• Home
  • About Us
    • Managing Team
    • Researchers
    • Interns
    • Associates
  • Articles
  • Courses
  • Activities
    • CLSD Reader’s Club
    • Research of Baby Screening
    • COMPRE Class
    • Summer Course
    • Photovoice
    • SAELA
    • Community Service
  • Research & Publication
Universitas Gadjah Mada Center for Life-Span Development (CLSD)
Faculty of Psychology
Universitas Gadjah Mada
  • Home
  • About Us
    • Managing Team
    • Researchers
    • Interns
    • Associates
  • Articles
  • Courses
  • Activities
    • CLSD Reader’s Club
    • Research of Baby Screening
    • COMPRE Class
    • Summer Course
    • Photovoice
    • SAELA
    • Community Service
  • Research & Publication
  • Beranda
  • Blog
Arsip:

Blog

Mengembangkan Kepedulian Generatif Guna Mempersiapkan Peran Pemuda sebagai Agen Perubahan

ArtikelArtikelBlog Thursday, 5 December 2024

Penulis: Sukmo Bayu Suryo Buwono, S.Psi., M.A.

Penyunting: Muhammad Ikbal Wahyu Sukron, S.Psi., M.A.

Peran pemuda umum diasosiasikan sebagai katalis dan garda terdepan dari perubahan. Jikapun pada mulanya asosiasi ini sekadar dimaksudkan sebagai jargon pembakar semangat, pada kenyataannya, kajian psikologi perkembangan telah berhasil menemukan kebenaran di balik jargon ini. Berdasarkan temuan-temuan empiris di sepanjang dua dekade terakhir, keterlibatan pemuda sebagai agen perubahan salah satunya ditentukan oleh keberhasilan mereka dalam mengembangkan kepedulian generatif.

Mengapa pemuda disebut agen perubahan dan bagaimana kaitannya dengan kepedulian generatif?

Secara umum, mereka yang telah berusia 18-29 tahun dapat disebut sebagai pemuda. Dalam ilmu psikologi, rentang ini diistilahkan sebagai periode emerging adulthood (Arnett, 2011). Periode ini menandai masa transisi dari fase remaja, yang sarat akan krisis pencarian jati diri, menuju fase dewasa awal yang sarat akan krisis pencarian pasangan hidup (Erikson, 1963).

Di sepanjang emerging adulthood, gairah individu untuk terlibat dalam kegiatan kreatif, komunitas, aktivisme, dan politik dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat tengah berada di level tertinggi. Maka tak jarang jika perubahan, terobosan, dan gagasan besar terlahir oleh mereka yang berada di periode ini. Tingginya keterlibatan di atas adalah imbas dari suatu tahap perkembangan psikososial yang lazim dikenal sebagai fenomena early generativity, yaitu menonjolnya kepedulian generatif di sepanjang rentang emerging adulthood (Alisat dkk., 2014; Jia dkk., 2015; Matsuba dkk., 2017; Pratt & Lawford, 2014). Kepedulian generatif adalah kepedulian akan keberlangsungan hidup generasi penerus (McAdams & de St. Aubin, 1992).

Kepedulian generatif dikatakan sebagai fenomena psikososial karena kemunculannya berfondasi pada dorongan batin (psiko) dan tuntutan sosial (sosial) yang hanya menonjol pada rentang perkembangan tertentu. Secara spesifik, menonjolnya kepedulian generatif di rentang emerging adulthood dilandasi oleh dorongan batin untuk bermanfaat bagi sesama dan meninggalkan warisan positif yang dapat dikenang, serta tuntutan budaya untuk memastikan keberlangsungan dan kesejahteraan hidup spesies (Pratt & Lawford, 2014). Fondasi psikososial tersebut menghasilkan motivational force yang kuat dalam mengorganisir struktur motif dan moralitas individu; ia turut membentuk kepribadian dan menentukan penilaian tentang baik/buruk, benar/salah, dan penting/tidak penting (Jia dkk., 2015; McAdams, 2019).

Individu dengan kepedulian generatif yang tinggi akan secara sadar memikirkan masa depan generasi penerus (McAdams & de St. Aubin, 1992) dan dapat menyusun rencana jangka panjang untuk mengaktualisasikannya (Jia dkk., 2015). Dengan tingginya kepedulian generatif, individu mampu mengedepankan kepentingan jangka panjang yang berorientasi pada kesejahteraan semua pihak, atau “the greater good” (McAdams, 2001). Perihal ini telah terkonfirmasi dalam studi eksperimen terkini yang penulis lakukan. Bahwasannya ketika emerging adults menyadari adanya ancaman terhadap masa depan generasi penerus, mereka dengan kepedulian generatif yang tinggi mampu mengedepankan “the greater good” di atas kepentingan pribadi dan pro-sosial kelompok (Buwono & Patria, 2023).

Berdasarkan paparan di atas, dapat diketahui bahwa kepedulian generatif memberikan kesiapan pada pemuda untuk dapat berperan sebagai agen perubahan. Sayangnya, meski emerging adulthood adalah periode sensitif bagi perkembangan kepedulian generatif, tidak setiap individu dapat mencapai level perkembangan optimal. Oleh karena itu, sejumlah indikator untuk mengenali perkembangan kepedulian generatif yang optimal perlu diketahui.

Bagaimana mengidentifikasi mereka dengan kepedulian generatif yang tinggi?

Berbicara mengenai generativitas takkan bisa lepas dari gagasan-gagasan yang dicetuskan oleh Erik Erikson (1963). Bagi Anda yang familiar dengan teori Erikson, ketika diminta menyebutkan indikator dari individu yang generatif, kemungkinan besar pasti akan mengatakan berketurunan dan mengasuh anak. Ini sepenuhnya tidak keliru. Justru, di kultur pronatalistik seperti di Indonesia, kedua indikator tersebut banyak benarnya.

Meski demikian, berketurunan dan mengasuh anak bukanlah satu-satunya ekspresi—lebih lagi ekspresi utama—dari kepedulian generatif. Keduanya bahkan hanya sekadar contoh perilaku dalam domain ekspresi biological dan parental. Sedangkan, kepedulian generatif memiliki empat domain ekspresi. Dua domain lain yang belum disebutkan adalah domain technical dan societal. Kedua domain ini justru adalah yang paling relevan dan mewakili ekspresi kepedulian generatif dalam periode emerging adulthood.

Upaya-upaya yang dilakukan individu untuk mewariskan keterampilan dan pengetahuan bagi generasi penerus dapat dikatakan sebagai ekspresi technical dari kepedulian generatif. Sementara keterlibatan dalam aktivitas sipil dan politik di ranah publik dengan tujuan untuk merawat masa depan dapat dikatakan sebagai ekspresi societal dari kepedulian generatif (Jia dkk., 2015; Kotre, 1984; Matsuba dkk., 2017). Dalam mengekspresikan kepedulian generatif, perilaku yang diproduksi dapat sangat beragam. Beberapa ciri khas untuk mengidentifikasinya adalah ia selalu mencerminkan upaya mencipta (secara literal via berketurunan; figuratif via berkarya), memelihara, atau memberi dengan orientasi untuk mengedepankan kesejahteraan generasi penerus (McAdams, 2001; McAdams & de St. Aubin, 1992).

Apa saja strategi untuk mengembangkan kepedulian generatif?

Terdapat sejumlah strategi untuk menstimulasi kepedulian generatif agar perkembangannya dapat optimal di periode emerging adulthood. Pertama, pola pengasuhan yang otoritatif dan mendukung kemandirian perlu diterapkan oleh orang tua (Frensch dkk., 2007; Lawford dkk., 2005). Kedua, keterlibatan individu dalam kegiatan kesukarelawanan dan komunitas pro-sosial perlu ditingkatkan sejak remaja (Frensch dkk., 2007; Lawford dkk., 2005; Soucie dkk., 2018). Ketiga, emerging adults perlu didorong agar mampu mengembangkan hubungan yang erat dengan teman sebaya (Mackinnon dkk., 2016).

Selain itu, penulis juga berpandangan bahwa kebijakan publik perlu diarahkan untuk membina generasi muda yang generatif. Salah satunya yakni dengan menyediakan dan menghidupkan berbagai organisasi dengan misi generatif yang dapat memberdayakan keterlibatan remaja dan emerging adults. Hal ini sangatlah penting untuk dilakukan. Pasalnya, generasi muda yang generatif merupakan kunci dari kesiapan mereka untuk menjalankan peran sebagai katalisator perubahan.

***

Referensi

Alisat, S., Norris, J. E., Pratt, M. W., Matsuba, M. K., & McAdams, D. P. (2014). Caring for the earth: Generativity as a mediator for the prediction of environmental narratives from identity among activists and nonactivists. Identity, 14(3), 177-194. https://doi.org/10.1080/15283488.2014.921172

Arnett, J. J. (2011). Emerging adulthood(s): The cultural psychology of a new life stage. In L. A. Jensen (Ed.), Briding cultural and developmental approaches to psychology: New syntheses in theory, research, and policy (pp. 255-275). Oxford University Press. 

Buwono, S. B. S., & Patria, B. (2023). Associating anthropogenic disaster with existential terror alters cooperation in social dilemmas. Paper presentation at the 15th Biennial Conference of the Asian Association of Social Psychology, Hong Kong.

Erikson, E. H. (1963). Childhood and society (2nd ed.). WW Norton & Company.

Frensch, K. M., Pratt, M. W., & Norris, J. E. (2007). Foundations of generativity: Personal and family correlates of emerging adults’ generative life-story themes. Journal of research in personality, 41(1), 45-62. https://doi.org/10.1016/j.jrp.2006.01.005

Jia, F., Alisat, S., Soucie, K., & Pratt, M. (2015). Generative concern and environmentalism: A mixed methods longitudinal study of emerging and young adults. Emerging adulthood, 3(5), 306-319. https://doi.org/10.1177/2167696815578338 

Kotre, J. (1984). Outliving the self: Generativity and the interpretation of lives. Johns Hopkins University Press.

Lawford, H., Pratt, M. W., Hunsberger, B., & Mark Pancer, S. (2005). Adolescent generativity: A longitudinal study of two possible contexts for learning concern for future generations. Journal of research on adolescence, 15(3), 261-273. https://doi.org/10.1111/j.1532-7795.2005.00096.x

Mackinnon, S. P., De Pasquale, D., & Pratt, M. W. (2016). Predicting generative concern in young adulthood from narrative intimacy: A 5-year follow-up. Journal of adult development, 23(1), 27-35. https://doi.org/10.1007/s10804-015-9218-1

Matsuba, M. K., Alisat, S., & Pratt, M. W. (2017). Environmental activism in emerging adulthood. In L. M. Padilla-Walker & M. W. Pratt (Eds.), Flourishing in emerging adulthood: Positive development during the third decade of life (pp. 175-201). Oxford University Press.

McAdams, D. P. (2001). Generativity in midlife. In M. Lachman (Ed.), Handbook of midlife development (pp. 395-443). Wiley.

McAdams, D. P. (2019). The emergence of personality. In D. P. McAdams, R. L. Shiner, & J. L. Tackett (Eds.), Handbook of personality development (pp. 3-19). Guilford Press.

McAdams, D. P., & de St. Aubin, E. (1992). A theory of generativity and its assessment through self-report, behavioral acts, and narrative themes in autobiography. Journal of Personality and Social Psychology, 62(6), 1003. https://doi.org/10.1037/0022-3514.62.6.1003

Pratt, M. W., & Lawford, H. L. (2014). Early generativity and types of civic engagement in adolescence and emerging adulthood. In L. M. Padilla-Walker & G. Carlo (Eds.), Prosocial development: A multidimensional approach (pp. 410-436). Oxford University Press. https://doi.org/10.1093/acprof:oso/9780199964772.003.0020

Soucie, K. M., Jia, F., Zhu, N., & Pratt, M. W. (2018). The codevelopment of community involvement and generative concern pathways in emerging and young adulthood. Developmental psychology, 54(10), 1971-1976. https://doi.org/10.1037/dev0000563

Module 3: Thematic Explorations of Contextual Research and Intervention on Life-Span Development

BlogEventSummer Course Tuesday, 19 November 2024

Collaborating with the Center for Indigenous and Cultural Psychology (CICP), the Center for Life-Span Development (CLSD) organized an international summer course program titled International Summer Course on Cultural Dynamics and Life-Span Development: Research Approaches and Practical Interventions. This summer course focuses on helping students gain an understanding of the role culture plays in life-span development as well as offering valuable insights into current research methodologies and approaches relevant to cultural and lifespan development. This event invites various speakers from Indonesia and all over the world with various backgrounds.

The last module, titled Thematic Explorations of Contextual Research and Intervention on Life-Span Development is unique compared to the other modules, the fact that it is divided into two sections; research, which explores the utilization of cultural and indigenous methodologies into life-span developmental research, and intervention, which talks about the significance of cultural considerations in interventions. Examples include; youth dynamics, addressing bullying, and the empowerment of older adults. The last module is constructed to fulfill Sustainable Development Goals (SDGs) such as Good Health and Well-Being (3), Quality Education (4) and Reduced Inequalities (10).

The seventh session was held on Friday, 27 September 2024, titled Social relations in the Javanese context by Prof. Faturochman, one of the lecturers in the Faculty of Psychology of Gadjah Mada University. This is also the first session of the last module. The session starts with Prof. Faturochman explains how the Javanese are divided into three classes; Santri, Abangan, and Priyayi. He then began to explain social-psychological relations, such as interpersonal, within group relations, and intergroup relations as well as explaining the aspects of relations, with emphasis on examples from Indonesia, such as Rukun (Harmony). After that, Prof. Faturochman explains a research that he did in 2018, which researches the multi-identity and relations of a local parliament member. He then continues the session by explaining the data results of his research. Just like other sessions, the session concludes with a Q & A.

Due to technical issues, the second session was postponed to a later date. The module continues with the third session, which was held on Tuesday, 1 October 2024 titled An Indonesian Indigenous perspective of life-span development by Mr. Ryan Sugiarto, one of the lecturers at Sarjanawiyata Tamansiswa University. The session begins with Mr. Sugiarto talking about Macapat, an Indonesian perspective on life-span development, specifically in Java. He also explains about the other Javanese perspectives on life-span development, with him mentioning that there are some that have three stages, some even have twelve. The session ends with a Q & A. 

The fourth session was held on Wednesday, 2 October 2024 titled Digital society and life-span development by Dr. Jessica Navarro from Elon University, the United States. The session begins with Dr. Navarro going over the basic information regarding Urie Bronfenbrenner’s theory, such as his background, why he created the theory, the development of the theory, and the criticisms of the earlier iterations of the theory. Dr. Navarro then explains one flaw in the older versions of the theory; that it didn’t include how technology can impact child and adolescent development. This is where she introduces the Neo-Ecological theory, an improved version of Bronfenbrenner’s theory, with technology and social media being considered as vital influences in each of the levels. She ends the session with explaining how artificial intelligence (AI) can be implemented into the Neo-Ecological theory. 

The fifth session was held on Thursday, 3 October 2024 titled Collaborative life-span development intervention by Dr. Sutarimah Ampuni, the head of CLSD and Dr. Yuni Hastutiningsih, a representative from The National Population and Family Planning Board (BKKBN) Yogyakarta. The session begins with Dr. Ampuni going over the basics of psychological intervention, such as the definition, stages, procedure, etc. She also explains Bronfenbrenner’s ecological theory. The session is then handed over to Dr. Hatutiningsih. She explains the general information on BKKBN, the policies, the efforts to achieve “Indonesia Emas 2045”, the programs that are available for the different life-span age groups. The session goes back to Dr. Ampuni, with her explaining the programs created with the collaboration between CLSD and BKKBN.

The sixth session was held on Monday, 7 October 2024 titled Research with children and youth in the context of migration by Dr. Roy Huijsmans, from Erasmus University Rotterdam, the Netherlands. The session starts with Dr. Huijsmans reviewing the exact meaning of child and youth. He then asks the students to take their time to answer questions regarding child and youth, specifically in relation to their age with certain behaviors. After that, he began explaining about agency in childhood and youth. Prof. Huijsmans then starts to talk about a case study he did in Laos about young people and migration. He explains that the concept of migration belongs in the youth stage of a person’s life-span. He ends the session with explaining the interventions that focus on the migrant youth of minority age. 

The seventh session was held on Tuesday, 8 October 2024 titled Empowering Older Adults by Prof. Elisabeth Schröder-Butterfill, from the University of Southampton, the UK. The session starts with Prof. Schröder-Butterfill asking the audience what ideas the students associate with older people. She then starts to explain the disengagement theory, in which withdrawal from society done by older individuals is a normal part of aging. Due to the negative connotations of the theory, Prof. Schröder-Butterfill then explains the successful aging theory. After that, Prof. Schröder-Butterfill starts to explain a program she worked on; Care Networks, which is situated in Indonesia, specifically in the regions of West Sumatra, Jakarta Yogyakarta, East Java, and the island of Alor in East Nusa Tenggara. Prof. Schröder-Butterfill concludes the session that despite the efforts of implementing elderly care in Indonesia, it’s still a major obstacle in the Indonesian healthcare system.  

The last session of this module was the postponed second session, held on Friday, 11 October 2024 titled Risk and resilience in developmental diversity: Learning from Deaf culture by Mr. Surya Sahetapy, from the Rochester Institute of Technology, the United States. This is also the final session for the international summer course. The session begins with Mr. Sahetapy explains the historical and social contexts of deaf culture, with one of the points being how it’s easier for hearing people to communicate with deaf people by ensuring that light is present and how rounded tables give deaf people an easier way to see everybody, thus ensuring better communication. Mr. Sahetapy then explains the risks faced by the deaf individuals, such as language deprivations, educational challenges, lower median earning, Mr. Sahetapy then ends the session with explaining how hearing people can become allies for deaf people.

After the session with Mr. Surya Sahetapy, a student-led conference was held on Monday, 14 October 2024. This conference has the students create a research proposal based off of the materials from the lectures as the course learning outcome.  With that, the International Summer Course on Cultural Dynamics and Life-Span Development: Research Approaches and Practical Interventions has ended, which ran from 17 September to 14 October 2024, with a total of 13 sessions, 14 speakers from 9 countries, and 47 participants from 5 countries. 

We want to give a huge thank you to our speakers for sharing their insights and knowledge on cultural dynamics and lifespan development. We would also like to thank our students for their active engagement, attendance, and thoughtful contributions during the sessions. We look forward to welcoming you at our future events! [MWK]

Module 2: Methods for Contextual Life-Span Development: Research and Intervention

BlogEventSummer Course Tuesday, 19 November 2024

Collaborating with the Center for Indigenous and Cultural Psychology (CICP), the Center for Life-Span Development (CLSD) organized an international summer course program titled International Summer Course on Cultural Dynamics and Life-Span Development: Research Approaches and Practical Interventions. This summer course focuses on helping students gain an understanding of the role culture plays in life-span development as well as offering valuable insights into current research methodologies and approaches relevant to cultural and lifespan development. 

For this event, nine international speakers and five national speakers with various backgrounds and fields of expertise from various parts of the world, such as Denmark, Italy, Australia, Malaysia, and the United States are invited. This course is attended by 47 students, 43 from Indonesia and 4 from various countries such as Denmark, Germany, Nepal, and Australia. 

The second module, titled Methods for Contextual Life-Span Development: Research and Intervention dives into the methodologies used to research human development. Throughout the module, the students will explore various aspects of human development research, which includes the integration of cultural diversity and the usage of photovoice techniques. The second module is constructed to fulfill Sustainable Development Goals (SDGs) such as Quality Education (4).

The fifth session was held on Wednesday, 25 September 2024, titled Contextual action research in developmental psychology using Photovoice by Dr. Elga Andriana, one of the lecturers in the Faculty of Psychology of Gadjah Mada University. This is also the first session of the second module. The session starts with Dr. Andriana sending out a link for the students to upload a picture as well as writing a short description of the picture. Dr. Andriana then began explaining photovoice in general, which include defining what it is, the procedure of doing it, as well as the methods used to discuss the photos and the analysis process. After that, Dr. Andriana invites the students to give comments on a few photovoice findings from various projects revolving around photovoice. The session ends with a reflection and a Q & A session.

The sixth session was held on Thursday, 26 September 2024, titled Ethical practice in integrating life-span development research and intervention by Dr. Andrian Liem from Monash University Malaysia. The session starts with Dr. Liem emphasizing the importance of ethics in life-span development research and intervention. He then explains the four core ethical principles in psychology, such as having dignity, justice, fidelity, and beneficence, in which he also mentions various unethical psychological experiments throughout history as examples. The session continues with Dr. Liem explains the ethical guidelines, considerations, and decision-making  to life-span development research. The session also has a Q & A session in the end. The end of Dr. Liem’s session also marks the end of the second module of the International Summer Course. [MWK]

Module 1: Understanding Culture and Life-Span Development: Concept and Current Perspectives

BlogEventSummer Course Tuesday, 19 November 2024

For a period of two months, the Center for Life-Span Development (CLSD) collaborated with the Center for Indigenous and Cultural Psychology (CICP) to organize a summer course event titled International Summer Course on Cultural Dynamics and Life-Span Development: Research Approaches and Practical Interventions. Collaborating with a panel of experts from Indonesia and around the world, this summer course focuses on helping students gain an understanding of the role culture plays in life-span development as well as offering valuable insights into current research methodologies and approaches relevant to cultural and lifespan development. 

We invited nine international speakers and five national speakers with various backgrounds and fields of expertise from various parts of the world, such as Denmark, Italy, Australia, Malaysia, and the United States. This course is attended by 47 students, 43 from Indonesia and 4 from various countries such as Denmark, Germany, Nepal, and Australia. 

The course is divided into 3 modules. The first module, titled Understanding Culture and Life-Span Development: Concept and Current Perspectives focuses on the paradigm of culture and how its context is correlated with today’s global conditions. It also focuses on the influence of the global north-global south paradigm, digital interactions as well as the climate crises on life-span development. The first module is constructed to fulfill Sustainable Development Goals (SDGs) such as Good Health and Well-Being (3), Quality Education (4) and Reduced Inequalities (10).

The first session of the first module was held with both an online and offline session on Tuesday, 17 September 2024. The event was carried by the Master of Ceremony of the session, Christine Rachel Margaretha and opened by Rahmat Hidayat, S.Psi., M.Sc., Ph.D., who is the dean of the Faculty of Psychology. The session begins with an introductory video on the profiles of CLSD and CICP, followed by the main event, a lecture carried out by Prof. Jaan Valsiner from Aalborg University, Denmark and Prof. Giuseppina Marsico from the University of Salerno, Italy on the topic of Redefining Culture in current context. Prof. Valsiner starts with debunking the 4 gaps of existing thinking in psychological science. After explaining the gaps, he then explains the new aspects of a “new general psychology”. He then emphasizes that researchers often use a two-dimensional method to explore the human mind, in which he uses a new method, shaped after a kleinian geometry to illustrate it. The rest of the material is then explained by Prof. Marsico, in which she explains the cultural psychology of the bordering process. The session ended with a Q & A session. 

The second session was conducted with both an online and offline session the next day, with the speakers still the same but with a different topic; (Global North–Global South) culture interactions and how it shapes life-span development. Prof. Valsiner starts this session by arguing that psychology in general needs more data. He then began explaining the important features of the methodology cycle. Examples include basic assumptions, or meta-codes, which are used to build theories, such as the assimilation theory and the proculturation theory. He also tells the students that research needs more “doubt”, which is done to reduce enforced fixed opinions. Prof. Marsico continues the lecture by explaining the Global North-Global South culture interactions and why it is important. The session ends with Prof. Valsiner & Prof. Marsico explaining their project proposal called “The Global South Network of Cultural Psychology”.

The third session was conducted on Thursday, 19 September 2024 with the topic Polyculturalism in understanding lifespan development in current society by Prof. Emiko Kashima from La Trobe University, Australia. The session started with Prof. Kashima explains Lay cultural theory and diversity ideologies, such as polyculturalism. After that, she starts to dissect the exact meaning of culture, specifically focusing on how cultural influences are “selected” through different cultural traditions. Prof. Kashima also elaborates on the topic of multiculturalism, specifically its benefits, differences, limitations, etc. The session continues with Prof. Kashima explaining cultural identity. The session ends with Prof. Kashima showing the correlation between polyculturalism and cultural identity. 

The final session of this module was held on Friday, 20 September 2024 with the topic A critique of life course intervention by Prof. Peter van Eeuwijk from the University of Basel, Switzerland. He starts the session by critiquing the definitions of lifespan and intervention. He also critiques the World Health Organization’s conventional life course model. Prof. Eeuwijk also mentions his experience using longitudinal and transversal research methodologies. During the session, Prof. Eeuwijk asks the students what is the most important factor on life quality. He ends the session by explaining about vulnerability, resiliency, and agency by using case studies. The end of Prof. Eeuwijk’s session also marks the end of the first module of the International Summer Course. [MWK]

International Summer Course on Cultural Dynamics and Life-Span Development: Research Approaches and Practical Interventions

BlogEventSummer Course Tuesday, 19 November 2024

In 2024, the Center for Life-Span Development (CLSD) collaborated with the Center for Indigenous and Cultural Psychology (CICP) of the Faculty of Psychology, Universitas Gadjah Mada, to organize a summer course event titled “International Summer Course on Cultural Dynamics and Life-Span Development: Research Approaches and Practical Interventions”.

This marks the second time CLSD has organized a summer course, with the first being held in 2021. 

This summer course serves as a channel to discuss the contemporary issues regarding cultural dynamics and life-span development in which the students will look at the current research and interventions through panel presentations conducted by experts. This course aims to deepen students’ understanding of the role culture plays in life-span development as well as offering valuable insights into current research methodologies and approaches relevant to cultural and lifespan development, which is connected to fulfilling the Sustainable Development Goals (SDGs) such as Quality Education (4) and Reduced Inequalities (10). This course utilizes several different learning methods for the students, such as online lectures, independent study, and modular discussions. All of the courses are conducted in English and closed captioning is provided.

For this course, we invited nine international speakers and five national speakers with various backgrounds and fields of expertise from various parts of the world, such as Denmark, Italy, Australia, Malaysia, and the United States. This course is attended by 47 students, 43 from Indonesia and 4 from various countries such as Denmark, Germany, Nepal, and Australia. 

This course consisted of three different modules, each highlighting different aspects of cultural dynamics and life-span development delivered by the speakers. Module 1, titled Understanding Culture and Life-Span Development: Concept and Current Perspectives focuses on the paradigm of culture and how it is contextualized with today’s global conditions.

DateTime (GMT +7)AgendaSpeakers
Tuesday, 17 September 202416:00-18:00Redefining Culture in current contextProf. Jaan Valsiner and Prof. Giuseppina Marsico
Wednesday, 18 September 202416:00-18:00(Global North–Global South) culture interactions and how it shapes life-span developmentProf. Jaan Valsiner and Prof. Giuseppina Marsico
Thursday, 19 September 202416:00-18:00Polyculturalism in understanding lifespan development in current societyProf. Emiko Kashima
Friday, 20 September 202416:00-18:00A critique of life course interventionProf. Peter van Eeuwijk

Module 2, titled Methods for Contextual Life-Span Development: Research and Intervention dives into the methodologies for researching human development, which covers the integration of cultural diversity, optimally utilizing action research and photovoice techniques, and the ethical principles inherent in this field.

DateTime (GMT +7)AgendaSpeakers
Wednesday, 25 September 202416:00-18:00Contextual action research in developmental psychology using PhotovoiceDr. Elga Andriana
Thursday, 26 September 202416:00-18:00Ethical practice in integrating life-span development research and interventionDr. Andrian Liem

The last module, titled Thematic Explorations of Contextual Research and Intervention on Life-Span Development has two distinct sessions; research and intervention. The research session will dive into the utilization of cultural and indigenous methodologies within life-span developmental research. While the intervention session delves into the significance of cultural considerations in interventions, such as youth dynamics, addressing bullying, and the empowerment of older adults.

DateTime (GMT +7)AgendaSpeakers
Friday, 27 September 202416:00-18:00Social relations in the Javanese contextProf. Faturochman
Tuesday, 1 October 202416:00-18:00An Indonesian Indigenous perspective of life-span developmentRyan Sugiarto
Wednesday, 2 October 202419:00-21:00Digital society and life-span developmentDr. Jessica Navarro
Thursday, 3 October 202416:00-18:00Collaborative life-span development interventionDr. Sutarimah Ampuni and Dr. Yuni Hastutiningsih
Monday, 7 October 202416:00-18:00Research with children and youth in the context of migrationDr. Roy Huijsmans
Tuesday, 8 October 202416:00-18:00Empowering Older AdultsProf. Elisabeth Schröder-Butterfill
Friday, 11 October 202416:00-18:00Risk and resilience in developmental diversity: Learning from Deaf cultureSurya Sahetapy

After attending all the sessions, there is a student-led conference held on Monday, 14 October 2024. This conference has the students create a research proposal based off of the materials from the lectures as the course learning outcome. With that, the International Summer Course, which ran from 17 September to 14 October 2024, with a total of 13 sessions, 14 speakers from 9 countries, and 47 participants from 5 countries, has come to an end.

A huge thank you to our speakers for sharing their knowledge and valuable insights on cultural dynamics and lifespan development. We are also deeply grateful to all participants for their active engagement, attendance, and thoughtful contributions during the sessions. We look forward to welcoming you at our future events! [MWK]

Mari Bijak Menggunakan Gawai: Psikoedukasi “Cerdas Menggunakan Gadget dan Internet untuk Anak” di SD Muhammadiyah Pakem

Blog Wednesday, 23 October 2024

CLSD Fakultas Psikologi UGM baru-baru ini menyelenggarakan kegiatan psikoedukasi bertajuk “Cerdas Menggunakan Gadget dan Internet untuk Anak” di SD Muhammadiyah Pakem yang dilaksanakan pada tanggal 30 dan 31 Juli 2024. Kegiatan ini bertujuan agar siswa mampu memahami dan mempraktikkan cara menggunakan gadget dan internet yang sehat dan aman, dimana kegiatan ini dapat mendukung tercapainya Sustainable Development Goals nomor 4 yang berkaitan dengan pendidikan bermutu. Kegiatan ini diikuti oleh 83 siswa kelas 5 SD Muhammadiyah Pakem dan berlangsung mulai pukul 08.00 hingga 12.00 WIB di setiap harinya. Psikoedukasi berlangsung interaktif dan menarik dengan melibatkan beberapa trainer yang merupakan intern CLSD yaitu Rahmita Laily Muhtadini, S.Psi, Carissa Azarine Delicia, S.Psi, dan Fadhliah Sofiyana Noor Saprowi, S.Psi. 

Pada hari pertama, siswa memperoleh tiga materi utama yaitu pengenalan gadget dan internet, regulasi diri dalam penggunaan gadget dan internet, dan manajemen screen time. Siswa tidak hanya diberikan materi dengan metode ceramah, melainkan juga diajak berdiskusi dua arah untuk lebih memahami materi yang disampaikan. Trainer memfasilitasi siswa untuk mendiskusikan mengenai regulasi diri ketika menggunakan gadget dan internet. Regulasi diri dapat membantu siswa untuk lebih bertanggung jawab dalam mengakses informasi. Terakhir, trainer memberikan penjelasan mengenai cara manajemen screen time agar para siswa mampu membatasi penggunaan gadget secara bijak. Penggunaan gadget berlebihan tentunya dapat memberikan efek buruk tidak hanya dari sisi fisik, tetapi juga psikologis. 

Pada hari kedua, trainer mengajarkan dan mengajak diskusi para siswa untuk memahami tentang keamanan digital dan etika berjejaring secara daring. Keamanan digital merupakan hal yang penting untuk melindungi identitas siswa dari berbagai ancaman yang ada di dunia maya. Hal ini bertujuan untuk mendorong siswa agar lebih bertanggung jawab dalam berinteraksi di dunia maya seperti di media sosial. Dengan kegiatan ini, harapannya para siswa tidak hanya mendapatkan ilmu dan wawasan baru mengenai cara menggunakan gadget dan internet yang baik, tetapi juga menerapkan ilmu yang didapat dalam kegiatan sehari-hari.

Kader Hebat, Anak Bahagia: Pelatihan Stimulasi Sosioemosional pada Anak Usia Dini untuk Kader Bina Keluarga Balita di Bantul

Blog Thursday, 12 September 2024

Rabu, 24 Juli 2024, CLSD UGM dan Perwakilan BKKBN DIY mengadakan Pelatihan Stimulasi Sosioemosional pada Anak Usia Dini di Rumah Dukuh Gadungan Kepuh, Canden, Jetis, Bantul. Kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan keterampilan kader Bina Keluarga Balita dalam mendukung perkembangan sosioemosional pada anak usia dini.

Pelatihan yang berlangsung dari pukul 08.00 hingga 12.30 WIB ini dihadiri oleh 25 peserta, yang terdiri dari kader Bina Keluarga Balita (BKB) Matahari, penyuluh keluarga berencana, serta orang tua setempat. Acara ini dipandu oleh Ibu Wirdatul Anisa, S.Psi., M.Psi., Psikolog, dan didukung oleh panitia dari tim interns CLSD UGM.

Tujuan utama pelatihan ini adalah untuk memperluas pemahaman dan keterampilan kader dalam menstimulasi perkembangan sosioemosional anak usia dini. Dengan meningkatkan pengetahuan mengenai cara melatih keterampilan emosional anak, para kader diharapkan dapat menerapkan dan menyebarluaskan pengetahuan tersebut di komunitas masing-masing. Melalui berbagai materi dan praktik, para peserta belajar cara membangun hubungan yang baik dengan anak dan mengenali perkembangan sosioemosional melalui metode yang interaktif.

Kegiatan dimulai dengan sosialisasi tentang pengisian Kartu Kembang Anak (KKA) yang dipandu oleh perwakilan dari BKKBN DIY. Selanjutnya, narasumber memberikan pemaparan materi tentang tujuan dan metode stimulasi sosioemosional pada anak yang kemudian dilanjutkan dengan praktik langsung, termasuk aktivitas “Berkenalan & Belajar dengan Anak” serta “Mengenal Perkembangan Emosi”. 

Pada sesi “Berkenalan dan Belajar dengan Anak“, peserta mempelajari prinsip-prinsip interaksi yang baik dan penggunaan penguatan positif untuk membentuk perilaku anak. Aktivitas ini bertujuan agar peserta mampu membangun hubungan hangat dan menciptakan suasana belajar yang menyenangkan. Selanjutnya, di sesi “Mengenal Perkembangan Emosi“, peserta diajarkan cara mengenali dan menyebutkan emosi dasar, serta mengidentifikasi ekspresi emosi melalui media video dan kartu emosi. 

Untuk semakin memperkuat pemahaman peserta, tim CLSD juga mengadakan sesi monitoring berkelanjutan. Para peserta diminta untuk mempraktikkan materi yang telah dipelajari dan melaporkan kemajuan mereka melalui grup WhatsApp yang telah disediakan.

Acara ini diakhiri dengan sesi refleksi mengenai umpan balik pelatihan dari peserta. Ibu Rita, perwakilan dari BKB Matahari, mengungkapkan, “Terima kasih kepada BKKBN dan CLSD UGM atas ilmu yang telah diberikan. Banyak materi yang dapat kami implementasikan pada kelompok kami.” 

Selain itu, Bapak Diyan Purnomo, Dukuh Padukuhan Gadungan Kepuh, menyampaikan apresiasi terhadap BKKBN dan CLSD UGM, “Saya berterima kasih atas ilmu yang telah diberikan dan berharap pengetahuan ini dapat dibagikan kepada keluarga lain. Semoga semakin banyak keluarga yang dapat mengikuti pelatihan ini.”

Pelatihan ini merupakan bagian dari upaya berkelanjutan untuk meningkatkan kualitas pengasuhan anak di Kabupaten Bantul. Pelatihan ini sejalan dengan tujuan SDGs yaitu kesehatan yang baik dan kesejahteraan (3), pendidikan bermutu (4), dan kemitraan untuk mencapai tujuan (17). Dengan keterampilan baru yang diperoleh, diharapkan kader dan orang tua dapat lebih efektif dalam mendukung perkembangan sosioemosional anak usia dini, yang pada akhirnya berkontribusi pada pembentukan generasi yang lebih sehat dan bahagia.

Positive Peer-group: Pentingnya Memilih Pergaulan pada Masa Remaja

Blog Thursday, 5 September 2024

Penulis: Hanifah Sholihah

Penyunting: Nur Nisrina Hanif Rifda

Fase kehidupan individu yang menginjak masa remaja pada umumnya diperkirakan dimulai sekitar masa pubertas dan berakhir ketika seseorang mencapai tingkat kemandirian seperti orang dewasa. Masa remaja merupakan periode kehidupan pada rentang usia 10 hingga 24 tahun yang ditandai dengan peningkatan kepekaan terhadap rangsangan sosial dan kebutuhan akan interaksi dengan teman sebaya (Orben dkk., 2020). Masa remaja sangat penting bagi perkembangan sosial, yang ditandai oleh semakin pentingnya hubungan teman sebaya dibandingkan dengan keluarga, dan semakin besarnya ketidakstabilan serta kompleksitas hubungan sosial (Crone & Dahl, dalam Somerville, 2013). Masa perkembangan remaja juga mencakup beberapa perubahan psikososial terbesar dan paling dramatis dalam rentang hidup manusia (Rapee dkk., 2019).

Peer-group memainkan peran penting dalam proses eksplorasi dan pengembangan identitas pada masa remaja. Peer-group merupakan kelompok teman sebaya dengan usia yang sama, berteman cukup dekat, dan berbagi aktivitas yang sama (Castrogiovanni, 2002). Status peer-group menjadi semakin penting hingga sering kali menyebabkan individu bersaing untuk mendapatkan perhatian dari kelompok yang berada di puncak tingkatan sosial. Kondisi tersebut berpotensi membuat mereka lebih rentan terhadap konflik peer-group (Meuwese dkk., 2017). Dibandingkan dengan anak-anak, remaja menghabiskan lebih banyak waktu bersama teman sebayanya, sehingga hal tersebut dapat turut memperbesar dampak peer-group terhadap perilaku remaja (Meuwese dkk., dalam  Rapee dkk., 2019). 

Peer-group dapat berperan penting dalam pengambilan keputusan pada masa remaja (Ciranka & van den Bos, 2019). Dalam membuat keputusan biasanya remaja cenderung lebih memilih gaya keputusan yang memuaskan atau berupaya untuk memaksimalkan keuntungan yang didapat (de Jesús Cardona-Isaza, 2022). Mereka bisa lebih rasional, berorientasi pada tindakan atau malah menghindar, dan mandiri atau malah bergantung (Bruine de Bruin dkk., 2015). Dalam proses pengambilan keputusan, remaja juga melibatkan peer-groupnya untuk mendapatkan kepastian sehingga mereka yakin dengan apa yang mereka putuskan.

Remaja melalui berbagai proses dalam pengambilan keputusan (Henneberger dkk, 2021). Proses pertama adalah seleksi teman sebaya, yaitu ketika remaja memilih untuk berinteraksi satu sama lain. Misalnya, remaja yang rajin ikut kegiatan keagamaan di tempat ibadah akan cenderung memilih teman dengan norma dan perilaku yang sama, serta membatasi diri dari remaja yang berperilaku melanggar norma agama.

Proses kedua adalah sosialisasi peer-group, yaitu ketika perilaku remaja dibentuk oleh pengaruh lingkungan teman sebaya. Misalnya, perilaku dan norma taat beragama pada remaja turut dibentuk oleh teman-teman mereka yang menjalankan norma dan perilaku taat beragama. Oleh karena itu, dampak dari seleksi dan sosialisasi peer-group sangat kuat pada masa remaja yang menjadi periode penting bagi orientasi sosial terhadap teman sebaya (Fuligni, 2019).

Teori pembelajaran sosial mengemukakan bahwa perilaku remaja dibentuk oleh perilaku peer-group melalui keteladanan dan penguatan sosial, terutama ketika penguatan sosial tersebut berasal dari kelompok teman sebaya yang diinginkan (Bandura, 1977). Berdasarkan sudut pandang tersebut, remaja akan cenderung memilih teman sebaya dan perilaku yang diinginkan, serta mencontoh perilaku teman sebaya tersebut, sehingga terjadilah proses sosialisasi melalui penguatan. Misalnya, remaja yang mengamati bahwa teman-temannya rajin membuat kreasi daur ulang sampah untuk diperjualbelikan di internet akan cenderung tertarik untuk ikut terlibat dan mencontoh kreasi teman-temannya untuk menerima penguatan. Selanjutnya, ia dapat sering memberikan karya-karya yang lebih kreatif.

Penerimaan dari peer-group yang memberikan dukungan emosional dan instrumental juga dapat meningkatkan penguatan pada masa remaja (Padilla-Walker dkk., 2017). Keputusan yang diambil remaja sekarang akan menentukan keputusan mereka di kemudian hari (Shamma & Katz, 2018). Oleh karena itu, peer-group sangat berpengaruh terhadap pergaulan remaja yang menuju fase perkembangan berikutnya.

Teori identitas memandang bahwa remaja dapat menyesuaikan diri dengan norma-norma sosial dari peer-group yang diinginkan untuk meningkatkan rasa diri atau identitasnya (Festinger, 1954). Berdasarkan  teori  ini, remaja memilih peer-group berdasarkan norma-norma kelompok sosial. Seiring berjalannya waktu, peer-group tersebut dapat mengalami sosialisasi dan saling menyesuaikan. Misalnya, remaja dapat menyelaraskan diri dengan teman sebayanya yang rajin beribadah dan suka menolong orang lain. Tanpa adanya paksaan, remaja akan meniru perilaku yang sesuai dengan kebiasaan temannya. Di samping itu, remaja juga akan mudah diterima oleh peer-groupnya apabila perilakunya sesuai dengan kebiasaan sehari-hari mereka. Oleh karena itu, pengaruh peer-group dapat menjadi faktor penentu penerimaan yang lebih bernilai dan penting seiring berkembangnya masa remaja (Fuligni, 2019).

Remaja perlu memilih pergaulan yang dapat berdampak positif bagi kehidupannya. Dengan adanya peer-group, individu bisa mendapatkan dukungan dari teman-teman sebayanya, terutama terkait dengan kesehatan mental (Rapee dkk., 2019). Peer-group juga dapat menjadi teladan. Misalnya, jika seseorang terlibat dalam kelompok yang ambisius dan pekerja keras, maka ia juga dapat terdorong untuk mengikuti kelompoknya agar tidak merasa dikucilkan oleh kelompok tersebut (Filade dkk., 2019). Meskipun mungkin mengalami tekanan, ia dapat memperoleh manfaat dari peer-group-nya karena harus berusaha mengimbangi dan membangun hubungan yang baik. Pengaruh positive peer tersebut dapat menjadikan seseorang memperoleh prestasi akademik yang berkaitan dengan identitas diri, harga diri, dan kemandirian seseorang. Pengaruh teman sebaya juga dapat menginspirasi semangat akademik siswa dan motivasi berprestasi (Lashbrook, 2000).

Referensi

Bandura, A. (1977). Social learning theory. Prentice Hall.

Bruine de Bruin, W., Parker, A. M., & Fischhoff, B. (2015). Individual differences in decision-making competence across the lifespan. In E. A. Wilhelms & V. F. Reyna (Eds.), Neuroeconomics, judgment, and decision making (pp. 219-236). Psychology Press.

Castrogiovanni. (2002). Adolescence: Peer groups.

Ciranka, S., & van den Bos, W. (2019). Social influence in adolescent decision-making: A formal framework. Frontiers in Psychology, 10(AUG). https://doi.org/10.3389/fpsyg.2019.01915

Crone, E. A., & Dahl, R. E. (2012). Understanding adolescence as a period of social-affective engagement and goal flexibility. Nature Reviews Neuroscience, 13(9), 636–650.

de Jesús Cardona-Isaza, A., Jiménez, S. V., & Montoya-Castilla, I. (2022). Decision-making styles in adolescent offenders and non-offenders: Effects of emotional intelligence and empathy. Anuario de Psicología Jurídica, 32(1), 51-60.

Festinger, L. (1954). A theory of social comparison processes. Human Relations, 7(2), 117–140.

Filade, B. A., Bello, A. A., Uwaoma, C. O., Anwanane, B. B., & Nwangburuka, K. (2019). Peer group influence on academic performance of undergraduate students in Babcock University, Ogun State. African Educational Research Journal, 7(2), 81–87. https://doi.org/10.30918/aerj.72.19.010.

Fuligni, A. J. (2019). The need to contribute during adolescence. Perspectives on Psychological Science, 14(3), 331-343. https://doi.org/10.1177/1745691618805437

Henneberger, A. K., Mushonga, D. R., & Preston, A. M. (2021). Peer influence and adolescent substance use: A systematic review of dynamic social network research. In Adolescent Research Review (Vol. 6, Issue 1, pp. 57–73). Springer International Publishing. https://doi.org/10.1007/s40894-019-00130-0

Lashbrook, J. T. (2000). Fitting in: Exploring the emotional dimension of adolescence. Adolescence, 35(140), 747–757.

Meuwese, R., Cillessen, A. H. N., & Güroğlu, B. (2017). Friends in high places: a dyadic perspective on peer status as predictor of friendship quality and the mediating role of empathy and prosocial behavior. Social Development, 26(3), 503–519. https://doi.org/10.1111/sode.12213

Orben, A., Tomova, L., & Blakemore, S. J. (2020). The effects of social deprivation on adolescent development and mental health. The Lancet Child and Adolescent Health, 4(8), 634–640. https://doi.org/10.1016/S2352-4642(20)30186-3

Rapee, R. M., Oar, E. L., Johnco, C. J., Forbes, M. K., Fardouly, J., Magson, N. R., & Richardson, C. E. (2019). Adolescent development and risk for the onset of social-emotional disorders: a review and conceptual model. Behaviour Research and Therapy, 123, 103501. https://doi.org/10.1016/j.brat.2019.103501

Shamma, F. M., & Katz, M. (2018). Decision making during adolescence: a comparison of Jewish and Druze societies. International Journal of Psychological Studies, 10(4), 65-78.

Somerville, L. H. (2013). The teenage brain: sensitivity to social evaluation. Current Directions in Psychological Science, 22(2), 121–127. https://doi.org/10.1177/0963721413476512

Harga Diri Rendah Pada Remaja: Bagaimana Menanggapinya?

ArtikelArtikelBlog Monday, 2 September 2024

Penulis: Faya Sadina Ramadhian
Penyunting: Nur Nisrina Hanif Rifda

Harga diri atau self-esteem merupakan suatu hal penting dalam kehidupan yang dapat diartikan sebagai penilaian menyeluruh terhadap nilai diri individu dari rentang rendah hingga tinggi (Jordan dkk., 2020). Harga diri mencerminkan gambaran diri yang dimiliki seseorang terhadap dirinya sendiri mengenai berbagai hal, seperti kemampuan diri, kepercayaan diri, dan rasa aman. Harga diri termasuk hal yang penting bagi kesejahteraan mental dan sosial seseorang karena dapat memengaruhi aspirasi, cita-cita, dan interaksi dengan orang lain (Mann dkk., 2004). Apabila seseorang memiliki harga diri yang rendah, maka kondisi tersebut dapat berpengaruh negatif terhadap  kebahagiaan, penyesuaian diri, sukses, prestasi akademik, dan kepuasan (Du dkk., 2017).

Harga diri yang rendah seringkali  dialami oleh seseorang pada masa remaja. Berdasarkan studi ACT for Youth Center of Excellence (2006), sepertiga hingga setengah dari remaja memiliki harga diri yang rendah, terutama pada masa remaja awal. Harga diri rendah pada remaja dapat berdampak negatif terhadap kesehatan mental dan perkembangannya, terutama karena masa remaja merupakan tahap transisi untuk membangun identitas diri. Artikel ini akan menjelaskan lebih lanjut tentang penyebab dan akibat harga diri yang rendah pada remaja. Di samping itu, artikel ini juga akan membahas mengenai berbagai macam strategi untuk meningkatkan?harga diri.

Salah satu penyebab rendahnya harga diri pada remaja adalah perbandingan sosial. Ketika remaja melakukan perbandingan sosial, ia cenderung dapat memiliki harga diri dan kepuasan yang lebih rendah terkait penampilannya (Purić dkk., 2011). Selain itu, fenomena upward social comparison atau proses membandingkan diri dengan orang yang lebih ‘beruntung’ dapat menyebabkan harga diri dan evaluasi diri yang rendah pada remaja (Hoffman, 2021). Fenomena perbandingan diri juga tampak pada sikap remaja yang sering kali terlalu mementingkan penampilan mereka sehingga dapat menyebabkan rendahnya harga diri apabila merasa tidak memenuhi standar kecantikan. Kondisi remaja dengan harga diri yang rendah dan tidak puas terhadap penampilannya akan berkaitan dengan perilaku makan tidak sehat.

Selanjutnya, faktor risiko utama rendahnya harga diri pada remaja adalah stres pendidikan yang tinggi serta kekerasan fisik dan/atau emosional oleh orangtua  (Nguyen dkk., 2019). Terdapat orang tua yang menerapkan pola asuh secara terlalu kritis atau bersifat neglectful yang ditandai oleh tidak terlibatnya  orang tua dalam kehidupan anak dapat menyebabkan rendahnya harga diri pada remaja. Orang tua juga berpotensi memberi beban bagi anak untuk meraih prestasi akademik tertentu ataupun membandingkan remaja dengan remaja lain. Perilaku tersebut dapat membuat remaja turut melakukan perbandingan diri sehingga berpengaruh terhadap rendahnya harga diri 

Kondisi harga diri yang rendah pada remaja dapat mengakibatkan berbagai hal yang memunculkan permasalahan dalam perkembangan. Penelitian Masselink dkk. (2018) menunjukkan bahwa harga diri rendah pada masa remaja awal dapat memprediksi gejala depresi pada masa remaja akhir dan dewasa awal. Harga diri yang rendah juga dapat menyebabkan rendahnya  kepercayaan diri, sehingga membuat remaja lebih rentan untuk mengalami kecemasan. Remaja berpotensi melakukan tindakan penyalahgunaan zat sebagai mekanisme penyelesaian masalah. Rendahnya harga diri pada remaja juga dapat membuat mereka tidak termotivasi untuk mendorong diri dalam bidang akademik, sehingga berpotensi mengalami kesulitan dan memiliki pandangan yang rendah tentang masa depan.

Beberapa strategi yang dapat diterapkan untuk meningkatkan harga diri pada remaja adalah sebagai berikut:

  1. Mendorong positive self-talk. Remaja perlu didorong untuk berbicara kepada diri sendiri secara positif dan suportif guna membangun rasa apresiasi kepada diri. 
  2. Berfokus pada keunggulan diri. Remaja perlu melatih diri untuk fokus pada potensi keunggulan dan pencapaian yang dimiliki dibandingkan dengan kelemahan pada dirinya.
  3. Mendorong kebiasaan sehat. Harga diri remaja dapat ditingkatkan melalui kebiasaan yang lebih sehat, seperti olahraga, makan teratur, dan pola tidur cukup.
  4. Menyediakan kesempatan untuk sukses. Remaja selayaknya diberi kesempatan untuk mengaktualisasi diri, meraih kesuksesan, serta diakui pencapaianya.
  5. Mencari bantuan profesional jika dibutuhkan. Apabila remaja mengalami permasalahan berat yang muncul sebagai akibat dari harga diri yang rendah, maka akan lebih baik jika dihubungkan kepada pihak profesional seperti psikolog.

Rendahnya harga diri pada masa remaja merupakan permasalahan yang dapat berdampak negatif terhadap kesehatan mental dan kesejahteraan individu. Perbandingan sosial, pengaruh orang tua, tekanan akademik, dan ketidakpuasan akan penampilan merupakan beberapa penyebab harga diri yang rendah pada remaja. Beberapa akibat dari harga diri rendah pada masa remaja dapat muncul dalam bentuk depresi, kecemasan, penyalahgunaan zat (substance abuse), dan performa akademik yang rendah. Strategi untuk membangun harga diri pada masa remaja antara lain adalah dengan mendorong positive self-talk, fokus pada keunggulannya, mendorong kebiasaan yang sehat, memberi kesempatan untuk sukses, serta mencari bantuan profesional apabila dibutuhkan. Dengan membangun harga diri selama masa remaja, individu dapat meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan mentalnya, serta mempersiapkan diri untuk sukses di masa depan.

Daftar Pustaka

ACT for Youth Center of Excellence. (2006). Self-esteem in adolescence. https://www.actforyouth.net/resources/rf/rf_slfestm_0603.cfm 

Du, H., King, R. B., & Chi, P. (2017). Self-esteem and subjective well-being revisited: The roles of personal, relational, and collective self-esteem. PloS one, 12(8), e0183958. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0183958 

Hoffman, J. (2021, January 18). Social comparison among teens. Jenny Talks Therapy. https://jennytalkstherapy.com/2021/01/18/social-comparison-among-teens/ 

Jordan, C. H., Zeigler-Hill, V., & Cameron, J. J. (2020). Self-esteem. In V. Zeigler-Hill & T. K. Shackelford (Eds.), Encyclopedia of Personality and Individual Differences (pp. 1-7). Springer. https://doi.org/10.1007/978-3-319-24612-3_1169 

Mann, M., Hosman, C. M. H., Schaalma, H. P., & de Vries, N. K. (2004). Self-esteem in a broad-spectrum approach for mental health promotion. Health Education Research, 19(4), 357-372. https://doi.org/10.1093/her/cyg041 

Masselink, M., Van Roekel, E., & Oldehinkel, A. J. (2018). Self-esteem in early adolescence as predictor of depressive symptoms in late adolescence and early adulthood: the mediating role of motivational and social factors. Journal of Youth and Adolescence, 47(5), 932–946. https://doi.org/10.1007/s10964-017-0727-z 

Nguyen, D. T., Wright, E. P., Dedding, C., Pham, T. T., & Bunders, J. (2019). Low self-esteem and its association with anxiety, depression, and suicidal ideation in Vietnamese secondary school students: a cross-sectional study. Frontiers in Psychiatry, 10, 698. https://doi.org/10.3389/fpsyt.2019.00698 

Purić, D., Simić, N., Savanović, L., Kalanj, M., & Jovanović-Dačić, S. (2011). The impact of forced social comparison on adolescents’ self-esteem and appearance satisfaction. Psihologija, 44(4), 325-341. https://doi.org/10.2298/PSI1104325P

Memahami Remaja Melalui Perkembangan Otak

ArtikelBlog Saturday, 18 May 2024

Penulis: Alfi Syukrina Hadi

Penyunting: Raden Roro Anisa Anggi Dinda

Masa remaja dikenal sebagai periode perkembangan yang ditandai dengan keputusan dan tindakan yang belum cukup dewasa sehingga menimbulkan peningkatan insiden cedera dan kekerasan yang tidak disengaja, penyalahgunaan alkohol dan obat-obatan, kehamilan yang tidak diinginkan, bahkan penyakit menular seksual (Casey et al., 2008). Hal ini memperlihatkan bahwa pada masa remaja, perilaku-perilaku menyimpang yang timbul dapat berdampak besar baik untuk dirinya sendiri maupun lingkungannya. Urgensi yang timbul akibat permasalahan-permasalahan ini tidak hanya menjadi kecemasan orang tua, namun telah mengambil perhatian banyak pihak dalam masyarakat. Berbagai usaha telah dilakukan agar dapat mengintervensi perilaku negatif pada kelompok remaja, namun sayangnya intervensi-intervensi yang diusahakan ini seringkali gagal dalam membantu remaja mengatasi perilaku-perilaku negatif (Yaeger et al., 2018). Pertanyaan yang kemudian timbul, apakah mungkin intervensi-intervensi yang dicanangkan selama ini tidak dapat berjalan dengan baik karena pemahaman yang masih belum tepat tentang perubahan internal pada masa remaja? 

Untuk dapat memberikan intervensi yang baik, maka diperlukan pemahaman yang akurat tentang remaja. Salah satu sudut pandang yang bisa diambil agar dapat memahami remaja adalah sudut pandang pertumbuhan biologis pada masa remaja. Namun pertumbuhan biologis pada masa remaja sering hanya diartikan sebagai perubahan fisik dan perubahan hormonal yang dialami oleh remaja. Padahal masih ada perkembangan yang sangat krusial pada masa ini, yaitu perkembangan otak pada remaja. 

Masa remaja dimulai dari saat bermulanya masa pubertas hingga individu bisa mendapatkan peran mandiri dalam masyarakat (Dumontheil, 2016).  Pada periode ini, penyakit mental lebih rentan untuk muncul, dengan hampir 75% penyakit mental yang dialami oleh orang dewasa muncul pada periode ini (Willenberg et al., 2020). Hal ini juga diakibatkan karena otak remaja merupakan periode sensitif dalam pertumbuhan neuro-kognitifnya. Lalu bagaimana pemahaman tentang remaja jika dilihat dari perkembangan neuro-kognitifnya?

Masa remaja dianggap sebagai fase reorganisasi saraf (neuroplasticity), yaitu kemampuan otak untuk membentuk dan mengatur kembali koneksi sinaptik, terutama dalam menanggapi pembelajaran atau pengalaman tertentu. Fase ini berlangsung secara dramatis sehingga menjadi fase rentan dan dapat menyebabkan perkembangan psikopatologi (Andrews et al., 2021; Dow-Edwards et al., 2019). Ditekankan oleh Dow-Edwards et al. (2019), bahwa sistem otak remaja memberikan respon yang berbeda pada suatu stimuli dibandingkan dengan orang dewasa dan anak-anak. Perubahan yang dialami pada saat remaja ini, diasosiasikan dengan penguatan dan pembahagian neuron pada otak baik secara strukturnya, fungsinya dan kognitif skill-nya (Dumontheil, 2016). Uniknya, perkembangan otak pada masa sensitif ini tidak hanya mempengaruhi bagaimana remaja menghadapi lingkungan sosialnya, namun juga dipengaruhi oleh lingkungan sosial remaja tersebut (Andrews et al., 2021; Dow-Edwards et al., 2019).  

Pada tingkatan perkembangan fungsional otak, dapat difokuskan penjelasannya pada tiga fungsi; kognisi, sosial dan perkembangan emosional. Social brain adalah fungsi otak yang paling aktif dan berkembang yang mana fungsi ini menjadi target sasaran plasticity yang besar pada saat remaja (Dow-Edwards et al., 2019). Dijelaskan lebih mendalam oleh Andrews et al. (2020), bagaimana seorang remaja dapat menavigasikan kehidupan sosialnya dengan baik, sangat bergantung pada sosio-kognitif proses yang dimilikinya. Di sisi lain, dalam segi sosial kognisi dan emosi, remaja secara konsisten menunjukkan aktifasi bagian otak yang lebih besar dibandingkan orang dewasa di medial prefrontal cortex. Pada saat ini remaja nampak lebih sensitif terhadap kehadiran teman sebayanya, pengucilan sosial dan terlihat narsistik. Pada masa remaja konteks sosial sangatlah penting, sama halnya dengan perkembangan emosionalnya yang berdampak pada pengambilan keputusan (Dumontheil, 2016). 

Dari hasil-hasil penelitian terdahulu, terlihat bahwa remaja memiliki strategi kognisi yang berbeda dengan orang dewasa ketika berusa memahami intensi orang lain. Hal ini sesuai dengan teori bahwa remaja menggunakan strategi kognisi yang bergantung pada refleksi eksplisit tentang dirinya dan orang lain. Proses ini berlangsung pada Dorsomedial Prefrontal Cortex (dmPFC). Dari pernyataan ini ada beberapa poin penting yang dapat digaris bawahi; kemampuan remaja untuk memahami perspektif orang lain masih dalam masa perkembangan pada masa ini; koneksi fungsional pada otak remaja terlihat lebih besar dibandingkan orang dewasa ketika sedang memikirkan suatu kejadian yang mengandung emosi, sehingga remaja memiliki tendensi membesar-besarkan suatu masalah yang sedang dihadapinya (Andrews et al., 2020). 

Dengan pembahasan perubahan sistem kerja otak karena neuroplasticity yang ada pada remaja, diharapkan orang tua serta lingkungan masyarakat dapat lebih menghargai tantangan yang sedang dihadapi oleh remaja selama masa penyesuaian dan pertumbuhan sistem sarafnya. Selain itu juga diharapkan agar lingkungan sosial remaja dapat memberikan dukungan yang baik dengan menyesuaikan dengan kondisi perkembangan otak remaja. Adapun beberapa intervensi yang dapat diberikan pada remaja pada periode sensitif ini seperti; aktivitas fisik agar mempromosikan hidup sehat, boosting kemampuan kognisi agar dapat menggunakan kemampuan kognisi yang berkembang secara optimal, melatih kemampuan meditasi agar dapat melatih regulasi emosi, dan memastikan remaja berada pada lingkungan sosial pertemanan yang sehat (Yeager et al., 2018). 

Selain itu orang tua dan masyarakat haruslah menciptakan lingkungan yang suportif untuk tumbuh kembang remaja, berusaha memberikan sikap yang menghargai keberadaan dan tantangan yang dihadapi remaja serta mengurangi pengaruh negatif dari lingkungan terhadap status dan kondisi remaja. Dengan mempertimbangkan kondisi perkembangan kognisi yang sensitif pada remaja ini, diharapkan orang tua dan masyarakat dapat memberikan intervensi-intervensi yang lebih positif dan efektif bagi tumbuh kembang remaja.

Referensi

Andrews, J. L., Ahmed, S. P., & Blakemore, S. J. (2021). Navigating the social environment in adolescence: The role of social brain development. Biological Psychiatry, 89(2), 109-118.

Casey, B. J., Getz, S., & Galvan, A. (2008). The adolescent brain. Developmental review, 28(1), 62-77.

Dumontheil, I. (2016). Adolescent brain development. Current Opinion in Behavioral Sciences, 10, 39-44.

Dow-Edwards, D., MacMaster, F. P., Peterson, B. S., Niesink, R., Andersen, S., & Braams, B. R. (2019). Experience during adolescence shapes brain development: From synapses and networks to normal and pathological behavior. Neurotoxicology and teratology, 76, 106834.

Willenberg, L., Wulan, N., Medise, B. E., Devaera, Y., Riyanti, A., Ansariadi, A., … & Azzopardi, P. S. (2020). Understanding mental health and its determinants from the perspective of adolescents: a qualitative study across diverse social settings in Indonesia. Asian Journal of Psychiatry, 52, 102148Yeager, D. S., Dahl, R. E., & Dweck, C. S. (2018). Why interventions to influence adolescent behavior often fail but could succeed. Perspectives on Psychological Science, 13(1), 101-122.

123…5

Recent Posts

  • Eco-Conscious Parenting: Menumbuhkan Praktik Berkelanjutan pada Perkembangan Anak
  • Memahami Pendidikan untuk Pembangunan Berkelanjutan di Kedai Kopi
  • Membangun Kembali Kegembiraan: Pentingnya Bermain Bagi Kesejahteraan Mental Bagi Masyarakat
  • Keterlibatan Ayah pada Pengasuhan Anak Usia Dini
  • Kader Hebat, Anak Bahagia: Pelatihan Stimulasi Sosioemosional pada Anak Usia Dini untuk Kader Bina Keluarga Balita di Gunungkidul
Universitas Gadjah Mada

Center for Life-Span Development (CLSD)
D-602, Fakultas Psikologi, Universitas Gadjah Mada
Jalan Sosio Humaniora Bulaksumur, Yogyakarta, Indonesia 55281
clsd.psikologi@ugm.ac.id

© Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY

[EN] We use cookies to help our viewer get the best experience on our website. -- [ID] Kami menggunakan cookie untuk membantu pengunjung kami mendapatkan pengalaman terbaik di situs web kami.I Agree / Saya Setuju