dalam setiap lini kehidupan anak sehingga anak tidak dapat memilih jalan hidupnya sendiri. Namun, bukan berarti orang tua memutus hubungan dengan anaknya. Sikap tepat yang dapat diambil orang tua adalah mendampingi anak dengan tidak berlebihan serta mempertahankan keluarga sebagai rumah – dalam artian psikologis – yang menjadi pusat dukungan bagi anak (Agustiani, 2007).

Tahap 7: Keluarga setengah baya

Tahap ini dikenal dengan Empty Nest atau sangkar kosong yang terjadi ketika semua anak telah meninggalkan rumah. Orang tua pun mendekati atau telah mengalami masa pensiun. Tantangan yang muncul bagi pasangan adalah adanya kesulitan dalam menghadapi perubahan, ditandai dengan sedih berlebihan, ketakutan akan peran kehidupan saat ini, serta bagaimana memandang diri sendiri dan fungsi perkawinan. Guna melewati tahap ini dengan adaptif, pasutri perlu meyakinkan diri bahwa kepergian anak merupakan jalan untuk masa depannya (Ghofur & Hidayah, 2014). Pasutri dapat berbagi rasa dengan teman atau saudara yang memiliki kondisi sama, mengalihkan perhatian pada hal menyenangkan seperti melakukan hobi, dan kembali terhubung dengan kawan lama.

Tahap 8: Keluarga lanjut usia/Masa tua  

Pada tahap ini, pasutri telah menginjak usia lanjut. Mereka mengalami perubahan dari kondisi fisik, peran sosial, hingga kondisi psikologisnya. Konflik dapat terjadi ketika lansia tidak mampu menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan tersebut. Ditambah lagi adanya potensi konflik ketika terjadi kematian pasangan maupun kerabat dan mempersiapkan diri menghadapi kematian. Di samping melakukan upaya mandiri untuk menjaga kesehatan fisik dan mental, keberadaan pendamping bagi para lansia sangatlah dibutuhkan. Pendamping berperan sebagai enabler (pemungkin), fasilitator, dinamisator, mediator, dan motivator bagi para lansia. Pendamping dapat berasal dari pusat pelayanan lansia, perawat rumah sakit, dan yang utama dari lingkungan keluarga terdekat. 

Penting bagi kita untuk menyadari sedang berada dimana keluarga kita hari ini. Hal ini berguna untuk dapat menghadapi tugas-tugas perkembangan keluarga secara adaptif. Sehingga terbentuklah keluarga yang tangguh, yakni keluarga yang semakin menguatkan satu sama lain setelah berhasil menyelesaikan konflik-konflik di dalamnya. 

References

Agustiani, H. (2007, November 17). Tahapan Perkembangan Keluarga. [Paper presentation]. Seminar Perkawinan Let’s Talk about Marriage, Bandung.

Duvall, E. M. (1971). Family Development (4th .). New York: JB Lippincott Company.

Ghafur, J., & Hidayah, F. S. (2014). Manajemen waktu di usia madya untuk meminimalisir dampak dari empty nest syndrome. Jurnal Inovasi Dan Kewirausahaan, 3(2), 120–125.

Indriani, R. (2014). Pengaruh kepribadian terhadap kepuasan perkawinan wanita dewasa awal pada fase awal perkawinan ditinjau dari teori trait kepribadian big five. Jurnal Psikologi Klinis Dan Kesehatan Mental, 3(1), 33–39.

Nayana, F. N. (2013). Kefungsian keluarga dan subjective well-being pada remaja. Jurnal Ilmiah Psikologi Terapan, 1(2), 230–244.

Santrock, J. W. (2019). Life span development (17th ed.). New York: Mcgraw-Hill Education.

Setyowati, Y. D., Krisnatuti, D., & Hastuti, D. (2017). Kesiapan Menjadi Orangtua, Pola Asuh, Pertumbuhan dan Perkembangan Sosial Anak Usia 2-3 Tahun Di Kota Medan. [Master thesis, IPB University]. Library of IPB University. https://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/91044 

Say No to Loneliness: Cara Menyikapi Loneliness pada Individu Dewasa Awal

Artikel Tuesday, 13 December 2022

Penulis: Nurva Dillatul Vatin

Penyunting:  Resti Fahmi Dahlia

Berbicara tentang loneliness, berarti kita berbicara tentang seseorang yang mengalami kesepian. Penulis mendefinisikan lonelines dengan merujuk pada pernyataan Subathevan et al. (2022) loneliness is defined as an unpleasant experience due to lack of social interactions. Hal ini menjelaskan loneliness sebagai pengalaman yang tidak menyenangkan karena kurangnya interaksi sosial yang menandakan individu tersebut mengalami kesepian. Orang yang mengalami loneliness akan merasakan ketidaknyamanan kognitif atau kegelisahan karena menganggap diri sendirian.

Loneliness umumnya terjadi pada masa dewasa awal yang menyangkut hubungan sosial sehingga berdampak pada kesehatan mental yang negatif (Nottage et al., 2022). Menurut Erikson tahap dewasa awal berada dalam rentang usia 20 sampai 30 tahun, serta berada pada tugas perkembangan yaitu intimacy vs isolation (Santrock, 2018). Seseorang yang berada pada tahap perkembangan dewasa awal berusaha memperoleh intimasi yang diwujudkan melalui komitmen menjalin hubungan dengan orang lain, namun jika pada tahap itu, seseorang gagal atau tidak mampu membentuk komitmen maka ia akan merasa terisolasi. Isolasi mengacu pada tidak adanya hubungan dengan orang lain, sehingga akan sedikitnya seseorang mengalami kontak sosial yang pada akhirnya membuat seseorang merasa kesepian.

Dampak seseorang yang mengalami loneliness dapat mengarahkan individu pada gangguan jiwa, stres, depresi, serta perasaan perpisahan karena kekosongan yang terjadi dalam kehidupan sosial atau emosional (Diehl et al., 2018). Hal ini tentunya mempengaruhi kesehatan mental dan kesejahteraan individu dalam menjalani hidupnya. Individu yang mengalami loneliness lebih rentan terhadap penurunan kognitif, demensia, dan pikiran untuk bunuh diri (Cacioppo & Cacioppo., 2018). Loneliness menjadi salah satu faktor atas penurunan rasa makna dalam hidup, hilangnya rasa makna dalam hidup seseorang dikarenakan isolasi sosial (Borawski et al., 2022). Lalu, bagaimana cara mengatasi dan mencegah ketika individu merasa loneliness?

Mengutip sebuah studi kualitatif yang dilakukan oleh Fardghassemi dan Joffe (2021)
menemukan strategi coping untuk mengatasi loneliness pada dewasa awal diantaranya;
● Penggunaan platform media sosial
Individu bisa menggunakan fitur yang ada di media sosial yang menawarkan komunikasi aktif. Hal ini menciptakan peluang untuk membentuk persahabatan baru, sehingga mengurangi kesepian. Studi terbaru yang ditemukan oleh Shorter et al. (2022) bahwa penggunaan media sosial atau SNS menjadi motivasi tersendiri bagi individu dalam mengelola perasaan kesepian.
● Terlibat dalam kegiatan sosial
Baru-baru ini penelitian yang dilakukan oleh Williams et al. (2022) menemukan bahwa terlibat dalam kegiatan sosial dapat menjadi intervensi untuk mengurangi perasaan loneliness. Individu bisa terlibat aktif dalam kegiatan sosial yang disediakan oleh sekolah, pemerintah maupun masyarakat yang mana membantu individu untuk dapat menemukan apa yang memberi mereka makna dalam hidup. Hal ini juga memberikan kesempatan kepada individu dewasa awal untuk terlibat dalam kegiatan yang berarti seperti menjadi sukarelawan dan membantu orang lain. Ini bertujuan untuk mengurangi perasaan hampa dan meningkatkan perasaan orang dewasa bahwa hidup mereka memiliki makna.
● Melakukan aktivitas yang bermanfaat
Hal ini bisa dilakukan oleh individu untuk memberikan kesenangan dan menemukan tujuan yang ingin dicapai. Seperti aktivitas membaca, menggambar, melukis, menari atau mendengarkan musik. Aktivitas tersebut dapat mengurangi loneliness pada individu yang mana menciptakan pengalaman, mengurangi perenungan kesadaran diri, memberikan kenikmatan dan makna (Perkins et al., 2021).

● Dukungan sosial
Dukungan sosial dari teman dan keluarga menjadi koping yang efektif untuk mengatasi kesepian. Hal ini dibenarkan oleh Pineda et al. (2022) dukungan sosial menjadi salah satu faktor yang dapat mengurangi efek negatif dari kesepian. Serta, menjadi kontributor utama untuk menciptakan kesejahteraan bagi individu. Sesuai dengan teori determinasi sosial yang menyatakan bahwa berhubungan dengan orang lain adalah kebutuhan psikologis dasar. Intervensi untuk membantu orang dewasa awal mengatasi pengalaman kesepian mereka harus fokus pada kegiatan yang menumbuhkan keterhubungan sosial.

Sejatinya, setiap individu dewasa awal pernah merasakan kesepian, namun jika itu terus dibiarkan akan berdampak pada kesehatan mental. Strategi coping yang dipaparkan sebelumnya dapat membantu individu mengatasi kesepian sehingga bisa menjalani kehidupan dengan baik.

Referensi
Borawski, D., Nowak, A., & Zakrzewska, A. (2022). Lonely meaning – seekers: the moderating role of search for meaning in the relationship between loneliness and presence of meaning. Personality and Individual Differences.190, 1-9.

Cacioppo, J.T., & Cacioppo, S. (2018). Loneliness in the modern age: an evolutionary theory of loneliness (ETL). Advances in Experimental Social Psychology, 58, 127-197.

Diehl, K., Jansen, C., Ishchanova, K., & Hilger-Kolb, J. (2018). Loneliness at universities: determinants of emotional and social loneliness among students. International Journal of Environmental Research and Public Health, 15(9), 1-14.

Fardghassemi, S., & Joffe, H. (2021). Young Adults’ Experience of Loneliness in London’s Most Deprived Areas. Frontiers in Psychology, 12, 1-14.

Nottage, M.K., Oei, N.Y.L., Wolters, N., Klein, A., Van der Heijde, C.M., Vonk, P., Wiers, R.W., & Koelen, J. (2022). Loneliness mediates the association between insecure attachment and mental health among university students. Personality and Individual Differences, 185, 1-7.

Perkins, R., Mason-Bertrand, A., Tymoszuk, U., Spiro, N., Gee, K., & Williamon, A.
(2021). Arts engagement supports social connectedness in adulthood: findings
from the HEartS Survey. BMC Public Health, 21(1), 1-15.

Pineda, C. N., Naz, M. P., Ortiz, A., Ouano, E. L., Padua, N. P., Paronable, J. J., Pelayo, J. M., Regalado, M. C., & Torres, G. C. S. (2022). Nurse Education in Practice Resilience, Social Support, Loneliness and Quality of Life during COVID-19 Pandemic: A Structural Equation Model. Nurse Education in Practice, 64, 1-9.

Santrock, J, W, (2018). A Topical Approach To Life-Span Development. Ninth Edition.
Published by McGraw-Hill Education, 2 Penn Plaza, New York.

Shorter, P., Turner, K., & Mueller-coyne, J. (2022). Computers in Human BehaviorReports Attachment Style’s impact on loneliness and the motivations to use social media. Computers in Human Behavior Reports, 7, 1-6.

Subathevan, S., Suganthan, S., Suranjith, G. H. C., Dilshara, H. M. K. S. J., & S, S. D. S.
W. (2022). Social and emotional loneliness among older adults in a coastal suburb
in Sri Lanka. Aging and Health Research, 2(2), 1-4.

Williams, T., Lakhani, A., & Spelten, E. (2022). Interventions to reduce loneliness and social isolation in rural settings: A mixed-methods review. Journal of Rural Studies, 90, 76–92.

Parent’s Happiness: Sesuatu yang Penting tapi Sering Dilupa ketika Menjadi Orang Tua

ArtikelArtikel Monday, 12 December 2022

Penulis : Raden Roro Anisa Anggi Dinda

Penyunting: Resti Fahmi Dahlia

Parenting menjadi kata yang lekat dan tidak bisa lepas ketika seorang individu menjalani peran sebagai orang tua. Menurut American Psychological Association, terminologi “parenting” merupakan suatu pola pengasuhan anak oleh orang dewasa. Pola pengasuhan ini tidak terbatas dengan hubungan biologis saja, namun juga memiliki tiga tujuan utama yaitu memastikan anak- anak selalu dalam keadaan sehat dan aman, mempersiapkan anak-anak agar tumbuh menjadi pribadi yang produktif, serta mentransfer nilai-nilai kebudayaan.

Tujuan parenting memang sebagian besar berorientasi pada anak, oleh sebab itu mayoritas kelas-kelas parenting yang ada saat ini berfokus pada bagaimana cara membesarkan anak agar mereka dapat tumbuh dan berkembang dengan optimal. Dibalik menjamurnya kelas -kelas tersebut, kita seringkali lupa bahwa di dalam kata parenting sendiri, terselip kata parent, atau orang tua, yang merupakan komponen dan penggerak utama dari parenting. Padahal menjadi orang tua merupakan salah satu masa transisi penting dalam perkembangan manusia, baik pada dirinya sendiri maupun generasi setelahnya. Meskipun masih sedikit dan terbatas, namun akhir-akhir ini pembahasan mengenai parenting yang berfokus pada orang tua mulai bermunculan. Topik-topik seputar kesehatan mental pun mulai diperbincangkan di kelas-kelas parenting seiring peningkatan awareness akan hal-hal seperti baby blues, postpartum depression, parental fatigue dan lain sebagainya. Lalu, bagaimana dengan happiness? Apakah egois ketika orang tua memikirkan kebahagiaan dirinya sendiri?

Dua studi saintifik yang dilakukan oleh Hansen (2012) dan Stanca (2012) menunjukkan bahwa orang tua (parents) memiliki kepuasan hidup (life satisfaction) yang lebih rendah dari pada mereka yang tidak memiliki anak (childless). Kepuasan hidup sendiri berasosiasi dengan kebahagiaan. Meski demikian, pernyataan ini dievaluasi kembali oleh Deaton & Stone (2014) yang menyimpulkan bahwa sejatinya level kepuasan hidup pada mereka yang memiliki anak maupun tidak, hampir sama. Hanya saja, dalam aktivitas sehari-hari, para orang tua mengalami perubahan momen-momen bahagia dan stressfull dengan frekuensi yang lebih sering dan mendadak. Paparan stres ini meningkatkan gejala depresi dan kecemasan serta emosi negatif seperti kemarahan. Di sisi lain, paparan ini mengurangi perasaan positif seperti kebahagiaan (happiness) (Nomaguchi & Milkie, 2003).

Dalam psikologi, kebahagiaan memiliki banyak konstruk, namun terdapat dua istilah populer untuk jenis kebahagiaan yaitu hedonic happiness dan eudaimonic happiness. Hedonic happiness atau kebahagiaan hedonis dicapai melalui pengalaman kesenangan dan kenikmatan, sedangkan kebahagiaan eudaimonic dicapai melalui pengalaman makna dan tujuan (Di Fabio & Palazzeschi, 2015). Pendekatan hedonis berfokus pada kebahagiaan, mendefinisikan kesejahteraan dalam hal pencapaian kesenangan dan menghindari rasa sakit, sedangkan pendekatan eudaimonic, di sisi lain, berkaitan dengan makna, dan realisasi diri di mana kesejahteraan dilihat sebagai fungsi penuh dari orang tersebut.

Kebahagiaan yang dibicarakan pada konteks ini lebih menitikberatkan pada pendekatan eudaimonic. Kebahagiaan ini bukan sekadar kesenangan semu belaka, namun lebih kepada kepuasan hidup, yaitu seberapa bahagia seseorang dengan cara hidupnya berjalan, dan juga apa yang dirasakan seseorang dari waktu ke waktu. Kebahagiaan sebagai orang tua bukan berbentuk “me-time” liburan tak berkesudahan tanpa peduli dengan anak-anak, namun lebih kepada terpenuhinya semua kebutuhan fisik (seperti pola makan sehat, pola hidup aktif, dan pola tidur teratur) dan juga psikis (seperti rasa percaya diri dan relasi positif kepada orang lain).

Memenuhi kebutuhan ini bukan sesuatu yang egois, apalagi dengan kebutuhan dasar. Justru dengan terpenuhinya semua kebutuhan ini, orang tua bisa memiliki kondisi yang prima dalam menjalani peran pengasuhan. Jika kebutuhan ini tidak terpenuhi, kondisi orang tua bisa jadi tidak stabil baik secara fisik dan juga mental. Ilmu-ilmu baik mengenai pengasuhan dan cara membesarkan anak bisa menjadi sia-sia jika orang tua kurang bisa menyampaikan dan mempraktikkan dengan optimal. Layaknya sebuah mobil yang akan berjalan jauh, perjalanan tersebut, meskipun sudah memiliki bekal dan peta yang memadai, tidak akan berhasil apabila mobilnya “bermasalah”.

Kebahagiaan ini memegang peranan penting dalam berinteraksi dengan anak. Ketika orang tua merasa bahagia, mereka dapat berinteraksi dengan baik dan menyeluruh dengan anak mereka. Namun, ketika orang tua merasa stress dan tertekan, orang tua sering salah mengartikan children’s cues (Muzik et al., 2015). Cues adalah sinyal yang diberikan oleh anak terkait dengan apa yang sebenarnya mereka rasakan dan mereka butuhkan. Cues yang tidak direspon dengan baik akan mengakibatkan kebutuhan anak tidak terpenuhi sehingga anak menjadi lebih rewel dan pastinya orang tua akan lebih merasa stress dan tertekan lagi. Seperti sebuah lingkaran, apa yang orang tua rasakan dan berikan saat berinteraksi dengan anak, pasti akan kembali dalam bentuk yang sama.

Jadi mulai sekarang yuk bersama-sama kita sadari dan taruh perhatian lebih pada
kebahagiaan orang tua, karena parent’s happiness tidak hanya memiliki dampak yang positif
untuk diri sendiri, namun juga seluruh anggota keluarga yang lain.
Reference:
(APA) American Psychological Association, (2018). Parenting. Retrieved from: http://www.apa.org/topics/parenting/index.aspx

Deaton, A., & Stone, A. A. (2014). Evaluative and hedonic well being among those with and without children at home. Proceedings of the National Academy of Sciences of the United States of America, 111(4), 1328–1333. https://doi.org/10.1073/pnas.1311600111

Di Fabio, A., & Palazzeschi, L. (2015). Hedonic and eudaimonic well-being: the role of resilience beyond fluid intelligence and personality traits. Frontiers In Psychology, 6. doi: 10.3389/fpsyg.2015.01367

Hansen, Thomas. (2012) Parenthood and happiness: A review of folk theories versus empirical evidence. Social Indicator Research 108(1):29–64.

Muzik, M., Rosenblum, K. L., Alfafara, E. A., Schuster, M. M., Miller, N. M., Waddell, R. M., & Stanton Kohler, E. (2015). Mom Power: preliminary outcomes of a group intervention to improve mental health and parenting among high-risk mothers. Archives of women’s mental health, 18(3), 507–521. https://doi.org/10.1007/s00737-014-0490-z

Nomaguchi, K. M., & Milkie, M. A. (2003). Costs and rewards of children: The effects of becoming a parent on adults’ lives. Journal of marriage and family, 65(2), 356-374.

Stanca, Luca. (2012) Suffer the little children: Measuring the effects of parenthood on well-being worldwide. Journal of Economic Behavior and Organization 81(3):742–750.

Pentingnya Kecerdasan Emosional bagi Remaja

ArtikelArtikelBlog Wednesday, 28 September 2022

Penulis: Erythrina Sekar Rani

Penyunting: Arum Febriani

 

Masa remaja merupakan salah satu tahapan perkembangan yang sangat penting. Menurut Erikson, pada masa remaja seseorang menghadapi krisis mencari identitas diri sehingga di akhir masa ini seseorang diharapkan dapat menemukan identitas dirinya (Feist & Feist, 2010). Di sisi lain, pada masa remaja, seseorang cenderung memiliki egosentrisme yang tinggi. Karakteristik egosentrisme inilah yang membuat remaja merasa tertantang untuk melakukan perilaku yang secara tidak sadar dapat membahayakan diri mereka sendiri (Albert, Elkind, & Ginsberg, 2007). Perilaku membahayakan diri dan orang lain yang banyak dilakukan oleh remaja antara lain aksi tawuran, bullying, minum-minuman beralkohol, menggunakan obat-obatan terlarang, atau seks bebas.

Egosentrisme adalah ketidakmampuan membedakan sudut pandang diri sendiri dan sudut pandang orang lain (Santrock, 2011). Menurut David Elkin (dalam Santrock, 2011), ada dua kunci utama dalam egosentrisme remaja yaitu imaginary audience dan personal fabel. Lebih lanjut, dijelaskan bahwa imaginary audience adalah ciri khas remaja yang merasa menjadi pusat perhatian, merasa orang lain tertarik pada sesuatu (sama seperti dirinya), dan biasanya muncul perilaku mencari perhatian. Contohnya, saat berkendara atau berjalan, remaja merasa orang-orang di sekitar memperhatikan mereka. Tidak jarang ada pula remaja yang berperilaku tertentu bertujuan untuk menarik perhatian orang di sekitar. Sementara, personal fabel adalah ciri khas remaja merasa dirinya unik, merasa tidak ada yang memahami, dan merasa dirinya kebal atau tidak terkalahkan. Penelitian yang dilakukan oleh Azhari, Dahlan, dan Mustofa (2019) pada 395 remaja berusia 13-18 tahun yang bersekolah di SMP dan SMA di Kota Bandung menunjukkan bahwa imaginary audience dan personal fabel dapat mempengaruhi perilaku agresi pada remaja.

Tingginya agresi pada remaja ternyata terkait erat dengan rendahnya kecerdasan emosional yang dimiliki. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Siu (2009) di Cina, tingginya perilaku depresi, cemas, stres, agresi, dan kenakalan remaja berhubungan dengan rendahnya kecerdasan emosional yang dimiliki. Hasil serupa juga diperoleh oleh Moskat dan Sorenson (2012) dalam penelitiannya pada remaja usia 12-17 tahun di Washington, tingginya agresivitas berhubungan dengan rendahnya kecerdasan emosional pada remaja. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Kawamoto, Kubota, Sakakibara, Muto, Tonegawa, Komatsu, dan Endo (2021) pada anak dan remaja di Jepang, ditemukan bahwa semakin tinggi kecerdasan emosional pada anak/remaja maka permasalahan mereka dengan teman sebaya dan kesulitan lain yang dihadapi cenderung semakin rendah, serta perilaku prososial (tolong-menolong) cenderung tinggi. Penelitian lain yang dilakukan oleh Masithah, Soedirham, dan Triyoga (2019) pada mahasiswa berusia 18-24 tahun di Indonesia juga menunjukkan bahwa kecerdasan emosional mempengaruhi kontrol perilaku seseorang, pada penelitian ini mempengaruhi pada intensi untuk berhenti merokok. Mengacu pada beberapa hasil penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa diperlukan kecerdasan emosional yang tinggi bagi remaja untuk membantu mereka mengelola emosi dan mengurangi perilaku yang dapat membahayakan diri sendiri maupun orang lain.

Kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang dalam mengelola diri, seperti kemampuan: memotivasi diri, bertahan terhadap stres, mengelola emosi, bersosialisasi, dan hubungannya dengan Tuhan (Goleman, 2009). Orang yang memiliki kecerdasan emosional yang tinggi akan cenderung memiliki kemampuan emosional yang lebih bisa membantu menghadapi permasalahan sehari-hari dan cenderung tidak merugikan diri sendiri maupun orang lain. Cerdas secara akademis saja ternyata tidak cukup untuk seseorang bisa mengontrol diri dan bersosialisasi dengan lingkungan, dibutuhkan kecerdasan emosional untuk menyeimbangkannya.

Kecerdasan emosional dipengaruhi oleh beberapa faktor, terutama faktor eksternal, yaitu:

  1. Keluarga
    Keluarga merupakan tempat pertama kali bagi anak dalam mempelajari kecerdasan emosional, salah satunya melalui interaksi dengan orangtua. Orangtua dapat membantu anak mengenali emosi, memberi label pada emosi, menghargai emosi yang dirasakan, dan menempatkan emosi pada situasi sosial yang relevan (Mayer & Salovey, 1997). Anak memiliki kecenderungan meniru perilaku orang dewasa, termasuk saat mengekspresikan emosi. Oleh karena itu, perlu bagi kita sebagai anggota keluarga untuk sama-sama saling mengenali dan menghargai emosi satu sama lain, serta mengekspresikan emosi dengan cara yang tepat (tidak merugikan diri dan anggota keluarga lain) agar hubungan dalam keluarga bisa terjalin dengan nyaman dan terbuka.
  2. Lingkungan (teman sebaya, pendidikan, dan budaya)
    Baik kita sadari maupun tidak, lingkungan turut berperan dalam kecerdasan emosional kita dan hal ini dapat dimanfaatkan untuk memaksimalkan perkembangan sosioemosional anak sehingga dapat memiliki kecerdasan emosional yang tinggi. Contohnya dapat kita temui pada saat kita berinteraksi dengan teman, guru, ataupun tetangga sebelah rumah kita. Ada proses pembelajaran baik dari segi budaya ataupun kebiasaan yang kita ambil dari interaksi tersebut.

Kecerdasan emosional bukan sesuatu yang diturunkan, melainkan dapat dilatih atau dipelajari dari lingkungan (Saphiro, 2003). Berikut, tips-tips yang bisa dilakukan remaja untuk meningkatkan kecerdasan emosional:

  1. Menyadari dan mengenali emosi yang dirasakan tanpa memberikan penghakiman terhadap perasaan itu. Tidak apa-apa jika merasa sedih, marah, kecewa, takut, cemas, atau emosi yang lainnya.
  2. Mengelola emosi yang dirasakan dan mengekspresikan dengan cara yang sesuai (tidak menyakiti diri dan orang lain). Mengapa emosi perlu dikelola atau diekspresikan? Ketika emosi dipendam terus menerus, hal ini cenderung membuat kita merasa tidak nyaman, sesak, atau bisa meledak pada waktu tertentu. Oleh karena itu, perlu untuk mengekspresikannya dengan cara yang sesuai dengan diri kita. Prinsipnya berusaha tidak menyakiti diri dan orang lain. Misalnya: bercerita kepada orang yang dipercaya, menuliskan jurnal, melakukan meditasi atau relaksasi, mendengarkan lagu, berolahraga, menonton film, bernyanyi, atau yang lainnya.
  3. Mengomunikasikan secara asertif kebutuhan, keinginan, ataupun aspirasi diri. Komunikasi asertif adalah komunikasi yang dilakukan dengan cara yang baik, saling menghormati dan menghargai dengan lawan bicara, menyampaikan pesan dengan jelas (tidak ambigu), memberikan kesempatan kepada lawan bicara untuk menanggapi pembicaraan, dan tidak memaksakan lawan bicara harus sesuai dengan yang kita harapkan sehingga komunikasi dua arah bisa terjalin. Komunikasi asertif dapat dilakukan untuk memediasi ketika kita memiliki permasalahan dengan orang lain atau saat memiliki pesan yang ingin disampaikan kepada orang lain. Jika merasa masih kesulitan, bisa coba untuk tenangkan dan siapkan diri terlebih dahulu ya. Bisa mencoba dengan relaksasi atau menuliskan pesan yang akan disampaikan.
  4. Mengikuti kegiatan positif untuk mengasah potensi diri. Mengisi waktu luang dengan kegiatan positif, seperti: olahraga, kesenian, sosial, keagamaan atau kegiatan lainnya.
  5. Jika merasa menghadapi permasalahan yang tidak dapat diselesaikan sendiri dan mengganggu keberfungsian sehari-hari, bisa untuk mengikuti konseling dengan psikolog atau psikiater.
  6. Terakhir, untuk orang dewasa atau keluarga, kita bisa turut berperan dalam membangun suasana positif bagi peningkatan kecerdasan emosional remaja, seperti: menjadi pendengar yang baik layaknya teman bagi mereka (berempati), memberikan dukungan emosional, dan mengarahkan potensi remaja dalam hal yang positif.

Selamat mencoba! Semoga bermanfaat! 🙂

Referensi:

Alberts, A., Elkind, D., & Ginsberg, S. (2007). The personal fable and risk taking in early adolescence. Journal of Youth Adolescence, 36, 71-76. https://link.springer.com/article/10.1007/s10964-006-9144-4
Azhari, S. M., Dahlan, T. H., & Mustofa. M. A. (2019). Imaginary audience, personal fable, dan perilaku agresi remaja. Jurnal Psikologi Insight, 3(2), 32-42.
Feist, J., & Feist, G. J. (2010). Teori kepribadian terjemahan (7th ed., Vol. 1). Salemba Humanika.
Goleman, D. (2009). Emotional intelligence: Kecerdasan emosional mengapa EI lebih penting daripada IQ. PT Gramedia Pustaka Utama.
Kawamoto, T., Kubota, A. K., Sakakibara, R., Muto, S., Tonegawa, A., Komatsu, & S., Endo, T. (2021). The general factor of personality (GFP), trait emotional intelligence, and problem behaviors in Japanese teens. Personality and Individual Differences, 171, 1-7. https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S0191886920306711
Masithah, D., Soedirham, O., & Triyoga, R. S. (2019). The influence of emotional and spiritual intelligence on smoking cessation intention in college student. Indian Journal of Public Health Research & Development, 10(12), 1651-1655.
Mayer, J. D., & Salovey, P. (1997). What is emotional intelligence? In P. Salovey, & D. J. Sluyter (Eds.), Emotional development and emotional intelligence: Educational implications. Basic Books.
Moskat, H. J., & Sorenson, K. M. (2012). Let’s Talk about feelings: Emotional intelligence and aggression predict juvenile offense [Thesis, Whitman College]. Penrose Library. http://hdl.handle.net/10349/1169
Santrock, J. W. (2011). Life-span development (13th Ed). Mc Graw Hill.
Saphiro, L. E. (2003). Mengajarkan emotional intelligence pada anak. PT Gramedia Pustaka Utama.
Siu, A. F. (2009). Trait emotional intelligence and its relationships with problem behavior in Hong Kong adolescents. Personality and Individual Differences, 47(6), 553-557.

123456

Recent Posts

  • Mendidik Anak dengan Bahasa Cinta
  • Eco-Conscious Parenting: Menumbuhkan Praktik Berkelanjutan pada Perkembangan Anak
  • Memahami Pendidikan untuk Pembangunan Berkelanjutan di Kedai Kopi
  • Membangun Kembali Kegembiraan: Pentingnya Bermain Bagi Kesejahteraan Mental Bagi Masyarakat
  • Keterlibatan Ayah pada Pengasuhan Anak Usia Dini
Universitas Gadjah Mada

Center for Life-Span Development (CLSD)
D-602, Fakultas Psikologi, Universitas Gadjah Mada
Jalan Sosio Humaniora Bulaksumur, Yogyakarta, Indonesia 55281
clsd.psikologi@ugm.ac.id

© Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY

[EN] We use cookies to help our viewer get the best experience on our website. -- [ID] Kami menggunakan cookie untuk membantu pengunjung kami mendapatkan pengalaman terbaik di situs web kami.I Agree / Saya Setuju