Sedang Mengalami Life Crisis? Yuk, Terapkan Strategi Ini!

Oleh: Muhammad Iqbal Fakhrul Firdaus | Penyunting: Rahma Ayuningtyas Fachrunisa, S.Psi., M.Psi., Psikolog

Setiap tahap kehidupan membawa krisis atau tantangan yang khas, yang sering disebut sebagai life crisis. Krisis tersebut bukan sekadar hambatan, tetapi bagian penting dalam perkembangan untuk mencapai kesejahteraan psikologis dan sosial. Mulai dari masa kanak-kanak hingga usia lanjut, setiap tahap membutuhkan strategi tertentu agar individu mampu menjalani hidup dengan lebih bermakna.

Pada masa kanak-kanak, krisis utama yang dihadapi adalah pengembangan rasa trust (kepercayaan) versus mistrust (ketidakpercayaan), seperti yang dikemukakan Erik Erikson dalam teori perkembangan psikososialnya. Pengasuhan yang penuh kasih membentuk rasa percaya terhadap dunia sekitar. Sebaliknya, pengasuhan yang tidak konsisten dapat menimbulkan ketidakpercayaan yang mempengaruhi hubungan sosial anak di masa depan (Khairani & Maemonah, 2021).

Masa remaja merupakan tahap yang sarat dengan eksplorasi identitas diri, dengan krisis yang dikenal sebagai identity vs role confusion (identitas vs kebingungan peran). Remaja mencari nilai, minat, dan tujuan hidup yang sesuai dengan jati diri mereka. Tantangan dalam tahap tersebut seringkali melibatkan tekanan dari keluarga, teman, dan masyarakat yang mengharuskan mereka menentukan arah hidup. Dukungan dari orang tua dan lingkungan, seperti pengasuhan fleksibel dan suportif sangat penting agar remaja dapat bereksplorasi dengan aman serta menemukan identitas yang stabil (Rageliene, 2016). Para pendidik juga memiliki peran besar dalam memfasilitasi pemahaman akan berbagai pilihan hidup, memberikan ruang untuk diskusi terbuka, dan mendukung minat remaja agar mereka tidak terjebak dalam kebingungan identitas yang berkepanjangan (Sadowski, 2021).

Memasuki masa dewasa awal, krisis yang dihadapi adalah intimacy vs isolation (keintiman vs isolasi), di mana individu berusaha membangun hubungan dekat yang bermakna. Ketakutan akan kegagalan dalam hubungan dapat menyebabkan kesepian. Oleh sebab itu, pengembangan keterampilan komunikasi yang efektif menjadi penting agar individu dapat mengekspresikan perasaan dan kebutuhan mereka dengan jelas (Rosenberg & Chopra, 2015). Komunikasi yang baik mencakup mendengarkan secara aktif dan berbicara dengan asertif. Selain itu, keterampilan mengelola batas dalam hubungan seperti kemampuan untuk berkata “tidak” ketika dibutuhkan membantu menjaga keseimbangan antara kebutuhan pribadi dan kepentingan orang lain. Keterlibatan dalam komunitas suportif juga dapat memberikan jaringan sosial yang penting dan meningkatkan kepercayaan diri individu dalam berinteraksi dengan orang lain (Baldwin, 2015).

Masa paruh baya atau seringkali dikenal sebagai masa untuk berkontribusi atau generativity ditandai dengan kebutuhan untuk merasa produktif melalui peran seperti mentor, pengasuhan, atau kegiatan sosial. Apabila gagal mencapai perasaan produktif tersebut, seseorang dapat mengalami stagnation atau perasaan mandek. Strategi untuk menghadapi krisis tersebut adalah dengan mencari dan mengejar kegiatan bermakna, baik di tempat kerja maupun kehidupan pribadi. Berkontribusi pada masyarakat melalui peran-peran tersebut dapat meningkatkan kepuasan hidup dan kesejahteraan psikologis individu (Klein et al., 2016).

Pada usia lanjut, krisis yang muncul adalah integrity vs despair (integritas vs keputusasaan), yang melibatkan refleksi atas kehidupan. Individu yang merasa telah menjalani hidup dengan bermakna cenderung mencapai rasa integritas, sedangkan mereka yang menyesali hidupnya akan mengalami keputusasaan. Untuk menghadapi krisis tersebut, penting bagi lansia untuk melakukan refleksi mendalam atas pencapaian dan kegagalan, serta menerima apa yang telah mereka lalui. Menjaga hubungan sosial yang positif, tetap aktif dalam kegiatan yang bermakna, dan mengembangkan hobi juga berperan dalam menjaga kesejahteraan di usia lanjut (Rhoades, 2018).

Krisis kehidupan seringkali dianggap sebagai saat-saat sulit, namun sebenarnya dapat menjadi momen penting bagi pertumbuhan diri. Setiap tahap perkembangan menuntut individu untuk menghadapi tantangan tertentu yang apabila berhasil dilalui dapat membawa kematangan emosional dan psikologis yang lebih mendalam. Pemahaman yang baik tentang krisis yang khas di setiap tahap kehidupan dapat membantu individu dan lingkungan sekitar untuk mempersiapkan diri dengan lebih baik, serta memberikan dukungan yang dibutuhkan. Sebagai contoh, pemahaman orang tua tentang krisis identitas remaja memungkinkan mereka untuk memberikan ruang dan bimbingan yang dibutuhkan, sehingga remaja dapat mengeksplorasi identitasnya tanpa tekanan yang berlebihan (Layland et al., 2018).

Lebih jauh lagi, lingkungan sosial yang sehat dan suportif memainkan peran penting dalam membantu individu mengatasi krisis kehidupan. Lingkungan yang inklusif, penuh empati, dan terbuka akan memfasilitasi proses penemuan jati diri serta mendorong pencapaian tujuan hidup yang bermakna. Dengan adanya dukungan dari orang-orang di sekitar seperti keluarga, teman, dan komunitas, individu dapat merasakan kebersamaan yang memperkuat mental serta emosional mereka. Pada akhirnya, dengan strategi dan dukungan yang tepat, krisis yang dihadapi bukan hanya menjadi beban, tetapi peluang untuk tumbuh dan menemukan makna dalam setiap tahapan hidup.

Secara keseluruhan, krisis kehidupan di setiap tahap perkembangan merupakan bagian alami dari perjalanan hidup yang menawarkan kesempatan untuk tumbuh. Meskipun terasa berat, krisis tersebut memungkinkan individu mencapai kehidupan yang lebih bermakna dan sehat. Dengan dukungan sosial, refleksi diri, dan keterlibatan dalam kegiatan positif, individu dapat mengatasi berbagai tantangan di tiap tahap kehidupan.

Referensi

Baldwin, G. (2015). Volunteer engagement 2.0: Ideas and insights changing the world. John Wiley & Sons.

Layland, E. K., Hill, B. J., & Nelson, L. J. (2018). Freedom to explore the self: How emerging adults use leisure to develop identity. The Journal of Positive Psychology13(1), 78-91.

Khairani, & Maemonah. (2021). The nature of psychosocial development in early childhood according to Erik Erikson’s view. Jurnal Kajian Gender dan Anak, 5(2), 151–161.

Klein, C., Keller, B., Silver, C. F., Hood, R. W., & Streib, H. (2016). Positive adult development and “spirituality”: Psychological well-being, generativity, and emotional stability. In Semantics and psychology of spirituality: A cross-cultural analysis (pp. 401–436). Springer.

Locher, M. A. (2015). “After all, the last thing I wanted to be was rude”: Raising of pragmatic awareness through reflective writing. De Gruyter.

Rageliene, T. (2016). Links of adolescents identity development and relationship with peers: A systematic literature review. Journal of the Canadian Academy of Child and Adolescent Psychiatry, 25(2), 97.

Rhoades, R. A. (2018). Aging well: Staying younger, smarter, and fit. First Edition Design Publisher.

Rosenberg, M. B., & Chopra, D. (2015). Nonviolent communication: A language of life: Life-changing tools for healthy relationships. PuddleDancer Press.Sadowski, M. (2021). Adolescents at school: Perspectives on youth, identity, and education. Harvard Education Press.