• Home
  • About Us
    • Managing Team
    • Researchers
    • Interns
  • Articles
  • Courses
  • Activities
    • CLSD Reader’s Club
    • Research of Baby Screening
    • COMPRE Class
    • Summer Course
    • Photovoice
    • SAELA
  • Research & Publication
Universitas Gadjah Mada Center for Life-Span Development (CLSD)
Faculty of Psychology
Universitas Gadjah Mada
  • Home
  • About Us
    • Managing Team
    • Researchers
    • Interns
  • Articles
  • Courses
  • Activities
    • CLSD Reader’s Club
    • Research of Baby Screening
    • COMPRE Class
    • Summer Course
    • Photovoice
    • SAELA
  • Research & Publication
  • Beranda
  • Blog
Arsip:

Blog

Pentingnya Kecerdasan Emosional bagi Remaja

ArtikelArtikelBlog Wednesday, 28 September 2022

Penulis: Erythrina Sekar Rani

Penyunting: Arum Febriani

 

Masa remaja merupakan salah satu tahapan perkembangan yang sangat penting. Menurut Erikson, pada masa remaja seseorang menghadapi krisis mencari identitas diri sehingga di akhir masa ini seseorang diharapkan dapat menemukan identitas dirinya (Feist & Feist, 2010). Di sisi lain, pada masa remaja, seseorang cenderung memiliki egosentrisme yang tinggi. Karakteristik egosentrisme inilah yang membuat remaja merasa tertantang untuk melakukan perilaku yang secara tidak sadar dapat membahayakan diri mereka sendiri (Albert, Elkind, & Ginsberg, 2007). Perilaku membahayakan diri dan orang lain yang banyak dilakukan oleh remaja antara lain aksi tawuran, bullying, minum-minuman beralkohol, menggunakan obat-obatan terlarang, atau seks bebas.

Egosentrisme adalah ketidakmampuan membedakan sudut pandang diri sendiri dan sudut pandang orang lain (Santrock, 2011). Menurut David Elkin (dalam Santrock, 2011), ada dua kunci utama dalam egosentrisme remaja yaitu imaginary audience dan personal fabel. Lebih lanjut, dijelaskan bahwa imaginary audience adalah ciri khas remaja yang merasa menjadi pusat perhatian, merasa orang lain tertarik pada sesuatu (sama seperti dirinya), dan biasanya muncul perilaku mencari perhatian. Contohnya, saat berkendara atau berjalan, remaja merasa orang-orang di sekitar memperhatikan mereka. Tidak jarang ada pula remaja yang berperilaku tertentu bertujuan untuk menarik perhatian orang di sekitar. Sementara, personal fabel adalah ciri khas remaja merasa dirinya unik, merasa tidak ada yang memahami, dan merasa dirinya kebal atau tidak terkalahkan. Penelitian yang dilakukan oleh Azhari, Dahlan, dan Mustofa (2019) pada 395 remaja berusia 13-18 tahun yang bersekolah di SMP dan SMA di Kota Bandung menunjukkan bahwa imaginary audience dan personal fabel dapat mempengaruhi perilaku agresi pada remaja.

Tingginya agresi pada remaja ternyata terkait erat dengan rendahnya kecerdasan emosional yang dimiliki. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Siu (2009) di Cina, tingginya perilaku depresi, cemas, stres, agresi, dan kenakalan remaja berhubungan dengan rendahnya kecerdasan emosional yang dimiliki. Hasil serupa juga diperoleh oleh Moskat dan Sorenson (2012) dalam penelitiannya pada remaja usia 12-17 tahun di Washington, tingginya agresivitas berhubungan dengan rendahnya kecerdasan emosional pada remaja. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Kawamoto, Kubota, Sakakibara, Muto, Tonegawa, Komatsu, dan Endo (2021) pada anak dan remaja di Jepang, ditemukan bahwa semakin tinggi kecerdasan emosional pada anak/remaja maka permasalahan mereka dengan teman sebaya dan kesulitan lain yang dihadapi cenderung semakin rendah, serta perilaku prososial (tolong-menolong) cenderung tinggi. Penelitian lain yang dilakukan oleh Masithah, Soedirham, dan Triyoga (2019) pada mahasiswa berusia 18-24 tahun di Indonesia juga menunjukkan bahwa kecerdasan emosional mempengaruhi kontrol perilaku seseorang, pada penelitian ini mempengaruhi pada intensi untuk berhenti merokok. Mengacu pada beberapa hasil penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa diperlukan kecerdasan emosional yang tinggi bagi remaja untuk membantu mereka mengelola emosi dan mengurangi perilaku yang dapat membahayakan diri sendiri maupun orang lain.

Kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang dalam mengelola diri, seperti kemampuan: memotivasi diri, bertahan terhadap stres, mengelola emosi, bersosialisasi, dan hubungannya dengan Tuhan (Goleman, 2009). Orang yang memiliki kecerdasan emosional yang tinggi akan cenderung memiliki kemampuan emosional yang lebih bisa membantu menghadapi permasalahan sehari-hari dan cenderung tidak merugikan diri sendiri maupun orang lain. Cerdas secara akademis saja ternyata tidak cukup untuk seseorang bisa mengontrol diri dan bersosialisasi dengan lingkungan, dibutuhkan kecerdasan emosional untuk menyeimbangkannya.

Kecerdasan emosional dipengaruhi oleh beberapa faktor, terutama faktor eksternal, yaitu:

  1. Keluarga
    Keluarga merupakan tempat pertama kali bagi anak dalam mempelajari kecerdasan emosional, salah satunya melalui interaksi dengan orangtua. Orangtua dapat membantu anak mengenali emosi, memberi label pada emosi, menghargai emosi yang dirasakan, dan menempatkan emosi pada situasi sosial yang relevan (Mayer & Salovey, 1997). Anak memiliki kecenderungan meniru perilaku orang dewasa, termasuk saat mengekspresikan emosi. Oleh karena itu, perlu bagi kita sebagai anggota keluarga untuk sama-sama saling mengenali dan menghargai emosi satu sama lain, serta mengekspresikan emosi dengan cara yang tepat (tidak merugikan diri dan anggota keluarga lain) agar hubungan dalam keluarga bisa terjalin dengan nyaman dan terbuka.
  2. Lingkungan (teman sebaya, pendidikan, dan budaya)
    Baik kita sadari maupun tidak, lingkungan turut berperan dalam kecerdasan emosional kita dan hal ini dapat dimanfaatkan untuk memaksimalkan perkembangan sosioemosional anak sehingga dapat memiliki kecerdasan emosional yang tinggi. Contohnya dapat kita temui pada saat kita berinteraksi dengan teman, guru, ataupun tetangga sebelah rumah kita. Ada proses pembelajaran baik dari segi budaya ataupun kebiasaan yang kita ambil dari interaksi tersebut.

Kecerdasan emosional bukan sesuatu yang diturunkan, melainkan dapat dilatih atau dipelajari dari lingkungan (Saphiro, 2003). Berikut, tips-tips yang bisa dilakukan remaja untuk meningkatkan kecerdasan emosional:

  1. Menyadari dan mengenali emosi yang dirasakan tanpa memberikan penghakiman terhadap perasaan itu. Tidak apa-apa jika merasa sedih, marah, kecewa, takut, cemas, atau emosi yang lainnya.
  2. Mengelola emosi yang dirasakan dan mengekspresikan dengan cara yang sesuai (tidak menyakiti diri dan orang lain). Mengapa emosi perlu dikelola atau diekspresikan? Ketika emosi dipendam terus menerus, hal ini cenderung membuat kita merasa tidak nyaman, sesak, atau bisa meledak pada waktu tertentu. Oleh karena itu, perlu untuk mengekspresikannya dengan cara yang sesuai dengan diri kita. Prinsipnya berusaha tidak menyakiti diri dan orang lain. Misalnya: bercerita kepada orang yang dipercaya, menuliskan jurnal, melakukan meditasi atau relaksasi, mendengarkan lagu, berolahraga, menonton film, bernyanyi, atau yang lainnya.
  3. Mengomunikasikan secara asertif kebutuhan, keinginan, ataupun aspirasi diri. Komunikasi asertif adalah komunikasi yang dilakukan dengan cara yang baik, saling menghormati dan menghargai dengan lawan bicara, menyampaikan pesan dengan jelas (tidak ambigu), memberikan kesempatan kepada lawan bicara untuk menanggapi pembicaraan, dan tidak memaksakan lawan bicara harus sesuai dengan yang kita harapkan sehingga komunikasi dua arah bisa terjalin. Komunikasi asertif dapat dilakukan untuk memediasi ketika kita memiliki permasalahan dengan orang lain atau saat memiliki pesan yang ingin disampaikan kepada orang lain. Jika merasa masih kesulitan, bisa coba untuk tenangkan dan siapkan diri terlebih dahulu ya. Bisa mencoba dengan relaksasi atau menuliskan pesan yang akan disampaikan.
  4. Mengikuti kegiatan positif untuk mengasah potensi diri. Mengisi waktu luang dengan kegiatan positif, seperti: olahraga, kesenian, sosial, keagamaan atau kegiatan lainnya.
  5. Jika merasa menghadapi permasalahan yang tidak dapat diselesaikan sendiri dan mengganggu keberfungsian sehari-hari, bisa untuk mengikuti konseling dengan psikolog atau psikiater.
  6. Terakhir, untuk orang dewasa atau keluarga, kita bisa turut berperan dalam membangun suasana positif bagi peningkatan kecerdasan emosional remaja, seperti: menjadi pendengar yang baik layaknya teman bagi mereka (berempati), memberikan dukungan emosional, dan mengarahkan potensi remaja dalam hal yang positif.

Selamat mencoba! Semoga bermanfaat! 🙂

Referensi:

Alberts, A., Elkind, D., & Ginsberg, S. (2007). The personal fable and risk taking in early adolescence. Journal of Youth Adolescence, 36, 71-76. https://link.springer.com/article/10.1007/s10964-006-9144-4
Azhari, S. M., Dahlan, T. H., & Mustofa. M. A. (2019). Imaginary audience, personal fable, dan perilaku agresi remaja. Jurnal Psikologi Insight, 3(2), 32-42.
Feist, J., & Feist, G. J. (2010). Teori kepribadian terjemahan (7th ed., Vol. 1). Salemba Humanika.
Goleman, D. (2009). Emotional intelligence: Kecerdasan emosional mengapa EI lebih penting daripada IQ. PT Gramedia Pustaka Utama.
Kawamoto, T., Kubota, A. K., Sakakibara, R., Muto, S., Tonegawa, A., Komatsu, & S., Endo, T. (2021). The general factor of personality (GFP), trait emotional intelligence, and problem behaviors in Japanese teens. Personality and Individual Differences, 171, 1-7. https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S0191886920306711
Masithah, D., Soedirham, O., & Triyoga, R. S. (2019). The influence of emotional and spiritual intelligence on smoking cessation intention in college student. Indian Journal of Public Health Research & Development, 10(12), 1651-1655.
Mayer, J. D., & Salovey, P. (1997). What is emotional intelligence? In P. Salovey, & D. J. Sluyter (Eds.), Emotional development and emotional intelligence: Educational implications. Basic Books.
Moskat, H. J., & Sorenson, K. M. (2012). Let’s Talk about feelings: Emotional intelligence and aggression predict juvenile offense [Thesis, Whitman College]. Penrose Library. http://hdl.handle.net/10349/1169
Santrock, J. W. (2011). Life-span development (13th Ed). Mc Graw Hill.
Saphiro, L. E. (2003). Mengajarkan emotional intelligence pada anak. PT Gramedia Pustaka Utama.
Siu, A. F. (2009). Trait emotional intelligence and its relationships with problem behavior in Hong Kong adolescents. Personality and Individual Differences, 47(6), 553-557.

Kapan orang tua perlu berhenti kepo dengan aktivitas berinternet anaknya? Sebuah pelajaran dari studi tentang cyberbullying pada remaja dan emerging adults

ArtikelArtikelBlog Monday, 5 September 2022

Penulis: S. B. Suryo Buwono

Penyunting: Arum Febriani

 

Internet adalah bagian penting dan tak terelakkan dari kehidupan manusia zaman sekarang. Implikasi dari maraknya penggunaan internet dan berbagai platform komunikasi yang dimediasi komputer, seperti sosial media dan aplikasi pesan instan, adalah munculnya online disinhibition effect. Online disinhibition effect adalah perubahan tingkah laku komunikan yang menjadi lebih terbuka, longgar, dan merasa tanpa kekangan (Suler, 2004). Efek ini muncul secara natural dalam ruang maya karena sifat interaksi di platform ini mendorong penggunanya mengembangkan persepsi anonimitas, asinkronitas, dan minim tanggung jawab langsung atas perilaku.

Dampak dari efek ini bak pisau bermata dua: di satu sisi, memfasilitasi pengguna untuk dapat mengungkapkan dirinya, saling berbagi emosi positif, dan membantu sesama dengan skala yang luas (contohnya seperti menginisiasi crowdfunding); di sisi lain, dengan lunturnya identitas individu dan terminimalisasinya konsekuensi perilaku, banyak pengguna menjadi lebih terdorong untuk berkata kasar, mengumbar kemarahan dan kebencian, dan bahkan secara sengaja berperilaku agresif terhadap orang lain. Dalam istilah yang lebih populer, perilaku agresif secara online yang dilakukan secara sengaja dan berulang diistilahkan sebagai cyberbullying (Patchin & Hinduja, 2015).

Cyberbullying telah meluas dan mudah dijumpai dalam interaksi sehari-hari di jagad maya. Cyberbullying dapat dilakukan oleh dan kepada siapapun yang merupakan pengguna aktif internet. Baik anak-anak, remaja, dewasa, dan lansia dapat menjadi pelaku maupun korban cyberbullying. Selain berdampak serius secara psikologis bagi korban, hal yang tidak kalah mengkhawatirkan dari fenomena cyberbullying adalah potensinya untuk menciptakan siklus kekerasan. Beragam studi telah menemukan bahwa pengalaman menjadi korban (cyber-victimization) berperan sebagai salah satu prediktor utama dari perilaku cyberbullying (e.g., Kowalski et al., 2014; Wong et al., 2014); dengan kata lain, mereka yang sebelumnya merupakan korban berisiko tinggi untuk menjadi pelaku cyberbullying di kemudian hari.

Dalam konteks pengasuhan, secara intuitif umumnya orang tua (atau figur pengasuh) berusaha memproteksi anaknya dari dampak negatif berinternet dengan bersikap kepo dan melakukan pengawasan. Secara empiris, berbagai studi di dunia barat menemukan bahwa “kekepoan” atau keingintahuan orang tua terhadap aktivitas berinternet anak mampu berperan sebagai faktor protektif dan melemahkan hubungan pengalaman sebagai korban dengan perilaku cyberbullying (Hood & Duffy, 2018; Kowalski et al., 2014).

Pertanyaannya, sejauh mana temuan tersebut berlaku di Indonesia? Hingga usia berapakah “kekepoan” orang tua terhadap aktivitas berinternet anak efektif berperan sebagai faktor protektif?

 

Temuan studi pada sampel remaja awal, remaja akhir, dan emerging adults di Indonesia

Gambar 1-3 merangkum temuan rangkaian studi yang dilakukan oleh Center for Lifespan Development (CLSD, 2020) terhadap 1891 remaja awal (13-15 tahun) dan 1212 remaja akhir (16-18 tahun); dan Buwono (2021) terhadap 122 emerging adults (18-29 tahun). Hasil menunjukkan bahwa efektivitas parental monitoring—upaya orang tua untuk mengawasi dan memahami aktivitas berinternet anaknya—dalam melemahkan potensi risiko korban untuk menjadi pelaku cyberbullying hanya berlaku pada remaja awal. Pada remaja akhir, tingginya parental monitoring tidak menentukan kuat lemahnya hubungan antara pengalaman viktimisasi dengan perilaku cyberbullying. Sebaliknya, pada emerging adults, tingginya skor parental monitoring justru memperkuat hubungan kausal positif antara pengalaman mahasiswa sebagai korban dengan perilaku cyberbullying—alih-alih melemahkannya.

Kesimpulannya, efek positif dari parental monitoring tidak universal di semua kelompok usia. Seiring bertambahnya usia anak, “kekepoan” dan kontrol orang tua terhadap aktivitas internet anak justru akan berbalik menjadi bumerang dan menghadirkan efek negatif.

Gambar 1. Tingginya parental monitoring melemahkan hubungan viktimisasi-cyberbullying pada remaja awal (CLSD, 2020).
Gambar 2. Tingginya parental monitoring tidak berkaitan dengan hubungan viktimisasi-cyberbullying pada remaja akhir (CLSD, 2020).
Gambar 3. Tingginya parental monitoring memperkuat hubungan viktimisasi-cyberbullying pada emerging adults (Buwono, 2021).

 

Pembahasan

Hasil studi yang dilakukan Albert dan koleganya (2005) menemukan bahwa karakteristik umum orang tua di Indonesia menyukai kontrol dan selalu ingin tahu dengan apa yang dilakukan anak. Oleh karena itu, dalam budaya pengasuhan di Indonesia sangat wajar ditemukan anak yang hingga usia dewasa masih tinggal bersama orang tua, sebab dependensi dan kepatuhan anak terkadang justru dianggap desirable.

Meski demikian, secara psikologis, proses transisi dari fase remaja ke fase emerging adulthood mendorong anak untuk mengembangkan aspirasi yang tinggi untuk mandiri (Jensen et al., 2004). Akibatnya, monitoring terhadap aktivitas berinternet yang dilakukan oleh orang tua justru akan dipersepsikan sebagai tindakan pengekangan dan hambatan untuk meraih kemandirian.

Alih-alih berperan sebagai buffer, “kekepoan” orang tua justru menghadirkan ketegangan bagi mereka yang berada di fase emerging adulthood. Berdasarkan pandangan General Strain Theory (Agnew, 1992, 2001), ketegangan yang dialami seseorang, terutama yang disebabkan oleh hal-hal yang dianggap tidak adil atau merugikan, mendorong munculnya emosi-emosi negatif seperti frustrasi, amarah, cemas, atau depresi. Menurut Agnew, manusia secara aktif akan mencari cara untuk mereduksi ketegangan dan emosi negatif yang membuat ketidaknyamanan dalam hidupnya; salah satunya dengan berlaku agresif. Oleh karena itu, dalam hal ini, “kekepoan” orang tua adalah komorbid ketegangan yang mengamplifikasi efek ketegangan utama yang bersumber dari pengalaman viktimisasi; menjadikan emerging adults yang dulunya korban menjadi lebih berisiko untuk melakukan cyberbullying di kemudian hari.

 

Saran

Sangat dapat dipahami bahwa “kekepoan” orang tua terhadap aktivitas berinternet anak merupakan ungkapan kepedulian orang tua kepada anak. Meski demikian, orang tua perlu lebih peka untuk menyesuaikan pendekatan pengasuhannya dengan tahapan perkembangan anak. Sebab, tidak ada strategi pengasuhan yang bersifat one-size-fits-all (satu untuk semua). Sebaik-baiknya pengasuhan adalah pengasuhan yang sesuai dengan milestone perkembangan anak.

Seiring bertambahnya usia anak, sedikit demi sedikit kontrol terhadap anak perlu direnggangkan. Kemampuan berkomunikasi secara terbuka dan dua arah menjadi elemen pengganti yang penting untuk merawat kualitas relasi orang tua-anak; hal inilah yang justru mampu berperan sebagai faktor protektif bagi anak yang mulai beranjak dewasa (cf. Kowalski et al., 2014; Ybarra & Mitchell, 2004). Tanpa adanya pola komunikasi ini, mispersepsi akan sangat mungkin terjadi dan konflik akan sulit untuk dapat diresolusi secara konstruktif.

 

Referensi

Agnew, R. (1992). Foundations for a general strain theory of crime and delinquency. Criminology, 30, 47–87.

Agnew, R. (2001). Building on the foundation of general strain theory: Specifying the types of strain most likely to lead to crime and delinquency. Journal of Research in Crime and Delinquency, 38, 319–361.

Albert, I., Trommsdorff, G., Mayer, B., & Schwarz, B. (2005). Value of children in urban and rural Indonesia: Socio-demographic indicators, cultural aspects, and empirical findings.

Buwono, S. B. S. (2021). Parental monitoring increases the risk of cybervictimized college students to become cyberbullies: A study of moderation effect. Paper presented at the 2nd Padjadjaran Psychology Conference Series, Indonesia.

Center for Lifespan Development. (2020). Cyberbullying among adolescents in Indonesia. Laporan Penelitian (Tidak dipublikasikan).

Hood, M., & Duffy, A. L. (2018). Understanding the relationship between cyber-victimisation and cyber-bullying on Social Network Sites: The role of moderating factors. Personality and Individual Differences, 133, 103-108.

Jensen, L. A., Arnett, J. J., Feldman, S. S., & Cauffman, E. (2004). The right to do wrong: Lying to parents among adolescents and emerging adults. Journal of Youth and Adolescence, 33(2), 101-112.

Kowalski, R. M., Giumetti, G. W., Schroeder, A. N., & Lattanner, M. R. (2014). Bullying in the digital age: A critical review and meta-analysis of cyberbullying research among youth. Psychological Bulletin, 140(4), 1073.

Memeriksa Keterampilan Eksekutif pada Bayi Melalui Permainan A not B

ArtikelArtikelBlog Friday, 15 July 2022

Penulis: Reswara Dyah Prastuty, Reviewer: Diah Dinar Utami

Perkembangan manusia pada 1000 hari pertama kehidupan, yakni sejak masih berada dalam kandungan hingga berusia dua tahun, memiliki peranan penting dalam membentuk pondasi perkembangan manusia sepanjang rentang kehidupan. Pada masa ini, volume otak anak berkembang sangat pesat hingga mencapai 75% dari volume otak orang dewasa (Santrock dkk., 2020). Beriringan dengan itu, berbagai aspek psikologis manusia, seperti sensorik motorik, kognitif, dan sosio emosional, juga turut berkembang. Aspek-aspek yang berkembang pada periode emas ini memiliki pengaruh yang signifikan dalam menentukan potensi perkembangan dan pembelajaran anak di masa mendatang (UNICEF, 2017).

Executive function atau fungsi eksekutif merupakan salah satu keterampilan dasar yang mulai tumbuh pada masa bayi. Keterampilan ini memungkinkan manusia untuk melakukan perencanaan hingga mampu mencapai tujuan. Fungsi eksekutif mencakup berbagai kemampuan kognitif, yaitu kemampuan atensi, pemecahan masalah, koordinasi, pembuatan keputusan, regulasi diri, serta berbagai kemampuan kognitif tingkat tinggi lainnya (Goldstein & Naglieri, 2014). 

Pada anak-anak, keterampilan eksekutif berhubungan dengan performansi akademik (Pascual dkk., 2017). Di sisi lain, keterampilan eksekutif yang terhambat atau kurang berhubungan dengan adanya gangguan perkembangan anak usia dini seperti autisme dan gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas (GPPH) atau yang biasa disebut sebagai ADHD (Lynch dkk., 2017; Krieger & Amador-Campos, 2018). Melihat hal tersebut, pemeriksaan atau skrining terhadap kemampuan eksekutif anak menjadi penting untuk dilakukan sehingga orang tua dapat memahami perkembangan buah hati secara lebih jauh dan menindaklanjutinya dengan intervensi dini bila diperlukan.

Pada tahun 2021, tim peneliti dari Center for Life-span Development (CLSD), Fakultas Psikologi, Universitas Gadjah Mada memberikan pelatihan keterampilan skrining perkembangan fungsi eksekutif bayi kepada para ibu yang memiliki bayi berusia 12-24 bulan. Pada pelatihan tersebut, ibu diajarkan untuk melakukan skrining menggunakan sebuah permainan sederhana, yaitu A not B. Melalui permainan atau tugas ini, ibu akan mengamati strategi bayi dalam mencari mainan yang disembunyikan di hadapannya yang mana hal tersebut mampu menggambarkan keterampilan eksekutifnya (Frossman & Bohlin, 2014). 

Untuk dapat memeriksa kemampuan eksekutif bayi melalui permainan A not B, ada beberapa hal yang perlu disiapkan oleh ibu. Pertama, ibu perlu menyiapkan ruangan yang minim distraksi sebagai tempat untuk melakukan permainan. Kedua, ibu perlu menyediakan alat berupa dua buah mangkuk yang sama persis dan tidak transparan serta sebuah mainan karet yang berukuran lebih kecil dari ukuran mangkuk. Selain itu, bila diperlukan, ibu juga dapat menyediakan kamera untuk merekam perilaku bayi saat melakukan permainan.

Sebelum melakukan permainan, ibu perlu mendudukkan anak di hadapan ibu dengan jarak kurang lebih dua meter. Setelah itu, ibu dapat meletakkan kedua buah mangkuk di depan ibu secara telungkup dan sejajar. Mangkuk yang berada di sisi kanan adalah mangkuk pada posisi A sedangkan yang berada di sisi kiri adalah mangkuk pada posisi B. Selain meletakkan mangkuk, ibu juga perlu menyembunyikan mainan karet di belakang badan ibu. Apabila seluruhnya telah berada pada posisi yang sesuai dengan ketentuan, ibu dapat memulai permainan A not B.

Untuk melakukan permainan A not B, dibutuhkan waktu kurang lebih sepuluh menit. Meskipun tahapan permainan A not B dapat dikatakan sederhana, ibu perlu memperhatikan dan melakukan setiap langkahnya secara teliti dan runtun. Berikut adalah tahap-tahapnya.

  1. Ibu mengeluarkan mainan karet dari balik badan dan memainkannya untuk menarik perhatian anak.
  2. Setelah pandangan mata anak tertuju pada mainan, ibu mengangkat mangkuk pada posisi A, lalu meletakkan mainan ke dalam mangkuk yang posisinya tertutup ke bawah tersebut.
  3. Ibu berkata pada anak, “Sekarang mainannya disembunyikan di sini.”
  4. Ibu menepuk tangan sekali untuk membuyarkan fokus tatapan mata anak.
  5. Ibu memberikan jeda selama tujuh detik dengan tetap berinteraksi atau menjaga kontak mata dengan anak.
  6. Setelah tujuh detik, ibu menggeser kedua mangkuk ke depan sehingga dapat dijangkau oleh anak.
  7. Ibu bertanya kepada anak, “Di mana mainannya?”
  8. Tanpa memberikan instruksi, petunjuk, maupun arahan apapun, ibu menunggu hingga anak bergerak mencari mainan.
  9. Apabila mainan tersebut berhasil ditemukan oleh anak pada posisi mangkuk A, maka ibu boleh membiarkan anak untuk memainkan mainan tersebut sebentar. Sebaliknya, apabila anak tidak menemukan mainan tersebut pada posisi A atau tidak bergerak mencarinya hingga sepuluh detik, maka ibu perlu mengeluarkan mainan dari mangkuk posisi A sambil berkata, “Ini dia!”. 

Setelah selesai menjalankan seluruh langkah yang disebutkan, ibu perlu mengulangi keseluruhan proses tersebut hingga berjumlah empat kali. Kemudian, ibu perlu melakukan dua kali percobaan lagi dengan menyembunyikan mainan pada mangkuk yang terletak pada posisi B. Dengan begitu, ibu akan melakukan enam kali percobaan dalam pelaksanaan permainan A not B. 

Penilaian terhadap perilaku bayi saat melakukan permainan A not B dapat ibu lakukan secara langsung saat melaksanakan permainan maupun setelah menyelesaikan permainan dengan melakukan pengamatan terhadap video rekaman. Dari pengamatan tersebut, ibu dapat mencatat perilaku looking dan reaching bayi. 

Perilaku looking yang benar pada permainan ini dapat dilihat melalui arah pandangan mata bayi yang langsung tertuju pada mangkuk tempat mainan disembunyikan saat ibu bertanya, “Di mana mainannya?”. Adapun perilaku reaching yang benar nampak dari respon perilaku anak yang ingin meraih mangkuk tempat mainan disembunyikan menggunakan tangannya. Ibu dapat menuangkan hasil pengamatan tersebut dalam sebuah tabel yang memuat keterangan perilaku looking dan reaching bayi pada percobaan pertama hingga keenam, apakah benar, salah, tidak menunjukkan perilaku looking maupun reaching sama sekali, atau perilaku looking dan reaching tersebut tertuju pada kedua posisi, yaitu A dan B. 

Setelah hasil skrining diperoleh, bila diperlukan, ibu dapat mengkonsultasikannya kepada profesional, seperti psikolog atau dokter anak. Dengan begitu, akan diperoleh saran yang berguna untuk menstimulasi perkembangan fungsi eksekutif anak maupun melakukan intervensi dini.

Referensi:

Goldstein, S., & Naglieri, J. A. (2014). Handbook of executive functioning. New York: Springer. doi:https://doi.org/10.1007/978-1-4614-8106-5

Eliot, L. (2001). Early Intelligence: How the Brain and Mind Develop in the First Years. London: Penguin.

Johansson, M., Forssman, L., & Bohlin, G. (2014). Individual differences in 10-month-olds’ performance on the A-not-B task. Scandinavian Journal Of Psychology, 55(2), 130-135. doi: 10.1111/sjop.12109

Lynch, C. J. (2017). Executive dysfunction in autism spectrum disorder Is associated with a failure to modulate frontoparietal-insular hub architecture. 2(6), 537-545. doi:https://doi.org/10.1016/j.bpsc.2017.03.008

Pascual, A., Muñoz, N., & Robres, A. (2019). The Relationship Between Executive Functions and Academic Performance in Primary Education: Review and Meta-Analysis. Frontiers in psychology, 10, 1582. https://doi.org/10.3389/fpsyg.2019.01582

Santrock, J., Deater-Deckard, K., & Lansford, J. (2020). Child Development: An Introduction. New York: McGraw Hill.

UNICEF. (2017). Early Moments Matter for Every Child. New York: United Nations Children’s Fund.

Krieger, V., & Amador-Campos, J. A. (2018). Assessment of executive function in ADHD adolescents: contribution of performance tests and rating scales. Child Neuropsychology, 24(8), 1063-1087. doi:10.1080/09297049.2017.1386781

Child See, Child Do: Mendampingi Anak Melakukan Observasi

ArtikelArtikelBlog Friday, 3 June 2022

Penulis: Resti Fahmi Dahlia, Reviewer: Diah Dinar Utami

Apakah kita sebagai orang dewasa sering takjub atau kagum ketika melihat tingkah anak kecil dapat menirukan perilaku yang mungkin kita lupa pernah melakukannya di depan anak atau anak melakukan perilaku yang mereka lihat melalui video di gadget-nya. Reproduksi perilaku yang dilakukan oleh anak setelah anak mengamati dalam istilah psikologi disebut Deferred Imitation. Penelitian yang telah dilakukan ahli dengan cara mengukur reproduksi dari perilaku yang sudah teramati setelah beberapa waktu berlalu yang dimungkinkan sudah tersimpan dapat diingat kembali berkaitan dengan fungsi memori yang ada pada anak (Heiman, dkk, 2017). Andrew N Meltzoff seorang psikolog dari Amerika pada tahun 1988 dalam penelitiannya menyampaikan bahwa proses meniru atau imitasi perilaku yang dilihat oleh anak dianggap penting dalam perkembangan kognitif anak-anak. Piaget sebagai ahli psikologi perkembangan, Piaget (1999) mengatakan proses reproduksi perilaku yang sudah teramati merupakan salah satu titik penting dari periode sensorimotor sehingga kemampuan ini penting untuk perkembangan anak pada tahap selanjutnya. Jauh sebelum Meltzoff dan Piaget, Albert Bandura telah melakukan penelitian mengenai proses meniru pada anak, sekitar tahun 1963 beliau melakukan eksperimen terhadap anak mengenai perilaku agresi yang dilihat anak menggunakan media dan tanpa media (langsung). Studi sebelumnya yang dilakukan Bandura & Huston (1961) dirancang untuk menjelaskan fenomena identifikasi dalam hal pembelajaran insidental, menunjukkan bahwa anak-anak siap meniru perilaku yang ditunjukkan oleh model orang dewasa di hadapan model.

 

Nah, ternyata ada penelitian dilakukan mengenai deferred imitation yang menunjukkan hasil bahwa proses meniru yang ada pada anak, diantaranya dilakukan Piaget (1999) mengatakan bahwa anak dibawah usia 18 bulan belum memiliki kemampuan untuk menyimpan informasi. Penelitian lain menemukan bahwa anak usia 14 bulan sudah memiliki kemampuan untuk menyimpan informasi dan melakukan produksi perilaku dari informasi yang sudah diterima sebelumnya. Perbedaan setiap anak dalam melakukan imitasi dari perilaku yang telah diamati sebelumnya merefleksikan perbedaan perkembangan memori individu (Jones and Herbert, 2006). Selanjutnya Dunst, dkk (2011) melakukan penelitian dengan mengaitkan mengenai perilaku komunikasi sosial, dengan menggunakan permainan sederhana dan dilakukan secara berulang dapat mendorong peniruan dasar pada bayi dan dapat mengembangkan perilaku komunikasi sosial dalam perkembangan bayi yang khas. Penelitian lain mengenai proses meniru dengan kaitannya komunikasi sosial anak yang dilakukan oleh Hanika & Boyer (2019) menunjukkan peniruan yang dilakukan anak yang berusia 15-18 bulan memiliki hubungan unik dengan komunikasi sosial yang khusus untuk pemahaman bahasa., dimana komunikasi sosial di kemudian hari dapat memprediksi keterampilan bahasa pada anak.  

 

Melihat bahwa anak usia dini sudah memiliki kemampuan mengingat dan meniru setiap perilaku yang teramati baik melalui saudara maupun orangtua untuk mempelajari hal baru (Howe, dkk 2018). Maka sebagai orang dewasa perlu menyediakan lingkungan yang mendukung tumbuh kembang anak yang sesuai dengan nilai dan norma dalam keluarga dan lingkungan. Salah satu yang dapat dilakukan orang tua dalam mengamati tumbuh kembang anak diantaranya mendampingi dan ikut serta ketika anak bermain di rumah. Saat anak bermain atau menggunakan gadget untuk bermain maka sebagai orang dewasa kita dapat mendampingi dengan berpartisipasi bersama anak dan membangun komunikasi dengan anak. Hal ini dilakukan agar apa yang dilihat anak, dapat diketahui oleh orang dewasa di sekitarnya dan dapat diberikan pemahaman mengenai apa yang anak lihat sehingga anak bisa menirukan hal baik dari yang diamati anak dan orang tua dapat berlaku bijak ketika anak menirukan perilaku yang negatif.

 

Referensi:

Bandura, A. & Huston, A.C (1961) Identification as a process of incidental learning. Journal of Abnormal and Social Psychology

Bandura, A., Ross, D., & Ross, S.A. (1963) Transmission of Aggression through imitation of aggressive models. Journal of Abnormal and Social Psychology

Dunst, C., Raab, M. & Trivette, C. (2011)  Characteristics of naturalistic language intervention strategies. Journal of Speech-Language Pathology and Applied Behavior Analysis.

Howe,N., Rosciszewska, J., Persram, R.J. (2018) “I’m an ogre so I’m very hungry!” “I’m assistant ogre”: the social function of sibling imitation in early childhood. Infant Child Development.

Jones, E.J.H., & Herbert, J.S (2006) Exploring memory in infancy: deferred imitation and the development of declarative memory. Infant Child Development, 15,195-205

Meltzoff, A.N (1985) Immediate and deferred imitation in fourteen and twenty-four-month-old infants. Child Development. 56:62-72

Meltzoff, A.N (1988) Infant Imitation After a 1-week delay: long term memory for novel acts and multiple stimuli. Developmental Psychology. 24(4): 470-476

Heimann, M. & Meltzoff. (1996). Deferred imitation in 9 and 14 month-old infants: a longitudinal study of a Swedish sample. British Journal of Developmental Psychology, 14(1), 55-64.

Heimann, M., Edorsson, A., Sundqvist, A., & Koch, F. (2017). Thirteen- to sixteen-months old infants are able to imitate a novel act from memory in both unfamiliar and familiar settings but do not show evidence of rational inferential processes. Frontiers In Psychology, 8. doi: 10.3389/fpsyg.2017.02186

Piaget, J. (1999). Play, dreams, and imitation in childhood. London: Routledge (originally published in 1951).

Intensive Course on Multi and Mixed Method Research

Blog Monday, 25 April 2022

Kursus intensif tentang metode penelitian (Multi and Mixed Method Research) baru saja diselenggarakan oleh CLSD bersama Program Studi Doktor Ilmu Psikologi Universitas Gadjah Mada. Kursus yang diikuti oleh 36 peserta, yaitu 23 mahasiswa doktoral, 10 orang peserta umum, serta 3 orang research assistant dan intern CLSD berlangsung selama tiga hari sejak Selasa-Kamis/ 12-14 April 2022. Acara tersebut mendatangkan tiga narasumber yang ahli dalam bidangnya seperti Prof. Dr. Avin Fadilla Helmi, M.Si., Praditya Putri Pertiwi, Ph.D., dan Andrian Liem, M.Psi., Ph.D. Kursus tersebut tidak hanya bersifat satu arah dari para pemateri, tetapi juga interaktif melalui sesi tanya jawab. Peserta pun sangat antusias mengikuti setiap sesi, termasuk ketika diskusi dalam kelompok-kelompok kecil. Seluruh rangkaian kursus dipandu oleh Lisa Sunaryo, S.Psi dan Desnita Zogoto, S.Psi sebagai MC. 

Pada hari pertama, terdapat tiga sesi materi yang dimulai sejak pukul 07.30 sampai 14.10. Dalam sesi pertama, peserta diajak untuk memahami secara umum terkait dengan Multi and Mixed Method Research. Praditya secara jelas menyampaikan overview materi tersebut di sesi awal. Selanjutnya, pada sesi kedua dan ketiga, beliau menjelaskan tentang design and data collection in mixed method research (concept and practice). Sementara itu, pada hari kedua diisi oleh Prof. Dr. Avin Fadilla Helmi yang banyak memaparkan tentang design and data collection in multi method research (concept and practice). Peserta diajak untuk brainstorming terkait dengan beberapa tipe metode penelitian yang dilakukan secara multi/mix method. Dalam sesi pendalaman, peserta dibagi ke dalam breakout room untuk membahas satu topik tertentu. Masing-masing kelompok mempresentasikan hasil diskusi di akhir sesi.

Pada pertemuan hari terakhir, Andrian Liem, M.Psi., Ph.D mengajak peserta untuk lebih dalam memahami analisis data pada multi/mix method research. Andrian juga membagi peserta ke dalam kelompok kecil untuk saling berbagi dan berefleksi terkait penelitian yang dilakukan sebelumnya. Melalui kegiatan kursus intensif ini, para peserta diharapkan mampu memahami dan membedakan konsep, desain, dan pengumpulan data pada multi dan mixed method research. Selain itu, mereka didorong untuk bisa mempraktikkan konsep yang sudah didapatkan. Terlebih kepada para peserta program doktor, kursus ini merupakan salah satu media untuk membekali mereka dalam melakukan riset-riset dengan metode majemuk maupun campuran. 

(RKK/CLSD)

Semiloka: Etika Penelitian dengan Partisipan Anak

ArtikelBlogEvent Friday, 14 January 2022

Center for Life-Span Development (CLSD) dan Program Studi Doktor Ilmu Psikologi, Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada kembali menyelenggarakan “Semiloka: Etika Penelitian dengan Partisipan Anak”. Semiloka yang berlangsung pada hari Kamis, 13 Januari 2022 ini terbuka untuk umum terutama bagi partisipan yang merupakan peneliti perkembangan anak, mahasiswa, guru, dan praktisi pendidikan. 

Terbagi menjadi tiga sesi dan dimoderatori oleh Research Assistant CLSD yaitu Lisa Sunaryo Putri, S.Psi., semiloka ini memiliki tiga narasumber, yaitu Edilburga Wulan Saptandari, M.Psi., Ph.D., Psikolog, Elga Andriana, M.Ed., Ph.D., dan Indra Yohanes Kiling, M.A., Ph.D.

Sesi pertama semiloka yang berlangsung dari pukul 08.00 hingga 09.30 WIB diawali dengan topik Tantangan Metodologis dan Etis Penelitian dengan Anak oleh Edilburga Wulan Saptandari, M.Psi., Ph.D., Psikolog. Pada sesi ini, narasumber menjelaskan mengenai definisi, sejarah, langkah-langkah, prinsip, dan serba-serbi keterlibatan anak dalam penelitian. Disampaikan bahwa tantangan penelitian dengan anak dibagi menjadi tiga bagian menurut Norozi dan Moen (2016), yaitu power dynamics, methodologies, dan ethical issues yang dikupas lebih dalam pada sesi ini.

Selain itu, sesi kedua yang berlangsung dari pukul 09.30 hingga 11.00 WIB disampaikan oleh Elga Andriana, M.Ed., Ph.D. mengangkat topik Penelitian Melibatkan Anak yang Etis dan Inklusif. Pada sesi ini, narasumber menjelaskan prinsip-prinsip yang mendasari etika penelitian yang melibatkan anak dengan disabilitas, permasalahan seputar etika penelitian yang melibatkan anak dengan disabilitas serta adaptasi yang bisa dilakukan untuk memenuhi kebutuhan partisipan anak dengan disabilitas dalam penelitian.

Sesi terakhir yang berlangsung dari pukul 11.00 hingga 12.30 WIB membahas mengenai Etika dan Kerentanan Anak di Perbatasan Indonesia disampaikan oleh Indra Yohanes Kiling, M.A., Ph.D. Pada sesi ini, narasumber menyampaikan pengantar, persiapan penelitian, implementasi penelitian, diseminasi dan komunikasi penelitian, serta hal-hal yang sebaiknya dilakukan dan dihindari selama penelitian berlangsung.

Dihadiri oleh total 85 peserta, Semiloka Etika Penelitian dengan Partisipan Anak menyediakan fasilitas berupa sertifikat elektronik dan materi dari masing-masing sesi. Tiap sesi ditutup dengan tanya jawab oleh peserta dan narasumber. Lewat semiloka ini, diharapkan peserta dapat memperluas wawasan mengenai etika penelitian dengan partisipan anak di Indonesia melalui pemaparan para ahli di bidangnya.

(SRP/CLSD)

Webinar Internasional Pemberian Akomodasi Bagi Peserta Didik Penyandang Disabilitas di Indonesia

ArtikelBlog Tuesday, 11 January 2022

Webinar Internasional Pemberian Akomodasi Bagi Peserta Didik Penyandang Disabilitas di Indonesia

Dalam rangka memperingati HUT ke-76 PGRI dan Hari Guru Nasional serta Hari Disabilitas Internasional, Center for Life-Span Development (CLSD) bekerja sama dengan PGRI Kota Yogyakarta menyelenggarakan webinar internasional secara daring dengan tema “Pemberian Akomodasi Bagi Peserta Didik Penyandang Disabilitas di Indonesia”. Kegiatan ini berlangsung pada hari Selasa, 7 Desember 2021 pukul 13.00-15.00 WIB dengan narasumber: Prof. David Evans (The University of Sydney), Robert Na Endi Jaweng (Komisioner Ombudsman RI), Aswin Wihdiyanto, ST. MA. (Kemendikbud), Dr. Rozi Beni (Kemendagri), Drs. Herue Poerwadi, MA (Wawali Kota Yogyakarta), dan Drs. Sugeng Mulyo Subono (Ketua PGRI Kota Yogyakarta). Webinar turut dimoderatori oleh Elga Andriana, Ph.D sebagai Kepala Unit Center for Life-Span Development, Psikologi UGM, dan dihadiri oleh 200 orang peserta umum yang berasal dari berbagai latar belakang. 

Sesi pertama webinar diawali oleh paparan mengenai Peningkatan Akses dan Mutu Pendidikan Penyandang Disabilitas oleh Aswin Wihdiyanti, S.T., M.A. sebagai perwakilan dari Kemendikbud. Pada sesi ini, dijelaskan berbagai fasilitasi dan penyediaan akomodasi layak bagi peserta didik penyandang ragam disabilitas serta program-program kegiatan dalam rangka pemenuhan akomodasi layak. 

Sesi kedua webinar disampaikan oleh Rozi Beni dari Kemendagri yang mengangkat topik  Dukungan dan Fasilitasi Kebijakan Pemberian Akomodasi Peserta Didik Penyandang Disabilitas di Daerah. Pada sesi ini, dijelaskan dukungan berupa regulasi atau kebijakan dari pemerintah, alur pelaksanaan akomodasi, lingkup pembinaan umum dan teknis, fungsi, tugas, dan wewenang pemerintah, tantangan dan cara implementasi kebijakan, serta peran kepala daerah dan wakil kepala daerah dalam pelaksanaan.

Sesi ketiga webinar membahas mengenai Pengawasan Pelayanan Publik bagi Peserta Didik Penyandang Disabilitas yang disampaikan Robert Na Endi Jaweng sebagai Komisioner Ombudsman RI. Sesi ini menjelaskan bagaimana isu disabilitas merupakan isu lintas sektoral yang terkait dengan banyak aspek meliputi pendidikan, ekonomi, adminduk, kesehatan, ketenagakerjaan, hukum, dan sebagainya. Ombudsman  berperan dalam mendorong penguatan regulasi dan kebijakan, peningkatan akses pelayanan hak-hak dasar, penguatan sistem aduan, pelayanan dan penanganan pelanggaran terhadap penyandang disabilitas, serta menguatkan jalur kerja afirmatif dan pengawasan kolaboratif bersama pegiat dan penyandang disabilitas.

Sesi keempat disampaikan oleh Prof. David Evans yang merupakan seorang profesor pendidikan khusus dan inklusif di University of Sydney, Australia. Beliau menjelaskan disabilitas dalam konteks di negara Australia, seperti apa standar pelayanan disabilitas dari segi pendidikan, kumpulan data yang konsisten secara nasional, dan tingkat-tingkat penyesuaian yang dapat membantu siswa dengan disabilitas mampu mengakses dan berpartisipasi sama seperti siswa lainnya.

Tiap sesi ditutup dengan tanya jawab oleh peserta dan narasumber.  Webinar ditutup oleh Elga Andriana, Ph.D, selaku moderator acara. Melalui webinar ini, diharapkan peserta memperoleh wawasan mengenai proses penyediaan akomodasi bagi peserta didik penyandang disabilitas di Indonesia secara lebih rinci dan akurat melalui pemaparan para ahli di bidangnya.

Seminar dan Lokakarya “Pencegahan dan Penanganan Tindak Kekerasan pada Anak Usia Dini di Satuan PAUD”

ArtikelBlogEvent Friday, 31 December 2021

Seminar dan Lokakarya “Pencegahan dan Penanganan Tindak Kekerasan pada Anak Usia Dini di Satuan PAUD”

Seminar dan Lokakarya “Pencegahan dan Penanganan Tindak Kekerasan pada Anak Usia Dini di Satuan PAUD” diselenggarakan oleh Direktorat PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) Kemendikbud pada tanggal 19-21 Desember 2021 di Bali. Hanifah Nurul Fatimah, S.Psi., M. Sc., yang merupakan peneliti Center for Life-Span Development (CLSD), menghadiri seminar dan lokakarya tersebut sebagai perwakilan dosen Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada. Pada kegiatan ini, perwakilan dari berbagai lembaga, lembaga swadaya masyarakat, NGO, praktisi dan akademisi dari berbagai wilayah di Indonesia berkumpul dalam rangka menyimak pemaparan laporan Direktorat Jenderal PAUD dan berdiskusi melalui focus group discussion dengan tujuan menghasilkan rumusan rekomendasi kebijakan yang dapat diberikan untuk mencegah dan menangani kekerasan pada anak usia dini di satuan PAUD. 

(SRP/CLSD)

Diseminasi Hasil Penelitian Bidang PAUD dan Parenting SEAMEO CECCEP

ArtikelBlogEvent Thursday, 30 December 2021

Diseminasi Hasil Penelitian Bidang PAUD dan Parenting SEAMEO CECCEP

Pada hari Kamis, 2 Desember 2021 hingga Jum’at, 3 Desember 2021, Elga Andriana, S.Psi, M.Ed, Ph.D., Hanifah Nurul Fatimah, S.Psi., M.Sc., dan Ammik Kisriyani, S.Psi., M.A., sebagai peneliti dari Center for Life-Span Development (CLSD) Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada menghadiri acara Diseminasi Hasil Penelitian Bidang PAUD dan Parenting secara daring dan luring di Atlantic City Hotel yang bertempat di Pasir Kaliki, Kota Bandung, Jawa Barat. Diseminasi ini diselenggarakan oleh Southeast Asian Ministers of Education Organization Regional Centre for Early Childhood Care Education and Parenting (SEAMEO CECCEP) sebagai follow-up dari program dana hibah penelitian (Research Grant) bagi dosen, peneliti, akademisi, atau praktisi dalam rangka meningkatkan produktivitas penelitian yang berorientasi pada publikasi ilmiah nasional dan internasional. Acara diisi oleh presentasi dari para penerima program Research Grant tahun 2021.

Hanifah Nurul Fatimah, S.Psi., M.Sc. yang mengikuti acara secara luring beserta Elga Andriana, S.Psi., M.Ed., Ph.D. dan Ammik Kisriyani, S.Psi., M.A. yang mengikuti acara secara daring, memaparkan hasil penelitiannya mengenai “Perkembangan Memori dan Keterampilan Eksekutif pada Bayi 12-24 Bulan: Sebuah Metode Skrining oleh Ibu”. Penelitian bertujuan untuk mengembangkan metode skrining yang ditujukan secara spesifik untuk memori jangka panjang (long-term memory) dan executive function pada bayi berusia 12 hingga 24 bulan yang bisa dilatihkan pada ibu, serta menyediakan metode skrining yang lebih aksesibel, lebih layak, dan lebih dapat dilaksanakan untuk anak-anak pada keluarga dengan latar belakang ekonomi menengah ke bawah. Metode yang digunakan dalam penelitian adalah within subject pre-post test, pelatihan melalui video tutorial, modul, dan group chat yang dipimpin oleh fasilitator, kuesioner self-report (Skala Responsivitas Ibu), serta analisis kualitatif melalui sesi focus group discussion dan observasi. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa pengembangan metode skrining dengan luaran dalam bentuk modul, video tutorial, serta kegiatan berupa pelatihan dan pendampingan ibu, dapat meningkatkan pengetahuan dan membekali ibu dalam keterampilan skrining bayi pada aspek kemampuan memori dan keterampilan eksekutif. Selain itu, hasil penelitian mengungkap bahwa semakin baik respons ibu selama interaksi ibu dengan bayi, akan menghasilkan perkembangan fungsi eksekutif yang lebih baik dalam dua tahun pertama kehidupan.

(SRP/CLSD)

Workshop Penulisan Publikasi: Kiat Menembus Publikasi Jurnal Internasional Bereputasi

ArtikelBlogEvent Thursday, 30 December 2021

Workshop Penulisan Publikasi: Kiat Menembus Publikasi Jurnal Internasional Bereputasi

Pada Jumat, 26 November 2021 pukul 13.00 – 16.00 WIB, Center for Life-Span Development (CLSD) mengadakan kegiatan Workshop Penulisan Publikasi: Kiat Menembus Publikasi Jurnal Internasional Bereputasi dengan narasumber Dr. Vina Adriany (Center for Gender and Childhood Studies, Universitas Pendidikan Indonesia) yang dilakukan secara daring melalui Zoom. Kegiatan ini terbuka baik untuk civitas akademik Fakultas Psikologi UGM maupun umum.

Workshop diadakan dengan tujuan  untuk membagikan ilmu mengenai cara mempublikasikan penelitian atau artikel ilmiah di jurnal internasional yang menjadi jalan penting agar hasil penelitian dapat dibaca dan dimanfaatkan oleh orang banyak. Pada workshop ini, Dr. Adriany membahas mengenai bagaimana cara menulis artikel penelitian yang baik, apa saja standar-standar penulisan yang perlu dipenuhi agar artikel ilmiah berpeluang lebih besar untuk diterima oleh jurnal internasional, serta cara mengidentifikasi jurnal internasional yang sesuai dengan tema penelitian atau artikel ilmiah yang ingin dipublikasikan.

Webinar diakhiri dengan sesi tanya-jawab antara peserta dan narasumber sebelum ditutup oleh  Lisa Sunaryo Putri, S.Psi selaku moderator acara. Melalui webinar ini, diharapkan peserta memperoleh wawasan mengenai cara dan kiat menulis publikasi agar bisa menembus jurnal internasional bereputasi.

(SRP/CLSD)

1234

Recent Posts

  • Trauma Masa Kecil dan Inner Child yang Terbawa hingga Dewasa
  • Joint Attention: Melatih Kemampuan Eksekutif Bayi dengan Cara Sederhana
  • Berkebun: Salah Satu Sumber Kesehatan Mental di Hari Tua
  • Menilik Tantangan dan Solusi dalam Tahap Perkembangan Keluarga
  • Say No to Loneliness: Cara Menyikapi Loneliness pada Individu Dewasa Awal
Universitas Gadjah Mada

Center for Life-Span Development (CLSD)
D-602, Fakultas Psikologi, Universitas Gadjah Mada
Jalan Sosio Humaniora Bulaksumur, Yogyakarta, Indonesia 55281
clsd.psikologi@ugm.ac.id

© Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY

[EN] We use cookies to help our viewer get the best experience on our website. -- [ID] Kami menggunakan cookie untuk membantu pengunjung kami mendapatkan pengalaman terbaik di situs web kami.I Agree / Saya Setuju