• Home
  • About Us
    • Managing Team
    • Researchers
    • Interns
    • Associates
  • Articles
  • Courses
  • Activities
    • CLSD Reader’s Club
    • Summer Course
    • Photovoice
    • SAELA
    • Community Service
  • Research & Publication
Universitas Gadjah Mada Center for Life-Span Development (CLSD)
Faculty of Psychology
Universitas Gadjah Mada
  • Home
  • About Us
    • Managing Team
    • Researchers
    • Interns
    • Associates
  • Articles
  • Courses
  • Activities
    • CLSD Reader’s Club
    • Summer Course
    • Photovoice
    • SAELA
    • Community Service
  • Research & Publication
  • Beranda
  • Blog
  • page. 5
Arsip:

Blog

Module 1: Disability and Intersectionality

ArtikelArtikel Liputan KegiatanBlogEventSummer Course Saturday, 21 August 2021

Liputan Kegiatan Summer Course Module 1: Disability and Intersectionality

Pada pertengahan tahun 2021, Center for Life-Span Development (CLSD) untuk pertama kalinya menyelenggarakan kegiatan kursus musim panas atau summer course bertajuk International Online Summer Course on Disability and Lifespan Development: Indonesia and Global Perspectives. Berkolaborasi dengan ahli studi disabilitas Indonesia dan dunia, summer course ini berperan sebagai media untuk memfasilitasi pembelajaran kritis dalam menganalisis dan memahami hambatan-hambatan yang saling berkaitan satu sama lain yang dihadapi oleh penyandang disabilitas, serta mendorong pertukaran ilmu pengetahuan, diskusi, sekaligus membangun koneksi antara ilmuwan muda dan ahli-ahli berpengalaman di ranah penelitian disabilitas yang diharapkan dapat menginspirasi penelitian-penelitian baru dan implementasinya di dunia nyata. 

Kegiatan yang merupakan buah kerja sama antara CLSD, Fakultas Psikologi, dan OIA (Office of International Affairs) UGM ini turut mengundang 16 pembicara internasional dan 5 pembicara nasional dengan latar belakang serta bidang studi yang beragam dari berbagai belahan dunia, di antaranya Malaysia, United Kingdom, Australia, Netherlands, New Zealand, dan United States of America. Masing-masing ahli membawakan topik yang komprehensif, spesifik, dan mendalam dalam rangka membedah ranah disabilitas dan rentang perkembangan manusia yang ditilik dari bermacam perspektif. 

Summer course ini diikuti oleh 45 mahasiswa dan profesional internasional yang berasal dari West Africa, Australia, Pakistan, Nepal, Tanzania, Philippines, Ghana, Netherlands, Bangladesh, Malaysia, Iran, Romania, Nigeria, South Africa, dan United States of America, serta 65 mahasiswa dan profesional nasional dari berbagai institusi di Indonesia. Partisipan dari kursus musim panas ini terbagi menjadi tiga kategori yaitu peserta yang mengikuti partisipasi penuh (Full Participation), kehadiran penuh (Full Attendance), serta sesi individu (Individual Session). Ke depannya, Summer Course yang diselenggarakan ini diharapkan dapat membantu peserta dalam:

  1. Memahami dan mengidentifikasi secara kritis konsep disabilitas yang berkembang serta persimpangan antara faktor-faktor kontekstual yang membatasi partisipasi penyandang disabilitas, baik secara teoretis maupun dalam praktek.
  2. Memahami pendekatan metodologis yang berbeda-beda untuk melibatkan penyandang disabilitas dalam knowledge production dan menganalisis serta menjelaskan faktor-faktor faktual yang menjadi penghalang.
  3. Membangun jaringan dengan ahli-ahli berpengalaman di bidang studi disabilitas serta terlibat dalam percakapan atau diskusi yang mendukung perjalanan akademik.
  4. Membentuk proses belajar kolaboratif dan kerja sama dalam latar internasional, multidisipliner, dan multikultural.
  5. Mengembangkan dan mempresentasikan ide penelitian dalam bahasa saintifik serta memberi masukan terhadap sesama peserta dengan sikap kritis dan apresiatif.

Hari pertama Summer Course yang diawali pada tanggal 3 Agustus 2021, dipandu oleh MC Zahra Fadilah Syamil serta dibuka secara resmi oleh Dekan Fakultas Psikologi UGM Prof. Dr. Faturochman, M.A. Selanjutnya, Elga Andriana, S.Psi., M.Ed., Ph.D selaku Kepala Center for Life-Span Development (CLSD) dan moderator pada pertemuan hari pertama, memaparkan secara keseluruhan tentang kegiatan Summer Course tersebut. 

Kegiatan beralih ke acara utama yaitu keynote lecture oleh Profesor Dan Goodley dari University of Sheffield, United Kingdom, yang menandakan dimulainya modul pertama. Membawakan topik Disability and Other Human Questions, Prof. Goodley dengan gagasan utama “Siapakah yang Patut Menjadi Manusia” mengajak partisipan untuk merenungkan ulang seperti apakah humanisme yang sebenarnya dan juga mengingatkan akan fakta bahwa betapa orang-orang dengan disabilitas telah sangat terdampak secara negatif dalam jumlah yang tak seimbang terutama di kondisi pandemi seperti sekarang ini. Mulai dari dikecewakan layanan kesehatan, mengalami segregasi sepanjang lokatara, hingga semakin berisiko untuk diasingkan dan diabaikan. Beliau juga menyampaikan bahwa, bahkan pada 2021, masih berlaku sebuah kenyataan dan perasaan di mana hanya beberapa orang yang “diperbolehkan” menjadi manusia. Oleh karena itu, kita semua berkewajiban untuk menemukan cara baru yang inklusif dan inovatif untuk menghidupkan kembali hubungan manusiawi satu sama lain. Prof Goodley membawa partisipan pada konklusi bahwa disabilitas adalah salah satu fenomena yang menghidupkan kembali pemahaman kita tentang apa artinya menjadi manusia, dan kita, terlebih lagi di masa-masa sulit seperti ini, perlu untuk menemukan kembali rasa kemanusiaan kita bersama.

Adapun sesi kedua dilaksanakan pada 5 Agustus 2021 dengan penyampaian materi oleh Dr. Sheelagh Daniels-Mayes, dosen dan peneliti dari The University of Sydney, Australia yang bertema Disability and Intersectionality. Seorang akademisi dengan visual impairment dan pengalaman di bidang disabilitas serta indigenous studies, Dr. Daniels-Mayes menjelaskan tentang ​​definisi positionality dan identitas, mendefinisikan interseksionalitas dan bagaimana menggunakannya sebagai alat untuk mengubah status quo, seperti apa diskriminasi struktural dan sistemik, serta pentingnya lived experience dan rasa kepemilikan. Selain itu, Dr. Daniels-Mayes juga mengajak partisipan untuk berefleksi terkait siapa-siapa saja yang selama ini masih tertinggal dalam latar pekerjaan, komunitas, ruang kelas, dan/atau organisasi hingga sekarang, identitas apa saja yang belum diperhitungkan atau dilibatkan dalam proyek, kampanye, dan kegiatan, serta bagaimana cara kita mengikutsertakan mereka.

Disebabkan adanya penundaan pada sesi ketiga modul pertama, summer course pun berlanjut ke sesi keempat pada 12 Agustus 2021 yang dibawakan oleh Profesor Katrina Scior dari University College London, United Kingdom, dengan topik Stereotypes, Prejudice and Discrimination Faced by People with Intellectual Disabilities. Mengajar dari sebuah pulau kecil bernama Shetland Islands yang berlokasi di tengah-tengah Skotlandia dan Norwegia, Prof. Scior mulai mendeskripsikan stereotip, prasangka, diskriminasi, serta definisi dari disabilitas intelektual. Setelah menjelaskan hubungan dan dampak stigma terhadap disabilitas intelektual, Prof. Scior berlanjut memaparkan apa saja intervensi-intervensi anti-stigma yang dapat dilakukan di ranah disabilitas intelektual yang diharapkan juga mampu diaplikasikan pada negara-negara berpenghasilan rendah yang pada kenyataannya masih sangat kekurangan terhadap kegiatan penelitian berkelanjutan terlepas dari data statistik yang menunjukkan lebih tingginya penyintas disabilitas. Selain ceramah, Prof. Scior juga meminta partisipan untuk berdiskusi mengenai pengalaman masing-masing terkait topik dalam kelompok-kelompok kecil di Break Out Room agar partisipan bisa saling berpendapat dengan lebih nyaman satu sama lain. Kuliah sesi keempat ini pun sekaligus menandakan berakhirnya modul pertama: Disability and Intersectionality.

(SRP & SNH/CLSD)

Internet sebagai Sumber Informasi Pengasuhan Orang Tua Masa Kini, Bolehkah?

Blog Friday, 19 March 2021

Ditulis oleh: Putri Pristine & Arum Febriani

Terlahir di era digital membuat para orang tua milenial begitu dekat dengan teknologi dalam mengasuh anak. Pesatnya perkembangan teknologi, yang bisa dilihat dari model-model gadget canggih terbaru yang muncul di perdagangan elektronik, sangat memudahkan orang tua milenial untuk mengakses berbagai informasi dari internet. Tidak sedikit orang tua milenial yang mengandalkan internet sebagai sumber informasi terkait parenting. Ketika bingung kenapa anak sulit makan, bagaimana cara mengajarkan toilet training, atau apa rekomendasi botol susu terbaik, mungkin orangtua milenial lebih dulu bertanya pada Google dibandingkan pada orangtua, dokter anak, atau orang lain yang kompeten dan berpengalaman. Hal ini tentulah sangat berbeda dengan orang tua generasi sebelumnya yang belum terekspos dengan kecanggihan teknologi dan internet.

Hasil riset pada orang tua milenial di Indonesia, khususnya ibu menunjukkan bahwa 55,40% orang tua milenial mencari informasi parenting melalui internet, 14% melalui buku, 13,80% melalui seminar, 15,40% melalui keluarga, dan 1,40% melalui tetangga. Melalui perantara internet, para orang tua ini mengakses informasi melalui media sosial, website parenting, blog, maupun artikel dan jurnal online. Riset tersebut juga menunjukkan bahwa 66,78% orang tua milenial menggunakan media sosial (1).

Informasi yang umumnya dicari oleh orang tua milenial cukup bervariasi. Topik yang umumnya dicari oleh orang tua beragam sesuai dengan kelompok usia anaknya dan meliputi kesehatan, rencana sekolah, dan pola asuh anak. Informasi lain adalah terkait merawat bayi dalam kandungan, persiapan untuk melahirkan, informasi yang berhubungan dengan diagnosa kesehatan, perilaku anak, dan tips-tips pola asuh yang baik dalam mendidik anak (2).

Ada beberapa alasan mengapa orangtua milenial mengandalkan internet sebagai sumber informasi parenting (3,4,5) :
• Pertama, informasi bisa dengan cepat diakses dan tidak memerlukan waktu yang lama. Orang tua tidak perlu menggunakan waktunya untuk pergi mengunjungi psikolog untuk berkonsultasi mengenai perkembangan anaknya.
• Kedua, informasi di internet sangat beragam dengan permasalahan-permasalahan parenting yang muncul di masyarakat. Informasi apapun yang dibutuhkan oleh orangtua rasanya bisa ditemukan dengan mudah di internet.
• Ketiga, biaya yang dibutuhkan relatif murah. Orang tua tidak harus membayar banyak dibandingkan jika harus pergi ke dokter, membeli buku, atau datang ke seminar parenting.
• Keempat, internet memudahkan orang tua untuk bertukar informasi dengan orang tua lain. Dengan saling bertukar pengalaman, orang tua merasa dapat dukungan, tidak merasa sendiri dan tidak menjadi stress karena merasa dimengerti oleh orang lain. Mereka juga tidak merasa malu untuk bertanya secara langsung karena mereka bisa menyembunyikan identitas mereka (anonim).

Namun, meski memberikan banyak kemudahan bagi orang tua milenial, internet tetap memiliki kelemahan. Permasalahan paling utama adalah kredibilitas informasi yang dipertanyakan. Tidak semua informasi yang beredar di internet adalah informasi yang benar dan dapat dipertanggungjawabkan. Kemudahan akses internet bisa membuat semua orang dengan gampang berbagi informasi dan kemudian dalam sekejap beredar luas. Permasalahan lainnya, ketika informasi yang beredar di internet cukup banyak, orang tua bisa menjadi kewalahan dan bingung dalam meresap informasi dan menentukan mana yang sebaiknya dilakukan dan tidak dilakukan dalam mengasuh anak. Kebingungan ini bisa berakibat fatal saat anak akhirnya menjadi ‘kelinci percobaan’ orang tua tanpa adanya pengetahuan dan pertimbangan yang matang. Apalagi jika ternyata informasi yang diikuti adalah informasi hoax (palsu).

Lalu, untuk meminimalisir permasalahan yang disebutkan di atas, apa yang sebaiknya dilakukan oleh orang tua milenial? Bolehkah mereka tetap menjadikan internet sebagai sumber informasi terkait pengasuhan anak. Jawabnya, tentu saja boleh! Namun, orang tua harus belajar untuk mencari dan mengevaluasi sumber berita di internet. Selain itu, mereka juga harus bijak memilih informasi mana yang akan diterapkan pada anaknya.

Berikut beberapa tips bagi orangtua dalam menjadikan internet sebagai sahabat/sumber informasi pengasuhan anak:
• Jika mengakes informasi dari website, sebaiknya cari website yang dikelola oleh sumber terpercaya (misalnya lembaga atau komunitas). Umumnya domain situs resmi yang digunakan di Indonesia adalah id. dan org. Kemudian, pastikan nama penulis tertera jelas dan ada bukti bahwa informasi didasarkan pada bukti saintifik. Website yang baik biasanya juga memiliki tampilan menarik dan mudah dibaca. Selain itu, website tersebut memberikan kemudahan akses untuk orangtua bertanya dan cukup responsif, bisa lewat kolom komentar atau no kontak yang dapat dihubungi.
• Pastikan teliti dalam mencermati usia: apakah informasi yang dibaca sesuai dengan usia anak mereka. Apabila usianya berbeda, sangat mungkin berbeda penanganan karena perkembangan anak bervariasi sesuai dengan usianya. Sebagai contoh, ketika membaca informasi tentang MP-ASI, rekomendasi makanan untuk anak 6 bulan pasti berbeda dengan rekomendasi untuk anak usia 12 bulan.
• Kritislah dalam memilah informasi dan menerapkannya kepada anak. Misalnya, saat orang tua memperoleh informasi dari orangtua lain atau influencer di Instagram, penting bagi orangtua untuk memperhatikan kesesuaian informasi dengan kondisi anaknya. Meskipun tampak baik, orang tua tidak bisa langsung menerapkan semua informasi atau meniru apa yang orang tua lain lakukan karena itu belum tentu berhasil apabila diberlakukan pada anaknya sendiri.

Nah, itulah beberapa hal yang sebaiknya diperhatikan oleh orangtua saat menggunakan internet sebagai sumber informasi tentang pengasuhan. Namun, perlu diingat bahwa website/media sosial bukankah satu-satunya sumber belajar. Orangtua harus berpikiran terbuka dan jangan ragu untuk bertanya atau belajar langsung pada mereka yang lebih ahli atau berpengalaman! Selamat terus belajar menjadi orangtua.

Referensi:
1. Setyastuti, Y., Suminar, J. R., Hadisiwi, P., & Zubair, F. (2019). Millennial moms : social media as the preferred source of information about parenting in indonesia. Library Philosophy and Practice (e-journal).
2. Mooney, A., Rost, J., & Johnsmeyer, B. (2014). Diapers to diplomas: What’s on the minds of new parents. Retrieved April 15, 2020, from https://www.thinkwithgoogle.com/consumer-insights/new-parents/
3. Baker, S., Sanders, M. R., & Morawska, A. (2017). Who uses online parenting support? A cross-sectional survey exploring australian parents’ internet use for parenting. J Child Fam Stud, 26, 916–927. doi: 10.1007/s10826-016-0608-1
4. Bartholomew, M. K., Schoppe-Sullivan, S. J., Glassman, M., Kamp Dush, C. M., & Sullivan, J. M. (2012). New parents’ facebook use at the transition to parenthood. Fam Relat., 61(3), 455–469. doi: 10.1111/j.1741-3729.2012.00708.x
5. Chang, I.-H., & Chen, R.-S. (2019). The impact of perceived usefulness on satisfaction with online parenting resources: The mediating effects of liking and online interaction. Asia-Pacific Edu Res. doi: https://doi.org/10.1007/s40299-019-00484-y
6. Dworkin, J., Connell, J., & Doty, J. (2013). A literature review of parents’ online behavior. Cyberpsychology: Journal of Psychosocial Research on Cyberspace, 7(2), Article 2. doi: https://doi.org/10.5817/CP2013-2-2

Perkembangan Perilaku Prososial Anak

Blog Thursday, 18 March 2021

Ditulis oleh: Sukmo Bayu Suryo Buwono

Segala perbuatan yang ditujukan untuk mengungkapkan kepedulian, memberi manfaat, atau menjaga hubungan yang harmonis dengan orang lain dapat diklasifikasikan sebagai perilaku prososial. Beberapa bentuk umum dari perilaku prososial adalah seperti perilaku menolong, membantu, berbagi, bekerja sama, dan menghibur orang lain yang sedang bersedih.

Kemampuan berempati dan karakter prososial seseorang terus berkembang seiring bertambahnya usia. Faktor lingkungan, dalam hal ini dengan siapa dan bagaimana ia bersosialisasi sehari-hari, memiliki pengaruh yang sangat besar dalam pembentukan karakter prososial seseorang. Saking berpengaruhnya, hal tersebut sampai-sampai dapat menentukan bentuk trajektori perkembangannya: apakah meningkat atau menurun.

Masa paling krusial untuk membentuk karakter prososial seseorang adalah di fase kanak-kanak. Jika seseorang berhasil menumbuhkan kualitas prososial yang baik di masa ini, sangat mungkin ketika dewasa ia juga akan memiliki kualitas prososial yang baik. Sebaliknya jika seorang anak memiliki karakter prososial yang kurang baik, maka hal ini berisiko mendorong orang tersebut untuk mengadopsi kepribadian yang bersifat antisosial di masa mendatang.

Agar perkembangan karakter prososial dapat dioptimalkan, orang tua perlu peka dalam mencermati tahapan perkembangan kualitas perilaku prososial anak. Di bawah ini kami merangkum lima tahapan perkembangan kualitas perilaku prososial yang dirumuskan oleh Nancy Eisenberg, seorang ahli di bidang perkembangan prososial. Dengan memahami tahapan berikut, diharapkan orang tua dapat terbantu dalam memonitor milestone perkembangan perilaku prososial buah hatinya.

Tahap 1 – Berorientasi pada kepentingan pribadi. Anak-anak yang berada di tahapan ini masih berorientasi pada keuntungan protektif yang mungkin didapatnya dari lingkungan sosial jika ia berbuat baik kepada orang lain. Oleh karena itu, pada tahap ini alasan anak untuk berbuat baik tidak murni didasari rasa kepedulian, tetapi lebih kepada menghindari konsekuensi negatif jika ia tidak berbuat baik. Salah satu contohnya seperti anak yang menata kembali mainannya setelah bermain karena takut dimarahi oleh orang tuanya. Kualitas prososial seperti ini ditemukan pada anak usia pra-sekolah dan sebagian kecil anak usia awal sekolah dasar.

Tahap 2 – Berorientasi pada kebutuhan. Anak-anak yang berada di tahap ini mulai menunjukkan kemampuan dalam mengekspresikan kepeduliannya terhadap kebutuhan orang lain sekalipun kebutuhan tersebut tidak sejalan dengan kepentingan pribadinya. Meski demikian, wujud kepedulian yang ditunjukkan masih bersifat sederhana dan tidak mengandung proses reflektif. Artinya, anak hanya sebatas merespon sinyal ketika orang lain membutuhkan bantuan tanpa bisa mengungkapkan ekspresi simpati secara verbal ataupun membayangkan jika dirinya berada di posisi tersebut. Kualitas prososial seperti ini ditemukan pada mayoritas anak usia pra-sekolah dan sebagian besar anak usia sekolah dasar.

Tahap 3 – Berorientasi pada penilaian orang lain dan stereotip sebagai anak baik. Dalam melakukan perbuatan baik, anak-anak yang berada di tahap ini cenderung memaknainya sebagai upaya agar dapat diterima oleh orang-orang di sekelilingnya dan sekaligus dipandang sebagai orang yang baik. Salah satu contohnya seperti anak yang mengajukan diri untuk membantu Bu Guru membersihkan papan tulis seusai pelajaran agar mendapat penilaian yang baik dari guru dan juga teman-temannya. Kualitas prososial ini ditemukan pada sebagian anak usia sekolah dasar dan sebagian kecil anak usia sekolah menengah.

Tahap 4a – Munculnya kemampuan reflektif dan empati. Pada tahap ini, pertimbangan anak untuk berbuat baik sudah jauh lebih kompleks. Perbuatan baik yang mereka lakukan telah melibatkan proses empati, pertimbangan atas prinsip-prinsip kemanusiaan, dan antisipasi terhadap emosi yang mungkin akan mereka rasakan jika memutuskan untuk menolong atau tidak menolong orang yang membutuhkan bantuan. Sebagai contoh, anak yang berada di tahap ini mungkin akan menyumbangkan uang jajannya dalam kegiatan pengumpulan donasi untuk korban bencana karena ia tergerak secara emosi dan dapat membayangkan dirinya berada di situasi tersebut. Ia mungkin juga merasa bahwa dirinya akan menyesal jika saja tidak ikut berdonasi. Kualitas prososial seperti ini dijumpai pada sebagian kecil siswa sekolah dasar di tahun akhir dan mayoritas siswa di sekolah menengah.

Tahap 4b – Tahapan transisi. Pada tahap ini, pengambilan keputusan anak untuk menolong atau tidak menolong orang lain didasari atas pertimbangan yang panjang, yang melibatkan nilai-nilai moralitas yang dianutnya, norma dan tanggung jawab sosial, serta dorongan untuk mengubah kondisi masyarakat menjadi lebih baik. Salah satu contohnya seperti anak yang menolak memberikan contekan kepada temannya saat ujian karena baginya hal tersebut menyalahi nilai-nilai kejujuran. Dalam kasus ini, meskipun anak tersebut menolak untuk menolong temannya, namun keputusannya itu dilandasi oleh kesadarannya atas nilai moral dan tanggung jawab sosial yang dia miliki sebagai pelajar. Kualitas prososial seperti ini ditemukan pada sebagian kecil siswa sekolah menengah dan mereka yang berasal dari kelompok usia yang lebih tua lagi.

Tahap 5 – Berorientasi pada nilai-nilai moral yang telah terinternalisasi dalam diri. Pada tahap ini, pertimbangan anak untuk melakukan atau tidak melakukan perilaku prososial dipengaruhi oleh berbagai prinsip sebagaimana yang telah disebutkan pada Tahap 4b. Hanya saja pada tahap ini, prinsip-prinsip tersebut telah terinternalisasi secara lebih jauh ke dalam kepribadian anak tersebut. Tahap ini umumnya ditemukan pada sebagian kecil siswa di sekolah menengah dan tidak pernah ditemukan pada anak usia sekolah dasar.

1…345

Recent Posts

  • Mendidik Anak dengan Bahasa Cinta
  • Eco-Conscious Parenting: Menumbuhkan Praktik Berkelanjutan pada Perkembangan Anak
  • Memahami Pendidikan untuk Pembangunan Berkelanjutan di Kedai Kopi
  • Membangun Kembali Kegembiraan: Pentingnya Bermain Bagi Kesejahteraan Mental Bagi Masyarakat
  • Keterlibatan Ayah pada Pengasuhan Anak Usia Dini
Universitas Gadjah Mada

Center for Life-Span Development (CLSD)
D-602, Fakultas Psikologi, Universitas Gadjah Mada
Jalan Sosio Humaniora Bulaksumur, Yogyakarta, Indonesia 55281
clsd.psikologi@ugm.ac.id

© Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY

[EN] We use cookies to help our viewer get the best experience on our website. -- [ID] Kami menggunakan cookie untuk membantu pengunjung kami mendapatkan pengalaman terbaik di situs web kami.I Agree / Saya Setuju