Quarter-Life Crisis : Mencari Meaning dalam Krisis
Oleh Dini Fadillah
Editor: Lisa Sunaryo Putri
photo by Matese Fields on Unsplash
Pernahkah mengalami momen mempertanyakan kemana harus melangkah setelah lulus dari sekolah atau perguruan tinggi? Pun ketika sudah menjalani suatu pekerjaan, mempertanyakan apakah sudah tepat keputusan yang diambil? Melihat cuplikan kehidupan teman di media sosial, kemudian merasa jauh tertinggal dibandingkan orang lain? Jika iya, barangkali inilah yang disebut dengan Quarter Life Crisis (QLC).
Quarter life Crisis merupakan suatu fase yang ditandai dengan individu mengalami ketidakstabilan dalam hidup dan tengah menghadapi berbagai permasalahan baik dalam dunia karier, keluarga, dan hubungan romantis (1). Ketidakstabilan tersebut muncul karena seseorang merasa kehidupan yang sedang dijalani cenderung statis. Sedangkan di sisi lain ada dorongan untuk mempersiapkan masa yang akan datang. Selain itu, individu juga merasakan dorongan untuk mengeksplorasi berbagai macam hal dan menata hidup agar lebih produktif. Quarter Life Crisis biasanya dialami oleh individu pada rentang usia 20-29 tahun.
Berdasarkan studi yang dilakukan oleh OnePoll pada tahun 2017, setidaknya 56% dari 2000 populasi orang dewasa (25-35 tahun) di Inggris mengaku tengah mengalami berbagai permasalahan dalam hidup yang membuat mereka stress (2). Fenomena QLC ini juga termanifestasi lewat media sosial. Agarwal, dkk melakukan studi untuk menganalisis fenomena Quarter Life Crisis yang dialami oleh pengguna twitter di Amerika dan Inggris dengan rentang usia 18-30 (3). Hasil temuan mengatakan, 1.400 user pernah mem-posting 1,5 juta tweet yang menceritakan permasalahan-permasalahan seputar karier, kesehatan, sekolah, dan keluarga lewat posting-an twitter. Fenomena yang sama juga ditemukan juga di Indonesia. Survei terhadap 31 anak muda dengan rentang usia 18-25 tahun mengatakan bahwa pada usia ini membuat mereka mencemaskan urusan karier, percintaan, pendidikan, dan kesehatan (4).
Quarter Life Crisis dapat dibedakan menjadi dua fase. Fase locked-out dan locked-in (1). Fase locked-out merupakan fase awal dan ditandai dengan individu bersemangat untuk menata hidupnya. Muncul keinginan untuk membangun karier, relasi, pacaran atau menikah, dll. Masa eksplorasi ini tentu tidak sepenuhnya berjalan mulus. Kegagalan dan stress merupakan hal yang biasa ditemui ketika realitas yang berjalan tidak sesuai dengan rencana. Namun, proses mengevaluasi perjalanan yang telah ditempuh terus dilakukan setelahnya hingga pada akhirnya dapat menemukan solusi dari permasalahan yang dijumpai.
Berbeda dengan fase locked-out, pada fase locked-in, individu sudah menjalankan suatu komitmen. Namun, di tengah proses tersebut ia merasakan kekeliruan dan ketidakpuasan dalam proses yang tengah ia jalani, baik dalam urusan karier, pasangan, keluarga, dll. Hal ini mengakibatkan munculnya dorongan untuk menyudahi komitmen tersebut. Keberhasilan dan kegagalan dalam perjalanan hidup, membuat individu merefleksikan setiap proses dan terus mencari sudut pandang baru dan makna terhadap suatu hal.
Mengapa Quarter Life Crisis bisa terjadi? Hal ini dapat dijelaskan dengan suatu konsep dari Arnett yang disebut dengan periode Emerging Adulthood (5). Periode ini merupakan bagian dari rentang perkembangan hidup manusia yang terjadi berkisar usia 18-25 tahun. Masa ini merupakan masa transisi dari remaja menuju usia dewasa (20-an). Karakteristik dari periode Emerging Adulthood antar individu berbeda tergantung pandangan subjektif dan pengalaman eksplorasi diri. Meskipun eksplorasi diri sudah dimulai sejak remaja, namun pada masa ini tetap berlangsung hingga usia 20-an. Umumnya eksplorasi diri meliputi urusan percintaan, pekerjaan, dan pandangan hidup. Dalam urusan percintaan, individu tidak sekadar memilih pasangan dengan alasan cantik atau tampan, teman untuk jalan, namun sudah mempertimbangkan pasangan yang dapat menemaninya seumur hidup. Dalam pekerjaan, individu bekerja tidak sekadar memperoleh uang, namun juga bekerja dalam bentuk menyalurkan potensi dan mencari kepuasan dalam jangka waktu yang lebih lama. Adapun pencarian pandangan hidup bersifat dinamis. Pandangan hidup individu sejak dia di bangku sekolah, kuliah, bekerja bisa jadi berubah seiring pengalaman.
Bagaimana melewati Quarter Life Crisis?
photo by Tony Tran on Unsplash
- Pahami “3 Principles of Life”
Terdapat tiga prinsip hidup yang perlu kita sadari, yaitu freedom, uncertainty, dan hope (6). Freedom artinya setiap individu memiliki kebebasan dalam memilih apa pun di hidupnya. Ia bebas merencanakan segala hal, melakukan kegiatan yang disenangi, dan menjauhi hal yang tidak menyenangkan. Maka ketika individu telah memilih, hal yang perlu dilakukan adalah mampu mempertanggungjawabkan konsekuensi dari pilihan tersebut. Mempertanggungjawabkan suatu keputusan yang telah diambil merupakan salah satu karakter positif yang penting ada di diri individu ketika memasuki usia dewasa (5).
Uncertainty mengartikan bahwa kehidupan penuh dengan ketidakpastian. Individu memang bebas dalam memilih, namun ia tidak mampu untuk memastikan suatu hal pasti akan terjadi. Dengan demikian, di sinilah pentingnya tolerance of uncertainty. Sikap mentolerir ketidakpastian dalam hidup, mentolerir hal di luar dugaan dan perencanaan merupakan sikap yang penting untuk dimiliki, agar individu tetap mampu melanjutkan hidup yang sehat (7).
Hope atau harapan ini erat kaitannya dengan ketidakpastian. Seperti yang dikatakan oleh Dr. Bagus Riyono dalam bukunya yang berjudul, Motivasi dan Kepribadian, beliau menjelaskan (6):
Hope tidak sekadar di ranah kognitif ataupun afektif, melainkan berada di ranah spiritual, yaitu aspek psikologis dalam diri manusia yang meliputi “belief system” terhadap sesuatu yang belum pernah dialami, belum pernah dilihat, yang di luar nalar biasa (“beyond reason”), dan sesuatu yang luar biasa (“bigger than life”).
Hope atau harapan merupakan rasa yakin bahwa akan ada kebaikan yang muncul dibalik suatu ketidakpastian. Besar kecil dan kuat-lemahnya harapan tergantung apa yang diyakini individu. Semakin besar keyakinan seseorang tentang adanya “kekuatan lain” yang memiliki kemampuan untuk menolong dirinya keluar dari ketidakpastian dengan selamat, maka akan semakin besar pula hope yang ia miliki.
2. Kenali diri
Terdapat sebuah konsep dari Jepang bernama Ikigai. Konsep ini bertujuan untuk membantu individu menemukan “purpose in life” atau arti hidupnya. Jika bingung ingin menata hidup mulai dari mana, barangkali konsep ikigai ini bisa membantu. Ikigai merupakan irisan antara passion, profession, vocation dan mission (8).
Passion merupakan irisan dari hal yang disukai dan potensi yang dimiliki. Cobalah lihat ke dalam diri, hal-hal apa saja yang disenangi dan bidang mana saja yang Anda kuasai. Jika sudah ditemukan, maka tentukan apakah bidang tersebut mengandung unsur profession? Profession adalah irisan dari kompetensi diri dan Anda bisa menghasilkan uang darinya. Kemudian terdapat vocation dan mission yang bersifat kontributif. Vocation adalah irisan dari apa yang bisa kita lakukan dan apa yang dunia butuhkan. Adapun mission merupakan hal yang disukai dan bermanfaat bagi orang lain.
3. QLC adalah tantangan untuk menemukan makna
Tantangan merupakan stimulus yang datang dari luar diri individu. Jika individu tidak dapat merespons tantangan yang datang, maka ada risiko psikologis yang akan ditanggung. Risiko itu dapat berupa penurunan harga diri, atau penilaian negatif dari lingkungan sosial (6). Disisi lain, tantangan juga dibutuhkan individu untuk bertumbuh. Krisis yang dialami saat quarter-life ini adalah salah satu contoh tantangan. Adanya tantangan akan membuat proses belajar menjadi asyik dan mendorong individu untuk menguasai suatu hal, serta membangun konsep diri lebih positif (9). Ketika individu melakukan suatu pekerjaan yang menantang, maka akan timbul rasa telah berprestasi, tanggung jawab, bertumbuh, rasa asyik ketika menjalaninya, dan mendapatkan pengakuan atau pujian (6).
Dibalik tantangan, pasti ada makna yang bisa didapatkan. Esensi dari kebermaknaan adalah percaya bahwa di luar sana dan suatu saat nanti akan ada kebaikan dari usaha yang dilakukan (6). Makna akan membuat individu bertahan dalam menghadapi tantangan yang sulit. Jadi, bagaimana Anda memaknai Quarter Life Crisis ini?
References :
- Robinson, O.C. (2015). Emerging adulthood, early adulthood and quarter-life crisis: Updating Erikson for the twenty-first century. In. R. Žukauskiene (Ed.) Emerging adulthood in a European context (pp.17-30). New York: Routledge
- https://www1.firstdirect.com/uncovered/heads-up/quarter-life-catalyst/
- Agarwal, S., Guntuku, S. C., Robinson, O., Dunn, A., & Ungar, L. (2020). Examining the Phenomenon of Quarter-life Crisis through Artificial Intelligence and the Language of Twitter. Frontiers in Psychology , 1-23.
- https://gensindo.sindonews.com/read/14429/700/survei-5-hal-paling-dicemaskan-saat-quarter-life-crisis-1588370747
- Arnett, J.J. (2007) ‘Emerging adulthood: What is it, and what is it good for?’ Child Development Perspectives, 1(2): 68–73. doi: 10.1111/j.1750-8606.2007.00016.x
- Riyono, B. (2020). Motivasi dan Kepribadian. Jakarta Selatan: Al-Mawardi.
- https://www.psychologytoday.com/us/blog/the-gen-y-guide/201709/why-millennials-need-quarter-life-crises
- Mogi, Ken. (2017). The Book of ikigai : make life worth living / Ken Mogi. Jakarta: Noura Books.
- Ferre-Caja, E. dan Weiss, M. R. (2000). Predictors of intrinsic motivation among adolescent students in physical education. Research Quarterly for Exercise and Sport. 71(3), 267.