• Home
  • About Us
    • Managing Team
    • Researchers
    • Interns
    • Associates
  • Articles
  • Courses
  • Activities
    • CLSD Reader’s Club
    • Summer Course
    • Photovoice
    • SAELA
    • Community Service
  • Research & Publication
Universitas Gadjah Mada Center for Life-Span Development (CLSD)
Faculty of Psychology
Universitas Gadjah Mada
  • Home
  • About Us
    • Managing Team
    • Researchers
    • Interns
    • Associates
  • Articles
  • Courses
  • Activities
    • CLSD Reader’s Club
    • Summer Course
    • Photovoice
    • SAELA
    • Community Service
  • Research & Publication
  • Beranda
  • Artikel
  • Artikel
  • page. 4
Arsip:

Artikel

Parent’s Happiness: Sesuatu yang Penting tapi Sering Dilupa ketika Menjadi Orang Tua

ArtikelArtikelArtikel Ilmiah Populer Monday, 12 December 2022

Penulis : Raden Roro Anisa Anggi Dinda

Penyunting: Resti Fahmi Dahlia

Parenting menjadi kata yang lekat dan tidak bisa lepas ketika seorang individu menjalani peran sebagai orang tua. Menurut American Psychological Association, terminologi “parenting” merupakan suatu pola pengasuhan anak oleh orang dewasa. Pola pengasuhan ini tidak terbatas dengan hubungan biologis saja, namun juga memiliki tiga tujuan utama yaitu memastikan anak- anak selalu dalam keadaan sehat dan aman, mempersiapkan anak-anak agar tumbuh menjadi pribadi yang produktif, serta mentransfer nilai-nilai kebudayaan.

Tujuan parenting memang sebagian besar berorientasi pada anak, oleh sebab itu mayoritas kelas-kelas parenting yang ada saat ini berfokus pada bagaimana cara membesarkan anak agar mereka dapat tumbuh dan berkembang dengan optimal. Dibalik menjamurnya kelas -kelas tersebut, kita seringkali lupa bahwa di dalam kata parenting sendiri, terselip kata parent, atau orang tua, yang merupakan komponen dan penggerak utama dari parenting. Padahal menjadi orang tua merupakan salah satu masa transisi penting dalam perkembangan manusia, baik pada dirinya sendiri maupun generasi setelahnya. Meskipun masih sedikit dan terbatas, namun akhir-akhir ini pembahasan mengenai parenting yang berfokus pada orang tua mulai bermunculan. Topik-topik seputar kesehatan mental pun mulai diperbincangkan di kelas-kelas parenting seiring peningkatan awareness akan hal-hal seperti baby blues, postpartum depression, parental fatigue dan lain sebagainya. Lalu, bagaimana dengan happiness? Apakah egois ketika orang tua memikirkan kebahagiaan dirinya sendiri?

Dua studi saintifik yang dilakukan oleh Hansen (2012) dan Stanca (2012) menunjukkan bahwa orang tua (parents) memiliki kepuasan hidup (life satisfaction) yang lebih rendah dari pada mereka yang tidak memiliki anak (childless). Kepuasan hidup sendiri berasosiasi dengan kebahagiaan. Meski demikian, pernyataan ini dievaluasi kembali oleh Deaton & Stone (2014) yang menyimpulkan bahwa sejatinya level kepuasan hidup pada mereka yang memiliki anak maupun tidak, hampir sama. Hanya saja, dalam aktivitas sehari-hari, para orang tua mengalami perubahan momen-momen bahagia dan stressfull dengan frekuensi yang lebih sering dan mendadak. Paparan stres ini meningkatkan gejala depresi dan kecemasan serta emosi negatif seperti kemarahan. Di sisi lain, paparan ini mengurangi perasaan positif seperti kebahagiaan (happiness) (Nomaguchi & Milkie, 2003).

Dalam psikologi, kebahagiaan memiliki banyak konstruk, namun terdapat dua istilah populer untuk jenis kebahagiaan yaitu hedonic happiness dan eudaimonic happiness. Hedonic happiness atau kebahagiaan hedonis dicapai melalui pengalaman kesenangan dan kenikmatan, sedangkan kebahagiaan eudaimonic dicapai melalui pengalaman makna dan tujuan (Di Fabio & Palazzeschi, 2015). Pendekatan hedonis berfokus pada kebahagiaan, mendefinisikan kesejahteraan dalam hal pencapaian kesenangan dan menghindari rasa sakit, sedangkan pendekatan eudaimonic, di sisi lain, berkaitan dengan makna, dan realisasi diri di mana kesejahteraan dilihat sebagai fungsi penuh dari orang tersebut.

Kebahagiaan yang dibicarakan pada konteks ini lebih menitikberatkan pada pendekatan eudaimonic. Kebahagiaan ini bukan sekadar kesenangan semu belaka, namun lebih kepada kepuasan hidup, yaitu seberapa bahagia seseorang dengan cara hidupnya berjalan, dan juga apa yang dirasakan seseorang dari waktu ke waktu. Kebahagiaan sebagai orang tua bukan berbentuk “me-time” liburan tak berkesudahan tanpa peduli dengan anak-anak, namun lebih kepada terpenuhinya semua kebutuhan fisik (seperti pola makan sehat, pola hidup aktif, dan pola tidur teratur) dan juga psikis (seperti rasa percaya diri dan relasi positif kepada orang lain).

Memenuhi kebutuhan ini bukan sesuatu yang egois, apalagi dengan kebutuhan dasar. Justru dengan terpenuhinya semua kebutuhan ini, orang tua bisa memiliki kondisi yang prima dalam menjalani peran pengasuhan. Jika kebutuhan ini tidak terpenuhi, kondisi orang tua bisa jadi tidak stabil baik secara fisik dan juga mental. Ilmu-ilmu baik mengenai pengasuhan dan cara membesarkan anak bisa menjadi sia-sia jika orang tua kurang bisa menyampaikan dan mempraktikkan dengan optimal. Layaknya sebuah mobil yang akan berjalan jauh, perjalanan tersebut, meskipun sudah memiliki bekal dan peta yang memadai, tidak akan berhasil apabila mobilnya “bermasalah”.

Kebahagiaan ini memegang peranan penting dalam berinteraksi dengan anak. Ketika orang tua merasa bahagia, mereka dapat berinteraksi dengan baik dan menyeluruh dengan anak mereka. Namun, ketika orang tua merasa stress dan tertekan, orang tua sering salah mengartikan children’s cues (Muzik et al., 2015). Cues adalah sinyal yang diberikan oleh anak terkait dengan apa yang sebenarnya mereka rasakan dan mereka butuhkan. Cues yang tidak direspon dengan baik akan mengakibatkan kebutuhan anak tidak terpenuhi sehingga anak menjadi lebih rewel dan pastinya orang tua akan lebih merasa stress dan tertekan lagi. Seperti sebuah lingkaran, apa yang orang tua rasakan dan berikan saat berinteraksi dengan anak, pasti akan kembali dalam bentuk yang sama.

Jadi mulai sekarang yuk bersama-sama kita sadari dan taruh perhatian lebih pada
kebahagiaan orang tua, karena parent’s happiness tidak hanya memiliki dampak yang positif
untuk diri sendiri, namun juga seluruh anggota keluarga yang lain.
Reference:
(APA) American Psychological Association, (2018). Parenting. Retrieved from: http://www.apa.org/topics/parenting/index.aspx

Deaton, A., & Stone, A. A. (2014). Evaluative and hedonic well being among those with and without children at home. Proceedings of the National Academy of Sciences of the United States of America, 111(4), 1328–1333. https://doi.org/10.1073/pnas.1311600111

Di Fabio, A., & Palazzeschi, L. (2015). Hedonic and eudaimonic well-being: the role of resilience beyond fluid intelligence and personality traits. Frontiers In Psychology, 6. doi: 10.3389/fpsyg.2015.01367

Hansen, Thomas. (2012) Parenthood and happiness: A review of folk theories versus empirical evidence. Social Indicator Research 108(1):29–64.

Muzik, M., Rosenblum, K. L., Alfafara, E. A., Schuster, M. M., Miller, N. M., Waddell, R. M., & Stanton Kohler, E. (2015). Mom Power: preliminary outcomes of a group intervention to improve mental health and parenting among high-risk mothers. Archives of women’s mental health, 18(3), 507–521. https://doi.org/10.1007/s00737-014-0490-z

Nomaguchi, K. M., & Milkie, M. A. (2003). Costs and rewards of children: The effects of becoming a parent on adults’ lives. Journal of marriage and family, 65(2), 356-374.

Stanca, Luca. (2012) Suffer the little children: Measuring the effects of parenthood on well-being worldwide. Journal of Economic Behavior and Organization 81(3):742–750.

Pentingnya Kecerdasan Emosional bagi Remaja

ArtikelArtikelArtikel Ilmiah Populer Wednesday, 28 September 2022

Penulis: Erythrina Sekar Rani

Penyunting: Arum Febriani

 

Masa remaja merupakan salah satu tahapan perkembangan yang sangat penting. Menurut Erikson, pada masa remaja seseorang menghadapi krisis mencari identitas diri sehingga di akhir masa ini seseorang diharapkan dapat menemukan identitas dirinya (Feist & Feist, 2010). Di sisi lain, pada masa remaja, seseorang cenderung memiliki egosentrisme yang tinggi. Karakteristik egosentrisme inilah yang membuat remaja merasa tertantang untuk melakukan perilaku yang secara tidak sadar dapat membahayakan diri mereka sendiri (Albert, Elkind, & Ginsberg, 2007). Perilaku membahayakan diri dan orang lain yang banyak dilakukan oleh remaja antara lain aksi tawuran, bullying, minum-minuman beralkohol, menggunakan obat-obatan terlarang, atau seks bebas.

Egosentrisme adalah ketidakmampuan membedakan sudut pandang diri sendiri dan sudut pandang orang lain (Santrock, 2011). Menurut David Elkin (dalam Santrock, 2011), ada dua kunci utama dalam egosentrisme remaja yaitu imaginary audience dan personal fabel. Lebih lanjut, dijelaskan bahwa imaginary audience adalah ciri khas remaja yang merasa menjadi pusat perhatian, merasa orang lain tertarik pada sesuatu (sama seperti dirinya), dan biasanya muncul perilaku mencari perhatian. Contohnya, saat berkendara atau berjalan, remaja merasa orang-orang di sekitar memperhatikan mereka. Tidak jarang ada pula remaja yang berperilaku tertentu bertujuan untuk menarik perhatian orang di sekitar. Sementara, personal fabel adalah ciri khas remaja merasa dirinya unik, merasa tidak ada yang memahami, dan merasa dirinya kebal atau tidak terkalahkan. Penelitian yang dilakukan oleh Azhari, Dahlan, dan Mustofa (2019) pada 395 remaja berusia 13-18 tahun yang bersekolah di SMP dan SMA di Kota Bandung menunjukkan bahwa imaginary audience dan personal fabel dapat mempengaruhi perilaku agresi pada remaja.

Tingginya agresi pada remaja ternyata terkait erat dengan rendahnya kecerdasan emosional yang dimiliki. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Siu (2009) di Cina, tingginya perilaku depresi, cemas, stres, agresi, dan kenakalan remaja berhubungan dengan rendahnya kecerdasan emosional yang dimiliki. Hasil serupa juga diperoleh oleh Moskat dan Sorenson (2012) dalam penelitiannya pada remaja usia 12-17 tahun di Washington, tingginya agresivitas berhubungan dengan rendahnya kecerdasan emosional pada remaja. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Kawamoto, Kubota, Sakakibara, Muto, Tonegawa, Komatsu, dan Endo (2021) pada anak dan remaja di Jepang, ditemukan bahwa semakin tinggi kecerdasan emosional pada anak/remaja maka permasalahan mereka dengan teman sebaya dan kesulitan lain yang dihadapi cenderung semakin rendah, serta perilaku prososial (tolong-menolong) cenderung tinggi. Penelitian lain yang dilakukan oleh Masithah, Soedirham, dan Triyoga (2019) pada mahasiswa berusia 18-24 tahun di Indonesia juga menunjukkan bahwa kecerdasan emosional mempengaruhi kontrol perilaku seseorang, pada penelitian ini mempengaruhi pada intensi untuk berhenti merokok. Mengacu pada beberapa hasil penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa diperlukan kecerdasan emosional yang tinggi bagi remaja untuk membantu mereka mengelola emosi dan mengurangi perilaku yang dapat membahayakan diri sendiri maupun orang lain.

Kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang dalam mengelola diri, seperti kemampuan: memotivasi diri, bertahan terhadap stres, mengelola emosi, bersosialisasi, dan hubungannya dengan Tuhan (Goleman, 2009). Orang yang memiliki kecerdasan emosional yang tinggi akan cenderung memiliki kemampuan emosional yang lebih bisa membantu menghadapi permasalahan sehari-hari dan cenderung tidak merugikan diri sendiri maupun orang lain. Cerdas secara akademis saja ternyata tidak cukup untuk seseorang bisa mengontrol diri dan bersosialisasi dengan lingkungan, dibutuhkan kecerdasan emosional untuk menyeimbangkannya.

Kecerdasan emosional dipengaruhi oleh beberapa faktor, terutama faktor eksternal, yaitu:

  1. Keluarga
    Keluarga merupakan tempat pertama kali bagi anak dalam mempelajari kecerdasan emosional, salah satunya melalui interaksi dengan orangtua. Orangtua dapat membantu anak mengenali emosi, memberi label pada emosi, menghargai emosi yang dirasakan, dan menempatkan emosi pada situasi sosial yang relevan (Mayer & Salovey, 1997). Anak memiliki kecenderungan meniru perilaku orang dewasa, termasuk saat mengekspresikan emosi. Oleh karena itu, perlu bagi kita sebagai anggota keluarga untuk sama-sama saling mengenali dan menghargai emosi satu sama lain, serta mengekspresikan emosi dengan cara yang tepat (tidak merugikan diri dan anggota keluarga lain) agar hubungan dalam keluarga bisa terjalin dengan nyaman dan terbuka.
  2. Lingkungan (teman sebaya, pendidikan, dan budaya)
    Baik kita sadari maupun tidak, lingkungan turut berperan dalam kecerdasan emosional kita dan hal ini dapat dimanfaatkan untuk memaksimalkan perkembangan sosioemosional anak sehingga dapat memiliki kecerdasan emosional yang tinggi. Contohnya dapat kita temui pada saat kita berinteraksi dengan teman, guru, ataupun tetangga sebelah rumah kita. Ada proses pembelajaran baik dari segi budaya ataupun kebiasaan yang kita ambil dari interaksi tersebut.

Kecerdasan emosional bukan sesuatu yang diturunkan, melainkan dapat dilatih atau dipelajari dari lingkungan (Saphiro, 2003). Berikut, tips-tips yang bisa dilakukan remaja untuk meningkatkan kecerdasan emosional:

  1. Menyadari dan mengenali emosi yang dirasakan tanpa memberikan penghakiman terhadap perasaan itu. Tidak apa-apa jika merasa sedih, marah, kecewa, takut, cemas, atau emosi yang lainnya.
  2. Mengelola emosi yang dirasakan dan mengekspresikan dengan cara yang sesuai (tidak menyakiti diri dan orang lain). Mengapa emosi perlu dikelola atau diekspresikan? Ketika emosi dipendam terus menerus, hal ini cenderung membuat kita merasa tidak nyaman, sesak, atau bisa meledak pada waktu tertentu. Oleh karena itu, perlu untuk mengekspresikannya dengan cara yang sesuai dengan diri kita. Prinsipnya berusaha tidak menyakiti diri dan orang lain. Misalnya: bercerita kepada orang yang dipercaya, menuliskan jurnal, melakukan meditasi atau relaksasi, mendengarkan lagu, berolahraga, menonton film, bernyanyi, atau yang lainnya.
  3. Mengomunikasikan secara asertif kebutuhan, keinginan, ataupun aspirasi diri. Komunikasi asertif adalah komunikasi yang dilakukan dengan cara yang baik, saling menghormati dan menghargai dengan lawan bicara, menyampaikan pesan dengan jelas (tidak ambigu), memberikan kesempatan kepada lawan bicara untuk menanggapi pembicaraan, dan tidak memaksakan lawan bicara harus sesuai dengan yang kita harapkan sehingga komunikasi dua arah bisa terjalin. Komunikasi asertif dapat dilakukan untuk memediasi ketika kita memiliki permasalahan dengan orang lain atau saat memiliki pesan yang ingin disampaikan kepada orang lain. Jika merasa masih kesulitan, bisa coba untuk tenangkan dan siapkan diri terlebih dahulu ya. Bisa mencoba dengan relaksasi atau menuliskan pesan yang akan disampaikan.
  4. Mengikuti kegiatan positif untuk mengasah potensi diri. Mengisi waktu luang dengan kegiatan positif, seperti: olahraga, kesenian, sosial, keagamaan atau kegiatan lainnya.
  5. Jika merasa menghadapi permasalahan yang tidak dapat diselesaikan sendiri dan mengganggu keberfungsian sehari-hari, bisa untuk mengikuti konseling dengan psikolog atau psikiater.
  6. Terakhir, untuk orang dewasa atau keluarga, kita bisa turut berperan dalam membangun suasana positif bagi peningkatan kecerdasan emosional remaja, seperti: menjadi pendengar yang baik layaknya teman bagi mereka (berempati), memberikan dukungan emosional, dan mengarahkan potensi remaja dalam hal yang positif.

Selamat mencoba! Semoga bermanfaat! 🙂

Referensi:

Alberts, A., Elkind, D., & Ginsberg, S. (2007). The personal fable and risk taking in early adolescence. Journal of Youth Adolescence, 36, 71-76. https://link.springer.com/article/10.1007/s10964-006-9144-4
Azhari, S. M., Dahlan, T. H., & Mustofa. M. A. (2019). Imaginary audience, personal fable, dan perilaku agresi remaja. Jurnal Psikologi Insight, 3(2), 32-42.
Feist, J., & Feist, G. J. (2010). Teori kepribadian terjemahan (7th ed., Vol. 1). Salemba Humanika.
Goleman, D. (2009). Emotional intelligence: Kecerdasan emosional mengapa EI lebih penting daripada IQ. PT Gramedia Pustaka Utama.
Kawamoto, T., Kubota, A. K., Sakakibara, R., Muto, S., Tonegawa, A., Komatsu, & S., Endo, T. (2021). The general factor of personality (GFP), trait emotional intelligence, and problem behaviors in Japanese teens. Personality and Individual Differences, 171, 1-7. https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S0191886920306711
Masithah, D., Soedirham, O., & Triyoga, R. S. (2019). The influence of emotional and spiritual intelligence on smoking cessation intention in college student. Indian Journal of Public Health Research & Development, 10(12), 1651-1655.
Mayer, J. D., & Salovey, P. (1997). What is emotional intelligence? In P. Salovey, & D. J. Sluyter (Eds.), Emotional development and emotional intelligence: Educational implications. Basic Books.
Moskat, H. J., & Sorenson, K. M. (2012). Let’s Talk about feelings: Emotional intelligence and aggression predict juvenile offense [Thesis, Whitman College]. Penrose Library. http://hdl.handle.net/10349/1169
Santrock, J. W. (2011). Life-span development (13th Ed). Mc Graw Hill.
Saphiro, L. E. (2003). Mengajarkan emotional intelligence pada anak. PT Gramedia Pustaka Utama.
Siu, A. F. (2009). Trait emotional intelligence and its relationships with problem behavior in Hong Kong adolescents. Personality and Individual Differences, 47(6), 553-557.

Kapan orang tua perlu berhenti kepo dengan aktivitas berinternet anaknya? Sebuah pelajaran dari studi tentang cyberbullying pada remaja dan emerging adults

ArtikelArtikelArtikel Ilmiah Populer Monday, 5 September 2022

Penulis: S. B. Suryo Buwono

Penyunting: Arum Febriani

 

Internet adalah bagian penting dan tak terelakkan dari kehidupan manusia zaman sekarang. Implikasi dari maraknya penggunaan internet dan berbagai platform komunikasi yang dimediasi komputer, seperti sosial media dan aplikasi pesan instan, adalah munculnya online disinhibition effect. Online disinhibition effect adalah perubahan tingkah laku komunikan yang menjadi lebih terbuka, longgar, dan merasa tanpa kekangan (Suler, 2004). Efek ini muncul secara natural dalam ruang maya karena sifat interaksi di platform ini mendorong penggunanya mengembangkan persepsi anonimitas, asinkronitas, dan minim tanggung jawab langsung atas perilaku.

Dampak dari efek ini bak pisau bermata dua: di satu sisi, memfasilitasi pengguna untuk dapat mengungkapkan dirinya, saling berbagi emosi positif, dan membantu sesama dengan skala yang luas (contohnya seperti menginisiasi crowdfunding); di sisi lain, dengan lunturnya identitas individu dan terminimalisasinya konsekuensi perilaku, banyak pengguna menjadi lebih terdorong untuk berkata kasar, mengumbar kemarahan dan kebencian, dan bahkan secara sengaja berperilaku agresif terhadap orang lain. Dalam istilah yang lebih populer, perilaku agresif secara online yang dilakukan secara sengaja dan berulang diistilahkan sebagai cyberbullying (Patchin & Hinduja, 2015).

Cyberbullying telah meluas dan mudah dijumpai dalam interaksi sehari-hari di jagad maya. Cyberbullying dapat dilakukan oleh dan kepada siapapun yang merupakan pengguna aktif internet. Baik anak-anak, remaja, dewasa, dan lansia dapat menjadi pelaku maupun korban cyberbullying. Selain berdampak serius secara psikologis bagi korban, hal yang tidak kalah mengkhawatirkan dari fenomena cyberbullying adalah potensinya untuk menciptakan siklus kekerasan. Beragam studi telah menemukan bahwa pengalaman menjadi korban (cyber-victimization) berperan sebagai salah satu prediktor utama dari perilaku cyberbullying (e.g., Kowalski et al., 2014; Wong et al., 2014); dengan kata lain, mereka yang sebelumnya merupakan korban berisiko tinggi untuk menjadi pelaku cyberbullying di kemudian hari.

Dalam konteks pengasuhan, secara intuitif umumnya orang tua (atau figur pengasuh) berusaha memproteksi anaknya dari dampak negatif berinternet dengan bersikap kepo dan melakukan pengawasan. Secara empiris, berbagai studi di dunia barat menemukan bahwa “kekepoan” atau keingintahuan orang tua terhadap aktivitas berinternet anak mampu berperan sebagai faktor protektif dan melemahkan hubungan pengalaman sebagai korban dengan perilaku cyberbullying (Hood & Duffy, 2018; Kowalski et al., 2014).

Pertanyaannya, sejauh mana temuan tersebut berlaku di Indonesia? Hingga usia berapakah “kekepoan” orang tua terhadap aktivitas berinternet anak efektif berperan sebagai faktor protektif?

 

Temuan studi pada sampel remaja awal, remaja akhir, dan emerging adults di Indonesia

Gambar 1-3 merangkum temuan rangkaian studi yang dilakukan oleh Center for Lifespan Development (CLSD, 2020) terhadap 1891 remaja awal (13-15 tahun) dan 1212 remaja akhir (16-18 tahun); dan Buwono (2021) terhadap 122 emerging adults (18-29 tahun). Hasil menunjukkan bahwa efektivitas parental monitoring—upaya orang tua untuk mengawasi dan memahami aktivitas berinternet anaknya—dalam melemahkan potensi risiko korban untuk menjadi pelaku cyberbullying hanya berlaku pada remaja awal. Pada remaja akhir, tingginya parental monitoring tidak menentukan kuat lemahnya hubungan antara pengalaman viktimisasi dengan perilaku cyberbullying. Sebaliknya, pada emerging adults, tingginya skor parental monitoring justru memperkuat hubungan kausal positif antara pengalaman mahasiswa sebagai korban dengan perilaku cyberbullying—alih-alih melemahkannya.

Kesimpulannya, efek positif dari parental monitoring tidak universal di semua kelompok usia. Seiring bertambahnya usia anak, “kekepoan” dan kontrol orang tua terhadap aktivitas internet anak justru akan berbalik menjadi bumerang dan menghadirkan efek negatif.

Gambar 1. Tingginya parental monitoring melemahkan hubungan viktimisasi-cyberbullying pada remaja awal (CLSD, 2020).
Gambar 2. Tingginya parental monitoring tidak berkaitan dengan hubungan viktimisasi-cyberbullying pada remaja akhir (CLSD, 2020).
Gambar 3. Tingginya parental monitoring memperkuat hubungan viktimisasi-cyberbullying pada emerging adults (Buwono, 2021).

 

Pembahasan

Hasil studi yang dilakukan Albert dan koleganya (2005) menemukan bahwa karakteristik umum orang tua di Indonesia menyukai kontrol dan selalu ingin tahu dengan apa yang dilakukan anak. Oleh karena itu, dalam budaya pengasuhan di Indonesia sangat wajar ditemukan anak yang hingga usia dewasa masih tinggal bersama orang tua, sebab dependensi dan kepatuhan anak terkadang justru dianggap desirable.

Meski demikian, secara psikologis, proses transisi dari fase remaja ke fase emerging adulthood mendorong anak untuk mengembangkan aspirasi yang tinggi untuk mandiri (Jensen et al., 2004). Akibatnya, monitoring terhadap aktivitas berinternet yang dilakukan oleh orang tua justru akan dipersepsikan sebagai tindakan pengekangan dan hambatan untuk meraih kemandirian.

Alih-alih berperan sebagai buffer, “kekepoan” orang tua justru menghadirkan ketegangan bagi mereka yang berada di fase emerging adulthood. Berdasarkan pandangan General Strain Theory (Agnew, 1992, 2001), ketegangan yang dialami seseorang, terutama yang disebabkan oleh hal-hal yang dianggap tidak adil atau merugikan, mendorong munculnya emosi-emosi negatif seperti frustrasi, amarah, cemas, atau depresi. Menurut Agnew, manusia secara aktif akan mencari cara untuk mereduksi ketegangan dan emosi negatif yang membuat ketidaknyamanan dalam hidupnya; salah satunya dengan berlaku agresif. Oleh karena itu, dalam hal ini, “kekepoan” orang tua adalah komorbid ketegangan yang mengamplifikasi efek ketegangan utama yang bersumber dari pengalaman viktimisasi; menjadikan emerging adults yang dulunya korban menjadi lebih berisiko untuk melakukan cyberbullying di kemudian hari.

 

Saran

Sangat dapat dipahami bahwa “kekepoan” orang tua terhadap aktivitas berinternet anak merupakan ungkapan kepedulian orang tua kepada anak. Meski demikian, orang tua perlu lebih peka untuk menyesuaikan pendekatan pengasuhannya dengan tahapan perkembangan anak. Sebab, tidak ada strategi pengasuhan yang bersifat one-size-fits-all (satu untuk semua). Sebaik-baiknya pengasuhan adalah pengasuhan yang sesuai dengan milestone perkembangan anak.

Seiring bertambahnya usia anak, sedikit demi sedikit kontrol terhadap anak perlu direnggangkan. Kemampuan berkomunikasi secara terbuka dan dua arah menjadi elemen pengganti yang penting untuk merawat kualitas relasi orang tua-anak; hal inilah yang justru mampu berperan sebagai faktor protektif bagi anak yang mulai beranjak dewasa (cf. Kowalski et al., 2014; Ybarra & Mitchell, 2004). Tanpa adanya pola komunikasi ini, mispersepsi akan sangat mungkin terjadi dan konflik akan sulit untuk dapat diresolusi secara konstruktif.

 

Referensi

Agnew, R. (1992). Foundations for a general strain theory of crime and delinquency. Criminology, 30, 47–87.

Agnew, R. (2001). Building on the foundation of general strain theory: Specifying the types of strain most likely to lead to crime and delinquency. Journal of Research in Crime and Delinquency, 38, 319–361.

Albert, I., Trommsdorff, G., Mayer, B., & Schwarz, B. (2005). Value of children in urban and rural Indonesia: Socio-demographic indicators, cultural aspects, and empirical findings.

Buwono, S. B. S. (2021). Parental monitoring increases the risk of cybervictimized college students to become cyberbullies: A study of moderation effect. Paper presented at the 2nd Padjadjaran Psychology Conference Series, Indonesia.

Center for Lifespan Development. (2020). Cyberbullying among adolescents in Indonesia. Laporan Penelitian (Tidak dipublikasikan).

Hood, M., & Duffy, A. L. (2018). Understanding the relationship between cyber-victimisation and cyber-bullying on Social Network Sites: The role of moderating factors. Personality and Individual Differences, 133, 103-108.

Jensen, L. A., Arnett, J. J., Feldman, S. S., & Cauffman, E. (2004). The right to do wrong: Lying to parents among adolescents and emerging adults. Journal of Youth and Adolescence, 33(2), 101-112.

Kowalski, R. M., Giumetti, G. W., Schroeder, A. N., & Lattanner, M. R. (2014). Bullying in the digital age: A critical review and meta-analysis of cyberbullying research among youth. Psychological Bulletin, 140(4), 1073.

Webinar Remaja Anti Kekerasan: Peran Keluarga dan Sekolah

ArtikelArtikel Liputan KegiatanEvent Monday, 18 July 2022

Pada hari Kamis, 7 Juli 2022 Center for Life-Span Development (CLSD) mengadakan acara Webinar Remaja Anti Kekerasan: Peran Keluarga dan Sekolah secara daring melalui zoom dan disiarkan secara live di kanal youtube CLSD. Kegiatan tersebut diikuti oleh berbagai kalangan seperti dosen, mahasiswa, guru, dan masyarakat umum. Acara dimulai pada pukul 13.00 WIB dengan dipandu oleh Rizqi Karomatul Khoiroh, S.Psi dan dibuka dengan sambutan dekan Fakultas Psikologi UGM, Bapak Rahmat Hidayat, S.Psi., M.Sc., Ph.D. Dalam sambutan yang disampaikan, Bapak Rahmat menyampaikan apresiasi dan dukungan penuh kepada CLSD sebagai pihak penyelenggara, serta mengucapkan terima kasih kepada seratus lebih peserta yang telah antusias mengikuti kegiatan tersebut.

Acara webinar dilaksanakan dalam dua sesi, dimana setiap sesinya dipandu oleh satu orang moderator. Sesi pertama dimoderatori oleh Zahra Frida Intani, S.Psi., M.Psi., Psikolog dengan mengangkat tema mengenal perilaku antisosial remaja. Pada sesi ini, terdapat dua narasumber yang menyampaikan materi. Narasumber pertama yaitu Sutarimah Ampuni, S.Psi., M.Si., MPsych., Psikolog yang fokus dengan pembahasan mengenai kasus-kasus perilaku antisosial pada remaja dan faktor risikonya. Sementara itu, materi kedua disampaikan oleh Dr. Arum Febriani, S.Psi., M.A. dengan topik bahasan mengenai riset-riset yang dilakukan terkait kasus klitih, bullying, dan cyberbullying. Bu Arum banyak menyampaikan tentang developmental pathway para pelaku klitih. Beliau juga menyampaikan bahwa perilaku antisosial tidak hanya dipengaruhi oleh satu faktor saja. 

Memasuki sesi kedua, forum dimoderatori oleh Smita Dinakaramani, S.Psi., M.Psi., Psikolog dengan fokus tema membangun sikap anti kekerasan di keluarga dan sekolah. Pada sesi ini, terdapat dua narasumber yaitu T. Novi Poespita Candra, S.Psi., M.Si., Ph.D., Psikolog dengan topik menidurkan sel kekerasan di sekolah dan Drs. Haryanto, M.Si., Psikolog dengan topik membangun sikap prososial dan anti kekerasan dalam keluarga. Bu Novi banyak menceritakan strategi yang berkaitan dengan membangun atmosfer positif di lingkungan sekolah. Sementara itu, Bapak Haryanto menyampaikan bahwa poin penting dalam menanamkan dan menyemaikan nilai-nilai kebaikan pada anak adalah dengan menjalin komunikasi positif di dalam keluarga. 

(RKK/CLSD)

Memeriksa Keterampilan Eksekutif pada Bayi Melalui Permainan A not B

ArtikelArtikelArtikel Ilmiah Populer Friday, 15 July 2022

Penulis: Reswara Dyah Prastuty, Reviewer: Diah Dinar Utami

Perkembangan manusia pada 1000 hari pertama kehidupan, yakni sejak masih berada dalam kandungan hingga berusia dua tahun, memiliki peranan penting dalam membentuk pondasi perkembangan manusia sepanjang rentang kehidupan. Pada masa ini, volume otak anak berkembang sangat pesat hingga mencapai 75% dari volume otak orang dewasa (Santrock dkk., 2020). Beriringan dengan itu, berbagai aspek psikologis manusia, seperti sensorik motorik, kognitif, dan sosio emosional, juga turut berkembang. Aspek-aspek yang berkembang pada periode emas ini memiliki pengaruh yang signifikan dalam menentukan potensi perkembangan dan pembelajaran anak di masa mendatang (UNICEF, 2017).

Executive function atau fungsi eksekutif merupakan salah satu keterampilan dasar yang mulai tumbuh pada masa bayi. Keterampilan ini memungkinkan manusia untuk melakukan perencanaan hingga mampu mencapai tujuan. Fungsi eksekutif mencakup berbagai kemampuan kognitif, yaitu kemampuan atensi, pemecahan masalah, koordinasi, pembuatan keputusan, regulasi diri, serta berbagai kemampuan kognitif tingkat tinggi lainnya (Goldstein & Naglieri, 2014). 

Pada anak-anak, keterampilan eksekutif berhubungan dengan performansi akademik (Pascual dkk., 2017). Di sisi lain, keterampilan eksekutif yang terhambat atau kurang berhubungan dengan adanya gangguan perkembangan anak usia dini seperti autisme dan gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas (GPPH) atau yang biasa disebut sebagai ADHD (Lynch dkk., 2017; Krieger & Amador-Campos, 2018). Melihat hal tersebut, pemeriksaan atau skrining terhadap kemampuan eksekutif anak menjadi penting untuk dilakukan sehingga orang tua dapat memahami perkembangan buah hati secara lebih jauh dan menindaklanjutinya dengan intervensi dini bila diperlukan.

Pada tahun 2021, tim peneliti dari Center for Life-span Development (CLSD), Fakultas Psikologi, Universitas Gadjah Mada memberikan pelatihan keterampilan skrining perkembangan fungsi eksekutif bayi kepada para ibu yang memiliki bayi berusia 12-24 bulan. Pada pelatihan tersebut, ibu diajarkan untuk melakukan skrining menggunakan sebuah permainan sederhana, yaitu A not B. Melalui permainan atau tugas ini, ibu akan mengamati strategi bayi dalam mencari mainan yang disembunyikan di hadapannya yang mana hal tersebut mampu menggambarkan keterampilan eksekutifnya (Frossman & Bohlin, 2014). 

Untuk dapat memeriksa kemampuan eksekutif bayi melalui permainan A not B, ada beberapa hal yang perlu disiapkan oleh ibu. Pertama, ibu perlu menyiapkan ruangan yang minim distraksi sebagai tempat untuk melakukan permainan. Kedua, ibu perlu menyediakan alat berupa dua buah mangkuk yang sama persis dan tidak transparan serta sebuah mainan karet yang berukuran lebih kecil dari ukuran mangkuk. Selain itu, bila diperlukan, ibu juga dapat menyediakan kamera untuk merekam perilaku bayi saat melakukan permainan.

Sebelum melakukan permainan, ibu perlu mendudukkan anak di hadapan ibu dengan jarak kurang lebih dua meter. Setelah itu, ibu dapat meletakkan kedua buah mangkuk di depan ibu secara telungkup dan sejajar. Mangkuk yang berada di sisi kanan adalah mangkuk pada posisi A sedangkan yang berada di sisi kiri adalah mangkuk pada posisi B. Selain meletakkan mangkuk, ibu juga perlu menyembunyikan mainan karet di belakang badan ibu. Apabila seluruhnya telah berada pada posisi yang sesuai dengan ketentuan, ibu dapat memulai permainan A not B.

Untuk melakukan permainan A not B, dibutuhkan waktu kurang lebih sepuluh menit. Meskipun tahapan permainan A not B dapat dikatakan sederhana, ibu perlu memperhatikan dan melakukan setiap langkahnya secara teliti dan runtun. Berikut adalah tahap-tahapnya.

  1. Ibu mengeluarkan mainan karet dari balik badan dan memainkannya untuk menarik perhatian anak.
  2. Setelah pandangan mata anak tertuju pada mainan, ibu mengangkat mangkuk pada posisi A, lalu meletakkan mainan ke dalam mangkuk yang posisinya tertutup ke bawah tersebut.
  3. Ibu berkata pada anak, “Sekarang mainannya disembunyikan di sini.”
  4. Ibu menepuk tangan sekali untuk membuyarkan fokus tatapan mata anak.
  5. Ibu memberikan jeda selama tujuh detik dengan tetap berinteraksi atau menjaga kontak mata dengan anak.
  6. Setelah tujuh detik, ibu menggeser kedua mangkuk ke depan sehingga dapat dijangkau oleh anak.
  7. Ibu bertanya kepada anak, “Di mana mainannya?”
  8. Tanpa memberikan instruksi, petunjuk, maupun arahan apapun, ibu menunggu hingga anak bergerak mencari mainan.
  9. Apabila mainan tersebut berhasil ditemukan oleh anak pada posisi mangkuk A, maka ibu boleh membiarkan anak untuk memainkan mainan tersebut sebentar. Sebaliknya, apabila anak tidak menemukan mainan tersebut pada posisi A atau tidak bergerak mencarinya hingga sepuluh detik, maka ibu perlu mengeluarkan mainan dari mangkuk posisi A sambil berkata, “Ini dia!”. 

Setelah selesai menjalankan seluruh langkah yang disebutkan, ibu perlu mengulangi keseluruhan proses tersebut hingga berjumlah empat kali. Kemudian, ibu perlu melakukan dua kali percobaan lagi dengan menyembunyikan mainan pada mangkuk yang terletak pada posisi B. Dengan begitu, ibu akan melakukan enam kali percobaan dalam pelaksanaan permainan A not B. 

Penilaian terhadap perilaku bayi saat melakukan permainan A not B dapat ibu lakukan secara langsung saat melaksanakan permainan maupun setelah menyelesaikan permainan dengan melakukan pengamatan terhadap video rekaman. Dari pengamatan tersebut, ibu dapat mencatat perilaku looking dan reaching bayi. 

Perilaku looking yang benar pada permainan ini dapat dilihat melalui arah pandangan mata bayi yang langsung tertuju pada mangkuk tempat mainan disembunyikan saat ibu bertanya, “Di mana mainannya?”. Adapun perilaku reaching yang benar nampak dari respon perilaku anak yang ingin meraih mangkuk tempat mainan disembunyikan menggunakan tangannya. Ibu dapat menuangkan hasil pengamatan tersebut dalam sebuah tabel yang memuat keterangan perilaku looking dan reaching bayi pada percobaan pertama hingga keenam, apakah benar, salah, tidak menunjukkan perilaku looking maupun reaching sama sekali, atau perilaku looking dan reaching tersebut tertuju pada kedua posisi, yaitu A dan B. 

Setelah hasil skrining diperoleh, bila diperlukan, ibu dapat mengkonsultasikannya kepada profesional, seperti psikolog atau dokter anak. Dengan begitu, akan diperoleh saran yang berguna untuk menstimulasi perkembangan fungsi eksekutif anak maupun melakukan intervensi dini.

Referensi:

Goldstein, S., & Naglieri, J. A. (2014). Handbook of executive functioning. New York: Springer. doi:https://doi.org/10.1007/978-1-4614-8106-5

Eliot, L. (2001). Early Intelligence: How the Brain and Mind Develop in the First Years. London: Penguin.

Johansson, M., Forssman, L., & Bohlin, G. (2014). Individual differences in 10-month-olds’ performance on the A-not-B task. Scandinavian Journal Of Psychology, 55(2), 130-135. doi: 10.1111/sjop.12109

Lynch, C. J. (2017). Executive dysfunction in autism spectrum disorder Is associated with a failure to modulate frontoparietal-insular hub architecture. 2(6), 537-545. doi:https://doi.org/10.1016/j.bpsc.2017.03.008

Pascual, A., Muñoz, N., & Robres, A. (2019). The Relationship Between Executive Functions and Academic Performance in Primary Education: Review and Meta-Analysis. Frontiers in psychology, 10, 1582. https://doi.org/10.3389/fpsyg.2019.01582

Santrock, J., Deater-Deckard, K., & Lansford, J. (2020). Child Development: An Introduction. New York: McGraw Hill.

UNICEF. (2017). Early Moments Matter for Every Child. New York: United Nations Children’s Fund.

Krieger, V., & Amador-Campos, J. A. (2018). Assessment of executive function in ADHD adolescents: contribution of performance tests and rating scales. Child Neuropsychology, 24(8), 1063-1087. doi:10.1080/09297049.2017.1386781

Child See, Child Do: Mendampingi Anak Melakukan Observasi

ArtikelArtikelArtikel Ilmiah Populer Friday, 3 June 2022

Penulis: Resti Fahmi Dahlia, Reviewer: Diah Dinar Utami

Apakah kita sebagai orang dewasa sering takjub atau kagum ketika melihat tingkah anak kecil dapat menirukan perilaku yang mungkin kita lupa pernah melakukannya di depan anak atau anak melakukan perilaku yang mereka lihat melalui video di gadget-nya. Reproduksi perilaku yang dilakukan oleh anak setelah anak mengamati dalam istilah psikologi disebut Deferred Imitation. Penelitian yang telah dilakukan ahli dengan cara mengukur reproduksi dari perilaku yang sudah teramati setelah beberapa waktu berlalu yang dimungkinkan sudah tersimpan dapat diingat kembali berkaitan dengan fungsi memori yang ada pada anak (Heiman, dkk, 2017). Andrew N Meltzoff seorang psikolog dari Amerika pada tahun 1988 dalam penelitiannya menyampaikan bahwa proses meniru atau imitasi perilaku yang dilihat oleh anak dianggap penting dalam perkembangan kognitif anak-anak. Piaget sebagai ahli psikologi perkembangan, Piaget (1999) mengatakan proses reproduksi perilaku yang sudah teramati merupakan salah satu titik penting dari periode sensorimotor sehingga kemampuan ini penting untuk perkembangan anak pada tahap selanjutnya. Jauh sebelum Meltzoff dan Piaget, Albert Bandura telah melakukan penelitian mengenai proses meniru pada anak, sekitar tahun 1963 beliau melakukan eksperimen terhadap anak mengenai perilaku agresi yang dilihat anak menggunakan media dan tanpa media (langsung). Studi sebelumnya yang dilakukan Bandura & Huston (1961) dirancang untuk menjelaskan fenomena identifikasi dalam hal pembelajaran insidental, menunjukkan bahwa anak-anak siap meniru perilaku yang ditunjukkan oleh model orang dewasa di hadapan model.

 

Nah, ternyata ada penelitian dilakukan mengenai deferred imitation yang menunjukkan hasil bahwa proses meniru yang ada pada anak, diantaranya dilakukan Piaget (1999) mengatakan bahwa anak dibawah usia 18 bulan belum memiliki kemampuan untuk menyimpan informasi. Penelitian lain menemukan bahwa anak usia 14 bulan sudah memiliki kemampuan untuk menyimpan informasi dan melakukan produksi perilaku dari informasi yang sudah diterima sebelumnya. Perbedaan setiap anak dalam melakukan imitasi dari perilaku yang telah diamati sebelumnya merefleksikan perbedaan perkembangan memori individu (Jones and Herbert, 2006). Selanjutnya Dunst, dkk (2011) melakukan penelitian dengan mengaitkan mengenai perilaku komunikasi sosial, dengan menggunakan permainan sederhana dan dilakukan secara berulang dapat mendorong peniruan dasar pada bayi dan dapat mengembangkan perilaku komunikasi sosial dalam perkembangan bayi yang khas. Penelitian lain mengenai proses meniru dengan kaitannya komunikasi sosial anak yang dilakukan oleh Hanika & Boyer (2019) menunjukkan peniruan yang dilakukan anak yang berusia 15-18 bulan memiliki hubungan unik dengan komunikasi sosial yang khusus untuk pemahaman bahasa., dimana komunikasi sosial di kemudian hari dapat memprediksi keterampilan bahasa pada anak.  

 

Melihat bahwa anak usia dini sudah memiliki kemampuan mengingat dan meniru setiap perilaku yang teramati baik melalui saudara maupun orangtua untuk mempelajari hal baru (Howe, dkk 2018). Maka sebagai orang dewasa perlu menyediakan lingkungan yang mendukung tumbuh kembang anak yang sesuai dengan nilai dan norma dalam keluarga dan lingkungan. Salah satu yang dapat dilakukan orang tua dalam mengamati tumbuh kembang anak diantaranya mendampingi dan ikut serta ketika anak bermain di rumah. Saat anak bermain atau menggunakan gadget untuk bermain maka sebagai orang dewasa kita dapat mendampingi dengan berpartisipasi bersama anak dan membangun komunikasi dengan anak. Hal ini dilakukan agar apa yang dilihat anak, dapat diketahui oleh orang dewasa di sekitarnya dan dapat diberikan pemahaman mengenai apa yang anak lihat sehingga anak bisa menirukan hal baik dari yang diamati anak dan orang tua dapat berlaku bijak ketika anak menirukan perilaku yang negatif.

 

Referensi:

Bandura, A. & Huston, A.C (1961) Identification as a process of incidental learning. Journal of Abnormal and Social Psychology

Bandura, A., Ross, D., & Ross, S.A. (1963) Transmission of Aggression through imitation of aggressive models. Journal of Abnormal and Social Psychology

Dunst, C., Raab, M. & Trivette, C. (2011)  Characteristics of naturalistic language intervention strategies. Journal of Speech-Language Pathology and Applied Behavior Analysis.

Howe,N., Rosciszewska, J., Persram, R.J. (2018) “I’m an ogre so I’m very hungry!” “I’m assistant ogre”: the social function of sibling imitation in early childhood. Infant Child Development.

Jones, E.J.H., & Herbert, J.S (2006) Exploring memory in infancy: deferred imitation and the development of declarative memory. Infant Child Development, 15,195-205

Meltzoff, A.N (1985) Immediate and deferred imitation in fourteen and twenty-four-month-old infants. Child Development. 56:62-72

Meltzoff, A.N (1988) Infant Imitation After a 1-week delay: long term memory for novel acts and multiple stimuli. Developmental Psychology. 24(4): 470-476

Heimann, M. & Meltzoff. (1996). Deferred imitation in 9 and 14 month-old infants: a longitudinal study of a Swedish sample. British Journal of Developmental Psychology, 14(1), 55-64.

Heimann, M., Edorsson, A., Sundqvist, A., & Koch, F. (2017). Thirteen- to sixteen-months old infants are able to imitate a novel act from memory in both unfamiliar and familiar settings but do not show evidence of rational inferential processes. Frontiers In Psychology, 8. doi: 10.3389/fpsyg.2017.02186

Piaget, J. (1999). Play, dreams, and imitation in childhood. London: Routledge (originally published in 1951).

Short News: Teenager-Related Cyberbullying Case in Indonesia

ArtikelArtikelBlog Thursday, 23 September 2021

Kurnia Yohana Yulianti, S.Psi., M.Sc. dan Acintya Ratna Priwati, S.Psi., M.A. yang merupakan peneliti dari Center for Life-Span Development (CLSD) berkolaborasi dengan Center for Digital Society (CfDS) melakukan riset berjudul: Fenomena Cyberbullying pada Remaja di Indonesia (Teenager-Related Cyberbullying Case in Indonesia) yang berlangsung dari tahun 2020 hingga pertengahan tahun 2021.

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh fenomena penggunaan media sosial yang kini telah menjadi bagian integral kehidupan sehari-hari terlebih pada generasi muda. Bagi mereka, media sosial menjadi sarana yang tepat untuk mengekspresikan perasaan, bersosialisasi dengan teman sebaya, dan mengeksplorasi identitas pribadi tanpa harus melakukan interaksi tatap muka. Namun, terdapat bahaya cyberbullying yang mengintai anak-anak muda di media sosial. Pada tahun 2016, KPAI mencatat 904 kasus bullying online terhadap anak di bawah umur. Selain itu, sebuah survei pada 495 murid SMA di Yogyakarta juga menemukan bahwa sebanyak 80% responden telah mengalami cyber victimization (Safaria dkk., 2016). 

Cyberbullying yang didefinisikan sebagai kerugian yang disengaja dan berulang yang ditimbulkan melalui komputer, ponsel, dan perangkat elektronik lainnya (Patchin & HInduja, 2015) berusaha diteliti melalui perspektif psikologis dan sosiologis dalam penelitian ini. Pada perspektif psikologis, digunakan Theory of Planned Behavior yang telah banyak dilibatkan dalam memahami isu cyberbullying pada remaja. Di samping itu, peneliti juga menilik dua faktor normatif pribadi (extended) yang dapat mempengaruhi intensi perilaku individu serta proses pengambilan keputusan, norma-norma moral, serta anticipated regret. Melalui perspektif sosiologis, penelitian ini berusaha menjelaskan bagaimana ketidakseimbangan kekuasaan (power imbalances) dapat berkontribusi dalam berkembangnya praktik cyberbullying di antara remaja. Dengan begitu, penelitian ini berusaha meneliti peran media sosial dalam fenomena cyberbullying pada remaja di Indonesia.

Disesuaikan dengan tujuan penelitian, peneliti menggunakan metode pendekatan campuran. Pengumpulan data dilakukan melalui survei, focus group discussion (FGD), dan wawancara. Survei nasional dilakukan pada 34 provinsi di Indonesia untuk mengumpulkan data kuantitatif mengenai perspektif dan pengalaman remaja Indonesia tentang cyberbullying. Sampel dipilih berdasarkan stratified random sampling untuk memastikan representasi remaja di seluruh Indonesia. Sesi wawancara melibatkan 6 pasangan orangtua dari remaja berusia 13-18 tahun. Sementara itu, sesi FGD melibatkan partisipan dari SMA 1 Bantul, SMP 2 Lendah, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kementerian Pendidikan, Komisi Perlindungan Anak, Clerry Cleffy Institute, dan SEJIWA Foundation. 

Berdasarkan data yang didapat, sejumlah 3077 partisipan memenuhi kriteria dan merespon kuesioner. Secara keseluruhan, 1182 partisipan atau 38.41% mengaku sebagai cyber-offender dan 45.35% merupakan cyber-victims. Pelaku siber menggunakan tiga platform media sosial terbanyak masing-masing di WhatsApp, Instagram, dan Facebook. Pelaku melakukan  cyberbullying dalam bentuk perilaku merendahkan (menyebarkan gosip dan rumor), dan mengucilkan (mengisolasi orang lain dari grup yang diikuti di platform online). Dengan membandingkan tingkat pendidikan peserta, ditemukan bahwa lebih banyak siswa sekolah menengah yang terlibat dalam pencemaran nama baik dan pengucilan. Data tersebut juga menunjukkan bahwa partisipan pria lebih banyak terlibat dalam cyberbullying melalui pelecehan dan pengucilan dan partisipan perempuan lebih banyak terlibat dalam perilaku pencemaran nama baik. Sedangkan secara kualitatif, survei menunjukkan bahwa cyberbullying merupakan fenomena umum di kalangan remaja Indonesia. Tidak hanya rentan menjadi korban, remaja juga bisa menjadi pelaku cyberbullying.

Adapun terkait strategi dan intervensi, berdasarkan penelitian kami, diperoleh pendekatan alternatif untuk mengatasi cyberbullying di kalangan anak muda Indonesia,  yaitu program anti-cyberbullying dengan menggunakan TPB sebagai kerangka teoritisnya. Program ini berfokus pada determinan niat dan perilaku cyberbullying yang terkait dengan faktor internal (yaitu sikap, keyakinan, dan kontrol perilaku yang dirasakan) dan faktor eksternal (yaitu bagaimana orang lain menanggapi perilaku tersebut).

Secara praktis, kerangka TPB dapat diimplementasikan melalui strategi berikut:

  • Memberikan dan mensosialisasikan informasi yang relevan tentang pengertian cyberbullying sesuai konteks Indonesia. 
  • Memberikan pengetahuan dan kesadaran tentang akibat negatif dari perilaku terkait.
  • Pemberdayaan dan pelatihan bagi orang tua dan guru sekolah atau konselor tentang pelaksanaan program TPB.
  • Memberikan koordinasi yang lebih komprehensif antar pemangku kepentingan untuk memperkuat sistem perlindungan di ruang online, terutama untuk anak-anak. 
  • Meningkatkan kerja kolaboratif antar pemangku kepentingan, baik di tingkat nasional dan lokal, tentang tindakan pencegahan.

(sumber foto: RODNAE Productions from Pexels)


Penelitian ini merupakan salah satu upaya paling awal dan komprehensif untuk memahami cyberbullying remaja di Indonesia. Oleh karena itu, penelitian ini berkontribusi untuk membangun pengetahuan tentang fenomena cyberbullying remaja di tanah air. Hal ini dilakukan dengan menjangkau sejumlah besar responden pelajar remaja di seluruh penjuru  Indonesia. Selanjutnya, penelitian ini secara ekstensif menjelaskan cyberbullying remaja dengan menganalisis faktor psikologis dan sosiologis. Para peneliti menganalisis Perspektif Psikologis (TPB) dan menyelidiki dua faktor normatif pribadi yang diperluas yang mempengaruhi niat perilaku individu dan proses pengambilan keputusan, norma moral, dan penyesalan yang diantisipasi. Dalam arti yang lebih luas di mana lingkungan sosiologis menjadi penentu aktif fenomena tersebut, peneliti juga menemukan bahwa ketidakseimbangan kekuatan dapat berkontribusi pada menjamurnya praktik cyberbullying di kalangan remaja.

Masih banyak peluang untuk menganalisis data-data tersebut secara lebih rinci. Sebagai contoh, data tersebut dapat digali untuk mengkonstruksi perspektif dan definisi masyarakat Indonesia tentang cyberbullying, seperti definisi cyberbullying dalam bahasa Indonesia masih belum jelas. Selain itu, peneliti menemukan bahwa ada beberapa definisi cyberbullying yang tidak sesuai dengan yang diidentifikasi dalam penelitian yang ada, dibandingkan dengan apa yang ditemukan di lapangan. Dengan demikian, beberapa tindakan dapat diidentifikasi sebagai cyberbullying dalam literatur, sementara tidak mungkin terjadi dalam konteks Indonesia, dan sebaliknya.

Studi ini, mungkin, dapat menganalisis secara intensif mengapa beberapa daerah memiliki kasus cyberbullying yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang lain. Selain itu, penelitian ini juga dapat mencakup mengapa kasus cyberbullying di beberapa platform ditemukan lebih tinggi daripada yang lain. Terakhir, hasil penelitian ini dapat dianalisis lebih lanjut untuk mengidentifikasi rekomendasi kebijakan. 

Sumber: #35 CfDS Digitimes – Teenager Related Cyberbullying Case in Indonesia ugm.id/cfdsdigitimes

(SRP & SNH/CLSD)

1234

Recent Posts

  • Petak Umpet: Permainan Tradisional yang dapat Membangun Keterampilan Sosioemosional Anak Usia Dini
  • Mendidik Anak dengan Bahasa Cinta
  • Eco-Conscious Parenting: Menumbuhkan Praktik Berkelanjutan pada Perkembangan Anak
  • Memahami Pendidikan untuk Pembangunan Berkelanjutan di Kedai Kopi
  • Membangun Kembali Kegembiraan: Pentingnya Bermain Bagi Kesejahteraan Mental Bagi Masyarakat
Universitas Gadjah Mada

Center for Life-Span Development (CLSD)
D-602, Fakultas Psikologi, Universitas Gadjah Mada
Jalan Sosio Humaniora Bulaksumur, Yogyakarta, Indonesia 55281
clsd.psikologi@ugm.ac.id

© Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY

[EN] We use cookies to help our viewer get the best experience on our website. -- [ID] Kami menggunakan cookie untuk membantu pengunjung kami mendapatkan pengalaman terbaik di situs web kami.I Agree / Saya Setuju