Ditulis oleh: Sukmo Bayu Suryo Buwono
Segala perbuatan yang ditujukan untuk mengungkapkan kepedulian, memberi manfaat, atau menjaga hubungan yang harmonis dengan orang lain dapat diklasifikasikan sebagai perilaku prososial. Beberapa bentuk umum dari perilaku prososial adalah seperti perilaku menolong, membantu, berbagi, bekerja sama, dan menghibur orang lain yang sedang bersedih.
Kemampuan berempati dan karakter prososial seseorang terus berkembang seiring bertambahnya usia. Faktor lingkungan, dalam hal ini dengan siapa dan bagaimana ia bersosialisasi sehari-hari, memiliki pengaruh yang sangat besar dalam pembentukan karakter prososial seseorang. Saking berpengaruhnya, hal tersebut sampai-sampai dapat menentukan bentuk trajektori perkembangannya: apakah meningkat atau menurun.
Masa paling krusial untuk membentuk karakter prososial seseorang adalah di fase kanak-kanak. Jika seseorang berhasil menumbuhkan kualitas prososial yang baik di masa ini, sangat mungkin ketika dewasa ia juga akan memiliki kualitas prososial yang baik. Sebaliknya jika seorang anak memiliki karakter prososial yang kurang baik, maka hal ini berisiko mendorong orang tersebut untuk mengadopsi kepribadian yang bersifat antisosial di masa mendatang.
Agar perkembangan karakter prososial dapat dioptimalkan, orang tua perlu peka dalam mencermati tahapan perkembangan kualitas perilaku prososial anak. Di bawah ini kami merangkum lima tahapan perkembangan kualitas perilaku prososial yang dirumuskan oleh Nancy Eisenberg, seorang ahli di bidang perkembangan prososial. Dengan memahami tahapan berikut, diharapkan orang tua dapat terbantu dalam memonitor milestone perkembangan perilaku prososial buah hatinya.
Tahap 1 – Berorientasi pada kepentingan pribadi. Anak-anak yang berada di tahapan ini masih berorientasi pada keuntungan protektif yang mungkin didapatnya dari lingkungan sosial jika ia berbuat baik kepada orang lain. Oleh karena itu, pada tahap ini alasan anak untuk berbuat baik tidak murni didasari rasa kepedulian, tetapi lebih kepada menghindari konsekuensi negatif jika ia tidak berbuat baik. Salah satu contohnya seperti anak yang menata kembali mainannya setelah bermain karena takut dimarahi oleh orang tuanya. Kualitas prososial seperti ini ditemukan pada anak usia pra-sekolah dan sebagian kecil anak usia awal sekolah dasar.
Tahap 2 – Berorientasi pada kebutuhan. Anak-anak yang berada di tahap ini mulai menunjukkan kemampuan dalam mengekspresikan kepeduliannya terhadap kebutuhan orang lain sekalipun kebutuhan tersebut tidak sejalan dengan kepentingan pribadinya. Meski demikian, wujud kepedulian yang ditunjukkan masih bersifat sederhana dan tidak mengandung proses reflektif. Artinya, anak hanya sebatas merespon sinyal ketika orang lain membutuhkan bantuan tanpa bisa mengungkapkan ekspresi simpati secara verbal ataupun membayangkan jika dirinya berada di posisi tersebut. Kualitas prososial seperti ini ditemukan pada mayoritas anak usia pra-sekolah dan sebagian besar anak usia sekolah dasar.
Tahap 3 – Berorientasi pada penilaian orang lain dan stereotip sebagai anak baik. Dalam melakukan perbuatan baik, anak-anak yang berada di tahap ini cenderung memaknainya sebagai upaya agar dapat diterima oleh orang-orang di sekelilingnya dan sekaligus dipandang sebagai orang yang baik. Salah satu contohnya seperti anak yang mengajukan diri untuk membantu Bu Guru membersihkan papan tulis seusai pelajaran agar mendapat penilaian yang baik dari guru dan juga teman-temannya. Kualitas prososial ini ditemukan pada sebagian anak usia sekolah dasar dan sebagian kecil anak usia sekolah menengah.
Tahap 4a – Munculnya kemampuan reflektif dan empati. Pada tahap ini, pertimbangan anak untuk berbuat baik sudah jauh lebih kompleks. Perbuatan baik yang mereka lakukan telah melibatkan proses empati, pertimbangan atas prinsip-prinsip kemanusiaan, dan antisipasi terhadap emosi yang mungkin akan mereka rasakan jika memutuskan untuk menolong atau tidak menolong orang yang membutuhkan bantuan. Sebagai contoh, anak yang berada di tahap ini mungkin akan menyumbangkan uang jajannya dalam kegiatan pengumpulan donasi untuk korban bencana karena ia tergerak secara emosi dan dapat membayangkan dirinya berada di situasi tersebut. Ia mungkin juga merasa bahwa dirinya akan menyesal jika saja tidak ikut berdonasi. Kualitas prososial seperti ini dijumpai pada sebagian kecil siswa sekolah dasar di tahun akhir dan mayoritas siswa di sekolah menengah.
Tahap 4b – Tahapan transisi. Pada tahap ini, pengambilan keputusan anak untuk menolong atau tidak menolong orang lain didasari atas pertimbangan yang panjang, yang melibatkan nilai-nilai moralitas yang dianutnya, norma dan tanggung jawab sosial, serta dorongan untuk mengubah kondisi masyarakat menjadi lebih baik. Salah satu contohnya seperti anak yang menolak memberikan contekan kepada temannya saat ujian karena baginya hal tersebut menyalahi nilai-nilai kejujuran. Dalam kasus ini, meskipun anak tersebut menolak untuk menolong temannya, namun keputusannya itu dilandasi oleh kesadarannya atas nilai moral dan tanggung jawab sosial yang dia miliki sebagai pelajar. Kualitas prososial seperti ini ditemukan pada sebagian kecil siswa sekolah menengah dan mereka yang berasal dari kelompok usia yang lebih tua lagi.
Tahap 5 – Berorientasi pada nilai-nilai moral yang telah terinternalisasi dalam diri. Pada tahap ini, pertimbangan anak untuk melakukan atau tidak melakukan perilaku prososial dipengaruhi oleh berbagai prinsip sebagaimana yang telah disebutkan pada Tahap 4b. Hanya saja pada tahap ini, prinsip-prinsip tersebut telah terinternalisasi secara lebih jauh ke dalam kepribadian anak tersebut. Tahap ini umumnya ditemukan pada sebagian kecil siswa di sekolah menengah dan tidak pernah ditemukan pada anak usia sekolah dasar.