Kurnia Yohana Yulianti, S.Psi., M.Sc. dan Acintya Ratna Priwati, S.Psi., M.A. yang merupakan peneliti dari Center for Life-Span Development (CLSD) berkolaborasi dengan Center for Digital Society (CfDS) melakukan riset berjudul: Fenomena Cyberbullying pada Remaja di Indonesia (Teenager-Related Cyberbullying Case in Indonesia) yang berlangsung dari tahun 2020 hingga pertengahan tahun 2021.
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh fenomena penggunaan media sosial yang kini telah menjadi bagian integral kehidupan sehari-hari terlebih pada generasi muda. Bagi mereka, media sosial menjadi sarana yang tepat untuk mengekspresikan perasaan, bersosialisasi dengan teman sebaya, dan mengeksplorasi identitas pribadi tanpa harus melakukan interaksi tatap muka. Namun, terdapat bahaya cyberbullying yang mengintai anak-anak muda di media sosial. Pada tahun 2016, KPAI mencatat 904 kasus bullying online terhadap anak di bawah umur. Selain itu, sebuah survei pada 495 murid SMA di Yogyakarta juga menemukan bahwa sebanyak 80% responden telah mengalami cyber victimization (Safaria dkk., 2016).
Cyberbullying yang didefinisikan sebagai kerugian yang disengaja dan berulang yang ditimbulkan melalui komputer, ponsel, dan perangkat elektronik lainnya (Patchin & HInduja, 2015) berusaha diteliti melalui perspektif psikologis dan sosiologis dalam penelitian ini. Pada perspektif psikologis, digunakan Theory of Planned Behavior yang telah banyak dilibatkan dalam memahami isu cyberbullying pada remaja. Di samping itu, peneliti juga menilik dua faktor normatif pribadi (extended) yang dapat mempengaruhi intensi perilaku individu serta proses pengambilan keputusan, norma-norma moral, serta anticipated regret. Melalui perspektif sosiologis, penelitian ini berusaha menjelaskan bagaimana ketidakseimbangan kekuasaan (power imbalances) dapat berkontribusi dalam berkembangnya praktik cyberbullying di antara remaja. Dengan begitu, penelitian ini berusaha meneliti peran media sosial dalam fenomena cyberbullying pada remaja di Indonesia.
Disesuaikan dengan tujuan penelitian, peneliti menggunakan metode pendekatan campuran. Pengumpulan data dilakukan melalui survei, focus group discussion (FGD), dan wawancara. Survei nasional dilakukan pada 34 provinsi di Indonesia untuk mengumpulkan data kuantitatif mengenai perspektif dan pengalaman remaja Indonesia tentang cyberbullying. Sampel dipilih berdasarkan stratified random sampling untuk memastikan representasi remaja di seluruh Indonesia. Sesi wawancara melibatkan 6 pasangan orangtua dari remaja berusia 13-18 tahun. Sementara itu, sesi FGD melibatkan partisipan dari SMA 1 Bantul, SMP 2 Lendah, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kementerian Pendidikan, Komisi Perlindungan Anak, Clerry Cleffy Institute, dan SEJIWA Foundation.
Berdasarkan data yang didapat, sejumlah 3077 partisipan memenuhi kriteria dan merespon kuesioner. Secara keseluruhan, 1182 partisipan atau 38.41% mengaku sebagai cyber-offender dan 45.35% merupakan cyber-victims. Pelaku siber menggunakan tiga platform media sosial terbanyak masing-masing di WhatsApp, Instagram, dan Facebook. Pelaku melakukan cyberbullying dalam bentuk perilaku merendahkan (menyebarkan gosip dan rumor), dan mengucilkan (mengisolasi orang lain dari grup yang diikuti di platform online). Dengan membandingkan tingkat pendidikan peserta, ditemukan bahwa lebih banyak siswa sekolah menengah yang terlibat dalam pencemaran nama baik dan pengucilan. Data tersebut juga menunjukkan bahwa partisipan pria lebih banyak terlibat dalam cyberbullying melalui pelecehan dan pengucilan dan partisipan perempuan lebih banyak terlibat dalam perilaku pencemaran nama baik. Sedangkan secara kualitatif, survei menunjukkan bahwa cyberbullying merupakan fenomena umum di kalangan remaja Indonesia. Tidak hanya rentan menjadi korban, remaja juga bisa menjadi pelaku cyberbullying.
Adapun terkait strategi dan intervensi, berdasarkan penelitian kami, diperoleh pendekatan alternatif untuk mengatasi cyberbullying di kalangan anak muda Indonesia, yaitu program anti-cyberbullying dengan menggunakan TPB sebagai kerangka teoritisnya. Program ini berfokus pada determinan niat dan perilaku cyberbullying yang terkait dengan faktor internal (yaitu sikap, keyakinan, dan kontrol perilaku yang dirasakan) dan faktor eksternal (yaitu bagaimana orang lain menanggapi perilaku tersebut).
Secara praktis, kerangka TPB dapat diimplementasikan melalui strategi berikut:
- Memberikan dan mensosialisasikan informasi yang relevan tentang pengertian cyberbullying sesuai konteks Indonesia.
- Memberikan pengetahuan dan kesadaran tentang akibat negatif dari perilaku terkait.
- Pemberdayaan dan pelatihan bagi orang tua dan guru sekolah atau konselor tentang pelaksanaan program TPB.
- Memberikan koordinasi yang lebih komprehensif antar pemangku kepentingan untuk memperkuat sistem perlindungan di ruang online, terutama untuk anak-anak.
- Meningkatkan kerja kolaboratif antar pemangku kepentingan, baik di tingkat nasional dan lokal, tentang tindakan pencegahan.
(sumber foto: RODNAE Productions from Pexels)
Penelitian ini merupakan salah satu upaya paling awal dan komprehensif untuk memahami cyberbullying remaja di Indonesia. Oleh karena itu, penelitian ini berkontribusi untuk membangun pengetahuan tentang fenomena cyberbullying remaja di tanah air. Hal ini dilakukan dengan menjangkau sejumlah besar responden pelajar remaja di seluruh penjuru Indonesia. Selanjutnya, penelitian ini secara ekstensif menjelaskan cyberbullying remaja dengan menganalisis faktor psikologis dan sosiologis. Para peneliti menganalisis Perspektif Psikologis (TPB) dan menyelidiki dua faktor normatif pribadi yang diperluas yang mempengaruhi niat perilaku individu dan proses pengambilan keputusan, norma moral, dan penyesalan yang diantisipasi. Dalam arti yang lebih luas di mana lingkungan sosiologis menjadi penentu aktif fenomena tersebut, peneliti juga menemukan bahwa ketidakseimbangan kekuatan dapat berkontribusi pada menjamurnya praktik cyberbullying di kalangan remaja.
Masih banyak peluang untuk menganalisis data-data tersebut secara lebih rinci. Sebagai contoh, data tersebut dapat digali untuk mengkonstruksi perspektif dan definisi masyarakat Indonesia tentang cyberbullying, seperti definisi cyberbullying dalam bahasa Indonesia masih belum jelas. Selain itu, peneliti menemukan bahwa ada beberapa definisi cyberbullying yang tidak sesuai dengan yang diidentifikasi dalam penelitian yang ada, dibandingkan dengan apa yang ditemukan di lapangan. Dengan demikian, beberapa tindakan dapat diidentifikasi sebagai cyberbullying dalam literatur, sementara tidak mungkin terjadi dalam konteks Indonesia, dan sebaliknya.
Studi ini, mungkin, dapat menganalisis secara intensif mengapa beberapa daerah memiliki kasus cyberbullying yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang lain. Selain itu, penelitian ini juga dapat mencakup mengapa kasus cyberbullying di beberapa platform ditemukan lebih tinggi daripada yang lain. Terakhir, hasil penelitian ini dapat dianalisis lebih lanjut untuk mengidentifikasi rekomendasi kebijakan.
Sumber: #35 CfDS Digitimes – Teenager Related Cyberbullying Case in Indonesia ugm.id/cfdsdigitimes
(SRP & SNH/CLSD)