• Home
  • About Us
    • Managing Team
    • Researchers
    • Interns
    • Associates
  • Articles
  • Courses
  • Activities
    • CLSD Reader’s Club
    • Research of Baby Screening
    • COMPRE Class
    • Summer Course
    • Photovoice
    • SAELA
    • Community Service
  • Research & Publication
Universitas Gadjah Mada Center for Life-Span Development (CLSD)
Faculty of Psychology
Universitas Gadjah Mada
  • Home
  • About Us
    • Managing Team
    • Researchers
    • Interns
    • Associates
  • Articles
  • Courses
  • Activities
    • CLSD Reader’s Club
    • Research of Baby Screening
    • COMPRE Class
    • Summer Course
    • Photovoice
    • SAELA
    • Community Service
  • Research & Publication
  • Beranda
  • Blog
  • page. 2
Arsip:

Blog

“Siapakah Aku?” Krisis Identitas yang Biasa Dialami Remaja

ArtikelBlog Saturday, 4 May 2024

“Siapakah aku? Untuk apakah aku dilahirkan di dunia?”

Sebagian besar remaja setidaknya pernah mengalami fase ini, yakni mulai mempertanyakan identitas dirinya. Masa remaja yang dianggap sebagai tahap peralihan dari masa kanak-kanak ke dewasa merupakan babak kehidupan yang pasti dilalui seseorang dengan proses pencarian jati diri. Pada fase ini, remaja tidak hanya berhadapan dengan perubahan fisik, tetapi juga dengan pertanyaan mendalam tentang siapa mereka sebenarnya. 

Menurut Erikson, remaja akan mengalami suatu fase dalam hidupnya, yaitu krisis dalam pencarian identitas (Feist & Feist, 2010). Umumnya, fase ini dialami oleh remaja berusia 10 hingga 20 tahun. Fase yang disebut sebagai “identity versus role confusion” tersebut membuat remaja sering kali mempertanyakan hampir segala hal dalam dirinya, seperti penampilan fisik, pendidikan, pekerjaan, percintaan, pertemanan, dan banyak hal lainnya. Oleh karena itu, remaja akan bereksplorasi untuk mencari jawaban tersebut.

Perjalanan untuk mengeksplorasi jati diri ini tidak semudah membalikkan telapak tangan. Remaja akan berhadapan dengan berbagai tantangan atau konflik yang harus mereka selesaikan dalam pencarian identitas diri. Jika mereka mampu menemukan identitas diri yang paling sesuai dan merasa nyaman akan identitasnya, maka dapat dikatakan remaja tersebut berhasil menyelesaikan fase ini. Alhasil, jati diri yang kuat dan stabil akan terbentuk pada diri seseorang. Sementara itu, kegagalan dalam tahap ini akan mengarah pada krisis identitas atau yang biasa disebut sebagai role confusion. 

Munculnya kebingungan akan identitas dalam proses eksplorasi diri berpotensi membuat remaja menjadi khawatir tentang citra diri di mata orang lain sehingga remaja akan mengidentifikasi diri secara berlebihan dengan orang-orang sekitar (Nadiah dkk., 2021). Ketiadaan dukungan suportif dari lingkungan sekitar, terutama orang tua, akan semakin memperparah krisis identitas pada remaja. Alhasil, remaja akan dipenuhi oleh rasa tidak aman dan bingung terhadap diri sendiri serta masa depannya. Hal tersebut akan mengarah pada perasaan tertekan dan kurang percaya diri. Bahkan, remaja akan cenderung menerima identitas negatif yang diberi oleh orang sekitar ketika mereka tidak memiliki tujuan dan identitas yang jelas (Erikson, 1968).  

Menurut Siregar (2018), remaja yang gagal menemukan jati dirinya sering kali memiliki self esteem dan self confidence yang rendah. Akibatnya, hal tersebut berpengaruh terhadap penurunan motivasi belajar di sekolah. Selain itu, remaja juga berpotensi memiliki empati dan sikap prososial yang rendah sehingga berdampak terhadap buruknya kualitas hubungan sosial yang dimiliki. Kegagalan dalam menangani krisis identitas juga berpotensi mengarahkan remaja pada perasaan sia-sia, tidak berdaya, menarik diri, hingga tindakan agresif seperti kenakalan remaja (Erikson, 1968). 

Lalu bagaimana solusi atas permasalahan ini?  Berikut sejumlah tips untuk membantu remaja yang sedang mengalami krisis identitas. 

  1. Berikan dukungan dan ciptakan lingkungan yang aman bagi remaja.

Kolaborasi antara orang tua, institusi pendidikan, teman sebaya, dan lingkungan masyarakat akan menjadi cara terbaik dalam membantu remaja menghadapi krisis identitas. Menurut Santrock (2018), orang tua menjadi figur penting dalam perkembangan identitas remaja. Oleh karena itu, orang tua diharapkan dapat memberikan ruang yang aman untuk eksplorasi diri remaja. Selain itu, teman sebaya dapat menjadi lingkungan yang aman bagi proses pencarian identitas. Institusi pendidikan seperti sekolah juga menjadi lini yang tak kalah penting sebagai tempat paling banyak remaja menghabiskan waktunya. Sekolah dapat membantu dalam optimalisasi perkembangan remaja, seperti melalui bimbingan konseling dan penyediaan berbagai kegiatan ekstrakurikuler (Maulida dkk., 2023).

  1. Dorong remaja untuk terus bereksplorasi.

Selain dukungan eksternal, diperlukan juga kesadaran internal yang kuat pada diri remaja untuk terus mengeksplorasi diri. Remaja yang nyaman dalam mencoba hal-hal baru, maka akan semakin mudah untuk membentuk identitas diri (Maulida dkk., 2023). Oleh karena  itu, remaja perlu didorong untuk aktif melakukan berbagai kegiatan positif. 

  1. Evaluasi diri.

Evaluasi diri diperlukan selama proses eksplorasi yang dilakukan remaja. Firhanida dan Hadiyati (2018) mendefinisikan evaluasi diri sebagai pandangan terhadap diri sendiri yang dibentuk melalui nilai, kesuksesan, dan kemampuan yang dimiliki individu. Menurut Maulida dkk. (2023), selama pencarian identitas, remaja akan terus mengevaluasi diri mereka sendiri melalui teman-teman sebaya. Hal ini selaras dengan Erikson (1968) yang menyatakan bahwa pembentukan identitas merupakan proses yang melibatkan refleksi dan pengamatan diri sendiri dengan orang lain. Oleh karena itu, remaja akan sering melakukan interaksi sosial dengan orang lain untuk mendapatkan gambaran diri dari sudut pandang orang lain. Hal ini akan membantu remaja dalam memahami dirinya. 

Tidak bisa dipungkiri bahwa perkembangan manusia merupakan proses yang dinamis, termasuk ketika individu tersebut berada di usia remaja yang sejatinya rentan akan kelabilan emosi. Remaja juga akan dihadapkan pada berbagai tantangan dan membuat remaja menghadapi hal krusial, yaitu krisis identitas. Keberhasilan remaja dalam menangani krisis identitas dipengaruhi oleh 3 aspek penting, yaitu ketepatan dalam membuat persepsi terhadap diri sendiri maupun lingkungannya; keterampilan untuk melakukan eksplorasi dan komitmen peran; serta umpan balik dari orang lain, seperti orang tua atau kelompok teman sebaya (Erikson, 1968). Dengan demikian, sudah menjadi tugas bersama berbagai pihak untuk membimbing dan memberikan ruang aman dalam proses pencarian jati diri remaja. Ayah dan ibu dapat berkolaborasi dengan sekolah untuk mengarahkan anak dalam kegiatan positif selama proses pencarian identitas tersebut.

Referensi

Erikson, E. H. (1968). Identity, youth and crisis. W. W. Norton & Co. 

Feist, J., & Feist, G. J. (2010). Teori kepribadian terjemahan (7th ed., Vol. 1). Salemba Humanika.

Firhanida, S., & Hadiyati, F. N. R. (2018). Hubungan Antara Keputusan Pembelian Produk E-Commerce dan Kohesivitas Kelompok dengan Self-Esteem pada Mahasiswa Tahun Pertama Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro (Doctoral dissertation, Undip).

Maulida, A. R., Wibowo, H., & Rusyidi, B. (2023). Rancang bangun model pengembangan kegiatan pendampingan sosial pada remaja generasi Z dalam mengatasi krisis identitas. Share: Social Work Journal, 13(1), 92-101.

Nadiah, S., Nadhirah, N. A., & Fahriza, I. (2021). Hubungan faktor perkembangan psikososial dengan identitas vokasional pada remaja akhir. Quanta, 5(1), 21-29.

Santrock, J., W. (2018). A topical approach to life-span development (ninth edition) Chapter 1-9. McGraw-Hill Education.Siregar, I. K. (2018). Kecerdasan emosional dan hasil belajar siswa. Kumpulan Jurnal Dosen Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara.

Mengenali Technoference pada Orang Tua: Waspada Risiko Orang Tua Asyik dengan Smartphone Saat Mengasuh Anak

ArtikelBlog Thursday, 7 March 2024

Penulis: Kurnia Farwati

Penyunting: Raden Roro Anisa Anggi Dinda

Perkembangan media digital salah satunya smartphone dirasakan manfaatnya untuk semua kalangan, tidak terkecuali orang tua. Smartphone dapat dibawa ke mana pun dan dapat digunakan kapan saja karena bentuk smartphone yang cenderung kecil dan ringan di tangan. Dengan demikian, orang tua dapat menghabiskan waktu bersama dengan anak-anak mereka dan dalam waktu yang bersamaan juga dapat bertukar pesan dengan teman atau mitra profesional saat melakukan aktivitas pekerjaan secara jarak jauh, atau bahkan dapat menikmati berbagai hiburan yang ada di smartphone miliknya.

Penggunaan smartphone ini apabila kurang bisa dikontrol dengan baik, maka akan berdampak negatif bagi penggunanya. Fenomena adanya interupsi interaksi sosial melalui teknologi ini disebut dengan technoference (McDaniel & Radesky, 2018), dan pengguna yang asyik dengan smartphone juga disebut dengan istilah “immersion”. Immersion berarti penarikan perhatian dari lingkungan yang kemudian dipusatkan pada perangkat digital dalam hal ini adalah smartphone. Adanya technoference pada orang tua dapat berdampak negatif terhadap hubungan orang tua-anak, kesehatan, serta perkembangan anak (Mackay et al., 2022).

Hubungan orang tua-anak biasanya merujuk pada kualitas interaksi orang tua dengan anak dan kelekatan yang terjalin di antara mereka. Interaksi orang tua-anak yang optimal dapat diamati ketika seorang anak mengucapkan secara verbal, memberi isyarat, atau menangis dan kemudian orang tua merespon secara tepat dengan verbalisasi, kontak mata, atau dengan sentuhan fisik (Mackay et al., 2022). Interaksi yang demikian diketahui menjadi faktor utama untuk menghasilkan perkembangan anak yang optimal termasuk emosi positif, perilaku, perkembangan psikologis, dan sosial (Mackay et al., 2022). Fokus perhatian orang tua pada smartphone saat bersama anak dapat mengurangi perhatian orang tua, daya tanggap, dan kehangatan yang ditampilkan kepada anak-anak mereka (Knitter & Zemp, 2020; McDaniel & Radesky, 2018).

Technoference pada orang tua saat mengasuh anak tidak hanya berlangsung di dalam rumah namun juga saat melakukan aktivitas di luar rumah seperti di playground, tempat makan umum, dsb. Beberapa studi observasional yang dilakukan di tempat umum seperti di restoran dan taman bermain menemukan bahwa interaksi antara orang tua-anak berjalan kurang optimal. Orang tua yang tenggelam dengan smartphone mereka, lebih jarang berkomunikasi dengan anak-anaknya, dan kurang tanggap terhadap kebutuhan anak saat mereka berperilaku mencari perhatian orang tuanya serta kurang memperhatikan keamanan anak (Elias et al., 2021; Wolfers et al., 2020). Menariknya, temuan lain dari Elias et al (2021) yaitu aktivitas lainnya seperti membaca majalah dan berbicara dengan orang lain di taman bermain, juga menyibukkan orang tua dan orang tua mengalami gangguan respon kepada anak mereka, namun tidak sebanyak saat orang tua menggunakan smartphone.

Kelalaian orang tua akibat asyik dengan smartphone saat bersama anak dapat berakibat fatal yakni dapat menyebabkan anak terluka bahkan hingga meninggal. Terdapat beberapa insiden pada anak akibat orang tua yang terlalu fokus pada smartphone miliknya saat bersama anak seperti terjepit lift saat sedang bersama ibunya (Nicolaus, 2019), tertabrak mobil saat bermain sendiri di pelataran parkiran sementara ibunya asyik dengan handphone dan berujung meninggal setelah dilarikan ke rumah sakit (Liputan6.com., 2018). Kasus serupa juga terjadi bahkan ditabrak oleh ayahnya sendiri karena fokus dengan handphone miliknya dan tidak menyadari bahwa anaknya sudah turun dari mobil (Putra, 2018).

Kecelakaan pada anak-anak seringkali berakibat lebih fatal karena anak-anak memiliki keterbatasan seperti keterbatasan fisik, kognitif, emosi maupun sosial dibandingkan dengan orang dewasa. Anak-anak memiliki postur tubuh yang kecil sehingga anak mudah luput dari perhatian sekitar. Selain itu, sifat alamiah anak-anak yang cenderung memiliki rasa ingin tahu tinggi sehingga senang melakukan eksplorasi benda, tempat, atau hal lainnya yang menarik perhatiannya tanpa mempertimbangkan baik atau buruknya, aman atau tidaknya karena kemampuan anak untuk menalar atau mempersepsikan lingkungan di sekitarnya cenderung masih terbatas sehingga belum mampu memahami adanya potensi bahaya yang ada.

Apabila kelalaian orang tua semacam ini terus terjadi secara berulang, maka dapat mendatangkan dampak tidak langsung dalam jangka panjang terhadap perkembangan anak. Sikap orang tua yang menampakkan wajah kesal atau bahkan bermusuhan ketika anak mereka mengulangi perilaku mencari perhatian kepada mereka sebagai orang tuanya (Elias et al., 2021) dapat menimbulkan perasaan diabaikan yang kemudian dapat memicu adanya masalah perilaku, emosional, sosial, depresi, dan perilaku anti sosial pada anak (Beamish et al., 2019; McDaniel & Radesky, 2018). Fokus dengan smartphone saat bersama anak juga dapat menjadi pemicu awal anak terlibat dalam penggunaan digital di usia yang belum seharusnya karena telah mendapatkan contoh langsung penggunaan smartphone yakni dari orang tuanya (Bohnert & Gracia, 2021).

Melihat ragam dampak dari fenomena technoference pada orang tua saat mengasuh anak, pentingnya orang tua untuk memahami dan menyadari bahwa kehadiran orang tua saat bersama anak tidak hanya hadir secara fisik namun benar-benar hadir secara utuh yakni secara fisik dan emosional. Saat membersamai anak bermain di rumah maupun di luar rumah, penting bagi orang tua untuk turut terlibat dalam permainan. Selain berguna untuk membangun kelekatan emosional dengan anak, orang tua juga dapat memastikan secara langsung keamanan anak. Apabila orang tua harus menggunakan smartphone saat anak sedang bermain karena urusan pekerjaan atau hal penting lainnya, orang tua dapat meminta bantuan kepada orang dewasa lain di sekitarnya untuk memperhatikan anaknya.

Referensi :

Beamish, N., Fisher, J., & Rowe, H. (2019). Parents’ use of mobile computing devices, caregiving and the social and emotional development of children: a systematic review of the evidence. Australasian Psychiatry, 27(2), 132–143. https://doi.org/10.1177/1039856218789764

Bohnert, M., & Gracia, P. (2021). Emerging Digital Generations ? Impacts of Child Digital Use on Mental and Socioemotional Well-Being across Two Cohorts in Ireland , 2007 – 2018 Content courtesy of Springer Nature , terms of use apply . Rights reserved . Content courtesy of Springer Natur. Child Indicators Research.

Elias, N., Lemish, D., Dalyot, S., & Floegel, D. (2021). “Where are you?” An observational exploration of parental technoference in public places in the US and Israel. Journal of Children and Media, 15(3), 376–388. https://doi.org/10.1080/17482798.2020.1815228

Knitter, B., & Zemp, M. (2020). Digital Family Life: A Systematic Review of the Impact of Parental Smartphone Use on Parent-Child Interactions. Digital Psychology, 1(1), 29–43. https://doi.org/10.24989/dp.v1i1.1809

Liputan6.com. (5 Juni 2018). Gara-Gara Ibu Sibuk Main Posel, Anak Tertabrak Mobil. https://www.liputan6.com/citizen6/read/3406356/gara-gara-ibu-sibuk-main-ponsel-anak- tertabrak-mobil

Mackay, L. J., Komanchuk, J., Hayden, K. A., & Letourneau, N. (2022). Impacts of parental technoference on parent-child relationships and child health and developmental outcomes: a scoping review protocol. Systematic Reviews, 11(1), 1–7. https://doi.org/10.1186/s13643- 022-01918-3

McDaniel, B. T., & Radesky, J. S. (2018). Technoference: Parent Distraction With Technology and Associations With Child Behavior Problems. Child Development, 89(1), 100–109. https://doi.org/10.1111/cdev.12822

Nicolaus. (1 Agustus 2019). Ironis, Seorang Ibu Sibuk Main Ponsel Tak Perhatikan Tangan Anaknya Terjepit Lift, Masih Sempat Pegang HP Saat Mencoba Menolong.

https://www.grid.id/read/041804446/ironis-seorang-ibu-sibuk-main-ponsel-tak-perhatikan- tangan-anaknya-terjepit-lift-masih-sempat-pegang-hp-saat-coba-menolong

Putra, P. (26 Juli 2018). Tragis, Bocah Tewas Tertabrak Mobil Ayahnya Karena Sibuk dengan Ponsel. https://jatim.inews.id/berita/tragis-bocah-tewas-tertabrak-mobil-ayahnya-karena- sibuk-dengan-ponselWolfers, L. N., Kitzmann, S., Sauer, S., & Sommer, N. (2020). Phone use while parenting: An observational study to assess the association of maternal sensitivity and smartphone use in a playground setting. Computers in Human Behavior, 102(August 2019), 31–38. https://doi.org/10.1016/j.chb.2019.08.013

Generasi Baru, Kebutuhan Baru: Membimbing Pembelajaran Anak Digital Native di Tengah Pengaruh Gadget

ArtikelBlog Wednesday, 7 February 2024

Di era yang dipenuhi dengan gemerlap teknologi, anak-anak masa kini tumbuh dalam realitas yang berbeda. Marc Prensky, seorang konsultan pendidikan, menyebut mereka dengan istilah ‘digital native’, yang merujuk pada generasi yang lahir dan tumbuh dengan paparan teknologi, sehingga mereka dianggap sebagai pengguna bahasa digital yang fasih (Prensky, 2001). Generasi ini dimulai dari generasi milenial, yaitu yang lahir pada kisaran tahun 1980 sampai 2000-an, hingga ke generasi-generasi setelahnya (Moran, 2016). Sedangkan, generasi-generasi sebelumnya dikenal dengan istilah ‘digital immigrant’, yaitu generasi yang tidak lahir pada era digital, sehingga baru berkesempatan untuk belajar dan beradaptasi pada teknologi setelah dewasa.

Sebagai orang dewasa yang masih masuk ke generasi digital immigrant, atau ada pula yang telah masuk ke generasi digital native namun mungkin tak terpapar teknologi sebanyak anak-anak digital native di zaman sekarang, penting bagi guru untuk memahami pengalaman ber-gadget murid dan mencari tahu cara yang tepat untuk mendukung mereka, terutama dalam penggunaan gadget untuk pembelajaran. Sebab, apabila tidak dibimbing dengan baik, bisa jadi murid tidak dapat meraih potensi maksimalnya, atau bahkan dapat terjerumus ke efek samping buruk dari gadget. Maka dalam artikel ini, kita akan menjelajahi bagaimana gadget mempengaruhi anak-anak digital native, sambil menggali cara guru dapat membantu mereka menjadikan teknologi sebagai sahabat sejati dalam meraih potensi terbaik dan menghadapi tantangan zaman.

Dengan lingkungan tumbuh kembang yang berbeda, tentunya generasi digital native memiliki karakteristik yang berbeda dari digital immigrant. Salah satu aspek yang menonjol dari pengaruh gadget adalah perubahan dalam cara anak-anak digital native belajar dan berpikir. Berikut adalah beberapa karakteristik yang dimiliki generasi digital native atau Net Generation sebagai pengaruh dari teknologi menurut Tappscott (2009):

  1. Kebebasan: mereka menginginkan kebebasan dari berbagai aspek, mulai dari kebebasan untuk memilih hingga kebebasan berekspresi.
  2. Kustomisasi dan personalisasi: mereka menginginkan hal-hal dapat disesuaikan dengan preferensi mereka.
  3. Kritis terhadap informasi: mereka cenderung mengkritisi dan mengevaluasi informasi dengan lebih teliti.
  4. Integritas dan keterbukaan: mereka menghargai integritas dan keterbukaan dalam berinteraksi, serta menginginkan informasi yang jujur dan transparan.
  5. Kesenangan atau entertainment: mereka menginginkan pekerjaan, pendidikan, serta kehidupan sosial yang menyenangkan.
  6. Kolaborasi: mereka saling berhubungan erat dan saling mempengaruhi satu sama lain, terutama karena pengaruh teknologi yang dapat menghubungkan yang jauh.
  7. Kecepatan: mereka terbiasa dengan hal-hal yang serba cepat, terutama dalam hal komunikasi yang kini telah terbantu oleh teknologi.
  8. Inovasi: mereka adalah generasi yang inovatif dan terus mencari cara untuk membuat inovasi-inovasi baru dalam berbagai aspek.

Dari karakteristik di atas, dapat disimpulkan bahwa generasi digital native telah mengadopsi banyak keahlian baru yang didapat dari paparan teknologi sejak dini. Dengan kehidupan yang serba cepat, saling terhubung, dan tetap mementingkan kesenangan, maka akan sulit bagi generasi ini untuk belajar dengan cara lama yang umumnya berpusat pada guru. Cara ini hanya bertujuan untuk mengetes memori anak, yang seringkali menggunakan metode kelas yang serius, mendengarkan presentasi dari guru, dan kurangnya diskusi dan komunikasi antar murid. Meski metode konvensional ini memudahkan murid dalam mempersiapkan diri untuk ujian, metode ini menyebabkan murid terlalu bergantung pada guru dan tidak mengasah kemampuan mereka dalam berpikir kritis (Prensky, 2001; Wang, 2022). Jika guru tidak beradaptasi dengan kebutuhan generasi ini, maka mereka hanya akan menganggap pembelajaran sebagai membosankan dan tidak efektif.

Dengan mempertimbangkan hal tersebut, sangat penting bagi guru untuk menyesuaikan diri dengan kemajuan teknologi dan perkembangan generasi agar dapat pembelajaran murid sesuai dengan kebutuhan dan preferensi mereka. Berikut adalah beberapa hal yang bisa dilakukan guru untuk memfasilitasi pembelajaran murid digital native menurut Kelly dkk. (2009, dalam Kivunja, 2014):

  1. Mengejar kesenjangan antara guru dan murid digital native, melalui penggunaan gaya bahasa dan teknologi yang familiar dengan murid (Prensky, 2001, dalam Kivunja, 2014)
  2. Berkomunikasi secara langsung dengan murid dengan memanfaatkan teknologi yang ada (e-mail, chatting, membaca blog, bermain game online, mendengarkan dan membuat podcast, dan lain-lain)
  3. Terlibat dengan berbagai aktivitas lain bersama murid
  4. Terhubung dengan dunia digital murid agar sekolah dan pembelajaran dapat menjadi relevan bagi murid
  5. Mempelajari cara penggunaan alat-alat atau platform digital baru yang dapat mendukung pembelajaran murid
  6. Mendapatkan pengalaman baru secara langsung di dunia digital untuk digunakan dalam membantu pembentukan pengetahuan murid

Dalam era gadget yang tak terhindarkan, menjadi pemandu bagi murid digital native bukanlah tugas yang mudah. Namun, dengan kesadaran, komunikasi, serta kemauan untuk belajar dan beradaptasi, kita dapat membantu mereka untuk belajar dengan efektif di generasi baru ini. Jadi, mari kita melangkah maju bersama mereka, membangun masa depan yang cerah dalam era digital yang penuh potensi.

Referensi

Kivunja, C. (2014). Theoretical perspectives of how digital natives learn. International Journal of Higher Education, 3(1). https://doi.org/10.5430/ijhe.v3n1p94

Moran, K. (2016, January 3). Millennials as digital natives: Myths & realities. Nielsen Norman Group. https://www.nngroup.com/articles/millennials-digital-natives/

Prensky, M. (2001). Digital natives, digital immigrants part 1. On The Horizon, 9(5), 1 – 6. http://dx.doi.org/10.1108/10748120110424816

Tapscott, D. (2009). Grown up digital: How the net generation is changing your world. McGraw-Hill.

Wang, Y. (2022). A comparative study on the effectiveness of traditional and modern teaching methods. Proceedings of the 2022 5th International Conference on Humanities Education and Social Sciences (ICHESS 2022), 270-277. https://doi.org/10.2991/978-2-494069-89-3_32

Wisuda Sekolah Orang Tua Hebat (SOTH) 2023: Kolaborasi CLSD UGM dan BKKBN DIY dalam Membekali Pendampingan Tumbuh Kembang Anak

BlogEvent Tuesday, 29 August 2023

Acara wisuda Sekolah Orang Tua Hebat (SOTH) 2023 telah sukses diselenggarakan pada tanggal 9 Agustus 2023 di Ballroom Hotel Nueve Malioboro, Jalan Mataram, Yogyakarta. Acara ini merupakan penutupan sesi rangkaian SOTH yang telah dilaksanakan sejak Februari hingga Juni 2023. Setelah melewati 13 kali pertemuan, sebanyak 29 dari 30 peserta dinyatakan lulus dan berhak untuk diwisuda.

SOTH adalah kegiatan sekolah bagi orang tua dengan anak usia dini yang dilaksanakan atas kolaborasi Center for Life-Span Development (CLSD) Fakultas Psikologi UGM dan BKKBN DIY. Kegiatan yang dilaksanakan di Kelurahan Notoprajan, Kemantren Ngampilan ini adalah yang pertama kalinya dilaksanakan di Daerah Istimewa Yogyakarta. SOTH memberikan materi tentang pengasuhan yang dimulai dari materi tentang perencanaan hidup berkeluarga, pemahaman tentang pengasuhan, hingga stimulasi perkembangan anak dari berbagai aspek. 

Acara Wisuda SOTH dihadiri oleh pejabat Walikota Yogyakarta, Direktur Bina Ketahanan Keluarga Lansia dan Rentan BKKBN RI, perwakilan BKKBN DIY, perwakilan Fakultas Psikologi UGM, Kepala DP3AP2KB Kota Yogyakarta, dan kader Bina Keluarga Balita (BKB) Permata Hati. Rangkaian acara diawali dengan sambutan dan laporan penyelenggaraan dari Kepala Perwakilan BKKBN DIY, Ibu Dra. Andi Ritamariani M.Pd. Pembukaan juga semakin meriah dengan penampilan tari dari anak-anak BKB Permata Hati.

Pembukaan prosesi wisuda secara resmi ditandai dengan pemukulan gong oleh Kepala Perwakilan BKKBN DIY selaku salah satu Dewan Prosesi. Selanjutnya, Dewan Prosesi lainnya yang terdiri dari Direktur Bina Ketahanan Keluarga Lansia dan Rentan BKKBN RI Ibu dr. Ni Luh Gede Sukardiasih, M.For., M.A.R.S., Perwakilan Fakultas Psikologi UGM dalam hal ini Wakil Dekan Bidang Penelitian, Pengabdian kepada Masyarakat, dan Kerja Sama Ibu Dr. Wenty Marina Minza, M.A.,  dan Kepala DP3AP2KB Kota Yogyakarta Bapak Ir. Edy Muhammad turut bergabung untuk memulai prosesi wisuda. Pengalungan samir, pemberian sertifikat, dan hadiah juara oleh para Dewan Prosesi secara resmi menandai diwisudanya para peserta SOTH.

Pelaksanaan kegiatan SOTH ini merupakan salah satu usaha CLSD UGM dalam memaksimalkan peran sebagai salah satu pusat studi perkembangan yang berperan merumuskan edukasi di ranah pengabdian masyarakat. Berdasarkan evaluasi yang dilakukan, didapatkan data bahwa terdapat peningkatan pengetahuan mengenai pengasuhan pada peserta yang dapat dilihat dari perbandingan antara rerata nilai pre-test atau sebelum mendapatkan materi dengan rerata nilai post-test pada akhir program SOTH. Peningkatan skor tersebut adalah sebesar 39,67%. Melalui pelaksanaan kegiatan ini, diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan meningkatkan pemahaman orang tua dalam rangka membimbing tumbuh kembang dan pembentukan karakter anak sejak dini.

Training for Trainers (ToT) Read Aloud: The Reading Buddies Program

BlogEvent Tuesday, 29 August 2023

CLSD Fakultas Psikologi UGM berkolaborasi dengan Read Aloud Indonesia menyelenggarakan Training for Trainers (ToT) Read Aloud: The Reading Buddies Program pada Senin, 21 Agustus pukul 08.00-16.00 WIB. Kegiatan tersebut dihadiri oleh para interns dan associates CLSD sebagai tahap persiapan program Pengabdian kepada Masyarakat bertajuk The Reading Buddies.

Rangkaian kegiatan diawali dengan sambutan dari Dr. Wenty Marina Minza, M.A. selaku Wakil Dekan Bidang Penelitian, Pengabdian kepada Masyarakat, dan Kerja Sama Fakultas Psikologi UGM. Setelah penyambutan, kegiatan dilanjutkan dengan penyampaian materi oleh Ibu Roosie Setiawan yang merupakan Founder Reading Bugs: Komunitas Read Aloud Indonesia. 

Materi pada sesi 1 tentang membacakan buku secara nyaring dan tahapan-tahapannya. Dalam sesi ini, Bu Roosie membahas buku ‘The Read Aloud Handbook’ dan buku ‘Membacakan Nyaring’ sebagai dasar pemahaman konsep read aloud. 

Buku ‘The Read Aloud Handbook’ yang ditulis oleh Trelease menjelaskan bahwa membacakan buku dengan nyaring kepada anak dapat membangun kosakata dan mengkondisikan otak anak untuk mengasosiasikan membaca dengan kesenangan serta menanam kegemaran membaca. Sementara itu, buku ‘Membacakan Nyaring’ yang ditulis sendiri oleh Ibu Roosie mengulas beberapa strategi dalam menarik minat anak usia 0-24 bulan untuk mencintai kegiatan membaca. Selain itu, beliau juga menjelaskan manfaat yang bisa didapat dari membaca nyaring di bukunya. Buku tersebut juga disertai berbagai ilustrasi untuk menarik minat pembacanya.

Kemudian di sesi selanjutnya, dibahas juga kaitannya membaca dan efeknya dengan otak anak. Ibu Roosie juga menceritakan beberapa situasi ketika anak dapat membaca dengan lancar meskipun tidak pernah diajarkan cara membaca secara formal. Hal tersebut terjadi karena anak secara otodidak anak belajar cara membaca ketika orangtua/gurunya membacakan buku secara nyaring kepadanya. Ibu Roosie juga menjelaskan bagaimana memilih buku yang cocok untuk dibacakan nyaring sesuai tahap perkembangan anak. Tentunya buku yang cocok untuk dibacakan nyaring pada anak bayi 18-24 bulan akan berbeda dengan buku yang dapat dibacakan nyaring dengan anak kelas 5 SD.

Kegiatan diakhiri dengan sesi terakhir yakni ketika para interns dan associates CLSD mempraktIkkan membaca buku secara nyaring ditemani diskusi dan pemberian masukan dari Ibu Roosie Setiawan sendiri. Harapannya dari pelatihan ini, interns dan associates CLSD mendapatkan ilmu dan keterampilan baru dalam praktik membacakan nyaring yang akan menjadi bekal untuk membaca nyaring bersama anak-anak pada kegiatan CLSD selanjutnya yakni The Reading Buddies.

Pentingnya Pemahaman Orang Tua terhadap Pola Asuh Anak

Blog Tuesday, 20 June 2023

Sumber gambar: freepik.com

Penulis: Hilman Dwi Himawan

Penyunting: Reswara Dyah Prastuty

Hampir sebagian besar masyarakat Indonesia mengetahui bahwa salah satu tugas orang tua adalah mendidik anak. Beragam cara diterapkan orang tua dalam mendidik anak, seperti mendidik dengan memberikan aturan-aturan yang ketat, bahkan ada yang sama sekali tidak memberikan aturan, mengabaikan hak-hak anak seperti kasih sayang, pendidikan, dan sebagainya, serta memberikan aturan sekaligus kebebasan kepada anak. Bervariasinya pola asuh ini dimungkinkan bisa disebabkan oleh beberapa faktor, seperti faktor budaya di mana orang tua berada, kepribadian orang tua, dan sebagainya. 

Beragamnya pola asuh orang tua di Indonesia memicu sebuah pertanyaan mendasar mengenai seberapa jauh pemahaman orang tua mengenai pola asuh yang diterapkan. Nyatanya, tidak semua orang tua memahami mengenai pola asuh yang diterapkan terutama berkaitan dengan dampak bagi perkembangan anak ke depan. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pola asuh yang diterapkan orang tua terhadap anak akan mempengaruhi perkembangan anak. Salah satunya adalah penelitian yang dilakukan oleh Ashari et al. (2017) yang menyebutkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pola asuh orang tua dengan perkembangan kognitif anak. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Solihah et al. (2021) menunjukkan bahwa terdapat pengaruh pola asuh orang tua yang signifikan terhadap perkembangan sosioemosional anak di mana 44% perkembangan sosioemosional anak dipengaruhi oleh pola asuh orang tua dan sisanya dipengaruhi oleh faktor-faktor lainnya. Hasil temuan tersebut menunjukkan bahwa penting bagi orang tua untuk memahami pola asuh yang diberikan terhadap anak.

Pemahaman pertama yang perlu diperhatikan oleh orang tua mengenai pola asuh adalah jenis pola asuh yang diberikan. Di balik beragamnya pola asuh orang tua sebenarnya bisa disederhanakan menjadi 4 pola asuh. Menurut Diana Baumrind, terdapat 4 jenis pola asuh orang tua (Santrock, 2016), yaitu: 

  1. Pola asuh authoritarian berkaitan dengan membatasi, memaksa, memarahi, dan menghukum. 
  2. Authoritative berkaitan dengan pola asuh yang hangat, mendukung, memberi kebebasan namun tetap menekankan tanggung jawab.
  3. Neglectful berkaitan dengan pola asuh orang tua yang tidak terlibat dalam hidup anak serta tidak ada kontrol dan norma. 
  4. Indulgent berkaitan dengan pola asuh orang tua yang sangat terlibat dengan anak namun tidak menuntut dan menerapkan aturan dan anak dibiarkan melakukan apapun yang mereka mau. Melalui pemahaman pertama ini, orang tua diharapkan mampu mengidentifikasi pola asuh apa yang diterapkan pada anak. 

Pemahaman selanjutnya yang perlu diperhatikan oleh orang tua mengenai pola asuh adalah batasan dalam penerapan. Setelah mengidentifikasi jenis pola asuh yang diberikan kepada anak, orang tua perlu memahami seberapa jauh pola asuh tersebut diterapkan. Hal ini perlu dilakukan agar pola asuh yang diberikan tetap berdampak positif bagi perkembangan anak. Menurut Santrock (2016), pola asuh authoritative akan menjadikan anak tumbuh sebagai pribadi yang ceria, memiliki kontrol diri, mandiri, berorientasi pada pencapaian, bersahabat, kooperatif, mampu mengatasi stres dengan baik, dan memiliki harga diri yang baik. Selanjutnya, pola asuh authoritarian akan menjadikan anak tumbuh sebagai pribadi yang tidak bahagia, penuh dengan rasa takut, cemas, inisiasi yang rendah, keterampilan komunikasi yang lemah, dan bisa berperilaku agresif terutama laki-laki. Kemudian, pola asuh indulgent menjadikan anak tumbuh sebagai pribadi yang tidak sopan dengan orang lain, kontrol diri yang rendah, dominan, egosentris, dan tidak patuh. Terakhir, pola asuh neglectful menjadikan anak tumbuh sebagai pribadi yang memiliki kompetensi sosial rendah, kontrol diri yang rendah, harga diri yang rendah, tidak dewasa, dan tidak memiliki kemandirian yang baik. Jika mengacu pada temuan tersebut, maka bisa disimpulkan bahwa sebaiknya pola asuh authoritarian, indulgent, dan neglectful tidak diberikan secara intensif kepada anak. Sebaliknya, pola asuh authoritative perlu dipertimbangkan sebagai pola asuh utama yang diterapkan orang tua kepada anak.

Pemahaman terakhir yang perlu diperhatikan oleh orang tua mengenai pola asuh adalah sebisa mungkin menghindari pemberian hukuman pada anak. Berdasarkan penelitian, ternyata hukuman atau kekerasan fisik yang dilakukan orang tua banyak berhubungan dengan berbagai dampak negatif pada anak seperti rendahnya internalisasi moral, rendahnya kesehatan mental, tingginya agresivitas, depresi pada remaja, dan externalizing problems seperti kenakalan remaja (Cicchetti, 2017; Cicchetti & Toth, 2016). Selain itu, pemberian hukuman atau kekerasan fisik juga sebaiknya dihindari karena setidaknya terdapat lima dampak negatif lainnya (Santrock, 2016). Kelima dampak tersebut, yaitu: 

  1. Ketika orang dewasa menghukum anak dengan teriakan atau pukulan maka ia justru sedang memberikan model bagi anak untuk lepas kontrol dalam menghadapi situasi yang stressful sehingga anak akan meniru. 
  2. Hukuman akan menanamkan ketakutan, kemarahan atau penghindaran sehingga anak justru takut dekat dengan orang tua.
  3. Hukuman lebih menekankan pada apa yang tidak boleh dilakukan daripada apa yang seharusnya dilakukan. 
  4. Pemberian hukuman bisa menjadikan orang tua lepas kendali dan membahayakan anak. 
  5. Hukuman kadang-kadang mengarah pada terjadinya child maltreatment yang bisa berakibat pada rendahnya regulasi emosi, masalah kelekatan, bermasalah dalam relasi kelompok, sulit beradaptasi di sekolah, dan masalah psikologis lainnya serta bisa menyebabkan anak berperilaku agresif dan menyalahgunakan obat-obatan. 

Mengetahui betapa pentingnya pemahaman orang tua terhadap pola asuh anak, sudah seharusnya orang tua mulai menyadari tiga pemahaman mendasar mengenai pola asuh terhadap anak, yaitu jenis pola asuh yang diberikan, batasan dalam penerapan, dan sebisa mungkin menghindari pemberian hukuman pada anak. Adanya pemahaman mengenai pola asuh tersebut diharapkan dapat menjadikan orang tua semakin bijak dalam memberikan pengasuhan pada anak. Dengan demikian, perkembangan anak diharapkan akan menjadi lebih optimal, baik dari segi kognitif, emosi, sosial, maupun budaya. 

Daftar Pustaka 

Ashari, C. D., Utami, N. W., & Susmini. (2017). Hubungan Pola Asuh Orang Tua dengan Perkembangan Kognitif Anak Usia 3-4 Tahun di PAUD Kecamatan Magelang Selatan. Nursing news, 2(3), 565–579.

Cicchetti, D. (2017, in press). A Multilevel Developmental Approach to the Prevention of Psychopathology in Children and Adolescents. In J.N. Butcher & Others (Eds.), APA Handbook of Psychopathology. American Psychological Association.

Cicchetti, D., Toth, S. L. (2016). Child Maltreatment and Developmental Psychopathology: A Multi-level Perspective. In D. Cicchetti (Ed.), Developmental Psychopathology (3rd ed.). Wiley.

Santrock, J. W. (2016). A Topical Approach To Life-Span Development (9nd ed.). McGraw Hill Education.  

Solihah, S., Ali, M., & Yuniarni, D. (2021). Pengaruh Pola Asuh Orang Tua terhadap Perkembangan Sosial Emosional Anak di TK Mujahidin Pontianak. Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran Khatulistiwa, 10(9), 1–8. https://jurnal.untan.ac.id/index.php/jpdpb/article/view/49434

Sibling Rivalry: Jangan Biarkan Anak Bersaing dengan Saudara Sendiri

Blog Monday, 19 June 2023

Penulis: Nur Nisrina Hanif Rifda

Penyunting: Sukmo Bayu Suryo Buwono

Pada hakikatnya, setiap manusia memiliki kebutuhan untuk ingin diakui dan diterima oleh sekelilingnya. Adanya kebutuhan untuk diakui membuat manusia berusaha untuk melakukan pemenuhan terhadap tujuan tersebut. Meski demikian, upaya pemenuhan yang dilakukan tidak selalu positif, bahkan terkadang dapat memunculkan adanya persaingan antarmanusia.

Persaingan dapat terjadi pada siapa saja, termasuk antar sesama saudara kandung. Di satu sisi, kehadiran saudara kandung tentu dapat membuat anak tidak merasa kesepian, tetapi di sisi lain juga tidak jarang memunculkan persaingan atau pertengkaran. Fenomena persaingan dengan saudara kandung disebut sebagai sibling rivalry (Kastenbaum, dalam Oktaviani & Tentama, 2019). Dari sudut pandang psikologi, fenomena sibling rivalry tidak selalu bersifat negatif. Ketika persaingan saudara kandung dikelola secara tepat, ia dapat difungsikan sebagai medium stimulasi kemampuan sosial, interpersonal, dan kognitif yang penting bagi perkembangan anak hingga masa dewasa–alih-alih menimbulkan berbagai permasalahan psikologis.

Pengelolaan dan pencegahan terhadap sibling rivalry perlu dilakukan karena dampak negatif dari persaingan yang berlebihan dapat bertahan hingga anak tumbuh dewasa. Studi terdahulu menemukan bahwa sibling rivalry dapat memunculkan sifat agresi, tantrum, emosi yang meledak-ledak, gangguan kepercayaan diri, hingga dendam terhadap saudara kandung (Putri dkk., 2013). Karakter maladaptif dapat mendorong anak enggan berbagi ataupun membantu sesama, bahkan hingga menjadikannya cenderung bersikap dominan. Kondisi ini tentu dapat membahayakan hubungan persaudaraan, terlebih ketika orang tua sudah meninggal dunia (Marhamah & Fidesrinur, 2019).

Mengasuh anak tentu bukan pekerjaan mudah, terlebih untuk membagi kasih dan menyeimbangkan bentuk pengasuhan antaranak. Oleh karena itu, orang tua perlu memahami cara mengelola sibling rivalry secara sehat dan tepat. Di bawah ini adalah sejumlah tips untuk melakukannya.

Kenali penyebab pertengkaran anak
Setiap anak memiliki penyebab pertengkaran yang berbeda-beda dengan saudaranya. Orang tua perlu mengamati perilaku anak secara lebih detail untuk dapat mengetahui karakteristik setiap anak. Ketika anak bertengkar dengan saudaranya, orang tua dapat mencoba untuk turut memahami penyebab pertengkaran tersebut (Stephens, 2007). Dengan memahami penyebab pertengkaran dari sudut pandang anak, orang tua dapat lebih mudah menentukan langkah preventif untuk mencegah terjadinya pertengkaran yang berulang.

Jadi contoh yang baik untuk anak
Anak merupakan seorang peniru yang andal. Ketika mengeksplorasi sekitar, anak akan turut menyerap berbagai informasi, termasuk meniru cara untuk bertindak dalam menyikapi sesuatu. Kondisi ini juga dapat berlaku dalam konteks penanganan sibling rivalry. Orang tua dapat berperan dalam memberikan teladan yang baik bagi anak melalui upaya-upaya manajemen konflik secara bijak, seperti menunjukkan sikap mau berbagi dengan anak atau menerapkan budaya berani meminta maaf.

Jaga keseimbangan waktu bagi setiap anak
Orang tua tidak perlu khawatir apabila harus membagi waktu antara pekerjaan dengan quality time bersama anak, karena salah satu hal yang ditekankan saat menjalani quality time bersama anak adalah tentang kualitas, bukan kuantitas. Orang tua dapat mengajak anak untuk bersama- sama terlibat dalam aktivitas sebagai bentuk quality time, seperti memasak, membersihkan rumah, atau menemani anak melakukan hobi.

Terdapat empat jenis waktu dasar yang dapat menjadi patokan bagi orang tua untuk menyeimbangkan waktu bagi setiap anak, yaitu (Guryan dkk., 2008):

  1. Basic, yaitu waktu untuk kebutuhan dasar anak, seperti menyusui, menidurkan,
    menyiapkan makanan, atau membantu anak berdandan.
  2. Educational, seperti kegiatan menemani anak mengerjakan PR, membaca buku untuk anak, atau menghadiri kegiatan anak di sekolah.
  3. Recreational, seperti bermain bersama anak atau pergi bertamasya bersama.
  4. Travel, seperti mengantar anak pergi ke sekolah, mengantar anak ke dokter, atau kegiatan lain yang berkaitan dengan tiga jenis waktu lainnya.

Fokus pada kelebihan masing-masing
Orang tua perlu mengembangkan mindset bahwa setiap anak terlahir dengan bakat istimewa yang berbeda-beda. Terkadang, salah satu hal yang dapat memicu timbulnya sibling rivalry adalah sikap favoritisme orang tua terhadap anak tertentu. Orang tua, entah secara sadar maupun tidak sadar, kerap melakukan perbandingan antara kemampuan anak dengan saudaranya. Untuk menghindari dampak negatif sibling rivalry, orang tua perlu lebih mengenal dan berfokus pada eksplorasi minat dan bakat dari masing-masing anak (Government of South Australia, 2015). Orang tua dapat mendukung anak untuk mengembangkan diri sesuai minatnya dengan menanamkan bahwa setiap anak dapat berkarya melalui bidang masing-masing. Orang tua juga dapat memberikan apresiasi sesuai dengan kemampuan masing-masing anak tanpa membandingkan anak dengan saudaranya.

Berikan privasi dan kepemilikan anak atas barangnya
Terkadang, orang tua ingin mengajarkan tentang konsep berbagi kepada anak dengan membiasakan mereka berbagi mainan dengan saudaranya. Akan tetapi, hal tersebut kurang tepat apabila dilakukan terus-menerus. Orang tua perlu memberikan privasi dan membuat anak merasa memiliki barangnya sendiri (Government of South Australia, 2015). Dengan demikian, anak dapat menurunkan intensitas kecemburuan yang muncul akibat adanya keharusan dan keterpaksaan untuk berbagi dengan saudaranya.

Pengelolaan sibling rivalry tentu tidak mudah untuk dilakukan. Akan tetapi, orang tua tentu dapat belajar dan mengembangkan strategi untuk menyikapi kondisi tersebut demi menjaga keharmonisan hubungan anak dengan saudara kandung. Ayah dan ibu dapat saling bantu dan berkoordinasi untuk menghindarkan anak dari dampak negatif sibling rivalry. Orang tua juga dapat berkonsultasi lebih lanjut dengan psikolog untuk menemukan cara paling sesuai dalam memberikan pengasuhan kepada anak.

Referensi

  • Government of South Australia (2015). Sibling rivalry. Retrieved July 3, 2022 from
    https://parenting.sa.gov.au/pegs/peg27.pdf
  • Guryan, J., Hurst, E., & Kearney, M. S. (2008). Parental education and parental time with
    children. Journal of Economic Perspectives, 22(13993).
    https://doi.org/10.1257/jep.22.3.23
  • Marhamah, A. A., & Fidesrinur (2019). Gambaran strategi orang tua dalam penanganan
    fenomena sibling rivalry pada anak usia pra sekolah. Jurnal AUDHI, 2(1), 30-36.
    https://doi.org/10.36722/jaudhi.v2i1.578
  • Oktaviani, F., & Tentama, F. (2019). The construct of validity sibling rivalry: Confirmatory
    factor analysis second order in the science of sibling rivalry. International Journal of
    Scientific & Technology Research, 8(12), 3737-3742.
    http://eprints.uad.ac.id/20090/1/The-Construct-Of-Validity-Sibling-Rivalry.pdf
  • Putri, A. C. T., Deliana, S. M., & Hendriyani, R. (2013). Dampak sibling rivalry (persaingan
    saudara kandung) pada anak usia dini. Developmental and Clinical Psychology, 2(1), 33-37 http://lib.unnes.ac.id/id/eprint/18553
  • Stephens, K. (2007). Sibling rivalry: ways to help children manage it. Parenting Exchange.
    Retrieved July 3, 2022 from https://www.easternflorida.edu/community-resources/child-
    development-centers/parent-resource-library/documents/sibling-rivalry.pdf

Launching Duta Lansia Istimewa 2023

BlogEvent Friday, 9 June 2023

Peringatan Hari Lanjut Usia Nasional ke-27 telah sukses diselenggarakan oleh BKKBN DIY dengan melibatkan Center for Life-Span Development (CLSD) UGM dan Komda Lansia pada Minggu, 28 Mei 2023. Acara dihadiri oleh 320 peserta yang terdiri dari perwakilan BKKBN Pusat, perwakilan BKKBN DIY, perwakilan Fakultas Psikologi UGM, kader Bina Keluarga Lansia (BKL), Komda Lansia DIY, alumni Sekolah Lansia, dinas terkait, dan berbagai pihak lainnya. Rangkaian acara dimulai dengan pembukaan oleh MC, pembacaan doa oleh Kemenag DIY, dan dilanjutkan dengan penyampaian sambutan oleh Kepala Perwakilan BKKBN DIY, Kepala BKKBN RI, dan perwakilan Pemerintah Provinsi DIY.

Setelah penyampaian sambutan, acara puncak peringatan Hari Lanjut Usia Nasional (HLUN) 2023 dimulai dengan Peluncuran Duta Lansia Istimewa 2023 yang diawali dengan penayangan video teaser yang bertajuk 7 Dimensi Lansia Tangguh. Duta Lansia Istimewa 2023 merupakan kolaborasi antara Center for Life-Span Development (CLSD) Fakultas Psikologi UGM dan BKKBN DIY dalam rangka mewujudkan kegiatan yang melibatkan lansia di tengah-tengah masyarakat. Kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan lansia melalui peningkatan rasa keberhargaan pada lansia dan memberi wadah bagi lansia sebagai penduduk senior yang memiliki pengalaman dalam berbagai aspek kehidupan untuk berpartisipasi aktif dan berkontribusi dalam masyarakat sesuai kemampuannya.

Dalam sesi peluncuran tersebut, terdapat pembacaan narasi duta lansia yang dibawakan oleh Bapak Drs. Haryanto, M.Si., Psikolog selaku Dewan Pengarah Duta Lansia Istimewa 2023. Kemudian, dilanjutkan dengan acara simbolik Peluncuran Duta Lansia Istimewa 2023 oleh Bapak Dr. (HC) dr. Hasto Wardoyo, Sp.OG (K) selaku Kepala BKKBN RI dan Bapak Dr. Sumaryono, M.Si., Psikolog selaku Wakil Dekan Bidang Keuangan, Aset, dan SDM Fakultas Psikologi UGM. Peluncuran kegiatan tersebut ditandai dengan mengalungkan selempang Duta Lansia Istimewa kepada DLI Pratama Yogyakarta. DLI Kakung diwakili oleh Bapak Rustiyadi, S.Pd. (65 tahun), sedangkan DLI Putri diwakili oleh Ibu Priyanti Farida, S.IP., M.H. (61 tahun), keduanya aktivis Komda Lansia DIY.  

Pemilihan Duta Lansia Istimewa 2023 dilaksanakan pada bulan Juni 2023. Penobatan Duta Lansia Istimewa 2023 akan dilaksanakan pada awal bulan Juli bertepatan dengan puncak acara Hari Keluarga Nasional (Harganas) 2023. Dapatkan informasi selengkapnya di Instagram CLSD Fakultas Psikologi UGM (@clsd.ugm), Instagram BKKBN DIY (@bkkbndiy), dan pengurus kader Bina Keluarga Lansia (BKL) setempat. 

Menyoal n-Po generation: Akankah Indonesia mengalami hal yang sama?

ArtikelBlog Monday, 5 June 2023

Penulis: Muhammad Ikbal Wahyu Sukron

Penyunting: Diah Dinar Utami

Istilah “n-Po generation” mungkin masih asing terdengar di telinga. Tetapi, bagi kamu yang pernah menonton serial drama korea bertajuk “My Liberation Notes”, tentu familiar dengan permasalahan yang dihadapi oleh individu yang memasuki usia dewasa. Generasi n-Po (n-Posedae) atau numerous giving-up generation merupakan istilah untuk menggambarkan fenomena generasi muda Korea Selatan yang menyerah pada sejumlah poin penting dalam hidup, seperti kehidupan percintaan, pernikahan, menunda memiliki anak, mencari pekerjaan, dan tempat tinggal. Banyak faktor yang menyebabkan generasi muda memilih untuk menyerah, seperti tekanan ekonomi, kenaikan harga, dan kurangnya lapangan pekerjaan, .

Generasi n-Po merupakan perluasan istilah dari generasi sampo (sam= 3; po= giving-up) yang awalnya hanya menyerah pada 3 poin, seperti percintaan, pernikahan, menunda memiliki anak. Generasi n-Po umumnya terjadi pada rentang usia 20-an hingga 30-an akhir. Pada periode usia ini, individu memiliki tuntutan lebih besar secara sosial untuk mandiri secara individual, finansial, dan menjalin hubungan romantis dengan lawan jenis. Banyak perempuan Korea Selatan yang menyerah pada beberapa poin penting dalam hidup karena tuntutan sosial, mahalnya biaya pendidikan, perumahan, dan bahan pokok. Mereka yang menyerah akan hubungan asmara dan menunda untuk memiliki anak beralasan bahwa menghidupi diri sendiri saja sudah tidak mampu apalagi harus menghidupi keluarga. Alasan ini tentu sangat logis mengingat tidak seorang pun yang ingin orang yang dicintainya hidup dalam kondisi kekurangan; para orang tua juga ingin anak mereka memiliki penghidupan yang layak sehingga akan lebih baik kiranya tidak menjalin hubungan daripada menyengsarakan orang lain.

Kesulitan mencari pekerjaan dan kenaikan harga tempat tinggal membuat orang dewasa menyerah dan memilih untuk hidup apa adanya. Pilihan untuk hidup apa adanya tentu tidak ada yang mempermasalahkan, tetapi ketika keadaan ini menyebabkan orang dewasa tidak lagi berhasrat untuk menetapkan tujuan (goals) dalam hidup sehingga hidup tidak lagi bermakna maka ada yang salah dengan pilihan tersebut.

Jika melihat fenomena ini dari kacamata ilmu psikologi perkembangan, setiap rentang kehidupan memiliki tugas perkembangannya masing-masing. Tuntutan individu yang sudah memasuki usia dewasa akan berbeda dari mereka yang masih berada pada rentang usia remaja. Havighurst menjelaskan beberapa tugas perkembangan orang dewasa, seperti mencapai otonomi, mengembangkan stabilitas emosi, membangun karir, membangun keintiman, menjadi bagian dari komunitas, dan menjadi orangtua serta mengasuh anak.

Nah, jika mengacu pada tugas perkembangan yang dikemukakan oleh Havighurst tersebut, generasi n-Po tidak menyelesaikan hampir keseluruhan tugas perkembangan masa dewasa. Padahal, ketidakmampuan untuk menyelesaikan tugas perkembangan pada masa dewasa akan berpengaruh pada pemenuhan tugas perkembangan pada fase berikutnya. 

Berkaca pada fenomena generasi n-Po di Korea Selatan, ada kemungkinan individu dewasa di Indonesia juga mengalami hal serupa. Salah satunya terkait kepemilikan tempat tinggal. Tingginya permintaan dan rendahnya daya beli membuat para milenial di Indonesia akan kesulitan untuk memiliki rumah pribadi. Selanjutnya, tak jarang terdengar frasa “menikah nunggu mapan, mau dikasih makan apa anak orang” atau frasa-frasa sejenis yang secara tak langsung membatasi perkembangan diri. Apa yang disampaikan dalam frasa tersebut memang betul, namun ketika frasa tersebut menjadi falsafah hidup dan kemudian menjadi ketidaksadaran kolektif maka akan banyak orang dewasa yang memilih “menyerah” dengan realitas kehidupan atau bahkan remaja enggan memilih untuk menjadi dewasa. Terakhir, tingginya biaya untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari dan kesulitan mencari pekerjaan akan meningkatkan probabilitas munculnya generasi n-Po di Indonesia.

Sangat dimungkinkan nantinya Indonesia memunculkan istilah baru, entah itu generasi santuy, generasi pasrah, atau apapun itu yang juga merujuk pada term generasi n-Po. Hal ini tentu sama-sama tidak kita harapkan sehingga perlu adanya perhatian terhadap beberapa faktor yang menjadi faktor risiko kemunculan generasi n-Po, diantaranya:

  1. Struktur dan status ekonomi sosial

Situasi finansial dapat menjadi faktor risiko dalam kemunculan generasi n-Po. Orang dewasa yang sudah mandiri secara finansial memiliki kesempatan yang lebih besar untuk mengembangkan dirinya, mereka lebih percaya diri untuk mengambil tanggung jawab, mampu membuat keputusan sendiri, dan merencanakan kehidupan yang lebih sejahtera di masa depan. Sedangkan mereka yang belum mandiri secara finansial cenderung menjadi individu yang dependen, pasif dalam beradaptasi, dan takut akan masa depan yang dipandang penuh dengan risiko dan ketidakpastian.

  1. Tingkat pendidikan 

Tingkat pendidikan individu juga berperan dalam meningkatkan probabilitas munculnya generasi n-Po di Indonesia. Data BPS hingga 2021 menunjukkan bahwa rendahnya tingkat pendidikan yang ditamatkan oleh individu linear dengan tingginya persentase pengangguran terbuka. Selain itu, Komisi IX DPR RI menyebutkan bahwa rendahnya tingkat pendidikan individu menjadi tantangan dalam penyerapan tenaga kerja di Indonesia. Di sisi lain, banyak perusahaan atau penyedia tenaga kerja yang mensyaratkan tingkat pendidikan sebagai salah satu kualifikasi dalam proses penerimaan karyawan.

  1. Skill individu

Tidak cukup dengan tingkat pendidikan, generasi n-Po juga dikarenakan permintaan untuk pekerjaan dengan skill individu level rendah (low-level skills) semakin menurun karena digantikan oleh mereka yang memiliki kualifikasi yang lebih tinggi atas pekerjaan tersebut. Hal ini tentu sangat logis, ketika banyak sarjana lulusan universitas maka pencarian pekerjaan akan semakin kompetitif. Sementara itu, perusahaan tentu akan menyeleksi kandidat terbaik diantara para pelamar untuk bekerja di perusahaan mereka. Oleh karena itu, tidak cukup bagi orang dewasa hanya memiliki gelar pendidikan tetapi juga harus dibarengi dengan kemampuan (skill) yang dibutuhkan pasar (job market).

  1. Budaya pengasuhan

Sama hal nya dengan struktur dan status ekonomi sosial, budaya pengasuhan di Indonesia dapat menjadi faktor risiko kemunculan n-Po di Indonesia. Meskipun konstruk sosial menuntut orang dewasa untuk mandiri secara finansial, pekerjaan, dan kepemilikan tempat tinggal; para orangtua di Indonesia masih menganggap dirinya bertanggung jawab atas kesejahteraan anak dan proses pengasuhan dilakukan sepanjang hayat. Anak masih diterima untuk tinggal bersama orang tua meskipun sudah memasuki usia dewasa. Budaya pengasuhan seperti ini akan membuat orang dewasa cenderung bergantung pada orangtua dan pasrah dengan keadaan.

Berdasarkan pemaparan di atas, generasi n-Po bisa dikatakan sebagai kelompok orang dewasa yang mengalami hambatan dalam penyelesaian tugas perkembangan masa dewasa dan tentu akan berpengaruh pada pemenuhan tugas perkembangan pada fase berikutnya. Oleh karena itu, perlu atensi khusus terhadap faktor risiko munculnya generasi n-Po di Indonesia, seperti tingkat pendidikan, keterampilan (skill) individu, budaya pengasuhan, struktur dan status ekonomi sosial masyarakat Indonesia.

Referensi

Humanities for alternative community: Sharing, connectivity and sustainable utopia. Dari laman http://ccs.khu.ac.kr/m/eng/project/content1

Chong, K. (2016, April 27). South Korea’s troubled millennial generation. Dari laman https://cmr.berkeley.edu/blog/2016/4/south-korea/

Kim, S. (2021, Mei 26). South Korea crosses a population rubicon in warning to the world. Dari laman https://www.bloomberg.com/news/features/2021-05-25/south-korea-is-growing-old-fast-leaving-a-younger-generation-home-alone-and-chi

Arifahsasti, F., Iskandar, K. (2022). The effect of confucianism on future birth rates in South Korea and Japan. Budapest International Research and Critics Institute-Journal (BIRCI-Journal). 05(2), 8307-8318.

Hutteman, R., Hennecke, M., Orth, U., Reitz, A. K., & Specht, J. (2014). Developmental Tasks as a Framework to Study Personality Development in Adulthood and Old Age. European Journal of Personality, 28(3), 267–278.

Santrock, J.W. (2012). Life-span development, ed. 13. Jakarta: Penerbit Erlangga

Hastanto, I. (2022, Juli 08). Menkeu Sri Mulyani prediksi anak muda makin susah beli rumah, terpaksa ikut mertua. Dari laman https://www.vice.com/id/article/akegep/menkeu-sri-mulyani-di-forum-g20-prediksi-anak-muda-indonesia-bakal-makin-susah-beli-rumah

Ranta, M., Punamaki, R. L., Tolvanen, A., & Salmela-Aro, K. (2012). The role of financial resources and agency in success and satisfaction regarding developmental tasks in early adulthood. Economic Stress and the Family. 187-233.

___. (2022). Tingkat pengangguran terbuka berdasarkan tingkat pendidikan 2019-2021. Dari laman https://www.bps.go.id/indicator/6/1179/1/tingkat-pengangguran-terbuka-berdasarkan-tingkat-pendidikan.html

Sulaeman (2020, Juli 08). Tingkat pendidikan pekerja jadi tantangan penyerapan tenaga kerja. Dari laman https://www.merdeka.com/uang/tingkat-pendidikan-pekerja-jadi-tantangan-penyerapan-tenaga-kerja.html

Jun, S. (2017, May 31). Korea’s ‘N-Po’ generation looks to new administration for jobs. Dari laman https://asiafoundation.org/2017/05/31/koreas-n-po-generation-looks-new-administration-jobs/

Pentingnya Kecerdasan Emosional bagi Remaja

ArtikelArtikelBlog Wednesday, 28 September 2022

Penulis: Erythrina Sekar Rani

Penyunting: Arum Febriani

 

Masa remaja merupakan salah satu tahapan perkembangan yang sangat penting. Menurut Erikson, pada masa remaja seseorang menghadapi krisis mencari identitas diri sehingga di akhir masa ini seseorang diharapkan dapat menemukan identitas dirinya (Feist & Feist, 2010). Di sisi lain, pada masa remaja, seseorang cenderung memiliki egosentrisme yang tinggi. Karakteristik egosentrisme inilah yang membuat remaja merasa tertantang untuk melakukan perilaku yang secara tidak sadar dapat membahayakan diri mereka sendiri (Albert, Elkind, & Ginsberg, 2007). Perilaku membahayakan diri dan orang lain yang banyak dilakukan oleh remaja antara lain aksi tawuran, bullying, minum-minuman beralkohol, menggunakan obat-obatan terlarang, atau seks bebas.

Egosentrisme adalah ketidakmampuan membedakan sudut pandang diri sendiri dan sudut pandang orang lain (Santrock, 2011). Menurut David Elkin (dalam Santrock, 2011), ada dua kunci utama dalam egosentrisme remaja yaitu imaginary audience dan personal fabel. Lebih lanjut, dijelaskan bahwa imaginary audience adalah ciri khas remaja yang merasa menjadi pusat perhatian, merasa orang lain tertarik pada sesuatu (sama seperti dirinya), dan biasanya muncul perilaku mencari perhatian. Contohnya, saat berkendara atau berjalan, remaja merasa orang-orang di sekitar memperhatikan mereka. Tidak jarang ada pula remaja yang berperilaku tertentu bertujuan untuk menarik perhatian orang di sekitar. Sementara, personal fabel adalah ciri khas remaja merasa dirinya unik, merasa tidak ada yang memahami, dan merasa dirinya kebal atau tidak terkalahkan. Penelitian yang dilakukan oleh Azhari, Dahlan, dan Mustofa (2019) pada 395 remaja berusia 13-18 tahun yang bersekolah di SMP dan SMA di Kota Bandung menunjukkan bahwa imaginary audience dan personal fabel dapat mempengaruhi perilaku agresi pada remaja.

Tingginya agresi pada remaja ternyata terkait erat dengan rendahnya kecerdasan emosional yang dimiliki. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Siu (2009) di Cina, tingginya perilaku depresi, cemas, stres, agresi, dan kenakalan remaja berhubungan dengan rendahnya kecerdasan emosional yang dimiliki. Hasil serupa juga diperoleh oleh Moskat dan Sorenson (2012) dalam penelitiannya pada remaja usia 12-17 tahun di Washington, tingginya agresivitas berhubungan dengan rendahnya kecerdasan emosional pada remaja. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Kawamoto, Kubota, Sakakibara, Muto, Tonegawa, Komatsu, dan Endo (2021) pada anak dan remaja di Jepang, ditemukan bahwa semakin tinggi kecerdasan emosional pada anak/remaja maka permasalahan mereka dengan teman sebaya dan kesulitan lain yang dihadapi cenderung semakin rendah, serta perilaku prososial (tolong-menolong) cenderung tinggi. Penelitian lain yang dilakukan oleh Masithah, Soedirham, dan Triyoga (2019) pada mahasiswa berusia 18-24 tahun di Indonesia juga menunjukkan bahwa kecerdasan emosional mempengaruhi kontrol perilaku seseorang, pada penelitian ini mempengaruhi pada intensi untuk berhenti merokok. Mengacu pada beberapa hasil penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa diperlukan kecerdasan emosional yang tinggi bagi remaja untuk membantu mereka mengelola emosi dan mengurangi perilaku yang dapat membahayakan diri sendiri maupun orang lain.

Kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang dalam mengelola diri, seperti kemampuan: memotivasi diri, bertahan terhadap stres, mengelola emosi, bersosialisasi, dan hubungannya dengan Tuhan (Goleman, 2009). Orang yang memiliki kecerdasan emosional yang tinggi akan cenderung memiliki kemampuan emosional yang lebih bisa membantu menghadapi permasalahan sehari-hari dan cenderung tidak merugikan diri sendiri maupun orang lain. Cerdas secara akademis saja ternyata tidak cukup untuk seseorang bisa mengontrol diri dan bersosialisasi dengan lingkungan, dibutuhkan kecerdasan emosional untuk menyeimbangkannya.

Kecerdasan emosional dipengaruhi oleh beberapa faktor, terutama faktor eksternal, yaitu:

  1. Keluarga
    Keluarga merupakan tempat pertama kali bagi anak dalam mempelajari kecerdasan emosional, salah satunya melalui interaksi dengan orangtua. Orangtua dapat membantu anak mengenali emosi, memberi label pada emosi, menghargai emosi yang dirasakan, dan menempatkan emosi pada situasi sosial yang relevan (Mayer & Salovey, 1997). Anak memiliki kecenderungan meniru perilaku orang dewasa, termasuk saat mengekspresikan emosi. Oleh karena itu, perlu bagi kita sebagai anggota keluarga untuk sama-sama saling mengenali dan menghargai emosi satu sama lain, serta mengekspresikan emosi dengan cara yang tepat (tidak merugikan diri dan anggota keluarga lain) agar hubungan dalam keluarga bisa terjalin dengan nyaman dan terbuka.
  2. Lingkungan (teman sebaya, pendidikan, dan budaya)
    Baik kita sadari maupun tidak, lingkungan turut berperan dalam kecerdasan emosional kita dan hal ini dapat dimanfaatkan untuk memaksimalkan perkembangan sosioemosional anak sehingga dapat memiliki kecerdasan emosional yang tinggi. Contohnya dapat kita temui pada saat kita berinteraksi dengan teman, guru, ataupun tetangga sebelah rumah kita. Ada proses pembelajaran baik dari segi budaya ataupun kebiasaan yang kita ambil dari interaksi tersebut.

Kecerdasan emosional bukan sesuatu yang diturunkan, melainkan dapat dilatih atau dipelajari dari lingkungan (Saphiro, 2003). Berikut, tips-tips yang bisa dilakukan remaja untuk meningkatkan kecerdasan emosional:

  1. Menyadari dan mengenali emosi yang dirasakan tanpa memberikan penghakiman terhadap perasaan itu. Tidak apa-apa jika merasa sedih, marah, kecewa, takut, cemas, atau emosi yang lainnya.
  2. Mengelola emosi yang dirasakan dan mengekspresikan dengan cara yang sesuai (tidak menyakiti diri dan orang lain). Mengapa emosi perlu dikelola atau diekspresikan? Ketika emosi dipendam terus menerus, hal ini cenderung membuat kita merasa tidak nyaman, sesak, atau bisa meledak pada waktu tertentu. Oleh karena itu, perlu untuk mengekspresikannya dengan cara yang sesuai dengan diri kita. Prinsipnya berusaha tidak menyakiti diri dan orang lain. Misalnya: bercerita kepada orang yang dipercaya, menuliskan jurnal, melakukan meditasi atau relaksasi, mendengarkan lagu, berolahraga, menonton film, bernyanyi, atau yang lainnya.
  3. Mengomunikasikan secara asertif kebutuhan, keinginan, ataupun aspirasi diri. Komunikasi asertif adalah komunikasi yang dilakukan dengan cara yang baik, saling menghormati dan menghargai dengan lawan bicara, menyampaikan pesan dengan jelas (tidak ambigu), memberikan kesempatan kepada lawan bicara untuk menanggapi pembicaraan, dan tidak memaksakan lawan bicara harus sesuai dengan yang kita harapkan sehingga komunikasi dua arah bisa terjalin. Komunikasi asertif dapat dilakukan untuk memediasi ketika kita memiliki permasalahan dengan orang lain atau saat memiliki pesan yang ingin disampaikan kepada orang lain. Jika merasa masih kesulitan, bisa coba untuk tenangkan dan siapkan diri terlebih dahulu ya. Bisa mencoba dengan relaksasi atau menuliskan pesan yang akan disampaikan.
  4. Mengikuti kegiatan positif untuk mengasah potensi diri. Mengisi waktu luang dengan kegiatan positif, seperti: olahraga, kesenian, sosial, keagamaan atau kegiatan lainnya.
  5. Jika merasa menghadapi permasalahan yang tidak dapat diselesaikan sendiri dan mengganggu keberfungsian sehari-hari, bisa untuk mengikuti konseling dengan psikolog atau psikiater.
  6. Terakhir, untuk orang dewasa atau keluarga, kita bisa turut berperan dalam membangun suasana positif bagi peningkatan kecerdasan emosional remaja, seperti: menjadi pendengar yang baik layaknya teman bagi mereka (berempati), memberikan dukungan emosional, dan mengarahkan potensi remaja dalam hal yang positif.

Selamat mencoba! Semoga bermanfaat! 🙂

Referensi:

Alberts, A., Elkind, D., & Ginsberg, S. (2007). The personal fable and risk taking in early adolescence. Journal of Youth Adolescence, 36, 71-76. https://link.springer.com/article/10.1007/s10964-006-9144-4
Azhari, S. M., Dahlan, T. H., & Mustofa. M. A. (2019). Imaginary audience, personal fable, dan perilaku agresi remaja. Jurnal Psikologi Insight, 3(2), 32-42.
Feist, J., & Feist, G. J. (2010). Teori kepribadian terjemahan (7th ed., Vol. 1). Salemba Humanika.
Goleman, D. (2009). Emotional intelligence: Kecerdasan emosional mengapa EI lebih penting daripada IQ. PT Gramedia Pustaka Utama.
Kawamoto, T., Kubota, A. K., Sakakibara, R., Muto, S., Tonegawa, A., Komatsu, & S., Endo, T. (2021). The general factor of personality (GFP), trait emotional intelligence, and problem behaviors in Japanese teens. Personality and Individual Differences, 171, 1-7. https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S0191886920306711
Masithah, D., Soedirham, O., & Triyoga, R. S. (2019). The influence of emotional and spiritual intelligence on smoking cessation intention in college student. Indian Journal of Public Health Research & Development, 10(12), 1651-1655.
Mayer, J. D., & Salovey, P. (1997). What is emotional intelligence? In P. Salovey, & D. J. Sluyter (Eds.), Emotional development and emotional intelligence: Educational implications. Basic Books.
Moskat, H. J., & Sorenson, K. M. (2012). Let’s Talk about feelings: Emotional intelligence and aggression predict juvenile offense [Thesis, Whitman College]. Penrose Library. http://hdl.handle.net/10349/1169
Santrock, J. W. (2011). Life-span development (13th Ed). Mc Graw Hill.
Saphiro, L. E. (2003). Mengajarkan emotional intelligence pada anak. PT Gramedia Pustaka Utama.
Siu, A. F. (2009). Trait emotional intelligence and its relationships with problem behavior in Hong Kong adolescents. Personality and Individual Differences, 47(6), 553-557.

12345

Recent Posts

  • Mendidik Anak dengan Bahasa Cinta
  • Eco-Conscious Parenting: Menumbuhkan Praktik Berkelanjutan pada Perkembangan Anak
  • Memahami Pendidikan untuk Pembangunan Berkelanjutan di Kedai Kopi
  • Membangun Kembali Kegembiraan: Pentingnya Bermain Bagi Kesejahteraan Mental Bagi Masyarakat
  • Keterlibatan Ayah pada Pengasuhan Anak Usia Dini
Universitas Gadjah Mada

Center for Life-Span Development (CLSD)
D-602, Fakultas Psikologi, Universitas Gadjah Mada
Jalan Sosio Humaniora Bulaksumur, Yogyakarta, Indonesia 55281
clsd.psikologi@ugm.ac.id

© Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY

[EN] We use cookies to help our viewer get the best experience on our website. -- [ID] Kami menggunakan cookie untuk membantu pengunjung kami mendapatkan pengalaman terbaik di situs web kami.I Agree / Saya Setuju