• Home
  • About Us
    • Managing Team
    • Researchers
    • Interns
  • Articles
  • Courses
  • Activities
    • CLSD Reader’s Club
    • Research of Baby Screening
    • COMPRE Class
    • Summer Course
    • Photovoice
    • SAELA
  • Research & Publication
Universitas Gadjah Mada Center for Life-Span Development (CLSD)
Faculty of Psychology
Universitas Gadjah Mada
  • Home
  • About Us
    • Managing Team
    • Researchers
    • Interns
  • Articles
  • Courses
  • Activities
    • CLSD Reader’s Club
    • Research of Baby Screening
    • COMPRE Class
    • Summer Course
    • Photovoice
    • SAELA
  • Research & Publication
  • Beranda
  • Summer Course
Arsip:

Summer Course

Mendidik dengan Santun

ArtikelBlogSummer Course Wednesday, 24 November 2021

Mendidik dengan Santun
oleh: Nur Arifah
editor: Resti Fahmi Dahlia

Photo by August de Richelieu from Pexels

Di Indonesia, masih banyak orang tua yang menggunakan beragam bentuk kekerasan fisik dan psikologis dalam mendidik anak. Survei yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2014 yang mengambil sampel 75 ribu rumah tangga dari seluruh kabupaten/kota di Indonesia menemukan bahwa 23,17% orang tua atau hampir seperempat dari total responden ditemukan menggunakan cara-cara kekerasan fisik dan psikologis dalam mendidik anak mereka (Mardina, 2018). Bentuk kekerasan fisik yang paling banyak ditemui adalah mencubit dan menjewer (30,97%), lalu menampar, memukul dan menendang (4,34%), dan mendorong dan mengguncang badan (3,3%) sedangkan bentuk kekerasan psikologis yang paling banyak dijumpai adalah membentak dan menakuti (41,86%), dan diikuti oleh mengatai dengan panggilan buruk seperti bodoh dan sebagainya (12,44%). 

Mengambil fokus pada anak usia dini, praktik mendidik dengan cara kekerasan juga banyak ditemukan, bahkan di kota pendidikan, Kota Yogyakarta. Penelitian survei oleh Muarifah, dkk (2020) dengan sampel 320 responden dari 3 kecamatan di Kota Yogyakarta menemukan bahwa 46% responden melakukan kekerasan fisik dan 54% responden melakukan kekerasan non-fisik atau verbal terhadap anak mereka yang berusia dini (usia 4-6 tahun). Terkait bentuk kekerasan fisik yang paling banyak dilakukan, hasilnya sama dengan hasil dari survei nasional oleh BPS yaitu mencubit (23%) dan menjewer (21%). Baru kemudian diikuti oleh memukul (13,75%), menampar (6,25%), dan menendang (0,6%). Disamping itu juga terjadi bentuk kekerasan fisik seperti menggigit dan menjambak. Bentuk kekerasan non-fisik yang paling banyak dilakukan adalah memelototi (21%) dan membanding-bandingkan dengan anak lain (15%), sedangnya bentuk kekerasan non-fisik lain yang dilakukan adalah menghardik, memarahi, mengejek, mencibir, dan merendahkan. Lebih lanjut, sebagian besar orang tua diatas beralasan bahwa mereka melakukan hal tersebut untuk mendisiplinkan anak mereka, disamping pandangan bahwa anak telah nakal dan perlu untuk mendapat hukuman (Muarifah, dkk, 2020). 

Bagi sebagian masyarakat, kenyataan bahwa bentuk-bentuk tindakan untuk mendidik atau “mendisiplinkan” anak diatas dapat dikategorikan sebagai bentuk kekerasan mungkin cukup mengejutkan. Hal ini mungkin karena tindakan seperti mencubit dan menjewer masih dianggap lumrah (Laveda & Ramadhan, 2020). Di Kamus Bahasa Jawa – Bahasa Indonesia I (Nardiati, dkk, 1993) ada kata-kata bermakna kekerasan yang menurut penulis kerap terdengar di telinga masyarakat Jawa seperti cethot (cubit), jiwit (cubit), gebug (pukul), dan keplak (tampar). Lantas apa saja tindakan-tindakan yang termasuk kekerasan fisik dan non-fisik (verbal/psikologis/emosional), apa dampak yang ditimbulkan, dan alternatif atau cara mendidik bagaimana yang sebaiknya dilakukan. Tulisan ini berupaya untuk membahas mengenai ketiga hal tersebut.

Pertama mengenai tindakan-tindakan yang termasuk ke dalam tindakan kekerasan terhadap anak. Menurut Kantor Pusat Layanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A), terdapat beberapa jenis kekerasan terhadap anak yaitu kekerasan fisik, kekerasan emosional, kekerasan seksual, pengabaian dan penelantaran, dan kekerasan ekonomi (Mardina, 2018). Artikel ini hanya akan membahas kekerasan fisik dan kekerasan emosional. Disebutkan disana bahwa tindakan yang dapat digolongkan ke dalam jenis kekerasan fisik adalah memukul, menampar, menendang, mencubit, dan sebagainya, sedangkan yang termasuk kekerasan emosional dapat berupa mengancam, menakut-nakuti, menghina, mencaci, dan memaki dengan keras dan kasar. Jenis dan contoh kekerasan tersebut senada dengan yang dinyatakan dalam UN Convention on the Right of the Child and the World Report on Violence and Health oleh World Health Organization 2002 (Mardina, 2018).  Lantas apa dampaknya ketika kekerasan fisik digunakan sebagai cara mendidik anak? American Psychological Association (APA) belum lama mengeluarkan pernyataan kebijakan yang berdasar pada penelitian-penelitian longitudinal yang kuat (Glicksman, 2019). Mereka menyatakan bahwa hukuman fisik tidak efektif digunakan untuk memperbaiki perilaku anak, justru sebaliknya, menjadi risiko tumbuhnya beragam permasalahan emosional, perilaku, dan akademik. Beberapa diantaranya, pertama, memukul anak tidak mengajarkan anak mengenai tanggung jawab, kesadaran diri, dan kontrol diri. Dengan memukul, tidak terjadi proses internalisasi atau pemahaman dalam diri mengapa sesuatu boleh dan tidak diboleh dilakukan. Anak hanya akan berusaha menghindari perilaku yang membuat mereka dipukul ketika ada orang tua saja, namun tetap akan melakukan ketika orang tua tidak ada. Kedua, anak belajar dari melihat orang tuanya. Melihat orang tua menggunakan kekerasan fisik mengajarkan pada anak mengenai penggunaan kekerasan fisik untuk mengatasi konflik kedepannya. Tindakan orang tua justru mendorong anak untuk menjadi agresif. Dalam pernyataan publik lain yang dikeluarkan oleh the American Academy of Pediatric (Sege & Siegel, 2018), penggunaan kekerasan fisik sebagai hukuman dapat meningkatkan agresivitas pada anak usia prasekolah dan usia sekolah, melemahkan hubungan orang tua-anak, dan meningkatkan risiko gangguan kesehatan mental dan permasalahan kognitif anak.

Banyak orang tua yang hanya mengulangi bagaimana mereka dididik dulu dan tidak memahami cara lain yang baik dalam mendidik atau mendisiplinkan anak (Glickman, 2019). Cara alternatif dalam mendidik yang dinyatakan oleh APA (Glickman, 2019), diantaranya melakukan komunikasi yang penuh dengan sikap menghargai anak, berupaya melibatkan anak dalam menyelesaikan permasalahan (kolaboratif), dan orang tua mencontohkan perilaku yang ingin diajarkan pada anak dalam kesehariannya. Salah satu prinsip yang dapat dipegang adalah jangan melakukan sesuatu pada anak, apa yang tidak akan kita lakukan pada orang dewasa.

Selain kurangnya pengetahuan mengenai cara pengasuhan yang baik, kondisi psikologis orang tua juga berpengaruh dalam terjadinya perilaku kekerasan pada anak, seperti gangguan psikologis yang diderita atau pengalaman mengalami hal serupa di masa lalu (Peterson, dkk, 2014) oleh karenanya orang tua dapat berusaha mengakses tenaga profesional seperti psikolog dan psikiater untuk menangani permasalahan psikologisnya sendiri. Diharapkan nantinya ada dampak positif secara tidak langsung pada cara-cara pengasuhannya.

Demikian sedikit uraian mengenai masih maraknya penggunaan cara-cara kekerasan dalam mendidik anak yang terjadi di masyarakat, apa saja yang sebenarnya masuk dalam perilaku kekerasan kepada anak, dampak yang ditimbulkan, serta alternatif pengasuhan yang sebaiknya diambil. Harapannya orang tua yang masih menggunakan cara-cara tersebut berhenti untuk melakukannya dan mulai berusaha mengupayakan cara pengasuhan yang baik seperti menambah pengetahuan pengasuhan dengan membaca buku, mendengarkan podcast, menonton video, mengikuti seminar, atau berdiskusi dengan para ahli. Disamping itu, orang tua yang masih sangat kesulitan dalam mengupayakan pengasuhan yang baik karena masih memiliki permasalahan psikologisnya sendiri dapat mencari bantuan tenaga profesional seperti psikolog atau psikiater.

Referensi

Glicksman, E. (2019, Mei 05). Physical disipline is harmful and ineffective : A new APA resolution cites evidence that physical punishment can cause lasting harm for children. American Psychological Association. https://www.apa.org/monitor/2019/05/physical-discipline

Laveda, M., & Ramadhan, B. (2020, Juli 24. Orang Tua Mencubit dan Menjewer Anak Masih Dianggap Biasa. Republika.co.id. https://www.republika.co.id/berita/qdycay330/orang-tua-mencubit-dan-menjewer-anak-masih-dianggap-biasa

Mardina, R. (2018). Kekerasan terhadap Anak dan Remaja. Pusat Data dan Kesehatan Kementrian RI

Muarifah, A., Wati, D.E., & Puspitasari, I. (2020). Identifikasi Bentuk dan Dampak Kekerasan Pada Anak Usia Dini di Kota Yogyakarta. Jurnal Obsesi: Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, 4(2),757-765

Peterson, A.C., Joseph, J., & Feit, M. (2014). New Direction in Child Abuse and Neglect Research. National Academy of Science

Nardiati, S., Suwadji., Sukardi., Pardi., & Suwanto, E. (1993). Kamus Bahasa Jawa – Bahasa Indonesia I. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. http://repositori.kemdikbud.go.id/2885/1/kamus%20bahasa%20jawa%20-%20bahasa%20indonesia%20I%20%20469ha.pdf

Sege, R.D & Siegel, B.S (2018). Effective Discipline to Raise Healthy Children. Pediatrics, 142(6). https://doi.org/10.1542/peds.2018-3112

International Online Summer Course on DIsability and Lifespan Development: Indonesia and Global Perspectives

BlogEventSummer Course Thursday, 18 November 2021

International Online Summer Course on DIsability and Lifespan Development: Indonesia and Global Perspectives

In 2021, the Center for Life-Span Development (CLSD) Faculty of Psychology, Universitas Gadjah Mada for the very first time held a summer course entitled International Online Summer Course on Disability and Lifespan Development: Indonesia and Global Perspectives. Collaborating with Indonesia and global experts on disability studies, this summer course will serve as a channel to facilitate critical learning to unpack and understand intersecting barriers dealt by people with disabilities and encourage knowledge and practice sharing and debates, while building network, between experienced and young scientists in the field of disability studies, which will inspire creation of new research initiatives and field applications.

This summer course is a collaboration between CLSD, Faculty of Psychology, and OIA (Office of International Affairs) Universitas Gadjah Mada. We invited fifteen international speakers and five national speakers with various backgrounds and fields of study from various parts of the world, including Malaysia, United Kingdom, Australia, New Zealand, and the United States. Each expert presents a comprehensive, specific, and in-depth topic in order to dissect the realm of disability and the range of human development viewed from various perspectives. Not only attended by 65 Indonesian students but this summer course activity was also attended by approximately 45 international students and professionals from various parts of the world, such as West Africa, Australia, Pakistan, Nepal, Tanzania, Philippines, Ghana, Bangladesh, Malaysia, Iran, Romania, Nigeria, South Africa, and the United States.

The course consisted of five different modules, each highlighting different topics delivered by local and international experts coming from various backgrounds experience. Module 1, which titled Understanding Disability and Intersectionality, talked about the conceptual understanding of disability and intersectionality in general.

As for Module 2, the participants were given lectures on the subject of People with Disability at the Intersection. This module covered, investigated, and discussed how people with disabilities are dynamic in society and what their daily lives are like.

Furthermore, the focus of learning continues on the topic of life-span development. Titled Disability across lifespan development, this module facilitated students to discuss disability from a human development perspective that focuses on certain age ranges, life-span development issues, learning disabilities and neuropsychology, the practice of involving student in research on inclusive education in order to meet the needs of the subject, and the importance of listening to children with disabilities’ voices while enabling their agency and self-determination.

The course went on with Module 4, which covered the topic of Collaborative Disability and Lifespan Development Research in a Multicultural Setting. The discussed subjects were disability and family, discourse regarding disaster risk mitigation and research involving children with disability, and a universal design to support the learning process of children with disability. This course also talked about the intersection between curriculum, pedagogy, and assessment with the implications for disabled people, their families, and their teachers.

Lastly, the last module was delivered and simultaneously closed the whole series of the summer course. Besides discussing disability and disasters, the other two courses explored and investigated the theory and practice of conducting research around disability matters, such as co-designing and co-producing research with people with disabilities, and research involving people with disabilities in service-learning in the community.

Taking place over two days, eight groups of students presented their research proposals at the Student-Led Conference, with four examiners: Dr. Pradytia Putri Pertiwi, Dr. Elga Andriana, Dr. Wuri Handayani, and Prof. David Evans from The University of Sydney (Australia). At this event, other participants who took part in the student-led conference session were also welcome to ask questions regarding the research proposals that had been presented.

The International Summer Course on Disability and Life-Span Development: Indonesia and Global Perspectives has come to an end. With a total of 20 sessions, 21 speakers from 7 different countries, and 110 participants from 15 countries, our summer course ran from August 3 to October 14, 2021. At the final session, our student-led conference accommodated eight hard-working student groups to showcase their research ideas as the course learning outcome.

Massive thank you to our speakers for sharing their valuable insight and expert knowledge on disability and life-span development, and to all of our participants for having actively participated and supported our event by attending sessions and contributing their ideas. We hope to see you at our upcoming events in the future.

(SRP CLSD)

Module 5: Disability-inclusive Lifespan Methodological Research

BlogEventSummer Course Wednesday, 10 November 2021

Liputan Kegiatan Summer Course Module 5: Disability-inclusive Lifespan Methodological Research

Berkolaborasi dengan ahli studi disabilitas Indonesia dan internasional, summer course bertema International Online Summer Course on Disability and Lifespan Development: Indonesia and Global Perspectives bertujuan untuk memfasilitasi pembelajaran kritis dalam menganalisis dan memahami hambatan yang dihadapi oleh penyandang disabilitas, serta mendorong pertukaran ilmu pengetahuan, diskusi, sekaligus membangun koneksi antara ilmuwan muda dan ahli-ahli berpengalaman di ranah penelitian disabilitas yang diharapkan mampu menginspirasi penelitian baru dan implementasinya di dunia nyata. Kursus musim panas ini merupakan summer course pertama yang diselenggarakan oleh Center for Life-Span Development (CLSD), Fakultas Psikologi, Universitas Gadjah Mada. 

Modul kelima diawali oleh narasumber Prof. Gavin Sullivan dari Coventry University (United Kingdom) dengan topik Disasters, Disability and Collective Action: Individual and Collective Emotional and Identity-related Responses pada hari Senin, 4 Oktober 2021 pukul 17:00 – 19.00 WIB. Prof. Sullivan menjelaskan bahwa, sementara kebijakan-kebijakan bencana menyoroti kebutuhan untuk mengikutsertakan penyandang disabilitas, perencanaan bencana dan penelitian yang berfokus pada penyandang disabilitas masih terbatas. Dalam kuliah ini, Prof. Sullivan mengajak partisipan mengeksplorasi dan mengkritisi pertimbangan disabilitas dalam kaitannya dengan dua penelitian yang telah beliau publikasikan: yang pertama adalah pemeriksaan lanjutan terhadap gempa bumi Yogyakarta tahun 2006 dan yang kedua adalah survei kualitas hidup dan status sosial di antara orang-orang yang dipindahkan, direlokasi, atau masih bertahan di lokasi pasca lima tahun letusan Gunung Sinabung. Di penghujung kuliah, partisipan diharapkan mampu memahami bagaimana eksplorasi pendekatan identitas sosial atau penyembuhan sosial untuk disabilitas dan perkembangan dapat relevan dalam kesiapsiagaan dan pemulihan bencana serta mendiskusikan bagaimana wawasan dari sesi ini dapat diterapkan pada penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti dan rekan-rekan di Palu pada tahun 2022 mendatang.

Lecture selanjutnya terbagi menjadi dua bagian yaitu Lecture ke-18 dan 19 yang dibawakan oleh Prof. Iva Strnadová, profesor Special Education and Disability Studies dari University of New South Wales, Australia pada Selasa, 5 Oktober 2021 dan Rabu, 6 Oktober 2021. Berjudul Co-designing and Co-producing Research with People with Disabilities, Prof. Strnadová menjelaskan mengenai cara mendesain dan melakukan penelitian bersama orang-orang dengan disabilitas. Mengutip Beebeejaum (2014), dalam penelitian atau penciptaan pengetahuan, konteks co-production menekankan kontribusi yang dapat diberikan oleh komunitas non-akademik terhadap proses penelitian (dan hasilnya). Di sini, penelitian dilakukan ‘dengan’ komunitas, bukan ‘dalam’ komunitas. Dalam kuliahnya, Prof. Strnadová menekankan bahwa alih-alih memisahkan produsen pengetahuan dan pengguna pengetahuan menjadi dua kelompok yang berbeda, proses co-production bertujuan untuk menciptakan komunitas yang melakukan praktik bersama di mana semua pemangku kepentingan memiliki peran dalam proses pencarian atau penciptaan pengetahuan (Rycroft-Malone et al., 2016). Dalam sesi ini, partisipan belajar tentang mengapa penelitian bersama sangat penting dalam penelitian yang relevan dengan penyandang disabilitas, dari mana istilah produksi bersama berasal, untuk apa istilah itu diterapkan, apa landasan teoretis dan filosofis dari penelitian bersama, dalam penelitian, apa prinsip-prinsipnya, dan apa manfaat dari penelitian bersama.

Lecture terakhir dari modul kelima sekaligus yang mengakhiri rangkaian sesi Summer Course dibawakan oleh Dr. Michelle Bonati dari State University of New York, Plattsburgh, USA berjudul Research Involving People with Disabilities in Service-Learning in the Community. Lecture ini diadakan pada Kamis, 7 Oktober 2021 pukul 18.00 – 20.00 WIB. Pada sesi ini, Dr. Bonati mengajak peserta belajar tentang service-learning, pendekatan pedagogis yang dapat melibatkan siswa dengan dan tanpa disabilitas dari TK-SMA hingga pendidikan tinggi. Sesi ini juga membahas sepintas tentang kerangka teoritis service-learning dan proses penerapan service-learning dalam memperbaiki kurikulum siswa. Partisipan juga diajak untuk menelaah faktor-faktor pendukung dan penghambat pembelajaran layanan berbasis masyarakat inklusif dengan menggunakan contoh dari Dr. Bonati sendiri yang bekerja sebagai guru pendidikan khusus sekaligus sebagai peneliti. Kuliah ini juga membahas metode dan pertimbangan untuk penelitian inklusif yang melibatkan siswa dengan dan tanpa disabilitas yang terlibat dalam pembelajaran layanan berbasis masyarakat. Pada akhir sesi, partisipan melakukan diskusi kelompok kecil yang berfokus pada studi kasus proyek pembelajaran layanan inklusif dan pertimbangan penelitian. Sebagai penutup, masing-masing perwakilan kelompok berbagi tanggapan atau hasil diskusi terhadap studi kasus dalam sesi tanya-jawab formal.

Student-led Conference

Student-led Conference Day #1 dilakukan pada Selasa, 12 Oktober 2021 pukul 17.00 – 19.00 WIB secara daring melalui Zoom Meeting. Terdapat empat kelompok siswa yang melakukan presentasi atas proposal riset mereka. Kelompok 2 mempresentasikan proposal riset dengan judul “Understanding psychological wellbeing of adolescents with disability during COVID-19 Pandemic in Indonesia.”, disusul oleh kelompok 5 yang membawakan judul “Exploring employers’ perception on employability of people with disabilities in Western and NonWestern countries.”, selanjutnya kelompok 6 dengan tema penelitian Identifying the barriers and supportive factors in the inclusive school that children with disabilities require to to feel safe and motivated to study.“, dan diakhiri oleh kelompok 7 yang memaparkan proposal riset dengan judul “Barriers that University Students with Disabilities Face in Studying Abroad.”. Pada sesi hari ini, terdapat tiga orang pembahas presentasi kelompok siswa yaitu: Dr. Pradytia Putri Pertiwi, Dr. Elga Andriana, dan Dr. Wuri Handayani. Para peserta lain dan juga partisipan umum yang mengikuti sesi student-led conference ini juga dipersilakan untuk mengajukan pertanyaan terkait proposal riset yang telah dipresentasikan.

Hari berikutnya yaitu Kamis, 14 Oktober 2021, pukul 17.00 – 19.00 WIB diteruskan dengan Student-led Conference Day #2 yang dilakukan kembali secara daring melalui Zoom Meeting. Di hari kedua ini, terdapat empat kelompok siswa yang melakukan presentasi atas proposal riset mereka. Presentasi diawali oleh kelompok 1 yang menyampaikan proposal riset dengan tema “Support for children with disabilities to gain access to education from the perspective of bio-psycho-social models during covid-19 pandemic”. Selanjutnya, kelompok 3 memaparkan proposal riset dengan tema “Disability perspectives: education and lifetime consequences” dan dilanjutkan oleh kelompok 1 dengan tema “Supporting a return to school for children with disabilities in a post pandemic environment: A comparative  study of Indonesia, Malaysia, and Australia”. Pada akhir kegiatan, kelompok 8 menutup presentasi dengan tema proposal riset “Acceptance and perception of mainstream teachers and students towards students with disability in an inclusion classroom in Indonesia and Malaysia.” Pada sesi hari ini, Prof. David Evans dari The University of Sydney (Australia) turut hadir dan menjadi pembahas dalam presentasi kelompok siswa. 

Penutup

Rangkaian kegiatan Summer Course secara resmi ditutup oleh Dekan Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, Bapak Rahmat Hidayat, S.Psi., M.Sc., Ph.D. The International Summer Course on Disability and Life-Span Development: Indonesia and Global Perspectives pun telah berakhir. Dengan total 20 sesi, 21 pembicara dari 7 negara berbeda, dan 110 peserta dari 15 negara, Summer Course ini dimulai dari 3 Agustus dan berlangsung hingga 14 Oktober 2021. Kami mengucapkan terima kasih kepada para pembicara atas wawasan dan bimbingan yang telah disampaikan mengenai disabilitas dan perkembangan rentang hidup, serta kepada seluruh peserta Summer Course yang telah berpartisipasi secara aktif dan mendukung kegiatan ini dengan menghadiri sesi dan menyumbangkan ide-ide terbaiknya. Sampai jumpa di acara CLSD selanjutnya!

(SRP CLSD)

Module 4: Collaborative Disability and Lifespan Development Research in Multicultural Setting

BlogEventSummer Course Tuesday, 9 November 2021

Liputan Kegiatan Summer Course Module 4: Collaborative Disability and Lifespan Development Research in Multicultural Setting

Berkolaborasi dengan ahli studi disabilitas Indonesia dan internasional, summer course bertema International Online Summer Course on Disability and Lifespan Development: Indonesia and Global Perspectives bertujuan untuk memfasilitasi pembelajaran kritis dalam menganalisis dan memahami hambatan yang dihadapi oleh penyandang disabilitas, serta mendorong pertukaran ilmu pengetahuan, diskusi, sekaligus membangun koneksi antara ilmuwan muda dan ahli-ahli berpengalaman di ranah penelitian disabilitas yang diharapkan mampu menginspirasi penelitian baru dan implementasinya di dunia nyata. Kursus musim panas ini merupakan summer course pertama yang diselenggarakan oleh Center for Life-Span Development (CLSD), Fakultas Psikologi, Universitas Gadjah Mada. 

Lecture #13 yang merupakan sesi pertama pada modul keempat bertajuk Disability and Family diselenggarakan pada hari Kamis, 16 September 2021 pukul 17.00 – 19. 00 WIB dan disampaikan oleh Prof. Gwynnyth Llewellyn dari The University of Sydney. Prof. Llewellyn menjelaskan mengenai peran keluarga dan disabilitas, di mana keluarga berada di pusat tatanan sosial komunitas dan masyarakat secara lebih luas. Menurut beliau, keluarga memberikan makna pribadi, rasa identitas dan hubungan dalam keluarga serta keterhubungan di luar keluarga dengan masyarakat luas. Banyak faktor–entah itu pribadi, sosial, ekonomi, budaya–mempengaruhi bagaimana pengalaman suatu keluarga yang memiliki anggota keluarga yang merupakan penyandang disabilitas. Dalam kuliah ini, Prof. Llewellyn berbicara tentang konsep keluarga dalam struktur masyarakat dan budaya yang berbeda di berbagai tingkatan; wawasan dari penelitian perkembangan dalam setting multikultural tentang kehidupan keluarga dengan anak dan remaja penyandang disabilitas: serta wawasan dari kolaborasi penelitian internasional mengenai kepala keluarga sebagai orang tua penyandang disabilitas. Selain itu, sebagai ahli terkemuka dalam topik ini, Prof. Llewellyn menjelaskan bagaimana cara memanfaatkan penelitian dengan landasan teoritis dan empiris yang kuat, dan memberikan contoh bagaimana penelitian ini dapat diterapkan dalam kebijakan dan praktik.

Lecture #14 yang bertajuk Disability-inclusive Disaster Risk and Children with Disabilities dilaksanakan pada hari Kamis, 21 September 2021 pada pukul 17.00 – 19.00 WIB dengan penyampaian materi oleh Prof. Laura Stough dari Texas A&M  University (United States of America). Prof. Stough menjelaskan bahwa banyak penelitian kolektif yang menetapkan bahwa bencana mempengaruhi penyandang disabilitas baik secara negatif maupun merugikan penyandang disabilitas dengan banyak cara. Penelitian yang relevan melintasi berbagai fokus disiplin ilmu seperti psikologi, epidemiologi, kesehatan masyarakat, kesehatan mental, studi disabilitas, dan studi bencana. Namun, melakukan penelitian di persimpangan disabilitas dan bencana mengungkap sejumlah tantangan dan hambatan, serta mencerminkan asumsi epistemologis yang berbeda dan pengetahuan yang beragam tentang disabilitas. Organisasi yang berafiliasi dengan disabilitas berperan penting dalam mendukung dan bekerja sama dengan individu dan lembaga menuju pengurangan risiko bencana. Elemen penting dalam mereformasi praktik manajemen darurat adalah memastikan penyandang disabilitas dapat menjadi peserta aktif dalam kesiapsiagaan mereka sendiri, pengurangan risiko bencana, tanggap bencana, serta pemulihan bencana. Dalam kuliah ini, Prof. Stough mengajak partisipan untuk mengeksplorasi penelitian dan praktik di persimpangan disabilitas dan bencana, termasuk konsepsi (dis)ability dan (dis)aster.

Pada minggu berikutnya, Lecture #15 berjudul Universal Design for Learning in School Setting disampaikan oleh Prof. David Evans dari The University of Sydney, Australia pada Rabu, 29 September 2021 pukul 16:00 – 18:00 WIB. Prof. Evans menjelaskan tentang bagaimana komunitas global bekerja untuk memastikan semua anak dan remaja memiliki akses, dapat berpartisipasi, dan belajar dari pendidikan inklusif yang berkualitas. Seperti apakah pendidikan inklusif yang berkualitas? Berdasarkan penjelasan Prof. Evans, pendidikan inklusif yang berkualitas adalah pendidikan yang mendukung masing-masing dari 17 Sustainable Development Goals dan merupakan dasar untuk mempromosikan kesetaraan dan kohesi sosial di semua lapisan masyarakat. Namun, mencapai pendidikan inklusif yang berkualitas di berbagai negara ternyata menimbulkan tantangan besar, dan penyandang disabilitas terus mendapatkan diskriminasi atau tindakan pengucilan pada tingkat yang berbeda-beda. 

Dalam kuliah ini, Prof. Evans membahas desain universal untuk kerangka pembelajaran– sebuah kerangka kerja yang berusaha menghilangkan hambatan dalam konteks pendidikan, dan dengan demikian dapat memberikan dasar bagi pendidikan inklusif yang berkualitas. Kuliah disampaikan menggunakan konteks pendidikan di Australia sebagai dasar untuk menguraikan jalan ke depan untuk mempromosikan akses dan partisipasi yang lebih besar bagi semua pelajar. Hal ini akan menimbulkan dilema berkelanjutan yang dihadapi dalam konteks ini, dan menarik kesejajaran dengan konteks regional lainnya. Pada kuliahnya, Prof. Evans memberikan ide dan saran untuk mengatasi tantangan, hambatan dan dilema melalui mempromosikan kekuatan desain universal untuk kerangka pembelajaran. Dalam mempelajari kerangka desain universal ini, bukan berarti akan ada perbaikan ajaib instan yang dijanjikan; para delegasi, bagaimanapun, ditantang untuk mengatasi keyakinan, sikap dan disposisi mereka terhadap pendidikan inklusif yang berkualitas.

Selanjutnya, Lecture #16 yang berjudul The Lesson Learned from Social Participation of Students with Learning Disabilities in Malaysia  disampaikan oleh Dr. Hasrul Hosshan dari Sultan Idris Education University, Malaysia pada Selasa, 28 September 2021, puku; 17:00 – 19:00 WIB. Pada kuliahnya, Dr. Hosshan menjelaskan bahwa partisipasi sosial merupakan salah satu indikator kunci dari hasil sekolah inklusif. Penelitian menunjukkan bahwa siswa dengan learning disability/LD di kelas cenderung mengalami partisipasi sosial yang lebih sedikit daripada teman sebayanya yang tidak memiliki LD. Pemahaman tentang pentingnya partisipasi sosial dalam mendukung  siswa dengan LD diharapkan dapat meningkatkan rasa memiliki siswa terhadap sekolah, berkembangnya tingkat penerimaan, serta mengurangi ketakutan akan kegagalan dan meningkatkan kesuksesan mereka. Pada kuliah ini, Dr. Hosshan juga mendemonstrasikan tahapan evaluasi pendidikan inklusif dari model Input-Processes-Outcomes (IPO). Partisipan diajak untuk mencari tahu lebih dalam tentang apa itu model IPO serta  bagaimana cara menggunakannya secara efektif pada siswa dengan berbagai tingkat kemampuan dan siswa yang berpartisipasi dalam berbagai kegiatan. Dr. Hosshan juga mendemonstrasikan tentang bagaimana mengumpulkan informasi dan membuat keputusan berdasarkan informasi mengenai tingkat dukungan yang dibutuhkan ketika mendukung siswa dengan LD. Partisipan juga diberikan contoh yang menjelaskan berbagai jenis partisipasi sosial dan bagaimana siswa harus didukung pada setiap tahap model IPO dari perspektif-perspektif kerangka sosio-ekologis.

Lecture #17 sekaligus kuliah terakhir pada modul keempat ini berjudul Intersecting Discourses of Difference, Curriculum, Pedagogy and Assessment: The Implications for Disabled People, Their Families and Their Teachers dan disampaikan oleh Prof. Missy Morton dari The University of Auckland, New Zealand pada Kamis, 30 September 2021 pukul 13:00 – 15:00 WIB. Pada sesi ini, Prof. Morton membantu partisipan menerapkan kerangka teoritis dari psikologi kritis yaitu konstruksi sosial diskursus dan wacana. Pada kuliahnya, Prof. Morton menggunakan ide-ide dari konstruksionisme sosial untuk melihat bagaimana wacana (gagasan, keyakinan, nilai, dan praktik yang saling terkait) dikonstruksi dari aspek sosial. Beliau berfokus pada penjelasan diskursus perbedaan, kurikulum, pedagogi, dan penilaian yang dibangun secara sosial. Pada kuliah ini, partisipan diajak untuk melihat bagaimana perbedaan makna yang dibangun secara sosial dapat membuka beberapa kemungkinan untuk mencapai inklusivitas yang diharapkan. Proses, makna, dan efek ini diilustrasikan melalui proyek sepuluh tahun di sekolah dasar dan menengah Selandia Baru yang telah dikembangkan dengan asesmen naratif.

(SRP CLSD)

Module 3: Disability Across Lifespan Development

BlogEventSummer Course Sunday, 17 October 2021

Liputan Kegiatan Summer Course Module 3: Disability Across Lifespan Development

Center for Life-Span Development (CLSD) berkolaborasi bersama ahli studi Indonesia dan internasional menyelenggarakan summer course bertema International Online Summer Course on Disability and Lifespan Development: Indonesia and Global Perspectives. Summer course yang merupakan buah kerja sama antara CLSD, Fakultas Psikologi, dan OIA (Office of International Affairs) UGM ini turut mengundang 16 pembicara internasional yang berasal dari Malaysia, Inggris, Australia, Selandia Baru, Belanda, dan Amerika Serikat, serta diikuti oleh kurang lebih 45 mahasiswa dan profesional tingkat internasional yang berasal dari berbagai penjuru dunia, seperti Afrika Barat, Australia, Pakistan, Nepal, Tanzania, Filipina, Ghana, Bangladesh, Malaysia, Iran, Romania, Nigeria, Afrika Selatan, serta Amerika Serikat.

Kuliah kesembilan berjudul Children with Disabilities and Life-Span Development Issues yang juga merupakan sesi pertama dari modul ketiga diselenggarakan pada Selasa, 31 Agustus 2021. Dimoderatori oleh  Hanifah Nurul Fatimah, S.Psi., M.Sc., kuliah ini disampaikan oleh Prof. Irwanto dari Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya yang membahas disabilitas pada anak-anak serta permasalahan rentang perkembangan hidup yang ada. Prof. Irwanto menjelaskan pengasuhan anak berkebutuhan khusus dari perspektif perkembangan rentang kehidupan. Beliau membagi pembahasan topik ini ke dalam dua aspek, yang pertama adalah penguraian isu-isu tentang pemahaman disabilitas dalam konteks budaya. Pada bagian ini, Prof. Irwanto menjelaskan apa itu disabilitas, siapa yang mendefinisikan disabilitas dan konsekuensinya, seperti apa kearifan lokal berperan, serta model dan dampak apa saja yang dimiliki disabilitas terhadap kebijakan publik. 

Pada aspek kedua, Prof. Irwanto berbicara tentang disabilitas dari perspektif perkembangan manusia. Kerangka kerja yang beliau gunakan pada aspek  ini adalah rentang perkembangan hidup (life-span development), perkembangan siklus hidup (life-cycle development), model Continuum of care, serta ekologi pembangunan manusia dan isu-isu strategis. Terakhir, Prof. Irwanto turut menyampaikan penjelasan tentang pola asuh bagi anak berkebutuhan khusus, yang di antaranya berhubungan dengan persoalan pola asuh sebagai kebijakan publik, membantu orang tua, dan peran program perlindungan sosial.

Selanjutnya, Lecture #10 yang dimoderatori oleh Ammik Kisriyani, S.Psi., MA pada hari Jumat, 3 September 2021 pukul 16:00 – 18.00 WIB disampaikan oleh dosen Fakultas Psikologi UGM, Supra Wimbarti, M.Sc., Ph.D yang membahas mengenai Learning disability and neuropsychology. Pada kuliahnya, beliau menjelaskan mengenai dua jenis learning disability atau kesulitan belajar yang paling populer, yaitu disleksia dan diskalkulia yang disebabkan oleh persoalan neurologis. Berbeda dengan disleksia yang telah banyak diteliti sejak lebih dari 50 tahun yang lalu, diskalkulia nyatanya masih memerlukan banyak penelitian yang lebih mendalam. Menurut pemaparan Dr. Wimbarti, keduanya merupakan disabilitas yang menjadi perhatian bagi para profesional seperti psikolog, neuropsikolog, neuropediatri, psikiater, guru, dan tentunya orang tua dari anak yang mengalami disleksia dan disalkulia.  Sebagai salah satu gangguan perkembangan saraf, banyak penelitian tentang kesulitan belajar ini yang melibatkan pencitraan saraf (neuroimaging) serta penerapan intervensi psikologis dan neuropsikologis pada anak, remaja, atau dewasa. Pada kuliah ini, Dr. Wimbarti secara keseluruhan membahas tentang pengertian learning disability terutama disleksia dan diskalkulia, gejala awal, etiologi, hubungan neural antara kedua gangguan tersebut, bagaimana bentuk intervensinya, serta bagaimana disabilitas belajar ditangani secara spesifik di Indonesia.

Summer course pun berlanjut ke sesi ke-sebelas dengan tema Required flexibility for student voice research in inclusive education: Meeting the language (needs) of the participant yang dibawakan oleh Dr Renske Ria de Leeuw dari Saxion University of Applied Sciences, The Netherlands pada hari Selasa, 7 September 2021, 05:00 – 07.00 PM Jakarta (GMT +7). Pada sesi yang dimoderatori oleh Dr. Wuri Handayani ini, Dr. de Leeuw menjelaskan mengenai fleksibilitas dalam memenuhi kebutuhan bahasa dan komunikasi anak-anak serta siswa penyandang disabilitas. Beliau  menekankan bahwa setiap siswa memiliki perbedaan, terutama pada setting pendidikan inklusif. Ketika mendengar suara siswa (student voice) dalam pendidikan inklusif, penting bagi kita untuk menjadi peka  dalam aspek budaya, perkembangan, serta kontekstual. Secara umum, Dr. de Leeuw menyampaikan tentang keragaman perkembangan bahasa pada anak dan anak penyandang disabilitas, hak-hak anak dan suara siswa, bagaimana cara memenuhi kemampuan bahasa dan komunikasi anak/siswa, apa itu metodologi Q, serta apa metode penelitian yang fleksibel untuk mencari tahu lebih lanjut hal-hal yang dibutuhkan siswa. Oleh karena itu, peserta pada kuliah ini diperkenalkan dengan metodologi Q dan berbagai aplikasi dari metode tersebut, yang secara bersamaan menunjukkan seperti apa fleksibilitas metode penelitian dalam rangka memenuhi kebutuhan bahasa dan komunikasi dari peserta yang beragam.

Sesi ke-dua belas yang berjudul Self determination and agency in children and youth voices, dilaksanakan pada Jumat, 17 September 2021 pukul 16.00 – 18.00 WIB dan menandakan berakhirnya modul ketiga. Dimoderatori oleh Dr. Wuri Handayani,kuliah ini dibawakan oleh dosen Fakultas Psikologi UGM, Elga Andriana, Ph.D, yang juga merupakan seorang peneliti di bidang pendidikan inklusi, penelitian yang melibatkan  anak-anak, serta Universal Design Learning. Pada kuliah ini, beliau  ditemani oleh tiga rekan penelitinya, yaitu Raditya Setadewa (Sekolah Tumbuh), Keanu Arya (SMKN 5 Yogyakarta), dan Ezra Prabu (Institut Seni Indonesia). Bersama-sama, keempat narasumber membahas dan berbagi tentang bagaimana dukungan dapat diberikan agar anak-anak merasa percaya diri sebagai rekan peneliti (kompetensi); merasa mandiri dalam menentukan pilihan selama tahap penelitian (otonomi); dan merasa terhubung dengan orang lain di sekolah dan masyarakat luas selama proyek (keterkaitan). Selain membagikan pengamatannya tentang self-determination pada  anak-anak dan remaja dalam aktivisme mereka, Dr. Andriana juga mempresentasikan teori dan praktik tentang self-determination dan penelitian dengan anak-anak. .  

(SRP/SNH CLSD)

Module 2: People with Disability at the Intersection

BlogEventSummer Course Wednesday, 8 September 2021

Liputan Kegiatan Summer Course Module 2: People with Disability at the Intersection

Berkolaborasi dengan ahli studi disabilitas Indonesia dan internasional, summer course bertema International Online Summer Course on Disability and Lifespan Development: Indonesia and Global Perspectives bertujuan untuk memfasilitasi pembelajaran kritis dalam menganalisis dan memahami hambatan yang dihadapi oleh penyandang disabilitas, serta mendorong pertukaran ilmu pengetahuan, diskusi, sekaligus membangun koneksi antara ilmuwan muda dan ahli-ahli berpengalaman di ranah penelitian disabilitas yang diharapkan mampu menginspirasi penelitian baru dan implementasinya di dunia nyata. Kursus musim panas ini merupakan summer course pertama yang diselenggarakan oleh Center for Life-Span Development (CLSD), Fakultas Psikologi, Universitas Gadjah Mada. 

Summer course yang merupakan buah kerja sama antara CLSD, Fakultas Psikologi, dan OIA (Office of International Affairs) UGM ini turut mengundang 16 pembicara internasional yang berasal dari Malaysia, Inggris, Australia, Selandia Baru, Belanda, dan Amerika Serikat. Selain itu, kegiatan summer course juga diikuti oleh kurang lebih 45 mahasiswa dan profesional tingkat internasional yang berasal dari berbagai penjuru dunia, seperti Afrika Barat, Australia, Pakistan, Nepal, Tanzania, Filipina, Ghana, Bangladesh, Malaysia, Iran, Romania, Nigeria, Afrika Selatan, serta Amerika Serikat.

Lecture #5 yang merupakan sesi pertama pada modul kedua Summer Course bertajuk Women with Disabilities in Muslim Societies, diselenggarakan pada hari Selasa, 17 Agustus 2021 pada pukul 17.00 – 19.00 WIB. Dimoderatori oleh Dr. Wuri Handayani, kuliah ini disampaikan oleh dua narasumber yaitu  Dr. Dina Afrianty (La Trobe University, Australia) dan Dr. Arina Hayati (Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Indonesia). Kuliah pertama-tama dibuka oleh Dr. Arina Hayati yang menceritakan latar belakang kehidupan serta perjalanan akademiknya sebagai penyandang polio, yang kemudian dilanjutkan oleh Dr. Dina Afrianty yang memaparkan topik utama perkuliahan seputar penelitian disabilitas, interseksionalitas, disabilitas dan Islam, serta perempuan dengan disabilitas dalam masyarakat Muslim. Berdasarkan penjelasan Dr. Afrianty, disabilitas dan agama merupakan salah satu bidang penelitian yang sedang berkembang. Mempelajari ajaran agama tentang disabilitas membantu kita memahami perlakuan dan persepsi masyarakat tentang disabilitas, bagaimana disabilitas digambarkan dalam tradisi dan yurisprudensi suatu agama (di mana dalam kuliah ini adalah Islam), serta memahami terminologi disabilitas dalam sumber-sumber kitab suci dan tradisi dalam Islam. 

Adapun Lecture #6 yang dilaksanakan pada hari Kamis, 19 Agustus 2021 pada pukul 17.00 – 19.– WIB dengan penyampaian materi oleh Herbert Klein (European Society for Mental Health and Deafness, UK) dan Laura Lesmana Wijaya Ketua Pusbisindo (Sign Language Center Indonesia) menjelaskan tentang kesehatan mental kelompok tuli di Indonesia. Merupakan seorang penasihat independen terkemuka dengan jam terbang dan pengalaman luas di bidang mental health services mulai dari fasilitator komunikasi, deaf advisor, dosen tamu, trainer, konselor, hingga deaf therapist, Herbert Klein yang berasal dari Inggris pada kuliah ini menyajikan perbandingan pelayanan kesehatan mental untuk orang-orang tuli di sana dengan yang ada di Indonesia sekaligus memberi gambaran mengenai bagaimana langkah-langkah yang bisa ditempuh selanjutnya. Adapun Laura Lesmana Wijaya yang mengetuai Pusbisindo Indonesia juga aktif sebagai seorang penggiat kampanye hak-hak orang tuli dan menempuh pendidikan di Universitas Hongkong di bidang Linguistik Bahasa Isyarat. Bersama-sama, Laura dan Herbert bekerja sama dengan pemerintah Indonesia pada tahun 2015 membuat perencanaan dalam jangka waktu lima tahun berupa suatu organisasi yang berfokus memperjuangkan hak tuli (seperti akses bahasa Indonesia melalui teks, akses bahasa isyarat, akses kesetaraan dalam pekerjaan, akses kesehatan, akses pendidikan, dan sebagainya) bernama Gerakan untuk Kesejahteraan Tunarungu Indonesia (Indonesian Association for the Welfare of the Deaf). Kuliah ini pun turut dihadiri oleh Surya Sahetapy, yaitu juru bahasa isyarat, aktor, dan aktivis Tuli terkenal di Indonesia.

Summer course pun berlanjut ke sesi ketujuh dengan tema People with Disabilities and Socioeconomic yang dibawakan oleh Dr. Wuri Handayani (Universitas Gadjah Mada, Indonesia) pada hari Selasa, 24 Agustus 2021 pada pukul 17.00 – 19.00 WIB. Seorang dosen dan peneliti di bidang Ekonomi yang juga seorang penyandang disabilitas, Dr. Wuri Handayani menjelaskan mengenai konsep status sosioekonomi secara umum dan dari sudut pandang pandemi serta membahas lingkaran setan yang ada antara disabilitas dan kemiskinan baik dari perspektif internasional maupun Indonesia. Dr. Handayani juga menjelaskan tentang implikasi-implikasi yang diakibatkan oleh ketidakakuratan data pada penyandang disabilitas, regulasi dan permasalahan yang dihadapi dalam membangun edukasi inklusif, partisipasi penyandang disabilitas sebagai tenaga kerja serta perbedaan upah, dan cara memutus vicious cycle disabilitas dan kemiskinan di Indonesia.

Sesi kedelapan yang sekaligus menandakan berakhirnya modul kedua dilaksanakan pada Kamis, 26 Agustus 2021 pukul 16.00 – 18.00 WIB dan dibawakan oleh Dr. Sutarsa Nyoman (Australian National University, Australia). Dr. Sutarsa Nyoman memaparkan kuliah dengan tema Biomedical Power in Shaping Body with Illness and Disability sebelum membagi partisipan ke dalam breakout room untuk mendiskusikan sebuah studi kasus terkait materi yang disampaikan. Pada kuliahnya, Dr. Sutarsa Nyoman mengajak peserta untuk mengidentifikasi kelebihan dan keterbatasan dari model biomedis dan sosial pada diskursus disabilitas. Beliau juga menjelaskan bagaimana cara mengaplikasikan kedua model tersebut dalam memandang masalah serta merencanakan solusi untuk orang-orang yang hidup dengan different abilities, sebelum mendorong peserta untuk berdiskusi mengenai pentingnya interseksionalitas dalam diskursus disabilitas.

(SRP & SNH/CLSD)

Module 1: Disability and Intersectionality

BlogEventSummer Course Saturday, 21 August 2021

Liputan Kegiatan Summer Course Module 1: Disability and Intersectionality

Pada pertengahan tahun 2021, Center for Life-Span Development (CLSD) untuk pertama kalinya menyelenggarakan kegiatan kursus musim panas atau summer course bertajuk International Online Summer Course on Disability and Lifespan Development: Indonesia and Global Perspectives. Berkolaborasi dengan ahli studi disabilitas Indonesia dan dunia, summer course ini berperan sebagai media untuk memfasilitasi pembelajaran kritis dalam menganalisis dan memahami hambatan-hambatan yang saling berkaitan satu sama lain yang dihadapi oleh penyandang disabilitas, serta mendorong pertukaran ilmu pengetahuan, diskusi, sekaligus membangun koneksi antara ilmuwan muda dan ahli-ahli berpengalaman di ranah penelitian disabilitas yang diharapkan dapat menginspirasi penelitian-penelitian baru dan implementasinya di dunia nyata. 

Kegiatan yang merupakan buah kerja sama antara CLSD, Fakultas Psikologi, dan OIA (Office of International Affairs) UGM ini turut mengundang 16 pembicara internasional dan 5 pembicara nasional dengan latar belakang serta bidang studi yang beragam dari berbagai belahan dunia, di antaranya Malaysia, United Kingdom, Australia, Netherlands, New Zealand, dan United States of America. Masing-masing ahli membawakan topik yang komprehensif, spesifik, dan mendalam dalam rangka membedah ranah disabilitas dan rentang perkembangan manusia yang ditilik dari bermacam perspektif. 

Summer course ini diikuti oleh 45 mahasiswa dan profesional internasional yang berasal dari West Africa, Australia, Pakistan, Nepal, Tanzania, Philippines, Ghana, Netherlands, Bangladesh, Malaysia, Iran, Romania, Nigeria, South Africa, dan United States of America, serta 65 mahasiswa dan profesional nasional dari berbagai institusi di Indonesia. Partisipan dari kursus musim panas ini terbagi menjadi tiga kategori yaitu peserta yang mengikuti partisipasi penuh (Full Participation), kehadiran penuh (Full Attendance), serta sesi individu (Individual Session). Ke depannya, Summer Course yang diselenggarakan ini diharapkan dapat membantu peserta dalam:

  1. Memahami dan mengidentifikasi secara kritis konsep disabilitas yang berkembang serta persimpangan antara faktor-faktor kontekstual yang membatasi partisipasi penyandang disabilitas, baik secara teoretis maupun dalam praktek.
  2. Memahami pendekatan metodologis yang berbeda-beda untuk melibatkan penyandang disabilitas dalam knowledge production dan menganalisis serta menjelaskan faktor-faktor faktual yang menjadi penghalang.
  3. Membangun jaringan dengan ahli-ahli berpengalaman di bidang studi disabilitas serta terlibat dalam percakapan atau diskusi yang mendukung perjalanan akademik.
  4. Membentuk proses belajar kolaboratif dan kerja sama dalam latar internasional, multidisipliner, dan multikultural.
  5. Mengembangkan dan mempresentasikan ide penelitian dalam bahasa saintifik serta memberi masukan terhadap sesama peserta dengan sikap kritis dan apresiatif.

Hari pertama Summer Course yang diawali pada tanggal 3 Agustus 2021, dipandu oleh MC Zahra Fadilah Syamil serta dibuka secara resmi oleh Dekan Fakultas Psikologi UGM Prof. Dr. Faturochman, M.A. Selanjutnya, Elga Andriana, S.Psi., M.Ed., Ph.D selaku Kepala Center for Life-Span Development (CLSD) dan moderator pada pertemuan hari pertama, memaparkan secara keseluruhan tentang kegiatan Summer Course tersebut. 

Kegiatan beralih ke acara utama yaitu keynote lecture oleh Profesor Dan Goodley dari University of Sheffield, United Kingdom, yang menandakan dimulainya modul pertama. Membawakan topik Disability and Other Human Questions, Prof. Goodley dengan gagasan utama “Siapakah yang Patut Menjadi Manusia” mengajak partisipan untuk merenungkan ulang seperti apakah humanisme yang sebenarnya dan juga mengingatkan akan fakta bahwa betapa orang-orang dengan disabilitas telah sangat terdampak secara negatif dalam jumlah yang tak seimbang terutama di kondisi pandemi seperti sekarang ini. Mulai dari dikecewakan layanan kesehatan, mengalami segregasi sepanjang lokatara, hingga semakin berisiko untuk diasingkan dan diabaikan. Beliau juga menyampaikan bahwa, bahkan pada 2021, masih berlaku sebuah kenyataan dan perasaan di mana hanya beberapa orang yang “diperbolehkan” menjadi manusia. Oleh karena itu, kita semua berkewajiban untuk menemukan cara baru yang inklusif dan inovatif untuk menghidupkan kembali hubungan manusiawi satu sama lain. Prof Goodley membawa partisipan pada konklusi bahwa disabilitas adalah salah satu fenomena yang menghidupkan kembali pemahaman kita tentang apa artinya menjadi manusia, dan kita, terlebih lagi di masa-masa sulit seperti ini, perlu untuk menemukan kembali rasa kemanusiaan kita bersama.

Adapun sesi kedua dilaksanakan pada 5 Agustus 2021 dengan penyampaian materi oleh Dr. Sheelagh Daniels-Mayes, dosen dan peneliti dari The University of Sydney, Australia yang bertema Disability and Intersectionality. Seorang akademisi dengan visual impairment dan pengalaman di bidang disabilitas serta indigenous studies, Dr. Daniels-Mayes menjelaskan tentang ​​definisi positionality dan identitas, mendefinisikan interseksionalitas dan bagaimana menggunakannya sebagai alat untuk mengubah status quo, seperti apa diskriminasi struktural dan sistemik, serta pentingnya lived experience dan rasa kepemilikan. Selain itu, Dr. Daniels-Mayes juga mengajak partisipan untuk berefleksi terkait siapa-siapa saja yang selama ini masih tertinggal dalam latar pekerjaan, komunitas, ruang kelas, dan/atau organisasi hingga sekarang, identitas apa saja yang belum diperhitungkan atau dilibatkan dalam proyek, kampanye, dan kegiatan, serta bagaimana cara kita mengikutsertakan mereka.

Disebabkan adanya penundaan pada sesi ketiga modul pertama, summer course pun berlanjut ke sesi keempat pada 12 Agustus 2021 yang dibawakan oleh Profesor Katrina Scior dari University College London, United Kingdom, dengan topik Stereotypes, Prejudice and Discrimination Faced by People with Intellectual Disabilities. Mengajar dari sebuah pulau kecil bernama Shetland Islands yang berlokasi di tengah-tengah Skotlandia dan Norwegia, Prof. Scior mulai mendeskripsikan stereotip, prasangka, diskriminasi, serta definisi dari disabilitas intelektual. Setelah menjelaskan hubungan dan dampak stigma terhadap disabilitas intelektual, Prof. Scior berlanjut memaparkan apa saja intervensi-intervensi anti-stigma yang dapat dilakukan di ranah disabilitas intelektual yang diharapkan juga mampu diaplikasikan pada negara-negara berpenghasilan rendah yang pada kenyataannya masih sangat kekurangan terhadap kegiatan penelitian berkelanjutan terlepas dari data statistik yang menunjukkan lebih tingginya penyintas disabilitas. Selain ceramah, Prof. Scior juga meminta partisipan untuk berdiskusi mengenai pengalaman masing-masing terkait topik dalam kelompok-kelompok kecil di Break Out Room agar partisipan bisa saling berpendapat dengan lebih nyaman satu sama lain. Kuliah sesi keempat ini pun sekaligus menandakan berakhirnya modul pertama: Disability and Intersectionality.

(SRP & SNH/CLSD)

Recent Posts

  • Trauma Masa Kecil dan Inner Child yang Terbawa hingga Dewasa
  • Joint Attention: Melatih Kemampuan Eksekutif Bayi dengan Cara Sederhana
  • Berkebun: Salah Satu Sumber Kesehatan Mental di Hari Tua
  • Menilik Tantangan dan Solusi dalam Tahap Perkembangan Keluarga
  • Say No to Loneliness: Cara Menyikapi Loneliness pada Individu Dewasa Awal
Universitas Gadjah Mada

Center for Life-Span Development (CLSD)
D-602, Fakultas Psikologi, Universitas Gadjah Mada
Jalan Sosio Humaniora Bulaksumur, Yogyakarta, Indonesia 55281
clsd.psikologi@ugm.ac.id

© Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY

[EN] We use cookies to help our viewer get the best experience on our website. -- [ID] Kami menggunakan cookie untuk membantu pengunjung kami mendapatkan pengalaman terbaik di situs web kami.I Agree / Saya Setuju