Penulis: Hanifah Sholihah
Temper tantrum pada umumnya dianggap sebagai fenomena normal yang secara alami pasti terjadi pada anak-anak. Sejalan dengan ini, tantrum ditandai dengan gejala awal dari masalah perilaku yang mengganggu dan terlibat dalam perkembangan gangguan perilaku dan mood anak (Van den akker et al., 2022). Temper tantrum diartikan sebagai munculnya episode kemarahan dan frustasi yang sangat ekstrem (Daniels et al., 2012). Temper tantrum adalah suatu ledakan amarah yang sering terjadi pada anak yang sedang menunjukkan sikap negativistik atau penolakan (Izzaty, 2005). Gangguan perilaku bermasalah temper tantrum paling umum terjadi pada anak-anak sekitar usia 18 bulan hingga 4 tahun (Watson et al., 2010). Lebih lanjut Zuhroh & Kamilah (2020) menjelaskan bahwa anak usia prasekolah yang berusia antara 3 sampai 6 tahun biasanya berperilaku temper tantrum. Perilaku temper tantrum memberikan ruang yang unik bagi anak-anak untuk mengekspresikan frustasi mereka dengan permasalahan yang mereka hadapi dalam menyelesaikan tugas perkembangan.
Temper tantrum sering terjadi pada anak-anak yang sedang mengalami kelelahan, lapar, ketidaknyamanan atau perasaan yang tidak enak (Wakschlag, et al., 2012). Hal ini bisa menjadi pemicu ledakan emosi anak yang bisa mengakibatkan temper tantrum berkelanjutan. Perilaku temper tantrum dimanifestasikan dalam bentuk temper tantrum ringan, seperti kehilangan kesabaran atau mengamuk saat frustasi, marah atau kesal, menangis, berteriak hingga menunjukkan perilaku bermasalah yang berkelanjutan dan bisa mengganggu psikologisnya, seperti menghancurkan barang-barang saat sedang marah, menyakiti dirinya sendiri (Wakschlag et al., 2012; Zuhroh & Kamilah, 2020). Perilaku temper tantrum ini bisa berlanjut di tahapan perkembangan selanjutnya sehingga anak akan berperilaku maladaptif, seperti perilaku penghindaran, dan kekerasan hingga makian verbal (Daniels et al., 2012).
Temper tantrum dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti lingkungan, psikologi, penyesuaian diri, dan juga pola asuh orang tua (Umami & Sari, 2020). Peran pola asuh orang tua sangat berpengaruh pada perkembangan anak terutama emosi. Sejalan dengan penelitian Zuhroh & Kamilah (2020) bahwa 85.7% anak usia prasekolah mengalami temper tantrum di mana hal ini menunjukkan bahwa karakteristik ibu seperti usia dan jenis pekerjaan dapat mempengaruhi munculnya temper tantrum pada anak. Secara eksplisit, ibu yang berada pada rentang usia dewasa secara psikologis dianggap mampu berperan aktif dalam pola asuh anak, memberikan stimulus pada anak, dan juga membantu anak dalam mengembangkan kemampuan dasarnya. Lebih lanjut, ibu yang bekerja purna waktu dapat mempengaruhi pola asuh pada anak karena ibu yang terlalu sibuk bekerja lebih banyak menghabiskan waktunya di tempat kerja dibandingkan dengan waktu bersama dengan anaknya. Hal ini bisa berakibat pada kedekatan emosional antara ibu dan anak kurang sehingga anak akan merasa cemas, diabaikan kemudian mencari perhatian di luar rumah.
Banyak orang tua yang tidak sadar dalam menangani temper tantrum dengan tepat sehingga kondisi emosi anak cenderung tidak stabil. Hal tersebut dikarenakan orang tua lebih fokus pada menenangkan dirinya sendiri dibandingkan dengan menenangkan emosi anaknya. Pernyataan diatas diperkuat dengan penelitian Gina & Jessica (2007) bahwa saat anak yang sedang tantrum sekitar 59% orang tua mencoba menenangkan anak, 37% mengacuhkan dan 31% menyuruh anak diam. Penanganan temper tantrum yang dilakukan oleh orang tua seharusnya bisa menciptakan lingkungan yang kondusif sehingga anak merasa nyaman. Di samping itu, orang tua juga harus bisa memahami berbagai emosi anak agar bisa membantu anak dalam mengekspresikan emosinya. Hal tersebut bisa dilakukan orang tua dengan memberikan respon penuh simpati dan kasih sayang yang menunjukkan bahwa orang tua memahami dan mengerti apa yang dirasakan anak.
Tantrum memberikan tekanan yang besar pada hubungan orang tua dan anak (Salameh, et al., 2021). Ketika anak-anak berkembang, mereka bertindak melampaui batas sehingga anak-anak cenderung tidak patuh, merengek, menjadi pemarah, hiperaktif, dan agresi (Wakschlag et al., 2012). Hal ini bisa memicu temper tantrum pada anak dan orang tua harus bisa responsif saat anak sedang tantrum. Orang tua bertanggung jawab untuk membantu anak-anak mereka dalam mengeksplorasi dan menguasai keterampilan baru termasuk mengenali emosi dan melakukan regulasi emosi. Orang tua yang mengajarkan anaknya untuk bisa mengekspresikan emosinya di kehidupan sehari-hari, seperti memberikan ruang untuk merefleksikan diri dan berempati dengan orang lain akan bisa mendorong anak untuk belajar meregulasi emosinya dengan baik (Salameh, et al., 2021). Regulasi emosi merupakan keterampilan penting dari perkembangan masa bayi yang mempunyai implikasi jangka panjang pada coping dan resiliensi (Shin & Kemps, 2020; Coyne, et al., 2021).
Penelitian Branjerdporn et al (2019) menyatakan bahwa apabila orang tua sudah bisa memahami apa yang dirasakan anaknya maka saat anak sedang mengalami tantrum, orang tua akan menerima berbagai rangsangan dari anaknya yang sedang mengalami tantrum, meliputi:
- Rangsangan pendengaran, seperti anak berteriak dengan suara keras bernada tinggi, anak menangis tak terkendali.
- Rangsangan visual, seperti anak melambaikan tangan secara spontan, anak melempar benda.
- Rangsangan proprioseptif, seperti anak mendorong orang tua.
- Rangsangan vestibular, seperti orang tua menoleh untuk melihat apakah orang lain melihat dan orang tua bergerak ke arah anak.
Berdasarkan penjelasan diatas, ada beberapa strategi dari penulis yang bisa diterapkan orang tua apabila anak sedang mengalami temper tantrum. Seperti, orang tua dapat memberikan ruang untuk anak melampiaskan emosinya namun tetap memastikan segala sesuatu dalam keadaan yang aman, baik untuk orang tua atau pengasuh serta barang-barang di sekelilingnya. Tak hanya itu, orang tua harus tanggap untuk memberikan respon yang positif, misalnya memberikan perhatian penuh kepada anak setidaknya dengan memeluk anak saat bahagia maupun sedih. Orang tua juga harus bisa mengendalikan emosinya dan berusaha untuk memahami perasaan anak. Bersamaan dengan itu, ada beberapa tindakan yang harus dihindari orang tua, seperti: membujuk, berdebat, memberikan nasihat-nasihat moral agar anak diam dan juga memberlakukan anak dengan kasar. Pengenalan emosi sangat penting dalam perkembangan anak agar anak dapat memahami perasaannya dan juga dapat membantu anak dalam mengontrol diri.
Referensi
Branjerdporn, G., Meredith, P., Strong, J., & Green, M. (2019). Sensory sensitivity and its relationship with adult attachment and parenting styles. PLoS ONE, 14(1), 1–17. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0209555
Coyne, S. M., Shawcroft, J., Gale, M., Gentile, D. A., Etherington, J. T., Holmgren, H., Stockdale, L. (2021). Tantrums, toddlers and technology: Temperament, media emotion regulation, and problematic media use in early childhood. Computers in Human Behavior, 120, 1-9. https://doi.org/10.1016/j.chb.2021.106762
Daniels, E., Mandleco, B., & Luthy, K. E. (2012). Assessment, management, and prevention of childhood temper tantrums. Journal of the American Academy of Nurse Practitioners, 24(10), 569–573. https://doi.org/10.1111/j.1745-7599.2012.00755.x
Gina, M., & Jessica, T. (2007). Tantrums and anxiety in early childhood: A pilot study. Early Childhood Research and Practice Journal, 9(2).
Izzaty, R. E. (2005). Mengenali Permasalahan Perkembangan Anak Usia TK. Departemen Pendidikan Nasional.
Salameh, A. K. B., Malak, M. Z., Al-Amer, R. M., Al Omari, O. S. H., El-Hneiti, M., Sharour, L. M. A. Assessment of temper tantrums behaviour among preschool children in Jordan. Journal of Pediatric Nursing, 59, 106-111. https://doi.org/10.1016/j.pedn.2021.02.008
Shin, M., & Kemps, E. (2020). Media multitasking as an avoidance coping strategy against emotionally negative stimuli. Anxiety, Stress & Coping, 33(4), 440–451. https://doi.org/10.1080/10615806.2020.1745194
Umami, D. A., & Sari, L. Y. (2020). Confirmation of five factors that affect temper tantrums in preschool children: A literature review. Journal of Global Research in Public Health, 5(2), 151–157. https://doi.org/10.30994/jgrph.v5i2.283
Van den akker, A. L., Hoffenaar, P., & Overbeek, G. (2022). Temper tantrums in toddlers and preschoolers: longitudinal associations with adjustment problems. Journal of Developmental & Behavioral Pediatrics, Publish Ah (00), 1–9. https://doi.org/10.1097/dbp.0000000000001071
Wakschlag, L. S., Choi, S. W., Carter, A. S., Hullsiek, H., Burns, J., McCarthy, K., Leibenluft, E., & Briggs-Gowan, M. J. (2012). Defining the developmental parameters of temper loss in early childhood. Journal of Child Psychology and Psychiatry, 53(11), 1099–1108. doi: 10.1111/j.1469-7610.2012.02595.x.
Watson, S., Watson, T., & Gebhardt, S. (2010). Temper Tantrums: Guidelines for Parents and Teachers. National Association of School Psychologists.
Zuhroh, D. F., & Kamilah. (2020). The correlation between child and mother’s characteristics with incidence of temper tantrum in preschool aged children. IJPN, 1(2), 24–33. https://doi.org/http://dx.doi.org/10.30587/ijpn.v1i2.2310