• Home
  • About Us
    • Managing Team
    • Researchers
    • Interns
    • Associates
  • Articles
  • Courses
  • Activities
    • CLSD Reader’s Club
    • Research of Baby Screening
    • COMPRE Class
    • Summer Course
    • Photovoice
    • SAELA
    • Community Service
  • Research & Publication
Universitas Gadjah Mada Center for Life-Span Development (CLSD)
Faculty of Psychology
Universitas Gadjah Mada
  • Home
  • About Us
    • Managing Team
    • Researchers
    • Interns
    • Associates
  • Articles
  • Courses
  • Activities
    • CLSD Reader’s Club
    • Research of Baby Screening
    • COMPRE Class
    • Summer Course
    • Photovoice
    • SAELA
    • Community Service
  • Research & Publication
  • Beranda
  • Artikel Populer
  • Artikel Populer
Arsip:

Artikel Populer

Eco-Conscious Parenting: Menumbuhkan Praktik Berkelanjutan pada Perkembangan Anak

ArtikelArtikel Thursday, 8 May 2025

Oleh: Arifatul Alawiyah | Penyunting: Fakhirah Inayaturrobbani S.Psi, M.A

Saat ini, komitmen kuat dalam menjaga keberlanjutan lingkungan mulai menjadi sebuah trend dalam tatanan masyarakat yang tercermin pada berbagai aspek kehidupan. Tidak terbatas pada kebijakan pemerintah maupun aksi global, peningkatan kepedulian terhadap isu lingkungan terjadi di berbagai lapisan masyarakat, termasuk dalam komunitas keluarga. Tekanan dari budaya konsumsi global serta kesadaran akan risiko lingkungan mendorong terjadinya perubahan dalam praktik pangasuhan secara luas (Shrum dkk., 2023). Sebagai bagian dari upaya membentuk generasi yang lebih peduli terhadap keberlanjutan, banyak keluarga mulai beralih untuk menerapkan konsep baru terkait pola asuh yang disebut eco-conscious parenting.

Eco-conscious parenting muncul sebagai suatu konsep penting yang menawarkan pendekatan pengasuhan modern yang memperhatikan keseimbangan antara aspek perkembangan anak yang sehat dan kelestarian lingkungan. Sebuah penelitian membuktikan efektifitas praktik keluarga yang menerapkan gaya hidup ramah lingkungan secara signifikan berkontribusi terhadap pola konsumsi energi yang lebih bijaksana (Wang dkk., 2022). Pada pola asuh ini, orangtua tidak hanya menjalankan gaya hidup berkelanjutan, tetapi juga melibatkan anak dalam praktik-praktik kegiatan berkelanjutan seperti mengurangi penggunaan plastik, mempromosikan daur ulang, menggunakan produk organik, dan memperkenalkan kegiatan berbasis alam sejak usia dini (Hosany dkk., 2022). Penelitian juga menunjukkan bahwa eco-conscious parenting mampu mendorong anak-anak untuk lebih memahami hubungannya dengan alam dan menyadarkan pentingnya menjaga sumber daya alam demi masa depan yang lebih aman dan sehat (Auriffeille & Fleming, 2022; Shrum dkk., 2023). 

Lebih dari sekedar gaya hidup, pendekatan eco-conscious parenting ternyata mampu membentuk nilai-nilai dasar keluarga seperti tanggung jawab, empati, dan kesadaran sosial. Proses modeling dan melibatkan anak dalam kegiatan peduli lingkungan memungkinkan anak untuk menginternalisasi nilai, mengasah sensitivitas terhadap isu, dan membiasakan anak untuk mempertimbangkan aspek lingkungan dalam setiap pengambilan keputusan di masa depan (Barreto dkk., 2014). Sebuah penelitian menunjukkan bahwa anak yang terlibat dalam kegiatan peduli lingkungan cenderung akan memiliki pemahaman yang lebih baik terhadap dampak lingkungan dan merasa lebih bertanggung jawab terhadap keberlanjutan (UNICEF, 2024). Selain itu, aspek keterhubungan antara manusia-alam dalam konsep ini mampu meningkatkan rasa empati anak, baik terhadap sesama manusia maupun makhluk hidup lainnya, sehingga memperluas kemampuan anak untuk lebih peduli dan mampu bekerja sama (Hosany dkk., 2022). Kesadaran sosial juga mampu tercipta ketika anak mulai memahami implikasi global dari perilaku lokal terhadap ekosistem dunia. Tidak hanya membuat anak lebih berwawasan luas, pendekatan ini juga mampu memperkuat karakter anak yang lebih peduli pada kebutuhan masyarakat dan lingkungan (UNICEF, 2024).

Disisi lain, perkembangan penelitian juga telah menunjukkan kontribusi konsep eco-conscious parenting dalam mendukung kesejahteraan psikologis orangtua maupun anak. Perasaan berkontribusi positif terhadap kondisi lingkungan global dari praktik berkelanjutan mengakibatkan adanya perasaan terpenuhi dan cenderung kurang cemas orangtua (Kaligis dkk., 2024). Selain itu, penelitian menunjukkan bahwa anak yang terlibat dalam kegiatan berbasis alam, seperti berkebun atau eksplorasi alam bebas, memiliki tingkat stres yang lebih rendah, peningkatan kebahagiaan,  dan perkembangan kognitif yang lebih baik (Arola dkk., 2023). Merujuk pada teori restorative environment oleh Kaplan (dalam Liu dkk., 2024), interaksi dengan alam memberikan efek pemulihan psikologis yang kuat melalui sensasi pengalaman menenangkan dan pemulihan perhatian yang lelah akibat stress. Melalui eco-conscious parenting, interaksi positif orangtua-anak memperbesar terciptanya pengalaman bermakna yang positif sehingga berupa aktivitas menjaga lingkungan akan mampu menciptakan ikatan emosional yang aman (secure attachment). Adanya interaksi positif yang bermakna tersebut kemudian dapat membantu orangtua-anak mengembangkan kemampuan regulasi emosi yang lebih baik, memperkuat daya tahan mental mereka terhadap stres, serta menghasilkan kesehatan mental yang lebih baik secara keseluruhan (Spence dkk., 2022). 

Meskipun masih menghadapi banyak tantangan, namun potensi pengembangan eco-conscious parenting bukanlah sesuatu yang mustahil di Indonesia. Didukung oleh modal sosial budaya yang ada seperti realitas krisis lingkungan yang mulai terasa dampaknya, adanya nilai-nilai tradisional yang menghargai alam, program edukasi pemerintah, serta kemudahan akses literasi digital mampu berfungsi sebagai landasan yang kuat bagi orang tua untuk menanamkan nilai-nilai keberlanjutan pada anaknya. Untuk memaksimalkan potensi tersebut, diperlukan program edukasi dan motivasi berkelanjutan agar perilaku ramah lingkungan dapat muncul secara konsisten. Penelitian menunjukkan bahwa intervensi seperti kampanye publik dan integrasi edukasi lingkungan di sekolah secara efektif mendorong perilaku pro lingkungan dalam keluarga (Sihvonen dkk., 2024; Stapleton dkk., 2022). Dengan dorongan tepat, Indonesia berpotensi menciptakan generasi baru yang peduli terhadap kelestarian lingkungan dan mewariskan nilai keberlanjutan bagi masa depan.

Berdasarkan penjelasan di atas menunjukkan bahwa melalui aspek pengasuhan, adopsi konsep eco-conscious parenting mampu menjadi investasi yang keberlanjutan dan menjanjikan untuk masa depan. Dalam menghadapi tantangan global terkait krisis iklim yang terjadi, eco-conscious parenting terbukti mampu membekali anak dengan keterampilan dan nilai-nilai yang diperlukan dalam menghadapi tantangan global. Tidak hanya mampu memberikan kontribusi dalam membangun generasi masa depan yang lebih sadar dan bertanggung jawab terhadap isu keberlanjutan lingkungan, penerapan eco-conscious parenting mampu memperkuat fondasi kesejahteraan anak disamping orangtua yang mengimplementasikan konsep tersebut secara praktis di masa kini. Oleh karena itu, promosi eco-conscious parenting kepada publik direkomendasikan dengan target capaian agar mampu menciptakan budaya tatanan keluarga yang responsif dalam menjawab masalah global terkait kesejahteraan keluarga dan keberlanjutan lingkungan.

Referensi

Arola, T., Aulake, M., Ott, A., Lindholm, M., Kouvonen, P., Virtanen, P., & Paloniemi, R. (2023). The impacts of nature connectedness on children’s well-being: Systematic literature review. Journal of Environmental Psychology, 85, 101913. https://doi.org/10.1016/j.jenvp.2022.101913

Auriffeille, D. M., & Fleming, C. (2022). Parenting for Environmental Change. Contexts, 21(1), 26–31. https://doi.org/10.1177/15365042221083007

Barreto, M. L., Szóstek, A., Karapanos, E., Nunes, N. J., Pereira, L., & Quintal, F. (2014). Understanding families’ motivations for sustainable behaviors. Computers in Human Behavior, 40, 6–15. https://doi.org/10.1016/j.chb.2014.07.042

Hosany, A. R. S., Hosany, S., & He, H. (2022). Children sustainable behaviour: A review and research agenda. Journal of Business Research, 147, 236–257. https://doi.org/10.1016/j.jbusres.2022.04.008

Kaligis, F., Wangge, G., Fernando, G., Palguna, I. B. N. A., Pramatirta, B., & Purba, N. V. T. (2024). Breaking the silence: Unveiling the intersection of climate change and youth mental health in Indonesia. Medical Journal of Indonesia, 32(4), 249–253. https://doi.org/10.13181/mji.bc.247147

Liu, Y., Zhang, J., Liu, C., & Yang, Y. (2024). A Review of Attention Restoration Theory: Implications for Designing Restorative Environments. Sustainability, 16(9), Article 9. https://doi.org/10.3390/su16093639

Shrum, T. R., Platt, N. S., Markowitz, E., & Syropoulos, S. (2023). A scoping review of the green parenthood effect on environmental and climate engagement. WIREs Climate Change, 14(2), e818. https://doi.org/10.1002/wcc.818

Sihvonen, P., Lappalainen, R., Herranen, J., & Aksela, M. (2024). Promoting Sustainability Together with Parents in Early Childhood Education. Education Sciences, 14(5), 541. https://doi.org/10.3390/educsci14050541

Spence, R., Kagan, L., Nunn, S., Bailey‐Rodriguez, D., Fisher, H. L., Hosang, G. M., & Bifulco, A. (2022). The moderation effect of secure attachment on the relationship between positive events and wellbeing. Psych Journal, 11(4), 541–549. https://doi.org/10.1002/pchj.546

Stapleton, A., McHugh, L., & Karekla, M. (2022). How to Effectively Promote Eco-Friendly Behaviors: Insights from Contextual Behavioral Science. Sustainability, 14(21), 13887. https://doi.org/10.3390/su142113887

Wang, J., Long, R., Chen, H., & Li, Q. (2022). How do parents and children promote each other? The impact of intergenerational learning on willingness to save energy. Energy Research & Social Science, 87, 102465. https://doi.org/10.1016/j.erss.2021.102465

UNICEF. (2024). Engaging Youth on Climate Change & Environmental Sustainability. India: UNICEF. https://clearinghouse.unicef.org/download-ch-media/43e8c5b0-9a48-4990-95b8-b147d8a066d4

Memahami Pendidikan untuk Pembangunan Berkelanjutan di Kedai Kopi

ArtikelArtikel Monday, 21 April 2025

Oleh: Olyn Silvania | Penyunting: Rahma Ayuningtyas Fachrunisa, S.Psi., M.Psi., Psikolog

Dan Schechtman, seorang peraih penghargaan Nobel pada bidang kimia tahun 2011 pernah berkata, “Pembangunan berkelanjutan membutuhkan kecerdasan manusia, sehingga manusia adalah sumber daya terpenting.” Perkataan tersebut mengarah pada pentingnya mencapai Sustainable Development Goals (SDG-4) Pendidikan yang Berkualitas (SDGS Bappenas, n.d.). Oleh karena itu, pemerintah, institusi pendidikan, organisasi non-pemerintah, pemilik usaha, komunitas, dan influencer perlu berkontribusi dalam menerapkan pendidikan untuk pembangunan berkelanjutan atau education for sustainable development (ESD) (UNESCO, 2024). 

ESD merupakan pendidikan yang mendorong pengetahuan, keterampilan, nilai-nilai, sikap, dan bahkan kemampuan masyarakat agar mampu mengatasi tantangan global seperti perubahan iklim, hilangnya keanekaragaman hayati, penggunaan sumber daya yang tidak berkelanjutan, dan kesenjangan (UNESCO, 2024). ESD adalah proses belajar sepanjang hayat (Segara, 2013), sehingga penerapannya perlu melibatkan 1) Dimensi kognitif yakni meningkatkan kemampuan berpikir dan memahami informasi; 2) Dimensi sosioemosional yakni membangun keterampilan bersosialisasi, berempati, dan kecerdasan emosional; dan 3) Dimensi perilaku yakni mendorong tindakan atau masyarakat yang positif (UNESCO, 2024).

ESD tidak hanya terbatas pada institusi pendidikan, tetapi juga dapat dilakukan di kedai kopi. Data dari Organisasi Kopi Dunia mencatat bahwa Indonesia merupakan produsen kopi terbesar kedua di Asia dan Oseania setelah Vietnam. Dalam rentang tahun 2022 hingga 2023, produksi kopi di Indonesia meningkat sebesar 2,4% (12 juta kantong) (Pressrelease.id, n.d.). Meningkatnya produksi kopi di Indonesia berdampak dengan makin menjamurnya kedai kopi di Indonesia.Sudah bukan rahasia umum lagi bahwa kedai kopi telah menjadi destinasi favorit berbagai kalangan usia, khususnya kaum muda. Hasil survei dari GoodStats (2024) terhadap 1.005 responden yang mayoritas berusia 18-24 tahun (43,7%) menunjukkan bahwa 66% responden di antaranya memilih untuk membeli kopi di kedai kopi daripada menyeduh kopi sendiri (34%). Bagi kaum muda, kedai kopi bukan hanya sekedar tempat untuk menikmati secangkir kopi, tetapi juga menjadi sarana kaum muda melepaskan rasa penat dari rutinitas harian dengan cara bersosialisasi dengan teman sebaya (Maspul, 2024). 

Sebagai salah satu destinasi favorit kaum muda, bisnis kedai kopi memiliki posisi penting dalam mempromosikan ESD kepada kaum muda. Hal ini dikarenakan kaum muda, khususnya mahasiswa dianggap sebagai pihak yang berkepentingan terhadap lingkungan hidup dan pengambil keputusan yang potensial di masa depan (Hamid dkk., 2017; Swaim dkk., 2014), sehingga menjadi kelompok usia yang menjadi fokus utama UNESCO untuk diberdayakan (UNESCO, 2024). Dengan demikian, kedai kopi yang mempromosikan ESD terhadap kaum muda berkontribusi dalam mendukung kaum muda untuk memenuhi tugas perkembangannya sebagai dewasa awal (18-40 tahun) yakni menjadi warga negara yang bertanggungjawab (Hurlock, 2009) dengan mengambil tindakan yang peduli terhadap keberlangsungan planet bumi baik secara individual maupun kolektif Lantas, apa saja yang dapat dilakukan oleh pemilik kedai kopi untuk mempromosikan ESD kepada kaum muda?

Mempromosikan perilaku pro-lingkungan (pro-enviromental behavior) dengan membuat sistem kedai kopi yang ramah lingkungan 

Pemilik kedai kopi dapat mendorong perilaku kaum muda yang positif dengan cara mempromosikan perilaku pro-lingkungan yang merupakan salah satu penerapan gaya hidup berkelanjutan, yakni perilaku manusia yang meminimalkan degradasi lingkungan sembari mendukung pembangunan sosial ekonomi yang adil dan kualitas hidup manusia yang lebih baik (UN Environment Programme. n.d.). 

Promosi perilaku pro-lingkungan dapat dilakukan dengan membuat sistem kedai kopi yang ramah lingkungan, seperti menggunakan lampu LED agar lebih hemat listrik, menyediakan tempat sampah organik dan anorganik, menyajikan minuman dan makanan ke dalam wadah berbahan kaca, menggunakan bahan baku organik, dan menggunakan sedotan yang bisa digunakan kembali, meminimalisir penggunaan pendingin ruangan agar lebih hemat energi, dan bahkan mendesain kedai kopi dengan memanfaatkan bahan alam (Jo dkk., 2019; Maspul dkk., 2024). Selain beberapa cara tersebut, kedai kopi juga menunjukkan apresiasi dengan cara memberikan potongan harga kepada kaum muda yang menunjukkan perilaku yang ramah lingkungan, seperti membawa tumbler sendiri

Memberikan edukasi kepada kaum muda mengenai penerapan perilaku pro-lingkungan 

Pemilik kedai kopi dapat meningkatkan pengetahuan sekaligus kemampuan berpikir dan memahami informasi kaum muda dengan aktif memberikan edukasi. Dalam hal ini, pemilik kedai kopi dapat membagikan informasi melalui workshop, seminar, dan konten edukatif di media sosial mengenai bagaimana membuat konsep atau sistem kedai kopi yang lebih ramah lingkungan, mengelola sampah, mendaur ulang barang yang tidak mudah didaur ulang, dan memilih dan mengelola biji kopi yang organik (Mair & Laing, 2013). Edukasi juga dapat dilakukan dengan diskusi bulanan mengenai isu-isu lingkungan, sehingga kaum muda dapat saling bertukar pikiran dan pendapat. 

Mendorong perilaku altruistik dan perilaku yang setara 

Gaya hidup berkelanjutan bertujuan untuk mempromosikan kesejahteraan umat manusia (Di Fabio, 2017). Oleh karena itu, pendidikan untuk pembangunan berkelanjutan di kedai kopi perlu mengembangkan kemampuan bersosialisasi, berempati, dan kecerdasan emosi pada kaum muda. Pemilik kedai kopi dapat mendorong kaum muda untuk melakukan perilaku altruistik, seperti mengajak kaum muda untuk membeli menu spesial yang dibuat oleh petani kopi lokal, ikut serta dalam kampanye terkait isu lingkungan, dan brdonasi. Selain itu, pemilik kedai kopi juga dapat mengedukasi kaum muda terkait perilaku yang setara, yakni perilaku yang menunjukkan keadilan kepada orang lain, seperti menyediakan fasilitas yang ramah disabilitas, anak-anak, dan ibu hamil (Verdugo, 2012). 

Referensi

Di Fabio, A. (2017). The psychology of sustainability and sustainable development for well being in organizations. Frontiers in Psychology, 8, 1534. https://doi.org/10.3389/fpsyg.2017.01534 

Good Stats. (2024). Hasil survei pola konsumsi kopi orang Indonesia di tahun 2024. Goodstats. 

Hamid S., TahaIjab M., Sulaiman H., Anwar R.M., Norman AA (2017). Social media for environmental sustainability awareness in higher education. Int J Sustain High Educ, 18(4), 474–491

Hurlock, E. B. (2009). Psikologi perkembangan: Suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan. Erlangga. 

Jo, H., Song, C., &  Miyazaki, Y. (2019). Physiological benefits of viewing nature: A systematic review of indoor experiments. International Journal of Environmental Research and Public Health, 16(23), 4739.

Mair, J., & Laing, J. H. (2013). Encouraging pro-environmental behaviour: The role of sustainability-focused events. Journal of Sustainable Tourism, 21(8), 1113-1128.

Maspul, K. A. (2024). Exploring the relationship between coffee shop visitors’ coping strategies and well-being. Jurnal Psikologi, 1 (2), 1-13. https://doi.org/10.47134/pjp.v1i2.2028

Pressrelease.id. (n.d.). Tren industri kopu masa depan: Keberlenjutan bisnis hingga keberlanjutan lingkungan. https://pressrelease.kontan.co.id/news/trend-industri-kopi-masa-depan-keberlanjutan-bisnis-hingga-keberlanjutan-lingkungan

SDGS Bappenas. (n.d.). SDGs 4 Pendidikan berkualitas. Bappenas. Diunduh pada 28 Agustus 2024.  https://sdgs.bappenas.go.id/17-goals/goal-4/

Segara, N., B. (2015). Education  for  sustainable  development (ESD) Sebuah upaya mewujudkan kelestarian lingkungan. SOSIO DIDAKTIKA: Social Science Education Journal, 2(1), 2015, 22-30. https://doi.org/10.15408/sd.v2i1.1349

Swaim J. M. M., Napshin S, & Henley A (2014) Influences on student

intention and behavior toward environmental sustainability.Journal of Business Ethics. 124(3), 465–484

UN Environment Programme (n.d.). Gaya hidup berkelanjutan. UN Envrironment Programme. Diunduh pada 30 Agustus 2024. https://www.unep.org/explore-topics/resource-efficiency/what-we-do/sustainable-lifestyles 

UNESCO. (May 30, 2024). What you need to know about education for sustainable development. UNESCO. https://www.unesco.org/en/sustainable-development/education/need-know?hub=72522 Verdugo, V. (2012). The positive psychology of sustainability. Environment, Development and Sustainability, 14, 651-666. https:/doi.org/10.1007/s10668-012-9346-8

Membangun Kembali Kegembiraan: Pentingnya Bermain Bagi Kesejahteraan Mental Bagi Masyarakat

ArtikelArtikel Thursday, 20 March 2025

Oleh: Lana Savira Kusuma Dewi | Penyunting: Fakhirah Inayaturrobbani S.Psi, M.A

Di tengah percepatan dunia digital, masyarakat modern sering terjebak dalam rutinitas kaku dan tekanan pekerjaan yang tinggi sehingga perlahan kehilangan keseimbangan antara produktivitas dan kebahagiaan (Gupta, 2023). Rutinitas yang kaku serta minimnya ruang untuk bermain dapat memicu stres dan menurunkan kesejahteraan mental (Kirkham et al., 2022)—merujuk pada kesejahteraan emosional, psikologis, dan sosial seseorang yang memengaruhi cara berpikir, berperasaan, dan bertindak dalam menjalani kehidupan (Gautam et al., 2024). Oleh sebab itu, perlu menciptakan masyarakat yang lebih playful. Bukan hanya menambah waktu luang untuk bersenang-senang, tetapi menciptakan keseimbangan antara pekerjaan dan waktu luang. Dengan memberi ruang untuk bermain dalam kehidupan sehari-hari, kita bukan hanya membantu meningkatkan kesehatan mental individu tetapi juga membentuk masyarakat yang lebih sehat, sejahtera, dan bahagia secara keseluruhan. Artikel ini akan membahas pentingnya peran bermain dalam kehidupan sehari-hari, upaya kolektif yang dapat kita lakukan, serta mengapa perubahan ini mendesak untuk meningkatkan kesejahteraan mental.

Meskipun manfaat bermain berkelindan dengan kesehatan mental individu, masyarakat modern sering kali mengabaikan pentingnya aktivitas ini, terutama orang dewasa. Kehidupan yang sangat terstruktur—di mana setiap jam dipenuhi dengan tugas dan tanggung jawab—menyisakan sedikit ruang untuk kegiatan yang hanya dimaksudkan untuk kesenangan. Dalam konteks psikologi perkembangan, bermain tidak hanya relevan bagi anak-anak, tetapi juga memiliki peran signifikan dalam mendukung kesehatan mental dan sosial di setiap tahap kehidupan manusia (Shen & Masek, 2023).

Pada masa bayi dan anak-anak, bermain menjadi sarana utama untuk belajar dan mengeksplorasi dunia. Aktivitas bermain membantu perkembangan kognitif, motorik, dan sosial, seperti yang dijelaskan oleh Piaget (Shakhobiddinovna, 2022). Bermain simbolis, misalnya, mendukung kemampuan anak dalam memecahkan masalah dan memahami perspektif orang lain (Creaghe & Kidd, 2022). Anak-anak yang memiliki akses ke permainan cenderung menunjukkan perkembangan emosi yang lebih stabil dan kemampuan sosial yang lebih baik. 

Saat memasuki masa remaja, bermain berubah menjadi aktivitas yang lebih terstruktur, seperti olahraga atau permainan kelompok. Aktivitas ini membantu remaja mengembangkan identitas, mengelola emosi, dan membangun hubungan sosial yang mendalam (Chasciar, 2024). Bermain juga menjadi cara penting untuk menyalurkan energi dan mengurangi tekanan akademik serta sosial yang sering dialami di usia ini.

Pada masa dewasa, bermain tetap relevan, meskipun sering kali dipandang tidak penting. Bagi orang dewasa, bermain memberikan peluang untuk mengekspresikan diri, membangun koneksi sosial, dan menjaga keseimbangan emosional. Esposito (2023) menyoroti bahwa bermain bagi orang dewasa membantu mengurangi stres, meningkatkan kreativitas, dan memperkuat hubungan interpersonal. Aktivitas seperti permainan rekreasional, olahraga, atau kegiatan seni dapat menjadi cara efektif untuk mendukung kesehatan mental dan mencegah kelelahan emosional.

Bahkan pada tahap lansia, bermain tetap memiliki manfaat yang signifikan. Aktivitas seperti permainan puzzle, olahraga ringan, atau permainan kelompok dapat meningkatkan fungsi kognitif dan memperlambat proses penurunan mental yang berkaitan dengan penuaan (Pitayanti & Umam, 2023). Bermain juga dapat memperkuat hubungan sosial di kalangan lansia, yang membantu mengurangi rasa kesepian dan isolasi.

Dengan memahami peran bermain di setiap tahap perkembangan, kita dapat melihat bahwa bermain bukan hanya aktivitas untuk anak-anak tetapi merupakan kebutuhan mendasar manusia sepanjang hidup. Oleh karena itu, membangun lingkungan yang mendukung aktivitas bermain, baik melalui kebijakan publik, perencanaan kota, maupun perubahan persepsi sosial, merupakan langkah penting untuk mendukung perkembangan manusia secara holistik dan menciptakan masyarakat yang lebih sejahtera.

Untuk mengatasi kurangnya budaya bermain, diperlukan upaya yang terencana dan berbasis kebijakan serta komunitas. Pertama, pemerintah dan institusi dapat mendorong kebijakan yang mendukung waktu bermain, seperti fleksibilitas jam kerja bagi karyawan dan penambahan waktu istirahat untuk siswa di sekolah. Kebijakan ini akan memberikan ruang yang lebih memadai untuk aktivitas non-produktif yang dapat mengurangi stres dan meningkatkan kesejahteraan. Kedua, pengembangan infrastruktur publik menjadi langkah penting. Perencanaan kota harus memasukkan pembangunan taman, fasilitas olahraga, dan ruang publik lainnya yang dirancang untuk mendukung aktivitas bermain yang inklusif dan mendorong interaksi sosial. Ketiga, budaya bermain dapat diperkuat melalui kegiatan yang diintegrasikan dalam kehidupan sehari-hari, seperti tradisi bermain keluarga atau acara permainan berbasis komunitas. Strategi ini memungkinkan aktivitas bermain menjadi bagian yang melekat dalam rutinitas masyarakat. Dengan langkah-langkah yang sistematis ini, kita dapat membangun kembali budaya bermain yang tidak hanya bermanfaat bagi individu tetapi juga mendukung kesejahteraan sosial secara kolektif.

Bermain adalah elemen esensial dalam perjalanan hidup manusia yang mencakup semua tahap perkembangan, dari kanak-kanak hingga usia lanjut. Dalam konteks psikologi perkembangan, bermain tidak hanya menjadi sarana eksplorasi dan pembelajaran, tetapi juga kunci untuk menjaga keseimbangan emosional, memperkuat koneksi sosial, dan meningkatkan kualitas hidup. Namun, perubahan gaya hidup modern yang serba cepat telah menyisihkan peran bermain, menciptakan tekanan yang berdampak buruk pada kesehatan mental dan sosial. Oleh karena itu, mengintegrasikan kembali budaya bermain melalui kebijakan pendukung, infrastruktur publik yang inklusif, dan kebiasaan bermain dalam kehidupan sehari-hari adalah langkah mendesak. Dengan menjadikan bermain sebagai bagian integral dari rutinitas, kita dapat membangun masyarakat yang lebih sehat, bahagia, dan seimbang, sekaligus memastikan kesejahteraan manusia terjaga sepanjang hayat.

Referensi

Chasciar, V. (2024). Improving social competences through sport: an exploration of the educational role of physical activity in adolescent development. Journal Plus Education, 35(1), 130–136. https://doi.org/10.24250/JPE/1/2024/VC/

Creaghe, N., & Kidd, E. (2022). Symbolic play as a zone of proximal development: An analysis of informational exchange. Social Development, 31(4), 1138–1156. https://doi.org/10.1111/SODE.12592

Esposito, E. (2024). Order of play – disorder of the world. Into the Magic Circle, 1(1), 1–8. https://doi.org/10.26116/1HRB-TH63

Gautam, S., Jain, A., Chaudhary, J., Gautam, M., Gaur, M., & Grover, S. (2024). Concept of mental health and mental well-being, it’s determinants and coping strategies. Indian Journal of Psychiatry, 66, S231–S244. https://doi.org/10.4103/INDIANJPSYCHIATRY.INDIANJPSYCHIATRY_707_23

Gupta, R. (2023). Impact of Work on Emotional Well-being : Results of a Survey of NHS Employees from a Minority Ethnic background. Sushruta Journal of Health Policy & Opinion, 15(3), 1–7. https://doi.org/10.38192/15.3.3

Kirkham, E. J., Lawrie, S. M., Crompton, C. J., Iveson, M. H., Jenkins, N. D., Goerdten, J., Beange, I., Chan, S. W. Y., McIntosh, A., & Fletcher-Watson, S. (2022). Experience of clinical services shapes attitudes to mental health data sharing: findings from a UK-wide survey. BMC Public Health, 22(1), 1–12. https://doi.org/10.1186/S12889-022-12694-Z/FIGURES/2

Pitayanti, A., & Umam, F. N. (2023). Efektivitas permainan puzzle  terhadap upaya peningkatan kognitif  pada lansia. Jurnal Penelitian Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Nahdlatul Ulama Tuban, 5(1). https://doi.org/10.47710/JP.V5I1.206

Shakhobiddinovna, R. S. (2024). The importance of play in the mental development of preschool children. International Journal of Advance Scientific Research , 04(04), 84–88. https://sciencebring.com/index.php/ijasr/article/view/725/691

Shen, X., & Masek, L. (2024). The playful mediator, moderator, or outcome? An integrative review of the roles of play and playfulness in adult-centered psychological interventions for mental health. The Journal of Positive Psychology. https://doi.org/10.1080/17439760.2023.2288955

Keterlibatan Ayah pada Pengasuhan Anak Usia Dini

ArtikelArtikel Friday, 21 February 2025

Oleh: Nur Diana Indrawati | Penyunting: Muhammad Ikbal Wahyu Sukron, S.Psi., M.A.

Akhir-akhir ini, jagat media sosial Indonesia sedang gandrung dengan edukasi pengasuhan anak. Menjamurnya akun media sosial tentang edukasi pengasuhan, seperti Tentang Anak, Parentalk.id, Rabbitholeid, dan Momscorner menjadikan ilmu pengasuhan semakin terjangkau bagi semua lapisan masyarakat. Salah satu topik yang sering dibahas akhir-akhir ini adalah mengenai perkembangan anak usia dini. Menjadi orang tua tidak dimulai ketika seorang anak lahir di dunia, tapi dimulai ketika perencanaan kehamilan. Fase kehamilan sampai fase anak usia dini merupakan dasar yang akan menjadi penentu keterampilan dan pembelajaran pada fase berikutnya sampai anak tumbuh dewasa, sehingga permasalahan perkembangan yang dialami pada fase usia dini akan memiliki efek multigenereasi (Black dkk., 2017).


UNICEF (2007) menyatakan bahwa perkembangan anak usia dini merupakan perkembangan dari fase prenatal sampai ke transisi menuju sekolah dasar (usia 7 tahun). Gupta dan Raut (2016) menambahkan bahwa 1000 hari pertama kehidupan merupakan masa yang paling krusial dalam perkembangan anak. Pengasuhan yang responsif dan nutrisi yang tercukupi pada 1000 hari pertama merupakan hal vital yang akan menentukan kesehatan dan kesejahteraan psikologis pada masa yang akan datang (Gupta & Raut, 2016). Menurut Black dkk. (2017), faktor yang mempengaruhi anak untuk mencapai potensi maksimal pada perkembangannya antara lain kesehatan, gizi, rasa aman, pengasuhan yang responsif dan pembelajaran sejak dini. Hal tersebut, salah satunya, bisa dipenuhi dengan memaksimalkan keterlibatan ayah dalam proses pengasuhan anak, yang akan berpengaruh positif pada perkembangan kognitif, bahasa, serta perilaku dan regulasi emosi pada anak (Wang dkk., 2022).


Sayangnya, beberapa penelitian menunjukkan bahwa keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak di beberapa negara berkembang masih rendah. Contohnya di pedesaan Pakistan, hanya sedikit ayah yang meluangkan waktu untuk bermain fisik dengan anak dan terlibat dalam pengasuhan anak (Maselko dkk., 2019). Selanjutnya pada penelitian yang dilakukan di 69 negara, ditemukan bahwa ibu melakukan aktivitas stimulasi pada anak usia dini jauh lebih banyak dibandingkan dengan ayah; bahkan ketika dibandingkan dengan orang dewasa lain yang berada di rumah, ayah ditemukan melakukan pengasuhan dengan porsi yang lebih sedikit (Evans & Jakiela, 2024).


Terdapat beberapa faktor penyebab kurangnya keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak usia dini, antara lain keterbatasan waktu di rumah, kurangnya pengetahuan terkait pengasuhan, serta sikap terhadap gender, seperti menganggap bahwa tugas mengasuh anak adalah tugas perempuan bukan laki-laki (Jeong dkk., 2023). Faktor lain yang memengaruhi keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak usia dini, yaitu keyakinan peran mereka (sebagai ayah, suami, atau pencari nafkah), gejala depresif yang dimiliki oleh ayah, kondisi temperamen anak, gender anak serta faktor sosio demografis, seperti ekonomi dan status pendidikan orang tua (Planalp & Braungart-Rieke, 2016).


Beberapa aktivitas yang bisa dilakukan ayah untuk meningkatkan keterlibatan pengasuhan anak usia dini berupa aktivitas didaktik, seperti menyanyi, membaca, bercerita, dan bermain bersama anak (Wang dkk., 2022). Hofferth (2003) menjelaskan bentuk keterlibatan ayah dalam pengasuhan dengan empat domain, yaitu waktu yang dihabiskan bersama anak, kehangatan (contohnya frekuensi memeluk anak dan memberi tahu anak bahwa mereka mencintainya), kontrol dan pengawasan (seperti penerapan aturan tentang kegiatan seperti makan dan belajar), serta tanggung jawab, yaitu sejauh mana orang tua, baik ayah maupun ibu, melakukan tugas memandikan anak, mendisiplinkan anak, mengantar anak, membeli pakaian untuk anak, dan bermain dengan anak.


Sejauh ini, dibandingkan intervensi yang diberikan kepada Ibu, intervensi untuk meningkatkan keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak usia dini masih terbatas. Beberapa penelitian yang mengidentifikasi intervensi untuk meningkatkan keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak usia dini, antara lain edukasi tentang perawatan pada bayi, memberi makan bayi, merawat ibu, serta memberikan dorongan dan dukungan terhadap praktik menyusui yang diberikan pada ayah bayi yang baru lahir di Kenya dapat meningkatkan pengetahuan para ayah (Dinga, 2019). Selanjutnya program COACHES (The Coaching Our Acting Out Children: Heightening Essential Skills), yaitu sebuah pelatihan tentang strategi pengasuhan yang diberikan selama enam minggu dan berhasil meningkatkan kalimat pujian dan menurunkan komunikasi negatif pada ayah yang memiliki anak dengan gangguan ADHD (Fabiano dkk., 2021).


Di Indonesia, salah satu gerakan keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak usia dini yang cukup masif adalah penggalakan program Ayah ASI yang diprakarsai oleh Shafiq Pontoh dan delapan ayah baru lain pada tahun 2011. Bentuk program dari gerakan ini antara lain edukasi, pusat pertolongan, dan juga media promosi mengenai keterlibatan ayah dalam proses menyusui (Riski, 2017). Gerakan tersebut diinisiasi oleh kegelisahan para pendiri akan minimnya pengetahuan mereka sebagai ayah bagi bayi mereka yang baru lahir.


Kegelisahan seperti ini yang perlu kita perhatikan bersama untuk memunculkan gerakan yang dapat meningkatkan keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak usia dini. Ayah seringkali berpikir bahwa tugas utamanya adalah mencari nafkah untuk keluarga. Namun tanpa disadari, pola pikir tersebut yang menjadikan mereka berpikir bahwa mengasuh anak merupakan tugas utama ibu. Di sisi lain, ibu juga jarang memberikan kesempatan bagi Ayah untuk terlibat dalam pengasuhan anak.


Proses pengasuhan yang optimal pada anak usia dini akan menentukan keberhasilan proses perkembangannya sampai usia dewasa. Dibutuhkan peran maksimal ayah dan ibu untuk menunjang keberhasilan pengasuhan anak usia dini. Beberapa faktor penyebab kurangnya keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak usia dini, antara lain karena kurangnya pengetahuan terkait pengasuhan, keyakinan terhadap peranan mereka, sikap terhadap gender, serta minimnya kesempatan yang diberikan pada ayah untuk terlibat dalam pengasuhan anak dini. Dengan demikian, penting bagi para ayah untuk meningkatkan pengetahuan terkait pengasuhan anak usia dini mengingat pentingnya peran ayah dalam pengasuhan anak usia dini.

Daftar Pustaka
Black, M. M., Walker, S. P., Fernald, L. C. H., Andersen, C. T., DiGirolamo, A. M., Lu, C., McCoy, D. C., Fink, G., Shawar, Y. R., Shiffman, J., Devercelli, A. E., Wodon, Q. T., Vargas-Barón, E., & Grantham-McGregor, S. (2017). Early childhood development coming of age: science through the life course. The Lancet, 389(10064), 77–90. https://doi.org/10.1016/S0140-6736(16)31389-7
Dinga, L. A. (2019). Effect of father-targeted nutrition education on feeding practices, nutritional status and morbidity among infants in Kisumu East, Kenya. Jomo Kenyatta University.
Fabiano, G. A., Schatz, N. K., Lupas, K., Gordon, C., Hayes, T., Tower, D., Soto, T. S., Macphee, F., Pelham, W. E., & Hulme, K. (2021). A school-based parenting program for children with attention-deficit/hyperactivity disorder: Impact on paternal caregivers. Journal of School Psychology, 86, 133–150. https://doi.org/10.1016/j.jsp.2021.04.002
Gupta, S., & Raut, A. (2016). Early childhood development: Maximizing the human potential. Frontiers in Social Pediatrics. https://doi.org/10.5005/jp/books/12773
Guswandi, F. A. (2021). School starting age and academic performance: An empirical study in Indonesia. Jurnal Perencanaan Pembangunan: The Indonesian Journal of Development Planning, 5(3), 344–362. https://doi.org/10.36574/jpp.v5i3.218
Herbst, M., & Strawiński, P. (2016). Early effects of an early start: Evidence from lowering the school starting age in Poland. Journal of Policy Modeling, 38(2), 256–271. https://doi.org/10.1016/j.jpolmod.2016.01.004
Hofferth, S. L. (2003). Race/ethnic differences in father involvement in two-parent families: Culture, context, or economy? Journal of Family Issues, 24(2), 185–216. https://doi.org/10.1177/0192513X02250087
Maselko, J., Hagaman, A. K., Bates, L. M., Bhalotra, S., Biroli, P., Gallis, J. A., O’Donnell, K., Sikander, S., Turner, E. L., & Rahman, A. (2019). Father involvement in the first year of life: Associations with maternal mental health and child development outcomes in rural Pakistan. Social Science and Medicine, 237, 112421. https://doi.org/10.1016/j.socscimed.2019.112421
Planalp, E. M., & Braungart-Rieker, J. M. (2016). Evidence from the ECLS-B. J Fam Psychol, 30(1), 135–146. https://doi.org/10.1037/fam0000156.Determinants
Riski, P. (2017). Fathers and Father Involvement in Indonesia : A Pilot Study Exploring the Community of Breastfeed-Supporthing Fathers (Ayah ASI). https://doi.org/10.13140/RG.2.2.10698.79042
Wang, L., Li, H., Dill, S. E., Zhang, S., & Rozelle, S. (2022). Does paternal involvement matter for early childhood development in rural China? Applied Developmental Science, 26(4), 741–765. https://doi.org/10.1080/10888691.2021.1990061

Positive Peer-group: Pentingnya Memilih Pergaulan pada Masa Remaja

Blog Thursday, 5 September 2024

Penulis: Hanifah Sholihah

Penyunting: Nur Nisrina Hanif Rifda

Fase kehidupan individu yang menginjak masa remaja pada umumnya diperkirakan dimulai sekitar masa pubertas dan berakhir ketika seseorang mencapai tingkat kemandirian seperti orang dewasa. Masa remaja merupakan periode kehidupan pada rentang usia 10 hingga 24 tahun yang ditandai dengan peningkatan kepekaan terhadap rangsangan sosial dan kebutuhan akan interaksi dengan teman sebaya (Orben dkk., 2020). Masa remaja sangat penting bagi perkembangan sosial, yang ditandai oleh semakin pentingnya hubungan teman sebaya dibandingkan dengan keluarga, dan semakin besarnya ketidakstabilan serta kompleksitas hubungan sosial (Crone & Dahl, dalam Somerville, 2013). Masa perkembangan remaja juga mencakup beberapa perubahan psikososial terbesar dan paling dramatis dalam rentang hidup manusia (Rapee dkk., 2019).

Peer-group memainkan peran penting dalam proses eksplorasi dan pengembangan identitas pada masa remaja. Peer-group merupakan kelompok teman sebaya dengan usia yang sama, berteman cukup dekat, dan berbagi aktivitas yang sama (Castrogiovanni, 2002). Status peer-group menjadi semakin penting hingga sering kali menyebabkan individu bersaing untuk mendapatkan perhatian dari kelompok yang berada di puncak tingkatan sosial. Kondisi tersebut berpotensi membuat mereka lebih rentan terhadap konflik peer-group (Meuwese dkk., 2017). Dibandingkan dengan anak-anak, remaja menghabiskan lebih banyak waktu bersama teman sebayanya, sehingga hal tersebut dapat turut memperbesar dampak peer-group terhadap perilaku remaja (Meuwese dkk., dalam  Rapee dkk., 2019). 

Peer-group dapat berperan penting dalam pengambilan keputusan pada masa remaja (Ciranka & van den Bos, 2019). Dalam membuat keputusan biasanya remaja cenderung lebih memilih gaya keputusan yang memuaskan atau berupaya untuk memaksimalkan keuntungan yang didapat (de Jesús Cardona-Isaza, 2022). Mereka bisa lebih rasional, berorientasi pada tindakan atau malah menghindar, dan mandiri atau malah bergantung (Bruine de Bruin dkk., 2015). Dalam proses pengambilan keputusan, remaja juga melibatkan peer-groupnya untuk mendapatkan kepastian sehingga mereka yakin dengan apa yang mereka putuskan.

Remaja melalui berbagai proses dalam pengambilan keputusan (Henneberger dkk, 2021). Proses pertama adalah seleksi teman sebaya, yaitu ketika remaja memilih untuk berinteraksi satu sama lain. Misalnya, remaja yang rajin ikut kegiatan keagamaan di tempat ibadah akan cenderung memilih teman dengan norma dan perilaku yang sama, serta membatasi diri dari remaja yang berperilaku melanggar norma agama.

Proses kedua adalah sosialisasi peer-group, yaitu ketika perilaku remaja dibentuk oleh pengaruh lingkungan teman sebaya. Misalnya, perilaku dan norma taat beragama pada remaja turut dibentuk oleh teman-teman mereka yang menjalankan norma dan perilaku taat beragama. Oleh karena itu, dampak dari seleksi dan sosialisasi peer-group sangat kuat pada masa remaja yang menjadi periode penting bagi orientasi sosial terhadap teman sebaya (Fuligni, 2019).

Teori pembelajaran sosial mengemukakan bahwa perilaku remaja dibentuk oleh perilaku peer-group melalui keteladanan dan penguatan sosial, terutama ketika penguatan sosial tersebut berasal dari kelompok teman sebaya yang diinginkan (Bandura, 1977). Berdasarkan sudut pandang tersebut, remaja akan cenderung memilih teman sebaya dan perilaku yang diinginkan, serta mencontoh perilaku teman sebaya tersebut, sehingga terjadilah proses sosialisasi melalui penguatan. Misalnya, remaja yang mengamati bahwa teman-temannya rajin membuat kreasi daur ulang sampah untuk diperjualbelikan di internet akan cenderung tertarik untuk ikut terlibat dan mencontoh kreasi teman-temannya untuk menerima penguatan. Selanjutnya, ia dapat sering memberikan karya-karya yang lebih kreatif.

Penerimaan dari peer-group yang memberikan dukungan emosional dan instrumental juga dapat meningkatkan penguatan pada masa remaja (Padilla-Walker dkk., 2017). Keputusan yang diambil remaja sekarang akan menentukan keputusan mereka di kemudian hari (Shamma & Katz, 2018). Oleh karena itu, peer-group sangat berpengaruh terhadap pergaulan remaja yang menuju fase perkembangan berikutnya.

Teori identitas memandang bahwa remaja dapat menyesuaikan diri dengan norma-norma sosial dari peer-group yang diinginkan untuk meningkatkan rasa diri atau identitasnya (Festinger, 1954). Berdasarkan  teori  ini, remaja memilih peer-group berdasarkan norma-norma kelompok sosial. Seiring berjalannya waktu, peer-group tersebut dapat mengalami sosialisasi dan saling menyesuaikan. Misalnya, remaja dapat menyelaraskan diri dengan teman sebayanya yang rajin beribadah dan suka menolong orang lain. Tanpa adanya paksaan, remaja akan meniru perilaku yang sesuai dengan kebiasaan temannya. Di samping itu, remaja juga akan mudah diterima oleh peer-groupnya apabila perilakunya sesuai dengan kebiasaan sehari-hari mereka. Oleh karena itu, pengaruh peer-group dapat menjadi faktor penentu penerimaan yang lebih bernilai dan penting seiring berkembangnya masa remaja (Fuligni, 2019).

Remaja perlu memilih pergaulan yang dapat berdampak positif bagi kehidupannya. Dengan adanya peer-group, individu bisa mendapatkan dukungan dari teman-teman sebayanya, terutama terkait dengan kesehatan mental (Rapee dkk., 2019). Peer-group juga dapat menjadi teladan. Misalnya, jika seseorang terlibat dalam kelompok yang ambisius dan pekerja keras, maka ia juga dapat terdorong untuk mengikuti kelompoknya agar tidak merasa dikucilkan oleh kelompok tersebut (Filade dkk., 2019). Meskipun mungkin mengalami tekanan, ia dapat memperoleh manfaat dari peer-group-nya karena harus berusaha mengimbangi dan membangun hubungan yang baik. Pengaruh positive peer tersebut dapat menjadikan seseorang memperoleh prestasi akademik yang berkaitan dengan identitas diri, harga diri, dan kemandirian seseorang. Pengaruh teman sebaya juga dapat menginspirasi semangat akademik siswa dan motivasi berprestasi (Lashbrook, 2000).

Referensi

Bandura, A. (1977). Social learning theory. Prentice Hall.

Bruine de Bruin, W., Parker, A. M., & Fischhoff, B. (2015). Individual differences in decision-making competence across the lifespan. In E. A. Wilhelms & V. F. Reyna (Eds.), Neuroeconomics, judgment, and decision making (pp. 219-236). Psychology Press.

Castrogiovanni. (2002). Adolescence: Peer groups.

Ciranka, S., & van den Bos, W. (2019). Social influence in adolescent decision-making: A formal framework. Frontiers in Psychology, 10(AUG). https://doi.org/10.3389/fpsyg.2019.01915

Crone, E. A., & Dahl, R. E. (2012). Understanding adolescence as a period of social-affective engagement and goal flexibility. Nature Reviews Neuroscience, 13(9), 636–650.

de Jesús Cardona-Isaza, A., Jiménez, S. V., & Montoya-Castilla, I. (2022). Decision-making styles in adolescent offenders and non-offenders: Effects of emotional intelligence and empathy. Anuario de Psicología Jurídica, 32(1), 51-60.

Festinger, L. (1954). A theory of social comparison processes. Human Relations, 7(2), 117–140.

Filade, B. A., Bello, A. A., Uwaoma, C. O., Anwanane, B. B., & Nwangburuka, K. (2019). Peer group influence on academic performance of undergraduate students in Babcock University, Ogun State. African Educational Research Journal, 7(2), 81–87. https://doi.org/10.30918/aerj.72.19.010.

Fuligni, A. J. (2019). The need to contribute during adolescence. Perspectives on Psychological Science, 14(3), 331-343. https://doi.org/10.1177/1745691618805437

Henneberger, A. K., Mushonga, D. R., & Preston, A. M. (2021). Peer influence and adolescent substance use: A systematic review of dynamic social network research. In Adolescent Research Review (Vol. 6, Issue 1, pp. 57–73). Springer International Publishing. https://doi.org/10.1007/s40894-019-00130-0

Lashbrook, J. T. (2000). Fitting in: Exploring the emotional dimension of adolescence. Adolescence, 35(140), 747–757.

Meuwese, R., Cillessen, A. H. N., & Güroğlu, B. (2017). Friends in high places: a dyadic perspective on peer status as predictor of friendship quality and the mediating role of empathy and prosocial behavior. Social Development, 26(3), 503–519. https://doi.org/10.1111/sode.12213

Orben, A., Tomova, L., & Blakemore, S. J. (2020). The effects of social deprivation on adolescent development and mental health. The Lancet Child and Adolescent Health, 4(8), 634–640. https://doi.org/10.1016/S2352-4642(20)30186-3

Rapee, R. M., Oar, E. L., Johnco, C. J., Forbes, M. K., Fardouly, J., Magson, N. R., & Richardson, C. E. (2019). Adolescent development and risk for the onset of social-emotional disorders: a review and conceptual model. Behaviour Research and Therapy, 123, 103501. https://doi.org/10.1016/j.brat.2019.103501

Shamma, F. M., & Katz, M. (2018). Decision making during adolescence: a comparison of Jewish and Druze societies. International Journal of Psychological Studies, 10(4), 65-78.

Somerville, L. H. (2013). The teenage brain: sensitivity to social evaluation. Current Directions in Psychological Science, 22(2), 121–127. https://doi.org/10.1177/0963721413476512

Memahami Remaja Melalui Perkembangan Otak

ArtikelBlog Saturday, 18 May 2024

Penulis: Alfi Syukrina Hadi

Penyunting: Raden Roro Anisa Anggi Dinda

Masa remaja dikenal sebagai periode perkembangan yang ditandai dengan keputusan dan tindakan yang belum cukup dewasa sehingga menimbulkan peningkatan insiden cedera dan kekerasan yang tidak disengaja, penyalahgunaan alkohol dan obat-obatan, kehamilan yang tidak diinginkan, bahkan penyakit menular seksual (Casey et al., 2008). Hal ini memperlihatkan bahwa pada masa remaja, perilaku-perilaku menyimpang yang timbul dapat berdampak besar baik untuk dirinya sendiri maupun lingkungannya. Urgensi yang timbul akibat permasalahan-permasalahan ini tidak hanya menjadi kecemasan orang tua, namun telah mengambil perhatian banyak pihak dalam masyarakat. Berbagai usaha telah dilakukan agar dapat mengintervensi perilaku negatif pada kelompok remaja, namun sayangnya intervensi-intervensi yang diusahakan ini seringkali gagal dalam membantu remaja mengatasi perilaku-perilaku negatif (Yaeger et al., 2018). Pertanyaan yang kemudian timbul, apakah mungkin intervensi-intervensi yang dicanangkan selama ini tidak dapat berjalan dengan baik karena pemahaman yang masih belum tepat tentang perubahan internal pada masa remaja? 

Untuk dapat memberikan intervensi yang baik, maka diperlukan pemahaman yang akurat tentang remaja. Salah satu sudut pandang yang bisa diambil agar dapat memahami remaja adalah sudut pandang pertumbuhan biologis pada masa remaja. Namun pertumbuhan biologis pada masa remaja sering hanya diartikan sebagai perubahan fisik dan perubahan hormonal yang dialami oleh remaja. Padahal masih ada perkembangan yang sangat krusial pada masa ini, yaitu perkembangan otak pada remaja. 

Masa remaja dimulai dari saat bermulanya masa pubertas hingga individu bisa mendapatkan peran mandiri dalam masyarakat (Dumontheil, 2016).  Pada periode ini, penyakit mental lebih rentan untuk muncul, dengan hampir 75% penyakit mental yang dialami oleh orang dewasa muncul pada periode ini (Willenberg et al., 2020). Hal ini juga diakibatkan karena otak remaja merupakan periode sensitif dalam pertumbuhan neuro-kognitifnya. Lalu bagaimana pemahaman tentang remaja jika dilihat dari perkembangan neuro-kognitifnya?

Masa remaja dianggap sebagai fase reorganisasi saraf (neuroplasticity), yaitu kemampuan otak untuk membentuk dan mengatur kembali koneksi sinaptik, terutama dalam menanggapi pembelajaran atau pengalaman tertentu. Fase ini berlangsung secara dramatis sehingga menjadi fase rentan dan dapat menyebabkan perkembangan psikopatologi (Andrews et al., 2021; Dow-Edwards et al., 2019). Ditekankan oleh Dow-Edwards et al. (2019), bahwa sistem otak remaja memberikan respon yang berbeda pada suatu stimuli dibandingkan dengan orang dewasa dan anak-anak. Perubahan yang dialami pada saat remaja ini, diasosiasikan dengan penguatan dan pembahagian neuron pada otak baik secara strukturnya, fungsinya dan kognitif skill-nya (Dumontheil, 2016). Uniknya, perkembangan otak pada masa sensitif ini tidak hanya mempengaruhi bagaimana remaja menghadapi lingkungan sosialnya, namun juga dipengaruhi oleh lingkungan sosial remaja tersebut (Andrews et al., 2021; Dow-Edwards et al., 2019).  

Pada tingkatan perkembangan fungsional otak, dapat difokuskan penjelasannya pada tiga fungsi; kognisi, sosial dan perkembangan emosional. Social brain adalah fungsi otak yang paling aktif dan berkembang yang mana fungsi ini menjadi target sasaran plasticity yang besar pada saat remaja (Dow-Edwards et al., 2019). Dijelaskan lebih mendalam oleh Andrews et al. (2020), bagaimana seorang remaja dapat menavigasikan kehidupan sosialnya dengan baik, sangat bergantung pada sosio-kognitif proses yang dimilikinya. Di sisi lain, dalam segi sosial kognisi dan emosi, remaja secara konsisten menunjukkan aktifasi bagian otak yang lebih besar dibandingkan orang dewasa di medial prefrontal cortex. Pada saat ini remaja nampak lebih sensitif terhadap kehadiran teman sebayanya, pengucilan sosial dan terlihat narsistik. Pada masa remaja konteks sosial sangatlah penting, sama halnya dengan perkembangan emosionalnya yang berdampak pada pengambilan keputusan (Dumontheil, 2016). 

Dari hasil-hasil penelitian terdahulu, terlihat bahwa remaja memiliki strategi kognisi yang berbeda dengan orang dewasa ketika berusa memahami intensi orang lain. Hal ini sesuai dengan teori bahwa remaja menggunakan strategi kognisi yang bergantung pada refleksi eksplisit tentang dirinya dan orang lain. Proses ini berlangsung pada Dorsomedial Prefrontal Cortex (dmPFC). Dari pernyataan ini ada beberapa poin penting yang dapat digaris bawahi; kemampuan remaja untuk memahami perspektif orang lain masih dalam masa perkembangan pada masa ini; koneksi fungsional pada otak remaja terlihat lebih besar dibandingkan orang dewasa ketika sedang memikirkan suatu kejadian yang mengandung emosi, sehingga remaja memiliki tendensi membesar-besarkan suatu masalah yang sedang dihadapinya (Andrews et al., 2020). 

Dengan pembahasan perubahan sistem kerja otak karena neuroplasticity yang ada pada remaja, diharapkan orang tua serta lingkungan masyarakat dapat lebih menghargai tantangan yang sedang dihadapi oleh remaja selama masa penyesuaian dan pertumbuhan sistem sarafnya. Selain itu juga diharapkan agar lingkungan sosial remaja dapat memberikan dukungan yang baik dengan menyesuaikan dengan kondisi perkembangan otak remaja. Adapun beberapa intervensi yang dapat diberikan pada remaja pada periode sensitif ini seperti; aktivitas fisik agar mempromosikan hidup sehat, boosting kemampuan kognisi agar dapat menggunakan kemampuan kognisi yang berkembang secara optimal, melatih kemampuan meditasi agar dapat melatih regulasi emosi, dan memastikan remaja berada pada lingkungan sosial pertemanan yang sehat (Yeager et al., 2018). 

Selain itu orang tua dan masyarakat haruslah menciptakan lingkungan yang suportif untuk tumbuh kembang remaja, berusaha memberikan sikap yang menghargai keberadaan dan tantangan yang dihadapi remaja serta mengurangi pengaruh negatif dari lingkungan terhadap status dan kondisi remaja. Dengan mempertimbangkan kondisi perkembangan kognisi yang sensitif pada remaja ini, diharapkan orang tua dan masyarakat dapat memberikan intervensi-intervensi yang lebih positif dan efektif bagi tumbuh kembang remaja.

Referensi

Andrews, J. L., Ahmed, S. P., & Blakemore, S. J. (2021). Navigating the social environment in adolescence: The role of social brain development. Biological Psychiatry, 89(2), 109-118.

Casey, B. J., Getz, S., & Galvan, A. (2008). The adolescent brain. Developmental review, 28(1), 62-77.

Dumontheil, I. (2016). Adolescent brain development. Current Opinion in Behavioral Sciences, 10, 39-44.

Dow-Edwards, D., MacMaster, F. P., Peterson, B. S., Niesink, R., Andersen, S., & Braams, B. R. (2019). Experience during adolescence shapes brain development: From synapses and networks to normal and pathological behavior. Neurotoxicology and teratology, 76, 106834.

Willenberg, L., Wulan, N., Medise, B. E., Devaera, Y., Riyanti, A., Ansariadi, A., … & Azzopardi, P. S. (2020). Understanding mental health and its determinants from the perspective of adolescents: a qualitative study across diverse social settings in Indonesia. Asian Journal of Psychiatry, 52, 102148Yeager, D. S., Dahl, R. E., & Dweck, C. S. (2018). Why interventions to influence adolescent behavior often fail but could succeed. Perspectives on Psychological Science, 13(1), 101-122.

“Siapakah Aku?” Krisis Identitas yang Biasa Dialami Remaja

ArtikelBlog Saturday, 4 May 2024

“Siapakah aku? Untuk apakah aku dilahirkan di dunia?”

Sebagian besar remaja setidaknya pernah mengalami fase ini, yakni mulai mempertanyakan identitas dirinya. Masa remaja yang dianggap sebagai tahap peralihan dari masa kanak-kanak ke dewasa merupakan babak kehidupan yang pasti dilalui seseorang dengan proses pencarian jati diri. Pada fase ini, remaja tidak hanya berhadapan dengan perubahan fisik, tetapi juga dengan pertanyaan mendalam tentang siapa mereka sebenarnya. 

Menurut Erikson, remaja akan mengalami suatu fase dalam hidupnya, yaitu krisis dalam pencarian identitas (Feist & Feist, 2010). Umumnya, fase ini dialami oleh remaja berusia 10 hingga 20 tahun. Fase yang disebut sebagai “identity versus role confusion” tersebut membuat remaja sering kali mempertanyakan hampir segala hal dalam dirinya, seperti penampilan fisik, pendidikan, pekerjaan, percintaan, pertemanan, dan banyak hal lainnya. Oleh karena itu, remaja akan bereksplorasi untuk mencari jawaban tersebut.

Perjalanan untuk mengeksplorasi jati diri ini tidak semudah membalikkan telapak tangan. Remaja akan berhadapan dengan berbagai tantangan atau konflik yang harus mereka selesaikan dalam pencarian identitas diri. Jika mereka mampu menemukan identitas diri yang paling sesuai dan merasa nyaman akan identitasnya, maka dapat dikatakan remaja tersebut berhasil menyelesaikan fase ini. Alhasil, jati diri yang kuat dan stabil akan terbentuk pada diri seseorang. Sementara itu, kegagalan dalam tahap ini akan mengarah pada krisis identitas atau yang biasa disebut sebagai role confusion. 

Munculnya kebingungan akan identitas dalam proses eksplorasi diri berpotensi membuat remaja menjadi khawatir tentang citra diri di mata orang lain sehingga remaja akan mengidentifikasi diri secara berlebihan dengan orang-orang sekitar (Nadiah dkk., 2021). Ketiadaan dukungan suportif dari lingkungan sekitar, terutama orang tua, akan semakin memperparah krisis identitas pada remaja. Alhasil, remaja akan dipenuhi oleh rasa tidak aman dan bingung terhadap diri sendiri serta masa depannya. Hal tersebut akan mengarah pada perasaan tertekan dan kurang percaya diri. Bahkan, remaja akan cenderung menerima identitas negatif yang diberi oleh orang sekitar ketika mereka tidak memiliki tujuan dan identitas yang jelas (Erikson, 1968).  

Menurut Siregar (2018), remaja yang gagal menemukan jati dirinya sering kali memiliki self esteem dan self confidence yang rendah. Akibatnya, hal tersebut berpengaruh terhadap penurunan motivasi belajar di sekolah. Selain itu, remaja juga berpotensi memiliki empati dan sikap prososial yang rendah sehingga berdampak terhadap buruknya kualitas hubungan sosial yang dimiliki. Kegagalan dalam menangani krisis identitas juga berpotensi mengarahkan remaja pada perasaan sia-sia, tidak berdaya, menarik diri, hingga tindakan agresif seperti kenakalan remaja (Erikson, 1968). 

Lalu bagaimana solusi atas permasalahan ini?  Berikut sejumlah tips untuk membantu remaja yang sedang mengalami krisis identitas. 

  1. Berikan dukungan dan ciptakan lingkungan yang aman bagi remaja.

Kolaborasi antara orang tua, institusi pendidikan, teman sebaya, dan lingkungan masyarakat akan menjadi cara terbaik dalam membantu remaja menghadapi krisis identitas. Menurut Santrock (2018), orang tua menjadi figur penting dalam perkembangan identitas remaja. Oleh karena itu, orang tua diharapkan dapat memberikan ruang yang aman untuk eksplorasi diri remaja. Selain itu, teman sebaya dapat menjadi lingkungan yang aman bagi proses pencarian identitas. Institusi pendidikan seperti sekolah juga menjadi lini yang tak kalah penting sebagai tempat paling banyak remaja menghabiskan waktunya. Sekolah dapat membantu dalam optimalisasi perkembangan remaja, seperti melalui bimbingan konseling dan penyediaan berbagai kegiatan ekstrakurikuler (Maulida dkk., 2023).

  1. Dorong remaja untuk terus bereksplorasi.

Selain dukungan eksternal, diperlukan juga kesadaran internal yang kuat pada diri remaja untuk terus mengeksplorasi diri. Remaja yang nyaman dalam mencoba hal-hal baru, maka akan semakin mudah untuk membentuk identitas diri (Maulida dkk., 2023). Oleh karena  itu, remaja perlu didorong untuk aktif melakukan berbagai kegiatan positif. 

  1. Evaluasi diri.

Evaluasi diri diperlukan selama proses eksplorasi yang dilakukan remaja. Firhanida dan Hadiyati (2018) mendefinisikan evaluasi diri sebagai pandangan terhadap diri sendiri yang dibentuk melalui nilai, kesuksesan, dan kemampuan yang dimiliki individu. Menurut Maulida dkk. (2023), selama pencarian identitas, remaja akan terus mengevaluasi diri mereka sendiri melalui teman-teman sebaya. Hal ini selaras dengan Erikson (1968) yang menyatakan bahwa pembentukan identitas merupakan proses yang melibatkan refleksi dan pengamatan diri sendiri dengan orang lain. Oleh karena itu, remaja akan sering melakukan interaksi sosial dengan orang lain untuk mendapatkan gambaran diri dari sudut pandang orang lain. Hal ini akan membantu remaja dalam memahami dirinya. 

Tidak bisa dipungkiri bahwa perkembangan manusia merupakan proses yang dinamis, termasuk ketika individu tersebut berada di usia remaja yang sejatinya rentan akan kelabilan emosi. Remaja juga akan dihadapkan pada berbagai tantangan dan membuat remaja menghadapi hal krusial, yaitu krisis identitas. Keberhasilan remaja dalam menangani krisis identitas dipengaruhi oleh 3 aspek penting, yaitu ketepatan dalam membuat persepsi terhadap diri sendiri maupun lingkungannya; keterampilan untuk melakukan eksplorasi dan komitmen peran; serta umpan balik dari orang lain, seperti orang tua atau kelompok teman sebaya (Erikson, 1968). Dengan demikian, sudah menjadi tugas bersama berbagai pihak untuk membimbing dan memberikan ruang aman dalam proses pencarian jati diri remaja. Ayah dan ibu dapat berkolaborasi dengan sekolah untuk mengarahkan anak dalam kegiatan positif selama proses pencarian identitas tersebut.

Referensi

Erikson, E. H. (1968). Identity, youth and crisis. W. W. Norton & Co. 

Feist, J., & Feist, G. J. (2010). Teori kepribadian terjemahan (7th ed., Vol. 1). Salemba Humanika.

Firhanida, S., & Hadiyati, F. N. R. (2018). Hubungan Antara Keputusan Pembelian Produk E-Commerce dan Kohesivitas Kelompok dengan Self-Esteem pada Mahasiswa Tahun Pertama Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro (Doctoral dissertation, Undip).

Maulida, A. R., Wibowo, H., & Rusyidi, B. (2023). Rancang bangun model pengembangan kegiatan pendampingan sosial pada remaja generasi Z dalam mengatasi krisis identitas. Share: Social Work Journal, 13(1), 92-101.

Nadiah, S., Nadhirah, N. A., & Fahriza, I. (2021). Hubungan faktor perkembangan psikososial dengan identitas vokasional pada remaja akhir. Quanta, 5(1), 21-29.

Santrock, J., W. (2018). A topical approach to life-span development (ninth edition) Chapter 1-9. McGraw-Hill Education.Siregar, I. K. (2018). Kecerdasan emosional dan hasil belajar siswa. Kumpulan Jurnal Dosen Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara.

Kecerdasan Buatan: Support System Bagi Emerging Adult di Kala Krisis

ArtikelArtikel Saturday, 23 March 2024

Penulis: Olyn Silvania

Penyunting: Muhammad Ikbal Wahyu Sukron

“Jadi orang gede emang menyenangkan, tapi susah dijalanin.”

Pernahkah kalian mendengar kalimat di atas? Jika diperhatikan kembali, penggalan kalimat dalam iklan Tri Indonesia (2013) tersebut cukup berkaitan dengan kehidupan individu beranjak dewasa atau emerging adult (18-29 tahun) yang seolah-olah menyenangkan. Hal ini dikarenakan masa emerging adult memberi kesempatan bagi individu untuk mengeksplorasi berbagai pilihan hidup terkait pendidikan, karir, dan hubungan romantis yang tersedia baginya. Dengan demikian, emerging adult dapat mengembangkan identitas diri terkait seperti apa ia ingin dikenal oleh orang lain (Arnett, 2013). Selain itu, emerging adult telah dianggap dewasa secara hukum, sehingga otoritas orang tua pun berkurang. Hal ini memberi peluang bagi emerging adult untuk lebih fokus terhadap diri, mengembangkan kemampuan dan membangun fondasi masa selanjutnya, sehingga dapat meningkatkan kemandiriannya (Arnett dkk., 2014). Namun, masa emerging adulthood tidak selalu menyenangkan dan penuh tantangan. Mengapa demikian, ya? 

Tantangan tugas perkembangan emerging adulthood terhadap kesehatan mental emerging adult

Emerging adult dihadapkan dengan peran dan tanggung jawab yang semakin berat (Erickson, 1968). Mereka harus memenuhi dan menyesuaikan diri terhadap berbagai tugas perkembangan, seperti mencapai kemandirian secara fisik, finansial, dan emosi; mendapatkan suatu pekerjaan, memilih pasangan hidup, menjalani hidup berkeluarga (sebagai pasangan suami istri dan orang tua), menerima tanggung jawab sebagai warga negara, dan bergabung dalam kelompok sosial (Hurlock, 1991).

Dalam menjalani berbagai tugas perkembangan, emerging adult seringkali mengalami masalah, menghadapi perubahan hidup yang konstan, dan ketidakpastian. Emerging adult juga menghadapi tekanan pekerjaan, hubungan, keluarga, dan harapan untuk menjadi orang dewasa yang sukses. Berbagai hal tersebut menjadikan emerging adult rentan mengalami quarter life crisis (Herawati & Hidayat, 2020).

Fenomena krisis seperempat baya telah digambarkan dalam berbagai penelitian. Penelitian Agarwal dkk. (2020) menemukan bahwa 1.400 pengguna twitter berusia rentang 18-30 tahun di Amerika dan Inggris pernah mengunggah 1,5 juta tweet tentang permasalahan karir, kesehatan, dan keluarga yang mereka hadapi. Lalu, hasil penelitian mixed-methods dari Robinson (2018) di Inggris menunjukkan bahwa krisis seperempat baya dialami oleh individu yang gagal mencari pekerjaan. Selain itu, juga ditemukan bahwa krisis seperempat baya dapat menurunkan tingkat harga diri individu. Selanjutnya, fenomena krisis seperempat baya juga terjadi di Indonesia. Penelitian kualitatif Putri dkk. (2022) menemukan bahwa krisis seperempat baya pada emerging adult selama masa pandemi Covid-19 ditandai dengan perasaan dan pikiran yang mengganggu karena adanya tuntutan pekerjaan, rencana pernikahan, dan permasalahan keluarga.

Dari ketiga hasil penelitian di atas, kita bisa melihat bahwa krisis seperempat baya timbul karena lingkungan sekitar. Pertanyaan yang dianggap ringan oleh sebagian orang, seperti “Kapan wisuda?”, “Sudah dapat kerja belum? Kok masih menganggur?”, “Kapan menikah?”, dan lain sebagainya, justru dianggap berat bagi emerging adult. Dengan kata lain, krisis seperempat baya‒yang dipandang sebagai masa sulit oleh emerging adult‒dapat disebabkan oleh konstruk sosial yang dibangun di masyarakat.

Dalam jangka panjang, krisis seperempat baya dapat menimbulkan konsekuensi negatif. Beberapa literatur menunjukkan bahwa kondisi stress yang terakumulasi akibat krisis seperempat baya dapat menimbulkan berbagai permasalahan baru, seperti masalah emosi dan perilaku, menurunkan kesejahteraan psikologis, meningkatkan perilaku agresif, tindak kekerasan, meningkatkan kecenderungan menarik diri secara sosial, dan menimbulkan permasalahan kesehatan mental seperti depresi dan kecemasan (Habibie dkk., 2019).

Mengatasi quarter life crisis dengan bantuan kecerdasan buatan

Menanggapi dampak krisis seperempat baya khususnya terhadap kesehatan mental, pemerintah, praktisi, dan peneliti tengah mengupayakan promosi dan pencegahan permasalahan kesehatan mental. Tujuannya untuk membangun resiliensi emerging adult dalam menghadapi masa krisisnya (Gotzl dkk., 2022). Salah satu caranya adalah mengembangkan kecerdasan buatan (artificial intelligence), yaitu sistem komputer yang diprogram untuk membantu memecahkan masalah, mengambil keputusan, dan menyelesaikan tugas manusia yang spesifik.

Kontribusi kecerdasan buatan dalam bidang kesehatan mental telah disebutkan dalam berapa literatur (Gotzl dkk., 2022; Gumelar, 2023), seperti dapat membantu mengidentifikasi gangguan kesehatan mental pada emerging adult. Contohnya adalah chatbot terapeutik. Chatbot terapeutik menggunakan teknologi pemrosesan bahasa alami untuk berkomunikasi dengan emerging adult dan memberikan dukungan emosional. Dukungan emosional seperti ucapan semangat dan afirmasi positif dari chatbot terapeutik dapat membantu mengurangi gejala kecemasan dan depresi pada individu. Contoh lainnya adalah terapi online, yakni terapi yang memberikan kesempatan bagi klien emerging adult untuk berbincang dengan terapis melalui internet. Dengan menggunakan kecerdasan buatan, terapis dapat menganalisis percakapan dengan pasien, lalu memberikan rekomendasi terapi atau latihan mandiri yang dapat diterapkan oleh klien emerging adult untuk membantu meredakan gejala gangguan kesehatan mentalnya (Gumelar, 2023). Lebih lanjut, penelitian Gotzl dkk. (2022) menemukan bahwa aplikasi kesehatan mental berbasis kecerdasan buatan bernama mHealth apps memberikan berbagai pelatihan dan solusi atas situasi yang sulit, sehingga membantu emerging adult dalam mencapai tujuannya.

Akhir kata, kecerdasan buatan dapat menjadi support system yang mampu meredakan gejala permasalahan psikologis pada emerging adult. Meskipun demikian, penggunaan kecerdasan buatan yang berlebihan dapat menimbulkan ketergantungan dan mengurangi interaksi sosial. Maka dari itu, masih dibutuhkan kebijakan dan pendekatan yang tepat terkait penggunaan kecerdasan buatan agar tidak mengganggu interaksi sosial dan keseimbangan psikologis emerging adult.

Referensi: 

Agarwal, S., Guntuku, S. C., Robinson, O., Dunn, A., & Ungar, L. (2020). Examining the phenomenon of quarter-life crisis through artificial intelligence and the language of twitter. Frontiers in Psychology, 1-23.

Arnett, J. J. (2013). Adolescence and emerging adulthood: A cultural approach. Pearson Education

Arnett, J. J., Zukauskiene, R., & Sugimura, K. (2014). The new life stage of emerging adulthood at ages 18-29 years. Lancet Psychiatry, 1, 569-576. 

Erickson, E. H. (1968). Identity: Youth and crisis. Norton.

Götzl, C., Hiller, S., Rauschenberg, C., Schick, A., Fechtelpeter, J., Fischer Abaigar, U., … & Krumm, S. (2022). Artificial intelligence-informed mobile mental health apps for young people: a mixed-methods approach on users’ and stakeholders’ perspectives. Child and Adolescent Psychiatry and Mental Health, 16(1), 1-19.

Gumelar, G. (2023). Menavigasi tantangan dan menciptakan peluang: Peran vital ilmu psikologi di era kecerdasan buatan. Jurnal Penelitian dan Pengukuran Psikologi, 12(1), 1-4. 

Habibie, A., Syakarofath, N. A., & Anwar, Z. (2019). Peran religiusitas terhadap quarter-life crisis pada mahasiswa. Gadjah Mada Journal of Psychology, 5(2), 129-138. 

Hurlock, E. B. (1991). Psikologi perkembangan: Suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan (Edisi 5). Penerbit Erlangga.

Putri, A. L. K., Lestari, S., & Khisbiyah, Y. (2022). A quarter-life crisis in early adulthood in indonesia during the covid-19 pandemic. Indigenous: Jurnal Ilmiah Psikologi, 7(1), 28–47. https://doi.org/10.23917/indigenous.v7i1.15543

Robinson, O. C. (2018). A longitudinal mixed-methods case study of quarter-life crisis during the post-university transition: Locked-out and locked-in forms in combination. Emerging Adulthood, 7(3), 167–179. https://doi.org/10.1177/2167696818764144Tri Indonesia (2013, Juni 19). Trie-Indie+ (Versi cewe) [File video]. YouTube https://www.youtube.com/watch?v=2RVcOiYkcc4

Mengenali Technoference pada Orang Tua: Waspada Risiko Orang Tua Asyik dengan Smartphone Saat Mengasuh Anak

ArtikelBlog Thursday, 7 March 2024

Penulis: Kurnia Farwati

Penyunting: Raden Roro Anisa Anggi Dinda

Perkembangan media digital salah satunya smartphone dirasakan manfaatnya untuk semua kalangan, tidak terkecuali orang tua. Smartphone dapat dibawa ke mana pun dan dapat digunakan kapan saja karena bentuk smartphone yang cenderung kecil dan ringan di tangan. Dengan demikian, orang tua dapat menghabiskan waktu bersama dengan anak-anak mereka dan dalam waktu yang bersamaan juga dapat bertukar pesan dengan teman atau mitra profesional saat melakukan aktivitas pekerjaan secara jarak jauh, atau bahkan dapat menikmati berbagai hiburan yang ada di smartphone miliknya.

Penggunaan smartphone ini apabila kurang bisa dikontrol dengan baik, maka akan berdampak negatif bagi penggunanya. Fenomena adanya interupsi interaksi sosial melalui teknologi ini disebut dengan technoference (McDaniel & Radesky, 2018), dan pengguna yang asyik dengan smartphone juga disebut dengan istilah “immersion”. Immersion berarti penarikan perhatian dari lingkungan yang kemudian dipusatkan pada perangkat digital dalam hal ini adalah smartphone. Adanya technoference pada orang tua dapat berdampak negatif terhadap hubungan orang tua-anak, kesehatan, serta perkembangan anak (Mackay et al., 2022).

Hubungan orang tua-anak biasanya merujuk pada kualitas interaksi orang tua dengan anak dan kelekatan yang terjalin di antara mereka. Interaksi orang tua-anak yang optimal dapat diamati ketika seorang anak mengucapkan secara verbal, memberi isyarat, atau menangis dan kemudian orang tua merespon secara tepat dengan verbalisasi, kontak mata, atau dengan sentuhan fisik (Mackay et al., 2022). Interaksi yang demikian diketahui menjadi faktor utama untuk menghasilkan perkembangan anak yang optimal termasuk emosi positif, perilaku, perkembangan psikologis, dan sosial (Mackay et al., 2022). Fokus perhatian orang tua pada smartphone saat bersama anak dapat mengurangi perhatian orang tua, daya tanggap, dan kehangatan yang ditampilkan kepada anak-anak mereka (Knitter & Zemp, 2020; McDaniel & Radesky, 2018).

Technoference pada orang tua saat mengasuh anak tidak hanya berlangsung di dalam rumah namun juga saat melakukan aktivitas di luar rumah seperti di playground, tempat makan umum, dsb. Beberapa studi observasional yang dilakukan di tempat umum seperti di restoran dan taman bermain menemukan bahwa interaksi antara orang tua-anak berjalan kurang optimal. Orang tua yang tenggelam dengan smartphone mereka, lebih jarang berkomunikasi dengan anak-anaknya, dan kurang tanggap terhadap kebutuhan anak saat mereka berperilaku mencari perhatian orang tuanya serta kurang memperhatikan keamanan anak (Elias et al., 2021; Wolfers et al., 2020). Menariknya, temuan lain dari Elias et al (2021) yaitu aktivitas lainnya seperti membaca majalah dan berbicara dengan orang lain di taman bermain, juga menyibukkan orang tua dan orang tua mengalami gangguan respon kepada anak mereka, namun tidak sebanyak saat orang tua menggunakan smartphone.

Kelalaian orang tua akibat asyik dengan smartphone saat bersama anak dapat berakibat fatal yakni dapat menyebabkan anak terluka bahkan hingga meninggal. Terdapat beberapa insiden pada anak akibat orang tua yang terlalu fokus pada smartphone miliknya saat bersama anak seperti terjepit lift saat sedang bersama ibunya (Nicolaus, 2019), tertabrak mobil saat bermain sendiri di pelataran parkiran sementara ibunya asyik dengan handphone dan berujung meninggal setelah dilarikan ke rumah sakit (Liputan6.com., 2018). Kasus serupa juga terjadi bahkan ditabrak oleh ayahnya sendiri karena fokus dengan handphone miliknya dan tidak menyadari bahwa anaknya sudah turun dari mobil (Putra, 2018).

Kecelakaan pada anak-anak seringkali berakibat lebih fatal karena anak-anak memiliki keterbatasan seperti keterbatasan fisik, kognitif, emosi maupun sosial dibandingkan dengan orang dewasa. Anak-anak memiliki postur tubuh yang kecil sehingga anak mudah luput dari perhatian sekitar. Selain itu, sifat alamiah anak-anak yang cenderung memiliki rasa ingin tahu tinggi sehingga senang melakukan eksplorasi benda, tempat, atau hal lainnya yang menarik perhatiannya tanpa mempertimbangkan baik atau buruknya, aman atau tidaknya karena kemampuan anak untuk menalar atau mempersepsikan lingkungan di sekitarnya cenderung masih terbatas sehingga belum mampu memahami adanya potensi bahaya yang ada.

Apabila kelalaian orang tua semacam ini terus terjadi secara berulang, maka dapat mendatangkan dampak tidak langsung dalam jangka panjang terhadap perkembangan anak. Sikap orang tua yang menampakkan wajah kesal atau bahkan bermusuhan ketika anak mereka mengulangi perilaku mencari perhatian kepada mereka sebagai orang tuanya (Elias et al., 2021) dapat menimbulkan perasaan diabaikan yang kemudian dapat memicu adanya masalah perilaku, emosional, sosial, depresi, dan perilaku anti sosial pada anak (Beamish et al., 2019; McDaniel & Radesky, 2018). Fokus dengan smartphone saat bersama anak juga dapat menjadi pemicu awal anak terlibat dalam penggunaan digital di usia yang belum seharusnya karena telah mendapatkan contoh langsung penggunaan smartphone yakni dari orang tuanya (Bohnert & Gracia, 2021).

Melihat ragam dampak dari fenomena technoference pada orang tua saat mengasuh anak, pentingnya orang tua untuk memahami dan menyadari bahwa kehadiran orang tua saat bersama anak tidak hanya hadir secara fisik namun benar-benar hadir secara utuh yakni secara fisik dan emosional. Saat membersamai anak bermain di rumah maupun di luar rumah, penting bagi orang tua untuk turut terlibat dalam permainan. Selain berguna untuk membangun kelekatan emosional dengan anak, orang tua juga dapat memastikan secara langsung keamanan anak. Apabila orang tua harus menggunakan smartphone saat anak sedang bermain karena urusan pekerjaan atau hal penting lainnya, orang tua dapat meminta bantuan kepada orang dewasa lain di sekitarnya untuk memperhatikan anaknya.

Referensi :

Beamish, N., Fisher, J., & Rowe, H. (2019). Parents’ use of mobile computing devices, caregiving and the social and emotional development of children: a systematic review of the evidence. Australasian Psychiatry, 27(2), 132–143. https://doi.org/10.1177/1039856218789764

Bohnert, M., & Gracia, P. (2021). Emerging Digital Generations ? Impacts of Child Digital Use on Mental and Socioemotional Well-Being across Two Cohorts in Ireland , 2007 – 2018 Content courtesy of Springer Nature , terms of use apply . Rights reserved . Content courtesy of Springer Natur. Child Indicators Research.

Elias, N., Lemish, D., Dalyot, S., & Floegel, D. (2021). “Where are you?” An observational exploration of parental technoference in public places in the US and Israel. Journal of Children and Media, 15(3), 376–388. https://doi.org/10.1080/17482798.2020.1815228

Knitter, B., & Zemp, M. (2020). Digital Family Life: A Systematic Review of the Impact of Parental Smartphone Use on Parent-Child Interactions. Digital Psychology, 1(1), 29–43. https://doi.org/10.24989/dp.v1i1.1809

Liputan6.com. (5 Juni 2018). Gara-Gara Ibu Sibuk Main Posel, Anak Tertabrak Mobil. https://www.liputan6.com/citizen6/read/3406356/gara-gara-ibu-sibuk-main-ponsel-anak- tertabrak-mobil

Mackay, L. J., Komanchuk, J., Hayden, K. A., & Letourneau, N. (2022). Impacts of parental technoference on parent-child relationships and child health and developmental outcomes: a scoping review protocol. Systematic Reviews, 11(1), 1–7. https://doi.org/10.1186/s13643- 022-01918-3

McDaniel, B. T., & Radesky, J. S. (2018). Technoference: Parent Distraction With Technology and Associations With Child Behavior Problems. Child Development, 89(1), 100–109. https://doi.org/10.1111/cdev.12822

Nicolaus. (1 Agustus 2019). Ironis, Seorang Ibu Sibuk Main Ponsel Tak Perhatikan Tangan Anaknya Terjepit Lift, Masih Sempat Pegang HP Saat Mencoba Menolong.

https://www.grid.id/read/041804446/ironis-seorang-ibu-sibuk-main-ponsel-tak-perhatikan- tangan-anaknya-terjepit-lift-masih-sempat-pegang-hp-saat-coba-menolong

Putra, P. (26 Juli 2018). Tragis, Bocah Tewas Tertabrak Mobil Ayahnya Karena Sibuk dengan Ponsel. https://jatim.inews.id/berita/tragis-bocah-tewas-tertabrak-mobil-ayahnya-karena- sibuk-dengan-ponselWolfers, L. N., Kitzmann, S., Sauer, S., & Sommer, N. (2020). Phone use while parenting: An observational study to assess the association of maternal sensitivity and smartphone use in a playground setting. Computers in Human Behavior, 102(August 2019), 31–38. https://doi.org/10.1016/j.chb.2019.08.013

Generasi Baru, Kebutuhan Baru: Membimbing Pembelajaran Anak Digital Native di Tengah Pengaruh Gadget

ArtikelBlog Wednesday, 7 February 2024

Di era yang dipenuhi dengan gemerlap teknologi, anak-anak masa kini tumbuh dalam realitas yang berbeda. Marc Prensky, seorang konsultan pendidikan, menyebut mereka dengan istilah ‘digital native’, yang merujuk pada generasi yang lahir dan tumbuh dengan paparan teknologi, sehingga mereka dianggap sebagai pengguna bahasa digital yang fasih (Prensky, 2001). Generasi ini dimulai dari generasi milenial, yaitu yang lahir pada kisaran tahun 1980 sampai 2000-an, hingga ke generasi-generasi setelahnya (Moran, 2016). Sedangkan, generasi-generasi sebelumnya dikenal dengan istilah ‘digital immigrant’, yaitu generasi yang tidak lahir pada era digital, sehingga baru berkesempatan untuk belajar dan beradaptasi pada teknologi setelah dewasa.

Sebagai orang dewasa yang masih masuk ke generasi digital immigrant, atau ada pula yang telah masuk ke generasi digital native namun mungkin tak terpapar teknologi sebanyak anak-anak digital native di zaman sekarang, penting bagi guru untuk memahami pengalaman ber-gadget murid dan mencari tahu cara yang tepat untuk mendukung mereka, terutama dalam penggunaan gadget untuk pembelajaran. Sebab, apabila tidak dibimbing dengan baik, bisa jadi murid tidak dapat meraih potensi maksimalnya, atau bahkan dapat terjerumus ke efek samping buruk dari gadget. Maka dalam artikel ini, kita akan menjelajahi bagaimana gadget mempengaruhi anak-anak digital native, sambil menggali cara guru dapat membantu mereka menjadikan teknologi sebagai sahabat sejati dalam meraih potensi terbaik dan menghadapi tantangan zaman.

Dengan lingkungan tumbuh kembang yang berbeda, tentunya generasi digital native memiliki karakteristik yang berbeda dari digital immigrant. Salah satu aspek yang menonjol dari pengaruh gadget adalah perubahan dalam cara anak-anak digital native belajar dan berpikir. Berikut adalah beberapa karakteristik yang dimiliki generasi digital native atau Net Generation sebagai pengaruh dari teknologi menurut Tappscott (2009):

  1. Kebebasan: mereka menginginkan kebebasan dari berbagai aspek, mulai dari kebebasan untuk memilih hingga kebebasan berekspresi.
  2. Kustomisasi dan personalisasi: mereka menginginkan hal-hal dapat disesuaikan dengan preferensi mereka.
  3. Kritis terhadap informasi: mereka cenderung mengkritisi dan mengevaluasi informasi dengan lebih teliti.
  4. Integritas dan keterbukaan: mereka menghargai integritas dan keterbukaan dalam berinteraksi, serta menginginkan informasi yang jujur dan transparan.
  5. Kesenangan atau entertainment: mereka menginginkan pekerjaan, pendidikan, serta kehidupan sosial yang menyenangkan.
  6. Kolaborasi: mereka saling berhubungan erat dan saling mempengaruhi satu sama lain, terutama karena pengaruh teknologi yang dapat menghubungkan yang jauh.
  7. Kecepatan: mereka terbiasa dengan hal-hal yang serba cepat, terutama dalam hal komunikasi yang kini telah terbantu oleh teknologi.
  8. Inovasi: mereka adalah generasi yang inovatif dan terus mencari cara untuk membuat inovasi-inovasi baru dalam berbagai aspek.

Dari karakteristik di atas, dapat disimpulkan bahwa generasi digital native telah mengadopsi banyak keahlian baru yang didapat dari paparan teknologi sejak dini. Dengan kehidupan yang serba cepat, saling terhubung, dan tetap mementingkan kesenangan, maka akan sulit bagi generasi ini untuk belajar dengan cara lama yang umumnya berpusat pada guru. Cara ini hanya bertujuan untuk mengetes memori anak, yang seringkali menggunakan metode kelas yang serius, mendengarkan presentasi dari guru, dan kurangnya diskusi dan komunikasi antar murid. Meski metode konvensional ini memudahkan murid dalam mempersiapkan diri untuk ujian, metode ini menyebabkan murid terlalu bergantung pada guru dan tidak mengasah kemampuan mereka dalam berpikir kritis (Prensky, 2001; Wang, 2022). Jika guru tidak beradaptasi dengan kebutuhan generasi ini, maka mereka hanya akan menganggap pembelajaran sebagai membosankan dan tidak efektif.

Dengan mempertimbangkan hal tersebut, sangat penting bagi guru untuk menyesuaikan diri dengan kemajuan teknologi dan perkembangan generasi agar dapat pembelajaran murid sesuai dengan kebutuhan dan preferensi mereka. Berikut adalah beberapa hal yang bisa dilakukan guru untuk memfasilitasi pembelajaran murid digital native menurut Kelly dkk. (2009, dalam Kivunja, 2014):

  1. Mengejar kesenjangan antara guru dan murid digital native, melalui penggunaan gaya bahasa dan teknologi yang familiar dengan murid (Prensky, 2001, dalam Kivunja, 2014)
  2. Berkomunikasi secara langsung dengan murid dengan memanfaatkan teknologi yang ada (e-mail, chatting, membaca blog, bermain game online, mendengarkan dan membuat podcast, dan lain-lain)
  3. Terlibat dengan berbagai aktivitas lain bersama murid
  4. Terhubung dengan dunia digital murid agar sekolah dan pembelajaran dapat menjadi relevan bagi murid
  5. Mempelajari cara penggunaan alat-alat atau platform digital baru yang dapat mendukung pembelajaran murid
  6. Mendapatkan pengalaman baru secara langsung di dunia digital untuk digunakan dalam membantu pembentukan pengetahuan murid

Dalam era gadget yang tak terhindarkan, menjadi pemandu bagi murid digital native bukanlah tugas yang mudah. Namun, dengan kesadaran, komunikasi, serta kemauan untuk belajar dan beradaptasi, kita dapat membantu mereka untuk belajar dengan efektif di generasi baru ini. Jadi, mari kita melangkah maju bersama mereka, membangun masa depan yang cerah dalam era digital yang penuh potensi.

Referensi

Kivunja, C. (2014). Theoretical perspectives of how digital natives learn. International Journal of Higher Education, 3(1). https://doi.org/10.5430/ijhe.v3n1p94

Moran, K. (2016, January 3). Millennials as digital natives: Myths & realities. Nielsen Norman Group. https://www.nngroup.com/articles/millennials-digital-natives/

Prensky, M. (2001). Digital natives, digital immigrants part 1. On The Horizon, 9(5), 1 – 6. http://dx.doi.org/10.1108/10748120110424816

Tapscott, D. (2009). Grown up digital: How the net generation is changing your world. McGraw-Hill.

Wang, Y. (2022). A comparative study on the effectiveness of traditional and modern teaching methods. Proceedings of the 2022 5th International Conference on Humanities Education and Social Sciences (ICHESS 2022), 270-277. https://doi.org/10.2991/978-2-494069-89-3_32

1234

Recent Posts

  • Eco-Conscious Parenting: Menumbuhkan Praktik Berkelanjutan pada Perkembangan Anak
  • Memahami Pendidikan untuk Pembangunan Berkelanjutan di Kedai Kopi
  • Membangun Kembali Kegembiraan: Pentingnya Bermain Bagi Kesejahteraan Mental Bagi Masyarakat
  • Keterlibatan Ayah pada Pengasuhan Anak Usia Dini
  • Kader Hebat, Anak Bahagia: Pelatihan Stimulasi Sosioemosional pada Anak Usia Dini untuk Kader Bina Keluarga Balita di Gunungkidul
Universitas Gadjah Mada

Center for Life-Span Development (CLSD)
D-602, Fakultas Psikologi, Universitas Gadjah Mada
Jalan Sosio Humaniora Bulaksumur, Yogyakarta, Indonesia 55281
clsd.psikologi@ugm.ac.id

© Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY

[EN] We use cookies to help our viewer get the best experience on our website. -- [ID] Kami menggunakan cookie untuk membantu pengunjung kami mendapatkan pengalaman terbaik di situs web kami.I Agree / Saya Setuju