Apakah aku terkena sindrom FoMO? Bagaimana cara mengatasinya?
Ditulis oleh: Agustin Andhika Putri
Editor: Lisa Sunaryo Putri
Photo by Vladimir Fedotov on Unsplash
Media sosial tidak dapat dilepaskan dari kehidupan individu khususnya remaja. Media sosial seakan telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam hidupnya. Perkembangan media sosial yang semakin cepat membuat penggunanya tidak ingin tertinggal mengenai informasi baru. Rasa penasaran yang tinggi membuat remaja berusaha untuk selalu up to date. Biasanya, remaja akan merasa cemas ketika dirinya ketinggalan berita dan merasa gelisah bila tidak segera terhubung atau mengikuti tren di dunia maya.
Rasa takut tertinggal oleh perkembangan informasi di media sosial sering disebut dengan Fear of Missing Out atau biasa disingkat menjadi FoMO. Sindrom FoMO dapat menyebabkan remaja lebih banyak menghabiskan waktunya di media sosial. Hal tersebut terjadi karena remaja merasa takut tertinggal dengan perkembangan jejaring sosial, takut tertinggal dengan informasi mengenai orang lain, dan ketakutan terhadap pengucilan sosial (1). FoMO juga didefinisikan sebagai perasaan gelisah dan takut tertinggal apabila teman-teman melakukan atau merasakan sesuatu yang lebih baik atau lebih menyenangkan daripada apa yang sedang ia lakukan atau miliki pada saat ini (2). FoMO merupakan sindrom kecemasan sosial yang ditandai dengan keinginan untuk terus terhubung dengan apa yang sedang dilakukan oleh orang lain.
Apakah aku termasuk orang yang memiliki FoMO? Berikut adalah ciri-ciri FoMO, yaitu:
- Beranggapan orang lain lebih nyaman dan menikmati hidupnya daripada yang kita alami.
- Selalu merasa ketinggalan tren dan tidak mampu melakukan seperti yang dilakukan oleh orang lain.
- Merasa kehilangan sesuatu yang dirasa penting dan kehilangan tersebut membuat hidup selalu merasa kurang.
Pikiran dan anggapan tersebut dapat muncul sesaat dan setelah melihat unggahan orang lain di media sosial.
Perasaan Fear of Missing Out dapat membahayakan individu karena selalu berusaha mencari informasi terbaru dan keinginan untuk selalu terlibat dalam perkembangan media sosial. Sindrom FoMO memiliki potensi untuk membahayakan diri sendiri dan orang lain, misalnya karena ingin selalu mengetahui informasi terbaru, individu tetap berselancar di dunia maya saat sedang mengemudi atau menghadiri rapat penting. Individu cenderung menggunakan media sosial secara berlebihan, berusaha menanggapi lelucon di grup obrolan secara berlebihan, dan mengikuti lifestyle orang lain di media sosial walaupun tidak sesuai dengan kepribadiannya. Oleh sebab itu, FoMO juga dikaitkan dengan individu yang memiliki autonomy yang rendah. Artinya, individu cenderung tidak memiliki kemampuan untuk memilih sesuatu berdasarkan dirinya sendiri.
Hasil survei yang dilakukan oleh Organisasi Profesi Psikologi Australia (Australian Psychological Society) atau APS menunjukkan sebanyak 50% remaja memiliki prevalensi FoMO dan 25% pada kelompok dewasa ¹. Sedangkan, survei lembaga independen kesehatan masyarakat di Inggris Royal Society of Public Health atau RSPH menemukan bahwa sebanyak 40% pengguna media sosial mengidap gangguan FoMO². Di Indonesia sendiri, beberapa fenomena FoMO memiliki dampak yang tragis. Salah satu portal berita online pernah mengangkat kasus tentang remaja berusia 15 tahun yang tewas usai melakukan selfie dari lantai lima sebuah gedung kosong di Jakarta Utara³. Perilaku yang mengikuti tren tersebut dapat mengakibatkan dampak buruk hingga menghilangkan nyawa seseorang.
Contoh kasus lain terjadi di tahun 2018. Saat itu seluruh dunia dihebohkan dengan Kiki Challenge yang pada akhirnya pihak berwajib mengeluarkan larangan untuk melakukan tarian tersebut. Kiki Challenge adalah sebuah tantangan menari yang dikemas dalam bentuk video dengan diiringi lagu Drake-In My Feelings. Sekilas hal tersebut merupakan sesuatu yang normal dilakukan. Akan tetapi, tantangan ini mengharuskan individu untuk melompat keluar dan menari di sebelah pintu mobilnya yang terbuka sedangkan mobil tersebut masih dalam kondisi berjalan. Rekan satunya di dalam mobil bertugas untuk merekam aktivitas tersebut. Hal ini tentu membuat polisi geram karena dapat membahayakan nyawa dan mengganggu pengguna jalan yang lain4.
Individu yang memiliki gangguan FoMO yang tinggi cenderung mengalami perasaan cemas, harga diri yang rendah, dan tidak berdaya. Selain itu, individu yang mengalami perasaan FoMO yang intens, sering dikaitkan dengan peningkatan efek negatif, seperti peningkatan kelelahan, stres yang lebih besar, lebih banyak masalah tidur dan gejala fisik, sementara tidak terkait dengan afek positif dan vitalitas (3). Hal tersebut dapat terjadi karena individu yang melihat konten orang lain secara emosional akan percaya bahwa orang lain lebih bahagia, sukses, dan lebih positif secara emosional dibandingkan dengan hidup mereka sendiri.
Oleh sebab itu, Martha Beck seorang sosiolog yang pernah didiagnosis mengalami sindrom Fear of Missing Out, memberikan beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengurangi FoMO5:
- Sadarilah bahwa FoMO didasarkan pada sebuah kebohongan, seseorang yang mem-posting aktivitasnya di situs media sosial telah memilih bagian mana dari aktivitas tersebut yang akan dibagikan.
- Lawan FoMO dengan mengubah pola pikir, seseorang dapat memakai diksi yang berbeda. Misalnya FoMO yang dimaksud adalah ‘Feel okay more often’.
- Mengendalikan diri atau memutuskan untuk berhenti dan mengurangi waktu penggunaan media sosial. Sadari bahwa berinteraksi secara langsung lebih menyenangkan daripada melalui media sosial.
Selain itu, terdapat pula beberapa penelitian yang memberikan cara bagaimana mengatasi FoMo antara lain (1,3,4,5) :
- Terapi kognitif.
- Mengisi waktu luang dengan kegiatan yang lebih bermanfaat, seperti bergabung dengan kegiatan sosial daripada menggunakan media sosial secara intensif.
- Penjelasan penggunaan smartphone dan literasi media sosial pada masa remaja.
- Meningkatkan hubungan keluarga dan teman sebaya untuk meningkatkan kesehatan mental dan kesadaran remaja.
Dari beberapa penjelasan di atas, semoga teman-teman menjadi bisa mengetahui apakah saat ini sedang mengalami FoMO. Jika iya, semangat untuk melawan dan fokus kepada pengembangan diri masing-masing. Yuk, ubah Fear of Missing Out-mu menjadi Feel Okay More Often.
1https://www.psychology.org.au/news/media_releases/8Nov2015-stress/
2 https://www.rsph.org.uk/static/uploaded/d125b27c-0b62-41c5-a2c0155a8887cd01.pdf
3https://news.detik.com/berita/d-3204210/asyik-selfie-siswa-smp-tewas-terjatuh-dari-lantai-5-gedung-kosong-di-koja
4https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20180724150946-255-316593/bahaya-di-balik-viralnya-keke-challenge
5https://www.huffpost.com/entry/fomo-fear-of-missing-out_n_3685195
Daftar Pustaka
- Coskun, S. (2019). Investigation of problematic mobile phones use and fear of missing out (fomo) level in adolescents. Community Mental Health Journal, 55, 1004–1014
- Akbar, R. S., Aulya, A., Apsari, A., & Sofia, L. (2018). Ketakutan akan kehilangan momen (fomo) pada remaja kota samarinda. Psikostudia: Jurnal Psikologi, 7(2), 38–47.
- Milyavskaya, M., Saffran, M., Hope, N., & Koestner, R. (2018). Fear of missing out: Prevalence, dynamics, and consequences of experiencing FoMO. Motivation and Emotion, 42(5), 725–737. https://doi.org/10.1007/s11031-018-9683-5.
- Dossey, L. (2014). FoMO, digital dementia, and our dangerous experiment. Explore: The Journal of Science and Healing, 10(2), 69–73. https://doi.org/10.1016/j.explore.2013.12.008.
- Akbay, S. E. (2019). Smartphone addiction, fear of missing out, and perceived competence as predictors of social media addiction of adolescents. European Journal of Educational Research, 8(2), 559–566. https://doi.org/10.12973/eu-jer.8.2.559.