Penulis: Olyn Silvania
Penyunting: Muhammad Ikbal Wahyu Sukron
“Jadi orang gede emang menyenangkan, tapi susah dijalanin.”
Pernahkah kalian mendengar kalimat di atas? Jika diperhatikan kembali, penggalan kalimat dalam iklan Tri Indonesia (2013) tersebut cukup berkaitan dengan kehidupan individu beranjak dewasa atau emerging adult (18-29 tahun) yang seolah-olah menyenangkan. Hal ini dikarenakan masa emerging adult memberi kesempatan bagi individu untuk mengeksplorasi berbagai pilihan hidup terkait pendidikan, karir, dan hubungan romantis yang tersedia baginya. Dengan demikian, emerging adult dapat mengembangkan identitas diri terkait seperti apa ia ingin dikenal oleh orang lain (Arnett, 2013). Selain itu, emerging adult telah dianggap dewasa secara hukum, sehingga otoritas orang tua pun berkurang. Hal ini memberi peluang bagi emerging adult untuk lebih fokus terhadap diri, mengembangkan kemampuan dan membangun fondasi masa selanjutnya, sehingga dapat meningkatkan kemandiriannya (Arnett dkk., 2014). Namun, masa emerging adulthood tidak selalu menyenangkan dan penuh tantangan. Mengapa demikian, ya?
Tantangan tugas perkembangan emerging adulthood terhadap kesehatan mental emerging adult
Emerging adult dihadapkan dengan peran dan tanggung jawab yang semakin berat (Erickson, 1968). Mereka harus memenuhi dan menyesuaikan diri terhadap berbagai tugas perkembangan, seperti mencapai kemandirian secara fisik, finansial, dan emosi; mendapatkan suatu pekerjaan, memilih pasangan hidup, menjalani hidup berkeluarga (sebagai pasangan suami istri dan orang tua), menerima tanggung jawab sebagai warga negara, dan bergabung dalam kelompok sosial (Hurlock, 1991).
Dalam menjalani berbagai tugas perkembangan, emerging adult seringkali mengalami masalah, menghadapi perubahan hidup yang konstan, dan ketidakpastian. Emerging adult juga menghadapi tekanan pekerjaan, hubungan, keluarga, dan harapan untuk menjadi orang dewasa yang sukses. Berbagai hal tersebut menjadikan emerging adult rentan mengalami quarter life crisis (Herawati & Hidayat, 2020).
Fenomena krisis seperempat baya telah digambarkan dalam berbagai penelitian. Penelitian Agarwal dkk. (2020) menemukan bahwa 1.400 pengguna twitter berusia rentang 18-30 tahun di Amerika dan Inggris pernah mengunggah 1,5 juta tweet tentang permasalahan karir, kesehatan, dan keluarga yang mereka hadapi. Lalu, hasil penelitian mixed-methods dari Robinson (2018) di Inggris menunjukkan bahwa krisis seperempat baya dialami oleh individu yang gagal mencari pekerjaan. Selain itu, juga ditemukan bahwa krisis seperempat baya dapat menurunkan tingkat harga diri individu. Selanjutnya, fenomena krisis seperempat baya juga terjadi di Indonesia. Penelitian kualitatif Putri dkk. (2022) menemukan bahwa krisis seperempat baya pada emerging adult selama masa pandemi Covid-19 ditandai dengan perasaan dan pikiran yang mengganggu karena adanya tuntutan pekerjaan, rencana pernikahan, dan permasalahan keluarga.
Dari ketiga hasil penelitian di atas, kita bisa melihat bahwa krisis seperempat baya timbul karena lingkungan sekitar. Pertanyaan yang dianggap ringan oleh sebagian orang, seperti “Kapan wisuda?”, “Sudah dapat kerja belum? Kok masih menganggur?”, “Kapan menikah?”, dan lain sebagainya, justru dianggap berat bagi emerging adult. Dengan kata lain, krisis seperempat baya‒yang dipandang sebagai masa sulit oleh emerging adult‒dapat disebabkan oleh konstruk sosial yang dibangun di masyarakat.
Dalam jangka panjang, krisis seperempat baya dapat menimbulkan konsekuensi negatif. Beberapa literatur menunjukkan bahwa kondisi stress yang terakumulasi akibat krisis seperempat baya dapat menimbulkan berbagai permasalahan baru, seperti masalah emosi dan perilaku, menurunkan kesejahteraan psikologis, meningkatkan perilaku agresif, tindak kekerasan, meningkatkan kecenderungan menarik diri secara sosial, dan menimbulkan permasalahan kesehatan mental seperti depresi dan kecemasan (Habibie dkk., 2019).
Mengatasi quarter life crisis dengan bantuan kecerdasan buatan
Menanggapi dampak krisis seperempat baya khususnya terhadap kesehatan mental, pemerintah, praktisi, dan peneliti tengah mengupayakan promosi dan pencegahan permasalahan kesehatan mental. Tujuannya untuk membangun resiliensi emerging adult dalam menghadapi masa krisisnya (Gotzl dkk., 2022). Salah satu caranya adalah mengembangkan kecerdasan buatan (artificial intelligence), yaitu sistem komputer yang diprogram untuk membantu memecahkan masalah, mengambil keputusan, dan menyelesaikan tugas manusia yang spesifik.
Kontribusi kecerdasan buatan dalam bidang kesehatan mental telah disebutkan dalam berapa literatur (Gotzl dkk., 2022; Gumelar, 2023), seperti dapat membantu mengidentifikasi gangguan kesehatan mental pada emerging adult. Contohnya adalah chatbot terapeutik. Chatbot terapeutik menggunakan teknologi pemrosesan bahasa alami untuk berkomunikasi dengan emerging adult dan memberikan dukungan emosional. Dukungan emosional seperti ucapan semangat dan afirmasi positif dari chatbot terapeutik dapat membantu mengurangi gejala kecemasan dan depresi pada individu. Contoh lainnya adalah terapi online, yakni terapi yang memberikan kesempatan bagi klien emerging adult untuk berbincang dengan terapis melalui internet. Dengan menggunakan kecerdasan buatan, terapis dapat menganalisis percakapan dengan pasien, lalu memberikan rekomendasi terapi atau latihan mandiri yang dapat diterapkan oleh klien emerging adult untuk membantu meredakan gejala gangguan kesehatan mentalnya (Gumelar, 2023). Lebih lanjut, penelitian Gotzl dkk. (2022) menemukan bahwa aplikasi kesehatan mental berbasis kecerdasan buatan bernama mHealth apps memberikan berbagai pelatihan dan solusi atas situasi yang sulit, sehingga membantu emerging adult dalam mencapai tujuannya.
Akhir kata, kecerdasan buatan dapat menjadi support system yang mampu meredakan gejala permasalahan psikologis pada emerging adult. Meskipun demikian, penggunaan kecerdasan buatan yang berlebihan dapat menimbulkan ketergantungan dan mengurangi interaksi sosial. Maka dari itu, masih dibutuhkan kebijakan dan pendekatan yang tepat terkait penggunaan kecerdasan buatan agar tidak mengganggu interaksi sosial dan keseimbangan psikologis emerging adult.
Referensi:
Agarwal, S., Guntuku, S. C., Robinson, O., Dunn, A., & Ungar, L. (2020). Examining the phenomenon of quarter-life crisis through artificial intelligence and the language of twitter. Frontiers in Psychology, 1-23.
Arnett, J. J. (2013). Adolescence and emerging adulthood: A cultural approach. Pearson Education
Arnett, J. J., Zukauskiene, R., & Sugimura, K. (2014). The new life stage of emerging adulthood at ages 18-29 years. Lancet Psychiatry, 1, 569-576.
Erickson, E. H. (1968). Identity: Youth and crisis. Norton.
Götzl, C., Hiller, S., Rauschenberg, C., Schick, A., Fechtelpeter, J., Fischer Abaigar, U., … & Krumm, S. (2022). Artificial intelligence-informed mobile mental health apps for young people: a mixed-methods approach on users’ and stakeholders’ perspectives. Child and Adolescent Psychiatry and Mental Health, 16(1), 1-19.
Gumelar, G. (2023). Menavigasi tantangan dan menciptakan peluang: Peran vital ilmu psikologi di era kecerdasan buatan. Jurnal Penelitian dan Pengukuran Psikologi, 12(1), 1-4.
Habibie, A., Syakarofath, N. A., & Anwar, Z. (2019). Peran religiusitas terhadap quarter-life crisis pada mahasiswa. Gadjah Mada Journal of Psychology, 5(2), 129-138.
Hurlock, E. B. (1991). Psikologi perkembangan: Suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan (Edisi 5). Penerbit Erlangga.
Putri, A. L. K., Lestari, S., & Khisbiyah, Y. (2022). A quarter-life crisis in early adulthood in indonesia during the covid-19 pandemic. Indigenous: Jurnal Ilmiah Psikologi, 7(1), 28–47. https://doi.org/10.23917/indigenous.v7i1.15543
Robinson, O. C. (2018). A longitudinal mixed-methods case study of quarter-life crisis during the post-university transition: Locked-out and locked-in forms in combination. Emerging Adulthood, 7(3), 167–179. https://doi.org/10.1177/2167696818764144Tri Indonesia (2013, Juni 19). Trie-Indie+ (Versi cewe) [File video]. YouTube https://www.youtube.com/watch?v=2RVcOiYkcc4