• Home
  • About Us
    • Managing Team
    • Researchers
    • Interns
    • Associates
  • Articles
  • Courses
  • Activities
    • CLSD Reader’s Club
    • Research of Baby Screening
    • COMPRE Class
    • Summer Course
    • Photovoice
    • SAELA
    • Community Service
  • Research & Publication
Universitas Gadjah Mada Center for Life-Span Development (CLSD)
Faculty of Psychology
Universitas Gadjah Mada
  • Home
  • About Us
    • Managing Team
    • Researchers
    • Interns
    • Associates
  • Articles
  • Courses
  • Activities
    • CLSD Reader’s Club
    • Research of Baby Screening
    • COMPRE Class
    • Summer Course
    • Photovoice
    • SAELA
    • Community Service
  • Research & Publication
  • Beranda
  • Parenting
  • Parenting
Arsip:

Parenting

Mendidik Anak dengan Bahasa Cinta

ArtikelArtikel Wednesday, 21 May 2025

Oleh: Fitria | Penyunting: Muhammad Ikbal Wahyu Sukron, S.Psi., M.A.

“By speaking your childs’s own love language, you can fill his “emotional tank” with love. When your child feels loved, he is much easier to discipline and train than when his “emotional tank” is running near empty.”

Kutipan di atas merupakan potongan tulisan dari Gary Chapman dan Ross Campbell dalam bukunya yang berjudul The 5 Love Languages of Children. Kutipan tersebut menjelaskan bahwa setiap anak memiliki caranya sendiri untuk merasakan cinta melalui bahasa cinta yang mereka miliki. Ketika orang tua berkomunikasi dengan menggunakan bahasa cinta yang anak miliki, anak akan merasa dihargai dan dicintai. Perasaan dicintai ini dapat dianalogikan sebagai “tangki emosional”. Ketika tangki emosional ini terisi penuh, maka akan lebih mudah untuk mendisiplinkan anak. Sebaliknya, jika anak merasa kurang dicintai, “tangki emosional”-nya akan kosong dan cenderung lebih sulit untuk menerapkan kedisiplinan pada mereka.

Konsep bahasa cinta pertama kali diperkenalkan oleh Gary Chapman pada tahun 1992. Chapman mendefinisikan bahasa cinta sebagai bentuk dari ekspresi perilaku yang sifatnya spesifik. Chapman dan Campbell (2015) kemudian membagi bahasa cinta menjadi lima bentuk, yaitu: kata-kata penegasan (words of affirmation), waktu berkualitas (quality time), pemberian hadiah (receiving gifts), tindakan melayani (acts of service), dan sentuhan fisik (physical touch). Bahasa cinta ini kemudian menjadi sebuah konsep yang menarik di masyarakat, karena bahasa cinta mengisyaratkan bahwa hubungan yang langgeng akan terwujud ketika seseorang mengungkapkan cinta sesuai dengan bahasa cinta mereka (Impett dkk., 2024).

 Frasa bahasa cinta seringkali dianggap sebagai istilah populer dalam psikologi. Namun, sebuah artikel ilmiah yang ditulis oleh Bülow (2023) menjelaskan bahwa bahasa cinta merupakan konsep yang telah divalidasi secara ilmiah dan dapat membantu individu dalam memahami diri mereka dengan lebih baik lagi. Kondisi ilmiah ini dapat dilihat dari keterkaitan bahasa cinta dengan neurobiologi, yang memperlihatkan bahwa kondisi otak dan tubuh manusia berbeda satu sama lain tergantung bahasa cinta yang paling sesuai dengan diri mereka (Bülow, 2023). Selain itu, bahasa cinta juga memiliki impilikasi terhadap kondisi kesehatan mental, misalnya terkait relasi antara orang tua dengan anak.

Sebuah studi yang dilakukan oleh Maximo dkk. (2016) menunjukkan bahwa orang tua yang membesarkan anak-anaknya dengan penuh kasih sayang, maka akan membuat anak tumbuh menjadi individu yang tangguh (resilience) di kemudian hari. Orang tua berperan penting dalam membantu anak membangun ketangguhan diri mereka. Dalam konteks ini, tiga bahasa cinta yang berperan adalah waktu yang berkualitas, kata-kata penegasan, dan tindakan melayani. Ketiga bahasa cinta ini akan memberikan dukungan emosional, motivasi, dan bantuan praktis yang diberikan oleh orang tua kepada anak-anaknya (Maximo dkk., 2016). 

Orang tua berperan penting dalam menerapkan bahasa cinta di rumah, sementara di sekolah, guru yang menggantikan peran tersebut selama proses belajar. Hal ini tentu menjadi tantangan tersendiri bagi guru maupun sekolah sebagai bagian dari sistem pendidikan yang berkualitas bagi anak. Sementara itu, Indonesia sendiri masih menghadapi tantangan yang cukup besar dalam menyediakan pendidikan bagi tenaga pendidik yang mampu memberikan pengajaran berkualitas kepada setiap siswa (OECD, 2015). Kualitas dalam hal ini tidak hanya dilihat dalam hal akademik, tetapi juga bagaimana anak-anak dapat memperoleh pendidikan yang berkualitas dalam membangun karakter mereka. 

Bahasa cinta memiliki keterkaitan yang erat dalam menumbuhkan empati pada anak melalui interaksi yang hangat di sekolah. Ketika guru berusaha memperkenalkan bahasa cinta dan berupaya untuk memberikan kasih sayang kepada anak sesuai dengan bahasa cintanya, sebenarnya guru sedang mengajarkan empati pada anak. Empati dalam hal ini dapat dilihat dari upaya guru dalam memahami dan turut merasakan kebutuhan emosional siswanya. Empati tidak hanya membentuk karakter anak, tetapi berperan dalam membangun kecerdasan moral anak (Borba, 2002).

Pendidikan karakter anak menjadi bagian penting dalam proses membangun pendidikan yang berkualitas. Kondisi ini tidak hanya menjadi jalan untuk mengembangkan moral dan etika pada diri anak, tetapi juga mempersiapkan mereka agar mampu menjalani kehidupan sosial di masa kini maupun masa depan. Hal ini sejalan dengan Sustain Development Goal (SDG) 4 di mana Indonesia diharapkan dapat menciptakan pendidikan yang berkualitas. Lebih lanjut, tujuan ini diharapkan dapat terealisasi dalam point target 4.2) akses yang sama terhadap pendidikan anak usia dini yang berkualitas; dan target 4.C) meningkatkan pasokan guru yang berkualitas di negara-negara berkembang.  Untuk mencapai tujuan ini, guru perlu menerapkan pendekatan yang mendukung, misalnya melalui pengenalan bahasa cinta dalam pendidikan karakter. Memperkenalkan bahasa cinta pada anak dapat menjadi salah satu upaya yang dilakukan oleh guru dalam mendidik karakter pada anak sehingga mereka dapat tumbuh dengan penuh kasih sayang dan berdampak pada kualitas pendidikan yang lebih baik. Kondisi ini akan menciptakan iklim pembelajaran yang lebih hangat karena guru dianggap sebagai sosok yang menyayangi sehingga “tangki emosional” anak pun terpenuhi dengan cinta. Sebuah studi yang dilakukan oleh Parker dan Sudibyo (2024) menunjukkan bahwa ketidakhadiran guru yang baik hati, murah hati, serta membantu siswanya dapat menjadi salah satu penyebab mengapa generasi muda meninggalkan bangku sekolah lebih awal. Oleh karena itu, penerapan bahasa cinta dalam proses belajar penting untuk dilakukan, karena anak akan merasa dihargai keberadaannya dan membantu dalam menciptakan lingkungan belajar yang positif.

Referensi

Borba, M. (2002). Building moral intelligence: The seven essential virtues that teach kids to do the right thing. Jossey-Bass.

Bülow, P. (2023) Love languages: The science and your mental health. Journal of Science, Humanities, and Arts. 10(3).

Chapman, G., & Campbell, R. (2015). The 5 love languages of children. Northfield.

Impett, E. A., Park, H. G., & Muise, A. (2024). Popular psychology through a scientific lens: evaluating love languages from a relationship science perspective. Current Directions in Psychological Science, 33(2), 87-92. DOI: https://doi.org/10.1177/09637214231217663.

Maximo, S. I., & Carranza, J. S. (2016). Parental attachment and love language as determinants of resilience among graduating university students. Sage Open, 6(1). DOI: https://doi.org/10.1177/2158244015622800.

Parker, L., & Sudibyo, L. (2022). Why young people leave school early in Papua, Indonesia, and education policy options to address this problem. Compare: A Journal of Comparative and International Education, 54(1), 146–162. https://doi.org/10.1080/03057925.2022.2084037.

OECD/Asian Development Bank. (2015). Education in Indonesia: Rising to the challenge. OECD Publishing. DOI: http://dx.doi.org/10.1787/9789264230750-en.

Keterlibatan Ayah pada Pengasuhan Anak Usia Dini

ArtikelArtikel Friday, 21 February 2025

Oleh: Nur Diana Indrawati | Penyunting: Muhammad Ikbal Wahyu Sukron, S.Psi., M.A.

Akhir-akhir ini, jagat media sosial Indonesia sedang gandrung dengan edukasi pengasuhan anak. Menjamurnya akun media sosial tentang edukasi pengasuhan, seperti Tentang Anak, Parentalk.id, Rabbitholeid, dan Momscorner menjadikan ilmu pengasuhan semakin terjangkau bagi semua lapisan masyarakat. Salah satu topik yang sering dibahas akhir-akhir ini adalah mengenai perkembangan anak usia dini. Menjadi orang tua tidak dimulai ketika seorang anak lahir di dunia, tapi dimulai ketika perencanaan kehamilan. Fase kehamilan sampai fase anak usia dini merupakan dasar yang akan menjadi penentu keterampilan dan pembelajaran pada fase berikutnya sampai anak tumbuh dewasa, sehingga permasalahan perkembangan yang dialami pada fase usia dini akan memiliki efek multigenereasi (Black dkk., 2017).


UNICEF (2007) menyatakan bahwa perkembangan anak usia dini merupakan perkembangan dari fase prenatal sampai ke transisi menuju sekolah dasar (usia 7 tahun). Gupta dan Raut (2016) menambahkan bahwa 1000 hari pertama kehidupan merupakan masa yang paling krusial dalam perkembangan anak. Pengasuhan yang responsif dan nutrisi yang tercukupi pada 1000 hari pertama merupakan hal vital yang akan menentukan kesehatan dan kesejahteraan psikologis pada masa yang akan datang (Gupta & Raut, 2016). Menurut Black dkk. (2017), faktor yang mempengaruhi anak untuk mencapai potensi maksimal pada perkembangannya antara lain kesehatan, gizi, rasa aman, pengasuhan yang responsif dan pembelajaran sejak dini. Hal tersebut, salah satunya, bisa dipenuhi dengan memaksimalkan keterlibatan ayah dalam proses pengasuhan anak, yang akan berpengaruh positif pada perkembangan kognitif, bahasa, serta perilaku dan regulasi emosi pada anak (Wang dkk., 2022).


Sayangnya, beberapa penelitian menunjukkan bahwa keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak di beberapa negara berkembang masih rendah. Contohnya di pedesaan Pakistan, hanya sedikit ayah yang meluangkan waktu untuk bermain fisik dengan anak dan terlibat dalam pengasuhan anak (Maselko dkk., 2019). Selanjutnya pada penelitian yang dilakukan di 69 negara, ditemukan bahwa ibu melakukan aktivitas stimulasi pada anak usia dini jauh lebih banyak dibandingkan dengan ayah; bahkan ketika dibandingkan dengan orang dewasa lain yang berada di rumah, ayah ditemukan melakukan pengasuhan dengan porsi yang lebih sedikit (Evans & Jakiela, 2024).


Terdapat beberapa faktor penyebab kurangnya keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak usia dini, antara lain keterbatasan waktu di rumah, kurangnya pengetahuan terkait pengasuhan, serta sikap terhadap gender, seperti menganggap bahwa tugas mengasuh anak adalah tugas perempuan bukan laki-laki (Jeong dkk., 2023). Faktor lain yang memengaruhi keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak usia dini, yaitu keyakinan peran mereka (sebagai ayah, suami, atau pencari nafkah), gejala depresif yang dimiliki oleh ayah, kondisi temperamen anak, gender anak serta faktor sosio demografis, seperti ekonomi dan status pendidikan orang tua (Planalp & Braungart-Rieke, 2016).


Beberapa aktivitas yang bisa dilakukan ayah untuk meningkatkan keterlibatan pengasuhan anak usia dini berupa aktivitas didaktik, seperti menyanyi, membaca, bercerita, dan bermain bersama anak (Wang dkk., 2022). Hofferth (2003) menjelaskan bentuk keterlibatan ayah dalam pengasuhan dengan empat domain, yaitu waktu yang dihabiskan bersama anak, kehangatan (contohnya frekuensi memeluk anak dan memberi tahu anak bahwa mereka mencintainya), kontrol dan pengawasan (seperti penerapan aturan tentang kegiatan seperti makan dan belajar), serta tanggung jawab, yaitu sejauh mana orang tua, baik ayah maupun ibu, melakukan tugas memandikan anak, mendisiplinkan anak, mengantar anak, membeli pakaian untuk anak, dan bermain dengan anak.


Sejauh ini, dibandingkan intervensi yang diberikan kepada Ibu, intervensi untuk meningkatkan keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak usia dini masih terbatas. Beberapa penelitian yang mengidentifikasi intervensi untuk meningkatkan keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak usia dini, antara lain edukasi tentang perawatan pada bayi, memberi makan bayi, merawat ibu, serta memberikan dorongan dan dukungan terhadap praktik menyusui yang diberikan pada ayah bayi yang baru lahir di Kenya dapat meningkatkan pengetahuan para ayah (Dinga, 2019). Selanjutnya program COACHES (The Coaching Our Acting Out Children: Heightening Essential Skills), yaitu sebuah pelatihan tentang strategi pengasuhan yang diberikan selama enam minggu dan berhasil meningkatkan kalimat pujian dan menurunkan komunikasi negatif pada ayah yang memiliki anak dengan gangguan ADHD (Fabiano dkk., 2021).


Di Indonesia, salah satu gerakan keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak usia dini yang cukup masif adalah penggalakan program Ayah ASI yang diprakarsai oleh Shafiq Pontoh dan delapan ayah baru lain pada tahun 2011. Bentuk program dari gerakan ini antara lain edukasi, pusat pertolongan, dan juga media promosi mengenai keterlibatan ayah dalam proses menyusui (Riski, 2017). Gerakan tersebut diinisiasi oleh kegelisahan para pendiri akan minimnya pengetahuan mereka sebagai ayah bagi bayi mereka yang baru lahir.


Kegelisahan seperti ini yang perlu kita perhatikan bersama untuk memunculkan gerakan yang dapat meningkatkan keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak usia dini. Ayah seringkali berpikir bahwa tugas utamanya adalah mencari nafkah untuk keluarga. Namun tanpa disadari, pola pikir tersebut yang menjadikan mereka berpikir bahwa mengasuh anak merupakan tugas utama ibu. Di sisi lain, ibu juga jarang memberikan kesempatan bagi Ayah untuk terlibat dalam pengasuhan anak.


Proses pengasuhan yang optimal pada anak usia dini akan menentukan keberhasilan proses perkembangannya sampai usia dewasa. Dibutuhkan peran maksimal ayah dan ibu untuk menunjang keberhasilan pengasuhan anak usia dini. Beberapa faktor penyebab kurangnya keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak usia dini, antara lain karena kurangnya pengetahuan terkait pengasuhan, keyakinan terhadap peranan mereka, sikap terhadap gender, serta minimnya kesempatan yang diberikan pada ayah untuk terlibat dalam pengasuhan anak dini. Dengan demikian, penting bagi para ayah untuk meningkatkan pengetahuan terkait pengasuhan anak usia dini mengingat pentingnya peran ayah dalam pengasuhan anak usia dini.

Daftar Pustaka
Black, M. M., Walker, S. P., Fernald, L. C. H., Andersen, C. T., DiGirolamo, A. M., Lu, C., McCoy, D. C., Fink, G., Shawar, Y. R., Shiffman, J., Devercelli, A. E., Wodon, Q. T., Vargas-Barón, E., & Grantham-McGregor, S. (2017). Early childhood development coming of age: science through the life course. The Lancet, 389(10064), 77–90. https://doi.org/10.1016/S0140-6736(16)31389-7
Dinga, L. A. (2019). Effect of father-targeted nutrition education on feeding practices, nutritional status and morbidity among infants in Kisumu East, Kenya. Jomo Kenyatta University.
Fabiano, G. A., Schatz, N. K., Lupas, K., Gordon, C., Hayes, T., Tower, D., Soto, T. S., Macphee, F., Pelham, W. E., & Hulme, K. (2021). A school-based parenting program for children with attention-deficit/hyperactivity disorder: Impact on paternal caregivers. Journal of School Psychology, 86, 133–150. https://doi.org/10.1016/j.jsp.2021.04.002
Gupta, S., & Raut, A. (2016). Early childhood development: Maximizing the human potential. Frontiers in Social Pediatrics. https://doi.org/10.5005/jp/books/12773
Guswandi, F. A. (2021). School starting age and academic performance: An empirical study in Indonesia. Jurnal Perencanaan Pembangunan: The Indonesian Journal of Development Planning, 5(3), 344–362. https://doi.org/10.36574/jpp.v5i3.218
Herbst, M., & Strawiński, P. (2016). Early effects of an early start: Evidence from lowering the school starting age in Poland. Journal of Policy Modeling, 38(2), 256–271. https://doi.org/10.1016/j.jpolmod.2016.01.004
Hofferth, S. L. (2003). Race/ethnic differences in father involvement in two-parent families: Culture, context, or economy? Journal of Family Issues, 24(2), 185–216. https://doi.org/10.1177/0192513X02250087
Maselko, J., Hagaman, A. K., Bates, L. M., Bhalotra, S., Biroli, P., Gallis, J. A., O’Donnell, K., Sikander, S., Turner, E. L., & Rahman, A. (2019). Father involvement in the first year of life: Associations with maternal mental health and child development outcomes in rural Pakistan. Social Science and Medicine, 237, 112421. https://doi.org/10.1016/j.socscimed.2019.112421
Planalp, E. M., & Braungart-Rieker, J. M. (2016). Evidence from the ECLS-B. J Fam Psychol, 30(1), 135–146. https://doi.org/10.1037/fam0000156.Determinants
Riski, P. (2017). Fathers and Father Involvement in Indonesia : A Pilot Study Exploring the Community of Breastfeed-Supporthing Fathers (Ayah ASI). https://doi.org/10.13140/RG.2.2.10698.79042
Wang, L., Li, H., Dill, S. E., Zhang, S., & Rozelle, S. (2022). Does paternal involvement matter for early childhood development in rural China? Applied Developmental Science, 26(4), 741–765. https://doi.org/10.1080/10888691.2021.1990061

Recent Posts

  • Mendidik Anak dengan Bahasa Cinta
  • Eco-Conscious Parenting: Menumbuhkan Praktik Berkelanjutan pada Perkembangan Anak
  • Memahami Pendidikan untuk Pembangunan Berkelanjutan di Kedai Kopi
  • Membangun Kembali Kegembiraan: Pentingnya Bermain Bagi Kesejahteraan Mental Bagi Masyarakat
  • Keterlibatan Ayah pada Pengasuhan Anak Usia Dini
Universitas Gadjah Mada

Center for Life-Span Development (CLSD)
D-602, Fakultas Psikologi, Universitas Gadjah Mada
Jalan Sosio Humaniora Bulaksumur, Yogyakarta, Indonesia 55281
clsd.psikologi@ugm.ac.id

© Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY

[EN] We use cookies to help our viewer get the best experience on our website. -- [ID] Kami menggunakan cookie untuk membantu pengunjung kami mendapatkan pengalaman terbaik di situs web kami.I Agree / Saya Setuju