Mendidik dengan Santun
oleh: Nur Arifah
editor: Resti Fahmi Dahlia
Photo by August de Richelieu from Pexels
Di Indonesia, masih banyak orang tua yang menggunakan beragam bentuk kekerasan fisik dan psikologis dalam mendidik anak. Survei yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2014 yang mengambil sampel 75 ribu rumah tangga dari seluruh kabupaten/kota di Indonesia menemukan bahwa 23,17% orang tua atau hampir seperempat dari total responden ditemukan menggunakan cara-cara kekerasan fisik dan psikologis dalam mendidik anak mereka (Mardina, 2018). Bentuk kekerasan fisik yang paling banyak ditemui adalah mencubit dan menjewer (30,97%), lalu menampar, memukul dan menendang (4,34%), dan mendorong dan mengguncang badan (3,3%) sedangkan bentuk kekerasan psikologis yang paling banyak dijumpai adalah membentak dan menakuti (41,86%), dan diikuti oleh mengatai dengan panggilan buruk seperti bodoh dan sebagainya (12,44%).
Mengambil fokus pada anak usia dini, praktik mendidik dengan cara kekerasan juga banyak ditemukan, bahkan di kota pendidikan, Kota Yogyakarta. Penelitian survei oleh Muarifah, dkk (2020) dengan sampel 320 responden dari 3 kecamatan di Kota Yogyakarta menemukan bahwa 46% responden melakukan kekerasan fisik dan 54% responden melakukan kekerasan non-fisik atau verbal terhadap anak mereka yang berusia dini (usia 4-6 tahun). Terkait bentuk kekerasan fisik yang paling banyak dilakukan, hasilnya sama dengan hasil dari survei nasional oleh BPS yaitu mencubit (23%) dan menjewer (21%). Baru kemudian diikuti oleh memukul (13,75%), menampar (6,25%), dan menendang (0,6%). Disamping itu juga terjadi bentuk kekerasan fisik seperti menggigit dan menjambak. Bentuk kekerasan non-fisik yang paling banyak dilakukan adalah memelototi (21%) dan membanding-bandingkan dengan anak lain (15%), sedangnya bentuk kekerasan non-fisik lain yang dilakukan adalah menghardik, memarahi, mengejek, mencibir, dan merendahkan. Lebih lanjut, sebagian besar orang tua diatas beralasan bahwa mereka melakukan hal tersebut untuk mendisiplinkan anak mereka, disamping pandangan bahwa anak telah nakal dan perlu untuk mendapat hukuman (Muarifah, dkk, 2020).
Bagi sebagian masyarakat, kenyataan bahwa bentuk-bentuk tindakan untuk mendidik atau “mendisiplinkan” anak diatas dapat dikategorikan sebagai bentuk kekerasan mungkin cukup mengejutkan. Hal ini mungkin karena tindakan seperti mencubit dan menjewer masih dianggap lumrah (Laveda & Ramadhan, 2020). Di Kamus Bahasa Jawa – Bahasa Indonesia I (Nardiati, dkk, 1993) ada kata-kata bermakna kekerasan yang menurut penulis kerap terdengar di telinga masyarakat Jawa seperti cethot (cubit), jiwit (cubit), gebug (pukul), dan keplak (tampar). Lantas apa saja tindakan-tindakan yang termasuk kekerasan fisik dan non-fisik (verbal/psikologis/emosional), apa dampak yang ditimbulkan, dan alternatif atau cara mendidik bagaimana yang sebaiknya dilakukan. Tulisan ini berupaya untuk membahas mengenai ketiga hal tersebut.
Pertama mengenai tindakan-tindakan yang termasuk ke dalam tindakan kekerasan terhadap anak. Menurut Kantor Pusat Layanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A), terdapat beberapa jenis kekerasan terhadap anak yaitu kekerasan fisik, kekerasan emosional, kekerasan seksual, pengabaian dan penelantaran, dan kekerasan ekonomi (Mardina, 2018). Artikel ini hanya akan membahas kekerasan fisik dan kekerasan emosional. Disebutkan disana bahwa tindakan yang dapat digolongkan ke dalam jenis kekerasan fisik adalah memukul, menampar, menendang, mencubit, dan sebagainya, sedangkan yang termasuk kekerasan emosional dapat berupa mengancam, menakut-nakuti, menghina, mencaci, dan memaki dengan keras dan kasar. Jenis dan contoh kekerasan tersebut senada dengan yang dinyatakan dalam UN Convention on the Right of the Child and the World Report on Violence and Health oleh World Health Organization 2002 (Mardina, 2018). Lantas apa dampaknya ketika kekerasan fisik digunakan sebagai cara mendidik anak? American Psychological Association (APA) belum lama mengeluarkan pernyataan kebijakan yang berdasar pada penelitian-penelitian longitudinal yang kuat (Glicksman, 2019). Mereka menyatakan bahwa hukuman fisik tidak efektif digunakan untuk memperbaiki perilaku anak, justru sebaliknya, menjadi risiko tumbuhnya beragam permasalahan emosional, perilaku, dan akademik. Beberapa diantaranya, pertama, memukul anak tidak mengajarkan anak mengenai tanggung jawab, kesadaran diri, dan kontrol diri. Dengan memukul, tidak terjadi proses internalisasi atau pemahaman dalam diri mengapa sesuatu boleh dan tidak diboleh dilakukan. Anak hanya akan berusaha menghindari perilaku yang membuat mereka dipukul ketika ada orang tua saja, namun tetap akan melakukan ketika orang tua tidak ada. Kedua, anak belajar dari melihat orang tuanya. Melihat orang tua menggunakan kekerasan fisik mengajarkan pada anak mengenai penggunaan kekerasan fisik untuk mengatasi konflik kedepannya. Tindakan orang tua justru mendorong anak untuk menjadi agresif. Dalam pernyataan publik lain yang dikeluarkan oleh the American Academy of Pediatric (Sege & Siegel, 2018), penggunaan kekerasan fisik sebagai hukuman dapat meningkatkan agresivitas pada anak usia prasekolah dan usia sekolah, melemahkan hubungan orang tua-anak, dan meningkatkan risiko gangguan kesehatan mental dan permasalahan kognitif anak.
Banyak orang tua yang hanya mengulangi bagaimana mereka dididik dulu dan tidak memahami cara lain yang baik dalam mendidik atau mendisiplinkan anak (Glickman, 2019). Cara alternatif dalam mendidik yang dinyatakan oleh APA (Glickman, 2019), diantaranya melakukan komunikasi yang penuh dengan sikap menghargai anak, berupaya melibatkan anak dalam menyelesaikan permasalahan (kolaboratif), dan orang tua mencontohkan perilaku yang ingin diajarkan pada anak dalam kesehariannya. Salah satu prinsip yang dapat dipegang adalah jangan melakukan sesuatu pada anak, apa yang tidak akan kita lakukan pada orang dewasa.
Selain kurangnya pengetahuan mengenai cara pengasuhan yang baik, kondisi psikologis orang tua juga berpengaruh dalam terjadinya perilaku kekerasan pada anak, seperti gangguan psikologis yang diderita atau pengalaman mengalami hal serupa di masa lalu (Peterson, dkk, 2014) oleh karenanya orang tua dapat berusaha mengakses tenaga profesional seperti psikolog dan psikiater untuk menangani permasalahan psikologisnya sendiri. Diharapkan nantinya ada dampak positif secara tidak langsung pada cara-cara pengasuhannya.
Demikian sedikit uraian mengenai masih maraknya penggunaan cara-cara kekerasan dalam mendidik anak yang terjadi di masyarakat, apa saja yang sebenarnya masuk dalam perilaku kekerasan kepada anak, dampak yang ditimbulkan, serta alternatif pengasuhan yang sebaiknya diambil. Harapannya orang tua yang masih menggunakan cara-cara tersebut berhenti untuk melakukannya dan mulai berusaha mengupayakan cara pengasuhan yang baik seperti menambah pengetahuan pengasuhan dengan membaca buku, mendengarkan podcast, menonton video, mengikuti seminar, atau berdiskusi dengan para ahli. Disamping itu, orang tua yang masih sangat kesulitan dalam mengupayakan pengasuhan yang baik karena masih memiliki permasalahan psikologisnya sendiri dapat mencari bantuan tenaga profesional seperti psikolog atau psikiater.
Referensi
Glicksman, E. (2019, Mei 05). Physical disipline is harmful and ineffective : A new APA resolution cites evidence that physical punishment can cause lasting harm for children. American Psychological Association. https://www.apa.org/monitor/2019/05/physical-discipline
Laveda, M., & Ramadhan, B. (2020, Juli 24. Orang Tua Mencubit dan Menjewer Anak Masih Dianggap Biasa. Republika.co.id. https://www.republika.co.id/berita/qdycay330/orang-tua-mencubit-dan-menjewer-anak-masih-dianggap-biasa
Mardina, R. (2018). Kekerasan terhadap Anak dan Remaja. Pusat Data dan Kesehatan Kementrian RI
Muarifah, A., Wati, D.E., & Puspitasari, I. (2020). Identifikasi Bentuk dan Dampak Kekerasan Pada Anak Usia Dini di Kota Yogyakarta. Jurnal Obsesi: Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, 4(2),757-765
Peterson, A.C., Joseph, J., & Feit, M. (2014). New Direction in Child Abuse and Neglect Research. National Academy of Science
Nardiati, S., Suwadji., Sukardi., Pardi., & Suwanto, E. (1993). Kamus Bahasa Jawa – Bahasa Indonesia I. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. http://repositori.kemdikbud.go.id/2885/1/kamus%20bahasa%20jawa%20-%20bahasa%20indonesia%20I%20%20469ha.pdf
Sege, R.D & Siegel, B.S (2018). Effective Discipline to Raise Healthy Children. Pediatrics, 142(6). https://doi.org/10.1542/peds.2018-3112