• Home
  • About Us
    • Managing Team
    • Researchers
    • Interns
    • Associates
  • Articles
  • Courses
  • Activities
    • CLSD Reader’s Club
    • Research of Baby Screening
    • COMPRE Class
    • Summer Course
    • Photovoice
    • SAELA
    • Community Service
  • Research & Publication
Universitas Gadjah Mada Center for Life-Span Development (CLSD)
Faculty of Psychology
Universitas Gadjah Mada
  • Home
  • About Us
    • Managing Team
    • Researchers
    • Interns
    • Associates
  • Articles
  • Courses
  • Activities
    • CLSD Reader’s Club
    • Research of Baby Screening
    • COMPRE Class
    • Summer Course
    • Photovoice
    • SAELA
    • Community Service
  • Research & Publication
  • Beranda
  • Blog
  • page. 5
Arsip:

Blog

Module 5: Disability-inclusive Lifespan Methodological Research

BlogEventSummer Course Wednesday, 10 November 2021

Liputan Kegiatan Summer Course Module 5: Disability-inclusive Lifespan Methodological Research

Berkolaborasi dengan ahli studi disabilitas Indonesia dan internasional, summer course bertema International Online Summer Course on Disability and Lifespan Development: Indonesia and Global Perspectives bertujuan untuk memfasilitasi pembelajaran kritis dalam menganalisis dan memahami hambatan yang dihadapi oleh penyandang disabilitas, serta mendorong pertukaran ilmu pengetahuan, diskusi, sekaligus membangun koneksi antara ilmuwan muda dan ahli-ahli berpengalaman di ranah penelitian disabilitas yang diharapkan mampu menginspirasi penelitian baru dan implementasinya di dunia nyata. Kursus musim panas ini merupakan summer course pertama yang diselenggarakan oleh Center for Life-Span Development (CLSD), Fakultas Psikologi, Universitas Gadjah Mada. 

Modul kelima diawali oleh narasumber Prof. Gavin Sullivan dari Coventry University (United Kingdom) dengan topik Disasters, Disability and Collective Action: Individual and Collective Emotional and Identity-related Responses pada hari Senin, 4 Oktober 2021 pukul 17:00 – 19.00 WIB. Prof. Sullivan menjelaskan bahwa, sementara kebijakan-kebijakan bencana menyoroti kebutuhan untuk mengikutsertakan penyandang disabilitas, perencanaan bencana dan penelitian yang berfokus pada penyandang disabilitas masih terbatas. Dalam kuliah ini, Prof. Sullivan mengajak partisipan mengeksplorasi dan mengkritisi pertimbangan disabilitas dalam kaitannya dengan dua penelitian yang telah beliau publikasikan: yang pertama adalah pemeriksaan lanjutan terhadap gempa bumi Yogyakarta tahun 2006 dan yang kedua adalah survei kualitas hidup dan status sosial di antara orang-orang yang dipindahkan, direlokasi, atau masih bertahan di lokasi pasca lima tahun letusan Gunung Sinabung. Di penghujung kuliah, partisipan diharapkan mampu memahami bagaimana eksplorasi pendekatan identitas sosial atau penyembuhan sosial untuk disabilitas dan perkembangan dapat relevan dalam kesiapsiagaan dan pemulihan bencana serta mendiskusikan bagaimana wawasan dari sesi ini dapat diterapkan pada penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti dan rekan-rekan di Palu pada tahun 2022 mendatang.

Lecture selanjutnya terbagi menjadi dua bagian yaitu Lecture ke-18 dan 19 yang dibawakan oleh Prof. Iva Strnadová, profesor Special Education and Disability Studies dari University of New South Wales, Australia pada Selasa, 5 Oktober 2021 dan Rabu, 6 Oktober 2021. Berjudul Co-designing and Co-producing Research with People with Disabilities, Prof. Strnadová menjelaskan mengenai cara mendesain dan melakukan penelitian bersama orang-orang dengan disabilitas. Mengutip Beebeejaum (2014), dalam penelitian atau penciptaan pengetahuan, konteks co-production menekankan kontribusi yang dapat diberikan oleh komunitas non-akademik terhadap proses penelitian (dan hasilnya). Di sini, penelitian dilakukan ‘dengan’ komunitas, bukan ‘dalam’ komunitas. Dalam kuliahnya, Prof. Strnadová menekankan bahwa alih-alih memisahkan produsen pengetahuan dan pengguna pengetahuan menjadi dua kelompok yang berbeda, proses co-production bertujuan untuk menciptakan komunitas yang melakukan praktik bersama di mana semua pemangku kepentingan memiliki peran dalam proses pencarian atau penciptaan pengetahuan (Rycroft-Malone et al., 2016). Dalam sesi ini, partisipan belajar tentang mengapa penelitian bersama sangat penting dalam penelitian yang relevan dengan penyandang disabilitas, dari mana istilah produksi bersama berasal, untuk apa istilah itu diterapkan, apa landasan teoretis dan filosofis dari penelitian bersama, dalam penelitian, apa prinsip-prinsipnya, dan apa manfaat dari penelitian bersama.

Lecture terakhir dari modul kelima sekaligus yang mengakhiri rangkaian sesi Summer Course dibawakan oleh Dr. Michelle Bonati dari State University of New York, Plattsburgh, USA berjudul Research Involving People with Disabilities in Service-Learning in the Community. Lecture ini diadakan pada Kamis, 7 Oktober 2021 pukul 18.00 – 20.00 WIB. Pada sesi ini, Dr. Bonati mengajak peserta belajar tentang service-learning, pendekatan pedagogis yang dapat melibatkan siswa dengan dan tanpa disabilitas dari TK-SMA hingga pendidikan tinggi. Sesi ini juga membahas sepintas tentang kerangka teoritis service-learning dan proses penerapan service-learning dalam memperbaiki kurikulum siswa. Partisipan juga diajak untuk menelaah faktor-faktor pendukung dan penghambat pembelajaran layanan berbasis masyarakat inklusif dengan menggunakan contoh dari Dr. Bonati sendiri yang bekerja sebagai guru pendidikan khusus sekaligus sebagai peneliti. Kuliah ini juga membahas metode dan pertimbangan untuk penelitian inklusif yang melibatkan siswa dengan dan tanpa disabilitas yang terlibat dalam pembelajaran layanan berbasis masyarakat. Pada akhir sesi, partisipan melakukan diskusi kelompok kecil yang berfokus pada studi kasus proyek pembelajaran layanan inklusif dan pertimbangan penelitian. Sebagai penutup, masing-masing perwakilan kelompok berbagi tanggapan atau hasil diskusi terhadap studi kasus dalam sesi tanya-jawab formal.

Student-led Conference

Student-led Conference Day #1 dilakukan pada Selasa, 12 Oktober 2021 pukul 17.00 – 19.00 WIB secara daring melalui Zoom Meeting. Terdapat empat kelompok siswa yang melakukan presentasi atas proposal riset mereka. Kelompok 2 mempresentasikan proposal riset dengan judul “Understanding psychological wellbeing of adolescents with disability during COVID-19 Pandemic in Indonesia.”, disusul oleh kelompok 5 yang membawakan judul “Exploring employers’ perception on employability of people with disabilities in Western and NonWestern countries.”, selanjutnya kelompok 6 dengan tema penelitian Identifying the barriers and supportive factors in the inclusive school that children with disabilities require to to feel safe and motivated to study.“, dan diakhiri oleh kelompok 7 yang memaparkan proposal riset dengan judul “Barriers that University Students with Disabilities Face in Studying Abroad.”. Pada sesi hari ini, terdapat tiga orang pembahas presentasi kelompok siswa yaitu: Dr. Pradytia Putri Pertiwi, Dr. Elga Andriana, dan Dr. Wuri Handayani. Para peserta lain dan juga partisipan umum yang mengikuti sesi student-led conference ini juga dipersilakan untuk mengajukan pertanyaan terkait proposal riset yang telah dipresentasikan.

Hari berikutnya yaitu Kamis, 14 Oktober 2021, pukul 17.00 – 19.00 WIB diteruskan dengan Student-led Conference Day #2 yang dilakukan kembali secara daring melalui Zoom Meeting. Di hari kedua ini, terdapat empat kelompok siswa yang melakukan presentasi atas proposal riset mereka. Presentasi diawali oleh kelompok 1 yang menyampaikan proposal riset dengan tema “Support for children with disabilities to gain access to education from the perspective of bio-psycho-social models during covid-19 pandemic”. Selanjutnya, kelompok 3 memaparkan proposal riset dengan tema “Disability perspectives: education and lifetime consequences” dan dilanjutkan oleh kelompok 1 dengan tema “Supporting a return to school for children with disabilities in a post pandemic environment: A comparative  study of Indonesia, Malaysia, and Australia”. Pada akhir kegiatan, kelompok 8 menutup presentasi dengan tema proposal riset “Acceptance and perception of mainstream teachers and students towards students with disability in an inclusion classroom in Indonesia and Malaysia.” Pada sesi hari ini, Prof. David Evans dari The University of Sydney (Australia) turut hadir dan menjadi pembahas dalam presentasi kelompok siswa. 

Penutup

Rangkaian kegiatan Summer Course secara resmi ditutup oleh Dekan Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, Bapak Rahmat Hidayat, S.Psi., M.Sc., Ph.D. The International Summer Course on Disability and Life-Span Development: Indonesia and Global Perspectives pun telah berakhir. Dengan total 20 sesi, 21 pembicara dari 7 negara berbeda, dan 110 peserta dari 15 negara, Summer Course ini dimulai dari 3 Agustus dan berlangsung hingga 14 Oktober 2021. Kami mengucapkan terima kasih kepada para pembicara atas wawasan dan bimbingan yang telah disampaikan mengenai disabilitas dan perkembangan rentang hidup, serta kepada seluruh peserta Summer Course yang telah berpartisipasi secara aktif dan mendukung kegiatan ini dengan menghadiri sesi dan menyumbangkan ide-ide terbaiknya. Sampai jumpa di acara CLSD selanjutnya!

(SRP CLSD)

Module 4: Collaborative Disability and Lifespan Development Research in Multicultural Setting

BlogEventSummer Course Tuesday, 9 November 2021

Liputan Kegiatan Summer Course Module 4: Collaborative Disability and Lifespan Development Research in Multicultural Setting

Berkolaborasi dengan ahli studi disabilitas Indonesia dan internasional, summer course bertema International Online Summer Course on Disability and Lifespan Development: Indonesia and Global Perspectives bertujuan untuk memfasilitasi pembelajaran kritis dalam menganalisis dan memahami hambatan yang dihadapi oleh penyandang disabilitas, serta mendorong pertukaran ilmu pengetahuan, diskusi, sekaligus membangun koneksi antara ilmuwan muda dan ahli-ahli berpengalaman di ranah penelitian disabilitas yang diharapkan mampu menginspirasi penelitian baru dan implementasinya di dunia nyata. Kursus musim panas ini merupakan summer course pertama yang diselenggarakan oleh Center for Life-Span Development (CLSD), Fakultas Psikologi, Universitas Gadjah Mada. 

Lecture #13 yang merupakan sesi pertama pada modul keempat bertajuk Disability and Family diselenggarakan pada hari Kamis, 16 September 2021 pukul 17.00 – 19. 00 WIB dan disampaikan oleh Prof. Gwynnyth Llewellyn dari The University of Sydney. Prof. Llewellyn menjelaskan mengenai peran keluarga dan disabilitas, di mana keluarga berada di pusat tatanan sosial komunitas dan masyarakat secara lebih luas. Menurut beliau, keluarga memberikan makna pribadi, rasa identitas dan hubungan dalam keluarga serta keterhubungan di luar keluarga dengan masyarakat luas. Banyak faktor–entah itu pribadi, sosial, ekonomi, budaya–mempengaruhi bagaimana pengalaman suatu keluarga yang memiliki anggota keluarga yang merupakan penyandang disabilitas. Dalam kuliah ini, Prof. Llewellyn berbicara tentang konsep keluarga dalam struktur masyarakat dan budaya yang berbeda di berbagai tingkatan; wawasan dari penelitian perkembangan dalam setting multikultural tentang kehidupan keluarga dengan anak dan remaja penyandang disabilitas: serta wawasan dari kolaborasi penelitian internasional mengenai kepala keluarga sebagai orang tua penyandang disabilitas. Selain itu, sebagai ahli terkemuka dalam topik ini, Prof. Llewellyn menjelaskan bagaimana cara memanfaatkan penelitian dengan landasan teoritis dan empiris yang kuat, dan memberikan contoh bagaimana penelitian ini dapat diterapkan dalam kebijakan dan praktik.

Lecture #14 yang bertajuk Disability-inclusive Disaster Risk and Children with Disabilities dilaksanakan pada hari Kamis, 21 September 2021 pada pukul 17.00 – 19.00 WIB dengan penyampaian materi oleh Prof. Laura Stough dari Texas A&M  University (United States of America). Prof. Stough menjelaskan bahwa banyak penelitian kolektif yang menetapkan bahwa bencana mempengaruhi penyandang disabilitas baik secara negatif maupun merugikan penyandang disabilitas dengan banyak cara. Penelitian yang relevan melintasi berbagai fokus disiplin ilmu seperti psikologi, epidemiologi, kesehatan masyarakat, kesehatan mental, studi disabilitas, dan studi bencana. Namun, melakukan penelitian di persimpangan disabilitas dan bencana mengungkap sejumlah tantangan dan hambatan, serta mencerminkan asumsi epistemologis yang berbeda dan pengetahuan yang beragam tentang disabilitas. Organisasi yang berafiliasi dengan disabilitas berperan penting dalam mendukung dan bekerja sama dengan individu dan lembaga menuju pengurangan risiko bencana. Elemen penting dalam mereformasi praktik manajemen darurat adalah memastikan penyandang disabilitas dapat menjadi peserta aktif dalam kesiapsiagaan mereka sendiri, pengurangan risiko bencana, tanggap bencana, serta pemulihan bencana. Dalam kuliah ini, Prof. Stough mengajak partisipan untuk mengeksplorasi penelitian dan praktik di persimpangan disabilitas dan bencana, termasuk konsepsi (dis)ability dan (dis)aster.

Pada minggu berikutnya, Lecture #15 berjudul Universal Design for Learning in School Setting disampaikan oleh Prof. David Evans dari The University of Sydney, Australia pada Rabu, 29 September 2021 pukul 16:00 – 18:00 WIB. Prof. Evans menjelaskan tentang bagaimana komunitas global bekerja untuk memastikan semua anak dan remaja memiliki akses, dapat berpartisipasi, dan belajar dari pendidikan inklusif yang berkualitas. Seperti apakah pendidikan inklusif yang berkualitas? Berdasarkan penjelasan Prof. Evans, pendidikan inklusif yang berkualitas adalah pendidikan yang mendukung masing-masing dari 17 Sustainable Development Goals dan merupakan dasar untuk mempromosikan kesetaraan dan kohesi sosial di semua lapisan masyarakat. Namun, mencapai pendidikan inklusif yang berkualitas di berbagai negara ternyata menimbulkan tantangan besar, dan penyandang disabilitas terus mendapatkan diskriminasi atau tindakan pengucilan pada tingkat yang berbeda-beda. 

Dalam kuliah ini, Prof. Evans membahas desain universal untuk kerangka pembelajaran– sebuah kerangka kerja yang berusaha menghilangkan hambatan dalam konteks pendidikan, dan dengan demikian dapat memberikan dasar bagi pendidikan inklusif yang berkualitas. Kuliah disampaikan menggunakan konteks pendidikan di Australia sebagai dasar untuk menguraikan jalan ke depan untuk mempromosikan akses dan partisipasi yang lebih besar bagi semua pelajar. Hal ini akan menimbulkan dilema berkelanjutan yang dihadapi dalam konteks ini, dan menarik kesejajaran dengan konteks regional lainnya. Pada kuliahnya, Prof. Evans memberikan ide dan saran untuk mengatasi tantangan, hambatan dan dilema melalui mempromosikan kekuatan desain universal untuk kerangka pembelajaran. Dalam mempelajari kerangka desain universal ini, bukan berarti akan ada perbaikan ajaib instan yang dijanjikan; para delegasi, bagaimanapun, ditantang untuk mengatasi keyakinan, sikap dan disposisi mereka terhadap pendidikan inklusif yang berkualitas.

Selanjutnya, Lecture #16 yang berjudul The Lesson Learned from Social Participation of Students with Learning Disabilities in Malaysia  disampaikan oleh Dr. Hasrul Hosshan dari Sultan Idris Education University, Malaysia pada Selasa, 28 September 2021, puku; 17:00 – 19:00 WIB. Pada kuliahnya, Dr. Hosshan menjelaskan bahwa partisipasi sosial merupakan salah satu indikator kunci dari hasil sekolah inklusif. Penelitian menunjukkan bahwa siswa dengan learning disability/LD di kelas cenderung mengalami partisipasi sosial yang lebih sedikit daripada teman sebayanya yang tidak memiliki LD. Pemahaman tentang pentingnya partisipasi sosial dalam mendukung  siswa dengan LD diharapkan dapat meningkatkan rasa memiliki siswa terhadap sekolah, berkembangnya tingkat penerimaan, serta mengurangi ketakutan akan kegagalan dan meningkatkan kesuksesan mereka. Pada kuliah ini, Dr. Hosshan juga mendemonstrasikan tahapan evaluasi pendidikan inklusif dari model Input-Processes-Outcomes (IPO). Partisipan diajak untuk mencari tahu lebih dalam tentang apa itu model IPO serta  bagaimana cara menggunakannya secara efektif pada siswa dengan berbagai tingkat kemampuan dan siswa yang berpartisipasi dalam berbagai kegiatan. Dr. Hosshan juga mendemonstrasikan tentang bagaimana mengumpulkan informasi dan membuat keputusan berdasarkan informasi mengenai tingkat dukungan yang dibutuhkan ketika mendukung siswa dengan LD. Partisipan juga diberikan contoh yang menjelaskan berbagai jenis partisipasi sosial dan bagaimana siswa harus didukung pada setiap tahap model IPO dari perspektif-perspektif kerangka sosio-ekologis.

Lecture #17 sekaligus kuliah terakhir pada modul keempat ini berjudul Intersecting Discourses of Difference, Curriculum, Pedagogy and Assessment: The Implications for Disabled People, Their Families and Their Teachers dan disampaikan oleh Prof. Missy Morton dari The University of Auckland, New Zealand pada Kamis, 30 September 2021 pukul 13:00 – 15:00 WIB. Pada sesi ini, Prof. Morton membantu partisipan menerapkan kerangka teoritis dari psikologi kritis yaitu konstruksi sosial diskursus dan wacana. Pada kuliahnya, Prof. Morton menggunakan ide-ide dari konstruksionisme sosial untuk melihat bagaimana wacana (gagasan, keyakinan, nilai, dan praktik yang saling terkait) dikonstruksi dari aspek sosial. Beliau berfokus pada penjelasan diskursus perbedaan, kurikulum, pedagogi, dan penilaian yang dibangun secara sosial. Pada kuliah ini, partisipan diajak untuk melihat bagaimana perbedaan makna yang dibangun secara sosial dapat membuka beberapa kemungkinan untuk mencapai inklusivitas yang diharapkan. Proses, makna, dan efek ini diilustrasikan melalui proyek sepuluh tahun di sekolah dasar dan menengah Selandia Baru yang telah dikembangkan dengan asesmen naratif.

(SRP CLSD)

1000 HARI PERTAMA KEHIDUPAN

ArtikelBlog Friday, 5 November 2021

1000 HARI PERTAMA KEHIDUPAN
oleh: Ruth Setyaning

photo by Kazuend on Unsplash

1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) adalah periode sejak janin masih berada di dalam kandungan sampai anak berusia 2 tahun. 1000 HPK disebut juga sebagai periode emas, karena pada periode ini terjadi pertumbuhan otak yang sangat pesat, yang mendukung seluruh proses perkembangan anak dengan sempurna. Gizi sangatlah berperan, karena kekurangan gizi pada periode ini tidak dapat diperbaiki di kehidupan selanjutnya. 

1. NUTRISI SAAT KEHAMILAN

Saat hamil, tubuh mengalami perubahan fisik dan hormon. Dalam kondisi tersebut, asupan gizi yang baik sangat penting untuk kesehatan ibu dan janinnya. Selama kehamilan, pastikan kebutuhan nutrisi ibu terpenuhi, sehingga bayi terlahir sehat. Pemenuhan kebutuhan nutrisi bukan berarti makan dalam jumlah porsi yang banyak. Melainkan, ibu harus memastikan bahwa zat gizi yang dibutuhkan selama kehamilan terdapat di dalam makanan yang dikonsumsi.

KEBUTUHAN CAIRAN 

Ibu hamil harus menjaga keseimbangan cairan dalam tubuh agar tidak mengalami dehidrasi. Saat hamil, kebutuhan cairan meningkat karena cairan di dalam terpakai untuk pembentukan cairan ketuban dan mengalirkan asupan makanan ke janin. Jumlah cairan yang dianjurkan untuk ibu hamil yaitu sekurang-kurangnya 2300-3000 ml per hari, atau sekitar 10-12 gelas.

PANTANGAN MAKAN 

  1. Kopi dan teh: konsumsi kafein yang terkandung dalam kopi berisiko menyebabkan keguguran dan berat badan lahir rendah (BBLR), sedangkan teh dapat mengganggu penyerapan zat gizi di dalam usus.
  2. Makanan dan minuman yang mengandung alkohol.
  3. Makanan mentah atau setengah matang: kurang dianjurkan karena berpotensi mengandung bakteri yang berbahaya bagi janin.

STRATEGI UNTUK MENGURANGI MUAL DAN MUNTAH

Mual dan muntah terjadi karena pengaruh hormon HCG (Human Chorionic Gonadotropin) yang meningkat saat hamil, puncaknya pada usia kehamilan 12 minggu. Pada fase ini, yang bisa ibu hamil lakukan adalah:

  • Makan sedikit-sedikit tetapi sering.
  • Hindari makanan dengan kandungan lemak yang tinggi.
  • Hindari makanan yang pedas dan berbumbu tajam.
  • Setelah makan ataupun minum, tidak dianjurkan untuk langsung tidur atau berbaring.
  • Minum di sela-sela makan.
  • Hindari kafein (banyak terkandung di dalam kopi).
  • Melakukan jalan-jalan kecil setelah makan.
  • Tidak disarankan menggunakan pakaian yang ketat.

2. NUTRISI IBU MENYUSUI

Pada saat menyusui, wajar terjadi penurunan berat badan dalam 6 bulan pertama menyusui yaitu sekitar 0.5-1 kg/bulan karena asupan energi banyak digunakan untuk memproduksi ASI. Meski demikian, ada pula yang tidak mengalami penurunan berat badan. Ibu disarankan untuk tetap menjaga asupan makan bergizi seimbang dan banyak minum karena ketika menyusui, kebutuhan cairan dalam tubuh meningkat. Dianjurkan untuk minum air 8-12 gelas setiap harinya untuk mencegah dehidrasi.

FAKTA TENTANG AIR SUSU IBU (ASI) 

  • Produksi ASI sesuai dengan permintaan bayi. Proses pengeluaran ASI merangsang pembentukan ASI, jadi semakin sering ibu menyusui bayinya, akan semakin banyak ASI yang diproduksi. 
  • Frekuensi makan ibu menyusui tidak mempengaruhi produksi ASI.
  • Ukuran payudara tidak menentukan jumlah ASI yang diproduksi.

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI ASI

  1. Gizi: makanan yang dikonsumsi sehari-hari harus mengandung asam folat, protein, kalsium dan zat besi.
  2. Psikis: stres dan kecemasan dapat menghambat produksi ASI.
  3. Perawatan payudara yang dilakukan saat usia 6-9 bulan bisa merangsang kelenjar air susu, memperlancar ASI dan melenturkan serta menguatkan puting susu.

TIPS IBU MENYUSUI

  1. Menghindari minuman yang mengandung kafein (banyak terkandung di kopi), karena bayi belum bisa mencerna kafein di dalam tubuhnya. Kelebihan kafein pada bayi menyebabkan hiperaktif, rewel dan lemas.
  2. Menghindari asap rokok.
  3. Menghindari makanan atau minuman yang mengandung alkohol. Alkohol dapat menurunkan hormon oksitosin, yaitu hormon yang berperan di dalam produksi ASI.
  4. Mengurangi konsumsi makanan yang mengandung banyak bawang putih dan bumbu yang tajam karena dapat mempengaruhi bau ASI.
  5. Mengurangi konsumsi bawang putih, bawang merah, kubis, brokoli, kacang dan melon karena dapat menyebabkan kolik dan diare pada bayi.
  6. Sebaiknya memilih minuman yang tidak mengandung gula.
  7. Diet ketat tidak dianjurkan karena akan mempengaruhi kualitas ASI yang dihasilkan.

3. NUTRISI BAYI

Pemberian gizi yang tepat sangat penting, karena setahun pertama (usia 0-12 bulan) merupakan masa di mana anak mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang pesat. Gizi yang tepat berperan untuk mencapai pertumbuhan, perkembangan dan kesehatan yang optimal. Pada periode ini, sangat dianjurkan untuk selalu memantau pertumbuhan anak, sehingga jika ada masalah gizi dapat segera ditangani sebelum terbawa ke kehidupan selanjutnya.

SYARAT PEMBERIAN MAKANAN BAYI

  1. Memenuhi kecukupan energi dan semua zat gizi.
  2. Susunan hidangan gizinya harus seimbang.
  3. Bentuk dan porsi menyesuaikan daya terima bayi.
  4. Memperhatikan kebersihan dari persiapan makanan, peralatan makan, penyajian dan kebersihan lingkungan.

Makanan lumat: semua makanan yang disajikan dalam bentuk halus, seperti bubur susu.
Makanan lembek: makanan peralihan dari makanan lumat ke makanan biasa seperti nasi tim.

MAKANAN BAYI BERDASARKAN TINGKAT USIA

ASI 

  • Diberikan secara eksklusif pada usia 0-6 bulan, tidak disertai dengan makanan atau minuman lain termasuk air putih. Susu formula hanya diberikan pada kondisi khusus misalnya berat badan bayi rendah, ibu mengalami sakit penyakit tertentu sehingga tidak bisa menyusui.
  • ASI mengandung semua zat gizi yang dibutuhkan oleh bayi pada usia 0-6 bulan.
  • ASI yang diberikan secara eksklusif terbukti mampu membentuk sistem kekebalan tubuh bayi.
  • Sistem pencernaan dan kekebalan tubuh bayi belum terbentuk sempurna sehingga belum bisa mencerna makanan dan minuman selain ASI. Bayi yang mendapat makanan sebelum berusia 6 bulan berisiko terkena alergi, diare, sembelit, batuk pilek dan panas, dibandingkan dengan bayi yang hanya diberi ASI.

 

Makanan Pendamping ASI (MPASI)

  • MPASI merupakan makanan yang diberikan bersamaan dengan pemberian ASI sebagai makanan pendamping untuk melengkapi zat gizi yang kurang dari ASI. 
  • Diberikan saat bayi sudah berusia 6 bulan. Pada usia ini, sistem pencernaan bayi sudah relatif sempurna dan siap menerima MPASI.
  • Tujuan diberikan MPASI:
        1. melengkapi zat gizi yang kurang terdapat pada ASI,
        2. mengembangkan kemampuan bayi untuk menerima makanan dengan berbagai rasa dan tekstur,
        3. mengembangkan kemampuan bayi dalam mengunyah dan menelan. 
      • MPASI diberikan secara hati-hati, sedikit demi sedikit dari bentuk yang encer sampai ke bentuk yang lebih kental.
      • Urutan pemberian MPASI: buah – tepung tepungan – sayur – telur – daging.

      JENIS-JENIS MPASI

      1. Makanan Lumat/Halus (usia 6-7 bulan)
        • Contoh bahan makanan untuk membuat makanan lumat: 
          1. tepung beras atau tepung bebas gluten (contoh: maizena, hunkwe, tepung kacang hijau),
          2. buah yang dihaluskan (pisang, pepaya, jeruk, apel),
          3. sayur yang dihaluskan (wortel, tomat, brokoli).
        • Tepung, sari buah dan sayur lebih baik jika dicampur dengan ASI atau susu formula daripada air biasa.
        • Frekuensi pemberian makanan dan jumlah makanan ditingkatkan secara bertahap, dari 1 kali menjadi 2 sampai 3 kali sehari. 
        • Pertama kali bayi diperkenalkan dengan buah lumat, diberikan 2 sendok makan untuk 2x sehari. Pada 2 sampai 3 hari berturut-turut diberikan buah yang sama agar mengenal rasanya, setelah itu diperkenalkan dengan buah yang lain. Hal ini disarankan untuk mendorong penerimaan dan cita rasa yang baik.
        • Setelah bayi mengenal rasa buah, baru diberikan bubur susu. Setelah cukup mengenal rasa makanan, bayi dapat diberikan makanan secara bergantian, misalnya dalam 2x sehari diberikan buah lumat dan bubur susu.
        • Tingkatkan kekentalan makanan secara bertahap dengan mengurangi jumlah air yang ditambahkan. Pastikan bahwa tekstur MPASI tidak terlalu encer, jadi air yang digunakan tidak berlebihan agar zat gizinya tidak kurang.
        • Cara membuat makanan lumat: 
        • Tepung-tepungan 1-2 sdt dicampur dengan ASI atau susu formula.
        • Pisang, pepaya dilumatkan atau diblender sampai halus. Untuk apel dan jeruk diambil sarinya dan disingkirkan bijinya.
        • Wortel, tomat, brokoli dikukus dengan air mendidih sampai matang selama 5 menit, kemudian diblender (dikukus lebih baik daripada direbus, karena tidak banyak menghilangkan zat gizinya).
        • Hindari penggunaan garam dan gula untuk melatih bayi merasakan rasa alami dari makanan. Gula dan garam sebaiknya diberikan setelah bayi berusia 1 tahun. Bayi yang sudah diperkenalkan dengan garam dan gula terlalu dini akan cenderung menjadi picky-eater atau terlalu pilih-pilih makanan dan susah makan ketika beranjak ke masa anak-anak.

              2. Makanan Tim Campur (usia 8-9 bulan)

            • Tekstur makanan ditingkatkan menjadi bentuk makanan tumbuk, dicincang atau dicacah.Bahan
            • makanan yang diberikan semakin bervariasi, terdiri dari tepung-tepungan, lauk hewani, nabati, sayuran, buah.
            • Bayi mulai diperkenalkan dengan “finger foods”, di mana bayi mulai diajarkan memegang makanannya sendiri. Hal ini dapat melatih penerimaan terhadap tekstur makanan yang bermacam-macam. Bahan makanan yang dipilih tidak menyebabkan risiko tersedak dan dapat melatih pertumbuhan gigi seperti biskuit bayi, apel, wortel, pepaya.

                   3. Makanan Lembek (usia 9-12 bulan) 

                • Tekstur makanan dinaikkan menjadi semi-padat. Contoh: nasi tim, bubur tanpa disaring, irisan makanan lunak.
                • Pemberian makanan ditingkatkan menjadi 3-4 kali sehari, dengan snack 1-2 kali sehari.

                4. NUTRISI TODDLER (1-3 TAHUN)

                 

                Di usia ini, anak mulai mengeksplorasi lingkungan dan berusaha untuk mengontrol orang lain melalui perilakunya. Periode ini merupakan fase di mana anak mengalami perkembangan dan pertumbuhan intelektual. Anak memiliki kemampuan untuk mengunyah makanan dengan tekstur yang beragam, bahkan dapat mengambil dan memasukkan makanan sendiri ke mulut dengan menggunakan tangan.  

                photo by Kelly Sikkema on Unsplash

                PERILAKU MAKAN ANAK USIA TODDLER

                1. Anak mulai menunjukkan preferensi atau makanan yang menjadi kesukaan mereka, dan makanan yang tidak disukai.
                2. Anak bisa makan makanan yang mereka sukai dalam jangka waktu tertentu.
                3. Anak akan mudah diperkenalkan dengan makanan baru saat kondisi lapar atau ketika melihat anggota keluarga yang lain makan makanan tersebut.
                4. Anak akan melihat dan meniru pola dan perilaku makan anggota keluarganya yang lain. Contohnya: bila orangtuanya menyukai sayur, maka anak juga akan cenderung menyukai sayur karena mengikuti apa yang dimakan orang tuanya.
                5. Pada jangka waktu tertentu, anak mengalami penurunan nafsu makan dan mudah teralihkan oleh hal lain saat sedang makan. Hal ini wajar terjadi karena pada fase ini, pertumbuhan anak tidak terlalu pesat dibandingkan ketika masih bayi (slowing growth).

                TIPS PEMBERIAN MAKANAN

                1. Anak usia toddler disajikan makanan sesuai dengan porsi usianya, karena tidak mampu makan makanan dalam jumlah yang banyak sekaligus. Makanan selingan atau snack juga diberikan untuk memenuhi kebutuhan gizi anak.
                2. Tidak dianjurkan untuk memberikan snack kemasan yang terlalu manis atau terlalu asin. Makanan yang mengandung tinggi gula dan garam dapat meningkatkan ambang rasa pada lidah anak, sehingga anak tidak tertarik dengan makanan rumah yang seolah-olah menjadi terasa lebih “hambar”.
                3. Orang tua harus mengontrol porsi makanan utama dan makanan selingan. Porsi makanan selingan tidak lebih banyak dari makanan utama. Contoh snack untuk toddler: puding susu, biskuit khusus untuk anak.
                4. Pastikan makanan memenuhi gizi seimbang, mengandung karbohidrat, protein, lemak dan serat. Sayur dan buah diberikan setiap hari untuk memenuhi kebutuhan vitamin dan mineral, serta mencegah sembelit.
                5. Penuhi asupan cairan untuk mencegah dehidrasi.
                6. Anak mulai diajari untuk menggosok gigi, supaya gigi tetap bersih dan mencegah karies gigi.

                5. NUTRISI PRA SEKOLAH (USIA 3-5 TAHUN)

                Pada periode ini, terjadi fase percepatan pertumbuhan (growth-spurt) sehingga nafsu makan anak akan cenderung meningkat. Anak mulai memiliki sikap ‘ingin menyenangkan’ orang tua atau pengasuhnya, oleh sebab itu pada fase ini adalah waktu yang baik untuk melibatkan anak di dalam mempersiapkan makanan mereka. Anak mulai diberikan kesempatan untuk memilih makanan atau membantu membersihkan bahan makanan saat orang tua memasak.   

                PERILAKU MAKAN ANAK USIA PRA SEKOLAH

                • Mulai mampu mengatur sendiri porsi makannya. Asupan makan bisa naik turun tergantung makanan yang dimakan. Oleh sebab itu orang tua kurang disarankan terlalu memaksa anak untuk selalu menghabiskan makanannya.
                • Meniru perilaku makan orang dewasa atau teman sebayanya. Orang tua atau pengasuh harus menjadi role model makan makanan sehat.
                • Cenderung makan makanan yang sama, yang mereka anggap enak, untuk beberapa waktu tertentu.
                • Mulai tertarik dengan iklan dan tampilan makanan. Orang tua atau pengasuh harus mampu menyajikan tampilan makanan yang menarik untuk anak.
                • Memilih makanan yang sudah familiar bagi mereka. Lingkungan mempengaruhi preferensi atau pemilihan makanan. Misalnya teman sebayanya atau orang tua suka makan tempe, maka hal itu pun akan diikuti oleh anak. 
                • Kesukaan atau ketidaksukaan anak terhadap makanan tertentu dipengaruhi oleh perasaan atau peristiwa di masa lalu. Contohnya anak menyukai kue karena kue tersebut merupakan pemberian temannya saat ulang tahun. Demikian sebaliknya, anak bisa menjadi trauma dan tidak suka makan makanan tertentu karena orangtua pernah memarahinya saat anak tidak menghabiskan makanan tersebut.  
                • Cenderung menolak makanan baru, namun bisa diatasi dengan memperkenalkan makanan baru tersebut secara berulang-ulang sampai anak menerimanya. 

                               

                                        Apakah aku terkena sindrom FoMO? Bagaimana cara mengatasinya?

                                        ArtikelBlog Tuesday, 2 November 2021

                                        Apakah aku terkena sindrom FoMO? Bagaimana cara mengatasinya?
                                        Ditulis oleh: Agustin Andhika Putri
                                        Editor: Lisa Sunaryo Putri

                                        Photo by Vladimir Fedotov on Unsplash

                                        Media sosial tidak dapat dilepaskan dari kehidupan individu khususnya remaja. Media sosial seakan telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam hidupnya. Perkembangan media sosial yang semakin cepat membuat penggunanya tidak ingin tertinggal mengenai informasi baru. Rasa penasaran yang tinggi membuat remaja berusaha untuk selalu up to date. Biasanya, remaja akan merasa cemas ketika dirinya ketinggalan berita dan merasa gelisah bila tidak segera terhubung atau mengikuti tren di dunia maya. 

                                        Rasa takut tertinggal oleh perkembangan informasi di media sosial sering disebut dengan Fear of Missing Out atau biasa disingkat menjadi FoMO. Sindrom FoMO dapat menyebabkan remaja lebih banyak menghabiskan waktunya di media sosial. Hal tersebut terjadi karena remaja merasa takut tertinggal dengan perkembangan jejaring sosial, takut tertinggal dengan informasi mengenai orang lain, dan ketakutan terhadap pengucilan sosial (1). FoMO juga didefinisikan sebagai perasaan gelisah dan takut tertinggal apabila teman-teman melakukan atau merasakan sesuatu yang lebih baik atau lebih menyenangkan daripada apa yang sedang ia lakukan atau miliki pada saat ini (2). FoMO merupakan sindrom kecemasan sosial yang ditandai dengan keinginan untuk terus terhubung dengan apa yang sedang dilakukan oleh orang lain. 

                                        Apakah aku termasuk orang yang memiliki FoMO? Berikut adalah ciri-ciri FoMO, yaitu: 

                                        • Beranggapan orang lain lebih nyaman dan menikmati hidupnya daripada yang kita alami.
                                        • Selalu merasa ketinggalan tren dan tidak mampu melakukan seperti yang dilakukan oleh orang lain.
                                        • Merasa kehilangan sesuatu yang dirasa penting dan kehilangan tersebut membuat hidup selalu merasa kurang. 

                                        Pikiran dan anggapan tersebut dapat muncul sesaat dan setelah melihat unggahan orang lain di media sosial.

                                        Perasaan Fear of Missing Out dapat membahayakan individu karena selalu berusaha mencari informasi terbaru dan keinginan untuk selalu terlibat dalam perkembangan media sosial. Sindrom FoMO memiliki potensi untuk membahayakan diri sendiri dan orang lain, misalnya karena ingin selalu mengetahui informasi terbaru, individu tetap berselancar di dunia maya saat sedang mengemudi atau menghadiri rapat penting. Individu cenderung menggunakan media sosial secara berlebihan, berusaha menanggapi lelucon di grup obrolan secara berlebihan, dan mengikuti lifestyle orang lain di media sosial walaupun tidak sesuai dengan kepribadiannya. Oleh sebab itu, FoMO juga dikaitkan dengan individu yang memiliki autonomy yang rendah. Artinya, individu cenderung tidak memiliki kemampuan untuk memilih sesuatu berdasarkan dirinya sendiri. 

                                        Hasil survei yang dilakukan oleh Organisasi Profesi Psikologi Australia (Australian Psychological Society) atau APS menunjukkan sebanyak 50% remaja memiliki prevalensi FoMO dan 25% pada kelompok dewasa ¹. Sedangkan, survei lembaga independen kesehatan masyarakat di Inggris Royal Society of Public Health atau RSPH menemukan bahwa sebanyak 40% pengguna media sosial mengidap gangguan FoMO². Di Indonesia sendiri, beberapa fenomena FoMO memiliki dampak yang tragis. Salah satu portal berita online pernah mengangkat kasus tentang remaja berusia 15 tahun yang tewas usai melakukan selfie dari lantai lima sebuah gedung kosong di Jakarta Utara³. Perilaku yang mengikuti tren tersebut dapat mengakibatkan dampak buruk hingga menghilangkan nyawa seseorang. 

                                        Contoh kasus lain terjadi di tahun 2018. Saat itu seluruh dunia dihebohkan dengan Kiki Challenge yang pada akhirnya pihak berwajib mengeluarkan larangan untuk melakukan tarian tersebut. Kiki Challenge adalah sebuah tantangan menari yang dikemas dalam bentuk video dengan diiringi lagu Drake-In My Feelings. Sekilas hal tersebut merupakan sesuatu yang normal dilakukan. Akan tetapi, tantangan ini mengharuskan individu untuk melompat keluar dan menari di sebelah pintu mobilnya yang terbuka sedangkan mobil tersebut masih dalam kondisi berjalan. Rekan satunya di dalam mobil bertugas untuk merekam aktivitas tersebut. Hal ini tentu membuat polisi geram karena dapat membahayakan nyawa dan mengganggu pengguna jalan yang lain4. 

                                        Individu yang memiliki gangguan FoMO yang tinggi cenderung mengalami perasaan cemas, harga diri yang rendah, dan tidak berdaya. Selain itu, individu yang mengalami perasaan FoMO yang intens, sering dikaitkan dengan peningkatan efek negatif, seperti peningkatan kelelahan, stres yang lebih besar, lebih banyak masalah tidur dan gejala fisik, sementara tidak terkait dengan afek positif dan vitalitas (3). Hal tersebut dapat terjadi karena individu yang melihat konten orang lain secara emosional akan percaya bahwa orang lain lebih bahagia, sukses, dan lebih positif secara emosional dibandingkan dengan hidup mereka sendiri. 

                                        Oleh sebab itu, Martha Beck seorang sosiolog yang pernah didiagnosis mengalami sindrom Fear of Missing Out, memberikan beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengurangi FoMO5:

                                        1. Sadarilah bahwa FoMO didasarkan pada sebuah kebohongan, seseorang yang mem-posting aktivitasnya di situs media sosial telah memilih bagian mana dari aktivitas tersebut yang akan dibagikan. 
                                        2. Lawan FoMO dengan mengubah pola pikir, seseorang dapat memakai diksi yang berbeda. Misalnya FoMO yang dimaksud adalah ‘Feel okay more often’. 
                                        3. Mengendalikan diri atau memutuskan untuk berhenti dan mengurangi waktu penggunaan media sosial. Sadari bahwa berinteraksi secara langsung lebih menyenangkan daripada melalui media sosial. 

                                        Selain itu, terdapat pula beberapa penelitian yang memberikan cara bagaimana mengatasi FoMo antara lain (1,3,4,5) :

                                        1. Terapi kognitif.
                                        2. Mengisi waktu luang dengan kegiatan yang lebih bermanfaat, seperti bergabung dengan kegiatan sosial daripada menggunakan media sosial secara intensif.
                                        3. Penjelasan penggunaan smartphone dan literasi media sosial pada masa remaja.
                                        4. Meningkatkan hubungan keluarga dan teman sebaya untuk meningkatkan kesehatan mental dan kesadaran remaja.

                                        Dari beberapa penjelasan di atas, semoga teman-teman menjadi bisa mengetahui apakah saat ini sedang mengalami FoMO. Jika iya, semangat untuk melawan dan fokus kepada pengembangan diri masing-masing. Yuk, ubah Fear of Missing Out-mu menjadi Feel Okay More Often. 


                                        1https://www.psychology.org.au/news/media_releases/8Nov2015-stress/
                                        2 https://www.rsph.org.uk/static/uploaded/d125b27c-0b62-41c5-a2c0155a8887cd01.pdf
                                        3https://news.detik.com/berita/d-3204210/asyik-selfie-siswa-smp-tewas-terjatuh-dari-lantai-5-gedung-kosong-di-koja
                                        4https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20180724150946-255-316593/bahaya-di-balik-viralnya-keke-challenge
                                        5https://www.huffpost.com/entry/fomo-fear-of-missing-out_n_3685195

                                        Daftar Pustaka

                                        1. Coskun, S. (2019). Investigation of problematic mobile phones use and fear of missing out (fomo) level in adolescents. Community Mental Health Journal, 55, 1004–1014
                                        2. Akbar, R. S., Aulya, A., Apsari, A., & Sofia, L. (2018). Ketakutan akan kehilangan momen (fomo) pada remaja kota samarinda. Psikostudia: Jurnal Psikologi, 7(2), 38–47.
                                        3. Milyavskaya, M., Saffran, M., Hope, N., & Koestner, R. (2018). Fear of missing out: Prevalence, dynamics, and consequences of experiencing FoMO. Motivation and Emotion, 42(5), 725–737. https://doi.org/10.1007/s11031-018-9683-5.
                                        4. Dossey, L. (2014). FoMO, digital dementia, and our dangerous experiment. Explore: The Journal of Science and Healing, 10(2), 69–73. https://doi.org/10.1016/j.explore.2013.12.008.
                                        5. Akbay, S. E. (2019). Smartphone addiction, fear of missing out, and perceived competence as predictors of social media addiction of adolescents. European Journal of Educational Research, 8(2), 559–566. https://doi.org/10.12973/eu-jer.8.2.559.

                                        Module 3: Disability Across Lifespan Development

                                        BlogEventSummer Course Sunday, 17 October 2021

                                        Liputan Kegiatan Summer Course Module 3: Disability Across Lifespan Development

                                        Center for Life-Span Development (CLSD) berkolaborasi bersama ahli studi Indonesia dan internasional menyelenggarakan summer course bertema International Online Summer Course on Disability and Lifespan Development: Indonesia and Global Perspectives. Summer course yang merupakan buah kerja sama antara CLSD, Fakultas Psikologi, dan OIA (Office of International Affairs) UGM ini turut mengundang 16 pembicara internasional yang berasal dari Malaysia, Inggris, Australia, Selandia Baru, Belanda, dan Amerika Serikat, serta diikuti oleh kurang lebih 45 mahasiswa dan profesional tingkat internasional yang berasal dari berbagai penjuru dunia, seperti Afrika Barat, Australia, Pakistan, Nepal, Tanzania, Filipina, Ghana, Bangladesh, Malaysia, Iran, Romania, Nigeria, Afrika Selatan, serta Amerika Serikat.

                                        Kuliah kesembilan berjudul Children with Disabilities and Life-Span Development Issues yang juga merupakan sesi pertama dari modul ketiga diselenggarakan pada Selasa, 31 Agustus 2021. Dimoderatori oleh  Hanifah Nurul Fatimah, S.Psi., M.Sc., kuliah ini disampaikan oleh Prof. Irwanto dari Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya yang membahas disabilitas pada anak-anak serta permasalahan rentang perkembangan hidup yang ada. Prof. Irwanto menjelaskan pengasuhan anak berkebutuhan khusus dari perspektif perkembangan rentang kehidupan. Beliau membagi pembahasan topik ini ke dalam dua aspek, yang pertama adalah penguraian isu-isu tentang pemahaman disabilitas dalam konteks budaya. Pada bagian ini, Prof. Irwanto menjelaskan apa itu disabilitas, siapa yang mendefinisikan disabilitas dan konsekuensinya, seperti apa kearifan lokal berperan, serta model dan dampak apa saja yang dimiliki disabilitas terhadap kebijakan publik. 

                                        Pada aspek kedua, Prof. Irwanto berbicara tentang disabilitas dari perspektif perkembangan manusia. Kerangka kerja yang beliau gunakan pada aspek  ini adalah rentang perkembangan hidup (life-span development), perkembangan siklus hidup (life-cycle development), model Continuum of care, serta ekologi pembangunan manusia dan isu-isu strategis. Terakhir, Prof. Irwanto turut menyampaikan penjelasan tentang pola asuh bagi anak berkebutuhan khusus, yang di antaranya berhubungan dengan persoalan pola asuh sebagai kebijakan publik, membantu orang tua, dan peran program perlindungan sosial.

                                        Selanjutnya, Lecture #10 yang dimoderatori oleh Ammik Kisriyani, S.Psi., MA pada hari Jumat, 3 September 2021 pukul 16:00 – 18.00 WIB disampaikan oleh dosen Fakultas Psikologi UGM, Supra Wimbarti, M.Sc., Ph.D yang membahas mengenai Learning disability and neuropsychology. Pada kuliahnya, beliau menjelaskan mengenai dua jenis learning disability atau kesulitan belajar yang paling populer, yaitu disleksia dan diskalkulia yang disebabkan oleh persoalan neurologis. Berbeda dengan disleksia yang telah banyak diteliti sejak lebih dari 50 tahun yang lalu, diskalkulia nyatanya masih memerlukan banyak penelitian yang lebih mendalam. Menurut pemaparan Dr. Wimbarti, keduanya merupakan disabilitas yang menjadi perhatian bagi para profesional seperti psikolog, neuropsikolog, neuropediatri, psikiater, guru, dan tentunya orang tua dari anak yang mengalami disleksia dan disalkulia.  Sebagai salah satu gangguan perkembangan saraf, banyak penelitian tentang kesulitan belajar ini yang melibatkan pencitraan saraf (neuroimaging) serta penerapan intervensi psikologis dan neuropsikologis pada anak, remaja, atau dewasa. Pada kuliah ini, Dr. Wimbarti secara keseluruhan membahas tentang pengertian learning disability terutama disleksia dan diskalkulia, gejala awal, etiologi, hubungan neural antara kedua gangguan tersebut, bagaimana bentuk intervensinya, serta bagaimana disabilitas belajar ditangani secara spesifik di Indonesia.

                                        Summer course pun berlanjut ke sesi ke-sebelas dengan tema Required flexibility for student voice research in inclusive education: Meeting the language (needs) of the participant yang dibawakan oleh Dr Renske Ria de Leeuw dari Saxion University of Applied Sciences, The Netherlands pada hari Selasa, 7 September 2021, 05:00 – 07.00 PM Jakarta (GMT +7). Pada sesi yang dimoderatori oleh Dr. Wuri Handayani ini, Dr. de Leeuw menjelaskan mengenai fleksibilitas dalam memenuhi kebutuhan bahasa dan komunikasi anak-anak serta siswa penyandang disabilitas. Beliau  menekankan bahwa setiap siswa memiliki perbedaan, terutama pada setting pendidikan inklusif. Ketika mendengar suara siswa (student voice) dalam pendidikan inklusif, penting bagi kita untuk menjadi peka  dalam aspek budaya, perkembangan, serta kontekstual. Secara umum, Dr. de Leeuw menyampaikan tentang keragaman perkembangan bahasa pada anak dan anak penyandang disabilitas, hak-hak anak dan suara siswa, bagaimana cara memenuhi kemampuan bahasa dan komunikasi anak/siswa, apa itu metodologi Q, serta apa metode penelitian yang fleksibel untuk mencari tahu lebih lanjut hal-hal yang dibutuhkan siswa. Oleh karena itu, peserta pada kuliah ini diperkenalkan dengan metodologi Q dan berbagai aplikasi dari metode tersebut, yang secara bersamaan menunjukkan seperti apa fleksibilitas metode penelitian dalam rangka memenuhi kebutuhan bahasa dan komunikasi dari peserta yang beragam.

                                        Sesi ke-dua belas yang berjudul Self determination and agency in children and youth voices, dilaksanakan pada Jumat, 17 September 2021 pukul 16.00 – 18.00 WIB dan menandakan berakhirnya modul ketiga. Dimoderatori oleh Dr. Wuri Handayani,kuliah ini dibawakan oleh dosen Fakultas Psikologi UGM, Elga Andriana, Ph.D, yang juga merupakan seorang peneliti di bidang pendidikan inklusi, penelitian yang melibatkan  anak-anak, serta Universal Design Learning. Pada kuliah ini, beliau  ditemani oleh tiga rekan penelitinya, yaitu Raditya Setadewa (Sekolah Tumbuh), Keanu Arya (SMKN 5 Yogyakarta), dan Ezra Prabu (Institut Seni Indonesia). Bersama-sama, keempat narasumber membahas dan berbagi tentang bagaimana dukungan dapat diberikan agar anak-anak merasa percaya diri sebagai rekan peneliti (kompetensi); merasa mandiri dalam menentukan pilihan selama tahap penelitian (otonomi); dan merasa terhubung dengan orang lain di sekolah dan masyarakat luas selama proyek (keterkaitan). Selain membagikan pengamatannya tentang self-determination pada  anak-anak dan remaja dalam aktivisme mereka, Dr. Andriana juga mempresentasikan teori dan praktik tentang self-determination dan penelitian dengan anak-anak. .  

                                        (SRP/SNH CLSD)

                                        Short News: Teenager-Related Cyberbullying Case in Indonesia

                                        ArtikelArtikelBlog Thursday, 23 September 2021

                                        Kurnia Yohana Yulianti, S.Psi., M.Sc. dan Acintya Ratna Priwati, S.Psi., M.A. yang merupakan peneliti dari Center for Life-Span Development (CLSD) berkolaborasi dengan Center for Digital Society (CfDS) melakukan riset berjudul: Fenomena Cyberbullying pada Remaja di Indonesia (Teenager-Related Cyberbullying Case in Indonesia) yang berlangsung dari tahun 2020 hingga pertengahan tahun 2021.

                                        Penelitian ini dilatarbelakangi oleh fenomena penggunaan media sosial yang kini telah menjadi bagian integral kehidupan sehari-hari terlebih pada generasi muda. Bagi mereka, media sosial menjadi sarana yang tepat untuk mengekspresikan perasaan, bersosialisasi dengan teman sebaya, dan mengeksplorasi identitas pribadi tanpa harus melakukan interaksi tatap muka. Namun, terdapat bahaya cyberbullying yang mengintai anak-anak muda di media sosial. Pada tahun 2016, KPAI mencatat 904 kasus bullying online terhadap anak di bawah umur. Selain itu, sebuah survei pada 495 murid SMA di Yogyakarta juga menemukan bahwa sebanyak 80% responden telah mengalami cyber victimization (Safaria dkk., 2016). 

                                        Cyberbullying yang didefinisikan sebagai kerugian yang disengaja dan berulang yang ditimbulkan melalui komputer, ponsel, dan perangkat elektronik lainnya (Patchin & HInduja, 2015) berusaha diteliti melalui perspektif psikologis dan sosiologis dalam penelitian ini. Pada perspektif psikologis, digunakan Theory of Planned Behavior yang telah banyak dilibatkan dalam memahami isu cyberbullying pada remaja. Di samping itu, peneliti juga menilik dua faktor normatif pribadi (extended) yang dapat mempengaruhi intensi perilaku individu serta proses pengambilan keputusan, norma-norma moral, serta anticipated regret. Melalui perspektif sosiologis, penelitian ini berusaha menjelaskan bagaimana ketidakseimbangan kekuasaan (power imbalances) dapat berkontribusi dalam berkembangnya praktik cyberbullying di antara remaja. Dengan begitu, penelitian ini berusaha meneliti peran media sosial dalam fenomena cyberbullying pada remaja di Indonesia.

                                        Disesuaikan dengan tujuan penelitian, peneliti menggunakan metode pendekatan campuran. Pengumpulan data dilakukan melalui survei, focus group discussion (FGD), dan wawancara. Survei nasional dilakukan pada 34 provinsi di Indonesia untuk mengumpulkan data kuantitatif mengenai perspektif dan pengalaman remaja Indonesia tentang cyberbullying. Sampel dipilih berdasarkan stratified random sampling untuk memastikan representasi remaja di seluruh Indonesia. Sesi wawancara melibatkan 6 pasangan orangtua dari remaja berusia 13-18 tahun. Sementara itu, sesi FGD melibatkan partisipan dari SMA 1 Bantul, SMP 2 Lendah, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kementerian Pendidikan, Komisi Perlindungan Anak, Clerry Cleffy Institute, dan SEJIWA Foundation. 

                                        Berdasarkan data yang didapat, sejumlah 3077 partisipan memenuhi kriteria dan merespon kuesioner. Secara keseluruhan, 1182 partisipan atau 38.41% mengaku sebagai cyber-offender dan 45.35% merupakan cyber-victims. Pelaku siber menggunakan tiga platform media sosial terbanyak masing-masing di WhatsApp, Instagram, dan Facebook. Pelaku melakukan  cyberbullying dalam bentuk perilaku merendahkan (menyebarkan gosip dan rumor), dan mengucilkan (mengisolasi orang lain dari grup yang diikuti di platform online). Dengan membandingkan tingkat pendidikan peserta, ditemukan bahwa lebih banyak siswa sekolah menengah yang terlibat dalam pencemaran nama baik dan pengucilan. Data tersebut juga menunjukkan bahwa partisipan pria lebih banyak terlibat dalam cyberbullying melalui pelecehan dan pengucilan dan partisipan perempuan lebih banyak terlibat dalam perilaku pencemaran nama baik. Sedangkan secara kualitatif, survei menunjukkan bahwa cyberbullying merupakan fenomena umum di kalangan remaja Indonesia. Tidak hanya rentan menjadi korban, remaja juga bisa menjadi pelaku cyberbullying.

                                        Adapun terkait strategi dan intervensi, berdasarkan penelitian kami, diperoleh pendekatan alternatif untuk mengatasi cyberbullying di kalangan anak muda Indonesia,  yaitu program anti-cyberbullying dengan menggunakan TPB sebagai kerangka teoritisnya. Program ini berfokus pada determinan niat dan perilaku cyberbullying yang terkait dengan faktor internal (yaitu sikap, keyakinan, dan kontrol perilaku yang dirasakan) dan faktor eksternal (yaitu bagaimana orang lain menanggapi perilaku tersebut).

                                        Secara praktis, kerangka TPB dapat diimplementasikan melalui strategi berikut:

                                        • Memberikan dan mensosialisasikan informasi yang relevan tentang pengertian cyberbullying sesuai konteks Indonesia. 
                                        • Memberikan pengetahuan dan kesadaran tentang akibat negatif dari perilaku terkait.
                                        • Pemberdayaan dan pelatihan bagi orang tua dan guru sekolah atau konselor tentang pelaksanaan program TPB.
                                        • Memberikan koordinasi yang lebih komprehensif antar pemangku kepentingan untuk memperkuat sistem perlindungan di ruang online, terutama untuk anak-anak. 
                                        • Meningkatkan kerja kolaboratif antar pemangku kepentingan, baik di tingkat nasional dan lokal, tentang tindakan pencegahan.

                                        (sumber foto: RODNAE Productions from Pexels)


                                        Penelitian ini merupakan salah satu upaya paling awal dan komprehensif untuk memahami cyberbullying remaja di Indonesia. Oleh karena itu, penelitian ini berkontribusi untuk membangun pengetahuan tentang fenomena cyberbullying remaja di tanah air. Hal ini dilakukan dengan menjangkau sejumlah besar responden pelajar remaja di seluruh penjuru  Indonesia. Selanjutnya, penelitian ini secara ekstensif menjelaskan cyberbullying remaja dengan menganalisis faktor psikologis dan sosiologis. Para peneliti menganalisis Perspektif Psikologis (TPB) dan menyelidiki dua faktor normatif pribadi yang diperluas yang mempengaruhi niat perilaku individu dan proses pengambilan keputusan, norma moral, dan penyesalan yang diantisipasi. Dalam arti yang lebih luas di mana lingkungan sosiologis menjadi penentu aktif fenomena tersebut, peneliti juga menemukan bahwa ketidakseimbangan kekuatan dapat berkontribusi pada menjamurnya praktik cyberbullying di kalangan remaja.

                                        Masih banyak peluang untuk menganalisis data-data tersebut secara lebih rinci. Sebagai contoh, data tersebut dapat digali untuk mengkonstruksi perspektif dan definisi masyarakat Indonesia tentang cyberbullying, seperti definisi cyberbullying dalam bahasa Indonesia masih belum jelas. Selain itu, peneliti menemukan bahwa ada beberapa definisi cyberbullying yang tidak sesuai dengan yang diidentifikasi dalam penelitian yang ada, dibandingkan dengan apa yang ditemukan di lapangan. Dengan demikian, beberapa tindakan dapat diidentifikasi sebagai cyberbullying dalam literatur, sementara tidak mungkin terjadi dalam konteks Indonesia, dan sebaliknya.

                                        Studi ini, mungkin, dapat menganalisis secara intensif mengapa beberapa daerah memiliki kasus cyberbullying yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang lain. Selain itu, penelitian ini juga dapat mencakup mengapa kasus cyberbullying di beberapa platform ditemukan lebih tinggi daripada yang lain. Terakhir, hasil penelitian ini dapat dianalisis lebih lanjut untuk mengidentifikasi rekomendasi kebijakan. 

                                        Sumber: #35 CfDS Digitimes – Teenager Related Cyberbullying Case in Indonesia ugm.id/cfdsdigitimes

                                        (SRP & SNH/CLSD)

                                        Module 2: People with Disability at the Intersection

                                        BlogEventSummer Course Wednesday, 8 September 2021

                                        Liputan Kegiatan Summer Course Module 2: People with Disability at the Intersection

                                        Berkolaborasi dengan ahli studi disabilitas Indonesia dan internasional, summer course bertema International Online Summer Course on Disability and Lifespan Development: Indonesia and Global Perspectives bertujuan untuk memfasilitasi pembelajaran kritis dalam menganalisis dan memahami hambatan yang dihadapi oleh penyandang disabilitas, serta mendorong pertukaran ilmu pengetahuan, diskusi, sekaligus membangun koneksi antara ilmuwan muda dan ahli-ahli berpengalaman di ranah penelitian disabilitas yang diharapkan mampu menginspirasi penelitian baru dan implementasinya di dunia nyata. Kursus musim panas ini merupakan summer course pertama yang diselenggarakan oleh Center for Life-Span Development (CLSD), Fakultas Psikologi, Universitas Gadjah Mada. 

                                        Summer course yang merupakan buah kerja sama antara CLSD, Fakultas Psikologi, dan OIA (Office of International Affairs) UGM ini turut mengundang 16 pembicara internasional yang berasal dari Malaysia, Inggris, Australia, Selandia Baru, Belanda, dan Amerika Serikat. Selain itu, kegiatan summer course juga diikuti oleh kurang lebih 45 mahasiswa dan profesional tingkat internasional yang berasal dari berbagai penjuru dunia, seperti Afrika Barat, Australia, Pakistan, Nepal, Tanzania, Filipina, Ghana, Bangladesh, Malaysia, Iran, Romania, Nigeria, Afrika Selatan, serta Amerika Serikat.

                                        Lecture #5 yang merupakan sesi pertama pada modul kedua Summer Course bertajuk Women with Disabilities in Muslim Societies, diselenggarakan pada hari Selasa, 17 Agustus 2021 pada pukul 17.00 – 19.00 WIB. Dimoderatori oleh Dr. Wuri Handayani, kuliah ini disampaikan oleh dua narasumber yaitu  Dr. Dina Afrianty (La Trobe University, Australia) dan Dr. Arina Hayati (Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Indonesia). Kuliah pertama-tama dibuka oleh Dr. Arina Hayati yang menceritakan latar belakang kehidupan serta perjalanan akademiknya sebagai penyandang polio, yang kemudian dilanjutkan oleh Dr. Dina Afrianty yang memaparkan topik utama perkuliahan seputar penelitian disabilitas, interseksionalitas, disabilitas dan Islam, serta perempuan dengan disabilitas dalam masyarakat Muslim. Berdasarkan penjelasan Dr. Afrianty, disabilitas dan agama merupakan salah satu bidang penelitian yang sedang berkembang. Mempelajari ajaran agama tentang disabilitas membantu kita memahami perlakuan dan persepsi masyarakat tentang disabilitas, bagaimana disabilitas digambarkan dalam tradisi dan yurisprudensi suatu agama (di mana dalam kuliah ini adalah Islam), serta memahami terminologi disabilitas dalam sumber-sumber kitab suci dan tradisi dalam Islam. 

                                        Adapun Lecture #6 yang dilaksanakan pada hari Kamis, 19 Agustus 2021 pada pukul 17.00 – 19.– WIB dengan penyampaian materi oleh Herbert Klein (European Society for Mental Health and Deafness, UK) dan Laura Lesmana Wijaya Ketua Pusbisindo (Sign Language Center Indonesia) menjelaskan tentang kesehatan mental kelompok tuli di Indonesia. Merupakan seorang penasihat independen terkemuka dengan jam terbang dan pengalaman luas di bidang mental health services mulai dari fasilitator komunikasi, deaf advisor, dosen tamu, trainer, konselor, hingga deaf therapist, Herbert Klein yang berasal dari Inggris pada kuliah ini menyajikan perbandingan pelayanan kesehatan mental untuk orang-orang tuli di sana dengan yang ada di Indonesia sekaligus memberi gambaran mengenai bagaimana langkah-langkah yang bisa ditempuh selanjutnya. Adapun Laura Lesmana Wijaya yang mengetuai Pusbisindo Indonesia juga aktif sebagai seorang penggiat kampanye hak-hak orang tuli dan menempuh pendidikan di Universitas Hongkong di bidang Linguistik Bahasa Isyarat. Bersama-sama, Laura dan Herbert bekerja sama dengan pemerintah Indonesia pada tahun 2015 membuat perencanaan dalam jangka waktu lima tahun berupa suatu organisasi yang berfokus memperjuangkan hak tuli (seperti akses bahasa Indonesia melalui teks, akses bahasa isyarat, akses kesetaraan dalam pekerjaan, akses kesehatan, akses pendidikan, dan sebagainya) bernama Gerakan untuk Kesejahteraan Tunarungu Indonesia (Indonesian Association for the Welfare of the Deaf). Kuliah ini pun turut dihadiri oleh Surya Sahetapy, yaitu juru bahasa isyarat, aktor, dan aktivis Tuli terkenal di Indonesia.

                                        Summer course pun berlanjut ke sesi ketujuh dengan tema People with Disabilities and Socioeconomic yang dibawakan oleh Dr. Wuri Handayani (Universitas Gadjah Mada, Indonesia) pada hari Selasa, 24 Agustus 2021 pada pukul 17.00 – 19.00 WIB. Seorang dosen dan peneliti di bidang Ekonomi yang juga seorang penyandang disabilitas, Dr. Wuri Handayani menjelaskan mengenai konsep status sosioekonomi secara umum dan dari sudut pandang pandemi serta membahas lingkaran setan yang ada antara disabilitas dan kemiskinan baik dari perspektif internasional maupun Indonesia. Dr. Handayani juga menjelaskan tentang implikasi-implikasi yang diakibatkan oleh ketidakakuratan data pada penyandang disabilitas, regulasi dan permasalahan yang dihadapi dalam membangun edukasi inklusif, partisipasi penyandang disabilitas sebagai tenaga kerja serta perbedaan upah, dan cara memutus vicious cycle disabilitas dan kemiskinan di Indonesia.

                                        Sesi kedelapan yang sekaligus menandakan berakhirnya modul kedua dilaksanakan pada Kamis, 26 Agustus 2021 pukul 16.00 – 18.00 WIB dan dibawakan oleh Dr. Sutarsa Nyoman (Australian National University, Australia). Dr. Sutarsa Nyoman memaparkan kuliah dengan tema Biomedical Power in Shaping Body with Illness and Disability sebelum membagi partisipan ke dalam breakout room untuk mendiskusikan sebuah studi kasus terkait materi yang disampaikan. Pada kuliahnya, Dr. Sutarsa Nyoman mengajak peserta untuk mengidentifikasi kelebihan dan keterbatasan dari model biomedis dan sosial pada diskursus disabilitas. Beliau juga menjelaskan bagaimana cara mengaplikasikan kedua model tersebut dalam memandang masalah serta merencanakan solusi untuk orang-orang yang hidup dengan different abilities, sebelum mendorong peserta untuk berdiskusi mengenai pentingnya interseksionalitas dalam diskursus disabilitas.

                                        (SRP & SNH/CLSD)

                                        Module 1: Disability and Intersectionality

                                        BlogEventSummer Course Saturday, 21 August 2021

                                        Liputan Kegiatan Summer Course Module 1: Disability and Intersectionality

                                        Pada pertengahan tahun 2021, Center for Life-Span Development (CLSD) untuk pertama kalinya menyelenggarakan kegiatan kursus musim panas atau summer course bertajuk International Online Summer Course on Disability and Lifespan Development: Indonesia and Global Perspectives. Berkolaborasi dengan ahli studi disabilitas Indonesia dan dunia, summer course ini berperan sebagai media untuk memfasilitasi pembelajaran kritis dalam menganalisis dan memahami hambatan-hambatan yang saling berkaitan satu sama lain yang dihadapi oleh penyandang disabilitas, serta mendorong pertukaran ilmu pengetahuan, diskusi, sekaligus membangun koneksi antara ilmuwan muda dan ahli-ahli berpengalaman di ranah penelitian disabilitas yang diharapkan dapat menginspirasi penelitian-penelitian baru dan implementasinya di dunia nyata. 

                                        Kegiatan yang merupakan buah kerja sama antara CLSD, Fakultas Psikologi, dan OIA (Office of International Affairs) UGM ini turut mengundang 16 pembicara internasional dan 5 pembicara nasional dengan latar belakang serta bidang studi yang beragam dari berbagai belahan dunia, di antaranya Malaysia, United Kingdom, Australia, Netherlands, New Zealand, dan United States of America. Masing-masing ahli membawakan topik yang komprehensif, spesifik, dan mendalam dalam rangka membedah ranah disabilitas dan rentang perkembangan manusia yang ditilik dari bermacam perspektif. 

                                        Summer course ini diikuti oleh 45 mahasiswa dan profesional internasional yang berasal dari West Africa, Australia, Pakistan, Nepal, Tanzania, Philippines, Ghana, Netherlands, Bangladesh, Malaysia, Iran, Romania, Nigeria, South Africa, dan United States of America, serta 65 mahasiswa dan profesional nasional dari berbagai institusi di Indonesia. Partisipan dari kursus musim panas ini terbagi menjadi tiga kategori yaitu peserta yang mengikuti partisipasi penuh (Full Participation), kehadiran penuh (Full Attendance), serta sesi individu (Individual Session). Ke depannya, Summer Course yang diselenggarakan ini diharapkan dapat membantu peserta dalam:

                                        1. Memahami dan mengidentifikasi secara kritis konsep disabilitas yang berkembang serta persimpangan antara faktor-faktor kontekstual yang membatasi partisipasi penyandang disabilitas, baik secara teoretis maupun dalam praktek.
                                        2. Memahami pendekatan metodologis yang berbeda-beda untuk melibatkan penyandang disabilitas dalam knowledge production dan menganalisis serta menjelaskan faktor-faktor faktual yang menjadi penghalang.
                                        3. Membangun jaringan dengan ahli-ahli berpengalaman di bidang studi disabilitas serta terlibat dalam percakapan atau diskusi yang mendukung perjalanan akademik.
                                        4. Membentuk proses belajar kolaboratif dan kerja sama dalam latar internasional, multidisipliner, dan multikultural.
                                        5. Mengembangkan dan mempresentasikan ide penelitian dalam bahasa saintifik serta memberi masukan terhadap sesama peserta dengan sikap kritis dan apresiatif.

                                        Hari pertama Summer Course yang diawali pada tanggal 3 Agustus 2021, dipandu oleh MC Zahra Fadilah Syamil serta dibuka secara resmi oleh Dekan Fakultas Psikologi UGM Prof. Dr. Faturochman, M.A. Selanjutnya, Elga Andriana, S.Psi., M.Ed., Ph.D selaku Kepala Center for Life-Span Development (CLSD) dan moderator pada pertemuan hari pertama, memaparkan secara keseluruhan tentang kegiatan Summer Course tersebut. 

                                        Kegiatan beralih ke acara utama yaitu keynote lecture oleh Profesor Dan Goodley dari University of Sheffield, United Kingdom, yang menandakan dimulainya modul pertama. Membawakan topik Disability and Other Human Questions, Prof. Goodley dengan gagasan utama “Siapakah yang Patut Menjadi Manusia” mengajak partisipan untuk merenungkan ulang seperti apakah humanisme yang sebenarnya dan juga mengingatkan akan fakta bahwa betapa orang-orang dengan disabilitas telah sangat terdampak secara negatif dalam jumlah yang tak seimbang terutama di kondisi pandemi seperti sekarang ini. Mulai dari dikecewakan layanan kesehatan, mengalami segregasi sepanjang lokatara, hingga semakin berisiko untuk diasingkan dan diabaikan. Beliau juga menyampaikan bahwa, bahkan pada 2021, masih berlaku sebuah kenyataan dan perasaan di mana hanya beberapa orang yang “diperbolehkan” menjadi manusia. Oleh karena itu, kita semua berkewajiban untuk menemukan cara baru yang inklusif dan inovatif untuk menghidupkan kembali hubungan manusiawi satu sama lain. Prof Goodley membawa partisipan pada konklusi bahwa disabilitas adalah salah satu fenomena yang menghidupkan kembali pemahaman kita tentang apa artinya menjadi manusia, dan kita, terlebih lagi di masa-masa sulit seperti ini, perlu untuk menemukan kembali rasa kemanusiaan kita bersama.

                                        Adapun sesi kedua dilaksanakan pada 5 Agustus 2021 dengan penyampaian materi oleh Dr. Sheelagh Daniels-Mayes, dosen dan peneliti dari The University of Sydney, Australia yang bertema Disability and Intersectionality. Seorang akademisi dengan visual impairment dan pengalaman di bidang disabilitas serta indigenous studies, Dr. Daniels-Mayes menjelaskan tentang ​​definisi positionality dan identitas, mendefinisikan interseksionalitas dan bagaimana menggunakannya sebagai alat untuk mengubah status quo, seperti apa diskriminasi struktural dan sistemik, serta pentingnya lived experience dan rasa kepemilikan. Selain itu, Dr. Daniels-Mayes juga mengajak partisipan untuk berefleksi terkait siapa-siapa saja yang selama ini masih tertinggal dalam latar pekerjaan, komunitas, ruang kelas, dan/atau organisasi hingga sekarang, identitas apa saja yang belum diperhitungkan atau dilibatkan dalam proyek, kampanye, dan kegiatan, serta bagaimana cara kita mengikutsertakan mereka.

                                        Disebabkan adanya penundaan pada sesi ketiga modul pertama, summer course pun berlanjut ke sesi keempat pada 12 Agustus 2021 yang dibawakan oleh Profesor Katrina Scior dari University College London, United Kingdom, dengan topik Stereotypes, Prejudice and Discrimination Faced by People with Intellectual Disabilities. Mengajar dari sebuah pulau kecil bernama Shetland Islands yang berlokasi di tengah-tengah Skotlandia dan Norwegia, Prof. Scior mulai mendeskripsikan stereotip, prasangka, diskriminasi, serta definisi dari disabilitas intelektual. Setelah menjelaskan hubungan dan dampak stigma terhadap disabilitas intelektual, Prof. Scior berlanjut memaparkan apa saja intervensi-intervensi anti-stigma yang dapat dilakukan di ranah disabilitas intelektual yang diharapkan juga mampu diaplikasikan pada negara-negara berpenghasilan rendah yang pada kenyataannya masih sangat kekurangan terhadap kegiatan penelitian berkelanjutan terlepas dari data statistik yang menunjukkan lebih tingginya penyintas disabilitas. Selain ceramah, Prof. Scior juga meminta partisipan untuk berdiskusi mengenai pengalaman masing-masing terkait topik dalam kelompok-kelompok kecil di Break Out Room agar partisipan bisa saling berpendapat dengan lebih nyaman satu sama lain. Kuliah sesi keempat ini pun sekaligus menandakan berakhirnya modul pertama: Disability and Intersectionality.

                                        (SRP & SNH/CLSD)

                                        Internet sebagai Sumber Informasi Pengasuhan Orang Tua Masa Kini, Bolehkah?

                                        Blog Friday, 19 March 2021

                                        Ditulis oleh: Putri Pristine & Arum Febriani

                                        Terlahir di era digital membuat para orang tua milenial begitu dekat dengan teknologi dalam mengasuh anak. Pesatnya perkembangan teknologi, yang bisa dilihat dari model-model gadget canggih terbaru yang muncul di perdagangan elektronik, sangat memudahkan orang tua milenial untuk mengakses berbagai informasi dari internet. Tidak sedikit orang tua milenial yang mengandalkan internet sebagai sumber informasi terkait parenting. Ketika bingung kenapa anak sulit makan, bagaimana cara mengajarkan toilet training, atau apa rekomendasi botol susu terbaik, mungkin orangtua milenial lebih dulu bertanya pada Google dibandingkan pada orangtua, dokter anak, atau orang lain yang kompeten dan berpengalaman. Hal ini tentulah sangat berbeda dengan orang tua generasi sebelumnya yang belum terekspos dengan kecanggihan teknologi dan internet.

                                        Hasil riset pada orang tua milenial di Indonesia, khususnya ibu menunjukkan bahwa 55,40% orang tua milenial mencari informasi parenting melalui internet, 14% melalui buku, 13,80% melalui seminar, 15,40% melalui keluarga, dan 1,40% melalui tetangga. Melalui perantara internet, para orang tua ini mengakses informasi melalui media sosial, website parenting, blog, maupun artikel dan jurnal online. Riset tersebut juga menunjukkan bahwa 66,78% orang tua milenial menggunakan media sosial (1).

                                        Informasi yang umumnya dicari oleh orang tua milenial cukup bervariasi. Topik yang umumnya dicari oleh orang tua beragam sesuai dengan kelompok usia anaknya dan meliputi kesehatan, rencana sekolah, dan pola asuh anak. Informasi lain adalah terkait merawat bayi dalam kandungan, persiapan untuk melahirkan, informasi yang berhubungan dengan diagnosa kesehatan, perilaku anak, dan tips-tips pola asuh yang baik dalam mendidik anak (2).

                                        Ada beberapa alasan mengapa orangtua milenial mengandalkan internet sebagai sumber informasi parenting (3,4,5) :
                                        • Pertama, informasi bisa dengan cepat diakses dan tidak memerlukan waktu yang lama. Orang tua tidak perlu menggunakan waktunya untuk pergi mengunjungi psikolog untuk berkonsultasi mengenai perkembangan anaknya.
                                        • Kedua, informasi di internet sangat beragam dengan permasalahan-permasalahan parenting yang muncul di masyarakat. Informasi apapun yang dibutuhkan oleh orangtua rasanya bisa ditemukan dengan mudah di internet.
                                        • Ketiga, biaya yang dibutuhkan relatif murah. Orang tua tidak harus membayar banyak dibandingkan jika harus pergi ke dokter, membeli buku, atau datang ke seminar parenting.
                                        • Keempat, internet memudahkan orang tua untuk bertukar informasi dengan orang tua lain. Dengan saling bertukar pengalaman, orang tua merasa dapat dukungan, tidak merasa sendiri dan tidak menjadi stress karena merasa dimengerti oleh orang lain. Mereka juga tidak merasa malu untuk bertanya secara langsung karena mereka bisa menyembunyikan identitas mereka (anonim).

                                        Namun, meski memberikan banyak kemudahan bagi orang tua milenial, internet tetap memiliki kelemahan. Permasalahan paling utama adalah kredibilitas informasi yang dipertanyakan. Tidak semua informasi yang beredar di internet adalah informasi yang benar dan dapat dipertanggungjawabkan. Kemudahan akses internet bisa membuat semua orang dengan gampang berbagi informasi dan kemudian dalam sekejap beredar luas. Permasalahan lainnya, ketika informasi yang beredar di internet cukup banyak, orang tua bisa menjadi kewalahan dan bingung dalam meresap informasi dan menentukan mana yang sebaiknya dilakukan dan tidak dilakukan dalam mengasuh anak. Kebingungan ini bisa berakibat fatal saat anak akhirnya menjadi ‘kelinci percobaan’ orang tua tanpa adanya pengetahuan dan pertimbangan yang matang. Apalagi jika ternyata informasi yang diikuti adalah informasi hoax (palsu).

                                        Lalu, untuk meminimalisir permasalahan yang disebutkan di atas, apa yang sebaiknya dilakukan oleh orang tua milenial? Bolehkah mereka tetap menjadikan internet sebagai sumber informasi terkait pengasuhan anak. Jawabnya, tentu saja boleh! Namun, orang tua harus belajar untuk mencari dan mengevaluasi sumber berita di internet. Selain itu, mereka juga harus bijak memilih informasi mana yang akan diterapkan pada anaknya.

                                        Berikut beberapa tips bagi orangtua dalam menjadikan internet sebagai sahabat/sumber informasi pengasuhan anak:
                                        • Jika mengakes informasi dari website, sebaiknya cari website yang dikelola oleh sumber terpercaya (misalnya lembaga atau komunitas). Umumnya domain situs resmi yang digunakan di Indonesia adalah id. dan org. Kemudian, pastikan nama penulis tertera jelas dan ada bukti bahwa informasi didasarkan pada bukti saintifik. Website yang baik biasanya juga memiliki tampilan menarik dan mudah dibaca. Selain itu, website tersebut memberikan kemudahan akses untuk orangtua bertanya dan cukup responsif, bisa lewat kolom komentar atau no kontak yang dapat dihubungi.
                                        • Pastikan teliti dalam mencermati usia: apakah informasi yang dibaca sesuai dengan usia anak mereka. Apabila usianya berbeda, sangat mungkin berbeda penanganan karena perkembangan anak bervariasi sesuai dengan usianya. Sebagai contoh, ketika membaca informasi tentang MP-ASI, rekomendasi makanan untuk anak 6 bulan pasti berbeda dengan rekomendasi untuk anak usia 12 bulan.
                                        • Kritislah dalam memilah informasi dan menerapkannya kepada anak. Misalnya, saat orang tua memperoleh informasi dari orangtua lain atau influencer di Instagram, penting bagi orangtua untuk memperhatikan kesesuaian informasi dengan kondisi anaknya. Meskipun tampak baik, orang tua tidak bisa langsung menerapkan semua informasi atau meniru apa yang orang tua lain lakukan karena itu belum tentu berhasil apabila diberlakukan pada anaknya sendiri.

                                        Nah, itulah beberapa hal yang sebaiknya diperhatikan oleh orangtua saat menggunakan internet sebagai sumber informasi tentang pengasuhan. Namun, perlu diingat bahwa website/media sosial bukankah satu-satunya sumber belajar. Orangtua harus berpikiran terbuka dan jangan ragu untuk bertanya atau belajar langsung pada mereka yang lebih ahli atau berpengalaman! Selamat terus belajar menjadi orangtua.

                                        Referensi:
                                        1. Setyastuti, Y., Suminar, J. R., Hadisiwi, P., & Zubair, F. (2019). Millennial moms : social media as the preferred source of information about parenting in indonesia. Library Philosophy and Practice (e-journal).
                                        2. Mooney, A., Rost, J., & Johnsmeyer, B. (2014). Diapers to diplomas: What’s on the minds of new parents. Retrieved April 15, 2020, from https://www.thinkwithgoogle.com/consumer-insights/new-parents/
                                        3. Baker, S., Sanders, M. R., & Morawska, A. (2017). Who uses online parenting support? A cross-sectional survey exploring australian parents’ internet use for parenting. J Child Fam Stud, 26, 916–927. doi: 10.1007/s10826-016-0608-1
                                        4. Bartholomew, M. K., Schoppe-Sullivan, S. J., Glassman, M., Kamp Dush, C. M., & Sullivan, J. M. (2012). New parents’ facebook use at the transition to parenthood. Fam Relat., 61(3), 455–469. doi: 10.1111/j.1741-3729.2012.00708.x
                                        5. Chang, I.-H., & Chen, R.-S. (2019). The impact of perceived usefulness on satisfaction with online parenting resources: The mediating effects of liking and online interaction. Asia-Pacific Edu Res. doi: https://doi.org/10.1007/s40299-019-00484-y
                                        6. Dworkin, J., Connell, J., & Doty, J. (2013). A literature review of parents’ online behavior. Cyberpsychology: Journal of Psychosocial Research on Cyberspace, 7(2), Article 2. doi: https://doi.org/10.5817/CP2013-2-2

                                        Perkembangan Perilaku Prososial Anak

                                        Blog Thursday, 18 March 2021

                                        Ditulis oleh: Sukmo Bayu Suryo Buwono

                                        Segala perbuatan yang ditujukan untuk mengungkapkan kepedulian, memberi manfaat, atau menjaga hubungan yang harmonis dengan orang lain dapat diklasifikasikan sebagai perilaku prososial. Beberapa bentuk umum dari perilaku prososial adalah seperti perilaku menolong, membantu, berbagi, bekerja sama, dan menghibur orang lain yang sedang bersedih.

                                        Kemampuan berempati dan karakter prososial seseorang terus berkembang seiring bertambahnya usia. Faktor lingkungan, dalam hal ini dengan siapa dan bagaimana ia bersosialisasi sehari-hari, memiliki pengaruh yang sangat besar dalam pembentukan karakter prososial seseorang. Saking berpengaruhnya, hal tersebut sampai-sampai dapat menentukan bentuk trajektori perkembangannya: apakah meningkat atau menurun.

                                        Masa paling krusial untuk membentuk karakter prososial seseorang adalah di fase kanak-kanak. Jika seseorang berhasil menumbuhkan kualitas prososial yang baik di masa ini, sangat mungkin ketika dewasa ia juga akan memiliki kualitas prososial yang baik. Sebaliknya jika seorang anak memiliki karakter prososial yang kurang baik, maka hal ini berisiko mendorong orang tersebut untuk mengadopsi kepribadian yang bersifat antisosial di masa mendatang.

                                        Agar perkembangan karakter prososial dapat dioptimalkan, orang tua perlu peka dalam mencermati tahapan perkembangan kualitas perilaku prososial anak. Di bawah ini kami merangkum lima tahapan perkembangan kualitas perilaku prososial yang dirumuskan oleh Nancy Eisenberg, seorang ahli di bidang perkembangan prososial. Dengan memahami tahapan berikut, diharapkan orang tua dapat terbantu dalam memonitor milestone perkembangan perilaku prososial buah hatinya.

                                        Tahap 1 – Berorientasi pada kepentingan pribadi. Anak-anak yang berada di tahapan ini masih berorientasi pada keuntungan protektif yang mungkin didapatnya dari lingkungan sosial jika ia berbuat baik kepada orang lain. Oleh karena itu, pada tahap ini alasan anak untuk berbuat baik tidak murni didasari rasa kepedulian, tetapi lebih kepada menghindari konsekuensi negatif jika ia tidak berbuat baik. Salah satu contohnya seperti anak yang menata kembali mainannya setelah bermain karena takut dimarahi oleh orang tuanya. Kualitas prososial seperti ini ditemukan pada anak usia pra-sekolah dan sebagian kecil anak usia awal sekolah dasar.

                                        Tahap 2 – Berorientasi pada kebutuhan. Anak-anak yang berada di tahap ini mulai menunjukkan kemampuan dalam mengekspresikan kepeduliannya terhadap kebutuhan orang lain sekalipun kebutuhan tersebut tidak sejalan dengan kepentingan pribadinya. Meski demikian, wujud kepedulian yang ditunjukkan masih bersifat sederhana dan tidak mengandung proses reflektif. Artinya, anak hanya sebatas merespon sinyal ketika orang lain membutuhkan bantuan tanpa bisa mengungkapkan ekspresi simpati secara verbal ataupun membayangkan jika dirinya berada di posisi tersebut. Kualitas prososial seperti ini ditemukan pada mayoritas anak usia pra-sekolah dan sebagian besar anak usia sekolah dasar.

                                        Tahap 3 – Berorientasi pada penilaian orang lain dan stereotip sebagai anak baik. Dalam melakukan perbuatan baik, anak-anak yang berada di tahap ini cenderung memaknainya sebagai upaya agar dapat diterima oleh orang-orang di sekelilingnya dan sekaligus dipandang sebagai orang yang baik. Salah satu contohnya seperti anak yang mengajukan diri untuk membantu Bu Guru membersihkan papan tulis seusai pelajaran agar mendapat penilaian yang baik dari guru dan juga teman-temannya. Kualitas prososial ini ditemukan pada sebagian anak usia sekolah dasar dan sebagian kecil anak usia sekolah menengah.

                                        Tahap 4a – Munculnya kemampuan reflektif dan empati. Pada tahap ini, pertimbangan anak untuk berbuat baik sudah jauh lebih kompleks. Perbuatan baik yang mereka lakukan telah melibatkan proses empati, pertimbangan atas prinsip-prinsip kemanusiaan, dan antisipasi terhadap emosi yang mungkin akan mereka rasakan jika memutuskan untuk menolong atau tidak menolong orang yang membutuhkan bantuan. Sebagai contoh, anak yang berada di tahap ini mungkin akan menyumbangkan uang jajannya dalam kegiatan pengumpulan donasi untuk korban bencana karena ia tergerak secara emosi dan dapat membayangkan dirinya berada di situasi tersebut. Ia mungkin juga merasa bahwa dirinya akan menyesal jika saja tidak ikut berdonasi. Kualitas prososial seperti ini dijumpai pada sebagian kecil siswa sekolah dasar di tahun akhir dan mayoritas siswa di sekolah menengah.

                                        Tahap 4b – Tahapan transisi. Pada tahap ini, pengambilan keputusan anak untuk menolong atau tidak menolong orang lain didasari atas pertimbangan yang panjang, yang melibatkan nilai-nilai moralitas yang dianutnya, norma dan tanggung jawab sosial, serta dorongan untuk mengubah kondisi masyarakat menjadi lebih baik. Salah satu contohnya seperti anak yang menolak memberikan contekan kepada temannya saat ujian karena baginya hal tersebut menyalahi nilai-nilai kejujuran. Dalam kasus ini, meskipun anak tersebut menolak untuk menolong temannya, namun keputusannya itu dilandasi oleh kesadarannya atas nilai moral dan tanggung jawab sosial yang dia miliki sebagai pelajar. Kualitas prososial seperti ini ditemukan pada sebagian kecil siswa sekolah menengah dan mereka yang berasal dari kelompok usia yang lebih tua lagi.

                                        Tahap 5 – Berorientasi pada nilai-nilai moral yang telah terinternalisasi dalam diri. Pada tahap ini, pertimbangan anak untuk melakukan atau tidak melakukan perilaku prososial dipengaruhi oleh berbagai prinsip sebagaimana yang telah disebutkan pada Tahap 4b. Hanya saja pada tahap ini, prinsip-prinsip tersebut telah terinternalisasi secara lebih jauh ke dalam kepribadian anak tersebut. Tahap ini umumnya ditemukan pada sebagian kecil siswa di sekolah menengah dan tidak pernah ditemukan pada anak usia sekolah dasar.

                                        1…345

                                        Recent Posts

                                        • Eco-Conscious Parenting: Menumbuhkan Praktik Berkelanjutan pada Perkembangan Anak
                                        • Memahami Pendidikan untuk Pembangunan Berkelanjutan di Kedai Kopi
                                        • Membangun Kembali Kegembiraan: Pentingnya Bermain Bagi Kesejahteraan Mental Bagi Masyarakat
                                        • Keterlibatan Ayah pada Pengasuhan Anak Usia Dini
                                        • Kader Hebat, Anak Bahagia: Pelatihan Stimulasi Sosioemosional pada Anak Usia Dini untuk Kader Bina Keluarga Balita di Gunungkidul
                                        Universitas Gadjah Mada

                                        Center for Life-Span Development (CLSD)
                                        D-602, Fakultas Psikologi, Universitas Gadjah Mada
                                        Jalan Sosio Humaniora Bulaksumur, Yogyakarta, Indonesia 55281
                                        clsd.psikologi@ugm.ac.id

                                        © Universitas Gadjah Mada

                                        KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY

                                        [EN] We use cookies to help our viewer get the best experience on our website. -- [ID] Kami menggunakan cookie untuk membantu pengunjung kami mendapatkan pengalaman terbaik di situs web kami.I Agree / Saya Setuju