• Home
  • About Us
    • Managing Team
    • Researchers
    • Interns
    • Associates
  • Articles
  • Courses
  • Activities
    • CLSD Reader’s Club
    • Summer Course
    • Photovoice
    • SAELA
    • Community Service
  • Research & Publication
Universitas Gadjah Mada Center for Life-Span Development (CLSD)
Faculty of Psychology
Universitas Gadjah Mada
  • Home
  • About Us
    • Managing Team
    • Researchers
    • Interns
    • Associates
  • Articles
  • Courses
  • Activities
    • CLSD Reader’s Club
    • Summer Course
    • Photovoice
    • SAELA
    • Community Service
  • Research & Publication
  • Beranda
  • Pos oleh
Pos oleh :

clsd.psikologi

Mendidik Anak dengan Bahasa Cinta

ArtikelArtikelArtikel Ilmiah Populer Wednesday, 21 May 2025

Oleh: Fitria | Penyunting: Muhammad Ikbal Wahyu Sukron, S.Psi., M.A.

“By speaking your childs’s own love language, you can fill his “emotional tank” with love. When your child feels loved, he is much easier to discipline and train than when his “emotional tank” is running near empty.”

Kutipan di atas merupakan potongan tulisan dari Gary Chapman dan Ross Campbell dalam bukunya yang berjudul The 5 Love Languages of Children. Kutipan tersebut menjelaskan bahwa setiap anak memiliki caranya sendiri untuk merasakan cinta melalui bahasa cinta yang mereka miliki. Ketika orang tua berkomunikasi dengan menggunakan bahasa cinta yang anak miliki, anak akan merasa dihargai dan dicintai. Perasaan dicintai ini dapat dianalogikan sebagai “tangki emosional”. Ketika tangki emosional ini terisi penuh, maka akan lebih mudah untuk mendisiplinkan anak. Sebaliknya, jika anak merasa kurang dicintai, “tangki emosional”-nya akan kosong dan cenderung lebih sulit untuk menerapkan kedisiplinan pada mereka.

Konsep bahasa cinta pertama kali diperkenalkan oleh Gary Chapman pada tahun 1992. Chapman mendefinisikan bahasa cinta sebagai bentuk dari ekspresi perilaku yang sifatnya spesifik. Chapman dan Campbell (2015) kemudian membagi bahasa cinta menjadi lima bentuk, yaitu: kata-kata penegasan (words of affirmation), waktu berkualitas (quality time), pemberian hadiah (receiving gifts), tindakan melayani (acts of service), dan sentuhan fisik (physical touch). Bahasa cinta ini kemudian menjadi sebuah konsep yang menarik di masyarakat, karena bahasa cinta mengisyaratkan bahwa hubungan yang langgeng akan terwujud ketika seseorang mengungkapkan cinta sesuai dengan bahasa cinta mereka (Impett dkk., 2024).

 Frasa bahasa cinta seringkali dianggap sebagai istilah populer dalam psikologi. Namun, sebuah artikel ilmiah yang ditulis oleh Bülow (2023) menjelaskan bahwa bahasa cinta merupakan konsep yang telah divalidasi secara ilmiah dan dapat membantu individu dalam memahami diri mereka dengan lebih baik lagi. Kondisi ilmiah ini dapat dilihat dari keterkaitan bahasa cinta dengan neurobiologi, yang memperlihatkan bahwa kondisi otak dan tubuh manusia berbeda satu sama lain tergantung bahasa cinta yang paling sesuai dengan diri mereka (Bülow, 2023). Selain itu, bahasa cinta juga memiliki impilikasi terhadap kondisi kesehatan mental, misalnya terkait relasi antara orang tua dengan anak.

Sebuah studi yang dilakukan oleh Maximo dkk. (2016) menunjukkan bahwa orang tua yang membesarkan anak-anaknya dengan penuh kasih sayang, maka akan membuat anak tumbuh menjadi individu yang tangguh (resilience) di kemudian hari. Orang tua berperan penting dalam membantu anak membangun ketangguhan diri mereka. Dalam konteks ini, tiga bahasa cinta yang berperan adalah waktu yang berkualitas, kata-kata penegasan, dan tindakan melayani. Ketiga bahasa cinta ini akan memberikan dukungan emosional, motivasi, dan bantuan praktis yang diberikan oleh orang tua kepada anak-anaknya (Maximo dkk., 2016). 

Orang tua berperan penting dalam menerapkan bahasa cinta di rumah, sementara di sekolah, guru yang menggantikan peran tersebut selama proses belajar. Hal ini tentu menjadi tantangan tersendiri bagi guru maupun sekolah sebagai bagian dari sistem pendidikan yang berkualitas bagi anak. Sementara itu, Indonesia sendiri masih menghadapi tantangan yang cukup besar dalam menyediakan pendidikan bagi tenaga pendidik yang mampu memberikan pengajaran berkualitas kepada setiap siswa (OECD, 2015). Kualitas dalam hal ini tidak hanya dilihat dalam hal akademik, tetapi juga bagaimana anak-anak dapat memperoleh pendidikan yang berkualitas dalam membangun karakter mereka. 

Bahasa cinta memiliki keterkaitan yang erat dalam menumbuhkan empati pada anak melalui interaksi yang hangat di sekolah. Ketika guru berusaha memperkenalkan bahasa cinta dan berupaya untuk memberikan kasih sayang kepada anak sesuai dengan bahasa cintanya, sebenarnya guru sedang mengajarkan empati pada anak. Empati dalam hal ini dapat dilihat dari upaya guru dalam memahami dan turut merasakan kebutuhan emosional siswanya. Empati tidak hanya membentuk karakter anak, tetapi berperan dalam membangun kecerdasan moral anak (Borba, 2002).

Pendidikan karakter anak menjadi bagian penting dalam proses membangun pendidikan yang berkualitas. Kondisi ini tidak hanya menjadi jalan untuk mengembangkan moral dan etika pada diri anak, tetapi juga mempersiapkan mereka agar mampu menjalani kehidupan sosial di masa kini maupun masa depan. Hal ini sejalan dengan Sustain Development Goal (SDG) 4 di mana Indonesia diharapkan dapat menciptakan pendidikan yang berkualitas. Lebih lanjut, tujuan ini diharapkan dapat terealisasi dalam point target 4.2) akses yang sama terhadap pendidikan anak usia dini yang berkualitas; dan target 4.C) meningkatkan pasokan guru yang berkualitas di negara-negara berkembang.  Untuk mencapai tujuan ini, guru perlu menerapkan pendekatan yang mendukung, misalnya melalui pengenalan bahasa cinta dalam pendidikan karakter. Memperkenalkan bahasa cinta pada anak dapat menjadi salah satu upaya yang dilakukan oleh guru dalam mendidik karakter pada anak sehingga mereka dapat tumbuh dengan penuh kasih sayang dan berdampak pada kualitas pendidikan yang lebih baik. Kondisi ini akan menciptakan iklim pembelajaran yang lebih hangat karena guru dianggap sebagai sosok yang menyayangi sehingga “tangki emosional” anak pun terpenuhi dengan cinta. Sebuah studi yang dilakukan oleh Parker dan Sudibyo (2024) menunjukkan bahwa ketidakhadiran guru yang baik hati, murah hati, serta membantu siswanya dapat menjadi salah satu penyebab mengapa generasi muda meninggalkan bangku sekolah lebih awal. Oleh karena itu, penerapan bahasa cinta dalam proses belajar penting untuk dilakukan, karena anak akan merasa dihargai keberadaannya dan membantu dalam menciptakan lingkungan belajar yang positif.

Referensi

Borba, M. (2002). Building moral intelligence: The seven essential virtues that teach kids to do the right thing. Jossey-Bass.

Bülow, P. (2023) Love languages: The science and your mental health. Journal of Science, Humanities, and Arts. 10(3).

Chapman, G., & Campbell, R. (2015). The 5 love languages of children. Northfield.

Impett, E. A., Park, H. G., & Muise, A. (2024). Popular psychology through a scientific lens: evaluating love languages from a relationship science perspective. Current Directions in Psychological Science, 33(2), 87-92. DOI: https://doi.org/10.1177/09637214231217663.

Maximo, S. I., & Carranza, J. S. (2016). Parental attachment and love language as determinants of resilience among graduating university students. Sage Open, 6(1). DOI: https://doi.org/10.1177/2158244015622800.

Parker, L., & Sudibyo, L. (2022). Why young people leave school early in Papua, Indonesia, and education policy options to address this problem. Compare: A Journal of Comparative and International Education, 54(1), 146–162. https://doi.org/10.1080/03057925.2022.2084037.

OECD/Asian Development Bank. (2015). Education in Indonesia: Rising to the challenge. OECD Publishing. DOI: http://dx.doi.org/10.1787/9789264230750-en.

Eco-Conscious Parenting: Menumbuhkan Praktik Berkelanjutan pada Perkembangan Anak

ArtikelArtikelArtikel Ilmiah Populer Thursday, 8 May 2025

Oleh: Arifatul Alawiyah | Penyunting: Fakhirah Inayaturrobbani S.Psi, M.A

Saat ini, komitmen kuat dalam menjaga keberlanjutan lingkungan mulai menjadi sebuah trend dalam tatanan masyarakat yang tercermin pada berbagai aspek kehidupan. Tidak terbatas pada kebijakan pemerintah maupun aksi global, peningkatan kepedulian terhadap isu lingkungan terjadi di berbagai lapisan masyarakat, termasuk dalam komunitas keluarga. Tekanan dari budaya konsumsi global serta kesadaran akan risiko lingkungan mendorong terjadinya perubahan dalam praktik pangasuhan secara luas (Shrum dkk., 2023). Sebagai bagian dari upaya membentuk generasi yang lebih peduli terhadap keberlanjutan, banyak keluarga mulai beralih untuk menerapkan konsep baru terkait pola asuh yang disebut eco-conscious parenting.

Eco-conscious parenting muncul sebagai suatu konsep penting yang menawarkan pendekatan pengasuhan modern yang memperhatikan keseimbangan antara aspek perkembangan anak yang sehat dan kelestarian lingkungan. Sebuah penelitian membuktikan efektifitas praktik keluarga yang menerapkan gaya hidup ramah lingkungan secara signifikan berkontribusi terhadap pola konsumsi energi yang lebih bijaksana (Wang dkk., 2022). Pada pola asuh ini, orangtua tidak hanya menjalankan gaya hidup berkelanjutan, tetapi juga melibatkan anak dalam praktik-praktik kegiatan berkelanjutan seperti mengurangi penggunaan plastik, mempromosikan daur ulang, menggunakan produk organik, dan memperkenalkan kegiatan berbasis alam sejak usia dini (Hosany dkk., 2022). Penelitian juga menunjukkan bahwa eco-conscious parenting mampu mendorong anak-anak untuk lebih memahami hubungannya dengan alam dan menyadarkan pentingnya menjaga sumber daya alam demi masa depan yang lebih aman dan sehat (Auriffeille & Fleming, 2022; Shrum dkk., 2023). 

Lebih dari sekedar gaya hidup, pendekatan eco-conscious parenting ternyata mampu membentuk nilai-nilai dasar keluarga seperti tanggung jawab, empati, dan kesadaran sosial. Proses modeling dan melibatkan anak dalam kegiatan peduli lingkungan memungkinkan anak untuk menginternalisasi nilai, mengasah sensitivitas terhadap isu, dan membiasakan anak untuk mempertimbangkan aspek lingkungan dalam setiap pengambilan keputusan di masa depan (Barreto dkk., 2014). Sebuah penelitian menunjukkan bahwa anak yang terlibat dalam kegiatan peduli lingkungan cenderung akan memiliki pemahaman yang lebih baik terhadap dampak lingkungan dan merasa lebih bertanggung jawab terhadap keberlanjutan (UNICEF, 2024). Selain itu, aspek keterhubungan antara manusia-alam dalam konsep ini mampu meningkatkan rasa empati anak, baik terhadap sesama manusia maupun makhluk hidup lainnya, sehingga memperluas kemampuan anak untuk lebih peduli dan mampu bekerja sama (Hosany dkk., 2022). Kesadaran sosial juga mampu tercipta ketika anak mulai memahami implikasi global dari perilaku lokal terhadap ekosistem dunia. Tidak hanya membuat anak lebih berwawasan luas, pendekatan ini juga mampu memperkuat karakter anak yang lebih peduli pada kebutuhan masyarakat dan lingkungan (UNICEF, 2024).

Disisi lain, perkembangan penelitian juga telah menunjukkan kontribusi konsep eco-conscious parenting dalam mendukung kesejahteraan psikologis orangtua maupun anak. Perasaan berkontribusi positif terhadap kondisi lingkungan global dari praktik berkelanjutan mengakibatkan adanya perasaan terpenuhi dan cenderung kurang cemas orangtua (Kaligis dkk., 2024). Selain itu, penelitian menunjukkan bahwa anak yang terlibat dalam kegiatan berbasis alam, seperti berkebun atau eksplorasi alam bebas, memiliki tingkat stres yang lebih rendah, peningkatan kebahagiaan,  dan perkembangan kognitif yang lebih baik (Arola dkk., 2023). Merujuk pada teori restorative environment oleh Kaplan (dalam Liu dkk., 2024), interaksi dengan alam memberikan efek pemulihan psikologis yang kuat melalui sensasi pengalaman menenangkan dan pemulihan perhatian yang lelah akibat stress. Melalui eco-conscious parenting, interaksi positif orangtua-anak memperbesar terciptanya pengalaman bermakna yang positif sehingga berupa aktivitas menjaga lingkungan akan mampu menciptakan ikatan emosional yang aman (secure attachment). Adanya interaksi positif yang bermakna tersebut kemudian dapat membantu orangtua-anak mengembangkan kemampuan regulasi emosi yang lebih baik, memperkuat daya tahan mental mereka terhadap stres, serta menghasilkan kesehatan mental yang lebih baik secara keseluruhan (Spence dkk., 2022). 

Meskipun masih menghadapi banyak tantangan, namun potensi pengembangan eco-conscious parenting bukanlah sesuatu yang mustahil di Indonesia. Didukung oleh modal sosial budaya yang ada seperti realitas krisis lingkungan yang mulai terasa dampaknya, adanya nilai-nilai tradisional yang menghargai alam, program edukasi pemerintah, serta kemudahan akses literasi digital mampu berfungsi sebagai landasan yang kuat bagi orang tua untuk menanamkan nilai-nilai keberlanjutan pada anaknya. Untuk memaksimalkan potensi tersebut, diperlukan program edukasi dan motivasi berkelanjutan agar perilaku ramah lingkungan dapat muncul secara konsisten. Penelitian menunjukkan bahwa intervensi seperti kampanye publik dan integrasi edukasi lingkungan di sekolah secara efektif mendorong perilaku pro lingkungan dalam keluarga (Sihvonen dkk., 2024; Stapleton dkk., 2022). Dengan dorongan tepat, Indonesia berpotensi menciptakan generasi baru yang peduli terhadap kelestarian lingkungan dan mewariskan nilai keberlanjutan bagi masa depan.

Berdasarkan penjelasan di atas menunjukkan bahwa melalui aspek pengasuhan, adopsi konsep eco-conscious parenting mampu menjadi investasi yang keberlanjutan dan menjanjikan untuk masa depan. Dalam menghadapi tantangan global terkait krisis iklim yang terjadi, eco-conscious parenting terbukti mampu membekali anak dengan keterampilan dan nilai-nilai yang diperlukan dalam menghadapi tantangan global. Tidak hanya mampu memberikan kontribusi dalam membangun generasi masa depan yang lebih sadar dan bertanggung jawab terhadap isu keberlanjutan lingkungan, penerapan eco-conscious parenting mampu memperkuat fondasi kesejahteraan anak disamping orangtua yang mengimplementasikan konsep tersebut secara praktis di masa kini. Oleh karena itu, promosi eco-conscious parenting kepada publik direkomendasikan dengan target capaian agar mampu menciptakan budaya tatanan keluarga yang responsif dalam menjawab masalah global terkait kesejahteraan keluarga dan keberlanjutan lingkungan.

Referensi

Arola, T., Aulake, M., Ott, A., Lindholm, M., Kouvonen, P., Virtanen, P., & Paloniemi, R. (2023). The impacts of nature connectedness on children’s well-being: Systematic literature review. Journal of Environmental Psychology, 85, 101913. https://doi.org/10.1016/j.jenvp.2022.101913

Auriffeille, D. M., & Fleming, C. (2022). Parenting for Environmental Change. Contexts, 21(1), 26–31. https://doi.org/10.1177/15365042221083007

Barreto, M. L., Szóstek, A., Karapanos, E., Nunes, N. J., Pereira, L., & Quintal, F. (2014). Understanding families’ motivations for sustainable behaviors. Computers in Human Behavior, 40, 6–15. https://doi.org/10.1016/j.chb.2014.07.042

Hosany, A. R. S., Hosany, S., & He, H. (2022). Children sustainable behaviour: A review and research agenda. Journal of Business Research, 147, 236–257. https://doi.org/10.1016/j.jbusres.2022.04.008

Kaligis, F., Wangge, G., Fernando, G., Palguna, I. B. N. A., Pramatirta, B., & Purba, N. V. T. (2024). Breaking the silence: Unveiling the intersection of climate change and youth mental health in Indonesia. Medical Journal of Indonesia, 32(4), 249–253. https://doi.org/10.13181/mji.bc.247147

Liu, Y., Zhang, J., Liu, C., & Yang, Y. (2024). A Review of Attention Restoration Theory: Implications for Designing Restorative Environments. Sustainability, 16(9), Article 9. https://doi.org/10.3390/su16093639

Shrum, T. R., Platt, N. S., Markowitz, E., & Syropoulos, S. (2023). A scoping review of the green parenthood effect on environmental and climate engagement. WIREs Climate Change, 14(2), e818. https://doi.org/10.1002/wcc.818

Sihvonen, P., Lappalainen, R., Herranen, J., & Aksela, M. (2024). Promoting Sustainability Together with Parents in Early Childhood Education. Education Sciences, 14(5), 541. https://doi.org/10.3390/educsci14050541

Spence, R., Kagan, L., Nunn, S., Bailey‐Rodriguez, D., Fisher, H. L., Hosang, G. M., & Bifulco, A. (2022). The moderation effect of secure attachment on the relationship between positive events and wellbeing. Psych Journal, 11(4), 541–549. https://doi.org/10.1002/pchj.546

Stapleton, A., McHugh, L., & Karekla, M. (2022). How to Effectively Promote Eco-Friendly Behaviors: Insights from Contextual Behavioral Science. Sustainability, 14(21), 13887. https://doi.org/10.3390/su142113887

Wang, J., Long, R., Chen, H., & Li, Q. (2022). How do parents and children promote each other? The impact of intergenerational learning on willingness to save energy. Energy Research & Social Science, 87, 102465. https://doi.org/10.1016/j.erss.2021.102465

UNICEF. (2024). Engaging Youth on Climate Change & Environmental Sustainability. India: UNICEF. https://clearinghouse.unicef.org/download-ch-media/43e8c5b0-9a48-4990-95b8-b147d8a066d4

Memahami Pendidikan untuk Pembangunan Berkelanjutan di Kedai Kopi

ArtikelArtikel Monday, 21 April 2025

Oleh: Olyn Silvania | Penyunting: Rahma Ayuningtyas Fachrunisa, S.Psi., M.Psi., Psikolog

Dan Schechtman, seorang peraih penghargaan Nobel pada bidang kimia tahun 2011 pernah berkata, “Pembangunan berkelanjutan membutuhkan kecerdasan manusia, sehingga manusia adalah sumber daya terpenting.” Perkataan tersebut mengarah pada pentingnya mencapai Sustainable Development Goals (SDG-4) Pendidikan yang Berkualitas (SDGS Bappenas, n.d.). Oleh karena itu, pemerintah, institusi pendidikan, organisasi non-pemerintah, pemilik usaha, komunitas, dan influencer perlu berkontribusi dalam menerapkan pendidikan untuk pembangunan berkelanjutan atau education for sustainable development (ESD) (UNESCO, 2024). 

ESD merupakan pendidikan yang mendorong pengetahuan, keterampilan, nilai-nilai, sikap, dan bahkan kemampuan masyarakat agar mampu mengatasi tantangan global seperti perubahan iklim, hilangnya keanekaragaman hayati, penggunaan sumber daya yang tidak berkelanjutan, dan kesenjangan (UNESCO, 2024). ESD adalah proses belajar sepanjang hayat (Segara, 2013), sehingga penerapannya perlu melibatkan 1) Dimensi kognitif yakni meningkatkan kemampuan berpikir dan memahami informasi; 2) Dimensi sosioemosional yakni membangun keterampilan bersosialisasi, berempati, dan kecerdasan emosional; dan 3) Dimensi perilaku yakni mendorong tindakan atau masyarakat yang positif (UNESCO, 2024).

ESD tidak hanya terbatas pada institusi pendidikan, tetapi juga dapat dilakukan di kedai kopi. Data dari Organisasi Kopi Dunia mencatat bahwa Indonesia merupakan produsen kopi terbesar kedua di Asia dan Oseania setelah Vietnam. Dalam rentang tahun 2022 hingga 2023, produksi kopi di Indonesia meningkat sebesar 2,4% (12 juta kantong) (Pressrelease.id, n.d.). Meningkatnya produksi kopi di Indonesia berdampak dengan makin menjamurnya kedai kopi di Indonesia.Sudah bukan rahasia umum lagi bahwa kedai kopi telah menjadi destinasi favorit berbagai kalangan usia, khususnya kaum muda. Hasil survei dari GoodStats (2024) terhadap 1.005 responden yang mayoritas berusia 18-24 tahun (43,7%) menunjukkan bahwa 66% responden di antaranya memilih untuk membeli kopi di kedai kopi daripada menyeduh kopi sendiri (34%). Bagi kaum muda, kedai kopi bukan hanya sekedar tempat untuk menikmati secangkir kopi, tetapi juga menjadi sarana kaum muda melepaskan rasa penat dari rutinitas harian dengan cara bersosialisasi dengan teman sebaya (Maspul, 2024). 

Sebagai salah satu destinasi favorit kaum muda, bisnis kedai kopi memiliki posisi penting dalam mempromosikan ESD kepada kaum muda. Hal ini dikarenakan kaum muda, khususnya mahasiswa dianggap sebagai pihak yang berkepentingan terhadap lingkungan hidup dan pengambil keputusan yang potensial di masa depan (Hamid dkk., 2017; Swaim dkk., 2014), sehingga menjadi kelompok usia yang menjadi fokus utama UNESCO untuk diberdayakan (UNESCO, 2024). Dengan demikian, kedai kopi yang mempromosikan ESD terhadap kaum muda berkontribusi dalam mendukung kaum muda untuk memenuhi tugas perkembangannya sebagai dewasa awal (18-40 tahun) yakni menjadi warga negara yang bertanggungjawab (Hurlock, 2009) dengan mengambil tindakan yang peduli terhadap keberlangsungan planet bumi baik secara individual maupun kolektif Lantas, apa saja yang dapat dilakukan oleh pemilik kedai kopi untuk mempromosikan ESD kepada kaum muda?

Mempromosikan perilaku pro-lingkungan (pro-enviromental behavior) dengan membuat sistem kedai kopi yang ramah lingkungan 

Pemilik kedai kopi dapat mendorong perilaku kaum muda yang positif dengan cara mempromosikan perilaku pro-lingkungan yang merupakan salah satu penerapan gaya hidup berkelanjutan, yakni perilaku manusia yang meminimalkan degradasi lingkungan sembari mendukung pembangunan sosial ekonomi yang adil dan kualitas hidup manusia yang lebih baik (UN Environment Programme. n.d.). 

Promosi perilaku pro-lingkungan dapat dilakukan dengan membuat sistem kedai kopi yang ramah lingkungan, seperti menggunakan lampu LED agar lebih hemat listrik, menyediakan tempat sampah organik dan anorganik, menyajikan minuman dan makanan ke dalam wadah berbahan kaca, menggunakan bahan baku organik, dan menggunakan sedotan yang bisa digunakan kembali, meminimalisir penggunaan pendingin ruangan agar lebih hemat energi, dan bahkan mendesain kedai kopi dengan memanfaatkan bahan alam (Jo dkk., 2019; Maspul dkk., 2024). Selain beberapa cara tersebut, kedai kopi juga menunjukkan apresiasi dengan cara memberikan potongan harga kepada kaum muda yang menunjukkan perilaku yang ramah lingkungan, seperti membawa tumbler sendiri

Memberikan edukasi kepada kaum muda mengenai penerapan perilaku pro-lingkungan 

Pemilik kedai kopi dapat meningkatkan pengetahuan sekaligus kemampuan berpikir dan memahami informasi kaum muda dengan aktif memberikan edukasi. Dalam hal ini, pemilik kedai kopi dapat membagikan informasi melalui workshop, seminar, dan konten edukatif di media sosial mengenai bagaimana membuat konsep atau sistem kedai kopi yang lebih ramah lingkungan, mengelola sampah, mendaur ulang barang yang tidak mudah didaur ulang, dan memilih dan mengelola biji kopi yang organik (Mair & Laing, 2013). Edukasi juga dapat dilakukan dengan diskusi bulanan mengenai isu-isu lingkungan, sehingga kaum muda dapat saling bertukar pikiran dan pendapat. 

Mendorong perilaku altruistik dan perilaku yang setara 

Gaya hidup berkelanjutan bertujuan untuk mempromosikan kesejahteraan umat manusia (Di Fabio, 2017). Oleh karena itu, pendidikan untuk pembangunan berkelanjutan di kedai kopi perlu mengembangkan kemampuan bersosialisasi, berempati, dan kecerdasan emosi pada kaum muda. Pemilik kedai kopi dapat mendorong kaum muda untuk melakukan perilaku altruistik, seperti mengajak kaum muda untuk membeli menu spesial yang dibuat oleh petani kopi lokal, ikut serta dalam kampanye terkait isu lingkungan, dan brdonasi. Selain itu, pemilik kedai kopi juga dapat mengedukasi kaum muda terkait perilaku yang setara, yakni perilaku yang menunjukkan keadilan kepada orang lain, seperti menyediakan fasilitas yang ramah disabilitas, anak-anak, dan ibu hamil (Verdugo, 2012). 

Referensi

Di Fabio, A. (2017). The psychology of sustainability and sustainable development for well being in organizations. Frontiers in Psychology, 8, 1534. https://doi.org/10.3389/fpsyg.2017.01534 

Good Stats. (2024). Hasil survei pola konsumsi kopi orang Indonesia di tahun 2024. Goodstats. 

Hamid S., TahaIjab M., Sulaiman H., Anwar R.M., Norman AA (2017). Social media for environmental sustainability awareness in higher education. Int J Sustain High Educ, 18(4), 474–491

Hurlock, E. B. (2009). Psikologi perkembangan: Suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan. Erlangga. 

Jo, H., Song, C., &  Miyazaki, Y. (2019). Physiological benefits of viewing nature: A systematic review of indoor experiments. International Journal of Environmental Research and Public Health, 16(23), 4739.

Mair, J., & Laing, J. H. (2013). Encouraging pro-environmental behaviour: The role of sustainability-focused events. Journal of Sustainable Tourism, 21(8), 1113-1128.

Maspul, K. A. (2024). Exploring the relationship between coffee shop visitors’ coping strategies and well-being. Jurnal Psikologi, 1 (2), 1-13. https://doi.org/10.47134/pjp.v1i2.2028

Pressrelease.id. (n.d.). Tren industri kopu masa depan: Keberlenjutan bisnis hingga keberlanjutan lingkungan. https://pressrelease.kontan.co.id/news/trend-industri-kopi-masa-depan-keberlanjutan-bisnis-hingga-keberlanjutan-lingkungan

SDGS Bappenas. (n.d.). SDGs 4 Pendidikan berkualitas. Bappenas. Diunduh pada 28 Agustus 2024.  https://sdgs.bappenas.go.id/17-goals/goal-4/

Segara, N., B. (2015). Education  for  sustainable  development (ESD) Sebuah upaya mewujudkan kelestarian lingkungan. SOSIO DIDAKTIKA: Social Science Education Journal, 2(1), 2015, 22-30. https://doi.org/10.15408/sd.v2i1.1349

Swaim J. M. M., Napshin S, & Henley A (2014) Influences on student

intention and behavior toward environmental sustainability.Journal of Business Ethics. 124(3), 465–484

UN Environment Programme (n.d.). Gaya hidup berkelanjutan. UN Envrironment Programme. Diunduh pada 30 Agustus 2024. https://www.unep.org/explore-topics/resource-efficiency/what-we-do/sustainable-lifestyles 

UNESCO. (May 30, 2024). What you need to know about education for sustainable development. UNESCO. https://www.unesco.org/en/sustainable-development/education/need-know?hub=72522 Verdugo, V. (2012). The positive psychology of sustainability. Environment, Development and Sustainability, 14, 651-666. https:/doi.org/10.1007/s10668-012-9346-8

Membangun Kembali Kegembiraan: Pentingnya Bermain Bagi Kesejahteraan Mental Bagi Masyarakat

ArtikelArtikel Thursday, 20 March 2025

Oleh: Lana Savira Kusuma Dewi | Penyunting: Fakhirah Inayaturrobbani S.Psi, M.A

Di tengah percepatan dunia digital, masyarakat modern sering terjebak dalam rutinitas kaku dan tekanan pekerjaan yang tinggi sehingga perlahan kehilangan keseimbangan antara produktivitas dan kebahagiaan (Gupta, 2023). Rutinitas yang kaku serta minimnya ruang untuk bermain dapat memicu stres dan menurunkan kesejahteraan mental (Kirkham et al., 2022)—merujuk pada kesejahteraan emosional, psikologis, dan sosial seseorang yang memengaruhi cara berpikir, berperasaan, dan bertindak dalam menjalani kehidupan (Gautam et al., 2024). Oleh sebab itu, perlu menciptakan masyarakat yang lebih playful. Bukan hanya menambah waktu luang untuk bersenang-senang, tetapi menciptakan keseimbangan antara pekerjaan dan waktu luang. Dengan memberi ruang untuk bermain dalam kehidupan sehari-hari, kita bukan hanya membantu meningkatkan kesehatan mental individu tetapi juga membentuk masyarakat yang lebih sehat, sejahtera, dan bahagia secara keseluruhan. Artikel ini akan membahas pentingnya peran bermain dalam kehidupan sehari-hari, upaya kolektif yang dapat kita lakukan, serta mengapa perubahan ini mendesak untuk meningkatkan kesejahteraan mental.

Meskipun manfaat bermain berkelindan dengan kesehatan mental individu, masyarakat modern sering kali mengabaikan pentingnya aktivitas ini, terutama orang dewasa. Kehidupan yang sangat terstruktur—di mana setiap jam dipenuhi dengan tugas dan tanggung jawab—menyisakan sedikit ruang untuk kegiatan yang hanya dimaksudkan untuk kesenangan. Dalam konteks psikologi perkembangan, bermain tidak hanya relevan bagi anak-anak, tetapi juga memiliki peran signifikan dalam mendukung kesehatan mental dan sosial di setiap tahap kehidupan manusia (Shen & Masek, 2023).

Pada masa bayi dan anak-anak, bermain menjadi sarana utama untuk belajar dan mengeksplorasi dunia. Aktivitas bermain membantu perkembangan kognitif, motorik, dan sosial, seperti yang dijelaskan oleh Piaget (Shakhobiddinovna, 2022). Bermain simbolis, misalnya, mendukung kemampuan anak dalam memecahkan masalah dan memahami perspektif orang lain (Creaghe & Kidd, 2022). Anak-anak yang memiliki akses ke permainan cenderung menunjukkan perkembangan emosi yang lebih stabil dan kemampuan sosial yang lebih baik. 

Saat memasuki masa remaja, bermain berubah menjadi aktivitas yang lebih terstruktur, seperti olahraga atau permainan kelompok. Aktivitas ini membantu remaja mengembangkan identitas, mengelola emosi, dan membangun hubungan sosial yang mendalam (Chasciar, 2024). Bermain juga menjadi cara penting untuk menyalurkan energi dan mengurangi tekanan akademik serta sosial yang sering dialami di usia ini.

Pada masa dewasa, bermain tetap relevan, meskipun sering kali dipandang tidak penting. Bagi orang dewasa, bermain memberikan peluang untuk mengekspresikan diri, membangun koneksi sosial, dan menjaga keseimbangan emosional. Esposito (2023) menyoroti bahwa bermain bagi orang dewasa membantu mengurangi stres, meningkatkan kreativitas, dan memperkuat hubungan interpersonal. Aktivitas seperti permainan rekreasional, olahraga, atau kegiatan seni dapat menjadi cara efektif untuk mendukung kesehatan mental dan mencegah kelelahan emosional.

Bahkan pada tahap lansia, bermain tetap memiliki manfaat yang signifikan. Aktivitas seperti permainan puzzle, olahraga ringan, atau permainan kelompok dapat meningkatkan fungsi kognitif dan memperlambat proses penurunan mental yang berkaitan dengan penuaan (Pitayanti & Umam, 2023). Bermain juga dapat memperkuat hubungan sosial di kalangan lansia, yang membantu mengurangi rasa kesepian dan isolasi.

Dengan memahami peran bermain di setiap tahap perkembangan, kita dapat melihat bahwa bermain bukan hanya aktivitas untuk anak-anak tetapi merupakan kebutuhan mendasar manusia sepanjang hidup. Oleh karena itu, membangun lingkungan yang mendukung aktivitas bermain, baik melalui kebijakan publik, perencanaan kota, maupun perubahan persepsi sosial, merupakan langkah penting untuk mendukung perkembangan manusia secara holistik dan menciptakan masyarakat yang lebih sejahtera.

Untuk mengatasi kurangnya budaya bermain, diperlukan upaya yang terencana dan berbasis kebijakan serta komunitas. Pertama, pemerintah dan institusi dapat mendorong kebijakan yang mendukung waktu bermain, seperti fleksibilitas jam kerja bagi karyawan dan penambahan waktu istirahat untuk siswa di sekolah. Kebijakan ini akan memberikan ruang yang lebih memadai untuk aktivitas non-produktif yang dapat mengurangi stres dan meningkatkan kesejahteraan. Kedua, pengembangan infrastruktur publik menjadi langkah penting. Perencanaan kota harus memasukkan pembangunan taman, fasilitas olahraga, dan ruang publik lainnya yang dirancang untuk mendukung aktivitas bermain yang inklusif dan mendorong interaksi sosial. Ketiga, budaya bermain dapat diperkuat melalui kegiatan yang diintegrasikan dalam kehidupan sehari-hari, seperti tradisi bermain keluarga atau acara permainan berbasis komunitas. Strategi ini memungkinkan aktivitas bermain menjadi bagian yang melekat dalam rutinitas masyarakat. Dengan langkah-langkah yang sistematis ini, kita dapat membangun kembali budaya bermain yang tidak hanya bermanfaat bagi individu tetapi juga mendukung kesejahteraan sosial secara kolektif.

Bermain adalah elemen esensial dalam perjalanan hidup manusia yang mencakup semua tahap perkembangan, dari kanak-kanak hingga usia lanjut. Dalam konteks psikologi perkembangan, bermain tidak hanya menjadi sarana eksplorasi dan pembelajaran, tetapi juga kunci untuk menjaga keseimbangan emosional, memperkuat koneksi sosial, dan meningkatkan kualitas hidup. Namun, perubahan gaya hidup modern yang serba cepat telah menyisihkan peran bermain, menciptakan tekanan yang berdampak buruk pada kesehatan mental dan sosial. Oleh karena itu, mengintegrasikan kembali budaya bermain melalui kebijakan pendukung, infrastruktur publik yang inklusif, dan kebiasaan bermain dalam kehidupan sehari-hari adalah langkah mendesak. Dengan menjadikan bermain sebagai bagian integral dari rutinitas, kita dapat membangun masyarakat yang lebih sehat, bahagia, dan seimbang, sekaligus memastikan kesejahteraan manusia terjaga sepanjang hayat.

Referensi

Chasciar, V. (2024). Improving social competences through sport: an exploration of the educational role of physical activity in adolescent development. Journal Plus Education, 35(1), 130–136. https://doi.org/10.24250/JPE/1/2024/VC/

Creaghe, N., & Kidd, E. (2022). Symbolic play as a zone of proximal development: An analysis of informational exchange. Social Development, 31(4), 1138–1156. https://doi.org/10.1111/SODE.12592

Esposito, E. (2024). Order of play – disorder of the world. Into the Magic Circle, 1(1), 1–8. https://doi.org/10.26116/1HRB-TH63

Gautam, S., Jain, A., Chaudhary, J., Gautam, M., Gaur, M., & Grover, S. (2024). Concept of mental health and mental well-being, it’s determinants and coping strategies. Indian Journal of Psychiatry, 66, S231–S244. https://doi.org/10.4103/INDIANJPSYCHIATRY.INDIANJPSYCHIATRY_707_23

Gupta, R. (2023). Impact of Work on Emotional Well-being : Results of a Survey of NHS Employees from a Minority Ethnic background. Sushruta Journal of Health Policy & Opinion, 15(3), 1–7. https://doi.org/10.38192/15.3.3

Kirkham, E. J., Lawrie, S. M., Crompton, C. J., Iveson, M. H., Jenkins, N. D., Goerdten, J., Beange, I., Chan, S. W. Y., McIntosh, A., & Fletcher-Watson, S. (2022). Experience of clinical services shapes attitudes to mental health data sharing: findings from a UK-wide survey. BMC Public Health, 22(1), 1–12. https://doi.org/10.1186/S12889-022-12694-Z/FIGURES/2

Pitayanti, A., & Umam, F. N. (2023). Efektivitas permainan puzzle  terhadap upaya peningkatan kognitif  pada lansia. Jurnal Penelitian Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Nahdlatul Ulama Tuban, 5(1). https://doi.org/10.47710/JP.V5I1.206

Shakhobiddinovna, R. S. (2024). The importance of play in the mental development of preschool children. International Journal of Advance Scientific Research , 04(04), 84–88. https://sciencebring.com/index.php/ijasr/article/view/725/691

Shen, X., & Masek, L. (2024). The playful mediator, moderator, or outcome? An integrative review of the roles of play and playfulness in adult-centered psychological interventions for mental health. The Journal of Positive Psychology. https://doi.org/10.1080/17439760.2023.2288955

Keterlibatan Ayah pada Pengasuhan Anak Usia Dini

ArtikelArtikel Friday, 21 February 2025

Oleh: Nur Diana Indrawati | Penyunting: Muhammad Ikbal Wahyu Sukron, S.Psi., M.A.

Akhir-akhir ini, jagat media sosial Indonesia sedang gandrung dengan edukasi pengasuhan anak. Menjamurnya akun media sosial tentang edukasi pengasuhan, seperti Tentang Anak, Parentalk.id, Rabbitholeid, dan Momscorner menjadikan ilmu pengasuhan semakin terjangkau bagi semua lapisan masyarakat. Salah satu topik yang sering dibahas akhir-akhir ini adalah mengenai perkembangan anak usia dini. Menjadi orang tua tidak dimulai ketika seorang anak lahir di dunia, tapi dimulai ketika perencanaan kehamilan. Fase kehamilan sampai fase anak usia dini merupakan dasar yang akan menjadi penentu keterampilan dan pembelajaran pada fase berikutnya sampai anak tumbuh dewasa, sehingga permasalahan perkembangan yang dialami pada fase usia dini akan memiliki efek multigenereasi (Black dkk., 2017).


UNICEF (2007) menyatakan bahwa perkembangan anak usia dini merupakan perkembangan dari fase prenatal sampai ke transisi menuju sekolah dasar (usia 7 tahun). Gupta dan Raut (2016) menambahkan bahwa 1000 hari pertama kehidupan merupakan masa yang paling krusial dalam perkembangan anak. Pengasuhan yang responsif dan nutrisi yang tercukupi pada 1000 hari pertama merupakan hal vital yang akan menentukan kesehatan dan kesejahteraan psikologis pada masa yang akan datang (Gupta & Raut, 2016). Menurut Black dkk. (2017), faktor yang mempengaruhi anak untuk mencapai potensi maksimal pada perkembangannya antara lain kesehatan, gizi, rasa aman, pengasuhan yang responsif dan pembelajaran sejak dini. Hal tersebut, salah satunya, bisa dipenuhi dengan memaksimalkan keterlibatan ayah dalam proses pengasuhan anak, yang akan berpengaruh positif pada perkembangan kognitif, bahasa, serta perilaku dan regulasi emosi pada anak (Wang dkk., 2022).


Sayangnya, beberapa penelitian menunjukkan bahwa keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak di beberapa negara berkembang masih rendah. Contohnya di pedesaan Pakistan, hanya sedikit ayah yang meluangkan waktu untuk bermain fisik dengan anak dan terlibat dalam pengasuhan anak (Maselko dkk., 2019). Selanjutnya pada penelitian yang dilakukan di 69 negara, ditemukan bahwa ibu melakukan aktivitas stimulasi pada anak usia dini jauh lebih banyak dibandingkan dengan ayah; bahkan ketika dibandingkan dengan orang dewasa lain yang berada di rumah, ayah ditemukan melakukan pengasuhan dengan porsi yang lebih sedikit (Evans & Jakiela, 2024).


Terdapat beberapa faktor penyebab kurangnya keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak usia dini, antara lain keterbatasan waktu di rumah, kurangnya pengetahuan terkait pengasuhan, serta sikap terhadap gender, seperti menganggap bahwa tugas mengasuh anak adalah tugas perempuan bukan laki-laki (Jeong dkk., 2023). Faktor lain yang memengaruhi keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak usia dini, yaitu keyakinan peran mereka (sebagai ayah, suami, atau pencari nafkah), gejala depresif yang dimiliki oleh ayah, kondisi temperamen anak, gender anak serta faktor sosio demografis, seperti ekonomi dan status pendidikan orang tua (Planalp & Braungart-Rieke, 2016).


Beberapa aktivitas yang bisa dilakukan ayah untuk meningkatkan keterlibatan pengasuhan anak usia dini berupa aktivitas didaktik, seperti menyanyi, membaca, bercerita, dan bermain bersama anak (Wang dkk., 2022). Hofferth (2003) menjelaskan bentuk keterlibatan ayah dalam pengasuhan dengan empat domain, yaitu waktu yang dihabiskan bersama anak, kehangatan (contohnya frekuensi memeluk anak dan memberi tahu anak bahwa mereka mencintainya), kontrol dan pengawasan (seperti penerapan aturan tentang kegiatan seperti makan dan belajar), serta tanggung jawab, yaitu sejauh mana orang tua, baik ayah maupun ibu, melakukan tugas memandikan anak, mendisiplinkan anak, mengantar anak, membeli pakaian untuk anak, dan bermain dengan anak.


Sejauh ini, dibandingkan intervensi yang diberikan kepada Ibu, intervensi untuk meningkatkan keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak usia dini masih terbatas. Beberapa penelitian yang mengidentifikasi intervensi untuk meningkatkan keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak usia dini, antara lain edukasi tentang perawatan pada bayi, memberi makan bayi, merawat ibu, serta memberikan dorongan dan dukungan terhadap praktik menyusui yang diberikan pada ayah bayi yang baru lahir di Kenya dapat meningkatkan pengetahuan para ayah (Dinga, 2019). Selanjutnya program COACHES (The Coaching Our Acting Out Children: Heightening Essential Skills), yaitu sebuah pelatihan tentang strategi pengasuhan yang diberikan selama enam minggu dan berhasil meningkatkan kalimat pujian dan menurunkan komunikasi negatif pada ayah yang memiliki anak dengan gangguan ADHD (Fabiano dkk., 2021).


Di Indonesia, salah satu gerakan keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak usia dini yang cukup masif adalah penggalakan program Ayah ASI yang diprakarsai oleh Shafiq Pontoh dan delapan ayah baru lain pada tahun 2011. Bentuk program dari gerakan ini antara lain edukasi, pusat pertolongan, dan juga media promosi mengenai keterlibatan ayah dalam proses menyusui (Riski, 2017). Gerakan tersebut diinisiasi oleh kegelisahan para pendiri akan minimnya pengetahuan mereka sebagai ayah bagi bayi mereka yang baru lahir.


Kegelisahan seperti ini yang perlu kita perhatikan bersama untuk memunculkan gerakan yang dapat meningkatkan keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak usia dini. Ayah seringkali berpikir bahwa tugas utamanya adalah mencari nafkah untuk keluarga. Namun tanpa disadari, pola pikir tersebut yang menjadikan mereka berpikir bahwa mengasuh anak merupakan tugas utama ibu. Di sisi lain, ibu juga jarang memberikan kesempatan bagi Ayah untuk terlibat dalam pengasuhan anak.


Proses pengasuhan yang optimal pada anak usia dini akan menentukan keberhasilan proses perkembangannya sampai usia dewasa. Dibutuhkan peran maksimal ayah dan ibu untuk menunjang keberhasilan pengasuhan anak usia dini. Beberapa faktor penyebab kurangnya keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak usia dini, antara lain karena kurangnya pengetahuan terkait pengasuhan, keyakinan terhadap peranan mereka, sikap terhadap gender, serta minimnya kesempatan yang diberikan pada ayah untuk terlibat dalam pengasuhan anak dini. Dengan demikian, penting bagi para ayah untuk meningkatkan pengetahuan terkait pengasuhan anak usia dini mengingat pentingnya peran ayah dalam pengasuhan anak usia dini.

Daftar Pustaka
Black, M. M., Walker, S. P., Fernald, L. C. H., Andersen, C. T., DiGirolamo, A. M., Lu, C., McCoy, D. C., Fink, G., Shawar, Y. R., Shiffman, J., Devercelli, A. E., Wodon, Q. T., Vargas-Barón, E., & Grantham-McGregor, S. (2017). Early childhood development coming of age: science through the life course. The Lancet, 389(10064), 77–90. https://doi.org/10.1016/S0140-6736(16)31389-7
Dinga, L. A. (2019). Effect of father-targeted nutrition education on feeding practices, nutritional status and morbidity among infants in Kisumu East, Kenya. Jomo Kenyatta University.
Fabiano, G. A., Schatz, N. K., Lupas, K., Gordon, C., Hayes, T., Tower, D., Soto, T. S., Macphee, F., Pelham, W. E., & Hulme, K. (2021). A school-based parenting program for children with attention-deficit/hyperactivity disorder: Impact on paternal caregivers. Journal of School Psychology, 86, 133–150. https://doi.org/10.1016/j.jsp.2021.04.002
Gupta, S., & Raut, A. (2016). Early childhood development: Maximizing the human potential. Frontiers in Social Pediatrics. https://doi.org/10.5005/jp/books/12773
Guswandi, F. A. (2021). School starting age and academic performance: An empirical study in Indonesia. Jurnal Perencanaan Pembangunan: The Indonesian Journal of Development Planning, 5(3), 344–362. https://doi.org/10.36574/jpp.v5i3.218
Herbst, M., & Strawiński, P. (2016). Early effects of an early start: Evidence from lowering the school starting age in Poland. Journal of Policy Modeling, 38(2), 256–271. https://doi.org/10.1016/j.jpolmod.2016.01.004
Hofferth, S. L. (2003). Race/ethnic differences in father involvement in two-parent families: Culture, context, or economy? Journal of Family Issues, 24(2), 185–216. https://doi.org/10.1177/0192513X02250087
Maselko, J., Hagaman, A. K., Bates, L. M., Bhalotra, S., Biroli, P., Gallis, J. A., O’Donnell, K., Sikander, S., Turner, E. L., & Rahman, A. (2019). Father involvement in the first year of life: Associations with maternal mental health and child development outcomes in rural Pakistan. Social Science and Medicine, 237, 112421. https://doi.org/10.1016/j.socscimed.2019.112421
Planalp, E. M., & Braungart-Rieker, J. M. (2016). Evidence from the ECLS-B. J Fam Psychol, 30(1), 135–146. https://doi.org/10.1037/fam0000156.Determinants
Riski, P. (2017). Fathers and Father Involvement in Indonesia : A Pilot Study Exploring the Community of Breastfeed-Supporthing Fathers (Ayah ASI). https://doi.org/10.13140/RG.2.2.10698.79042
Wang, L., Li, H., Dill, S. E., Zhang, S., & Rozelle, S. (2022). Does paternal involvement matter for early childhood development in rural China? Applied Developmental Science, 26(4), 741–765. https://doi.org/10.1080/10888691.2021.1990061

Kader Hebat, Anak Bahagia: Pelatihan Stimulasi Sosioemosional pada Anak Usia Dini untuk Kader Bina Keluarga Balita di Gunungkidul

Artikel Liputan KegiatanEvent Friday, 3 January 2025

Pada Selasa, 23 Juli 2024, Center for Life-Span Development (CLSD) Fakultas Psikologi UGM mengadakan pelatihan “Stimulasi Sosioemosional pada Anak Usia Dini” di Padukuhan Jambu, Giricahyo, Purwosari, Gunungkidul. Acara ini merupakan kolaborasi antara CLSD dengan perwakilan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) DIY dan dihadiri oleh 25 peserta, termasuk Kader Bina Keluarga Balita (BKB) PUSPAMEKAR dan beberapa orang tua setempat. Dian Mufitasari, S.Psi., M.Psi., Psikolog, dosen Fakultas Psikologi UGM menjadi narasumber utama pada acara pelatihan ini.

Pelatihan ini bertujuan untuk meningkatkan pemahaman dan keterampilan para kader Bina Keluarga Balita Holistik Integratif (BKB HI) dalam menstimulasi perkembangan sosioemosional anak usia dini. Harapannya, kader dapat mengaplikasikan ilmu yang didapatkan ke lingkungan sekitar mereka.

 “Kami ingin kader memiliki pemahaman yang mendalam tentang pentingnya stimulasi sosioemosional pada anak usia dini agar mampu memberikan dampak positif pada perkembangan anak,” ujar Dian Mufitasari, selaku narasumber utama dalam pelatihan ini.

Pelatihan dibuka dengan sosialisasi pengisian Kartu Kembang Anak (KKA) yang dipandu oleh perwakilan BKKBN DIY. Dalam sesi ini, para peserta diajak untuk mempelajari cara mengisi KKA sebagai instrumen untuk memonitor perkembangan anak. Selanjutnya, narasumber memberikan pemaparan materi mengenai pentingnya stimulasi sosioemosional serta metode-metode yang dapat diterapkan oleh para kader dan orang tua dalam mengembangkan kemampuan sosioemosional anak.

Setelah pemaparan materi, para peserta berkesempatan mempraktikkan secara langsung beberapa teknik stimulasi sosioemosional melalui suatu kegiatan membaca cerita bertajuk “Gajah yang Baik Hati”. Dalam sesi praktik ini, peserta belajar mengenali dan memberi nama emosi yang dirasakan orang lain serta mengekspresikan kepedulian terhadap sesama dengan menggunakan kartu bergambar emosi. Tidak hanya teori dan praktik, pelatihan ini juga dilengkapi dengan sesi sosialisasi mengenai metode monitoring keberhasilan pelatihan. Para peserta diminta untuk menerapkan materi yang telah dipelajari kepada komunitas masing-masing. Proses ini akan dimonitor oleh tim CLSD melalui grup WhatsApp dan peserta yang berhasil mengaplikasikan metode dengan baik akan mendapatkan penghargaan dalam bentuk kompetisi.

Sebagai penutup, peserta diminta mengisi refleksi tentang pelatihan yang telah dijalani. “Melalui refleksi ini, kami berharap peserta dapat menganalisis pengalaman mereka dan memahami sejauh mana pelatihan ini bermanfaat bagi mereka,” jelas Salsabila Salwa, co-trainer dalam pelatihan ini. Refleksi ini juga akan digunakan sebagai bahan evaluasi untuk meningkatkan kualitas pelatihan di masa mendatang.

Pelatihan stimulasi sosioemosional ini merupakan langkah nyata untuk memperkuat kapasitas kader dalam mengoptimalkan perkembangan anak usia dini. Dengan adanya kolaborasi antara CLSD Fakultas Psikologi UGM dan BKKBN DIY, diharapkan semakin banyak kader yang mampu menjadi agen perubahan di lingkungan mereka. Pelatihan ini juga menekankan pentingnya kolaborasi antara masyarakat, lembaga pendidikan, dan pemerintah dalam mewujudkan lingkungan yang mendukung tumbuh kembang anak secara optimal.

Kader Hebat, Anak Bahagia: Pelatihan Stimulasi Sosioemosional pada Anak Usia Dini untuk Kader Bina Keluarga Balita di Sleman

Artikel Liputan KegiatanEvent Friday, 3 January 2025

Pada hari Senin, 22 Juli 2024, CLSD melaksanakan kegiatan Pelatihan Stimulasi Sosioemosional pada Anak Usia Dini untuk Kader Bina Keluarga Balita di Kabupaten Sleman. Pelatihan tersebut difasilitasi oleh dosen Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, Ibu Theresia Novi Poespita Candra, S.Psi., M.Si., Ph.D., Psikolog. Kegiatan ini diikuti oleh 24 orang peserta yang meliputi Kader Bina Keluarga Balita (BKB) Dahlia, PKB Kecamatan Tempel, serta orang tua setempat yang memiliki anak usia dini.

Pelatihan ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, pemahaman, dan keterampilan Kader Bina Keluarga Balita Holistik Integratif (BKB HI) dalam menstimulasi perkembangan sosioemosional anak usia dini. Setelah diberikan pelatihan, para kader diharapkan dapat menyebarluaskan ilmu yang telah diperoleh ke masyarakat di lingkungannya. Selain itu, kegiatan ini diharapkan dapat memenuhi beberapa Sustainable Development Goals (SDGs), seperti Kehidupan Sehat dan Sejahtera, Pendidikan Berkualitas, serta Kemitraan untuk Mencapai Tujuan. 

Rangkaian kegiatan pelatihan diawali dengan sosialisasi pengisian Kartu Kembang Anak (KKA) oleh Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Selanjutnya, Trainer memberikan materi mengenai tujuan dan cara mengembangkan kemampuan sosioemosional pada anak usia dini. Beberapa media digunakan sebagai metode pengajaran, seperti ceramah, diskusi, video, dan handout. Setelah itu, Co-Trainer memandu para peserta dalam melakukan praktik untuk satu bagian materi yang telah disampaikan, yaitu mengenai Kontrol Diri. Praktik diawali oleh pelatihan olah nafas dan dilanjutkan dengan pemberian stimulasi melalui dongeng “Zebra yang Pemarah”. 

Kegiatan dilanjutkan dengan pelaksanaan sosialisasi monitoring yang diberikan oleh Co-Trainer. Setiap peserta diminta mempraktikkan materi sosialisasi kepada komunitas serta menyusun dokumentasi kegiatan. Hasil kegiatan yang dibuktikan dengan dokumentasi dari setiap kabupaten akan dikompetisikan. Terakhir, acara ditutup dengan pelaksanaan refleksi materi yang dipandu oleh Trainer. 

Kegiatan ini memberikan gambaran mengenai pengetahuan orang tua zaman sekarang tentang perkembangan sosioemosional anak-anaknya sendiri. Di awal sesi, para peserta tampak belum mengetahui mengapa pengetahuan tersebut penting untuk dimiliki dan seberapa jauh kemampuan sosioemosional dapat berdampak pada kehidupan anak-anak mereka. Namun, seiring berjalannya sesi, para peserta tampak antusias untuk menerima materi. Mereka mampu memantik diskusi dengan berbagai pertanyaan yang menarik dan tampak bersemangat dalam mengikuti kegiatan praktik.

Refleksi yang diberikan peserta turut menunjukkan bahwa mereka menganggap materi yang diberikan bermanfaat dan bermakna untuk mereka. “Terima kasih untuk Ibu (Novi), kami tambah ilmunya untuk bisa mengendalikan emosi ke anak-anak, suami, dan lingkungan sekitar,” ujar salah satu peserta dari BKB Dahlia.

CLSD UGM Rayakan Pencapaian Tahunan Melalui CLSD End of Year Party 2024: Glamorizing the Past, Sparking the Future

Artikel Liputan KegiatanEvent Friday, 3 January 2025

Center for Life-Span Development (CLSD) UGM kembali menyelenggarakan kegiatan CLSD End of Year Party, sebuah agenda tahunan untuk merayakan berbagai pencapaian dan karya CLSD yang telah dihasilkan dalam satu tahun terakhir. Pada tahun ini, kegiatan dilaksanakan pada tanggal 13 Desember 2024 dengan mengusung tema “Glamorizing the Past, Sparking the Future”. Acara yang penuh dengan semangat dan kehangatan ini terlaksana secara sukses dengan dihadiri oleh 50 peserta yang terdiri dari interns, senior interns, office manager, hingga dosen.

Kegiatan dibuka dengan sambutan dari kepala CLSD, Sutarimah Ampuni, M.Si., MPsych., Ph.D., Psikolog. Dalam sambutan tersebut, Ibu Ampuni berpesan untuk tetap menjaga semangat dan inisiatif para interns dalam mengikuti project-project di CLSD. Selain itu, Wakil Dekan Bidang Penelitian, Pengabdian kepada Masyarakat, dan Kerja Sama, yaitu Ibu Pradytia Putri Pertiwi, S.Psi, Ph.D. yang juga hadir pada kegiatan tersebut turut memberikan sambutan. Beliau menyampaikan apresiasinya bahwa CLSD merupakan salah satu unit yang memiliki penelitian dan pengabdian masyarakat terbanyak di Fakultas Psikologi UGM.

Kegiatan End of Year Party ini terbagi menjadi beberapa sesi kegiatan, mulai dari bermain games bersama hingga menonton video kaleidoskop CLSD 2024 sebagai bentuk apresiasi dan nostalgia project-project dan karya yang telah tercapai sepanjang tahun 2024. Sepanjang 2024, tercatat beberapa hasil karya CLSD antara lain, yakni 10 hak kekayaan intelektual (HKI), 6 penelitian, 3 video, dan 2 materi ajar.

Selain pemutaran video, terdapat sesi kegiatan yang tidak kalah spesialnya yaitu penyerahan sertifikat apresiasi dan surat keterangan magang kepada para interns yang telah menyelesaikan periode magangnya, sebagai bukti resmi magang, apresiasi, dan tanda terima kasih CLSD kepada para interns atas kontribusi dan dedikasinya selama menjadi interns di CLSD.

Melalui End of Year Party 2024, para interns dan dosen dapat melihat dan mengingat kembali perjalanan di masa lalu yang telah dilalui dengan penuh perjuangan yang patut dibanggakan. Hal ini sekaligus memacu dan mempersiapkan diri untuk melanjutkan perjuangan tersebut di masa depan. CLSD End of Year Party 2024 merupakan bukti bahwa CLSD menghargai setiap pencapaian dan kontribusi sekecil apapun dari seluruh elemen yang terlibat dalam membuat CLSD semakin maju. Dengan semangat yang terus membara, CLSD UGM siap menghasilkan karya dan pencapaian-pencapaian terbaik lainnya di 2025 dan mengucapkan terima kasih atas segala suka cita di 2024.

Memperingati Hari Anak Sedunia, CLSD UGM X IPPI DIY Adakan Webinar Mencegah, Mengenali, dan Merespon Kekerasan Seksual pada Anak

ArtikelArtikelArtikel Liputan KegiatanEvent Monday, 23 December 2024

Center for Life-Span Development (CLSD) UGM berkolaborasi dengan Ikatan Psikologi Perkembangan Indonesia (IPPI) Wilayah DIY mengadakan webinar bertajuk “Mencegah, Mengenali, dan Merespons Kekerasan Seksual pada Anak” pada 23 dan 30 November 2024. Webinar ini dilaksanakan dalam rangka memperingati Hari Anak Sedunia yang jatuh pada tanggal 20 November 2024 sekaligus sebagai respons atas semakin meningkatnya kekerasan seksual yang terjadi pada anak di Indonesia.

Acara dibuka oleh sambutan dari kepala CLSD, Sutarimah Ampuni, M.Si., MPsych., Ph.D., Psikolog dan Ketua IPPI Wilayah DIY, Dr. Rita Eka Izzaty, S.Psi., M.Si, Psikolog. Dalam sambutan tersebut, disampaikan bahwa kekerasan pada anak (KSA) merupakan permasalahan serius yang dapat memberikan dampak negatif jangka panjang pada anak sehingga perlu menjadi perhatian dari seluruh lapisan masyarakat. 

“Mengingat seriusnya dampak kekerasan seksual pada anak, diperlukan langkah-langkah pencegahan dan penanganan yang komprehensif yang melibatkan seluruh lapisan masyarakat. Kesadaran (awareness) mengenai kekerasan seksual pada anak termasuk pencegahannya perlu disebarluaskan ke masyarakat, terutama yang berhubungan dekat dengan anak-anak,” ungkap Sutarimah Ampuni.

Webinar ini melibatkan para ahli di bidang penanganan kekerasan seksual pada anak sebagai narasumber-narasumbernya, yakni Ir. Emmy Lucy Smith, M. Krim (Pendiri Yayasan Kakak di Surakarta), Vitria Lazzarini, M.Psi, Psikolog (Psikolog dan Praktisi Pendamping Kekerasan Seksual Anak), Dr. Maria Goretti Adiyanti, M.S., (Dosen dan Peneliti di Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada), dan Lucia Peppy Novianti, M.Psi, Psikolog (Founder dan CEO Wiloka Workshop). 

Di pertemuan pertama (23/11), materi yang disampaikan terdiri dari  konsep kekerasan seksual dan contoh kasus-kasus nyata di lapangan serta cara membangun kesadaran tentang KSA di keluarga dan sekolah. Sementara pada pertemuan kedua (30/11), materi yang disampaikan membahas tentang karakteristik perkembangan anak untuk pencegahan dan penanganan kekerasan seksual pada anak dan pendampingan awal untuk anak yang mengalami atau terindikasi mengalami KSA.

Melalui webinar ini, CLSD UGM dan IPPI DIY berharap dapat memberikan kontribusi nyata ke masyarakat dalam upaya mengedukasi peserta mengenai bagaimana langkah pencegahan kekerasan seksual pada anak dimulai dari lingkungan terdekat mereka. 

Mengembangkan Kepedulian Generatif Guna Mempersiapkan Peran Pemuda sebagai Agen Perubahan

ArtikelArtikelBlog Thursday, 5 December 2024

Penulis: Sukmo Bayu Suryo Buwono, S.Psi., M.A.

Penyunting: Muhammad Ikbal Wahyu Sukron, S.Psi., M.A.

Peran pemuda umum diasosiasikan sebagai katalis dan garda terdepan dari perubahan. Jikapun pada mulanya asosiasi ini sekadar dimaksudkan sebagai jargon pembakar semangat, pada kenyataannya, kajian psikologi perkembangan telah berhasil menemukan kebenaran di balik jargon ini. Berdasarkan temuan-temuan empiris di sepanjang dua dekade terakhir, keterlibatan pemuda sebagai agen perubahan salah satunya ditentukan oleh keberhasilan mereka dalam mengembangkan kepedulian generatif.

Mengapa pemuda disebut agen perubahan dan bagaimana kaitannya dengan kepedulian generatif?

Secara umum, mereka yang telah berusia 18-29 tahun dapat disebut sebagai pemuda. Dalam ilmu psikologi, rentang ini diistilahkan sebagai periode emerging adulthood (Arnett, 2011). Periode ini menandai masa transisi dari fase remaja, yang sarat akan krisis pencarian jati diri, menuju fase dewasa awal yang sarat akan krisis pencarian pasangan hidup (Erikson, 1963).

Di sepanjang emerging adulthood, gairah individu untuk terlibat dalam kegiatan kreatif, komunitas, aktivisme, dan politik dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat tengah berada di level tertinggi. Maka tak jarang jika perubahan, terobosan, dan gagasan besar terlahir oleh mereka yang berada di periode ini. Tingginya keterlibatan di atas adalah imbas dari suatu tahap perkembangan psikososial yang lazim dikenal sebagai fenomena early generativity, yaitu menonjolnya kepedulian generatif di sepanjang rentang emerging adulthood (Alisat dkk., 2014; Jia dkk., 2015; Matsuba dkk., 2017; Pratt & Lawford, 2014). Kepedulian generatif adalah kepedulian akan keberlangsungan hidup generasi penerus (McAdams & de St. Aubin, 1992).

Kepedulian generatif dikatakan sebagai fenomena psikososial karena kemunculannya berfondasi pada dorongan batin (psiko) dan tuntutan sosial (sosial) yang hanya menonjol pada rentang perkembangan tertentu. Secara spesifik, menonjolnya kepedulian generatif di rentang emerging adulthood dilandasi oleh dorongan batin untuk bermanfaat bagi sesama dan meninggalkan warisan positif yang dapat dikenang, serta tuntutan budaya untuk memastikan keberlangsungan dan kesejahteraan hidup spesies (Pratt & Lawford, 2014). Fondasi psikososial tersebut menghasilkan motivational force yang kuat dalam mengorganisir struktur motif dan moralitas individu; ia turut membentuk kepribadian dan menentukan penilaian tentang baik/buruk, benar/salah, dan penting/tidak penting (Jia dkk., 2015; McAdams, 2019).

Individu dengan kepedulian generatif yang tinggi akan secara sadar memikirkan masa depan generasi penerus (McAdams & de St. Aubin, 1992) dan dapat menyusun rencana jangka panjang untuk mengaktualisasikannya (Jia dkk., 2015). Dengan tingginya kepedulian generatif, individu mampu mengedepankan kepentingan jangka panjang yang berorientasi pada kesejahteraan semua pihak, atau “the greater good” (McAdams, 2001). Perihal ini telah terkonfirmasi dalam studi eksperimen terkini yang penulis lakukan. Bahwasannya ketika emerging adults menyadari adanya ancaman terhadap masa depan generasi penerus, mereka dengan kepedulian generatif yang tinggi mampu mengedepankan “the greater good” di atas kepentingan pribadi dan pro-sosial kelompok (Buwono & Patria, 2023).

Berdasarkan paparan di atas, dapat diketahui bahwa kepedulian generatif memberikan kesiapan pada pemuda untuk dapat berperan sebagai agen perubahan. Sayangnya, meski emerging adulthood adalah periode sensitif bagi perkembangan kepedulian generatif, tidak setiap individu dapat mencapai level perkembangan optimal. Oleh karena itu, sejumlah indikator untuk mengenali perkembangan kepedulian generatif yang optimal perlu diketahui.

Bagaimana mengidentifikasi mereka dengan kepedulian generatif yang tinggi?

Berbicara mengenai generativitas takkan bisa lepas dari gagasan-gagasan yang dicetuskan oleh Erik Erikson (1963). Bagi Anda yang familiar dengan teori Erikson, ketika diminta menyebutkan indikator dari individu yang generatif, kemungkinan besar pasti akan mengatakan berketurunan dan mengasuh anak. Ini sepenuhnya tidak keliru. Justru, di kultur pronatalistik seperti di Indonesia, kedua indikator tersebut banyak benarnya.

Meski demikian, berketurunan dan mengasuh anak bukanlah satu-satunya ekspresi—lebih lagi ekspresi utama—dari kepedulian generatif. Keduanya bahkan hanya sekadar contoh perilaku dalam domain ekspresi biological dan parental. Sedangkan, kepedulian generatif memiliki empat domain ekspresi. Dua domain lain yang belum disebutkan adalah domain technical dan societal. Kedua domain ini justru adalah yang paling relevan dan mewakili ekspresi kepedulian generatif dalam periode emerging adulthood.

Upaya-upaya yang dilakukan individu untuk mewariskan keterampilan dan pengetahuan bagi generasi penerus dapat dikatakan sebagai ekspresi technical dari kepedulian generatif. Sementara keterlibatan dalam aktivitas sipil dan politik di ranah publik dengan tujuan untuk merawat masa depan dapat dikatakan sebagai ekspresi societal dari kepedulian generatif (Jia dkk., 2015; Kotre, 1984; Matsuba dkk., 2017). Dalam mengekspresikan kepedulian generatif, perilaku yang diproduksi dapat sangat beragam. Beberapa ciri khas untuk mengidentifikasinya adalah ia selalu mencerminkan upaya mencipta (secara literal via berketurunan; figuratif via berkarya), memelihara, atau memberi dengan orientasi untuk mengedepankan kesejahteraan generasi penerus (McAdams, 2001; McAdams & de St. Aubin, 1992).

Apa saja strategi untuk mengembangkan kepedulian generatif?

Terdapat sejumlah strategi untuk menstimulasi kepedulian generatif agar perkembangannya dapat optimal di periode emerging adulthood. Pertama, pola pengasuhan yang otoritatif dan mendukung kemandirian perlu diterapkan oleh orang tua (Frensch dkk., 2007; Lawford dkk., 2005). Kedua, keterlibatan individu dalam kegiatan kesukarelawanan dan komunitas pro-sosial perlu ditingkatkan sejak remaja (Frensch dkk., 2007; Lawford dkk., 2005; Soucie dkk., 2018). Ketiga, emerging adults perlu didorong agar mampu mengembangkan hubungan yang erat dengan teman sebaya (Mackinnon dkk., 2016).

Selain itu, penulis juga berpandangan bahwa kebijakan publik perlu diarahkan untuk membina generasi muda yang generatif. Salah satunya yakni dengan menyediakan dan menghidupkan berbagai organisasi dengan misi generatif yang dapat memberdayakan keterlibatan remaja dan emerging adults. Hal ini sangatlah penting untuk dilakukan. Pasalnya, generasi muda yang generatif merupakan kunci dari kesiapan mereka untuk menjalankan peran sebagai katalisator perubahan.

***

Referensi

Alisat, S., Norris, J. E., Pratt, M. W., Matsuba, M. K., & McAdams, D. P. (2014). Caring for the earth: Generativity as a mediator for the prediction of environmental narratives from identity among activists and nonactivists. Identity, 14(3), 177-194. https://doi.org/10.1080/15283488.2014.921172

Arnett, J. J. (2011). Emerging adulthood(s): The cultural psychology of a new life stage. In L. A. Jensen (Ed.), Briding cultural and developmental approaches to psychology: New syntheses in theory, research, and policy (pp. 255-275). Oxford University Press. 

Buwono, S. B. S., & Patria, B. (2023). Associating anthropogenic disaster with existential terror alters cooperation in social dilemmas. Paper presentation at the 15th Biennial Conference of the Asian Association of Social Psychology, Hong Kong.

Erikson, E. H. (1963). Childhood and society (2nd ed.). WW Norton & Company.

Frensch, K. M., Pratt, M. W., & Norris, J. E. (2007). Foundations of generativity: Personal and family correlates of emerging adults’ generative life-story themes. Journal of research in personality, 41(1), 45-62. https://doi.org/10.1016/j.jrp.2006.01.005

Jia, F., Alisat, S., Soucie, K., & Pratt, M. (2015). Generative concern and environmentalism: A mixed methods longitudinal study of emerging and young adults. Emerging adulthood, 3(5), 306-319. https://doi.org/10.1177/2167696815578338 

Kotre, J. (1984). Outliving the self: Generativity and the interpretation of lives. Johns Hopkins University Press.

Lawford, H., Pratt, M. W., Hunsberger, B., & Mark Pancer, S. (2005). Adolescent generativity: A longitudinal study of two possible contexts for learning concern for future generations. Journal of research on adolescence, 15(3), 261-273. https://doi.org/10.1111/j.1532-7795.2005.00096.x

Mackinnon, S. P., De Pasquale, D., & Pratt, M. W. (2016). Predicting generative concern in young adulthood from narrative intimacy: A 5-year follow-up. Journal of adult development, 23(1), 27-35. https://doi.org/10.1007/s10804-015-9218-1

Matsuba, M. K., Alisat, S., & Pratt, M. W. (2017). Environmental activism in emerging adulthood. In L. M. Padilla-Walker & M. W. Pratt (Eds.), Flourishing in emerging adulthood: Positive development during the third decade of life (pp. 175-201). Oxford University Press.

McAdams, D. P. (2001). Generativity in midlife. In M. Lachman (Ed.), Handbook of midlife development (pp. 395-443). Wiley.

McAdams, D. P. (2019). The emergence of personality. In D. P. McAdams, R. L. Shiner, & J. L. Tackett (Eds.), Handbook of personality development (pp. 3-19). Guilford Press.

McAdams, D. P., & de St. Aubin, E. (1992). A theory of generativity and its assessment through self-report, behavioral acts, and narrative themes in autobiography. Journal of Personality and Social Psychology, 62(6), 1003. https://doi.org/10.1037/0022-3514.62.6.1003

Pratt, M. W., & Lawford, H. L. (2014). Early generativity and types of civic engagement in adolescence and emerging adulthood. In L. M. Padilla-Walker & G. Carlo (Eds.), Prosocial development: A multidimensional approach (pp. 410-436). Oxford University Press. https://doi.org/10.1093/acprof:oso/9780199964772.003.0020

Soucie, K. M., Jia, F., Zhu, N., & Pratt, M. W. (2018). The codevelopment of community involvement and generative concern pathways in emerging and young adulthood. Developmental psychology, 54(10), 1971-1976. https://doi.org/10.1037/dev0000563

123…10

Recent Posts

  • Mendidik Anak dengan Bahasa Cinta
  • Eco-Conscious Parenting: Menumbuhkan Praktik Berkelanjutan pada Perkembangan Anak
  • Memahami Pendidikan untuk Pembangunan Berkelanjutan di Kedai Kopi
  • Membangun Kembali Kegembiraan: Pentingnya Bermain Bagi Kesejahteraan Mental Bagi Masyarakat
  • Keterlibatan Ayah pada Pengasuhan Anak Usia Dini
Universitas Gadjah Mada

Center for Life-Span Development (CLSD)
D-602, Fakultas Psikologi, Universitas Gadjah Mada
Jalan Sosio Humaniora Bulaksumur, Yogyakarta, Indonesia 55281
clsd.psikologi@ugm.ac.id

© Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY

[EN] We use cookies to help our viewer get the best experience on our website. -- [ID] Kami menggunakan cookie untuk membantu pengunjung kami mendapatkan pengalaman terbaik di situs web kami.I Agree / Saya Setuju