Menilik Tantangan dan Solusi dalam Tahap Perkembangan Keluarga
Penulis: Dewi Amalia Rahmawati
Penyunting : S. B. Suryo Buwono
Dewasa ini banyak kita jumpai munculnya edukasi pranikah di tengah masyarakat. Pihak penyelenggaranya beragam, mulai dari Kantor Urusan Agama, pemerintah daerah, hingga komunitas masyarakat. Kesadaran masyarakat akan pentingnya edukasi pranikah sejalan dengan banyaknya tantangan yang akan dihadapi dalam membangun sebuah keluarga. Beberapa tantangan muncul sebagai ciri khas yang menandakan terjadinya tahap tertentu dalam keluarga dan cenderung berbeda di setiap tahapnya. Evelyn Duvall (1971) mencetuskan teori perkembangan keluarga yang melihat bagaimana pasangan dan anggota keluarga menghadapi berbagai tugas perkembangan dalam pernikahan dan keluarga di setiap tahap siklus hidup. Menurutnya, ada delapan tahapan dalam teori perkembangan keluarga. Berikut penjelasan setiap tahapnya.
Tahap 1: Pasangan menikah (tanpa anak)
Pernikahan tidak hanya menyatukan dua individu, melainkan juga dua keluarga. Beberapa tahun pertama pernikahan termasuk tahap transisi yang berat bagi pasangan karena masing-masing individu harus meninggalkan keluarganya, kehilangan kebebasan, dan mulai menjalankan fungsinya sebagai pasangan bagi satu sama lain (Indriani, 2014). Agar pernikahan tetap harmonis, pasangan suami istri (pasutri) perlu membangun hubungan kedekatan dan memahami respon emosi satu sama lain, menyelesaikan permasalahan pembagian peran, serta menyesuaikan hubungan dengan keluarga besar dan teman-teman. Sejauh mana tahap awal pernikahan berhasil dilalui oleh pasutri ditandai dengan keberhasilan dalam penyesuaian diri satu sama lain (Ibrahim, 2002 dalam Indriani, 2014).
Tahap 2: Keluarga dengan anak bayi
Pasangan pada tahap ini melalui transisi untuk menerima anggota baru dalam rumah tangga. Tahap ini berlangsung sejak anak pertama lahir hingga berusia 30 bulan.Tantangan yang muncul meliputi pengabaian satu sama lain karena tingginya atau rendahnya interaksi dengan anak, kesulitan memenuhi tanggung jawab sebagai orang tua, hingga pengabaian terhadap kebutuhan bayi. Oleh karenanya dibutuhkan keseimbangan antara kebutuhan pribadi, pasangan, dan anak. Untuk dapat melewati tahap ini dengan adaptif, setiap pasangan perlu memperhatikan usia mereka saat menikah, tingkat pendidikan, kesiapan menjadi orang tua, dan pola asuh yang akan diterapkan (Setyowati et al., 2017).
Tahap 3: Keluarga dengan anak prasekolah
Tahapan selanjutnya yakni ketika anak pertama berusia 2 tahun 6 bulan sampai 6 tahun. Tantangan yang umum terjadi meliputi Separation problems, power problems, dan conduct problems. Separation problems berbicara mengenai ketidaksiapan anak untuk berpisah dari orang tuanya – atau sebaliknya – saat melakukan aktivitas sosial. Power problems terjadi ketika anak terlalu berkuasa akan keinginannya. Conduct problems terjadi ketika anak tidak mempedulikan orang lain akibat rendahnya pengharapan terhadap anak dan pengawasan yang tidak konsisten. Guna mengatasi tantangan tersebut, orang tua perlu melakukan pengawasan dengan tidak berlebihan, mempersilakan anak mengeksplorasi berbagai emosi, serta mendorong anak untuk mengembangkan perilaku mandiri dan aktivitas sosial di luar rumah. Di lain sisi, intimasi pasangan sebagai suami istri perlu tetap dipertahankan (Agustiani, 2007).
Tahap 4: Keluarga dengan anak sekolah dasar
Keluarga akan mengalami transisi dengan adanya dunia pendidikan sebagai pendidik bagi anak-anak mereka. Di Indonesia, mayoritas anak usia sekolah dasar adalah 7 hingga 12 tahun. Pada tahun-tahun tersebut anak mengalami pertumbuhan fisik yang pesat, perkembangan motorik dan kognitif, bahasa, sosio-emosional, moral, hingga kesadaran akan gender (Santrock, 2019). Suatu hal yang perlu dipahami yakni sangatlah lumrah jika terjadi perbedaan cara dan waktu dalam pencapaian perkembangan anak. Tantangan yang orang tua hadapi di tahap ini biasanya meliputi performa akademik anak. Untuk mengatasinya, orang tua dapat memahami bahwa performa akademik bukanlah sesuatu yang bersifat mutlak. Stimulasi dan nutrisi yang tepat dari orang tua akan membantu anak untuk mencapai potensi terbaik mereka.
Tahap 5: Keluarga dengan remaja
Remaja kerap kali menaruh kepercayaan terhadap teman sebaya dibanding orang tua atau keluarga karena besarnya pengaruh teman sebaya. Adanya kendali keluarga membuat remaja merasa tidak bebas. Oleh karenanya, keluarga dengan remaja perlu meningkatkan fleksibilitas batasan yang ditetapkan pada anak untuk membentuk kebebasan yang tetap bertanggung jawab. Diperlukan pula figur orang tua yang hangat dan suportif serta mau mendengarkan dan memahami pendapat anak untuk membangun relasi orang tua-remaja yang positif (Nayana, 2013). Ditinjau dari sisi pasutri, pada tahap ini orang tua mulai beralih dari kegiatan pengasuhan anak. Mereka kembali memperhatikan pernikahan dan karir maupun mengalihkan fokus kepada keluarga yang lebih tua.
Tahap 6: Keluarga pelontar (launching)
Ketika anak pertama mulai meninggalkan rumah untuk tujuan pendidikan, pekerjaan, maupun pernikahan, saat itulah terjadi tahap keluarga pelontar. Orang tua perlu menyadari bahwa anaknya telah memasuki tahap perkembangan sebagai orang dewasa. Konflik dapat terjadi ketika orang tua terlalu campur tangan dalam setiap lini kehidupan anak sehingga anak tidak dapat memilih jalan hidupnya sendiri. Namun, bukan berarti orang tua memutus hubungan dengan anaknya. Sikap tepat yang dapat diambil orang tua adalah mendampingi anak dengan tidak berlebihan serta mempertahankan keluarga sebagai rumah – dalam artian psikologis – yang menjadi pusat dukungan bagi anak (Agustiani, 2007).
Tahap 7: Keluarga setengah baya
Tahap ini dikenal dengan Empty Nest atau sangkar kosong yang terjadi ketika semua anak telah meninggalkan rumah. Orang tua pun mendekati atau telah mengalami masa pensiun. Tantangan yang muncul bagi pasangan adalah adanya kesulitan dalam menghadapi perubahan, ditandai dengan sedih berlebihan, ketakutan akan peran kehidupan saat ini, serta bagaimana memandang diri sendiri dan fungsi perkawinan. Guna melewati tahap ini dengan adaptif, pasutri perlu meyakinkan diri bahwa kepergian anak merupakan jalan untuk masa depannya (Ghofur & Hidayah, 2014). Pasutri dapat berbagi rasa dengan teman atau saudara yang memiliki kondisi sama, mengalihkan perhatian pada hal menyenangkan seperti melakukan hobi, dan kembali terhubung dengan kawan lama.
Tahap 8: Keluarga lanjut usia/Masa tua
Pada tahap ini, pasutri telah menginjak usia lanjut. Mereka mengalami perubahan dari kondisi fisik, peran sosial, hingga kondisi psikologisnya. Konflik dapat terjadi ketika lansia tidak mampu menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan tersebut. Ditambah lagi adanya potensi konflik ketika terjadi kematian pasangan maupun kerabat dan mempersiapkan diri menghadapi kematian. Di samping melakukan upaya mandiri untuk menjaga kesehatan fisik dan mental, keberadaan pendamping bagi para lansia sangatlah dibutuhkan. Pendamping berperan sebagai enabler (pemungkin), fasilitator, dinamisator, mediator, dan motivator bagi para lansia. Pendamping dapat berasal dari pusat pelayanan lansia, perawat rumah sakit, dan yang utama dari lingkungan keluarga terdekat.
Penting bagi kita untuk menyadari sedang berada dimana keluarga kita hari ini. Hal ini berguna untuk dapat menghadapi tugas-tugas perkembangan keluarga secara adaptif. Sehingga terbentuklah keluarga yang tangguh, yakni keluarga yang semakin menguatkan satu sama lain setelah berhasil menyelesaikan konflik-konflik di dalamnya.
References
Agustiani, H. (2007, November 17). Tahapan Perkembangan Keluarga. [Paper presentation]. Seminar Perkawinan Let’s Talk about Marriage, Bandung.
Duvall, E. M. (1971). Family Development (4th .). New York: JB Lippincott Company.
Ghafur, J., & Hidayah, F. S. (2014). Manajemen waktu di usia madya untuk meminimalisir dampak dari empty nest syndrome. Jurnal Inovasi Dan Kewirausahaan, 3(2), 120–125.
Indriani, R. (2014). Pengaruh kepribadian terhadap kepuasan perkawinan wanita dewasa awal pada fase awal perkawinan ditinjau dari teori trait kepribadian big five. Jurnal Psikologi Klinis Dan Kesehatan Mental, 3(1), 33–39.
Nayana, F. N. (2013). Kefungsian keluarga dan subjective well-being pada remaja. Jurnal Ilmiah Psikologi Terapan, 1(2), 230–244.
Santrock, J. W. (2019). Life span development (17th ed.). New York: Mcgraw-Hill Education.
Setyowati, Y. D., Krisnatuti, D., & Hastuti, D. (2017). Kesiapan Menjadi Orangtua, Pola Asuh, Pertumbuhan dan Perkembangan Sosial Anak Usia 2-3 Tahun Di Kota Medan. [Master thesis, IPB University]. Library of IPB University. https://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/91044