• Home
  • About Us
    • Managing Team
    • Researchers
    • Interns
    • Associates
  • Articles
  • Courses
  • Activities
    • CLSD Reader’s Club
    • Summer Course
    • Photovoice
    • SAELA
    • Community Service
  • Research & Publication
Universitas Gadjah Mada Center for Life-Span Development (CLSD)
Faculty of Psychology
Universitas Gadjah Mada
  • Home
  • About Us
    • Managing Team
    • Researchers
    • Interns
    • Associates
  • Articles
  • Courses
  • Activities
    • CLSD Reader’s Club
    • Summer Course
    • Photovoice
    • SAELA
    • Community Service
  • Research & Publication
  • Beranda
  • Artikel
  • page. 5
Arsip:

Artikel

Seminar dan Lokakarya “Pencegahan dan Penanganan Tindak Kekerasan pada Anak Usia Dini di Satuan PAUD”

ArtikelArtikel Liputan KegiatanEvent Friday, 31 December 2021

Seminar dan Lokakarya “Pencegahan dan Penanganan Tindak Kekerasan pada Anak Usia Dini di Satuan PAUD”

Seminar dan Lokakarya “Pencegahan dan Penanganan Tindak Kekerasan pada Anak Usia Dini di Satuan PAUD” diselenggarakan oleh Direktorat PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) Kemendikbud pada tanggal 19-21 Desember 2021 di Bali. Hanifah Nurul Fatimah, S.Psi., M. Sc., yang merupakan peneliti Center for Life-Span Development (CLSD), menghadiri seminar dan lokakarya tersebut sebagai perwakilan dosen Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada. Pada kegiatan ini, perwakilan dari berbagai lembaga, lembaga swadaya masyarakat, NGO, praktisi dan akademisi dari berbagai wilayah di Indonesia berkumpul dalam rangka menyimak pemaparan laporan Direktorat Jenderal PAUD dan berdiskusi melalui focus group discussion dengan tujuan menghasilkan rumusan rekomendasi kebijakan yang dapat diberikan untuk mencegah dan menangani kekerasan pada anak usia dini di satuan PAUD. 

(SRP/CLSD)

Diseminasi Hasil Penelitian Bidang PAUD dan Parenting SEAMEO CECCEP

ArtikelArtikel Liputan KegiatanEvent Thursday, 30 December 2021

Diseminasi Hasil Penelitian Bidang PAUD dan Parenting SEAMEO CECCEP

Pada hari Kamis, 2 Desember 2021 hingga Jum’at, 3 Desember 2021, Elga Andriana, S.Psi, M.Ed, Ph.D., Hanifah Nurul Fatimah, S.Psi., M.Sc., dan Ammik Kisriyani, S.Psi., M.A., sebagai peneliti dari Center for Life-Span Development (CLSD) Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada menghadiri acara Diseminasi Hasil Penelitian Bidang PAUD dan Parenting secara daring dan luring di Atlantic City Hotel yang bertempat di Pasir Kaliki, Kota Bandung, Jawa Barat. Diseminasi ini diselenggarakan oleh Southeast Asian Ministers of Education Organization Regional Centre for Early Childhood Care Education and Parenting (SEAMEO CECCEP) sebagai follow-up dari program dana hibah penelitian (Research Grant) bagi dosen, peneliti, akademisi, atau praktisi dalam rangka meningkatkan produktivitas penelitian yang berorientasi pada publikasi ilmiah nasional dan internasional. Acara diisi oleh presentasi dari para penerima program Research Grant tahun 2021.

Hanifah Nurul Fatimah, S.Psi., M.Sc. yang mengikuti acara secara luring beserta Elga Andriana, S.Psi., M.Ed., Ph.D. dan Ammik Kisriyani, S.Psi., M.A. yang mengikuti acara secara daring, memaparkan hasil penelitiannya mengenai “Perkembangan Memori dan Keterampilan Eksekutif pada Bayi 12-24 Bulan: Sebuah Metode Skrining oleh Ibu”. Penelitian bertujuan untuk mengembangkan metode skrining yang ditujukan secara spesifik untuk memori jangka panjang (long-term memory) dan executive function pada bayi berusia 12 hingga 24 bulan yang bisa dilatihkan pada ibu, serta menyediakan metode skrining yang lebih aksesibel, lebih layak, dan lebih dapat dilaksanakan untuk anak-anak pada keluarga dengan latar belakang ekonomi menengah ke bawah. Metode yang digunakan dalam penelitian adalah within subject pre-post test, pelatihan melalui video tutorial, modul, dan group chat yang dipimpin oleh fasilitator, kuesioner self-report (Skala Responsivitas Ibu), serta analisis kualitatif melalui sesi focus group discussion dan observasi. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa pengembangan metode skrining dengan luaran dalam bentuk modul, video tutorial, serta kegiatan berupa pelatihan dan pendampingan ibu, dapat meningkatkan pengetahuan dan membekali ibu dalam keterampilan skrining bayi pada aspek kemampuan memori dan keterampilan eksekutif. Selain itu, hasil penelitian mengungkap bahwa semakin baik respons ibu selama interaksi ibu dengan bayi, akan menghasilkan perkembangan fungsi eksekutif yang lebih baik dalam dua tahun pertama kehidupan.

(SRP/CLSD)

Workshop Penulisan Publikasi: Kiat Menembus Publikasi Jurnal Internasional Bereputasi

ArtikelArtikel Liputan KegiatanEvent Thursday, 30 December 2021

Workshop Penulisan Publikasi: Kiat Menembus Publikasi Jurnal Internasional Bereputasi

Pada Jumat, 26 November 2021 pukul 13.00 – 16.00 WIB, Center for Life-Span Development (CLSD) mengadakan kegiatan Workshop Penulisan Publikasi: Kiat Menembus Publikasi Jurnal Internasional Bereputasi dengan narasumber Dr. Vina Adriany (Center for Gender and Childhood Studies, Universitas Pendidikan Indonesia) yang dilakukan secara daring melalui Zoom. Kegiatan ini terbuka baik untuk civitas akademik Fakultas Psikologi UGM maupun umum.

Workshop diadakan dengan tujuan  untuk membagikan ilmu mengenai cara mempublikasikan penelitian atau artikel ilmiah di jurnal internasional yang menjadi jalan penting agar hasil penelitian dapat dibaca dan dimanfaatkan oleh orang banyak. Pada workshop ini, Dr. Adriany membahas mengenai bagaimana cara menulis artikel penelitian yang baik, apa saja standar-standar penulisan yang perlu dipenuhi agar artikel ilmiah berpeluang lebih besar untuk diterima oleh jurnal internasional, serta cara mengidentifikasi jurnal internasional yang sesuai dengan tema penelitian atau artikel ilmiah yang ingin dipublikasikan.

Webinar diakhiri dengan sesi tanya-jawab antara peserta dan narasumber sebelum ditutup oleh  Lisa Sunaryo Putri, S.Psi selaku moderator acara. Melalui webinar ini, diharapkan peserta memperoleh wawasan mengenai cara dan kiat menulis publikasi agar bisa menembus jurnal internasional bereputasi.

(SRP/CLSD)

School Transitions Experiences: Supporting Children Moving from Online to Offline Learning

ArtikelArtikel Liputan KegiatanEvent Wednesday, 29 December 2021

School Transitions Experiences: Supporting Children Moving from Online to Offline Learning

 

Pada Jumat, 12 November 2021 pukul 15.00 – 17.00 WIB, Center for Life-Span Development (CLSD) mengadakan webinar berjudul School transitions experiences: Supporting children moving from online to offline learning dengan narasumber Professor Iva Strnadová (University of New South Wales, Australia) yang dilakukan secara daring melalui Zoom. Webinar ini diselenggarakan dalam rangka menghadapi dibukanya kembali sekolah-sekolah untuk belajar pada masa pandemi COVID-19 yang telah menimbulkan stres, ketakutan, serta kekhawatiran bagi banyak keluarga dan anak-anak. 

Dengan semakin banyaknya sekolah yang  beralih ke pembelajaran tatap-muka, transisi untuk kembali ke sekolah dapat menciptakan tantangan bagi anak. Terlebih lagi, transisi dari pembelajaran di rumah ke pembelajaran ke sekolah bisa jadi lebih sulit bagi anak-anak dengan masalah perkembangan, perilaku, dan emosional. Webinar ini membahas bagaimana cara sekolah membantu anak-anak dan keluarga dengan merencanakan transisi dan mempromosikan pembelajaran sosial dan emosional (social and emotional learning). Dengan dukungan yang tepat, anak dapat menyesuaikan diri dengan tantangan dan tuntutan belajar baru, mempelajari hal-hal baru, dan belajar untuk berkembang.

Pada webinar ini, Prof. Strnadová membagi materinya ke dalam lima bagian. Pertama, beliau menjelaskan mengenai definisi umum transisi sekolah, sebelum menguraikan berbagai penelitian yang menunjukkan informasi-informasi penting mengenai transisi sekolah dan siswa penyandang disabilitas selama pandemi. Kemudian, Prof. Strnadová menjelaskan apa saja kebutuhan transisi sekolah siswa (baik dengan atau tanpa disabilitas) saat berpindah dari pembelajaran daring ke pembelajaran luring. Terakhir, beliau membahas mengenai dukungan seperti apa yang diperlukan siswa (baik dengan atau tanpa disabilitas) untuk mempersiapkan mereka beralih dari pembelajaran daring ke pembelajaran luring.

Webinar diakhiri dengan sesi tanya-jawab antara peserta dan narasumber sebelum ditutup oleh Elga Andriana, S.Psi., M.Ed., Ph.D. selaku moderator acara. Melalui webinar ini, diharapkan peserta memperoleh wawasan mengenai pengalaman transisi sekolah anak-anak dan bagaimana cara yang tepat untuk mendukung mereka melewati peralihan pembelajaran di masa pandemi.

(SRP/CLSD)

Kursus Intensif Metode Penelitian Naratif

ArtikelArtikel Liputan KegiatanEvent Wednesday, 29 December 2021

Kursus Intensif Metode Penelitian Naratif

Center for Life-Span Development (CLSD) dan Program Studi Doktor Ilmu Psikologi, Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada kembali menyelenggarakan Kursus Intensif Metode Penelitian Naratif yang diadakan selama empat hari yaitu Selasa, 16 November 2021 hingga Jumat, 19 November 2021. Kursus yang diikuti oleh sejumlah mahasiswa Prodi Doktor Ilmu Psikologi (S3) Fakultas Psikologi UGM dan juga terbuka untuk umum dengan kuota terbatas ini dibawakan oleh empat narasumber yang merupakan ahli di bidangnya. Keempat narasumber masing-masing membawakan dua materi dalam satu hari secara berkelanjutan. Berikut adalah daftar narasumber dengan topik-topik yang disampaikan:

1️⃣ Sejarah dan Perkembangan Penelitian Naratif
Pemateri: Edilburga Wulan Saptandari, M.Psi., Ph.D., Psikolog
Selasa, 16 November 2021 (10.00 – 11.00 WIB)

2️⃣ Teori dan Desain Penelitian Naratif
Pemateri: Edilburga Wulan Saptandari, M.Psi., Ph.D., Psikolog
Selasa, 16 November 2021 (11.00 – 13.00 WIB)

3️⃣ Metode Pengumpulan Data Naratif
Pemateri: Made Diah Lestari, Ph.D (Cand)
Rabu, 17 November 2021 (13.00 – 15.00 WIB)

4️⃣ Praktik Metode Pengumpulan Data Naratif
Pemateri: Made Diah Lestari, Ph.D (Cand)
Rabu, 17 November 2021 (15.00 – 17.00 WIB)

5️⃣ Beragam Pendekatan Analisis Naratif
Pemateri: Prof. Dr. Heddy Shri Ahimsa-Putra, M.A., M.Phil.
Kamis, 18 November 2021 (10.00 – 12.00 WIB)

6️⃣ Praktik Analisis Naratif
Pemateri: Prof. Dr. Heddy Shri Ahimsa-Putra, M.A., M.Phil.
Kamis, 18 November 2021 (13.00 – 15.00 WIB)

7️⃣ Penyajian Hasil Penelitian Naratif
Pemateri: Elga Andriana, S.Psi., M.Ed., Ph.D
Jumat, 19 November 2021 (13.00 – 14.00 WIB)

8️⃣ Presentasi Penelitian/Outline Penelitian Naratif
Pemateri: Elga Andriana, S.Psi., M.Ed., Ph.D
Jumat, 19 November 2021 (14.00 – 16.00 WIB)

Tiap sesi diawali dengan penyampaian materi dan diakhiri dengan tanya-jawab antara peserta dan narasumber. Pada sesi keenam, sejumlah peserta yang merupakan perwakilan dari peserta umum dan mahasiswa melakukan presentasi mengenai rancangan riset yang menggunakan metodologi kualitatif dengan metode penelitian naratif. Di penghujung sesi, peserta mendapatkan sertifikat elektronik serta akses materi kursus. Melalui webinar ini, diharapkan peserta memperoleh wawasan mengenai seperti apa dan bagaimana cara melaksanakan penelitian dengan metode naratif.

(SRP/CLSD)

Mendukung Hubungan Sehat Pada Dewasa Muda Dengan Disabilitas, Bagaimana Caranya?

ArtikelBlog Wednesday, 22 December 2021

Mendukung Hubungan Sehat Pada Dewasa Muda dengan Disabilitas, Bagaimana Caranya?

oleh: Munadira
editor: Resti Fahmi Dahlia

Photo by Ivan Samkov from Pexels

Cinta adalah perasaan natural yang dirasakan oleh tiap individu. Usia dewasa muda kerap dikaitkan dengan usia dimana hubungan romantis menjadi suatu kebutuhan. Hubungan percintaan memungkinkan kita untuk tetap terhubung satu sama lain dan juga melindungi kita dari perasaan kesepian (Ignagni, dkk., 2016).  Serupa dengan individu pada umumnya, kebutuhan terkait mencintai dan dicintai juga dirasakan oleh individu dengan disabilitas. Kebutuhan mereka akan cinta dan koneksi sering kali dipertanyakan atau bahkan dipandang salah oleh mereka yang tidak memiliki disabilitas. Mereka seringkali mengalami stereotip budaya dan prasangka yang menyakitkan dan merusak kepercayaan diri. Mereka yang hidup dengan disabilitas juga terkadang diharapkan untuk menjalin hubungan “dengan jenisnya sendiri”. Menurut penelitian yang dilakukan Friedman (2019), partisipan penelitiannya yang merupakan individu dengan disabilitas mengalami kesulitan untuk menjalin hubungan jangka panjang dengan lawan jenis, terutama hubungan yang bersifat jangka panjang. Selain itu, mereka juga mendapatkan stigma bahwa mereka seharusnya menjalin hubungan dengan sesama individu dengan disabilitas.

Hubungan romantis yang dijalani oleh individu dengan disabilitas adalah sebuah kondisi yang menjadi perhatian dari banyak peneliti. Matilla (2017) meneliti mengenai makna cinta bagi individu dengan disabilitas. Ia menemukan bahwa partisipan penelitiannya memiliki definisi cinta yang spesifik. Penelitian Matilla (2017) mengenai hubungan romantis pada individu dengan disabilitas intelektual menemukan bahwa beberapa dari para partisipannya memiliki pacar, suami, atau istri. Para partisipan ini menggambarkan cinta dari pasangan mereka sebagai sumber berbagi perasaan dan emosi, sumber belajar, dan juga sumber berbagi perhatian (Matilla, 2017). Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Jones, dkk., (2020), juga menemukan bahwa meskipun proses pencarian cinta pada dewasa muda dengan disabilitas penuh lika-liku, ada pula sebagian dari mereka yang memiliki akhir kisah cinta yang bahagia. Beberapa partisipan dalam penelitian Jones, dkk., (2020), mengungkapkan bahwa cinta sejati mereka adalah orang yang mampu menerima disabilitas yang mereka miliki secara tulus dan tidak merendahkan.

Salah satu partisipan dalam kutipan wawancara yang dilakukan oleh Jones (2020), memaparkan:

“Saya percaya, adalah mungkin untuk menghilangkan ketakutan stereotip akan ketidakmampuan yang tidak hanya dimiliki oleh orang-orang dengan disabilitas fisik yang parah, caranya adalah dengan mendukung penyandang disabilitas yang putus asa untuk mencari cerita yang menginspirasi.”

Salah satu karya yang dapat dijadikan rujukan dalam menelusuri kisah inspiratif pasangan dengan disabilitas adalah film yang berjudul “What They Don’t “Talk About When They Talk About Love (2013)”. Film yang bercerita tentang kisah cinta pasangan difabel ini memiliki pesan bahwa ada banyak orang yang unggul dalam berbagai bidang kehidupan dan terkadang memandang keunggulan seseorang harus dipisahkan dari keterbatasan fisik. Beranjak dari penelitian dan studi kasus inspiratif dari Barat, di Indonesia, penelitian dan kisah inspiratif mengenai hubungan romantis para individu disabilitas masih sangat minim. Salah satu kisah inspiratif yang berasal dari Indonesia adalah kisah dari Wahyu dan Aslima. 

Aslima yang merupakan penyandang disabilitas sejak lahir memiliki pasangan tanpa disabilitas yang mampu memandang kekurangan yang ia miliki melalui sudut pandang yang lain (Kompas, 2014). Perjalanan cinta Aslima sendiri penuh lika-liku, sejak remaja ia sempat mengalami stigma bahwa tidak akan menikah karena keterbatasan fisik yang dialaminya. Namun, alih-alih menyerah, ia justru mengembangkan keahliannya di bidang seni hingga akhirnya dapat hidup secara mandiri. Aslima pun dipertemukan dengan Wahyu melalui seni, hal ini yang menyatukan mereka hingga akhirnya memutuskan untuk menikah. Mereka ingin membuktikan bahwa mereka bisa mandiri. Aslima juga ingin hidup seperti keluarga normal dan berperan sebagai istri pada umumnya, melayani suami, mengurus rumah, dan membesarkan anak-anak.

“Istri saya tak ada bedanya dengan perempuan lain yang badannya lengkap. Ia bisa melakukan semua pekerjaan sendiri,” ujar Wahyu (Kompas, 2014)

Aslima menyelesaikan pekerjaan rumahnya tanpa pembantu, dari mulai membersihkan rumah, memasak, mencuci, dan mengasuh anak. Ia tidak ingin keterbatasan fisiknya menghalanginya beraktivitas seperti perempuan lain. Ia juga meminta Wahyu untuk mengajari membuat kerajinan akar wangi agar bisa membantu pekerjaan suaminya. Wahyu kini memiliki dua lapak kerajinan dan cinderamata di Dusun Kinahrejo, Cangkringan.

Melalui kisah inspiratif di atas, pesan yang dapat dipetik bagi kita sebagai individu yang hidup di lingkungan beragam adalah untuk saling menghargai dan memandang bahwa setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangan yang bisa saling melengkapi dirinya. Berdasarkan pesan moral yang didapatkan dari kisah inspiratif tersebut, berikut ini kiat-kiat yang dapat dilakukan untuk mendukung individu dengan disabilitas agar turut merasakan hubungan yang percintaan yang sehat, antara lain:

  1. Percaya bahwa mereka dengan disabilitas juga memiliki perasaan dan keinginan untuk mencintai dan dicintai,
  2. Hargai perasaan mereka dan hindari stigma yang membuat mereka merasa tidak berhak akan perasaan yang dimiliki,
  3. Percaya bahwa mereka dengan disabilitas juga berhak untuk menikah dan memiliki hubungan jangka panjang yang bahagia,
  4. Individu dengan disabilitas tidak ingin dipandang berbeda atau sebagai beban dalam hubungan percintaan yang mereka jalin,
  5. Hindari kata-kata yang dapat menjatuhkan kepercayaan diri mereka saat mendengarkan cerita cinta individu dengan disabilitas,

Pada intinya, ketika individu dengan disabilitas sedang jatuh cinta, hal tersebut adalah bentuk perasaan yang murni dirasakan oleh mereka sama seperti individu pada umumnya. Penelitian Jones, dkk., (2020), mengungkapkan bahwa ketika individu dengan disabilitas percaya diri dalam hubungan romantis yang dijalin, maka ketertarikan dari lawan jenis pada diri mereka akan terpancar. Maka, lakukanlah beberapa tips di atas untuk mendukung kepercayaan diri individu dengan disabilitas dalam menjalin hubungan romantis yang sehat.

 

Referensi: 

Forrester-Jones, R., Bates, C., Skillman, K. M., & Elson, N. (2020). Love and loving relationships: What they mean for people with learning disabilities. Journal of Intellectual Disability Research, 63(7), 863-863.

Friedman, C. (2019). Intimate relationships of people with disabilities. Inclusion, 7(1), 41-56.

Gischa, S. (2021, 2 Januari). Kisah Sejati Tanpa Memandang Fisik. 

Ignagni, E., Fudge Schormans, A., Liddiard, K., & Runswick-Cole, K. (2016). ‘Some people are not allowed to love’: intimate citizenship in the lives of people labeled reference intellectual disabilities. Disability & Society, 31(1), 131-135.

Mattila, J., Määttä, K., & Uusiautti, S. (2017). ‘Everyone needs love’–an interview study about perceptions of love in people with intellectual disability (ID). International journal of adolescence and youth, 22(3), 296-307.

Memandu Anak ASD untuk Disiplin dalam Menggunakan Gadget dan Internet

ArtikelBlog Friday, 17 December 2021

Memandu Anak ASD untuk Disiplin dalam Menggunakan Gadget dan Internet

oleh: Nindya Alifia Tittani
editor: Resti Fahmi Dahlia

Photo by RODNAE Productions from Pexels

Autism Spectrum Disorder (ASD) merupakan salah satu bentuk gangguan neurodevelopmental yang dicirikan dengan adanya kesulitan dalam interaksi sosial, komunikasi, serta memiliki pola atipikal dalam aktivitas sehari-hari (1). Prevalensi anak dengan ASD memiliki peningkatan dari tahun ke tahun, data terakhir dari Centers for Disease Control and Prevention (CDC) pada tahun 2016 menyebutkan bahwa satu dari 54 anak di Amerika terdiagnosis mengalami ASD (4). World Health Organization (WHO) mengestimasikan bahwa satu dari 270 orang di seluruh dunia mengalami Autism Spectrum Disoreder (1). Meski belum terdapat data yang pasti tentang perkembangan kasus ASD di Indonesia, layanan bagi penyandang ASD dan/atau keluarganya tetap perlu diperhatikan. Kondisi ini tidak hanya berdampak pada anak dengan ASD itu sendiri, namun juga memberikan dampak psikologis yang cukup besar kepada orang tua mereka seperti stress dalam pengasuhan karena tuntutan peran serta rendahnya efikasi diri yang dimiliki karena kurangnya rasa percaya diri pada kemampuan orang tua dalam mengasuh anak dengan autism (2,3).

Pandemi COVID-19 mempengaruhi bagaimana orang tua harus mendidik dan mendampingi anak-anak mereka di rumah. Pembelajaran daring yang dilakukan oleh pihak sekolah mengharuskan para orang tua mendampingi anak-anak mereka selama belajar. Hal ini juga di lakukan oleh orang tua yang memiliki anak dengan ASD. Anak dengan ASD memiliki kondisi khusus yang mengharuskan mereka mendapatkan pelayanan pendidikan yang terfokus pada anak. Pusat terapi yang biasanya dijadikan rujukan untuk anak ASD saat ini tidak dapat melayani secara tatap muka dan mengharuskan orang tua mendampingi dan melakukan latihan sederhana agar kemampuan anak ASD yang sudah terbentuk tidak mengalami kemunduran. Selama pandemi, pembelajaran dilakukan melalui daring dan media ynag menghubungkan antara anak dengan sekolah atau pengajarnya adalah media online yang dapat di akses melalui gadget. Platform zoom dan google meet menjadi salah satu alternatif yang digunakan para pengajar untuk memberikan materi dan mengajarkan siswa-siswa mereka selama daring. 

Pembelajaran secara daring memiliki dua sisi yang saling bertolak belakang. Apabila dilakukan secara tidak tepat, hal ini akan berdampak kepada anak dan penggunaan gadget yang kurang bijak yang dilakukan oleh anak non-disabilitas maupun anak dengan disabilitas. Screentime merupakan salah satu hal yang menjadi perhatian para orang tua yang memiliki anak dengan ASD (6). Screentime yang berlebihan memiliki dampak terhadap muncul perilaku-perilaku repetitif dan stereotip pada anak ASD (5,7) Hal ini akan menurunkan hasil treatment yang sudah dilakukan di masa sebelumnya untuk mengurangi perilaku tersebut. Namun, selama pandemi orang tua dengan anak ASD tidak memiliki pilihan lain selain tetap mengikuti pembelajaran atau terapi secara daring. Berkaitan dengan dilema yang dirasakan oleh orang tua dengan anak ASD, berikut ini tips yang dapat dilakukan oleh orang tua dengan anak ASD untuk menyesuaikan pembelajaran anak secara daring (9) : 

  1. Tetapkan batas penggunaan internet.

Orang tua dapat menetapkan alokasi waktu yang menjadi kesepakatan bersama untuk bermain gadget (selain pembelajaran daring) dengan membuat tabel jadwal penggunaan gadget atau mengatur timer sebagai alarm untuk batas waktu maksimum penggunaan gadget. 

  • Membuat aturan dasar untuk penggunaan perangkat antara anak dan orang tua. 

Aturan dasar untuk penggunaan gadget dan internet adalah hal yang penting untuk semua anak, termasuk anak dengan ASD. Aturan yang dibuat oleh orang tua harus singkat dan jelas. Tujuan dari aturan ini adalah memberi tahu anak apabila ia melanggar peraturan mereka akan kehilangan hak istimewa untuk menggunakan gadget dan bermain secara daring untuk sementara. Misalnya, aturan untuk tidak boleh berkomunikasi dengan orang asing di media sosial atau hanya memperbolehkan membuka situs web tertentu, lalu apabila anak melanggar peraturan ini orang tua dapat menarik hak anak menggunakan gadget dalam kurun beberapa waktu sesuai perjanjian dengan anak.

  • Memantau anak pada saat menggunakan internet dan gadget 

Orang tua atau pendamping diusahakan tetap memantau kegiatan anak selama mereka menggunakan gadget dan bermain secara daring. Orang tua dapat mengecek secara berkala mengenai situs-situs yang dibuka oleh anak maupun membatasi situs-situs online yang kurang pantas untuk anak melalui setting pada gadget yang dimiliki. Hal ini secara otomatis akan membatasi ruang anak dalam berselancar di internet dan bermain secara daring. Sehingga, anak akan terpantau dan terlindungi dari situs-situs yang kurang pantas untuk anak-anak.  

  • Gunakan teknologi sebagai suplemen untuk interaksi sosial secara langsung.

Teknologi menawarkan banyak peluang sosial, tetapi hal ini tidak boleh menjadi perangkat utama yang mengalihkan semua interaksi sosial yang dapat dilakukan oleh anak secara langsung (secara tatap muka). Orang tua yang memiliki anak dengan ASD dapat mengondisikan anak untuk menggunakan gadget sebagai alat bantu dalam berintekasi, seperti menjadikan gadget alat perantara untuk bermain secara kelompok yang mana hal ini belum dapat dilakukan dalam kondisi pandemi. Namun, orang tua juga harus tetap mendampingi anak bermain di luar jam bermain gadget sehingga anak merasa bahwa waktu luang tanpa gadget juga merupakan hal yang menyenangkan. 

Tips ini dapat digunakan oleh para orang tua untuk menanggulangi adiksi pada gadget yang memungkinkan untuk terjadi pada anak. Teknologi yang terus berkembang tidak dapat dihentikan maupun dihindari keberadaannya. Anak dengan ASD juga tidak sepatutnya dijauhkan secara permanen dengan gadget ataupun teknologi lain (9). Gadget dan internet juga dapat memiliki fungsi yang baik dan dapat meningkatkan kemampuan di ranah tertentu (seperti: kemampuan problem solving, social awareness) yang mereka pelajari secara tidak langsung melalui video yang mereka lihat di internet maupun permainan online yang mereka ikuti. Cabibihan, Javed, Aldosari, Frazier, dan Elbashir (2017) menemukan bahwa teknologi dan gadget memiliki dampak yang positif terhadap perkembangan anak ASD. Namun, kedua hal ini tetap memerlukan bimbingan dari orang dewasa di sekitar anak sehingga anak tidak dapat sepenuhnya dilepaskan dan dibiarkan untuk bermain gadget tanpa aturan dan batasan waktu (8). 

Nah, berdasarkan informasi dan tips dari artikel ini, semoga parents tidak lagi merasa bimbang untuk memberikan kesempatan anak dalam menggunakan gadget maupun internet. Namun, apabila dirasa membutuhkan bantuan dari professional, parents dapat menghubungi layanan kesehatan/ professional  terdekat atau terpercaya untuk konsultasi lebih lanjut mengenai penetapan jadwal maupun kondisi-kondisi anak yang terdampak dari penggunaan gadget yang kurang bijak di masa sebelumnya. 

Referensi:

  1. WHO. (2021, 1 Juni). Autism Spectrum Disorders
  2. Bearss, K., Burrell, T. L., Stewart, L., & Scahill, L. (2015). Parent Training in Autism Spectrum Disorder: What’s in a Name? Clinical Child and Family Psychology Review, 18(2), 170–182. https://doi.org/10.1007/s10567-015-0179-5 
  3. Crowell, J. A., Keluskar, J., & Gorecki, A. (2019). Parenting behavior and the development of children with autism spectrum disorder. Comprehensive Psychiatry, 90, 21–29. https://doi.org/10.1016/j.comppsych.2018.11.007 
  4. Maenner, M. J., Shaw, K. A., Baio, J., et al. (2020). Prevalence of autism spectrum disorder among children aged 8 years — autism and developmental disabilities monitoring network, 11 sites, united states, 2016. MMWR Surveill Summ, 69:1–12. DOI: http://dx.doi.org/10.15585/mmwr.ss6904a1external icon
  5. Dong, H. Y., Wang, B., Li, H. H., Yue, X. J., dan Jia, F. (2021). Correlation between screen time and autistic symptoms as well as development quotients in children with autism spectrum disorder. Front. Psychiatry. (12). doi: 10.3389/fpsyt.2021.619994
  6. Stiller, A., Weber, J., Strube, F., dan Moessle. (2019). Caregiver reports of screen time use of children with autism spectrum disorder: A qualitative study. Behav. Sci, 9(56). doi:10.3390/bs9050056
  7. Hermawati, D., Rahmadi, F. A., Sumekar, T. A., Winarni, T. I. (2018). Early electronic screen exposure and autistic-like symptoms. J-STAGE. doi: 10.5582/irdr.2018.01007
  8. Cabibihan, J., Javed, H., Aldosari, M., Frazier, T. W., dan Elbashir, H. (2017). Sensing technologies for autism spectrum disorder screening and intervention. Sensors, 17(46). doi:10.3390/s17010046
  9. UNICEF. (2017). Children in digital a world. Division of Communication UNICEF.

Optimalisasi Pengasuhan ABK di Masa Pandemi

ArtikelBlog Monday, 13 December 2021

Optimalisasi Pengasuhan ABK di Masa Pandemi

oleh: Resti Fahmi Dahlia
editor: Diah Dinar Utami

Photo by Cliff Booth from Pexels

Coronavirus disease 2019 (COVID-19) merupakan salah satu permasalahan kesehatan yang sedang dihadapi oleh masyarakat di seluruh dunia, tidak terkecuali di Indonesia. Di Indonesia sendiri, dampak pandemi COVID-19 mempengaruhi berbagai macam sektor seperti ekonomi, pendidikan, dan kesehatan. Selain itu, pandemi juga dirasakan oleh anak-anak, orang dewasa, pelajar, orang tua siswa, dan guru. Kondisi psikologis seperti kecemasan, stres, dan depresi juga dirasakan oleh para siswa hingga mahasiswa di Indonesia, baik individu tanpa disabilitas maupun individu dengan disabilitas. Kondisi pandemi ini membuat pemerintah mengeluarkan keputusan melalui surat edaran nomor 4 tahun 2020 mengenai pembelajaran jarak jauh. Pembelajaran jarak jauh dengan mengutamakan keselamatan peserta didik, pendidik, tenaga kependidikan, keluarga dan masyarakat serta mempertimbangkan tumbuh kembang siswa dan kondisi psikososial dalam upaya pemenuhan layanan pendidikan selama pandemi COVID-192. 

Publikasi penelitian mengenai dampak permasalahan COVID-19 pada individu dengan disabilitas mulai bermunculan, diantaranya penelitian yang dilakukan oleh Turk dan McDermott4 yang meneliti dampak pandemi terhadap individu dengan intelectual disability disorder. Penelitian ini menemukan bahwa permasalahan yang dihadapi individu dengan intellectual disability disorder terkait dengan kegiatan sehari-hari, sehingga hal tersebut mengakibatkan adanya perubahan perilaku individu. Hal ini sejalan dengan kajian yang telah dilakukan oleh Radissa, Wibowo, Humaedi dan Irfan3 di Indonesia yang menemukan bahwa individu dengan kebutuhan khusus merupakan kelompok paling rentan dalam situasi pandemi. Hal ini disebabkan oleh pemenuhan kebutuhan yang terganggu, pembatasan secara sosial yang menyebabkan kesulitan akses kesehatan dan pemenuhan akses informasi mengenai COVID-19 yang cenderung sulit karena kebijakan yang masih abai terhadap individu dengan kebutuhan khusus.

Selain memiliki dampak terhadap individu dengan kebutuhan khusus, situasi pandemi juga memiliki dampak terhadap keluarga yang memiliki anggota dengan kebutuhan khusus5. Penelitian yang dilakukan Amorim, dkk.,6 menunjukkan bahawa sebagain besar orang tua yang memiliki anak dengan autism spectrum disorder memiliki emosi yang negatif berkaitan dengan situasi pandemi COVID-19. Selanjutnya, literatur dari Asbury, Fox, Deniz, Code dn Toseeb (2021) menunjukkan bahwa keluarga yang memiliki anak dengan kebutuhan khusus mengalami permasalahan kesehatan mental yang buruk dan mereka merasa berada dibawah tekanan selama pandemi COVID-19. Penelitian-penelitian yang telah dibahas menunjukkan bahwa orang tua dan keluarga sebagai caregiver anak berkebutuhan khusus memiliki kerentanan terhadap stres ketika menghadapi pandemi COVID-19 dengan metode pembelajaran jarak jauh dan penerapan sistem jaga jarak antar individu. 

Salah satu hal yang diperlukan orang tua yang sekaligus berperan sebagai caregiver anak berkebutuhan khusus di rumah adalah dengan memiliki strategi koping untuk menghadapi situasi saat ini yang tidak menentu dan berubah-ubah. Strategi koping adalah suatu strategi yang digunakan oleh individu untuk menghadapi situasi yang menekan dan mengolahnya sesuai dengan sumber daya dalam diri yang dimiliki7.

Berikut ini adalah beberapa hal yang dapat dilakukan sebagai coping oleh keluarga yang memiliki ABK untuk menghadapi situasi yang tak menentu8:

  • Planning

Orang tua dapat melakukan penjadwalan mengenai hal-hal yang dapat dilakukan oleh orang tua dan anak selama kegiatan dilakukan di rumah. Penjadwalan mengenai kegiatan harian dan kegiatan akademik akan membantu orang tua mengurangi stres dan juga beban untuk mendampingi anak. Penjadwalan ini dapat dilakukan dengan membuat jadwal baru bagi anak. Jadwal ini meliputi waktu bermain, belajar, makan, dan waktu istirahat tenang tanpa gawai.

  • Seeking social support for instrumental and emotional reason

Tindakan untuk meminta bantuan, nasihat, dan informasi untuk menghadapi kondisi stres atau cemas yang dihadapi selama masa pandemi COVID-19. Tindakan ini juga dapat dilakukan dengan cara individu tetap terhubung dengan kerabat atau individu lain melalui media sosial disaat kondisi pembatasan mobilitas masyarakat. Bertukar cerita secara online dengan keluarga lain yang memiliki ABK akan memberikan informasi pada orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus mengenai pengalaman mereka untuk menjalani kesehariannya selama pandemi COVID-19 bersama dengan anak berkebutuhan khsuus. 

  • Active coping

Tindakan untuk mengambil langkah aktif dalam menanggulangi dampak situasi yang berubah-ubah dan tak menentu. Tindakan ini dapat diwujudkan dengan mengajak anak aktif melakukan kegiatan kebersihan diri untuk mengatasi atau menghindari tertular virus saat pandemi COVID-19. Melakukan kegiatan olahraga yang disesuaikan dengan usia anak di rumah untuk menjaga kesehatan diri. Memberikan informasi pada anak yang memiliki kebutuhan khusus mengenai pandemi COVID-19 sesuai dengan usia perkembangannya.

Selain memiliki strategi koping yang adaptif, keluarga juga sebaiknya mampu untuk mengolah tekanan dan stress yang hadir dari lingkungan luar berkaitan dengan kondisi pandemi. American Psychology Association (APA)9 memberikan ulasan mengenai cara untuk mengurasi      stres bagi keluarga dengan ABK diantaranya:

  1. Membuat kegiatan baru bagi anak, hal ini bermaksud agar anak merasa aman dan memahami apa yang diharapkan dari anak serta memperkenalkan perilaku baru dalam kehidupan sehari-hari. 
  2. Memberikan empati dan validasi atas perasaan yang dirasakan anak yang mungkin mengenai ketidaknyamanan atau tantangan yang mempengaruhi aktivitas sensorik atau terapi anak.
  3. Menunjukkan cinta tanpa syarat pada anak berkebutuhan khusus di masa pandemi dan mendorong anak untuk berbicara tentang perasaan mereka.
  4. Memberikan kesempatan pada anak untuk tetap menjalin komunikasi melalui media dengan teman atau terapis saat masa isolasi sosial. 

Referensi 

  1. Hasanah, U. Ludiana & Livana, P.H. (2020) Gambaran Psikologis Mahasiswa dalam Proses Pembelajaran Selama Pandemi Covid-19. 8(3), 299-306
  2. Kemendikbud.co.id
  3. Radissa, V.S., Wibowo, H., Humaedi, S., & Irfan, M (2020) Pemenuhan Kebutuhan Dasar Penyandang Disabilitas pada Masa Pendemi COVID-19. Jurnal Pekerja Sosial
  4. Turk, M.A. & McDermott, S. (2020) The COVID-19 pandemic and people with disability. Disabil Health J
  5. Amy, H., Debbi, H., Ashli, M., Tal, L.D., Christopher, R. (2020) Children with disabilities in the united state and the COVID-19 pandemic.
  6. Amorim, R. Catarino, S. Miragaia, P., Ferreras, C., Viana, V. & Guardiano, M (2020) The impact of COVID-19 on children with autism spectrum disorder. Rev Neurol
  7. Lazarus, R.S & Folkman, S. (1984) Stress appraisal and coping. Newyork: Springer Publishing Company. Inc
  8. Carver, C.S., Weintraub, J.K. & Scheier, M.F. (1989) Assessing Coping Strategirs: A Theoretically Based Approach. Journal of Personality and Social Psychology
  9. American Psychology Association (APA) (2020) Psychologists’ research offers ways to help families, caregivers and children cope during the pandemic.https://www.apa.org/research/action/children-disabilities-covid-19 

Pendidikan Anak Usia Dini dan Tahap Perkembangan Anak

ArtikelBlog Friday, 10 December 2021

Pendidikan Anak Usia Dini dan Tahap Perkembangan Anak

oleh: Yunita Ch. Yoseph
editor: Resti Fahmi Dahlia

 

Dalam satu dekade, kemunculan lembaga-lembaga pendidikan anak usia dini semakin merebak di Indonesia. Lembaga pendidikan anak usia dini (PAUD) sebagai lembaga pendidikan formal hadir bersama lembaga non formal lainnya yang juga berfokus pada perkembangan anak usia dini seperti kelompok bermain dan tempat penitipan anak. Meningkatnya jumlah sekolah dan peserta didik pada lembaga PAUD belum tentu dibarengi dengan meningkatnya kesadaran akan pentingnya pendidikan anak usia dini pada masyarakat Indonesia. Partisipasi dan persepsi orang tua terhadap lembaga PAUD masih rendah (1) Banyak orang tua yang mendaftarkan anak mereka pada sekolah PAUD karena membutuhkan tempat untuk menitipkan anak tanpa mengevaluasi perkembangan anak mereka  Selain rendahnya partisipasi orang tua, masalah pun muncul dari pihak lembaga-lembaga PAUD di Indonesia.

Penyelenggaraan lembaga PAUD di Indonesia yang mengacu pada kurikulum PAUD 2013 memiliki standar capaian yang meliputi enam aspek, yakni aspek nilai-nilai agama dan moral, fisik motorik, kognitif, bahasa, sosial-emosional dan seni (2). Empat aspek di antaranya sesuai dengan teori perkembangan yang diutarakan oleh Santrock. Pada usia tiga tahun, ukuran otak anak mencapai 95% dari otak dewasa dan pada usia enam tahun, ukuran otak menjadi hampir sama dengan ukuran otak anak tersebut kelak setelah dewasa. Bagian otak yang pesat bertumbuh pada masa ini adalah area lobus frontal yang berfungsi sebagai perencanaan, pengorganisasian dan atensi.

 Sedangkan pada aspek kognitif, anak pada usia ini mulai membentuk konsep, bernalar dan munculnya egosentrisme. Anak-anak dapat membayangkan penampilan objek yang tidak hadir secara fisik. Sedangkan egosentrisme menjelaskan kemampuan anak yang tidak dapat membedakan perspektif dirinya sendiri dan orang lain. Selain egosentrisme, adapula keterbatasan animisme, yakni benda mati seolah-olah memiliki kualitas yang sama dengan benda hidup. Vygotsky menambahkan dalam teorinya bahwa kognitif anak tergantung pada perangkat yang disediakan lingkungan dan pikiran mereka dibentuk oleh konteks kultural (3). Pada aspek bahasa, anak-anak masuk pada masa transisi eksternal kepada internal, yakni penggunaan bahasa untuk berkomunikasi dengan orang lain menjadi  fokus pada pikiran mereka. Yang sering dilakukan anak-anak pada masa ini adalah private speech. Beberapa peneliti menemukan bahwa anak-anak yang menggunakan private speech menjadi lebih perhatian dan meningkat prestasinya dibanding anak-anak yang tidak menggunakan private speech. Pada aspek sosio emosional, anak-anak diijinkan untuk mengekspresikan perasaannya. Salah satu contoh bahwa aspek perkembangan ini tidak terfasilitasi dengan baik yang penulis temui adalah ketika anak laki-laki menangis, pendamping PAUD mengatakan, ‘Ayo laki-laki jangan cengeng’. Ungkapan seperti ini justru tidak mengizinkan anak untuk menjadi jujur dengan perasaannya

Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa pelaksanaan kurikulum yang sudah dikembangkan tidak berjalan semulus yang dibayangkan. Masalah besar yang dihadapi bangsa ini adalah adanya kesenjangan pengetahuan dan pola pikir antara konseptor dan pelaksana. Sebuah penelitian terhadap tingkat pemahaman guru pada kurikulum 2013 pada salah satu kecamatan di Kab. Pamekasan menunjukkan hasil sebagai berikut:

  • Faktor mengingat (C1) sebagian besar berada pada kategori baik yaitu dengan persentase sebesar 94,38%,
  • Faktor menerapkan (C2) sebagian besar berada pada kategori baik yaitu sebesar 85,57%,
  • Faktor mengaplikasikan (C3) mengalami penurunan yaitu sebesar 70,37%  (4).

Masalah-masalah dalam memahami kurikulum akan selalu timbul jika masalah kualitas pendidik tidak diselesaikan, di antaranya guru PAUD yang disyaratkan berlatarbelakang S1 PG PAUD pada kenyataannya masih didominasi dari lulusan SMA sederajat. Untuk meningkatkan profesionalitas, beberapa kegiatan telah dilakukan, seperti Pendidikan dan Latihan Profesi Guru, kendati demikian masih banyak guru yang belum lulus kegiatan ini. Hal ini menunjukkan potret pendidik anak usia dini di Indonesia memang belum baik (5). Padahal tingkat kompetisi guru berhubungan erat dengan kemampuannya melakukan manajemen kelas yang erat kaitannya dengan kualitas pembelajaran (6).  Selain itu, terdapat masalah lain, yakni gaji guru PAUD yang relatif kecil padahal biaya sekolah PAUD relatif mahal.(7) Kualitas tenaga pendidik memang sangat berpengaruh pada kualitas perubahan pendidikan yang diharapkan. Terutama bagi pendidik anak usia dini yang merupakan masa emas perkembangan. Guru PAUD perlu dilatih untuk melakukan manajemen kelas yang baik, di antaranya dengan pendekatan konstruktivis Hal ini tentu juga sebuah harapan bagi perombakan sistem pendidikan nasional agar mulai meninggalkan pendidikan yang berpusat pada kognitif. 

Pola pendidikan konstruktivis mengekspos pelajar pada pengalaman baru dengan menciptakan rasa penasaran atau pertanyaan-pertanyaan yang merupakan bentuk kegelisahan mental yang menantang untuk memahami informasi baru yang dihasilkan pengalaman baru (8). Pola pendekatan ini memfasilitasi aspek-aspek perkembangan anak usia dini(9), antara lain: 1) proses aktif baik secara individu, sosial, mental maupun fisik; 2) proses sosial yang mengakomodasi adanya perbedaan pengetahuan setiap individu; 3) proses kreatif yang dapat datang dari dalam individu maupun dari luar melalui diskusi, argumentasi maupun berbagi interpretasi pengetahuan yang datang dari setting sosial. 

Contoh teknis pembelajaran yang dapat dilakukan untuk mendukung pendekatan ini adalah dengan metode  bermain peran. Bermain peran mengacu pada latihan pengalaman aktif sehingga peserta belajar mengenai etika melalui gambaran potensi keputusan yang harus dibuat. Cara ini dapat meninggalkan kesan yang mendalam dibandingkan dengan pola ceramah searah oleh pendidik dan peserta menerimanya begitu saja, lalu kemudiaan kesempurnaan hapalan materi dianggap sebagai kesuksesan pembelajaran. Anak akan kesulitan merapkan prinsip-prinsip tertentu ketika bertemu dengan situasi baru yang sangat berbeda dengan situasi kelas, atau lebih buruk, anak-anak pun tak dapat memahami prinsip sebuah ilmu pengetahuan, hal inilah yang berkaitan erat dengan tingkat literasi Indonesia yang dilaporkan masih sangat rendah. Buku-buku yang dapat digunakan untuk mendukung pendekatan ini adalah buku-buku bergambar di mana anak dapat memanipulasinya, buku yang menyajikan obyek-obyek dan anak mengenali obyek yang bermakna baginya dan buku dengan tokoh yang dapat mewakili perasaan anak (10). Proses ini akan membawa anak pada pandangannya yang baru setelah melihat dirinya sendiri dan dunia. Melalui konstruktivisme, pendidikan menjadi sarana pemenuhan diri karena memungkinkan individu untuk mengeksplor dirinya sendiri.

Referensi

  1. Nugraheni, S., & Fakhruddin, F. (2014). Persepsi Dan Partisipasi Orang Tua Terhadap Lembaga PAUD Sebagai Tempat Pendidikan Untuk Anak Usia Dini (Studi Pada Orang Tua di Desa Tragung Kecamatan Kandeman Kabupaten Batang). Journal of Nonformal Education and Community Empowerment  3(2), 3739.
  2. ___________ (2018). Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum 2013 Pendidikan Anak Usia Dini. Jakarta: Direktorat Pembinaan Pendidikan Anak Usia Dini. Diakses dari https://banpaudpnf.kemdikbud.go.id/upload/download-center/Buku%20Kerangka %20Dasar_1554107062
  3. Santrock, John. (2012). Life-Span Development Edisi Ketigabelas Jilid I. USA: McGraw Hills.
  4. Noviana, Nisa dan Karim. (2019). Tingkat Pengetahuan Guru Paud Tentang Kurikulum2013. Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran Anak Usia Dini 6 (2), 114–124.
  5. Christianti, Martha. (2012). Profesionalisme Pendidik Anak Usia Dini. Jurnal Pendidikan Anak 1(1), 112-122.
  6. Fatmawati, Eka. (2019). Hubungan Kompetensi Guru PAUD dengan Manajemen Kelas di TK Kelurahan Sokanegara Purwokerto.Skripsi Thesis. IAIN Purwokerto.
  7. Hewi, La dan Muh Shaleh. (2020). Refleksi Hasil PISA (The Programme for International Student Assesment): Upaya Perbaikan Bertumpu pada Pendidikan Anak Usia Dini. Jurnal Golden Age 4(1), 30-41.
  8. Saphira-Lishchinsky. (2015). Simulation-based constructivist approach for education leaders. Educational Management Administration & Leadership 43 (6) 972-988. DOI: 10.1177/1741143214543203
  9. Graffam, Ben. (2003). Constructivism and Understanding: Implementing the Teaching for Understanding Framework. The Journal of Secondary Gifted Education 25 (1), 13-22.
  10. Nurgiyantoro, Burhan. (2005). Tahapan Perkembangan Anak Dan Pemilihan Bacaan Sastra Anak. Cakrawala Pendidikan 2, 197-218.

Mendidik dengan Santun

ArtikelBlog Wednesday, 24 November 2021

Mendidik dengan Santun
oleh: Nur Arifah
editor: Resti Fahmi Dahlia

Photo by August de Richelieu from Pexels

Di Indonesia, masih banyak orang tua yang menggunakan beragam bentuk kekerasan fisik dan psikologis dalam mendidik anak. Survei yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2014 yang mengambil sampel 75 ribu rumah tangga dari seluruh kabupaten/kota di Indonesia menemukan bahwa 23,17% orang tua atau hampir seperempat dari total responden ditemukan menggunakan cara-cara kekerasan fisik dan psikologis dalam mendidik anak mereka (Mardina, 2018). Bentuk kekerasan fisik yang paling banyak ditemui adalah mencubit dan menjewer (30,97%), lalu menampar, memukul dan menendang (4,34%), dan mendorong dan mengguncang badan (3,3%) sedangkan bentuk kekerasan psikologis yang paling banyak dijumpai adalah membentak dan menakuti (41,86%), dan diikuti oleh mengatai dengan panggilan buruk seperti bodoh dan sebagainya (12,44%). 

Mengambil fokus pada anak usia dini, praktik mendidik dengan cara kekerasan juga banyak ditemukan, bahkan di kota pendidikan, Kota Yogyakarta. Penelitian survei oleh Muarifah, dkk (2020) dengan sampel 320 responden dari 3 kecamatan di Kota Yogyakarta menemukan bahwa 46% responden melakukan kekerasan fisik dan 54% responden melakukan kekerasan non-fisik atau verbal terhadap anak mereka yang berusia dini (usia 4-6 tahun). Terkait bentuk kekerasan fisik yang paling banyak dilakukan, hasilnya sama dengan hasil dari survei nasional oleh BPS yaitu mencubit (23%) dan menjewer (21%). Baru kemudian diikuti oleh memukul (13,75%), menampar (6,25%), dan menendang (0,6%). Disamping itu juga terjadi bentuk kekerasan fisik seperti menggigit dan menjambak. Bentuk kekerasan non-fisik yang paling banyak dilakukan adalah memelototi (21%) dan membanding-bandingkan dengan anak lain (15%), sedangnya bentuk kekerasan non-fisik lain yang dilakukan adalah menghardik, memarahi, mengejek, mencibir, dan merendahkan. Lebih lanjut, sebagian besar orang tua diatas beralasan bahwa mereka melakukan hal tersebut untuk mendisiplinkan anak mereka, disamping pandangan bahwa anak telah nakal dan perlu untuk mendapat hukuman (Muarifah, dkk, 2020). 

Bagi sebagian masyarakat, kenyataan bahwa bentuk-bentuk tindakan untuk mendidik atau “mendisiplinkan” anak diatas dapat dikategorikan sebagai bentuk kekerasan mungkin cukup mengejutkan. Hal ini mungkin karena tindakan seperti mencubit dan menjewer masih dianggap lumrah (Laveda & Ramadhan, 2020). Di Kamus Bahasa Jawa – Bahasa Indonesia I (Nardiati, dkk, 1993) ada kata-kata bermakna kekerasan yang menurut penulis kerap terdengar di telinga masyarakat Jawa seperti cethot (cubit), jiwit (cubit), gebug (pukul), dan keplak (tampar). Lantas apa saja tindakan-tindakan yang termasuk kekerasan fisik dan non-fisik (verbal/psikologis/emosional), apa dampak yang ditimbulkan, dan alternatif atau cara mendidik bagaimana yang sebaiknya dilakukan. Tulisan ini berupaya untuk membahas mengenai ketiga hal tersebut.

Pertama mengenai tindakan-tindakan yang termasuk ke dalam tindakan kekerasan terhadap anak. Menurut Kantor Pusat Layanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A), terdapat beberapa jenis kekerasan terhadap anak yaitu kekerasan fisik, kekerasan emosional, kekerasan seksual, pengabaian dan penelantaran, dan kekerasan ekonomi (Mardina, 2018). Artikel ini hanya akan membahas kekerasan fisik dan kekerasan emosional. Disebutkan disana bahwa tindakan yang dapat digolongkan ke dalam jenis kekerasan fisik adalah memukul, menampar, menendang, mencubit, dan sebagainya, sedangkan yang termasuk kekerasan emosional dapat berupa mengancam, menakut-nakuti, menghina, mencaci, dan memaki dengan keras dan kasar. Jenis dan contoh kekerasan tersebut senada dengan yang dinyatakan dalam UN Convention on the Right of the Child and the World Report on Violence and Health oleh World Health Organization 2002 (Mardina, 2018).  Lantas apa dampaknya ketika kekerasan fisik digunakan sebagai cara mendidik anak? American Psychological Association (APA) belum lama mengeluarkan pernyataan kebijakan yang berdasar pada penelitian-penelitian longitudinal yang kuat (Glicksman, 2019). Mereka menyatakan bahwa hukuman fisik tidak efektif digunakan untuk memperbaiki perilaku anak, justru sebaliknya, menjadi risiko tumbuhnya beragam permasalahan emosional, perilaku, dan akademik. Beberapa diantaranya, pertama, memukul anak tidak mengajarkan anak mengenai tanggung jawab, kesadaran diri, dan kontrol diri. Dengan memukul, tidak terjadi proses internalisasi atau pemahaman dalam diri mengapa sesuatu boleh dan tidak diboleh dilakukan. Anak hanya akan berusaha menghindari perilaku yang membuat mereka dipukul ketika ada orang tua saja, namun tetap akan melakukan ketika orang tua tidak ada. Kedua, anak belajar dari melihat orang tuanya. Melihat orang tua menggunakan kekerasan fisik mengajarkan pada anak mengenai penggunaan kekerasan fisik untuk mengatasi konflik kedepannya. Tindakan orang tua justru mendorong anak untuk menjadi agresif. Dalam pernyataan publik lain yang dikeluarkan oleh the American Academy of Pediatric (Sege & Siegel, 2018), penggunaan kekerasan fisik sebagai hukuman dapat meningkatkan agresivitas pada anak usia prasekolah dan usia sekolah, melemahkan hubungan orang tua-anak, dan meningkatkan risiko gangguan kesehatan mental dan permasalahan kognitif anak.

Banyak orang tua yang hanya mengulangi bagaimana mereka dididik dulu dan tidak memahami cara lain yang baik dalam mendidik atau mendisiplinkan anak (Glickman, 2019). Cara alternatif dalam mendidik yang dinyatakan oleh APA (Glickman, 2019), diantaranya melakukan komunikasi yang penuh dengan sikap menghargai anak, berupaya melibatkan anak dalam menyelesaikan permasalahan (kolaboratif), dan orang tua mencontohkan perilaku yang ingin diajarkan pada anak dalam kesehariannya. Salah satu prinsip yang dapat dipegang adalah jangan melakukan sesuatu pada anak, apa yang tidak akan kita lakukan pada orang dewasa.

Selain kurangnya pengetahuan mengenai cara pengasuhan yang baik, kondisi psikologis orang tua juga berpengaruh dalam terjadinya perilaku kekerasan pada anak, seperti gangguan psikologis yang diderita atau pengalaman mengalami hal serupa di masa lalu (Peterson, dkk, 2014) oleh karenanya orang tua dapat berusaha mengakses tenaga profesional seperti psikolog dan psikiater untuk menangani permasalahan psikologisnya sendiri. Diharapkan nantinya ada dampak positif secara tidak langsung pada cara-cara pengasuhannya.

Demikian sedikit uraian mengenai masih maraknya penggunaan cara-cara kekerasan dalam mendidik anak yang terjadi di masyarakat, apa saja yang sebenarnya masuk dalam perilaku kekerasan kepada anak, dampak yang ditimbulkan, serta alternatif pengasuhan yang sebaiknya diambil. Harapannya orang tua yang masih menggunakan cara-cara tersebut berhenti untuk melakukannya dan mulai berusaha mengupayakan cara pengasuhan yang baik seperti menambah pengetahuan pengasuhan dengan membaca buku, mendengarkan podcast, menonton video, mengikuti seminar, atau berdiskusi dengan para ahli. Disamping itu, orang tua yang masih sangat kesulitan dalam mengupayakan pengasuhan yang baik karena masih memiliki permasalahan psikologisnya sendiri dapat mencari bantuan tenaga profesional seperti psikolog atau psikiater.

Referensi

Glicksman, E. (2019, Mei 05). Physical disipline is harmful and ineffective : A new APA resolution cites evidence that physical punishment can cause lasting harm for children. American Psychological Association. https://www.apa.org/monitor/2019/05/physical-discipline

Laveda, M., & Ramadhan, B. (2020, Juli 24. Orang Tua Mencubit dan Menjewer Anak Masih Dianggap Biasa. Republika.co.id. https://www.republika.co.id/berita/qdycay330/orang-tua-mencubit-dan-menjewer-anak-masih-dianggap-biasa

Mardina, R. (2018). Kekerasan terhadap Anak dan Remaja. Pusat Data dan Kesehatan Kementrian RI

Muarifah, A., Wati, D.E., & Puspitasari, I. (2020). Identifikasi Bentuk dan Dampak Kekerasan Pada Anak Usia Dini di Kota Yogyakarta. Jurnal Obsesi: Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, 4(2),757-765

Peterson, A.C., Joseph, J., & Feit, M. (2014). New Direction in Child Abuse and Neglect Research. National Academy of Science

Nardiati, S., Suwadji., Sukardi., Pardi., & Suwanto, E. (1993). Kamus Bahasa Jawa – Bahasa Indonesia I. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. http://repositori.kemdikbud.go.id/2885/1/kamus%20bahasa%20jawa%20-%20bahasa%20indonesia%20I%20%20469ha.pdf

Sege, R.D & Siegel, B.S (2018). Effective Discipline to Raise Healthy Children. Pediatrics, 142(6). https://doi.org/10.1542/peds.2018-3112

1…34567

Recent Posts

  • Petak Umpet: Permainan Tradisional yang dapat Membangun Keterampilan Sosioemosional Anak Usia Dini
  • Mendidik Anak dengan Bahasa Cinta
  • Eco-Conscious Parenting: Menumbuhkan Praktik Berkelanjutan pada Perkembangan Anak
  • Memahami Pendidikan untuk Pembangunan Berkelanjutan di Kedai Kopi
  • Membangun Kembali Kegembiraan: Pentingnya Bermain Bagi Kesejahteraan Mental Bagi Masyarakat
Universitas Gadjah Mada

Center for Life-Span Development (CLSD)
D-602, Fakultas Psikologi, Universitas Gadjah Mada
Jalan Sosio Humaniora Bulaksumur, Yogyakarta, Indonesia 55281
clsd.psikologi@ugm.ac.id

© Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY

[EN] We use cookies to help our viewer get the best experience on our website. -- [ID] Kami menggunakan cookie untuk membantu pengunjung kami mendapatkan pengalaman terbaik di situs web kami.I Agree / Saya Setuju